Professional Documents
Culture Documents
A. Pengertian
Chronic kidney disease (CKD) adalah kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3
bulan dengan atau tanpa penurunan glomelurus filtation rate (GFR) (Nahas &
Levin, 2010). CKD atau gagal ginjal kronis adalah kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar
(insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme,
cairan, dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia atau
azotemia (smeltzer, 2009).
Gagal ginjal kronis adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan
irreversible. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang
dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat. Azotemia adalah peningkatan BUN
dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom
akibat gagal ginjal yang berat. Gagal ginjal terminal adalah ketidakmamapuan
renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialisis dan
transplantasi) (Manjoer, 2008)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan
ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam
darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal)
(Nursalam, 2006). Gagal ginjal kronis adalah terjadi apabila kedua ginjal sudah
tidak mampu mempertahankan lingkungan yang cocok untuk kelangsungan
hidup, yang bersifat irreversible (Baradero, 2009).
Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli dapat diambil
kesimpulan bahwa chronic kidney disease atau gagal ginjal kronik adalah
gangguan fungsi renal yang irreversible dan berlangsung lambat sehingga ginjal
tidak mampu mempertahankan metabolisme tubuh dan keseimbangan cairan dan
elektrolit dan menyebabkan uremia.
1
3. Tahap III: penurunan GFR sedang yaitu 30-59 ml/menit/1,73 m.
4. Tahap IV: penurunan GFR berat yaitu 15-29 ml/menit/1,73 m.
5. Tahap V: gagal ginjal dengan GFR < 15 ml/menit/1,73 m.
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate)/CCT (Clearance
Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin (ml/menit) = (140-umur) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85.
C. Etiologi
Menurut Price dan Wilson, (2006) penyebab gagal ginjal kronik diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
2. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal.
6. Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra)
2
D. Anatomi fisiologi
1. Anatomi ginjal
3
Gambar anatomi ginjal dapat dilihat dalam gambar. 2
4
Gambar penampang ginjal dapat dilihat pada gambar. 3
6
vena kava inferior. Ginjal dilalui oleh darah sekitar 1.200 ml permenit atau 20%-
25% curah jantung (1.500 ml/menit).
2. Fisiologi ginjal
Dibawah ini akan disebutkan tentang fungsi ginjal dan proses pembentukan
urin menurut Syaeifudin (2006).
a) Fungsi ginjal
Ginjal adalah organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam
sistem organ tubuh. Kerusakan ginjal akan mempengaruhi kerja organ lain
dan sistem lain dalam tubuh. Ginjal punya dua peranan penting yaitu
sebagi organ ekresi dan non ekresi.
Sebagai sistem ekresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain
dalam bentuk urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin.
Selain sebagai sistem ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan
bekerja sebagai penyeimbang asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta
fungsi hormonal. Ginjal mengekresi hormon renin yang mempunyai peran
dalam mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron),
pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif sumsum tulang
untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga menyalurkan
hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang dibutuhkan dalam
absorsi ion kalsium dalam usus.
b) Proses pembentukan urin.
Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk kedalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian
plasma darah, kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi,
reabsorsi dan ekresi (Syaefudin, 2006).
1) Proses filtrasi.
Pada proses ini terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena
proses aferen lebih besar dari permukaan eferen maka terjadi
penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian
cairan darah kecuali protein. Cairan yang disaring disimpan dalam
simpay bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida sulfat,
bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.
2) Proses reabsorsi.
Pada peroses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari
glukosa, natrium, klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi
secara pasif yang dikenal dengan proses obligator. Reabsorsi terjadi
7
pada tubulus proksimal. Sedangkan pada tubulus distal terjadi
penyerapan kembali natrium dan ion bikarbonat bila diperlukan.
Penyerapannya terjadi secara aktif, dikenal dengan reabsorsi fakultatif
dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3) Proses ekresi.
Sisa dari penyerapan urin kembali yang terjadi pada tubulus dan
diteruskan pada piala ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk
ke fesika urinaria.
E. Patofisiologi
Berdasarkan proses perjalanan penyakit dari berbagai penyebab yaitu infeksi,
vaskuler, zat toksik, obstruksi saluran kemih yang pada akhirnya akan terjadi
kerusakan nefron sehingga menyebabkan penurunan GFR (Glomelular Filtration
Rate) dan menyebabkan chronic kidney disease (CKD), yang mana ginjal
mengalami gangguan dalam fungsi eksresi dan dan fungsi non-eksresi. Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat, dari proses sindrom uremia terjadi pruritus, perubahan warna kulit.
Sindrom uremia juga bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak
mampu menyekresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekrsi asam akibat
tubulus ginjal tidak mampu menyekresi ammonia (NH3 -) dan megapsorbsi
natrium bikarbonat (HCO3 -). Penurunan eksresi fosfat dan asam organik yang
terjadi, maka muntah dan muntah tidak dapat dihindarkan. Sekresi kalsium
mengalami penurunan sehingga hiperkalemia, penghantaran listrik dalam jantung
terganggu akibatnya terjadi penurunan COP (cardiac output), suplai O2 dalam
otak dan jaringan terganggu. Penurunan sekresi eritropoetin sebagai faktor
penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
menyebabkan produk hemoglobin berkurang dan terjadi anemia sehingga
peningkatan oksigen oleh hemoglobin (oksihemoglobin) berkurang maka tubuh
akan mengalami keadaan lemas dan tidak bertenaga.
Gangguan clerence renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang
berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus di deteksi dengan memeriksa
clerence kretinin dalam darah yang menunjukkan penurunan clerence kreatinin
dan peningkatan kadar kreatinin serum. Retensi cairan dan natrium dapat
megakibatkan edema.
8
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya
meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melaui glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya,
kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan
sekresi parathhormon dari kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat
merspons normal terhadap peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium
ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang
(Nurlasam, 2008).
9
F. PATHWAY
10
G. Tanda dan Gejala
Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka
pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang
mendasari. Manifestasi yang terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem
kardio vaskuler, dermatologi, gastro intestinal, neurologis, pulmoner,
muskuloskletal dan psiko-sosial menurut Smeltzer, (2009) diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kardiovaskuler:
a) Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron.
b) Gagal jantung kongestif.
c) Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai
dengan terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal,
kusmol, sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya fraktur karena kekurangan kalsium dan
pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron.
7. Psiko sosial seperti terjadinya penurunan tingkat kepercayaan diri sampai
pada harga diri rendah (HDR), ansietas pada penyakit dan kematian.
H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Manjoer, (2008) antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Pemeriksaan biokimia plasma untuk meengetahui fungsi ginjal dan gangguan
elektrolit,mikroskopis urin, urin analisa, tes serologi untuk mengetahui
penyebab glumerulonefritis, dan tes – tes penyaringan sebagai persiapan
sebelum dialysis (biasanya hepatitis B dan HIV)
2. USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan penyebab gagal
ginjal, misal adanya kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat pula dipakai foto
polos abdomen. Jika ginjal lebih kecil dibandingkan usia dan besar tubuh
pasien maka lebih cenderung kea rah gagal ginjal kronik.
3. Pemeriksaan laboratorium darah
11
BUN, keratin, elektrolit ( Na, K, Ca, Phosphat ) hematologi (Hb, trombosit,
Ht, leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
4. Pemeriksaan urin
Warna, PH, bau, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen)
I. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer (2009) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
12
J. Penatalaksanaan Medis
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai
dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum.
Menurut Suwitra (2006), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam
tabel berikut :
13
pasien. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan
dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara
500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi
dalam asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium dilakukan
karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh
karena itu pembatasan obat dan makanan yang mengandung kalium (sayuran
dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5-5,5 mEg/lt. sedangkan pada
natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya hipertensi dan edema. Jumlah
garam disetarakan dengan tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a. Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt,
sedangkan diatas batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein.
Protein yang dibatasi antara 0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr
diantaranya protein nilai biologis tinggi. Kalori yang diberikan sebesar 30-
35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein perlu dilakukan
pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan diencerkan
melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion anorganik
lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein
bertujuan untuk membatasi asupan fosfat karena fosfat dan protein berasal
dari sumber yang sama, agar tidak terjadi hiperfosfatemia.
b. Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.
Pemakaian obat anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil
resiko komplikasi pada kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat
perburukan kerusakan nefron dengan cara mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu pemakaian obat
hipertensi seperti penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin
Converting Enzim / ACE inhibitor) dapat memperlambat perburukan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai anti hipertensi dan
anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting,
karena 40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit
komplikasinya pada kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan
terapi penyakit vaskuler adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia,
anemia, hiperfosvatemia, dan terapi pada kelebian cairan dan elektrolit.
14
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD
secara keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan
/tranfusi eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi
renal. Namun dalam pemakaiannya harus dipertimbangkan karena dapat
meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5.
Terapi ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.
K. Asuhan keperwatan
Menurut Hayrinena (2010), asuhan keperawatan merupakan hal sangat
penting bagi seorang perawat. Kemampuan pemberian pelayanan yang baik serta
kemudian dapat secara efektif dapat mengkomunikasikan tentang perawatan
pasien tergantung pada seberapa baik kualitas informasi yang diberikan serta
dokumentasi yang disediakan untuk dimanfaatkan oleh semua profesional
kesehatan dan antar bidang pelayanan kesehatan.
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan
mengacu pada Doenges, serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
a. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada
juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan
oleh berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan
dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian
CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk/ berdiri yang terlalulama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung
banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
c. Pengkajian pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien Gejalanya adalah
pasien mengungkapkan kalau dirinyasaat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter.
Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat
15
bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah
dilarang telah dihindari.
2) Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah,
asupan nutrisi dan air naik atau turun.
3) Pola eliminasi.
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara
tekanan darah dan suhu.
4) Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah,
serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah
aktifitas dibantu.
5) Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung
mata. Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
6) Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah
penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat
berkomunikasi dengan jelas.
7) Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri
sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih
menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.
8) Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan
kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido,
keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
9) Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi
edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik,
perubahan peran, dan percaya diri.
10) Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil
keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
16
11) Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa
bersalah meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak
dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
d. Pengkajian fisik
1) Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
2) Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
3) Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
4) Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
5) Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
6) Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar.
Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris,
terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat
pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
7) Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
8) Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
9) Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refillebih dari 1 detik.
10) Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.
17
e. Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan Laboratorium :
a) Urin
(1) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau
urine tidak ada (anuria).
(2) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan
oleh pus / nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat,
sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya
darah, miglobin, dan porfirin.
(3) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada
1,010menunjukkan kerusakan ginjal berat).
(4) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan
kerusakan tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
b) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
c) Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
d) Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM)
dan fregmen juga ada.
e) Darah
(1) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin
10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
(2) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya
anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
(3) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi
eritropoetin seperti pada azotemia.
(4) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik
(kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal
untuk mengeksekresi hidrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
(5) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium
atau normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).
(6) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan perpindahan selular (asidosis), atau pengeluaran
jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir , perubahan EKG
mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih
besar.
18
Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium
menurun. Protein (khuusnya albumin), kadar serum menurun
dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum
lebihbesar dari 285 mosm/kg, sering sama dengan urine.
2) Pemeriksaan Radiologi
a) Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal
dan adanya masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian
atas.
b) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
c) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa.
e) KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran
ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obtruksi (batu).
f) Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan
megidentifikasi ekstravaskuler, massa.
g) Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
h) Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran
kandung kemih, refluk kedalam ureter, dan retensi.
i) Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat
dengan diit tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan
pembatasan yang sangat ketat pula pada asupan cairan yaitu antara
500-800 ml/hari.
j) pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi
obat anti hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna
sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai selanjutnya nanti
akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
19
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa keperawatan pada masalah chronic kidney disease
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia mual muntah.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
3. Intervensi Kepeawatan
Intervensi keperawatan pada chronic kidney disease diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
menunjukkan pola napas efektif.
NOC: Respiratory Status
Kriteria Hasil:
1) Gas Darah Analisa (GDA) dalam rentang normal.
2) Tidak ada tanda sianosis maupun dispnea.
3) Bunyi napas tidak mengalami penurunan.
4) Tanda-tanda vital dalam batas normal (RR 16-24 x/menit).
NIC : Respiratory monitoring
1) Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot
dada, dispnea, sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional: Distress pernapasan dan perubahan tada vital dapat
terjadi sebagai akibat dari patofisiologi dan nyeri.
2) Catat pengembangan dada dan posisi trakea.
Rasional: Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun
apabila terjadi ansietas atau edema pulmonal.
3) Kaji klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau napas dalam.
Rasional: Tekanan terhadap dada dan otot abdominal membuat
batuk lebih efektif dan dapat mengurangi trauma.
4) Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru.
20
5) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional: Untuk mengetahui elektrolit sebagai indikator keadaan status
cairan.
6) Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional: Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta
evaluasi dari implementasi, juga adanya kerusakan pada paru.
7) Kolaborasikan pemberian oksigen pada ahli medis.
Rasional: Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.
21
Rasional: Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan
menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan
dan penyembuhan jaringan.
5) Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan
penyakit ginjal dan peningkatan urea serta kadar kreatinin.
Rasional: Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan
antara diet, urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
6) Timbang berat badan harian.
Rasional: Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
22
Rasional: Kenyamanan klien atau kebutuhan rasa hangat harus
seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari panas berlebihan
pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi organ).
4) Kolaborasi untuk pemberian O2.
Rasional: Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan.
5) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin).
Rasional: Mengetahui status transport O2.
23
6) Rasional: Pembatasan cairan intravena dapat membantu menurunkan
resiko kelebian cairan.
24
7) Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanakan
progran terapi yang tepat.
Rasional: Membantu pasien dalam proses penyembuhan.
8) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.
Rasional: Agar dapat mengidentifikasi aktivitas sesuai dengan
kemampuan pasien.
9) Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial.
Rasional: Agar dapat mengetahui aktivitas yang sesuai dengan
kemampuan pasien.
10) Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan.
Rasional: Agar dapat mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
dibutuhkan untuk aktivitas sesuai dengan keinginan pasien.
11) Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek.
Rasional: Mencegah terjadinya aktivitas yang berlebih.
12) Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai.
Rasional: Agar dapat mengetahui aktivitas yang diinginkan pasien.
13) Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang.
Rasional: Agar pasien dapat melakukan aktivitas sesaui dengan waktu
yang sudah ditentukan.
14) Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas.
Rasional: Mengetahui kebutuhan dalam beraktivitas yang akan
dilakuakan pasien.
15) Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan.
Rasional: Membantu pasien dalam menghadapi masalah yang sedang
dialaminya.
16) Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual.
Rasional: Mengetahui respon fisik, emosi, sosial dan spiritual terhadap
aktivitas pasien.
25
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperwatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari
rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi,
2012). Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan
yaitu kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan
dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2006).
a. Tindakan keperawatan mandiri.
Tindakan yang dilakukan tanpa pesanan dokter. Tindakan keperawatan
mendiri dilakukan oleh perawat.
b. Tindakan keperawatan kolaboratif.
Tindakan yang dilakukan oleh perawat apabila perawat bekerja dengan
anggota kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang
bertahan untuk mengatasi masalah pasien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak (Hidayat, 2008). Pada tahap evalusi ini juga
mengacu padaperbandingan yang sistematis dan terencaan tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan
lainnya (Setiadi, 2012).
Hasil asuhan keperawatan pada klien dengan chronic kidney disease
atau gagal ginjal kronik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi
ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada
pasien. Adapun sasaran evaluasi pada pasien chronic kidney disease atau
gagal ginjal kronik sebagai berikut:
1. Klien menunjukkan pola napas efektif.
2. Klien dapat mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
3. Perfusi jaringan adekuat.
4. Kelebihan cairan/edema dapat teratasi.
5. Klien bertoleransi terhadap aktivitas.
26
Daftar Pustaka
CDC. (2007). Prevalence of Chronic Kidney Disease and Associated Risk Factors.
United states: Center for Disease Control and Prevention.
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5608a2.Pdf. Diakses 21
Desember 2015.
Manjoer, A. dkk. (2008). Kapita Selekta Kedokteran (Jilid 1 edisi 3). Jakarta:
Media Aesculapius.
Nahas, M.E & Levin, A. (2010). Chronic kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA: Oxford University Press.
Price dan Wilson (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed:
Ke-6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. ( 2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth ( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.
Suwitra, K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., (Edisi 4). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 570-573.
27