You are on page 1of 22

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindroma klinis yang disebab kan
oleh penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun berlangsung progresif dan cukup
lanjut. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia ( Smaltzer, 2001). Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi
ginjal yang bersifat persisten dan inrevesibel. (Arif Mansjoer, 2001).

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible. Di mana kemampuan tubuh gagal untuk
memepertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner
& Suddart, 2001). Gagal ginjal kronis ( chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal
progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan anemia (urea dan limbah nitrogen
yang berada dalam darah). (Nursalam, 2008).

2.2 Etiologi

Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hamper semua penyakit. Apapun sebabnya,
dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif. Dibawah ini terdapat
beberapa penyebab gagal ginjal kronik.

a. Tekanan Darah Tinggi

Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan – perubahan


stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi
(sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ ini adalah jantung,
otak, ginjal dan mata.
Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan
nefrosklerosis begina. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal.
Ginjal mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang – lubang dan
berglanula. Secara histology lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri kecil serta
arteriol yang paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak
(price, 2005:933).

b. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang


diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody. Reaksi
peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga terjadi
peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan
filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel darah merah bocor melalui
glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu:

a) Gomerulonefritis Akut

Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.

b) Glomerulonefritis Kronik

Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. (Price,
2005. 924)

c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

Nefritis lupus disbabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang terperangkap
dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Perubahan yang
paling dini sering kali hanya mengenai sebagian rumbai glomerulus atau hanya
mengenai beberapa glomerulus yang tersebar. (Price, 2005:925)
d. Penyakit Ginjal Polikistik

Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal
normal akibat penekanan. Semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi
ginjal, sehingga ginjal akan menjadi rusak (GGK) (Price, 2005:937)

e. Pielonefritis

Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis itu sendiri
dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut juga bias terjadi melalui infeksi
hematogen. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan
biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks
vesikoureter. (Price, 2005: 938)

f. Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering, berjumlah 30%
hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal
dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua lesi yang
terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price, 2005:941). Riwayat perjalanan nefropati
diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium:

a) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan hifertropi dan


hiperfentilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang
disebabkan oleh banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon
yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II danprostaglandin.

b) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan penebalan membrane


basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan matriks
mesangial.

c) Stadium 3 (Nefropati insipient)

d) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)


e) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)

2.3 Patofisiologi

Gagal ginjal kronik disebabkan karena adanya penyakit yang terdapat pada
ginjal, sehingga mengakibatkan kegagalan ginjal. Maka lama kelamaan jumlah nefron
mengalami kerusakan bertambah. Dengan adanya peran dan fungsi ginjal maka hasil
metabolisme protein akan berkumpul didalam tubuh, penurunan fungsi ginjal
mengakibatkan pembuangan hasil sisa metabolisme gagal yang dimulai dengan
pertukaran didalam pembuluh darah tidak adekuat karena ketidak mampuan ginjal
sebagai penyaring Nitrogen menumpuk dalam darah. Akibatnya ginjal tidak dapat
melakukan fungsinya lagi yang menyebabkan peningkatan kadar serum dan kadar
nitrogen ureum, kreatin, asam urat, fosfor meningkat dalam tubuh dan menyebabkan
terganggunya fungsi ginjal dan organ organ tubuh lain.

Perjalanan umum ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium
satu dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan
BUN dalam keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan
fungsi ginjal akan dapat diketahui dengan tes GFR. Stadium dua dinamakan
insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak dan
GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai stadium insufisiensi ginjal
gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia (berkemih
pada malam hari) sebanyak 700 ml atau berkemih lebih dari beberapa kali.
Pengeluaran urine normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan
yang diminum.

Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90%
dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya
hanya 10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit.
Penderita biasanya ologuri (pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena
kegagalan glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme
protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

1. Sistem kardiovaskuler

a. Hipertensi

b. Pitting edema

c. Edema periorbital

d. Pembesaran vena leher

e. Friction sub pericardial

2. Sistem Pulmoner

a. Krekel

b. Nafas dangkal

c. Kusmaull

d. Sputum kental dan liat

3. Sistem gastrointestinal

a. Anoreksia, mual dan muntah

b. Perdarahan saluran GI

c. Ulserasi dan pardarahan mulut

d. Nafas berbau ammonia

4. Sistem musculoskeletal

a. Kram otot
b. Kehilangan kekuatan otot

c. Fraktur tulang

5. Sistem Integumen

a. Warna kulit abu-abu mengkilat

b. Pruritis

c. Kulit kering bersisik

d. Ekimosis

e. Kuku tipis dan rapuh

f. Rambut tipis dan kasar

6. Sistem Reproduksi

a. Amenore

b. Atrofi testis

2.5 Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium :

a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
rendah.

b. Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan


kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat pendarahan saluran
cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih.
Perbandingan ini berkurang ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah
protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia : biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya dieresis

d. Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin


D3 pada GGK.

e. Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama


isoenzim fosfatase lindi tulang.

f. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan gangguan


metabolisme dan diet rendah protein.

g. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal


ginjal ( resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer ).

h. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peninggian


hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.

i. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang


menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal ginjal.

2. Radiology

Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya
suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic akan memperburuk keadaan
ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.

3. IIntra Vena Pielografi (IVP)

Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.

4. USG

Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. EKG

Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,


aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)

2.6 Penatalaksanaan

Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami CKD
maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari penatalaksanan
medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan dan penatalaksanaan diet. Dimana
tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis
selama mungkin.

1. Penatalaksanaan medis

a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500 sampai 600 ml untuk 24 jam atau
dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditamnbah dengan IWL
500ml, maka air yang masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut.

b. Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein tidak cukup
memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.

c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida mengandung


alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan makanan.

d. Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan control


volume intravaskuler.

e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala dan tidak
memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan karbonat atau dialisis
mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini
memerlukan gejala.

f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat


disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan
kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah
kalium kadang – kadang kayexelate sesuai kebutuhan.

g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia
rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu.

h. Transplantasi ginjal.

2. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan hilangnya
cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24 jam sebelumnya.

b. Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium. Natrium dapat
diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

3. Penatalaksanaan Diet

a. Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam.

b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya katabolisme


protein

c. Lemak diberikan bebas.

d. Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin, niasin dan asam
folat.

e. Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil pemecahan
makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gagguan pada klirens ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis
tinggi seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.

2.7 Komplikasi

1. Hiperkalemia
Tingginya kandungan kalium di dalam darah. Dan tingginya kandungan kalium di
dalam darah dapat menimbulkan kematian mendadak, jika tidak ditangani dengan
serius.

2. Perikarditis, efusi pericardial

Akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.

3. Hipertensi

4. Anemia

5. Penyakit tulang

Akibat kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal

6. Dehidrasi

7. Kulit : gatal gatal

8. Gastrointestinal : mual, muntah, anoreksia, dan dada seperti terbakar, bau nafas
menyerupai urin

9. Endokrin

- Laki laki : kehilangan libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas
sperma

- Wanita : kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilisasi

- Anak anak: retardasi pertumbuhan

- Dewasa : kehilangan massa otot

10. Neurologis dan Pisikatri : kelelahan,kehilangan kesadaran, koma, iritasi


neurologis (tremor, ateriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot bkejang)

2.8 Pencegahan
Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Untuk dapat menghindari dan mengurangi
resiko gagal ginjal kronis ini, perlu menerapkan beberapa tips berikut ini :

1. Jika pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan tidak berlebihan.


Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari minuman tersebut

2. Jika menggunakan obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah petunjuk
penggunaan yang tertera pada kemasan. Penggunaan obat dengan dosis yang terlalu
tinggi dan berlebihan akan dapat merusak ginjal. Jika mempunyai sejarah keturunan
berpenyakit ginjal, konsultasikan pada dokter tentang obat apa yang sesuai.

3. Jagalah berat badan dengan selalu berolahraga secara teratur

4. Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba merokok

5. Selalu kontrol kondisi medis dengan bantuan dokter ahli untuk mengetahui
kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar segera diatasi.

2.9 Pengkajian

Pengkajian dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi :

1. Identitas

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.

2. Keluhan utama

Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-tiba atau
berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa
yang digunakan. Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine
output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak
selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau
( ureum ), dan gatal pada kulit.
3. Riwayat penyakit saat ini

Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di anamnesa meliputi
palliative, provocative, quality, quantity, region, radiaton, severity scala dan time.

Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji penurunan output urine, penurunan kesadaran,
perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau
ammonia, dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien
meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatn apa.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign prostatic hyperplasia, dan prostektomi.
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
kemudian dokumentasikan.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Bagaimana pola hidup yang biasa di terapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya
riwayat infeksi system perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyakit
hereditas dan penyakit menular pada keluarga.

6. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )

A. Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

- Keadaan umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat.


- Tingkat Kesadaran : Menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat.

- TTV : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah


terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.

B. Pemeriksaan Fisik :

1. Pernafasan B1 (breath)

Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremik), respon uremia didapatkan adanya
pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan
pembuangan karbon dioksida yang menumpuk di sirkulasi.

2. Kardiovaskuler B2 (blood)

Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub
yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal
jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada
dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema penurunan perfusiperifer sekunder
dari penurunan curah jantungakibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot
ventikel.

Pada system hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat
dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel
darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.

Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas system
rennin- angiostensin- aldosteron. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan
gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.

3. Persyarafan B3 (brain)
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses
berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati
perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.

4. Perkemihan B4 (bladder)

Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat.

5. Pencernaan B5 (bowel)

Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di
dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.

6. Musculoskeletal/integument B6 (bone)

Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis,
dehidrasi), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium
pada kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya
kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer
dari hipertensi.

2.10 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhbungan dengan peningkatn bendungan atrium


kiri
2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan
menurun
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan dan natrium.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa
mulut.
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic,
sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi
ureum dalam kulit.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur.
7. Gangguan konsep diri berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh, tindakan
dialysis, koping maladaptive.
8. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

2.11 Intervensi Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan bendungan atrium


kiri.
Tujuan :
Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan, tidak
terjadi gangguan pertukaran gas.
Kriteria hasil :
Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan
nilai ABGs normal :

• PH = 7,35 -7,45

• PO2 = 80-100 mmHg

• Saturasi O2 = > 95 %

• PCO2 = 35-45 mmHg

• HCO3 = 22-26mEq/L

• BE (kelebihan basa) = -2 sampai +2

- Bebas dari gejala distress pernafasan


Intervensi

Mandiri

1. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas.

2. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles,
dan wheezing

3. Kaji adanya cyanosis.

4. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat

5. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman

Kolaboratif :

6. Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi.

7. Berikan pencegahan IPPB

8. Review X-ray dada.

9. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant.

1. Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan


usaha nafas.

2. Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena
peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi
atau adanya mukus pada jalan nafas

3. Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis
muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah
vasokontriksi.

4. Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium

5. Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen.

6. Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang


sesuai

7. Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi

8. Memperlihatkan kongesti paru yang progresif

9. Untuk mencegah gngguan pola napas

2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan


menurun

Tujuan : setelah diberikan intervensi selama 3 x 24 jam mempertahankan sirkulasi


perifer tetap normal.

Kriteria Hasil :

- Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler

- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis

- Kulit sekitar luka teraba hangat.

- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.

Intervensi

1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi

2. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah : Tinggikan


kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari
penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut
dan sebagainya.

3. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet tinggi


kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat
vasokontriksi.

4. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator,


pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet


berlebih dan retensi cairan dan natrium.

Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawaan selama 3 x 24 jam klien dapat


mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.

Kriteria Hasil :

a. Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal.

b. BB stabil.

c. TTV dalam batas normal (RR: 16-24 x/menit; N: 60-100 x/menit; TD: 120/80;
T: 36,5-37,5 0C)

d. Tidak ada edema

e. Turgor kulit baik

f. Membran mukosa lembab

Intervensi

Mandiri :

a. Identifikasi faktor penyebab


b. Batasi masukan cairan

c. Anjurkan klien untuk melakukan aktifitas pergerakan seperti berdiri,


meninggikan kaki

d. Kurangi asupan garam, pertimbangkan penggunaan garam pengganti

HE :

e. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.

f. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.

Kolaborasi :

g. Berikan diuretic, furosemide, spironolakton, hidronolakton, Adenokortikosteroid,


golongan prednisone

Observasi :

h. Kaji status cairan dengan menimbang berat badan perhari, keseimbangan


masukan dan pengeluaran, turgor kulit dan adanya edema, distensi vena leher.

i. Kaji tanda tanda vital

Rasional

a. Untuk menentukan tindakan keperawatan

b. Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi.

c. Agar tidak terjadi imobilitasi

d. Agar tidak terjadi peningkatan natrium

e. Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan


cairan
f. Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.

g. Diuretic bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi


cairan di jaringan sehingga menurunkan resiko terjadinya edema paru.
Adenokortikosteroid, golongan predison digunakan untuk menurunkan proteinuri.

h. Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk memantau


perubahan dan mengevaluasi intervensi.

i. Untuk mengetahui kondisi pasien

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,


mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut.

Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat mempertahankan
masukan nutrisi yang adekuat

Kriteria Hasil :

- Nafsu makan meningkat

- Tidak ada keluhan anoreksia, nausea.

- Porsi makan dihabiskan

- BB meningkat

Intervensi

Mandiri :

a. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering

b. Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein

HE :
c. Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang
disukai

d. Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang


mengandung gas/asam, pedas

Kolaborasi :

e. Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi

Observasi :

f. Kaji kemampuan makan klien

a. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah

b. Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat

c. Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan
klien

d. Dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan
menurunkan asupan nutrisi

e. Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu


mual/muntah

f. Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi


selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Ayi, Dian. 2013. Askep Gagal Ginjal Kronik.


http://smilebeautyfull.blogspot.com/2013/01/askep-gagal-ginjal-kronik.html . Diakses
pada tanggal 17 September 2013 pukul 12.05 WIB
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konep Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Sibuea, Dr.W.Herdin. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Rineka Cipta

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

You might also like