Professional Documents
Culture Documents
Abstract.
This research aims to look at the dynamics of psychological wellbeing in adolescents who have
experienced parental divorce in terms of family conflict. The study also made clear with the
question of whether a divorce ends the family conflict or did not end the family conflict in
adolescents and how to ultimately affect the psychological wellbeing of youth. Family conflict is
based on two kinds of forms of conflict that is involving marital conflict and the conflict of
adolescent’s parents. In order to focus the study authors use limitation problem, such as using the
subject of adolescent who have experienced parental divorce. This study uses qualitative methods
with a case studies research. This research involves four participants were selected based on
certain criteria, namely through a divorce parent and adolescents and four significant others.This
data mining techniques using interviews with meetings twice each participant and one meeting to
their respective significant others. Analysis techniques used in this research is the analysis of the
thematic approach to driven theory. This research results showed that divorce did not end the
family conflict. The fourth participant, family conflict persists despite participants ‘ parents are
divorced. Although the participants still had a third conflict, family participants can achieve the
psychological well being of high although with different characteristics each dimensions to each
other. While one participant to the other, family conflict that is resulting in psychological
wellbeing are low on him. Factors that can enhance psychological wellbeing participants are, for
example, peer support, the need for love and maturity towards adulthood.
Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika psychological wellbeing pada remaja yang mengalami
perceraian orangtua ditinjau dari family conflict yang dialami. Penelitian ini juga diperjelas dengan
pertanyaan apakah perceraian mengakhiri family conflict atau tidak mengakhiri family conflict pada
remaja dan bagaimana akhirnya mempengaruhi psychological wellbeing remaja. Family conflict ini
didasari oleh dua macam bentuk konflik yaitu marital conflict dan konflik orangtua remaja. Agar
dapat memfokuskan penelitian ini penulis menggunakan batasan
Korespondensi :
Kartika Ayu Primasti, email : kartikaprimasti@gmail.com
Aryani Tri Wrastari, em-ail : aryani.wrastari@psikologi.unair.ac.id
Fakultas Psikologi. Universitas Airlangga, Jalan Airlangga 4-6, Surabaya - 60286
masalah, seperti menggunakan subjek remaja yang mengalami perceraian orangtua. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Penelitian ini melibatkan
empat orang partisipan yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu mengalami perceraian
orangtua dan berusia remaja dan empat orang significant others. Teknik penggalian data ini
menggunakan wawancara dengan pertemuan sebanyak dua kali masing-masing partisipan dan
satu pertemuan untuk masing-masing significant others. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis tematik dengan pendekatan theory driven. Hasil penelitiain ini
menunjukkan bahwa perceraian tidak mengakhiri family conflict. Pada keempat partisipan,
family conflict tetap ada meskipun orangtua partisipan bercerai. Meskipun partisipan tetap
mengalami family conflict, ketiga partisipan dapat mencapai psychological well being yang tinggi
meskipun dengan cirri-ciri berbeda tiap dimensinya satu sama lain. Sedangkan satu partisipan
yang lain, family conflict yang ada mengakibatkan psychological wellbeing yang rendah pada
dirinya. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan psychological wellbeing partisipan antara lain,
peer support, kebutuhan akan cinta dan kematangan menuju dewasa.
dialami oleh remaja akan mengakibatkan perasaan akan berujung pada psychological wellbeing yang
tidak nyaman, rendahnya self esteem, dan beberapa buruk (Emery, 1982 dalam Mechanic & Hensell,
karakteristik yang serupa yang akhirnya berujung 1989). Dari fakta-fakta yang dipaparkan diatas
pada psychological wellbeing yang rendah. Efek yang dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah suatu
dialami remaja tersebut nantinya akan berlanjut paradoks bagi psychological wellbeing remaja.
hingga dewasa. Menurut Woofolk (2008, dalam Disatu sisi perceraian menyebabkan rendahnya
Aminah, 2012) bagaimanapun juga perceraian adalah psychological wellbeing remaja sementara disisi
sesuatu yang tidak mudah bagi remaja sehingga lain hal ini justru dianggap sebagai solusi
dibutuhkan proses atau tahapan yang membantu menghindari konflik yang mengakibatkan
remaja mencapai tahap penerimaan diri terhadap tingginya psychological well being remaja.
keputusan orangtua untuk bercerai. Remaja yang
mengalami perceraian orangtua cenderung tidak Konsep Perceraian
memiliki kepuasan dalam hidup, lemahnya self Perceraian dapat diartikan sebagai pecahnya
control, dan tidak ada kebahagiaan (Amato & suatu unit keluarga atau retaknya struktur peran
Sobolowski, 2001). Beberapa hal tersebut yang sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak
nantinya akan mempengaruhi tiap dimensi yang dapat menjalankan kewajiban peran secukupnya.
berada pada psychological wellbeing. Salah satu contoh macam utama kekacauan keluarga
Namun demikian penelitian lain dari adalah perceraian dimana terputusnya keluarga
Mechanic & Hansel (1989) pada remaja yang disini karena salah satu atau kedua pasangan
mengalami orang tua bercerai mengungkakan hasil tersebut memutuskan untuk saling meninggalkan
yang sedikit berbeda terkait dengan perceraian dan saat berhenti melaksanakan kewajiban perannya
well being . Menurut Mechanic & Hansel, perceraian (Goode, 2004). Perceraian (divorce) merupakan suatu
bukanlah aspek tunggal yang menyebabkan peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan
rendahnya psychological well being remaja, karena suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak
ada faktor lain yang terkait, yaitu family conflict. Hal menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-
tersebut sejalan dengan pendapat Glenn & Krammer istri. Perceraian berasal dari kata kerja “cerai” yang
(1985) yang menyatakan bahwa keluarga yang tidak dapat diartikan “berpisah” dan dikenal juga dengan
bercerai tapi memiliki banyak konflik memiliki istilah “broken home”. Perceraian adalah berakhirnya
psychlogical well being yang lebih rendah daripada sebuah ikatan pernikahan yang diakui secara hukum.
keluarga yang bercerai tapi tidak memiliki konflik. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa efek bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi.
family conflict itu sendiri lebih membahayakan dari
perceraian (Mechanic & Hensell, 1989).
Dari segi family conflict, perceraian adalah Konsep Family Conflict
jalan keluar untuk mengakhiri konflik keluarga Konflik merupakan kondisi terjadinya
dimana hal itu dapat meningkatkan psychological ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
wellbeing remaja. Mengapa? karena perceraian adalah hendak dicapai, baik yang ada dalam individu
jalan untuk mengakhiri tekanan batin yang dihadapi maupun dalam hubungannya dengan orang lain
oleh remaja semasa keluarganya berkonflik. (Killman & Thomas, dalam Lestari, 2012). Konflik
Perceraian dianggap salah satu solusi bagi remaja sering kali dipandang sebagai perselisihan yang
untuk menghilangkan efek negatif yang ada di bersifat permusuhan dan membuat hubungan tidak
hidupnya semasa orang tuanya berkonflik sehingga berfungsi dengan baik. Thomas (1992, dalam Lestari
remaja dapat hidup dengan tenang dan dapat 2012) mendefinisikan konflik sebagai proses yang
menjalankan kegiatan sehari-harinya dengan baik. bermula saat salah satu pihak menganggap pihak
Perceraian yang diakibatkan oleh banyaknya family lain menggagalkan atau berupaya meninggalkan
conflict dan ketidakharmonisan keluarga juga kepentingannya. Adapun McCollum (2009, dalam
menimbulkan depresi bagi anak yang nantinya Lestari 2012) mendefinisikan konflik sebagai
penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan
kemudian dalam penelitian ini adalah pendekatan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak
kualitatif deskriptif dengan tipe penelitian studi dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister,
kasus instrumental. Studi kasus dalam penelitian dkk., 1994, dalam Poerwandari, 2011). Dalam
ini adalah studi kasus instrumental, yaitu penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
penelitian pada suatu kasus unik tertentu, wawancara dengan pedoman umum (Patton, 1990,
dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, dalam Poerwandari, 2011) karena wawancara ini
juga untuk mengembangkan dan memperhalus dilengkapi pedoman yang mencantumkan isu-isu
teori (Poerwandari, 2011). Alasan dipilihnya studi yang harus diliput tanpa menentukan urutan
kasus instrumental dikarenakan penelitian ini pertanyaan bahkan mungkin tanpa bentuk
akan mengkaji konsep psychological wellbeing pertanyaan eksplisit. Penelitian ini menggunakan
dalam kerangka teori Ryff di konteks perceraian bentuk wawancara terfokus yakni wawancara yang
ditinjau dari family conflict yang dialami. mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-
Subjek penelitian diambil dengan kriteria aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman
tertentu, dimana peneliti akan mempelajari semua subjek (Poerwandari, 2011).
kasus yang memenuhi kriteria yang telah Penelitian ini menggunakan pendekatan
ditentukan (Poerwandari, 2011). Kriteria subjek theory driven dimana pengembangan tema dan
dalam penelitian ini adalah remaja yang telah kode yang digunakan dalam penelitian mengacu
mengalami perceraian orangtua. Remaja disini pada teori psychological wellbeing dari Ryff. Untuk
adalah remaja yang berumur 12 hingga 21 tahun kredibilitas data, Penelitian ini menggunakan jenis
(Monks, 2006) dan tidak ada batasan gender. triangulasi data yaitu triangulasi yang digunakan
Teknik penggalian data yang digunakan pada berupa variasi sumber-sumber data yang berbeda
penelitian ini adalah wawancara. Wawancara adalah (Patton, 1990, dalam Poerwandari, 2011) berupa
percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk wawancara dengan significant others. Hal ini
mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif disebabkan karena hasil wawancara dengan
dilakukan bila peneliti bermaksud untuk significant others akan menambah kejelasan data
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna psychological wellbeing dan data family conflict
subjektif yang dipahami individu berkenaan pada remaja yang mengalami perceraian orangtua.
PWB TINGGI
Menambah Teori
Family Conflict Perkembangan
Perceraian Remaja :
1. Identitas Diri
2. Peer Support
PWB RENDAH 3. Kebutuhan akan
Cinta
Marital Orangtua-
Conflict Remaja
HASIL DAN BAHASAN remaja, serta sumber tekanan untuk perilaku orang
tua, adalah teman sebaya. Remaja cenderung
mencari nasihat untuk masalahnya dari teman-
Berikut ini pembahasan hasil analisis data
teman seumurannya. Pengaruh teman sebaya
penelitian ini mengacu kepada fokus penelitian,
hasil penelitian kali ini berbeda dengan penemuan cenderung kuat di awal-awal masa remaja daripada
teori yang terdahulu. pengaruh orangtua itu sendiri. Selama adanya family
Dari gambar diatas tersebut dapat dijelaskan conflict yang terjadi pada remaja, remaja mencari
bahwa perceraian orangtua tidak selalu mengakhiri dukungan dari teman-temannya dan menganggap
family conflict yang ada pada remaja. Pada penelitian bahwa lingkungan dengan teman sebaya itu lebih
ini perceraian mengakibatkan family conflict pada penting dari keluarga itu sendiri. Penemuan yang
remaja yaitu marital conflict dan konflik orangtua lain itu adanya dukungan dari orang terdekat
remaja. Dengan adanya hal tersebut ketiga partisipan partisipan yaitu pacar. Salah satu hal yang
mampu mencapai psychological wellbeing yang tinggi mengakibatkan mempengaruhi wellbeing adalah
dan satu partisipan yang mencapai psychological hubungan asmara pada remaja. Penelitian
wellbeing yang rendah. Hal ini tentu berbeda dengan menemukan bahwa hubungan asmara memiliki
yang dikatakan oleh Emery (1982, dalam Mechanic & kaitan yang kuat terhadap perubahan-perubahan
Hensell, 1989), Emery mengatakan bahwa remaja fungsi diri remaja (Zimmer-Gembeck, Siebenbruner
mampu mencapai psychological wellbeing yang & Collins, 2001 dalam Zimmer & Gallaty, 2006).
tinggi setelah perceraian orangtua jika tidak ada Dalam tahap perkembangan psikososial keintiman
family conflict. Namun dari hasil penemuan diatas versus isolasi, mereka mendambakan hubungan-
meskipun setelah perceraian terdapat family conflict, hubungan yang intim dan akrab. Nilai cinta muncul
partisipan mampu mencapai psychological wellbeing selama tahap perkembangan keintiman. Ritualisasi
yang tinggi. Hal-hal tersebut dipengaruhi oleh tahap ini adalah afiliasi dimana remaja dapat berbagi
pengguanaan teori Ryff yang mengacu pendekatan bersama dalam masalah pribadi, persahabatan, dan
multidimensi yang terdiri dari enam aspek yang cinta (Hall & Lindzey, 1993)
berbeda dari aktualisasi diri manusia: autonomy, Hal yang ketiga adalah tuntutan remaja
personal growth, self-acceptance, life purpose, untuk menjadi mandiri dan matang secara dewasa
enviromental mastery, dan positive relationship with sehingga pada penemuan ini partisipan merasa
others . Keenam konstruk ini menjelaskan PWB baik dapat menyikapi segala sesuatunya dengan lebih
secara teoritis ataupun operasional dan mereka dewasa. Partisipan juga hidup lebih mandiri pada
menghubungkanya dengan hal-hal yang berkaitan usianya yang masih remaja. Menurut tahap
dengan kesehatan mental dan fisik (Ryff & Singer perkembangan Psikososial Erikson (tt, dalam Hall
1998, dalam Ryan & Deci, & Lindzey, 1993), masa remaja berada pada tahap
remaja tertarik untuk mengetahui siapa dirinya,
2001). Sedangkan pada penelitian terdahulu yang bagaimana dirinya, dan kemana ia menuju dalam
dilakukan oleh Mechanic & Hensell (1989) melihat kehidupannya. Hal yang penting tentang identitas
psychological wellbeing dari simptom-simptom pada masa remaja, khususnya pada akhir masa
negatif yaitu kecemasan, depresi, penerimaan diri remaja, ialah bahwa untuk pertama kalinya
dan simptom fisik. Teori Ryff mengacu pada perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan
simptom-simptom positif yang akhirnya mengacu perkembangan sosial maju ke titik dimana
pada aktualisasi diri. individu dapat memilah-milah dan mensintesiskan
Kedua, hal yang dapat mempengaruhi identitas dan identifikasi masa anak-anak untuk
psychological wellbeing partisipan tinggu adalah membangun suatu jalan menuju kematangan
tahapan perkembangan remaja dimana pada usia orang dewasa dan lebih mandiri.
remaja, Robinson (tt, Papalia, 2009) menemukan
bahwa sumber penting yaitu berupa dukungan
emosional selama transisi kompleks pada masa
PUSTAKA ACUAN
Amato, Paul R., Sobolewski & Juliana, M. (2001). The Effects of Divorce and Marital Discord on Adult
Children’s Psychological Well Being. American Sociological Review; Vol 66 (December: 900-921).
Aminah. (2012). Proses Penerimaan Anak (Remaja Akhir) terhadap Perceraian Orangtua dan Konsekuensi
Psikosial yang Menyertainya. Jurnal Imiah Psikologi Candrajiwa Volume 1, No. 3.
Antara. (2012). Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70%. Republika [on-line].Diakses p a d
a tangan 20 Januari 2012 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-
angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen.
Badan Pusat Statistik. (2010). Provinsi Jawa Timur dalam angka 2010. Surabaya: Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Timur.
Badan Pusat Statistik. (2013). Surabaya dalam angka 2013. Surabaya: Badan Pusat Statistik Kota Surabaya.
Boyatzis, R. E. (1998). Transforming Qualitative Information: Thematic Analysis and Code Development.
California: Sage.
Canary, D. (2013). Family Conflict: Managing The Unexpected. Cambridge: Polity Press.
Cripps, K. & Zyromski, B. (2009). Adolescents’ psychological well-being and perceived parental
involvement: implications for parental involvement in middle schools. RMLE Online, 33(4)
Demo, David H., and Alan C. Acock. (1996). Family structure, family process, and adolescent well-being.
Journal of Research on Adolescence, 6, 457-488.
Dewi & Utami. (2006). Subjective Wellbeing Anak dari Orangtua yang Bercerai. Jurnal Psikologi Volume
35, No.2, 194-212.
Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis: a hybrid approach
of inductive and deductive coding and theme development. International Journal of Qualitative