Professional Documents
Culture Documents
LABORATORIK
IDENTIFIKASI PARASIT YANG DILAKSANAKAN DI
LABORATORIUM PARASITOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
` Oleh:
Telur : telur berbentuk lonjong mirip telur cacing tambang berukuran 55 x 30 mikron,
mempunyai dinding tipis yang tembus sinar. Telur dikeluarkan didalam mukosa usus dan
menjadi larva sehingga di dalam feses tidak ditemukan adanya telur.
Larva : Bentukan larva ada dua macam yaitu larva Rabditiform dan larva filariform ( bentuk
infektif ). Larva rabditiform berukuran 200 dan 250 mikron, mempunyai mulut pendek
dengan dua pembesaran oesefagus yang khas. Larva filariform ukurannya lebih panjang
kurang lebih 700 mikron, ramping dan mempunyai mulut pendek oesofagus dimana larva ini
berbentuk silindris (Griffiths, 2002).
Adapun klasifikasi dari Strongyloides stercoralis, yaitu:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis
d. Siklus Hidup
Cacing betina dewasa parasiter Strongyloides stercoralis menembus mukosa dari vili
intestinal dan membuat saluran-saluran di dalam mukosa terutama didaerah duodenum dan
jejunum bagian atas untuk meletakkan telur-telurnya. Telur akan menetas menjadi larva
rhaditiform yang keluar dari mukosa dan masuk ke lumen usus. Kemudian dari sini ada
beberapa jalan bagi larva rhabditiform :
Siklus hidup Strongyloides stercoralis (Foreyt, 2001)
1. Larva rhabditiform keluar bersama dengan feses, setelah 12 – 24 jam larva rhabditiform
akan menjadi larva filariform yang bertahan berminggu-minggu ditanah. Jika menemukan
hospes maka akan menembus kulit yang ikut aliran darah ke jantung kemudian masuk ke
paru-paru dan masuk ke bronkus kemudian melalui tractus ke atas sampai epiglotis dan
turun ke bawah melalui esophagus ke intestinum tenue dan tumbuh sampai menjadi
dewasa. Jika tidak menemukan hospes maka larva filariform akan berkembang ditanah
menjadi cacing dewasa yang hidup bebas, cacing betina akan bertelur dan telur telurnya
akan menetas menjadi larva rhabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform dan
menjadi infeksius atau hidup bebas lagi.
2. Pada penderita yang sudah mengalami infeksi dapat mengalami auto infeksi dengan cara :
Auto infeksi internal : jika terjadi konstipasi, larva rhabditiform akan menjadi larva
filariform saat masih ada di usus kemudian menembus usus dan akan menginfeksi lagi.
Auto infeksi eksternal : jika larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform di daerah
anus dan kemudian akan menembus kulit di daerah perianal untuk menginfeksi lagi
(Waikagul et al, 2002).
e. Gejala Klinis
Gejala klinis dari strongyloidiasis dapat dibedakan menjadi 3 fase yaitu :
1. Invasi larva filariform pada kulit, terutama pada kaki menimbulkan gejala eritemia,
vesicula dengan rasa gatal dan sedikit sakit. Pada orang yang sensitif dapat menimbulkan
urticaria, serta dapat berupa creeping eruption.
2. Migrasi larva pada paru-paru dapat menyebabkan pneumonitis atau lobular pneumonia.
3. Cacing dewasa betina dapat membuat saluran-saluran di mukosa intestinum tenue
sehingga dapat menyebabkan infeksi catarrhal pada mukosa dan reaksi karena intoxicasi.
Gejala yang timbul dapat berupa sakit perut terutama pada waktu lapar (hunger pain),
diare dengan darah dan lendir berselang-seling dengan konstipasi dan menimbulkan
penurunan berat badan.
f. Terapi
Ivermectin merupakan terapi pilihan untuk strongyloidiasis. Ivermectin diberikan dengan
dosis 0.2 mg/kg berat badan. Sebagai terapi alternatif dapat diberikan Albendazole dengan
dosis 25 mg/kg berat badan (Nontasut et al, 2005).
Ostertagia spp
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Feses
Ras/Breed : Rusa sambar dan Watusi (bovine)
Asal Sampel : Kebun Binatang Surabaya (KBS)
Tanggal Pengambilan : 26 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 26 Maret 2019
Cacing Ostertagia sp dewasa ramping berwarna coklat kemerahan dan agak tipis. Panjang
cacing jantan dewasa dari Ostertagia sp adalah 6-7 mm dan panjang cacing betina dewasa
adalah 8-11 mm. Sedangkan ukuran telur dari Ostertagia sp adalah 70-86 milimikron. Tubuh
dari cacing Ostertagia sp ini ditutupi dengan kutikula, yang fleksibel tetapi agak tangguh dan
cacing Ostertagia sp ini memiliki beberapa punggung memanjang. Cacing Ostertagia sp
memiliki sistem pencernaan tubular dengan dua lubang yaitu mulut dan anus. Ostertagia sp
juga memiliki sistem saraf tetapi tidak memiliki organ ekskretoris dan tidak ada sistem
peredaran darah, yaitu jantung atau pembuluh darah. Ovarium dari cacing Ostertagia sp
betina berukuran besar dan uterus dari cacing Ostertagia sp berakhir di lubang yang disebut
vulva. Cacing Ostertagia sp jantan memiliki bursa kopulatori dengan dua spikula pendek dan
tipis untuk melekat pada betina selama proses kopulasi.
Adapun klasifikasi dari Ostertagia sp, yaitu:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Chromadorea
Ordo : Rhabditida
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Ostertagia
Spesies : Ostertagia sp (Ostertagia ostertagi)
c. Hospes dan Predileksi
Hospes dari Ostertagia sp yakni pada sapi, kambing, domba, ruminansia liar, dan hewan
pemamah biak yang lain. Cacing Ostertagia sp dapat ditemukan di abomasum hospes.
d. Siklus Hidup
Ostertagia sp dan cacing gelang ternak lainnya memiliki siklus hidup langsung yang
sederhana. Hal penting dari siklus hidup dari cacing Ostertagia sp ini adalah bahwa siklus
hidupnya terdiri dari dua tahap yaitu tahap hidup bebas di padang rumput dan tahap parasit
pada sapi.
Telur dari cacing Ostertagia sp betina dewasa di abomasum (perut keempat) akan
dikeluarkan bersama feses atau kotoran. Telur ini akan menetas menjadi larva tahap pertama
(L1). Larva ini akan tumbuh dan berkembang menjadi larva tahap kedua (L2). Larva tahap
kedua terus memberi makan bakteri pada kotoran sapi dan meningkat menjadi larva tahap
ketiga atau tahap infektif larva (L3). Larva infektif ini dapat bertahan hidup di padang rumput
hingga 14 bulan dan mampu melewati musim dingin di daerah dingin seperti Eropa Utara.
Telur dan larva infektif dapat bertahan hidup juga dalam pupuk kandang selama berbulan-
bulan. Larva yang terinfeksi dapat secara aktif memindahkan kotoran ke padang rumput
hingga jarak 50 cm, atau menyebar secara pasif ketika kotoran diinjak-injak. Ternak menjadi
terinfeksi setelah menelan larva infektif di padang rumput. Stok yang disimpan juga dapat
terinfeksi melalui jerami yang terkontaminasi. Larva yang tertelan mencapai perut dan
menggali ke dalam dinding abomasum, tempat mereka menyebabkan munculnya nodul yang
khas. Sekitar 2 minggu kemudian mereka meninggalkan nodul dan perkembangan lengkap
untuk cacing dewasa di lumen. Cacing dewasa menempel pada perut atau dinding usus dan
mengeluarkan telur yang dikeluarkan bersama dengan kotoran. Periode prepaten (waktu
antara infeksi dan telur pertama ditumpahkan) adalah 2 hingga 4 minggu (tanpa dormansi)
tergantung pada spesies dan inang.
e. Gejala Klinis
Seperti yang telah disebutkan, Ostertagia sp adalah cacing sapi paling merusak di
daerah dengan iklim sedang dan sejuk. Ada dua perkembangan klinis utama, ostertagiasis tipe
I (juga disebut ostertagiasis musim panas), dan ostertagiasis tipe II (juga disebut ostertagiasis
musim dingin).
Ostertagiasis tipe I mempengaruhi anak sapi dan ternak muda selama musim
penggembalaan pertama mereka ketika mereka terinfeksi cacing ini untuk pertama kalinya.
Ostertagiasis tipe II berpengaruh pada sapi dewasa, sapi dewasa akan menjadi sakit ketika
menelan larva yang melanjutkan perkembangan selama musim dingin dan awal musim semi.
Wabah dapat terjadi kapan saja selama musim dingin dan musim semi sebelum musim
penggembalaan berikutnya (Charlier, 2006).
Larva adalah tahap yang paling merusak. Sel-sel seperti itu tidak dapat menghasilkan
asam. Konsekuensinya adalah bahwa pH abomasum naik hingga hampir 7, dengan
konsekuensi dramatis. Pepsinogen yang disekresikan tidak dapat diubah menjadi pepsin aktif,
yang menghambat denaturasi protein dan pencernaan selanjutnya dalam usus. Protein yang
tidak tercerna di usus menghambat penyerapan cairan, yang menyebabkan diare. Pencernaan
protein yang tidak lengkap menurunkan penyerapan albumin ke dalam darah, yang harus
dikompensasi dengan peningkatan asupan makanan, yang sangat sulit karena hewan yang
terkena kehilangan nafsu makan. Gejala klinis yang khas adalah gastroenteritis (radang
lambung atau usus), anemia, diare (lendir atau berair), dehidrasi, kehilangan nafsu makan dan
penurunan berat badan (hingga 20% dalam 1 minggu setelah wabah!) , semua lebih atau
kurang parah tergantung pada jumlah larva yang menyebabkan infeksi dan kondisi hewan.
Efek lainnya adalah edema, yaitu akumulasi cairan di perut (asites) dan juga di jaringan
submandibular, yang dikenal sebagai rahang botol dan merupakan karakteristik infeksi
dengan cacing gastrointestinal ini.Kematian sering terjadi baik dalam umur muda maupun tua
.
f. Terapi
Ada beberapa obat anthelmintik yang digunakan untuk mengobati dan mengendalikan
infeksi nematoda gastrointestinal pada ternak, yang paling umum digunakan adalah
ivermectin dan eprinomectin, dan benzimidazole (Areskog dkk, 2013).
Strongylus spp
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Feses
Ras/Breed : Kuda
Asal Sampel : Emporium House Club
Tanggal Pengambilan : 25 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 25 Maret 2019
A B
Gambar : Telur cacing Strongylus spp pada kuda (i : Blastomer, ii : krabang telur )
Cacing Strongylus spp. yang mempunyai buccal capsul besar merusak/mukosa dinding usus
besar dan aktif menghisap darah, merusak epithel usus dan menyebabkan ulserasi-ulcerasi
kecil berdarah akibat perlekatan cacing dewasa pada mukosa usus besar. Migrasi larva
(stadium 3 dan stadium 4) menimbulkan lesi pada mukosa usus halus dan
usus besar. Juga lesi pada sistem arterial di daerah kranial arteri mesentrika (larva S.vulgaris).
Peradangan terjadi pada lapisan media dan menimbulkan endarteritis dan pembentukan
trombus. Trombus ini berbahaya bila terjadi di daerah pangkal arteri. Infeksi fatal
disebabkan4000 larva dengan perdarahan yang meluas pada hati dan pankreas. Migrasi larva
keruang peritonium menimbulkan perdarahan pada hati, peritonitis dan pankreas.
Apabila terjadiinfeksi berat terjadi anemia dengan tipe normorkromik
normositik dihubungkan penurunan kemampuan hidup sel darah merah dan meningkatkan
katabolisma albumin (Ratnawati,2004).
Strongyloides merupakan agen penyebab Strongiloidiasis yang terdapat pada usus.
Strongyloides menginfeksi manusia, kucing, anjing, dan satwa sejenisnya serta dapat
ditularkan dari manusia ke satwa atau sebaliknya. Strongyloidiasis bertanggung jawab
untuk kematian sekitar 60-85 % atau sekitar 100 juta orang diseluruh dunia. Tingkat
kematian untuk pasien yang membutuhkan rawat inap dengan infeksi Strongyloide
sadalah sekitar 16,7 %. Parasit ini endemik di daerah beriklim tropis dan subtropis dimana
pada daerah tersebut terdapat kelembapan yang tinggi seperti Eropa Timur, Eropa Selatan,
Asia Tenggara , Amerika Tengah, dan Afrika (Iriemenam et al.2010).
Gejala klinis pada kuda dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jumlah larva yang
menginfeksi, umur kuda dan daya tahan tubuh. Kuda yang terinfeksi Strongylus spp.
menunjukkan gejala klinis seperti anemia, kelemahan kekurusan dan diarrhea. Gejala kolik
dan enteritis ganggern disebabkan oleh S. vulgaris. Kuda yang terinfeksi Strongylus spp.
dapat didiagnosa dengan melihat gejala klinis dan melakukan pemeriksaan sampel
fesesseperti pemeriksaan natif, pengapungan sederhana, metode Mc Master dan
sedimentasi.Selain itu, dapat juga diperiksa menggunakan metode ELISA. Pengobatan dapat
dilakukandengan menggunakan pemberian obat cacing seperti Phenothiazine 66 mg/kg bb,
Pyranteltartrat 110 mg/kg bb atau Thiabendazole 200 mg/kg bb.
Lucilia sericata
a. Signalement sampel
Jenis sampel : Larva
Asal Sampel : Pasar Brantang
Tanggal Pengambilan : 4 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 4 Maret 2019
A B
A B
Gambar. anterior spricle (A) dan anterior spricle Lucilia sericata(B) (dokumentasi pribadi)
Armigeres subalbatus
a. Signalement
Jenis sampel : Nyamuk
Lokasi Pengambilan : Mulyorejo
Tanggal Pengambilan : 31 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 1 April 2019
b. Taksonomi
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Uniramia
Class : Insekta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Nematocera
Family : Culicidae
Sub Family : Culicinae
Genus : Armigeres
Species : Armigeres subalbatus
c. Hasil Pengamatan
d. Morfologi
Tubuh nyamuk memiliki tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Kepala
berbentuk bulat dan menyatu dengan toraks. Pada bagian kepala terdapat sepasang
mata majemuk, sepasang antena, sepasang palpi, dan sebuah probosis. Nyamuk betina
memiliki maksilari palpi yang lebih pendek daripada separuh panjang probosis
Panjangnya probosis ini disesuaikan dengan fungsinya untuk menghisap darah.
Bagian ini terdiri atas labium pada bagian bawah yang memiliki saluran, pada bagian
atas terdapat hipofarings, labrum epifarings, sepasang mandibula yang berfungsi
sebagai penyobek, serta maksila yang bergerigi. Antena terdapat pada kepala bagian
depan dan terletak diantara kedua mata majemuk, berukuran panjang dan langsing
terdiri atas 15 segmen. Antena nyamuk jantan memiliki banyak bulu, disebut antena
plumose, sedangkan pada yang betina sedikit berbulu, disebut antena pilose. Secara
anatomis, nyamuk ini memiliki skutelum yang trilobus.. Abdomen nyamuk tertutup
oleh sisik–sisik yang kuat dan lebar mendatar.
Bagian posterior terdapat skutelum yang bentuknya membulat pada
Anophelinae dan berbentuk trilobus pada Culicinae. Abdomen berbentuk silindris dan
memanjang dengan 10 segmen. Hanya segmen 1 hingga 8 yang terlihat, sedangkan
segmen 9 dan 10 merupakan bagian yang dimodifikasi menjadi alat kelamin jantan
atau betina. Abdomen yang memiliki bentuk ramping ini akan berubah seperti bentuk
balon berwarna merah setelah betina menghisap darah (Service, 1986). Bagian
posterior abdomen memiliki 2 sersi kaudal yang berukuran kecil pada nyamuk betina,
sedangkan yang jantan memiliki organ seksual yang disebut hipopigium (Hadi &
Koesharto, 2006).
Nyamuk Armigeres memiliki sifon larva pendek, tanpa gigi pekten, ruas
anal tanpa keping ventral, pelana berkembang tidak sempurna, ruas abdomen 1-IV
atau II-IV tanpa spikula, sisik sisir sederhana (10-11 buah). Bentuk nyamuk dewasa
berukuran besar dengan warna coklat dan bercak sisik putih pada bagian dada
samping. Panjang palpus betina sekitar 1/4 panjang probosis, sebaliknya palpi
nyamuk jantan lebih panjang dari probosis; klipeus dengan sekelompok sisik putih.
Bagian atas postspirakular dilengkapi dengan sekumpululan sisik hitam dan sisik
putih dibagian bawahnya. Mesonotum ditutupi sisik warna coklat yang sempit
(Delfinado, 1966).
e. Siklus Hidup
Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dengan empat
tahap dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa (Gambar 1). Siklus
hidup dapat secara lengkap dilalui dalam waktu satu minggu atau lebih tergantung
temperatur, makanan, spesies, lingkungan, dan faktor lainnya. Telur, larva dan pupa
secara umum memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya.
Telur akan menetas setelah tiga hari pada suhu 300 C dan dapat mencapai
tujuh hari pada suhu 160 C. Larva nyamuk biasanya terdapat dalam berbagai tempat
akuatik seperti kolam, wadah-wadah buatan, lubang-lubang pohon dan pada genangan
lainnya). Larva terdiri atas 3 bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen. Tubuh larva
tertutup oleh rambut–rambut keras yang panjang (tufts of bristles). Kepala larva lebar
dan datar, terdapat antena pada ujung anteriornya. Sepasang mata terdapat pada
bagian lateral yang dekat dengan posterior kepala, serta terdapat mulut pada bagian
anteroventral. Bagian mulut berbentuk seperti sikat yang pada beberapa spesies
berfungsi untuk mencengkram mangsanya. Bagian toraks larva lebih lebar daripada
bagian abdomen. Struktur dan jumlah rambut pada kepala dan toraks berfungsi dalam
identifikasi spesies. Abdomen berbentuk lebih panjang dan silindris serta terdiri dari 9
segmen (Hadi & Koesharto, 2006).
Larva nyamuk bersifat akuatik dan mengalami 4 kali pergantian kulit (instar)
yang selanjutnya akan menjadi pupa. Stadium larva sangat dipengaruhi oleh adanya
makanan dan suhu. Stadium larva berkisar selama 7 hari pada suhu 270 C. Stadium
larva dapat juga terjadi selama 4 – 8 hari pada suhu 280 C dengan pemberian ekstrak
hati dan vitamin B komplek (De Meillon, 1989). Pupa berbentuk oval dengan ujung
abdomen seperti ekor dan memiliki sepasang tabung udara. Stadium pupa
berlangsung 2-3 hari pada suhu normal, tetapi dapat diperpanjang hingga 10 hari pada
suhu rendah, bahkan pupa tidak berkembang pada suhu dibawah 100 C. Pada saat
menetas (eksklosi), kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan kegiatan bentuk
dewasa.
f. Peran sebagai Vektor Penyakit
Nyamuk armigeres dapat berperan sebagai vektor penyakit filariasis. Filariasis
(penyakit kaki gajah) adalah penyakit rnenular menahun yang disebabkan oleh cacing
filarial misalnya Brugia malayi. Brugia malayi dapat hidup di manusia maupun
hewan misalnya kucing dan kera namun pada hewan hanya sebagai hospes reservoar.
Brugia malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang. Pada saat nyamuk
menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria
akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melespaskan selubungnya,
kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak
di bagian dada. Setelah ± 3 hari mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi
larva stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm
dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh menjadi larva
stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-3000 µm x 15-30 µm
dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan
adanya gerakan. Hari ke 8-10 tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ±
1400 µm x 20 µm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan
gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Husada, 1990).
g. Pengendalian
Upaya pengendalian nyamuk sebagai serangga pengganggu dan vektor
penyakit sangat tergantung pada sifat–sifat nyamuk, perilaku manusia, serta kondisi
alam. Pada pengendalian nyamuk ada beberapa hal yang perlu dilakukan seperti
pemetaan jenis–jenis nyamuk yang berada di suatu daerah, pemonitoran populasi
nyamuk secara berkelanjutan, pengembangan program pengendalian nyamuk dengan
cara kimia maupun non kimia, dan penyuluhan kepada masyarakat (Hadi dan
Koesharto, 2006). Adapun prinsip dasar dalam pengendalian vektor adalah
pengendalian vektor harus menerapkan bermacam – macam cara pengendalian agar
vektor tetap berada pada garis batas yang tidak merugikan atau membahayakan.
Pengendalian merupakan suatu usaha untuk menekan serangga hama dari populasi
yang merugikan menjadi tidak menimbulkan masalah lagi (Sigit, 2006).
Pengendalian nyamuk secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pengendalian kimiawi dan pengendalian non kimiawi. Pengendalian kimiawi terhadap
nyamuk dilakukan dengan menggunakan insektisida. Insektisida berasal dari kata
insect, yang berarti serangga dan –cide yang berarti membunuh. Insektisida
mengendalikan serangga dengan cara mengganggu proses fisiologis tubuhnya.
Berdasarkan cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga (mode of entry),
insektisida disebut sebagai racun kontak, racun pencernaan, dan racun pernafasan.
Insektisida dikenal sebagai racun kontak apabila diaplikasikan akan bereaksi langsung
menembus integument serangga (kutikula), trakhea, atau kelenjar sensorik dan organ
lain yang berhubungan dengan kutikula. Insektisida dikenal sebagai racun perut
apabila masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Insektisida yang
masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pernafasan dikenal dengan racun
pernafasan. Berdasar cara kerjanya (mode of action) insektisida terbagi dalam lima
mekanisme, yaitu dengan mengganggu sistem saraf, penghambat produksi energy,
mengganggu sistem endokrin, penghambat produksi kutikula, dan mengganggu
keseimbangan air. Jenis insektisida yang sering digunakan antara lain piretroid,
inorganik, organoklorin, organofosfor, karbamat, neonikotinoid, pirol, avermektin,
fenilpirasol, mikrobial, organofluorin, fumigan, repelen, zat pengatur tumbuh
serangga, dan sinergis (Wirawan, 2006).
Untuk keberhasilan dan efektifitas penggunaan jenis insektisida tersebut maka
dilakukan formulasi insektisida. Bentuk formulasi di antaranya adalah Emulsifiable
concentrates, Suspension concentrate, Soluble liquid (mudah larut dalam air),
Wettable powder, Oil miscible concentrate, Ultra low volume, granul (untuk hama
berhabitat di tanah), umpan, Fumigan (untuk gudang), Capsule suspension, Aerosol,
penguap elektrik (Vaporizer, liquid vaporizer, mat vaporizer), antinyamuk bakar
(Mosquito coil), dan Lotion (Wirawan, 2006).
Pengendalian non kimiawi dilakukan dengan pengelolaan lingkungan
sehingga menjadi tidak sesuai lagi bagi perkembangan serangga tanpa menggunakan
bahan kimia. Berbagai upaya yang dapat dilakukan antara lain memodifikasi
lingkungan, manipulasi lingkungan, serta memanipulasi tempat tinggal atau
mengubah tingkah laku manusia. Modifikasi lingkungan merupakan kegiatan
mengubah fisik lingkungan secara permanen agar tempat perindukan nyamuk hilang.
Kegiatan yang sering dilakukan dalam modifikasi lingkungan adalah 3M (menutup,
menguras, dan menimbun) berbagai tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk.
Manipulasi lingkungan merupakan usaha menjadikan lingkungan tidak lagi
menguntungkan bagi nyamuk untuk sementara waktu. Contoh manipulasi lingkungan
adalah pengangkatan lumut dari laguna. Upaya manipulasi tempat tinggal dan
mengubah tingkah laku manusia dapat dilakukan dengan menempatkan kembali
penduduk yang berasal dari sumber perkembangbiakan nyamuk, perlindungan
perseorangan (personal protection), penyediaan fasilitas pembuangan air, sampah, dan
buangan lainnya.
Pengendalian non kimiawi untuk nyamuk dapat juga dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alami nyamuk atau dikenal dengan pengendalian hayati.
Pengendalian hayati memanfaatkan predator, patogen, atau parasit sebagai musuh
alaminya (Hadi & Koesharto, 2006). Pengendalian non-kimiawi dapat dibagi dalam
delapan jenis, yaitu sanitasi, intersepsi, eksklusi, pembersihan harborage, modifikasi
habitat, trapping, pemonitoran, dan penghisapan. Pengendalian dengan metode
nonkimiawi merupakan kegiatan pengendalian di luar pestisida yang bersifat
pencegahan dalam jangka panjang (Wirawan, 2006).
Tabanus sp
a. Signalement
Jenis sampel : Nyamuk
Lokasi Pengambilan : Mulyorejo
Tanggal Pengambilan : 31 Maret 2019
Tanggal Pengujian : 1 April 2019
b. Taksonomi
Phylum : Arthropoda
Sub Phylum : Uniramia
Class : Insekta
Ordo : Diptera
Family : Tabanidae
Genus : Tabanus
Species : Tabanus megalops, Tabanus rubidus
c. Hasil Pengamatan
Tabanus megalops
Tabanus rubidus
d. Morfologi
Lalat Tabanus merupakan ektoparasit yang memiliki tubuh besar dan kokoh,
berukuran 5-25 mm. T. rubidus biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan T. megalops. Bagian mulut terdiri atas probosis yang pendek
dengan maksila yang bekerja seperti pisau untuk merobek, serta bagian labrum-
epifarings dan hipofarings sebagai penusuk dan pengisap. Kalus pada lalat T.
megalops berwarna hitam memanjang tanpa ada celah pemisah, sedangkan kalus pada
T. rubidus berwarna hitam dan terpisah oleh celah. Sayapnya lebar tanpa sisik atau
bulu tetapi vena sangat jelas.
e. Siklus Hidup
Seperti lalat lainnya, siklus hidup dari telur menjadi dewasa melalui proses
metamorphosis sempurna dengan melalui tahap perkembangan larva dan pupa
sebelum menjadi dewasa. Tabanidae betina bertelur 100 sampai 1000 butir pada daun
tanaman seperti padi atau rumput dekat dengan tempat berair.Telur mempunyai warna
yang putih, krem, abu – abu, coklat kehitaman atau jingga, berbentuk seperti cerutu
dengan panjang 1-2,5 mm dan menetas menjadi larva dalam 5-14 hari tergantung pada
cuaca dan spesies lalat. Larva migrasi ke tanah yang lebih kering untuk menjadi pupa,
biasanya kurang dari 5 cm dari permukaan.
Stadium pupa berakhir 5 hari sampai 3 minggu tergantung dari jenisnya dan l
alat dewasa muncul melalui sebuah celah diselubung pupa, merangkak ke permukaan
tanah, membuka sayapnya dan siap untuk makan. Lalat jantan dewasa dan betina
biasanya menghisap polen atau nektar sebagai bahan makanan. Akan tetapi, lalat
betina dewasa bersifat penghisap darah atau hematophagous). Betina membutuhkan
darah segar untuk perkembangan oogenesisnya atau menjalankan siklus
gonotropiknya. Larva Tabanidae hidup di tempat yang basah dan mengambil nafas
menggunakan posterior shiponnya. Larva Tabanus biasanya memakan serangga lain,
krustasea kecil, cacing, atau larva dari jenis Tabanidae itu sendiri. Selain itu, warna
gelap, bentuk silinder horizotal, atau warna tunggal sangat disukai oleh Tabanidae
(Chandra et al. 2015).
f. Peran sebagai Vektor Penyakit
Tabanus mampu menularkan protozoa darah yaitu Trypanosoma yang
menyebabkan penyakit Surra. Keberadaan lalat yang meningkat pada musim hujan
membuat kejadian penyakit Surra meningkat. Penularan juga dipengaruhi oleh tingkat
parasitemia, semakin banyak kandungan parasit dalam darah membuat peluang
penularan meningkat. Kawanan ternak yang padat atau ternak yang dikandangkan
dapat meningkatkan peluang penularan. Penularan oleh lalat tabanidae terutama
karena kebiasaan makan lalat yang sifatnya interrupted (makan secara sedikit-sedikit,
tidak langsung hingga kenyang) dan struktur bagian mulutnya yang sangat sesuai
(teradaptasi) dan persebarannya lalat yang luas saat musim hujan membuat prevalensi
penyakit Surra menjadi tinggi. Lalat Tabanidae mengiris kulit ternak dengan
sungutnya, lalu lalat mengitari tetes darah yang merembes dengan cairan jaringan
ikat. Kepadatan trypanosoma dalam darah kapiler, limfonodus, dan jaringan ikat pada
kulit dapat dijadikan pertanda bahwa pada hewan tersebut telah terjadi suatu infeksi.
Parasit Trypanosoma tetap bertahan hidup dalam saluran cerna lalat Tabanidae dalam
delapan jam. Semakin cepat proses interrupted feeding oleh lalat pada hewan sehat
setelah lalat mendapat infeksi dari hewan sakit, peluang penularan penyakit Surra
akan semakin besar.
Pada sapi dan kerbau, kejadian surra bisa berbentuk akut, per-akut, subakut,
atau kronik. Dalam bentuk akut, hewan penderita terlihat berjalan terhuyung-huyung,
melangkah melingkar, mata melotot, demam tinggi/pireksia, dan mati dalam 6-12
jam. Surra bentuk per-akut memperlihatkan gejala saraf dan hewan penderita yang
mati umumnya setelah memperlihatkan gejala klinik (konvulsi, ataksia, mendadak
buta, gila, dan gerakan berputar-putar). Dalam bentuk perakut, gejala saraf bisa
dikelirukan dengan anthraks, ketosis bentuk saraf, kista atau abses dalam otak.
Penyebab kematian pada hewan disebabkan oleh penyumbatan pembuluh
darah kecil yang mendorong terjadinya anoksia dan kematian Infeksi tripanosomiasis
yang sifatnya kronis/subakut pada mulanya terjadi peningkatan suhu tubuh, dan
demam yang terjadi sifatnya intermittent, depresi dan tidak bersemangat, gerakan
memutar-mutar, produksi susu mendadak turun, limfonodus preskapularis mengalami
pembesaran, konjungtivitis, dan keluar leleran kental dari mata. Anemia, bobot badan
yang menurun, kelemahan, emasiasi, sendi fetlock yang membengkok, dan dapat pula
menimbulkan gangguan reproduksi, seperti tertundanya birahi, kluron (abortus), dan
janin dilahirkan dalam keadaan mati (stillbirth). Surra bentuk subakut atau kronik, di
samping menunjukkan tanda-tanda kekurusan/emasiasi juga disertai dengan
kekeruhan/opasitas kornea mata.
Penyakit Surra menunjukkan gejala klinis berupa suhu tubuh meningkat,
emasiasi, anemia dan kematian pada hewan dapat terjadi dalam tempo 24 jam. Infeksi
Trypanosoma secara buatan pada sapi dengan Trypanosoma virulensi tinggi,
menyebabkan demam dengan suhu tubuh 39ºC, anemia, serta menurunnya jumlah
leukosit dalam darah. Namun, sapi yang terinfeksi Trypanosoma yang virulensi
rendah umumnya tidak menunjukkan gejala klinis tersebut. Pada kebanyakan kejadian
penyakt surra, tidak ada kaitan antara demam tinggi/pireksia dengan parasitemia
walaupun kadang-kadang kejadian tersebut berhubungan.
g. Pengendalian
Lalat tabanidae diketahui peka terhadap kerja insektisida dan produk-produk
lainnya. Pemanfaatan insektisida kini adalah dengan memberikannya pada
(permukaan) tubuh hewan, harapannya lalat yang hinggap pada ternak tersebut akan
terbunuh. insektisida organochlorine, organophosphates, atau pestisida seperti
pyrethroid sintetis untuk mengendalikan lalat perlu dilakukan. Ramuan sintetis
pyrethroid digunakan dengan melakukan semprotan/spraying, merendam/dipping,
atau diberikan dengan cara menuangkan insektisida pada punggung/pour-on ternak.
Ramuan obat serangga yang diberikan secar pour-on ini memang lebih mahal
harganya, tapi pemanfaatannya tidak lagi memerlukan pompa, spray-race, dan bak
perendam ternak/dip. Metode pemberian insektisida seperti ini dapat mengurangi
pencemaran lingkungan dibandingkan dengan spraying. Cara lain adalah penggunaan
perangkap insekta atau pemanfaatan suatu tabir yang menjadi target serangga untuk
hinggap yang telah diberi insektisida (Sivajothi et al. 2014).
DAFTAR PUSTAKA
.
Areskog, M., Ljungstrom, B., and Hoglund, J. 2013. Limited efficacy of pour-on anthelmintic
treatment of cattle under Swedish field condition. Int J Parasitol 3: 129 – 134.
Chandra k, Halder S, Raha A, Parui P, Banerjee D. 2015. Tabanid flies (Insecta: Diptera) from
Chhattisgarh, India. J. Threat. Taxa. 7(10): 7720–7725.
Delfinado, 1966. The culicine mosquitoes of the Philippines, tribe Culicini
(Diptera:Culicidae). Mem.Amer.Ent. Inst. 7, 252 pp.
Foreyt, W.J., 2001. Veterinary Parasitology, Reference Manual, 5th ed. Iowa State University
Press. Blackwell Publishing.
Husada, 1990. Faktor Resiko Filariasis di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi,
Tesis, Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi
Lapangan, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Kusnoto, Sri Subekti Bendryman, Setiawan Koesdarto, Sri Mumpuni Sosiawati. 2011. Ilmu
Penyakit Helmint. Airlangga University Press. Surabaya.
Natadisastra, Djaaenuddin., & Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Roberts LS, Janovy J. Gerald D. Schmidt & Larry S. Robert’s Foundations of
Parasitology.7th ed. New York. 2005 : 412 – 5.
Sigit SH. 2006. Masalah hama permukiman dan falsafah dasar pengendaliannya. Di dalam:
Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Singgih SH,
Upik KS, editor. Hal 1-13. Bogor (ID): IPB Press.
Sivajothi S, Rayulu VC, Reddy BS. 2014. Detection of Trypanosoma evansi by different
methods in bovinesin Andhra Pradesh. J Adv Parasitol 1(3): 35-38.
Taylor, MA, Coop, RL, and Wall, RL 2015. Veterinary Parasitology 4th Edition. Wiley –
Blackwell
Waikagul J, et al. Medical Helminthology. Bangkok. Department Helminthology Faculty of
Tropical Medicine Mahidol University. 2002 :15 – 8.
Wirawan IA. 2006. Insektisida Permukiman. (Dalam) SH Sigit dan UK Hadi. (Ed) Hal. 315 -
433. Hama Pemukiman Indonesia, Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian
Pengendalian Hama Pemukiman. FKHIPB. Bogor.
Vercruysse, J., Charlier, J., Dorny, P., and Claerebout, E. 2006. Diagnosis of helminth
infections in cattle : World Buiatrics Congress.