You are on page 1of 31

`

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. L.L DENGAN


FRAKTUR FEMUR (S) POST ORIF MALUNION
DI RUANGAN IRINA A BAWAH RSUP
PROF DR R.D KANDOU
MANADO

OLEH :

MUTHMAINNA LAKIBU

1804028

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
MANADO
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi
a. Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang normal yang terjadi
karena adanya tekanan yang besar, dimana tulang tidak dapat menahan
tekanan tersebut dan disertai dengan perlukaan jaringan sekitarnya
(Brunner dan Suddrat).
b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh cedera (Masjoer 2000)
c. Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bias
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan dll) dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki laki dewasa. Patah pada daerah ini menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak menyebabkan penderitaan (FKUI,1995 :
543)
2. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkanoleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan
kekuatan langsungan, tulang dapat pada tempat yang terkena dan jaringan
lunak juga pasti akan ikut rusak serta kerusakan pada kulit.
b. Akibat kelelahan atau tekanan.
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon
tentara yang berbaris atau berjalan dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang sangat rapuh.
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atu
kerusakan jaringan sekitarnya.

b. Bengkak
Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.
c. Memar
Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur,nyeri atau spasme otot,
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
f. Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi saat tulang digerakkan.
h. Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang (Black, J.M, et al,
1993).

Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena


kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau
putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang
seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang menurun, tulang
rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan kedua
penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang
dapat merobek periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut
terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila
digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade I
menyebabkan kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang disertai dengan
kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada
kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah.

Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat


menimbulkan nyeri yang hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan
jaringan yang luas pada kulit otot periosteum dan sumsum tulang yang
menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat masuk ke dalam
pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian dapat
menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai
organ-organ vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat
menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam.
Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi.
Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan,
mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf
sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan.
Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok
hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen
yang hilang kembali ke posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Selain itu bila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan
maka akan lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan
sesuai letak anatominya dengan gips.

Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya


kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus
tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi fraktur :
1. Faktor Ekstrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2. Faktor Intrinsik

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
5. Klasifikasi fraktur Femur
a. Fraktur collum femur:
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun
disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi
yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :

1) Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)


2) Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
b. Fraktur subtrochanter femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot –
otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh
trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan
stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi. fraktur dimana garis
patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa
klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah
klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
1) tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
2) tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor
3) tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor
c. Fraktur batang femur (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur
batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Dibagi menjadi :
– tertutup
– terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan
antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat,
yaitu ;
1) Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka
kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam
menembus keluar.
2) Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena
benturan dari luar.
3) Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan
lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
d. Fraktur batang femur (anak – anak)
e. Fraktur supracondyler femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot –
otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh
trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan
stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
f. Fraktur intercondylair
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
g. Fraktur condyler femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan
adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :

1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul


dan Melalui kepala femur (capital fraktur)
a. Hanya di bawah kepala femur
b. Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.
6. Gambaran Klinis
Bagian paha yang patah lebih pendek dan lebih besar dibanding dengan
normal serta fragmen distal dalam posisi eksorotasi dan aduksi karena empat
penyebab:
1) Tanpa stabilitas longitudinal femur, otot yang melekat pada fragmen
atas dan bawah berkontraksi dan paha memendek, yang menyebabkan
bagian paha yang patah membengkak.
2) Aduktor melekat pada fragmen distal dan abduktor pada fragmen atas.
Fraktur memisahkan dua kelompok otot tersebut, yang selanjutnya
bekerja tanpa ada aksi antagonis.
3) Beban berat kaki memutarkan fragmen distal ke rotasi eksterna.
4) Femur dikelilingi oleh otot yang mengalami laserasi oleh ujung tulang
fraktur yang tajam dan paha terisi dengan darah, sehingga terjadi
pembengkakan (1,2,3).
Selain itu, adapun tanda dan gejalanya adalah :
a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
c. Rotasi luar dari kaki lebih pendek
d. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi
berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka,
deformitas.
7. Komplikasi
Menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya ditemukan antara
lain :

1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai
persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna
akibat cedera atau tindakan pembedahan.
9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :

1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :

a. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang


membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
c. Pemberian antibiotika.
d. Debridement dan irigasi sempurna.
e. Stabilisasi.
f. Penutup luka.
g. Rehabilitasi.
h. Life Saving
i. Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat
lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk
terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat
yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and
circulation.
j. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi
masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu
penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden
periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah tulang
terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas
penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
k. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.
l. Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang
mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara
mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik
dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
m. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi
fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat
patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2
dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer.
Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini
harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal dari
rahabilitasi penderita. (Pedoman diagnosis dan terapi, UPF, 1994:
133)
2. Seluruh Fraktur
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur
(setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).

Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan


untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya
dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.

Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus


dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.

Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup


dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,


sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.

Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek


reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme
otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur
dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi


terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat
ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi
fragmen tulang.

c. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and
external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang
baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi
fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka
dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa
latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan
utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan
tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik
organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara
fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan
gerakan).
d. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and
internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila
dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa
dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler,
pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat,
bila diperlukan fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi
terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external
fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan
lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada
politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada
daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau
pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai
defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan
malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang
digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin,
Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk
fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar
uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan
fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi
yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan
irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu,
memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status
neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur.
Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi
fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi
estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi
antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur
pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi
protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan
setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang
dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up
ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis
pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan
osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk
menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan
radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan
12 bulan sesudah operasi untuk melihat perkembangan fraktur. Selain
itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin.
e. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah
fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
f. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status
neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada
tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan
berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai
batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas
fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas
dan beban berat badan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Tn. L.L DENGAN
FRAKTUR FEMUR (S) POST ORIF MALUNION
DI RUANG IRINA A BAWAH RSUP
Prof. Dr. R.D KANDOU MANADO

Tanggal pengkajian : 09-04-2019 Tanggal MRS : 07-04-2019


Waktu pengkajian : 14.30 Ruangan : Irina F Jantung

A. IDENTIFIKASI
I. KLIEN
Nama : Tn. L.L
Tempat/tgl Lahir : Lembean, 09-01-2001 (18 tahun)
Jenis kelamin : laki –laki
Status perkawinan : belum menikah
Agama : Kristen Protestan
Bahasa : Indonesia/bahasa daerah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : mahasiswa
Alamat rumah : Kel.Sagerat ling.III, Kota Bitung

II. PENANGGUNG JAWAB


Nama : Marlin Lintong
Alamat : Kel.Sagerat ling.III, Kota Bitung
Hubungan dengan klien : ibu kandung

B. DATA MEDIK
I. Di kirim oleh ; UGD
II. Diagnosa Medik
- Saat masuk : Fraktur femur sinistra post orif malunion
- Saat penggkajian : Fraktur femur sinistra post orif malunion

C. KEADAAN UMUM

I. Keadaan Sakit : Klien mengatakan nyeri paha kiri dan sulit


beraktifitas. Terlihat skala nyeri 3, klien terlihat terpasang elastic verband,
dan terpasang IVFD Nacl

II.Tanda-tanda vital
a. Kesadaran
- Kualitatif : Compos mentis

- Kuantitatif :

Skala Coma Glasgow : Respon Motorik 6 jumlah

Respon Bicara 5 15

Respon Membuka Mata 4

b. Tekanan darah : 110/70mmHg


c. Suhu : 36°C
d. Nadi : 86x/menit
e. Pernapasan : 20x / menit

GENOGRAM

: laki-laki : Garis pernikahan

: Perempuan : Garis keturunan

: Laki-laki sudah meninggal : pasien

: Perempuan sudah meninggal : tinggal serumah


Ket : ayah klien mengatakan dalam keluarganya sebelumnya belum ada
yang pernah mengalami fraaktur femur. Tidak ada keluarga pasien yang
menderita penyakit genetic, menular atau alergi.

D. PENGKAJIAN POLA KESEHATAN


1. POLA PERSEPSI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
Riwayat penyakit yang pernah dialami :

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat maupun makanan, pasien juga tidak
pernah menderita penyakit hepatitis, TBC, dan lain-lain. Pasien tidak pernah
dirawat di rumah sakit sebelumnya.
a. Pasien peduli dan sadar akan kesehatan dirinya sendiri dan segera pergi
memeriksakan dirinya ke dokter jika merasakan gejala-gejala sakit.
b. Pasien sadar akan sakit yang dideritanya saat ini, pasien cukup mengetahui
tentang penyakitnya, bahwa dia menjelaskan apa itu fraktur, dan
etiologinya.
c. Pasien melakukan pemeriksaan terhadap kondisi frakturnya secara berkala
dan melakukan perawatan luka post operasi dengan perawat home-care di
rumahnya secara berkala. Asupan makanan pasien juga adekuat untuk
kesembuhan lukanya.
d. Bila pasien merasakan nyeri pada daerah post operasi frakturnya, pasien
meluruskan kakinya dan tidak banyak bergerak
e. Pasien tidak meminum obat-obatan/jamu, tidak meminum alkohol dan tidak
merokok. Pasien sebelum sakit rutin berolahraga namun saat sakit pasien
tidak pernah berolahraga karena kondisinya.

2. POLA NUTRISI METABOLIK


a. Data Subjektif
o Keadaan Sebelum Sakit : Keluarga klien mengatakan klien makan 3x
sehari, dengan menu nasi, ikan, sayur terkadang buah-buahan. Keluarga
Klien mengatakan porsi makan selalu dihabiskan.
o Keadaan Saat Sakit :
- Keadaan sakit saat ini tidak mempengaruhi pola makan dan minum pasien
- Pasien menyukai makanan yang agak asin dan pedas, tidak ada pantangan
makanan dan tidak memiliki alergi.
- Pasien tidak mengkonsumsi vitamin atau obat penambah nafsu makan,
tidak merasakan mual dan muntah maupun anoreksia, dan tidak ada
penurunan berat badan yang berarti.
- Pola minum pasien seperti biasa, pasien minum (air, susu, teh)

b. Data Objektif
o Observasi
- Klien terlihat lemah

Pemeriksaan Fisik

-
Keadaan rambut : berminyak
-
Hidrasi kulit : lembap
-
Hidung : normal
-
Rongga mulut : normal

3. POLA ELIMINASI
Keadaan sebelum sakit : klien mengatakan pola eliminasi klien normal

Keadaan Saat Sakit : Dalam memenuhi kebutuhan BAK nya, pasien akan BAK
jika sudah terasa sangat mendesak dikarenakan pergerakannya yang terbatas dan
susah, namun warna, bau dan jumlahnya normal. Pasien tidak mengalami nyeri
saat BAK maupun kesulitan posisi saat BAK.

4. POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN


- Klien mengatakan sulit bergerak karena keadaan kakinya yang fraktur
- Klien mengatakan tidak bisa beraktivitas normal seperti biasanya karena fraktur
tersebut
- Klien mengatakan kesulitan berpindah dari berdiri ke duduk
- Klien tampak lambat saat bergerak
- Klien tampak kesulitan membolak-balik posisi

Aktivitas harian :

 Makan : mandiri

 Mandi : mandiri/bantuuan orang

 Berpakaian : mandiri/bantuan orang

 Mobilisasi : bantuan orang lain

 Ambulasi : bantuan orang lain

 BAK : bantuan orang lain

 BAB : bantuan orang lain

5. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR


Keadaan sebeluum sakit : keluarga mengatakaan pola tidur klien normal

Keadaan setelah sakit : klien mengatakan sering terganggu tidurnya karena nyeri
post-op yang dirasakan. Saat dikaji, klien tiap harinya tidur selama 6-7 jam,
klien tidak terbiasa tidur siang. Klien tidak mengalami gangguan tidur dan klien
merasa nyaman saat bangun.

6. POLA KOGNITIF PERSEPTUAL


Keadaan setelah sakit :
a. Klien tidak mengalami keluhan yang berarti yang berkenaan dengan
kemampuan sensasi, baik penglihatan, pendengaran, penghidu, pengecap,
dan sensasi perabaan.
b. Klien tidak memakai alat bantu seperti kacamata atau alat bantu dengar.
c. Klien dapat mengingat, berbicara, dan memahami pesan yang diterima
dengan baik, dan dapat mengambil keputusan yang bersifat sederhana.
d. Klien mengeluh nyeri dengan persepsi sebagai berikut :
P (Paliatif) : Ketika digerakkan (ditekuk/diregangkan)
Q (Quality) : Ditusuk-tusuk
R (Regio) : Femur kanan
S (Skala/Severity): 3 (ringan)
T (Time) : Hilang-timbul

7. POLA PERSEPSI DAN KONSEP DIRI


Keadaan setelah sakit :
a. Klien merasa sakit yang dideritanya sebagai sebuah ujian dalam hidupnya
dan klien berharap setelah menjalani perawatan klien dapat segera pulih dan
menjalani aktivitas seperti biasanya.
b. Perasaan klien saat dikaji yaitu pasien merasa kurang nyaman dengan
kondisinya, karena klien tidak dapat bergerak secara bebas dan nyeri yang
dirasakannya.
c. Konsep diri klien :
1) Klien merasa kondisi sakitnya saat ini membuat dirinya kurang percaya
diri
2) Klien tidak memiliki masalah dengan identitas dirinya sebelum dan
sesudah kondisi sakitnya.
3) Selama kondisi sakitnya, klien tidak mengalami perubahan peran.
4) Harapan klien saat dikaji yaitu klien ingin segera kakinya bisa normal
kembali dan dapat berjalan seperti sedia kala.

8. POLA PERAN DAN HUBUNGAN DENGAN SESAMA (KOPING)


- Klien mampu berkomunikasi dengan relevan, jelas, mampu mengekspresikan dan
mampu mengerti orang lain
- Klien paling dekat dengan orang tuanya dan orang tuanya adalah orang yang
paling berpengaruh bagi klien
- Bila memiliki masalah, klien selalu meminta bantuan kepada ibu atau ayahnya.
- Klien tidak memiliki kesulitan hubungan dalam keluarga.

9. POLA REPRODUKSI – SEKSUALITAS


Keadaan sebelum sakit :
 Klien adalah seorang yang belum menikah
Keadaan setelah sakit :
 Klien belum menikah, klien mengerti tentang kondisi dan fungsi seksualnya.

10. POLA MEKANISME KOPING DAN TOLERANSI TERHADAP SRESS


Keadaan setelah sakit :
 Dalam mengambil keputusan, klien selalu meminta pendapat kepada orang
tuanya atau dengan cara musyawarah dalam keluarga.
 Bila menghadapi suatu masalah, klien selalu bercerita dengan orang tuanya
atau dengan teman terdekatnya.
 Upaya klien dalam mengatasi masalahnya yaitu klien berusaha untuk
mencapai kesembuhannya dengan melakukan checking secara rutin dan tidak
menentang apa yang diinstruksikan dokter atau perawat.

11. POLA SISTEM NILAI KEPERCAYAAN


Keadaan sebelum sakit : keluarga mengatakan klien termasuk oraang yang rajin
beribadah di gereja dan ikut kegiatan keagamaan
Keadaan setelah sakit :
 Klien selalu berdoa kepada tuhan untuk kesembuhannya
 Keluarga sangat mengharapkan kesembuhan dan mereka pasrah kepada
Tuhan.
HASIL LABORATORIUM KLINIK

HEMATOLOGI NILAI RUJUKAN HASIL


Leukosit 4,0-10 10,3
Eritrosit 4,70-6,10 4,89
Hemoglobin 13,0-6,5 11,6
Hematokrit 39,0-51,0 35,6
Trombosit 150-450 642
MCH 27,0-5,0 23,7
MCHC 30,0-40,0 32,6
MCV 80,0-100,0 72,8
KIMIA KLINIK NILAI RUJUKAN HASIL
Ureum darah 10-40 28
Creatinin darah 0,5-1,5 0,8
Gula darah sewaktu 70-140 79
Chloride darah 98,0-109,0 95,7
Kalium darah 3,50-5,30 4,03
Natrium darah 135-153 135

TERAPI PENGOBATAN
NAMA OBAT DOSIS
Ranitidin 50 mg
Ceprofloxacn 400 mg
Cetorolac 30 mg
Nacl 0,9% 500 ml

E. ANALISA DATA
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
Data subyektif :

- Klien mengatakan
terasa nyeri di paha
Fraktur femur
1. kiri Nyeri
Pergeseran fragmen tulang
Nyeri
Data obyektif
- Skala nyeri 2

2. Data subyektif Hambatan


mobilitas fisik
- Klien mengatakan sulit
bergerak karena fraktur
pada femur kanannya
- Klien mengatakan tidak
bisa beraktivitas normal
seperti biasanya karena
fraktur tersebut pergeseran fragmen tulang
Data obyektif deformitas
gang. Fungsi muskuloskeletal
- pasien menderita fraktur Hambatan mobilitas fisik
os. Femur sinistra
- Klien tampak kesulitan
saat bergerak atau
berpindah
- Klien tampak lambat saat
bergerak
- Klien tampak kesulitan
membolak-balik posisi

Data subyektif

Pasien mengatakan terdapat diskontinuitas tulang femur


luka bekas operasi pada
tungkainya
perubahan jaringan sekitar Kerusakan
3 Data obyektif integritas kulit
laserasi kulit
Tampak adanya luka post
orif kerusakan intregitas kulit

F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d pergeserann fagmen tulang

2. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan fungsi musculoskeletal

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post


pembedahan
G. INTERVENSI

Diagnosa
No Keperawatan Tujuan Dan Criteria Hasil Intervensi

1 Nyeri akut b/d NOC NIC


pergeserann fagmen 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
tulang 2. Kontrol nyeri
- Lakukan pengkajian nyeri secara
3. Tingkat kenyamanan
komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
Kriteria Hasil :
- Mampu mengontrol nyeri durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
(tahu penyebab nyeri, mampu presipitasi
menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk - Observasi reaksi nonverbal dari
mengurangi nyeri, mencari ketidaknyamanan
bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri - Kurangi faktor presipitasi nyeri
berkurang dengan - Ajarkan tentang teknik non farmakologi
menggunakan manajemen
nyeri - Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
- Mampu mengenali nyeri - Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
(skala, intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri) dan tindakan nyeri tidak berhasil
- Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
- Tanda vital dalam rentang
normal
2 Hambatan mobilitas NOC NIC
fisik b/d gangguan 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan
fungsi 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan dorongan pada klien
3. Perawatan diri: ADL untuk melakukan program latihan secara rutin
muskuloskeletal
Latihan untuk ambulasi
Kriteria Hasil : - Ajarkan teknik ambulasi & perpindahan yang
- Klien meningkat dalam aman kepada klien dan keluarga.
aktivitas fisik - Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk,
- Mengerti tujuan dari kursi roda, dan walker
peningkatan mobilitas - Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri
- Memverbalisasikan perasaan dalam batasan yang aman.
dalam meningkatkan Latihan mobilisasi dengan kursi roda
kekuatan dan kemampuan - Ajarkan pada klien & keluarga tentang
berpindah cara pemakaian kursi roda & cara berpindah
- Memperagakan penggunaan dari kursi roda ke tempat tidur atau
alat Bantu untuk mobilisasi sebaliknya.
(walker) - Dorong klien melakukan latihan untuk
memperkuat anggota tubuh
- Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara
penggunaan kursi roda
3 Kerusakan NOC :
integritas kulit Intergritas jaringan: kulit and 1. Tidak ada tekanan pada luka
berhubungan membran mukus 2. Mencegah terbentuknya luka yang baru
dengan trauma Kriteria Hasil : 3. Terhindar dari infeksi
jaringan post 1. Integritas kulit yang baik 4. Mencegah terjadinya dekubitus
pembedahan bisa dipertahankan 5. Mengetahui perkembangan mobilisasi
2. Melaporkan adanya pasien
gangguan sensasi atau nyeri 6. Mengetahui nutrisi yang dikonsumsi pasien
pada daerah kulit yang 7. Pasien tetap terjaga perawatan dirinya
mengalami gangguan
3. Menunjukkan pemahaman
dalam proses perbaikan kulit
dan mencegah terjadinya
sedera berulang
4. Mampumelindungi kulit
dan mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
H. IMPLEMENTASI

No Hari/tanggal Jam Implementtasi


1 Selasa, 15.20 Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
09 april 2019
16.05 - Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Menanyakan nutrisi apa saja yang di konsumsi klien
- Menjaga perawatan diri pasien
D/S - Mengajarkan pada pasien agar menghindari tekanan
pada luka

17.00 Mengajarkan tehnik ambulasi dan perpindahan yang


nyaman kepada klien

18.15 Melakukan Injeksi obat anti nyeri

18.30 - Mendorong klien melakukan latihan untuk


memperkuat anggota tubuh
- Menjaga lingkungan sekitar klie tetap bersih dan steril

19.30 Mengevaluasi keefektifan control nyeri


Mengevaluasi perkembangan mobilisasi pasien

2 Rabu, 20.15 - Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif


10 april - Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
2019 - Mengajarkan tehnik ambulasi dan perpindahan yang
nyaman kepada klien
- Mendorong klien melakukan latihan untuk memperkuat
anggota tubuh
D/M - Mengajarkan pada pasien agar menghindari tekanan
pada luka

06.05 - Melakukan injeksi obat anti nyeri


- Menjaga lingkungan sekitar klie tetap bersih dan steril

07.00 Mengevaluasi keefektifan control nyeri


Mengevaluasi perkembangan mobilisasi pasien

3 Jumat 08.20 - Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif


12 april - Mengajarkan kepada pasien agar mmengghindadri
2019 tekanan pada luka
- Menjaga lingkungan sekitar klie tetap bersih dan steril
D/P
10.15 - Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
- Menanyakan nutrisi apa saja yang di konsumsi klien
- Menjaga perawatan diri pasien

11.00 Mengajarkan tehnik ambulasi dan perpindahan yang


nyaman kepada klien

Mendorong klien melakukan latihan untuk memperkuat


anggota tubuh

13.05 Mengevaluasi keefektifan control nyeri


Mengevaluasi perkembangan mobilisasi pasien
I. EVALUASI
HARI/
NO EVALUASI
TANGGAL
S - Pasien mengatakan nyeri paha kiri dan
sulit beraktivitas
- Pasien mengatakan akan melakukaan
latihan kekuatan secara rutin
- Pasien mengatakan sudah mengerti
tehnik ambulasi dan perpindahan yang
Selasa, aman
1
09 april 2019 - Pasien mengatakan akan menghindari
tekanan pada luka
O Keesadaran : compos mentis
GCS : 15
Skala nyeri : 3
A Masalah teratasi sebagian
P Lanjutkan intervensi
Rabu, S - Pasien mengatakan nyeri paha kiri daann
10 april 2019 sulit beraktivitas
- Pasien mengatakan akan melakukaan
latihan kekuatan secara rutin
- Pasien mengatakan sudah mengerti
tehnik ambulasi dan perpindahan yang
aman
- Pasien mengatakan akan menghindari
2 tekanan pada luka
O Kesadaran : compos mentis
GCS : 15
Skala nyeri : 3
A Masalah teratasi sebagian

P Lanjutkan intervensi

- -Pasien mengatakan nyeri paha kiri dan


sulit beraktivitas
- Pasien mengatakan akan melakukaan
latihan kekuatan secara rutin
S - Pasien mengatakan sudah mengerti
tehnik ambulasi dan perpindahan yang
Jumat,
3 aman
12 april 2019
- Pasien mengatakan akan menghindari
tekanan pada luka
Keesadaran : compos mentis
O GCS : 15
Skala nyeri : 3
A Masalah teratasi sebagian
P Lanjutkan intervensi

You might also like