Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai
tindakan yang paling berat yaitu pembedahan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gambar 2.1. Prostat Normal dengan Pembesaran Prostat (Paulsen & Waschke,
2011)
3
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut
beberapa ahli adalah :
2.2 Epidemiologi
4
(RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur
penderita berusia 66,61 tahun (IAUI, 2015).
5
Gambar 2.2. Anatomi Pelvis dan Prostat (Paulsen & Waschke, 2011)
6
Gambar 2.3. Zona pada kelenjar prostat yang normal (McAnich & Lue, 2011).
7
selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan
cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulas (Guyton, 2012).
2.4 Histologi
8
glandula prostat individual dengan berbagai ukuran dan bentuk. Epithelium
glandular bervariasi dari simpleks cuboid atau collumnar hingga
pseudostratifiatium. Pada lansia, akan terjadi presipitasi materi sekresi
membentuk concretio prostatica (Eroschenko, 2014).
Gambar 2.4 : Prostate gland: glandular acini and prostatic concretions. Stain:
hematoxylin and eosin. Medium magnification (Eroschenko, 2014).
Gambar 2.5. Prostate gland: prostatic glands with prostatic concretions. Stain:
Masson’s trichrome (Eroschenko, 2014).
9
2.5 Etiologi
Gambaran histopatologi dari BPH yaitu adanya pembesaran dari epitel dan
sel stroma pada area periuretral dari prostat. Namun, etiologi dari molekuler yang
berperan dalam proses hiperplasi prostat belum diketahui secara pasti. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah
(Purnomo, 2011).
1. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel kelnjar prostat. DHT dihasilkan dari
testosteron yang terdapat di dalam prostat dengan bantuan enzim 5α-
reduktase. Pada berbagai penelitian, dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya
pada BPH aktivitas enzim 5α- reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
2. Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah
kematian sel-sel prostat (apoptosis). Walaupun rangsangan testosteron
untuk membentuk sl-sel baru menurun, namun sel-sel prostat yang telah
ada memiliki umur yang panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan
sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Sel-sel stroma
10
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis
suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel itu sendiri
secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar
prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang
selanjutnya sel-sel yang akan mengalami apoptosis difagositosis oleh sel-
sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi
sel dengan kematian sel. Apoptosis terjadi akibat berkurangnya jumlah
sel-sel prostat sehingga menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat. Namun, sampai sekarang belum ada yang dapat
menerangkan secara pasti faktor-faktor yang dapat menghambat proses
apoptosis. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat,
sedangkan growth factor berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori stem sel
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu stem sel yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi dengan sangat ekstensif.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH di postulasikan sebagai
ketidaktepatan aktivitas stem sel sehingga terjadi produksi yang
berlebihan pada sel stroma maupun sel epitel.
2.6 Patologi
11
akan paling menonjol di regio dalam prostat (zona sentral dan transisional). Nodus
bisa berkarakteristik solid maupun rongga kistik (karena dilatasi elemen kelenjar
secara histologis). Uretra akan tertekan oleh nodus hiperplastik sehingga celah
menjadi sempit. Pada sebagian kasus, hiperplasia kelenjar dan stroma yang ada
tepat di bawah epitel uretra pars prostatika proksimal dapat menonjol ke dalam
lumen vesica urinaria sebagai massa pedunkulasi/bertangkai sehingga terbentuk
“katup bola” atau ball valve yang akan menyebabkan obstruksi pada uretra
(Roehrborn, 2008).
12
Gambar 2.7 Gambaran histologi prostat yang hiperplasi (AUA, 2017).
2.7 Patofisiologi
13
sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatimus (Purnomo,2012).
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal
(Purnomo, 2012).
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi
juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul
prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut
simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Purnomo, 2012).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel.
Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada
BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam
hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan
tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi
prostat (Purnomo, 2012).
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi:
• Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu;
• Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu,
atau pembedahan pada saluran kemih);
14
• Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual;
• Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih.
(IAUI, 2015).
Gejala yang paling khas dari BPH adalah adanya keluhan LUTS (Lower
Urinary Tract Symptoms ). LUTS terbagi menjadi 2 yaitu, obstruktif dan iritatif.
Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah (loss of force),
pancaran BAK terputus-putus (intermitency), tidak tuntas saat selesai berkemih
(sense of residual urine), rasa ingin BAK lagi sesudah BAK (double voiding) dan
keluarnya sisa BAK pada akhir berkemih (terminal dribbling). Hal ini terjadi
karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritatif adalah frekuensi
BAK yang tidak normal (polakisuria), terbangun di tengah malam karena sering
BAK (nocturia), sulit menahan BAK (urgency), dan rasa sakit waktu BAK
(disuria), kadang juga terjadi BAK berdarah (hematuria). Untuk menilai tingkat
keparahan dari keluhan pada saluran kemih bawah, para ahli urologi membuat
sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
Sistem skoring ini disebut IPSS (International Prostatic Symptom Score)
(Purnomo, 2012).
IPSS adalah kuisioner singkat yang dapat diisi sendiri oleh pasien serta
terdiri atas 7 pertanyaan gejala yang berupa 3 pertanyaan mengenai storage
symptoms dan 4 pertanyaan mengenai voiding symptoms serta 1 pertanyaan
tambahan tentang kualitas hidup. Berdasarkan total nilai dari seluruh pertanyaan,
tingkat keparahan gejala dapat dibagi menjadi 3 yaitu, ringan apabila pasien
mempunyai IPSS ≤ 7, sedang apabila pasien mempunyai nilai IPSS 8 – 19 dan
berat apabila nilai IPSS mencapai 20 – 35. Dengan adanya pembagian tersebut,
opsi terapi dapat ditawarkan kepada pasien sesuai dengan tingkat keparahan dan
kualitas hidupnya. Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS
terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau
QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban. (IAUI, 2010; Purnomo,
2012).
15
Tabel 2.1 International Prostatic Symptom Score
16
Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yaitu
pemeriksaan:
Status Urologis
• Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi (IAUI, 2015).
• Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk
menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi (IAUI, 2015).
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra
simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu
menetes yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
Adakah asimetri
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih
dapat diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
17
Gambar 2.9. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal. Pemeriksaan fisik apabila sudah
terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal
dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba
apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa
supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus
mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna
harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain
yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,
condiloma di daerah meatus.
18
Tabel 2.2 Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis
Pemeriksaan Penunjang
Setelah pemeriksaan fisik dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang antara
lain (IAUI, 2015; Purnomo, 2012) :
1. Laboratorium
- Urinalisis
19
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria
untuk mencari kemungkinan terjadinya proses infeksi atau inflamasi pada
saluran kemih. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya.
Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan
kultur urine untuk mengetahui kuman yang menyebabkan infeksi.
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan
cancer specific. 7 Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin
tua. 8 Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
20
Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior daripada
pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat.
Oleh karena itu, pada usia di atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada
kelompok dengan risiko tinggi) pemeriksaan PSA menjadi sangat penting
guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. Apabila kadar PSA
>4 ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien.
2. Uroflowmetri
21
Angka normal dari pancaran kemih rata-rata 10-12 mL/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 mL/ detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun
antara 6-8 mL/detik, sedangkan pancaran maksimalnya menjadi 15 mL/detik atau
kurang. Kelemahan detrusor dan ostruksi infravesikal tidak dapat dibedakan
dengan pengukuran pancaran urin.
3. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-rata
12 mL. Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder scan
atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat
dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan cedera
uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia. Peningkatan volume residu urine
dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan
kontraksi otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan awal
berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan volume
22
residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko terjadinya retensi
urine.
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidoureter atau hidronefrosis, (2) memperkirakan
besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter disebelah distal yang
berbentuk seperti mata kail atau hooked fish, dan (3) penyulit yang terjadi pada
buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan
PIV ini sekarang tidak direkomendasikan pada BPH.
23
Gambar 2.12. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia
24
seseorang dengan BPH. Riwayat penggunaan kateter, uretritis, trauma harus
dieksklusi untuk menegakkan diagnosis. Hematuria dan nyeri umumnya terjadi
pada vesikolithiasis. Karsinoma prostat dapat terdeteksi dari adanya peningkatan
PSA. Infeksi saluran kemih dapat menyerupai keluhan pada BPH, hal ini dapat
diidentifikasi dengan urinalisis, meskipun demikian infeksi saluran kemih bisa
terjadi sebagai komplikasi dari BPH. Pasien dengan neurogenic bladderdapat
memiliki keluhan yang mirip dengan BPH namun memiliki riwayat penyakit
neurologis, stroke, diabetes melitus atau trauma tulang belakang. Pemeriksaan
dapat menunjukkan adanya tonus sfingter ani yang melemah atau
bulbocavernosus reflex (McAnich & Lue, 2013).
25
kelainan yang menyumbatkan uretra
uretralitiasis
uretritis akut atau kronik
striktur uretra
Prostatitis akut atau kronis
2.10 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihan terapi pada BPH yaitu sebagai
berikut (IAUI, 2015; Purnomo, 2012).
26
mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya:
- Tidak banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam,
- Mengurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan
iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat),
- Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
- Tidak menahan kencing terlalu lama.
- Penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume
residu urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk
memilih terapi yang lain (IAUI, 2015; Purnomo, 2012).
1) Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7.
Jenis obat yang digunakan adalah (IAUI, 2015; Purnomo, 2012):
a) α1-blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung
kemih dan uretra. Beberapa obat α1- blocker yang tersedia, yaitu
terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan
sekali sehari.
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih
hingga 30-45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-
30%. Tetapi obat α1-blocker tidak mengurangi volume prostat maupun
risiko retensi urine dalam jangka panjang. Masing-masing α1-blocker
mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang
berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali
27
menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang
dapat terjadi adalah ejakulasi retrograd. Salah satu komplikasi yang
harus diperhatikan adalah intraoperative floppy iris syndrome (IFIS)
pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan kepada pasien
b) 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses
apoptosis sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat
hingga 20 – 30%. 5a-reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar
PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya sehingga perlu
diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2
jenis obat 5α-reductase inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH,
yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau
dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride
digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat
terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul
bercak-bercak kemerahan di kulit
c) Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos
kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang
terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL,
solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate.
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala
storage LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3
ng/ml (volume prostat kecil) menunjukkan pemberian antimuskarinik
bermanfaat. Sampai saat ini, penggunaan antimuskarinik pada pasien
dengan BOO masih terdapat kontroversi, khususnya yang berhubungan
dengan risiko terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu
28
dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urine pasca
berkemih. Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika
penggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala storage.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping,
seperti mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan
4%), kesulitan berkemih (sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai
dengan 3%), dan pusing (sampai dengan 5%)
d) Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan
konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus
otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis
PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil.
Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang
direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.
Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-
37%. Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1
minggu. Pada penelitian uji klinis acak tanpa meta-analisis, peningkatan
Qmax dibandingkan plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada residu urine. Data meta-analisis
menunjukkan PDE 5 inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia
lebih muda dengan indeks massa tubuh yang rendah dengan keluhan
LUTS berat.
e) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif
yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak dipasarkan
adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica,
dan masih banyak lainnya
29
2) Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah
menimbulkan komplikasi, seperti:
• retensi urine akut;
• gagal Trial Without Catheter (TwoC);
• infeksi saluran kemih berulang;
• hematuria makroskopik berulang;
• batu kandung kemih;
• penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
• perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian
atas (IAUI, 2015; Purnomo, 2012).
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang
hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah,
dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Pilihan terapi pembedahan unutk BPH adalah sebagai berikut (IAUI, 2015;
Purnomo, 2012) :
a) Invasif Minimal
Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH
dengan volume prostat 30-80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal
volume prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari
pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan.
Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan
yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%),
retensi bekuan darah (0- 39%), dan infeksi saluran kemih (0-22%)..
Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah 0,1.
Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi
inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur
30
urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-14%), dan
retensi urin dan UTI.
Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada suhu
60-650 C dan mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000 C.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya
pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
TUIP atau insisi leher kandung kemih (bladder neck insicion)
direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan
31
tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat. TUIP mampu memperbaiki
keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
b) Operasi Terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack
atau Freyer) dan retropubik (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada
prostat yang volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan
morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi
dilaporkan sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi.
Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di
32
bawah 0,25%. Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur leher
kandung kemih dan striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine (10%)
3) Terapi lainnya
a) Trial Without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih
secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien
kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TwoC
baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker selama
minimal 3-7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami
retensi urine akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.
b) Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten
baik mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap
dipasang pada pasienpasien yang mengalami retensi urine kronik dan
mengalami gangguan fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan
dalam lingkungan bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh
atau secara periodik.
c) Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat
dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan
cara pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika)
untuk mengalirkan urine.
d) Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering
digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang
tidak dapat menjalani tidakan operasi.
33
4) Kontrol Berkala
Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terdapat perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca
miksi
Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.
34
Skema Pengelolaan BPH untuk Dokter Umum
2.11 Komplikasi
Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi
kandung kemih, nyeri suprapubik
Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba,
tidak nyeri
Infeksi traktus urinaria
35
Batu buli
Hematuri
Inkontinensia-urgensi
Hidroureter
Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal. (Syamsuhidayat,2010)
Selain komplikasi tersebut, tindakan pembedahan pada BPH memiliki risiko
dan komplikasi, antara lain pada TURP terdapat risiko terjadinya ejakulasi
retrograde (75%), impotensi (5-10%), dan inkontinensia (<1%). Komplikasinya
meliputi perdarahan, striktur uretra, kontraktur leher buli-buli, perforasi dari
kapsul prostat dengan ekstravasasi dan jika berat dapat terjadi sindroma TURP
(McAnich & Lue, 2013).
Sindroma TURP merupakan akibat dari kondisi hipervolemik, hiponatremi
karena adanya absorbsi dari irigasi cairan hipotonik saat TURP. Manifestasai
klinis dari sindroma TURP yaitu mual, muntah, gelisah, somnolen, hipertensi,
bradikardi, dan gangguan pengelihatan. Jika tidak segera ditangani dapat
mengakibatkan edema otak, edema paru, koma hingga kematian. Risiko sindroma
TURP meningkat jika reseksi yang dilakukan lebih dari 90 menit, oleh karena itu
reseksi tidak boleh dilakukan lebih dari 1 jam. Penatalaksanaannya meliputi
diuretik dan larutan hipertonik jika dalam kondisi buruk (McAnich & Lue, 2013).
2.12 Prognosis
Prognosis BPH berbeda-beda tiap individu. BPH yang tidak diterapi akan
menunjukkan efek samping yang merugikan pasien itu sendiri seperti retensi urin,
insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, dan hematuria (Deters,
2011).
BAB III
KESIMPULAN
36
Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak atau
Benign Prostatic Hiperplasi yang selanjutnya disingkat BPH
merupakan kelainan kedua tersering setelah batu saluran kemih yang
dijumpai di klinik urologi di Indonesia.
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar periuretral atau hiperplasia fibromuskular
yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer.4 Namun orang
sering menyebutnya dengan hipertropi prostat walaupun secara
histologi yang dominan adalah hiperplasia.
Penyebab BPH belum jelas. Beberapa teori telah dikemukakan
berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia, di
antaranya Teori DHT (dihidrotestosteron), Reawakening, stem cell
hypotesis. Namun demikian, diyakini ada 2 faktor penting untuk
terjadinya BPH, yaitu adanya dihidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS). Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.8
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih.3,5 Keluhan pada saluran kemih
bagian bawah meliputi keluhan iritasi dan keluhan obstruksi.5 Tanda
klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi
kenyal pada pemeriksaan colok dubur/ Digital Rectal Examination
(DRE).
37
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah kadar
Hormon, usia, ras, riwayat keluarga, obesitas, pola diet, aktivitas
seksual, kebiasaan merokok, kebiasaan minum-minuman beralkohol,
Olah raga, Diabetes Mellitus.
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai
pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan.
Proses miksi bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas
leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi uretra. Setiap
kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut.
Ada beberapa pilihan terapi pasien BPH, dimana terapi spesifik dapat
diberikan untuk pasien kelompok tertentu:4,5 Pasien dengan gejala
ringan (symptom score 0-7), dapat hanya dilakukan watchful waiting,
gejala sedang (symptom score 8-18), dapat diberikan terapi
medikamentosa, gejala berat (symptom score 9-35),dilakukan operasi
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif,
dan paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan
memberikan perbaikan gejala BPH.
DAFTAR PUSTAKA
38
Deters, MD. 2017. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
https://emedicine.medscape.com/article/437359-overview [diakses pada 1
Juli 2018]
Eroschenko, Viktor P. 2014. Atlas Histologi diFioredengan Korelasi Fungsional
Edisi 11. Jakarta : EGC.
Guyton, AC dan Hall JE. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta
: EGC.
IAUI. 2015. Pedoman Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign
Prostatic Hyperplasia/BPH) Edisi ke-2. Jakarta: IAUI.
Kumar, V dkk. 2018. Robbins Basic Pathology Tenth Edition. Philadelphia :
Elsevier.
McAnich, JW dan Lue, TF. 2013. Smith & Tanagho’s General Urology
Eighteenth Edition. California: The McGraw-Hill Companies. (23): 348-
355.
McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, et al. 2010. Management of Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological Association Education
and Research, Inc. Chapter 3 : 13 - 35
Paulsen, F dan Waschke, J. 2011. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Internal
Organs 15th Edition. Munich : Elsevier. (196 - 199)
Purnomo, B. 2012. Dasar-dasar Urologi Edisi ketiga. Jakarta : Sagung Seto.
Roehrborn, CG. 2008. Review Journal: Pathology of benign prostatic
hyperplasia. Department of Urology, UT Southwestern Medical Center,
Dallas, TX, USA. International Journal of Impotence Research 20, S11–
S18.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, Jakarta :
EGC.
Wei, JT., Calhoun, E., dan Jacobsen, SJ. Urologic diseases in America project:
benign prostatic hyperplasia. J Urol 2005, 173:1256–61.
Wein, Kavoussi, Novick, Partin, Peters. 2011. Campbell-Walsh Urology Tenth
Ed. Philadephia: Saunders-Elsevier.
39