You are on page 1of 52

Model Konseling Berfokus Untuk Menyelesaikan Konflik Antar Siswa di Sekolah

Oleh: Pudjiati, S.Pd


Guru BK SMA Negeri 1 Wonoayu
Kabupaten Sidoarjo

1. PENDAHULUAN

1.1 Permasalahan

Konflik merupakan interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda serta

berlawanan yang didalamnya terjadi perselisihan, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan.

Konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau tidak sejalan

Setiap konflik yang terjadi dalam masyarakat akan membawa dampak, baik dampak secara

langsung maupun tidak langsung. Dampak Secara Langsung yang dirasakan oleh pihak-

pihak yang terlibat dalam konflik. Adapun dampak secara langsung adalah sebagai berikut.

Menimbulkan keretakan hubungan antar individu atau kelompok dengan individu atau

kelompok lainnya, adanya perubahan kepribadian seseorang, seperti selalu muncul rasa

curiga, rasa benci, dan akhirnya bisa berubah menjadi tindak kekerasan, hancurnya harta

benda dan korban jiwa, jika konflik tersebut berubah menjadi tindakan kekerasan,Kemiskinan

bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan. Dampak Tidak Langsung , yang merupakan

dampak yang dirasakan oleh pihak-pihak yang tidak terlibat langsung dalam sebuah konflik

ataupun dampak jangka panjang dari suatu konflik yang tidak secara langsung dirasakan oleh

pihak-pihak yang berkonflik.

Penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik telah lama terjadi dalam masyarakat

Indonesia, misalnya ‘tindak main hakim sendiri’ (mob justice), konflik antara suku dan etnik,

perkelahian antara kampung dan geng, dan budaya kekerasan dalam rumah tangga. Konflik

seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar juga banyak

1
berkonflik yang disertai tindakan agresif (Ariyanto 1992).

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara

sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga

kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan

menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan

ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut

diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan,

dan lain sebagainya. Terjadinya konflik dalam setiap pelajar merupakan sesuatu hal yang

tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam

komunitas tersebut mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda.

Jika konflik telah terjadi dan biasanya membawa dampak yang tidak di inginkan

bahkan sampai terbawah kearah kekerasan, maka di butuhkan cara penyelesaian dari konflik

secara umum agar tidak terjadi berlarut – larut, bentuk yang paling sering digunakan dalam

pengendalian konflik koersi, kompromi, perwasitan (arbitration), konsolidasi (consolidation),

mediasi (mediation), toleransi, adjudikasi.

pengetahuan pelajar dalam menyelesaikan konflik secara konstruktif, lebih bersikap

prososial, dan dapat menghindari sebagai korban dari tindak kekerasan (Johnson & Johnson

1995; Laursen, Finkelstein, & Betts 2001; Zhang 1994).

Namun demikian, menurut Theberge & Karan (2004) program penyelesaian konflik yang

diajarkan di sekolah tidak banyak dipraktikkan oleh siswa. Menurutnya, hanya 8% pelajar

yang mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu hambatan dalam

mengaplikasikan program tersebut adalah remaja kurang percaya kepada kemampuan

temannya dalam menyelesaikan konflik. Dengan demikian, untuk penyelesaian konflik antar

siswa di sekolah diperlukan model yang lebih diterima oleh siswa , mudah diterapkan, dan

2
efektif bagi penyelesaian konfliknya (den van Akker 1999; Nieveen 1999).

Pada dasarnya, siswa yang mengalami konflik perlu ditolong dengan metode yang

sesuai sehingga mereka dapat menyelesaikannya secara tepat, iaitu menyelesaikannya secara

konstruktif dan dapat menyelesaikan masalah psikologis yang menyertainya. Sebagaimana

yang diharapkan oleh sebahagian besar pimpinan sekolah bahwa penyelesaian konflik antar

siswa dapat dilakukan melalui konseling sehingga lebih efektif dalam mencegah terjadinya

peningkatan konflik, peningkatan rasa damai di sekolah, serta penyelesaian konflik secara

lebih cepat.

Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan konseling untuk menangani

konflik antar siswa dalam suatu sekolah.

Berdasarkan kepada uraikan di atas, muncul permasalahan bagaimanakah model

konseling yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus konflik antar siswa di suatu

sekolah.Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengembangkan model konseling

berfokus dalam menyelesaikan konflik antar siswa di sekolah

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah adalah mengembangkan model konseling berfokus dalam

menyelesaikan konflik antar siswa di sekolah. Secara lebih khusus, tujuannya adalah: (1)

mengembangkan model Konseling berfokus yang dapat digunakan untuk menyelesaikan

konflik antar teman sebaya di kalangan remaja dan (2) Menggunakan Konseling berfokus

dalam meningkatkan perilaku damai antar siswa di sekolah.

3
2. Pembahasan

2.1. Pengertian Konflik menurut para pakar.

Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli, menurut Taquiri dalam

Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh

berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan,

kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,

hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing –

masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan

tidak bekerja sama satu sama lain.

Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi

ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya

konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada.

Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik

maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada

tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas,

1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya

dengan stres.

Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih

pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh

perbedaan tujuan.

4
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar

dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan

adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok

dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian

menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan,

diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi

(Folger & Poole: 1984).

Konflik senantiasa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin

dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun

perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart,

1993:341).

Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak

dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda (Devito,

1995:381).

2.2 . Penyebab Terjadinya Konflik.

a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki

pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan

pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat

menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,

seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang

berbeda.

5
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan

pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya

akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik

c. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu

berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu

terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami

proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab

nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian

secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.

2.3. Pengendalian Konflik.

Bentuk yang paling sering digunakan dalam pengendalian konflik adalah

akomodasi. Akomodasi adalah proses penyesuaian diri individu atau kelompok

manusia yang semula saling bertentangan sebagai upaya mengatasi ketegangan.

Ada beberapa bentuk pengendalian konflik melalui akomodasi, yaitu :

a. Koersi.

Adalah pemaksaan kehendak dari yang lebih kuat memaksa kehendak kepada yang

lebih lemah. Contohnya, sistem pemerintahan totaliter.

b. Kompromi.

Yaitu saling menguragi tuntutan agar tercapai penyelesaian. Contoh : Gencatan

senjata.

c. Perwasitan (arbitration).

Merupakan pengendalian konflik dimana kedua belah pihak yang bertentangan

sepakat untuk menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-

keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka.

6
Sebagai contoh : Penyelesaian permasalahan karyawan dengan pihak perusahaan

yang diakomodasi oleh Dinas Tenaga Kerja.

d. Konsolidasi (consolidation).

Adalah terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan

timbulnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak-pihak yang

bertikai mengenal persoalan yang mereka pertentangkan.

e. Mediasi (mediation).

Yaitu pengendalian konflik dimana kedua belah pihak yang bersengketa bersepakat

untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasehat-nasehatnya (sebagai

juru damai) tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan

diantara mereka. Contoh : Mediasi pemerintah RI untuk mendamaikan faksi-faksi

yang bertikai di Kamboja.

f. Toleransi.

Merupakan pengendalian konflik melalui akomodasi tanpa persetujuan yang resmi.

Bisa terjadi secara tidak sadar tanpa direncanakan kerana adanya keinginan untuk

menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan.

g. Adjudikasi.

Yaitu merupakan penyelesaian masalah atau sengketa melalui pengadilan atau jalur

hukum. Contoh : Persengketaan tanah warisan keluarga di pengadilan.

2.4. HAKIKAT KONSELING

Walter dan Peller berpikir mengenai konseling berfokus solusi sebagai model yang

menerangkan bagaimana orang berubah dan bagaimana mereka dapat meraih tujuan

mereka. Berikut ini beberapa asumsi dasar SFBC:

a. Individu-individu yang datang konseling telah mempunyai kemampuan

berperilaku efektif, meskipun keefektifan tersebut mungkin untuk sementara

7
terhambat oleh pikiran negatif. Pikiran berfokus masalah mencegah orang dari

mengenali cara efektif mereka dalam menangani masalah

b. Ada keuntungan untuk fokus positif pada solusi dan di masa depan. Jika konseli

dapat mereorientasi diri mereka dengan mengarahkan kekuatan mereka

menggunakan “ solution –talk” , merupakan suatu kesempatan bagus dalam

konseling singkat

c. Proses konseling diorientasikan pada peningkatan kesadaran eksepsi (harapan-

harapan yang menyenangkan) terhadap pola masalah yang dialami dan

pemilihan proses perubahan

d. Konseli sering mengatakan satu sisi dari diri mereka. SFBC mengajak konseli

untuk memerika sisi lain dari cerita hidupnya yang disampaikan.

e. Perubahan kecil membuka jalan bagi perubahan besar. Seringkali, perubahan

kecil adalah semua yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dibawa

konseli ke konseling

f. Konseli ingin berubah, memiliki kemampuan untuk berubah, dan melakukan

yang terbaik untuk membuat perubahan terjadi. Konseli harus mengambil sikap

kooperatif dengan konseli daripada merancang strategi sendiri untuk

mengendalikan hambatan. Ketika konselo mencari cara untuk kooperatif

dengan konseli, maka perlawanan/ resistensi tidak akan terjadi.

g. Konseli bisa percaya pada niat mereka untuk menyelesaikan masalah mereka.

Tidak ada solusi yang “benar” untuk masalah spesifik yang dapat diaplikasikan

pada semua orang. Setiap individu unik

2.5. Model Solution Focused Brief Therapy

Pendekatan Solution Focused Brief Therapy (SFBT) atau Konseling singkat berfokus

solusi merupakan konsep pendekatan konseling dan psikoterapi yang dikembangkan oleh
8
Steve de Shazer dan istrinya Insoo Kim Berg. Pengembangan pendekatan ini dilakukan

bersama koleganya di Brief Therapy Center, Milauwkee, Wisconsin pada awal 1980-an.

Pendekatan ini menekankan pada Konseling singkat yang berorietasi pada masa

depan (future focused) serta langsung pada tujuan (goal directed) (de Shazer et al, 2007).

Bill O’Connel (2001) menyebutkan pendekatan ini sebagai bentuk dari konseling singkat

yang membangun kekuatan klien.

Tak seperti pendekatan-pendekatan mainstream lainnya, yang menempatkan konseli

sebagai sumber masalah atau dalam pendekatannya lebih pada membicarakan masalah

(talking problem), pendekatan SFBT justu sebaliknya. Sebagai pergeseran yang

pragmatis, SFBT memfokuskan pada kekuatan dan solusi daripada kekurangan dan

masalah (Hoyt, 1994). Bahkan SFBT menantang pemahaman tradisional kolot seperti

pada kebanyakan pendekatan lain yang berfokus pada masalah (O’Connell,2001).

Bannink & Jackson (2011) menyatakan bahwa pendekatan ini menekankan pada

membangun solusi sebagai lawan dari penekanan tradisional yang menganalisa mengenai

masalah.

Pendekatan ini memberikan sudut pandang yang lebih positif terhadap manusia yang

meyakini bahwa klien memiliki kekuatan dan mampu menentukan solusinya sendiri.

Asumsi umum pada pendekatan ini mempercayai bahwa seseorang pada dasarnya

memiliki resiliensi yang kuat, dan dapat menggunakan hal tersebut untuk membuat

perubahan (de Shazer et al, 2007). Paradigma positif dalam ruang lingkup psikologi yang

memberikan urgenitas pendekatan ini diungkapkan Seligman (Bannink&Jackson, 2011)

yang menyatakan bahwa :

Psychology is not just the study of disease, weakness, and damage; it is also the

study of strength and virtue. Treatment is not just fixing what is wrong; it is also

building what is right. Psychology is not just about illness or health; it is also
9
about work, education, insight, love, growth, and play.’

Konsep diatas memberikan naungan yang kuat akan kedudukan pendekatan

SFBT. Prinsip-prinsip utama dalam pendekatan SFBT lebih pada “building what is right”

serta meyakini pada “strength and virtue” yang dimiliki seseorang. Sehingga paradigma

yang dibangun oleh konselor terhadap konseli ialah “apa yang mesti ditumbuhkan dan

difasilitasi” bukan atas dasar “apa yang harus dipulihkan/diobati”.

Kiser, Piercy & Lipchik (Kegley, 2000) mendeskripsikan pendekatan ini sebagai

pendekatan yang singkat, pendekatan nonpatologis yang menggunakan kekuatan diri

klien untuk mendapatkan perubahan yang efektif. Hasil akhir dalam pendekatan ini ialah

untuk membangun solusi melalui proses kolaborasi antara konselor dengan klien. Dalam

proses terapeutik, SFBT secara langsung membicarakan tentang bagaimana membangun

sebuah solusi dan meninggalkan langkah “talking problem”. Sehingga, dalam setiap

akhir sesi konseling, klien mendapatkan solusi yang mereka tentukan sendiri.

Secara umum, arti dari pendekatan berfokus solusi ini adalah membantu

seseorang menemukan jalan untuk membuat hidupnya seperti apa yang di inginkan

(Ajmal, 2001). Jelas, penekanan utama pendekatan ini bukan pada proses

“penyembuhan” atau “pemulihan” melainkan memfasilitasi konseli memanfaatkan

kekuatan dirinya untuk menuju tujuan yang dikehendaki dalam hidup. Sehingga, melalui

pendekatan ini konseli didorong untuk membangun solusi hidupnya sendiri untuk

menyelesaikan permasalahan yang dialami serta menuju kehidupan yang diharapkannya.

Untuk pendekatan terhadap remaja, Haire (2009) menetapkan konseling hanya

tujuh sesi. Adapun langkah-langkah yang dilakukan ialah :

a. Menentukan tujuan konseling dalam sesi. Langkah ini untuk memperjelas

pencapaian apa yang akan diraih oleh konseli sebagai hasil dari proses konseling.

10
Tujuan dalam sesi konseling berguna untuk membuat konseli nyaman,

menetapkan kerjasama, dan untuk memulai proses perubahan (Haire, 2009).

b. Menggunakan kekuatan diri konseli. Pada tahap ini konselor memposisikan pada

membantu siswa untuk kembali terhubung dengan dayanya, kekuatannya, dan

kualitas yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan. (O’Connell, 2001).

c. Copying , Pada tahap ini konselor memberikan pertanyaan coping untuk

merespon keadaan yang dialami.

d. Miracle Question. Ini merupakan intervensi yang sentral dan khas pada

pendekatan ini. Konselor menggunakan pertanyaan ini untuk membantu konseli

menjelaskan tujuan mereka, daya, pengecualian dan strategi (O’Connell, 2001).

Miracle Question ini merupakan pertanyaan hipotetik yang mengajak konseli

untuk membayangkan dan menjelaskan gambaran rinci bentuk suatu keadaan

hidup pada saat mereka tak lagi mengalami masalah.

e. Penggunaan Skala. Dalam teknik pendekatan SFBT konselor menggunakan skala

untuk membantu konseli untuk memperkuat fikiran serta perasaannya tentang

masalah yang telah mereka selesaikan melalui angka. Konseli diajak untuk

menghitung tingkat masalah mereka dalam bentuk angka. Sehingga mereka sadar

apa yang seharusnya mereka lakukan. Tahap ini dapat membuat konseli aktif

sebagai partisipan dan “pemain utama” dalam menyelesaikan permasalahannya.

f. Membuat tugas dan percobaan. Pada tahap ini konselor memberikan

pekerjaan rumah yang mesti dilakukan konseli. Hal ini untuk mengontrol

perubahan yang diraih konseli. Tugas serta percobaan yang konseli akan lakukan

dibuat oleh konseli sendiri sesuai dengan tujuan sesi konseling yang telah

11
ditentukan sebelumnya.

g. Umpan balik. Memberikan umpan balik dalam sesi kepada klien adalah elemen

yang sangat penting dalam pendekatan solution focused (O’Connell, 2001).

Umpan balik yang dimaksud dapat berupa penghargaan, ringkasan apa yang

telah terjadi yang memang telah membantu, atau pemberian tugas/cara untuk

meraih tujuan yang dilakukan.

2.5. Prinsip SFBT

Prinsip utama yang terkandung dalam pendekatan SFBT ialah hubungan

kolaboratif antara konselor dengan konseli serta berfous pada pembangunan solusi masa

depan. Dalam proses konseling, ada sebuah pembangunan kerjasama antara konselor dan

konseli yang berkolaborasi kuat. Sehingga, hubungan konselor dan konseli dalam

pendekatan ini bersifat egaliter dan demokratis dimana konseli dapat menentukan

aturannya sendiri melalui kesepakatan (O’Connell, 2001).

Secara detail, de Shazer (2007) menguraikan beberapa prinsip utama dalam

pendekatan SFBT. Pertama, sikap positif, kolegial, dan berfokus solusi. Sikap yang

dimunculkan konselor yakni sikap-sikap positif, penuh respek serta penuh harapan.

Dalam hal ini keyakinan yang ditumbuhkan ialah bahwa setiap manusia memiliki

kekuatan, kebijaksanaan, dan pengalaman untuk berubah. Hubungan yang ditumbuhkan

dalam konseling adalah kolegial dan tidak hirarkis.

Kedua, melihat pada solusi sebelumnya. Dimana pendekatan ini meyakini bahwa

seseorang sebenarnya pernah mengatasi permasalahan yang sama dengan sebuah solusi.

Sehingga, solusi yang orang lain atau dirinya pernah lakukan untuk mengatasi

persoalannnya dapat ditinjau kembali untuk dapat dipakai sebagai solusi permasalahan

12
yang tengah dihadapi. Kuncinya, bahwa setiap orang bisa mengatasi masalah, walaupun

hanya sejenak.

Ketiga, melihat pada sebuah pengecualian (exceptions). Dalam hal mengalami

masalah, kadang seseorang memikirkan dan bergelut dengan masalahnya. Sehingga, tak

ada jalan keluar atau langkah yang dilakukan untuk keluar dari masalah. Melihat

sebuah pengecualian adalah langkah kecil namun signifikan untuk keluar dari masalah.

Pada saat solusi sebelumnya tak ada, maka pendekatan ini mengarahkan untuk

membentuk sebuah pengecualian seperti melupakan, pengabaian, atau bahkan muncul

secara kebetulan (de Shazer, 2007).

Keempat, pertanyaan. Pertanyaan dalam pendekatan ini merupakan elemen

komunikasi Konseling yang sangat penting. Konselor menggunakan pertanyaan untuk

menyadarkan konseli sebagai alat komunikasi dibanding dengan cara direktif. Kelima,

terfokus pada masa kini dan masa depan. Keenam, penghargaan (compliments).

Penghargaan dalam sesi konseling membantu menjelaskan bahwa apa yang dilakukan

konseli memang bekerja.

Terakhir, secara perlahan menuju untuk melakukan sesuatu yang lebih dari telah

dilakukan. Disaat konseli memahami bahwa apa yang ia lakukan merupakan hal yang

tepat, maka konseli cenderung akan melakukan yang lebih daripada apa yang

dilakukan. Arah pendekatan Konseling berfokus solusi mengutamakan pada perubahan

meskipun hanya sedikit. Setelah itu, konseli didorong untuk melakukan yang lebih agar

mendapatkan perubahan yang lebih besar.

2.6. Model Konseling Berfokus Solusi Konflik antar siswa di Sekolah .

Model Konseling Berfokus Solusi Konflik antar siswa di Sekolah dapat dilakukan
dalam beberapa tahap yang nantinya akan diperoleh hasil yang menunjukkan adanya solusi
kasus yang timbul akibat dari konflik yang terjadi pada siswa di sekolah, adapun tahapan

13
pada Model Konseling Berfokus Solusi Konflik antar siswa di Sekolah adalah sebagai berikut
:

(1) Konseling Berfokus Solusi untuk mnyelesaikan konflik antar siswa di sekolah untuk
kasus ringan sampai menengah dapat dilakukan sebayak 6 sesi, dimulai dari sesi
pendahuluan hingga sesi penutup.

(2) Pada sesi awal konselor dapat menjalankan Konseling Berfokus Solusi Konflik antar
siswa di Sekolah dengan lebih aktif untuk membangun hubungan baik antara konseli dan
konselor (rapport). Keadaan rileks perlu diciptakan oleh konselor dimulai dari sesi awal
konseling

(3) Pada sesi awal, sebagian besar konseli berperasaan enggan untuk dipertemukan dengan
lawan konfliknya. Mempersiapkan kondisi psikologis konseli dalam menghadapi
negosiasi merupakan perkara yang sangat penting. Tahap pendahuluan yang berfungsi
sebagai tahap mempersiapkan konseli memasuki tahap negosiasi dapat dilakukan dua kali
sesi, hingga konseli benar-benar sedia untuk menjalankan negosiasi secara konstruktif.

(4) Konseli yang belum sanggup mengikuti Konseling berfokus solusi antar siswa hingga
akhir sesi kedua pada dasarnya dapat dilanjutkan dengan intervensi individu sehingga
sedia untuk memasuki sesi negosiasi secara langsung dengan pihak lawan konflik.

(5) Untuk memudahkan proses konseling perlu dibina protokol konseling yang menjelaskan
secara singkat mengenai langkah-langkah operasional proses Konseling berfokus solusi
antar siswa yang terintegrasi dengan prosedur Konseling berfokus solusi antar siswa.

(6) Konseling berfokus solusi antar siswa akan efektif terhadap penyelesaian konflik antar
teman disekolah :
(a) Konseli dapat menyelesaikan konfliknya secara damai dan konstruktif dalam waktu 6
sesi pertemuan berdasarkan prosedur Konseling berfokus solusi antar siswa.
(b) Konseli merasa senang dapat menyelesaikan masalahnya tanpa dipaksa oleh orang
lain dan mereka dapat menemukan cara menyelesaikan sendiri pada waktu proses
Konseling berfokus solusi antar siswa dilakukan.
(c) Konseli bersedia mempertahankan hubungan damai dan sanggup menyelesaikan
konfliknya secara konstruktif dan damai jika menghadapi perselisihan lagi.

14
I. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN

1. KELEBIHAN

a. Pendekatan ini menekankan pada singkatnya waktu konseling

b. Pendekatan ini fleksibel dan mempunyai banyak riset yang membuktikan keefektifannya

c. Pendekatan ini bersifat positif untuk digunakan dengan konseli yang berbeda-beda.

Maksudnya, teori konseing ini didasarkan pada asumsi optimis bahwa setiap manusia adalah

sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengkonstruk solusi dalam

meningkatkan kualitas hidup mereka dengan optimal.

d. Pendekatan ini difokuskan pada perubahan dan dasar pemikiran yang menekankan perubahan

kecil pada tingkah laku

e. Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan pendekatan konseling lainnya

2. KELEMAHAN

a. Pendekatan ini hampir tidak memperhatikan riwayat konseli

b. Pendekatan ini kurang memfokuskan pencerahan

c. Pendekatan ini menggunakan tim, setidaknya beberapa praktisi, sehingga membuat

perawatan ini mahal

15
DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R. 1980. Content validity and reliability of single items or questionnaires.

Educational and Psychological Measurement 40: 955-959.

Aryanto, A. 1992. Tinjauan teori Reasoned Action dan Planned Behavior mengenai tingkah

laku terlibat dalam perkelahian pada siswa SLTA dan STM di Jakarta. Tesis Master,

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Jakarta.

Bagdonis, A.S. & Salisbury., D.F. 1994. Development validation of models in instructional

design. Educational Technology April: 26-32.

Barrett-Lennard, G.T. 1998. Carl Rogers’ helping system: journey and substance. London:

Sage Publications

Bertrand, J. 2005. Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. London: Cambridge

University Press.

Bloch, S., Reibstein, J., Crouch, E., Holroyd, P. & Themen, J. 1979. A method for the study

of therapeutic factors in group psychotherapy. British Journal of Psychiatry 134: 257-

263.

Borg, W.R. & Gall, M.D. 1983. Educational research: an introduction. Edisi ke-3. New York:

David McKay

Brislin, R.W. 1976. Comparative research methodology: cross-cultural study. International

Journal of Psychology 11 (3) 215-229.

Buss, A.H. & Perry, M. 1992. The Aggression questionnaire. Journal of Personality and

Social Psychology 63: 452-459

Clayton, C.J., Ballif-Spanvill, B. & Hunsaker, M.D. 2001. Preventing violence and teaching

16
peace: lanjutkan. Applied and Preventive Psychology 10: 1-35.

Cochran, J.L., Cochran, N.H., & Hatch, E.J. 2002. Empathetic communication for conflict

resolution among children. The Person-Centered Journal 9 (2): 110-118.

Colombijn, F. & Lindblad. 2002. Roots of the violence in Indonesia. Singapura: Institut of

Southeast Asia Studies

Davis, M.H., Capabianco, S., & Kraus, L.A. 2004. Measuring conflict-related behaviors:

reliability and validity evidence regarding the conflict dynamics profile. Educational &

Psychological Measurement 64 (4): 707-731

Deutsch, M. 1993. Educating for a Peaceful World. American Psychologist. 48 (5): 510-517

Druckman, D. 2005. Doing Research: methods of inquiry for conflict analysis.

Oaks/California: Sage Publication.

Freire, E.S., Koller, S.H., Piason, A., & Silva, R.B. 2005. Person-Centered Therapy with

impoverished, maltreated, and neglected children and adolescents in Brazil. Journal of

Mental Health Counseling 27 (3) 225+. http://www.questia.com/ PM.qst?a [20

November 2006]

Gani, A.H. 2000. Konflik dan kejahatan kekerasan antarkelompok di terminal bus antarkota

Kampung Rambutan Jakarta Timur. Tesis Mater Universitas Indonesia Jakarta.

Gerstein, L.H. & Moeschberger, S.L. 2003. Building culture of peace: an urgent task for

counseling professionals. Journal of Counseling and Development 81 (1): 115-119.

Gerstein, L.H. & Moeschberger, S.L. 2003. Building culture of peace: an urgent task for

counseling professionals. Journal of Counseling and Development 81 (1): 115-119.

Guneri, Y. & Coban, R. 2004. The effect of conflict resolution training on Turkish elementary

school students: a quasi-experimental investigation. International Journal for the

Advancement of Counseling 26 (2) 109-124.

Habib, A. 2004. Konflik antaretnik di pedesaan: Pasang surut hubungan Cina-Jawa.

17
Yogyakarta: LKIS.

Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1994. Constructive conflict in the schools. Journal of Social

Issues 50 (1): 117-137.

Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1995. Teaching student to be peacemaker: Results of five

years of research. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 1 (4): 438+

http://www.questia.com/ PM.qst?a=o&d=76938931

Johnson, D.W., Johnson, R.T., Dudley, B., & Acikgos, K. 1994. Effect of conflict resolution

training on elementary school students. Journal of Social Psychology 134 (6): 803-817

Kirschenbaum, H. 2004. Carl Rogers’s life and work an assessment on the 100 th anniversary

of his birth. Journal of Counseling and Development 82 (1) 116+.

Lampropoulus, G.K. 2001. Common processes of change in psychotherapy and seven other

social interactions. British Journal of Guidance and Counselling 29 (1): 21-33.

Latipun. 2005. Penanganan sekolah terhadap konflik antar remaja. Laporan Penelitian

Universitas Muhammadiyah Malang.

Laursen, B., Finkelstein, B.D., Betts, N.T. 2001. A developmental meta-analysis of peer

conflict resolution. Developmental Review 21: 423-449.

Maher, C.A. 1986. Evaluation of a program for improving conflict management skills of

special services directors. Journal of School Psychology 24: 45-53.

Malhi, R.S. 2004. Enhancing personal quality. Kuala Lumpur: TQM Consultants SDN. Bhd.

Marxt, C. & Hacklin, F. 2005. Design, product development, innovation: all the same in the

end? A short discussion on terminology. Journal of Engineering Design 16 (4): 413-

421.

Matindas, R. 1996. Tawuran pelajar: produk usang dalam kemasan baru. Tempo, 20 Apr 1996

Moonen, J. 1999. The design and prototyping of digital learning material: some new

perspectives. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., &

18
Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in educational and training (hlm. 95-

112). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Nelson, L.L. & Christie, D.J. 1995. Peace in the psychology curriculum: moving from

assimilation to accommodation. Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology 1

(2): 161-178.

Newman, R.S., Murray, B., & Lussier, C. 2001. Confrontation with aggressive peers at

school: Student’ reluctance to seek help from the teacher. Journal of Educational

Psychology 93 (2): 398-410

Nieveen, N. 1999. Prototype to reach product quality. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M.,

Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches and tools in

educational and training (hlm. 125-135). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Orpinas, P. & Horne, A.M. 2004. A teacher-focused approach to prevent and reduce students'

aggressive behavior: the GREAT teacher program. American Journal of Preventive

Medicine 26 (1S): 29-38.

Page, R.M., & Hammermeister, J. 1997. Weapon-carrying and youth violence. Adolescence

32 (127): 505-513.

Prout, H.T. & DeMartino, R.A. 1986. A Meta-analysis of school-based studies of

psychotherapy. Journal of School Psychology 24: 285-292.

Rais, M.F. 1997. Tindak pidana perkelahian pelajar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ratnawati, T. 2006. Maluku: dalam catatan seorang peneliti. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Richey, R.C., Klein, J.D., & Nelson, W.A. 2004. Developmental Research. Dlm. Jonassen,

D.H. (pnyt.) Handbook of research on educational communications and technology.

Edisi ke 2, hlm. 1099-1130. Mahwah, NJ. Lawrence Erlbaum Ass.

Rogers, C.R. 1946. Significant aspect of Client-Centered Therapy. American Psychologist 1:

415-233. Online: http//psychclassic.yorku.ca/Rogers

19
Rogers, C.R. 1961. On becoming a person. Boston: Houghton Mifflin Co.

Rogers, C.R. 1962. The Interpersonal relationship: the core guidance. Harvard Educational

Review 32 (2): 416-429.

Rogers, C.R. 1963. The concept of the fully functioning person. Psychotherapy: Theory,

Research, Practice 1 (1): 17-26.

Rogers, C.R. 1987. The understanding theory: drawn from experience with individual and

group. Counseling and Values 32 (1): 38-46.

Rogers, C.R. 2007. The necessary and sufficient conditions of therapeutic personality change.

Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training 44 (3): 240-248 (cetak ulang

Journal of Consulting Paychology 21: 95-103.

Shechtman, Z & Nachshol, R. 1996. A school-based intervention to reduce aggressive

behavior in maladjusted adolescents. Journal of Applied Developmental Psychology 17:

535-552.

Smith, S.W., Daunic, A.P., Miller, M.D., & Robinson, T.R. 2002. Conflict resolution and peer

mediation in middle schools: extending the process and outcome knowledge base. The

Journal of Social Psychology 142 (5) 567-586.

Theberge, S.K. & Karan, O.C. 2004. Six factors inhibiting the use of peer mediation in a

Junior High School. Professional School Counseling 7 (4): 283-290.

Valcke, M., Kirschner, P., & Bos, E. 1999. Enabling technologies to design, produce and

exploit flexible, electronic learning material. Dlm. van den Akker, J., Branch, R.M.,

Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T (pnyt.). Design approaches and tools in

educational and training (hlm. 249-264). Dordrecht: Kluwer Academic Publisher

van den Akker, J. 1999. Principles and method of development research. Dlm. van den Akker,

J., Branch, R.M., Gustafson, K., Nieveen, N., & Plomp, T. (pnyt.). Design approaches

and tools in educational and training, hlm. 1-14. Dordrecht: Kluwer Academic

20
Publisher.

Wilson, S.J. & Lipsey, M.W. 2007. School-based interventions for aggressive and disruptive

behavior. American Journal of Preventive Medicine 33: S131-S143.

Zhang, Q. 1994. An Intervention model of constructive conflict resolution and cooperative

learning. Journal of Social Issues 50 (1): 99-116

21
SFBC merupakan salah satu teknik konseling pendekatan postmodern. Tumbuh dari

orientasi terapi strategis di lembaga penelitian jiwa, SFBC menggeser fokus dari penyelesaian

masalah untuk fokus pada solusi lengkap.

Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg memulai pergeseran ini di pusat terapi singkat di

Milwaukee pada akhir tahun 1970an. Setelah tumbuh tidak puas dengan kendala dari model

strategis, pada tahun 1980an de Shazer berkolaborasi dengan sejumlah terapis, termasuk Eve

Lipchik, John Walter, Jane Peller, Michelle Weiner-Davis, dan Bill O’Hanlon, yang masing-

masing menulis secara ekstensif tentang SFBC dan memulai SFBC di lembaga pelatihan

mereka. Baik O’Hanlon dan Weiner-Davis terpengaruh oleh karya asli de Shazer, namun

mereka memperluas dasar ini dan menciptakan apa yang mereka sebut Solution – Oriented

therapy. Dalam bab ini ketika didiskusikan solution-focused brief therapy, solution-focused

therapy, dan solution-oriented therapy, lebih difokuskan pada kesamaan pendekatan ini

daripada melihat perbedaannya.

Dua pendiri utama SFBC yaitu INSOO KIM BERG : Sebagai Direktur exsekutif,

pusat terapi keluarga yang singkat di Milwaukee. Sebagai pimpinan oretician dalam

Pemusatan solusi terapi singkat (Solution Focused Brief Therapy (SFBT). Dia menyediakan

tempat kerja yang dipersatukan, Japan, Korea Utara, Australia, Denmark, Inggris dan Jerman.

Hasil tulisannya adalah jasa keluarga yang didasarkan: Pusat pendekatan solusi (1994),

bekerja dengan masalah-masalah pemabuk (1992), Pusat Pendekat solusi (1992), dan

Interviewing solution (2002).

STEVE DE SHAZER : salah satu pelopor (SFBT) Senior perkumpulan penelitian di

Milwaukee, pengarang buku solusi terapi singkat SFBT (1985), petunjuk-petunjuk

mempelajari (SFBT) (1988), meletakan perbedaan untuk bekerja (1991), awalnya kata sihir

(1994). Dia mempresentasikan melalui tempat-tempat kerja, pelatihan, dan meluas sebagai

22
konsultan di Amerika utara, Eropah, Australia, dan Asia untuk pengembangan teori dan

solusi-solusi praktek.

SFBC berbeda dengan dari terapi tradisional dengan mengulas masa lalu dalam

mendukung baik saat ini maupun masa depan. Konselor fokus pada apa yang mungkin, dan

mereka kurang tertarik dalam mengeksplorasi masalah. De Shazer mengatakan bahwa tidak

perlu mengetahui penyebab masalah untuk menyelesaikannya dan tidak perlu

menghubungkan antara penyebab masalah denga solusi. Pengumpulan informasi mengenai

masalah tidak dibutuhkan dalam mengubah hal yang terjadi.

Jika mengetahui dan memahami masalah itu tidak penting, maka selanjtnya adalah

mencari solusi yang benar. Setiap orang mungkin mempertimbangkan banyak solusi, dan apa

yang benar bagi seseorang bisa jadi tidak benar menurut orang lain. dalam SFBC, konseli

memilih tujuan penyelesaian yang mereka harapkan, dan sedikit perhatian dalam

memberikan diagnosis, pembicaraan masa lalu, atau eksplorasi masalah.

SFBC dibangun atas dasar asumsi optimis bahwa setiap manusia adalah sehat dan

kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengkonstruk solusi yang dapat meningkatkan

kualitas hidupnya dengan optimal. Asumsi pokok dalam SFBC ini bahwa kita memiliki

kemampuan untuk mengatasi tantangan hidup, walaupun kadang-kadang kita mungkin

kehilangan arah atau kesadaran tentang kemampuan kita. Tanpa memperhatikan apa yang

dibentuk konseli ketika mereka memulai konseling, Berg percaya konseli kompeten dan tugas

konselor adalah untuk membantu konseli mengenali kompetensi yang mereka miliki. Esensi

dari konseling ini adalah melibatkan konseli dalam membangun harapan dan optimis dengan

membuat ekspektasi positif dalam kemungkinan perubahan. SFBC adalah pendekatan non

patologis yang menekankan kompetensi dari pada kekurangan, dan kekuatan dari pada

kelemahan. Model SFBC membutuhkan sikap filosofis dalam menerima konseli dimana

mereka dibantu dalam membuat solusi. O’ Hanlon mendeskripsikan orientasi positif : “

23
menumbuhkan solusi – meningkatkan kehidupan manusia dari pada fokus pada bagian-

bagian patologi masalah dan perubahan menakjubkan dapat terjadi sangat cepat”. Karena

konseli sering datang ke konseling dengan pernyataan “ orientasi masalah”, bahkan sedikit

solusi yang mereka pertimbangkan bersampul dalam kekuatan orientasi masalah. Konseli

sering memiliki cerita yang berakar dalam sebuah pandangan yang menentukan apa yang

terjadi di masa lalu pasti akan membentuk masa depan mereka. Konselor SFBC menentang

pernyataan konseli dengan percakapan optimis yang menyoroti keyakinan mereka dalam

pencapaian , menggunakan tujuan dari berbagai sudut. Konselor dapat menjadi penolong

dalam membantu konseli membuat pergeseran dari pernyataan masalah ke kondisi dengan

kemungkinan-kemungkinan baru. Konselor dapat mendorong dan menantang konseli untuk

menulis cerita yang berbeda yang dapat menyebabkan akhir yang baru.

C. HAKIKAT MANUSIA

Konseling berfokus solusi tidak mempunyai pandangan komprehensif tentang sifat

manusia, tetapi berfokus pada kekuatan dan kesehatan konseli. Konseling berfokus solusi

menganggap manusia bersifat konstruktivis. Sehingga, konseling berfokus solusi didasarkan

pada asumsi bahwa manusia benar-benar ingin berubah dan perubahan tersebut tidak

terelakkan.

D. PERKEMBANGAN PERILAKU

1. STRUKTUR KEPRIBADIAN

Struktur kepribadian manusia berdasarkan teori SFBC adalah sebagai berikut:


24
a. SFBC tidak menggunakan teori kepribadian dan psikopatologi yang ada saat ini

b. Konselor tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu

c. Konselor perlu tahu apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan

sehat, yaitu tujuan yang lebih baik dan sehat

d. Individu tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi bisa mengubah tujuannya

e. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi masalah dan mengantarkan masa depan yang lebih

produktif

f. Konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan produktif, proses

positif, saat ini, praktis, spesifik, kendali konseli dan bahasa konseli

g. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC berfokus

pada saat ini yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun berdasarkan

bahasa konseli dan dibawah kendalinya.

2. PRIBADI SEHAT DAN BERMASALAH

Pribadi sehat berdasarkan teori SFBC adalah:

a. Manusia pada dasarnya kompeten, memiliki kapasitas untuk membangun, merancang/

merekonstruksikan solusi-solusi sehingga mampu menyelesaikan masalahnya

b. Tidak berkutat pada masalah, tetapi fokus pada solusi dan bertindak mewujudkan solusi yang

diinginkan

Pribadi bermasalah menurut SFBC adalah:

a. Mengkonstruk kelemahan diri. Dengan cara mengkonstruk cerita yang diberi label

“masalah” dan meyakini bahwa ketidakbahagiaan berpangkal pada dirinya.

b. Berkutat pada masalah dan merasa tidak mampu menggunakan solusi yang dibuatnya.
25
E. HAKIKAT KONSELING

Walter dan Peller berpikir mengenai konseling berfokus solusi sebagai model yang

menerangkan bagaimana orang berubah dan bagaimana mereka dapat meraih tujuan mereka.

Berikut ini beberapa asumsi dasar SFBC:

1. Individu-individu yang datang konseling telah mempunyai kemampuan berperilaku efektif,

meskipun keefektifan tersebut mungkin untuk sementara terhambat oleh pikiran negatif.

Pikiran berfokus masalah mencegah orang dari mengenali cara efektif mereka dalam

menangani masalah

2. Ada keuntungan untuk fokus positif pada solusi dan di masa depan. Jika konseli dapat

mereorientasi diri mereka dengan mengarahkan kekuatan mereka menggunakan “ solution –

talk” , merupakan suatu kesempatan bagus dalam konseling singkat

3. Proses konseling diorientasikan pada peningkatan kesadaran eksepsi (harapan-harapan yang

menyenangkan) terhadap pola masalah yang dialami dan pemilihan proses perubahan

4. Konseli sering mengatakan satu sisi dari diri mereka. SFBC mengajak konseli untuk

memerika sisi lain dari cerita hidupnya yang disampaikan.

5. Perubahan kecil membuka jalan bagi perubahan besar. Seringkali, perubahan kecil adalah

semua yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dibawa konseli ke konseling

6. Konseli ingin berubah, memiliki kemampuan untuk berubah, dan melakukan yang terbaik

untuk membuat perubahan terjadi. Konseli harus mengambil sikap kooperatif dengan konseli

daripada merancang strategi sendiri untuk mengendalikan hambatan. Ketika konselo mencari

cara untuk kooperatif dengan konseli, maka perlawanan/ resistensi tidak akan terjadi.

7. Konseli bisa percaya pada niat mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. Tidak ada

solusi yang “benar” untuk masalah spesifik yang dapat diaplikasikan pada semua orang.

Setiap individu unik dan begitu juga pada setiap penyelesaian masalahnya.

26
F. KONDISI PENGUBAHAN

Bertolino dan O’Hanlon menekankan pentingnya membuat kolaborasi hubungan

terapeutik dan perlu dilakukan untuk keberhasilan konseling. Diakui bahwa konselor

memiliki keahlian dalam menciptakan konteks untuk perubahan, mereka menekankan bahwa

konseli adalah ahli dalam kehidupan mereka dan sering memiliki perasaan yang bagus

tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan di masa lalu dan begitu juga apa yang

mungkin dilakukan di masa depan. SFBC mengasumsikan pendekatan kolaboratif dengan

konseli berbeda dengan sikap edukatif yang biasanya dikaitkan dengan model terapi

tradisional. Jika konseli terlibat dalam proses terapeutik dari awal sampai akhir, perubahan

meningkat sehingga konseling akan sangat berhasil. Singkatnya, hubungan kolaborasi dan

kooperatif cenderung lebih efektif dari pada hubungan hierarki dalam konseling.

1. TUJUAN

SFBC menawarkan beberapa bentuk tujuan:

- Mengubah cara pandang situasi atau kerangka pikir

- Mengubah situasi masalah dan menekankan pada kekuatan dan sumber daya konseli

- Konseli didorong untuk terlibat dalam perubahan atau “ solution talk”, dari pada “problem

talk” dengan asumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah sebagian besar apa yang akan

dihasilkan

- Berbicara tentang perubahan dapat menghasilkan perubahan. Secepat individu belajar untuk

berbicara dalam istilah kemampuan dan kompetensi mereka, apa sumber daya dan kekuatan

yang mereka miliki, dan apa yang siap mereka lakukan dan mengerjakannya, mereka dapat

mencapai hal utama dalam konseling.

27
2. SIKAP, PERAN DAN TUGAS KONSELOR

- Mengidentifikasi dan memandu konseli mengeksplorasi kekuatan-kekuatan dan kompetensi

yang dimiliki konseli

- Membantu konseli mengenali dan membangun perkecualian-perkecualian pada masalah,

yaitu saat-saat ketika konseli telah melakukan (memikirkan, merasakan) sesuatu yang

mengurangi atau membatasi dampak masalah

- Melibatkan konseli untuk berpikir tentang masa depan mereka dan apa yang mereka

inginkan yang berbeda di masa depan

- Konselor mengambil posisi “ tidak mengetahui” untuk meletakkan konseli pada posisi

sebagai ahli mengenai kehidupan mereka sendiri. Konselor tidak mengasumsikan diri sebagai

ahli yang mengetahui tindakan dan pengalaman konseli

- Membantu konseli dalam mengarahkan perubahan tetapi tidak mendikte konseli apa yang

ingin diubah

- Konselor berusaha membentuk hubungan yang kolaboratif dan menciptakan suatu iklim

yang respek, saling menghargai dan membangun suatu dialog yang bisa menggali konseli

untuk mengembangkan kisah-kisah yang mereka pahami dan hayati dalam kehidupan mereka

- Konsisten dalam membantu konseli berimajinasi bagaimana mereka menginginkan hal yang

berbeda dan apa yang akan dilakukan untuk membawa perubahan tersebut terjadi dengan

menanyakan “ apa yang Anda inginkan dari datang kesini?”, “apa yang akan membuat

perbedaan untukmu?” dan “ apa kemungkinan-kemungkinan yang Anda tandai bahwa

perubahan yang Anda inginkan terjadi?.

3. SIKAP, PERAN DAN TUGAS KONSELI

- Mau dan mampu berkolaborasi dengan konselor

- Aktif terlibat dalam proses konseling

28
- Memiliki motivasi untuk menyelesaikan masalah

G. MEKANISME PENGUBAHAN

1. TAHAP-TAHAP KONSELING

a. Establishing rapport. Yaitu pembentukan hubungan baik agar proses konseling berjalan

lancar seperti yang diharapkan. Agar tercipta iklim yang kolaboratif antara konselor dengan

konseli.

b. Identifying a solvable complaint. Yaitu mengidentifikasi keluhan-keluhan yang akan

dipecahkan.

c. Establishing goals atau menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses konseling.

d. Deigning an intervention atau merancang intervensi

e. Strategic task that promote change. Yaitu tugas tertentu yang diberikan oleh konselor untuk

mendorong perubahan. Misalnya dengan meminta konseli untuk mengamati dengan

mengatakan:” antara sekarang dan waktu mendatang kita bertemu, saya meminta anda untuk

mengamati, sehingga Anda dapat menggambarkan pada saya pada pertemuan mendatang, apa

yang terjadi di kehidupan Anda yang Anda inginkan terjadi secara berkelanjutan”. Penugasan

tersebut mendorong konseli bahwa perubahan yang diinginkan pasti terjadi dan tidak

terelakkan. Hal tersebut sangat penting dipahami sebelum mereka memulai merancang

perubahan.

f. Identifying & emphazing new behavior & changes. Yaitu mengidentifikasi dan menguatkan

perilaku baru dan perubahan.

g. Stabilization atau stabilisasi

h. Termination. Pada tahap terminasi, ciri-ciri pertanyaan yang diajukan konselor untuk

mengidentifikasi keberhasilan knseling yaitu: “ apa hal berbeda yang diperlukan dalam hidup

Anda yang dihasilkan dengan datang kemari sehingga Anda mengatakan bahwa pertemuan

29
kita bermanfaat?”, dan “ ketika masalah Anda teratasi, hal berbeda apa yang akan Anda

lakukan?”.

2. TEKNIK-TEKNIK KONSELING

 Exeption-Finding Questions : Pertanyaan tentang saat-saat dimana konseli bebas dari

masalah. SFBT didasarkan pada gagasan dimana ada saat-saat dalam hidup konseli ketika

masalah yang mereka identifikasi tidak bermasalah. Waktu tersebut disebut pengecualian dan

disebut “ news of difference”. Konselor SFBC mengajukan ask exeption question untuk

menempatkan konseli pada waktu-waktu ketika tidak ada masalah, atau ketika masalah yang

ada tidak kuat. Pengecualian merupakan pengalaman hidup konseli di masa lalu ketika

dimungkinkan masalah tersebut masuk akal terjadi, tetapi entah bagaimana hal itu tidak

terjadi. Dengan membantu konseli mengidentifikasi dan memeriksa pengecualian tersebut

kemungkinan meningkatkan mereka dalam bekerja menuju solusi. Eksplorasi ini

mengingatkan konseli bahwa masalah tidak selalu kuat dan ada selamanya; juga

menyediakan kesempatan untuk meningkatkan sumberdaya, melibatkan kekuatan, dan

menempatkan solusi yang mungkin. Konselor menanyakan pada konseli apa yang harus

dilakukan agar pengecualian ini lebih sering terjadi. Dalam istilah SFBC, hal ini disebut

“change-talk”.

 Miracle Questions : Pertanyaan yang mengarahkan konseli berimajinasi apa yang akan terjadi

jika suatu masalah dialami secara ajaib terselesaikan. Konselor menanyakan “ jika suatu

keajaiban terjadi dan masalah Anda terpecahkan dalam waktu semalam, bagaimana Anda

tahu bahwa masalah tersebut terselesaikan, dan apa yang akan berbeda?”. Konseli kemudian

terdorong untuk menegaskan apa yang mereka inginkan agar merasa lebih percaya diri dan

aman, konselor bisa mengatakan: “ biarkan dirimu berimajinasi bahwa kamu meninggalkan

kantor hari ini dan kamu dalam rel untuk bertindak lebih percaya diri dan aman. Hal berbeda

30
apa yang akan kamu lakukan?”. Mengubah hal yang dilakukann dan cara pandang terhadap

masalah mengubah masalah tersebut. Meminta konseli untuk mempertimbangkan keajaiban

tersebut dapat membuka celah kemungkinan di masa depan. Konseli didorong untuk

mengikuti mimpinya sebagai cara dalam mengidentifikasi perubahan apa saja yang paling

ingin mereka lihat. Pertanyaan ini memiliki fokus masa depan bahwa konseli dapat mulai

mempertimbangkan hal yang berbeda dalam hidupnya yang tidak didominasi oleh masalah

tertentu. Intervensi ini menggeser penekanan dari masa lalu dan masalah saat ini menuju

kehidupan yang lebih memuaskan di masa depan.

 Scaling Questions : Pertanyaan yang meminta konseli menilai kondisi dirinya (masalah,

pencapaian tujuan) berdasarkan skala 1-10. Konselor SFBC juga menggunakan teknik ini

ketika mengubah pengalaman konseli yang tidak mudah diobservasi, seperti perasaan,

keinginan atau komunikasi. Sebagai contoh, seorang perempuan mengatakan bahwa dia

merasa panik atau cemas, bisa ditanyakan:” pada skala 0-10, dengan 0 adalah apa yang Anda

rasakan ketika Anda pertama kali datang konseling dan 10 sebagai perasaan Anda hari ini

setelah keajaiban terjadi dan masalah Anda teratasi, bagaimana Anda menyatakan skala

kecemasan Anda sekarang?”. Bahkan jika konseli hanya berkembang dari 0 ke 1, dia telah

berkembang. Bagaimana dia melakukan itu? Apa yang dia perlukan untuk meningkatkan

skala? Pertanyaan skala memungkinkan konseli untuk lebih memperhatikan apa yang mereka

lakukan dan bagaimana mereka dapat mengambil langkah yang akan memandu perubahan

yang mereka inginkan.

 Coping Questions : Pertanyaan yang meminta konseli mengemukakan pengalaman sukses

dalam menangani masalah yang dihadapi.

 Compliments : Pesan tertulis yang dirancang untuk memuji konseli atas kelebihan, kemajuan,

dan karakteristik positif bagi pencapaian tujuannya.

31
H. HASIL-HASIL PENELITIAN

Penelitian SFBC telah dilakukan oleh Mulawarman dengan judul Penerapan SFBT

untuk meningkatkan harga diri siswa (self esteem) suatu embedded experimental design.

Hasil penelitian dilihat dari hasil secara kuantitatif ditemukan perbedaan tingkatself

esteem siswa sebelum mendapatkan intervensi SFBT dengan menggunakan Wilcoxon signed

rank test, dimana nilai tersebut adalah 2, 207. Pada sisi kualitatif dengan berdasarkan pada

hasil analisis percakapan ditemukan bahwa harga diri rendah berubah menjadi harga diri

tinggi.

J. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN

1. KELEBIHAN

a. Pendekatan ini menekankan pada singkatnya waktu konseling

b. Pendekatan ini fleksibel dan mempunyai banyak riset yang membuktikan keefektifannya

c. Pendekatan ini bersifat positif untuk digunakan dengan konseli yang berbeda-beda.

Maksudnya, teori konseing ini didasarkan pada asumsi optimis bahwa setiap manusia adalah

sehat dan kompeten serta memiliki kemampuan dalam mengkonstruk solusi dalam

meningkatkan kualitas hidup mereka dengan optimal.

d. Pendekatan ini difokuskan pada perubahan dan dasar pemikiran yang menekankan perubahan

kecil pada tingkah laku

e. Pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan pendekatan konseling lainnya

2. KELEMAHAN

a. Pendekatan ini hampir tidak memperhatikan riwayat konseli

b. Pendekatan ini kurang memfokuskan pencerahan

c. Pendekatan ini menggunakan tim, setidaknya beberapa praktisi, sehingga membuat

perawatan ini mahal

32
J. SUMBER RUJUKAN

Corey, Gerald. 2009.Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy Eigh Edition. USA:

Thomson Higher education

Palmer, Stephen. 2011. Introduction to Counselling and Psychotherapy (terjemahan). Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Gladding, Samuel T. 2012. Counseling a Comprehensive Profession, sixth edition (terjemahan).

Jakarta Barat: PT Indeks

33
TERAPI SINGKAT BERFOKUS SOLUSI (SOLUTION

FOCUSED BRIEF THERAPY / “SFBT”)

TERAPI SINGKAT BERFOKUS SOLUSI

(SOLUTION FOCUSED BRIEF THERAPY / “SFBT”)

1. A. PENDAHULUAN

Seperti namanya, ini adalah tentang terapi yang singkat dan berfokus pada solusi, bukan

pada masalah. Ketika ada masalah, banyak profesional menghabiskan banyak waktu

berpikir, berbicara, dan menganalisis permasalahan, sementara penderitaan yang

dialami klien sedang berlangsung. Terpikir tim profesional kesehatan mental di Pusat

Terapi Singkat Keluarga yang begitu banyak waktu dan energi, serta sumber daya

banyak, dihabiskan untuk berbicara tentang masalah, daripada berpikir tentang apa

yang mungkin membantu klien untuk mendapatkan solusi yang akan membawa pada

realistis, bantuan wajar secepat mungkin. Oleh karena itulah muncul Terapi Singkat

Berfokus Solusi.

Terapi singkat berfokus solusi (SFBT) adalah salah satu pendekatan keluarga, yang

dikenal sebagai terapi sistem, yang telah dikembangkan selama 50 tahun terakhir ini,

pertama di Amerika Serikat, dan akhirnya berkembang di seluruh dunia, termasuk Eropa.

Terapi singkat berfokus solusi disebut hanya sebagai “terapi berfokus solusi (TBS)” atau

“terapi singkat”.

Pelopor terapi singkat berfokus solusi adalah Insoo Kim Berg dan Steve de Shazer, serta

praktisi SFBT berbasis sekolah dan ahli lainnya. Kita terfokus kepada segi-segi pokok dari

teori SFBT, khususnya cara dimana para praktisi berfokus solusi berpikir tentang

perubahan, kapasitas klien, dan sifat resistensi klien.

Sejak diciptakan pada tahun 1980-an, terapi singkat berfokus solusi (SFBT) perlahan-

lahan telah menjadi sebuah pilihan perlakuan yang umum dan diterima bagi beberapa

34
ahli kesehatan jiwa. Dengan penekanannya terhadap kekuatan klien dan pengobatan

jangka pendek, SFBT akan tampak sangat sesuai dengan konteks kesehatan mental

(jiwa), dengan berbagai masalah yang timbul di lingkungan sekolah dan muatan kasus

yang besar untuk sebagian besar pekerja sosial sekolah (guru BK di sekolah).

Salah satu gagasan yang lebih bebas tentang SFBT adalah bahwa perubahan selalu

terjadi, dan menuntut agar perhatian konselor terfokus kepada perubahan-perubahan

kecil yang membuat perbedaan-perbedaan besar dalam kehidupan klien. Apa yang

konselor lakukan dengan perubahan-perubahan kecil yang kadang-kadang sulit untuk

dilihat adalah apa yang membuat konselor menjadi konselor SFBT. Hal ini membuat

konselor bergerak menuju konseling yang lebih berfokus kepada solusi dalam

pendekatan-pendekatan mereka terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

1. B. Prinsip Dasar SFBT

Prinsip dasar dari terapi singkat berfokus solusi sebagai berikut :

1. Manusia pada dasarnya sehat, memiliki kekuatan atau kelebihan. Insoo Kim Berg

dan Steve de Shazer mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan tersebut aktif dalam

membantu klien/manusia menangani situasi mereka. Masalahnya bukan pada

klien tidak dapat menyelesaikan masalahnya tanpa pelatihan tambahan atau

kepatuhan terhadap pandangan/nasihat konselor tentang masalah tersebut.

Melainkan kekuatan yang melekat pada mereka lah yang pada akhirnya akan

mereka gunakan dalam memecahkan masalah.

2. Manusia memiliki kemampuan (kompetensi)

3. Manusia memiliki keberdayaan (kapasitas) untuk membangun (mengkontruksi)

solusi.

4. Manusia tidak terpaku pada masalah tetapi berfokus pada solusi.

5. Perubahan terjadi sepanjang waktu.

6. Manusia tidak bisa mengubah masa lalunya.

35
1. C. Konsep Dasar SFBT

Terapi berfokus solusi berbeda dari terapi tradisional karena mengabaikan masa lampau

dan lebih setuju dengan masa sekarang dan masa yang akan datang. Terapi ini memberi

penekanan yang besar pada kemungkinan sedikit atau tidak adanya ketertarikan untuk

memperoleh pemahaman terhadap masalah. De Shazer menganjurkan bahwa tidaklah

perlu mengetahui sebab-sebab masalah dalam solusinya dan tidak perlu ada hubungan

antara masalah dan solusinya. Pengumpulan informasi mengenai masalah tidaklah

dibutuhkan untuk terjadi perubahan. Jika memahami dan mengetahui masalah itu tidak

penting, maka yang penting adalah mencari solusi masalah yang benar. Mungkin banyak

orang mempertimbangkan berbagai solusi, dan apa yang benar bagi seseorang belum

tentu benar bagi orang lain. Di dalam SFBT klien memilih tujuan yang mereka harapkan

bisa tercapai di dalam terapi, dan hanya sedikit perhatian yang diberikan untuk

diagnosis, pengungkapan riwayat atau eksplorasi masalah.

Menurut Gerald Corey, terapi singkat berfokus solusi didasarkan pada asumsi yang

optimistik bahwa manusia itu sehat dan kompeten dan memiliki kemampuan untuk

membangun solusi yang dapat meningkatkan hidupnya. Lepas dari berbentuk seperti

apapun klien yang terlibat dalam terapi adalah mampu. Berg percaya bahwa klien adalah

kompeten dan peran konselor adalah membantu klien agar menyadari bahwa ia

mempunyai kemampuan itu. Proses terapi menyediakan suatu keadaan yang menjadikan

individu memfokuskan diri pada pemulihan dan penciptaan solusi ketimbang

membicarakan problem mereka.

Sering klien datang ke terapis/konselor, orientasinya ia dalam keadaan bermasalah

kendatipun dia memiliki beberapa solusi, tetapi pandangan mereka telah berbalut dalam

kekuatan orientasi masalah. Klien sering memiliki satu riwayat yang berakar dalam

pandangan mereka. SFBT membalas kehadiran klien dengan percakapan yang optimistik

yang memberikan garis-garis besar keyakinan mereka ke dalam tujuan yang dapat

digunakan dan dicapai yang ada di sekitar ruangan. Konselor menjadi alat di dalam

membantu orang dalam melakukan perpindahan dari suatu keadaan bermasalah ke

36
suatu dunia yang memiliki berbagai kemungkinan. Konselor mendorong dan menantang

klien untuk menulis suatu cerita yang berbeda yang dapat mengarah kepada suatu

tujuan baru.

1. D. Tujuan Konseling SFBT

Tujuan dari terapi singkat berfokus solusi sebagai berikut :

1. Mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat.

2. Mengantar klien/manusia meraih kehidupan yang lebih sehat dan lebih bahagia

baik masa kini maupun ke masa depan.

3. Membantu klien mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diinginkan klien,

terjadi di dalam kehidupan mereka dan terus terjadi.

4. Membantu klien membangun visi yang dipilih untuk masa depan mereka.

5. Membantu klien mengidentifikasi hal-hal yang baik untuk kehidupan mereka saat

ini dan ke masa depan.

6. Membantu klien membawa kesuksesan sekecil apapun ke dalam kesadaran

mereka.

7. Membantu klien untuk mengulang keberhasilan yang pernah mereka lakukan.

8. Pengubahan pandangan mengenai situasi atau kerangka berpikir, pengubahan

cara menghadapi situasi problematik, dan merekam sumber-sumber dan kekuatan

klien.

9. Adanya keterlibatan dalam pemberian bantuan klien untuk menerima pergantian

bahasa dan penyikapan dari bicara tentang masalah ke bicara tentang solusi.

Klien didorong untuk terlibat dalam perubahan atau bicara solusi daripada bicara

masalah/problem, dengan asumsi bahwa apa yang kita katakana kebanyakan

akan menjadi apa yang kita hasilkan. Bicara tentang masalah akan menghasilkan

masalah berikutnya. Bicara tentang perubahan akan menghasilkan perubahan.

Begitu individu/klien itu belajar berbicara dalam pengertian apa yang mereka

mampu untuk lakukan secara baik, sumber-sumber dan kekuatan apa yang
37
mereka punyai, dan apa yang mereka telah lakukan dan bisa terlaksana, mereka

telah mencapai tujuan utama terapi (Nicholas dan Schwartz).

1. E. Hubungan Konselor-Klien SFBT

Karena terapi berfokus solusi dirancang untuk perlangsungan singkat,tak pelak terapis

memainkan peran lebih aktif dalam menggeser fokus secepat mungkin, dari fokus yang

tercurah ke problem fokus yang tercurah ke solusi. Strategi relasiaonal mendasar

difungsikan untuk memicu prakarsa klien, membantu klien menumbuhkembangkan

tanggung jawab (kemampuan merespon atau response ability) mereka dan

menggunakan kemampuan merespon itu dengan lebih baik. Begitu klien bisa berfokus

pada solusi, dia pun akan banyak bisa memegang kendali dan bertanggung jawab.

Klien pada dasarnya adalah ahli (expert) yang paling mengetahui tujuan-tujuan apa yang

ingin mereka bangun. Tujuan-tujuan itu selalu unik bagi setiap klien dan dibangun klien

untuk menciptakan hari depan yang lebih baik. Sedangkan klinikus berfokus solusi

adalah pakar tentang proses dan struktur teraapi,pakar dalam membantu klien

membangun tujuan-tujuan mereka dalam kerangka kerja yang lebih baik menghasilkan

solusi yang sukses. Setiap pakar yaitu klien dan terapis memberikan andil untuk

penumbuhkembangan solusi bersama. Relasi terapis dengan klien ditujukan untuk

meraih suatu manfaat atau tujuan. Klien datang ke terapi karena suatu alasan dan ingin

mencapai suatu manfaat dan tujuan. Kedua kolaborator (klien dan terapis) perlu

membuat kriteria kemajuan atau keberhasilan pencapaian tujuan, sehingga merekapun

bisa mengakhiri terapi paada waktu yang tepat.

Berdasarkan uraian tersebut kami merumuskan hubungan antara konselor dan klien

pada terapi singkat berfokus solusi sebagai berikut :

1. Konselor berperan lebih aktif dalam menggeser dari fokus yang tercurah pada

problem/masalah ke solusi.

38
2. Konselor mendorong klien dalam menumbuhkan tanggung jawab, kemampuan

merespon (Response Ability).

3. Klien pada dasarnya lebih ahli (expert) atau yang paling mengetahui tujuan yang

akan mereka bangun.

4. Hubungan/relasi konselor dan klien dalam terapi singkat berfokus solusi bersifat

kolaboratif dan egaliter.

1. F. Proses Konseling SFBT

Bertolino dan O’Hanlon menekankan pentingnya menciptakan hubungan kerja sama

dalam terapi dan memandangnya sebagai kebutuhan untuk keberhasilan terapi. Dengan

menyadari bahwa konselor memiliki keahlian di dalam menciptakan konteks untuk

perubahan, mereka menekankan bahwa klien adalah ahli dalam kehidupan yang

dialaminya dan sering memiliki perasaan yang baik terhadap apa yang sudah atau yang

belum dikerjakan di masa lampau, dan juga sama halnya dengan apa yang harus

dikerjakan di waktu yang akan datang. Jika klien terlibat di dalam proses terapi dari awal

hingga akhir, kesempatan klien semakin meningkat dan terapi akan berhasil. Singkatnya,

hubungan kooperatif dan kolaboratif cenderung akan menjadikan lebih efektif daripada

hubungan yang bersifat hierarkhis di dalam terapi.

Walter dan Peller menguraikan empat langkah yang memberikan ciri kepada proses

SFBT, yaitu :

1. Menemukan apa yang klien inginkan daripada mencari apa yang mereka tidak

inginkan.

2. Jangan mencari penyakit dan jangan berusaha mengurangi klien dengan

memberikan label diagnostik, alih-alih mencari apa yang bisa dikerjakan klien

dengan baik dan mendorong mereka untuk meneruskannya searah dengan yang

sudah dilakukan.

3. Jika apa yang klien lakukan tidak bisa terlaksana dengan baik, kemudian

doronglah mereka untuk mencoba hal lain yang berbeda.


39
4. Usahakan terapi berlangsung singkat dengan mendekati setiap pertemuan

seolah-olah pertemuan itu sebagai pertemuan terakhir dan hanya satu

pertemuan.

Edy Legowo (2008:79) Proses pada terapi singkat berfokus solusi mencakup dua aktivitas

utama sebagai berikut :

1. 1. Aktivitas menumbuhkembangkan kesadaran (Consciousness

Raising)

Kebanyakan klien datang ke sesi terapi dengan preokupasi (keterpakuan)pada problem-

problem.

Misalnya klien mengatakan, “Saya depresi sepanjang waktu”, “Aku tidak bisa

mengendalikan keinginanku untuk minum-minuman keras”, “Saya dan pasangan hidup

saya selalu bertengkar”, “Saya orang yang selalu cemas”, “Aku tidak bisa tidur”, dan

sebagainya.

Tanggapan alamiah terhadap ungkapan-ungkapan problem itu berupa pengajuan

pertanyaan bertajuk”mengapa?”misal:”mengapa anda depresi?” “Mengapa anda minum-

minuman keras sampai tidak terkendali”, “Mengapa Anda dan pasangan hidup Anda

selalu bertengkar ?”, dan sebagainya.

Terapi berfokus solusi justru membantu klien untuk menyadari perkecualian-perkecualian

yang terlepas dari problem mereka. Dalam kenyataan, selalu terdapat perkecualian-

perkecualian itu, dapat diharapkan klien meraih kendali atau kontrol atas sesuatu yang

selama ini terasa sebagai problem yang teratasi.Menumbuhkembangkan kesadaran

tentang pengalaman-pengalaman yang justru merupakan perkecualian dari pola baku

problem-problem yang selama ini memaku perhatian dan kehidupan klien-bagaikan

menapis butir-butir kecil emas dari hamparan pasir-biasa menjadi awal dari

pengejawantahan solusi.

40
Kurun-kurun perkecualian itu hampir selalu ada dalam kehidupan setiap klien. Untuk

klien-klien yang sangat sulit memfokuskan diri pada kurun-kurun perkecualian yang

positif, terapis bisa mengajukan pertanyaan mukjizat (miracle question) contohnya “ jika

karena suatu mukjizat, anda bebas dari problem-problem anda sepanjang malam,

seberbeda apakah kehidupan anda jadinya?“. Menumbuhkembangkan pengalaman

perkecualian yang positif dalam imajinasi bisa membantu klien menjadi makin menyadari

satu-satunya jenis realitas dalam keseluruhan kehidupan mereka. Seyogyanya terapi bisa

membantu klien mentransformasikan realitas yang pada mulanya hanya di imajinasikan

menjadi tujuan-tujuan spesifik dan praktis yang bisa mereka capai.

Maka dapat kami simpulkan bahwa aktivitas menumbuhkembangkan kesadaran klien

dapat berupa :

1. Membantu klien untuk makin menyadari kekecualian-kekecualian (exceptions)

yang terlepas dari masalah mereka.

2. Membantu klien menjadi semakin menyadari bahwa realitas kehidupan bukan

satu-satunya dalam keseluruhan kehidupan mereka.

3. Membantu klien mentransformasikan realitas yang pada mulanya hanya imajinasi

menjadi tujuan-tujuan spesifik dan praktis serta dapat dicapai.

1. 2. Membuat Pilihan Sadar(Choosing Conscious)

Tujuan-tujuan yang kita pilih untuk menentukan masa depan kita. Seiring dengan makin

meningkatnya kesadaran klien tentang perkecualian-perkecualian positif di tangan

kehidupannya yang syarat problem, mereka akan bisa membuat pilihan sadar untuk

menciptakan lebih banyak lagi perkecualian-perkecualian seperti itu.

41
Klien yang selalu berfokus pada sebuah kehidupan yang sarat depresi bisa membuat

pilihan sadar untuk berpartisipasi dalam kegiatan rohani, berolahraga lebih sering, lebih

banyak mendengarkan musik kesukaannya, terutama musik yang meningkatkan

kegembiraan. Klien yang berfokus pada program kecanduan minuman keras bisa

membuat pilihan sadar untuk memfokuskan diri pada solusi-solusi atas kecanduan

minman keras, sehingga dia bisa mencanangkan tujuan-tujuan yang nyata.

Water dan Peller(1992) memberikan empat pandangan untuk membuat pilihan sadar

yang bersifat terapeutik :

1. Jika pilihan yang dibuat bisa bekerja efektif, jangan berhenti sampai disitu,

bergegaslah menjalani pilihan tersebut

2. Jika pilihan yang dibuat itu bekerja kurang efektif perjuangkan agar ia menjadi

lebih efektif

3. Jika pilihan yang dibuat itu sama sekali tidak efektif, bereksperimenlah juga

berimajinasikanlah mukjizat-mukjizat

4. Perlakuakan setiap sesi konseling atau psikoterapi seolah olah sesi itu adalah sesi

terakhir. Maka mulailah berubah sekarang, bukan esok, bukan pekan depan.

Berikut dipaparkan rincian langkah membangun solusi dalam SFBT menurut DeShazer,

sebagai dirangkum oleh Prochaska $ Norcross (2003):

a) Memfokuskan diri pada tujuan.

Terapi dimulai dengan fokus pada tujuan-tujuan di hari kini yang bisa membangun hari

depan yang lebih baik. Pertanyaan penting dalam cakupan langkah ini adalah: ”Apa

tujuan anda ketika anda dating kemari ?” Terapis membingkai terapi diseputar tujuan-

tujuan dihari kini bukan di seputar problem-problem dihari-hari yang telah lewat.

b) Sejenak mendengarkan klien membicarakan problem-problem.

42
Jika klien menanggapi dengan berbicara tentang problem-problem dan keluhan-keluhan,

terapis perlu memahami dan berempati. Namun demikian, segera setelah kisah tentang

problem-problem yang telah disampaikan oleh klien, terapis bersiap-siap untuk

menggeser fokus.

c) Memfokuskan diri pada solusi.

Langkah ini digerakkan oleh pertanyaan-pertanyaan;” Ketika problem

terselesaikan,tindakan apa yang akan anda lakukan secara beda?”

d) Memfokuskan diri pada perkecualian.

Pertanyaan yang biasa dipakai untuk menemukan perkecualian-perkecualian positif

adalah:” Bagaimana anda dihari ini mengejawantahkan tindakan yang beda?”

e) Membuat penilaian antara pilihan sadar dengan spontanitas.

Apakah pengalaman-pengalaman yang bebas dari problem terjadi karena pilihan yang

dibuat secara sadar dan sengaja? Ataukah pengalaman-pengalaman yang lebih sehat

dan lebih membahagiakan itu terjadi secara spontan? :

1. Jika perkecualian itu sudah berada dibawah kendali klien, bisa segera dibangun

tujuan-tujuan spesifik yang mendorong klien membuat pilihan sadar untuk

melakukan lebih banyak laagi hal-hal yang bia membantu dirinya.

2. Jika perkecualian-perkecualian dianggap terjadi secara spontan saja focus

diarahkan ke proses terjadinya perkecualian-perkecualian itu.

3. Jika klien menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban” Saya tidak

tahu”. Terapis perlu berusaha menerangkan kepada klien bahwa perkecualian

yang terjadi iitu merupakan tanda yang baik. Dapat diharapkan,upaya tersebut

akan membantu klien berfikir beda dan mulai membangun alternatif-alternatif

yang sebelumnya tidak terbayangkan.

43
f) Melangkah dari perubahan-perubahan kecil ke perubahan-perubahan yanglebih

besar. Sesi-sesi lanjutan dilakukan atas dasar capaian-capaian dan tujuan-tujuan yang

dibangun pada awal terapi. Seorang klien melukiskan perubahan yang ia alami dalam

terapi.

g) Selalu menyadari bahwa setiap solusi adalah unik. Sebagaimana setiap klien

adalah individu yang unik, setiap solusipun unik. Terapis perlu bersiap-siap untuk terkejut

menyaksikan keunukan ssolusi klien.

h) Memekarkan solusi dari percakapan. Solusi muncul dari dialog-dialog, baik dialog

dari diri sendiri maupun percakapan dalam terapi. Jika terapi mendorong klien berbicara

tentang problem-problem lama, dia akan menjadi diri yang lama. Perubahan dimulai

ketika klien berbicara tentang solusi. Jika terapi niscaya berlangsung singkat

saja,niscayalah sesegera mungkin dialog-dialog Terapeutik difokuskan ke solusi-solusi.

i) Menggunakan bahasa klien sendiri.

Pandangan DeJong dan Berg sebagaimana dirangkum oleh Cerey(2005),

mendeskripsikan struktur penumbuhkembangan solusi dalam SFBT dalam cakupan Lima

langkah Berikut;

1. Klien diberi kesempatan untuk mendeskripsikan problem-problemnya. Terapi

mendengarkan dengan penuh hormat dan seksama, sementara percakapan

mengarah kejawaban klien atas pertanyaan terapis,” Sejauh apakah saya bisa

bermanfaat membantu anda memecahkan problem-problem anda?”

2. Terapis berkerjasama dengan klien untuk segera mungkin mengembangkan

tujuan-tujuan yang jelas. Pertanyaan kunci yang perlu dijawab padaa langkah ini

adalah; ”Apa yang akan menjadi beda dalam kehidupan anda ketika problem-

problem anda dapat diselesaikan?”

44
3. Terapis menanyakan kepada klien tentang saat-saat ketika problem-problem klien

terjadi atau ketika problem-problem klien berkurang. Klien dibantu untuk

mengeksplorasi perkecualiaan-perkecuaian itu sembari menegaskan apa yang

akan klien lakukan untuk sengaja menghadirkan perkecualian-perkecualian itu.

4. Pada akhir setiap percakapan menumbuhkembangkan solusi(solution building

conversation) terapis memberikan ringkasan umpan balik(summary feedback)

kepada klien.Terapis juga memberikan dorongan kepada klien, dan mengusulkan

kepada klien hal-hal apa saja yang perlu ia amati dan lakukan sebelum sesi

berikutnya,demi kesuksesan penyelesaian problem-problemnya

5. Terapis bersama klien mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai,dengan

menggunakan skala penilaian (Rating Scale). Klien juga ditanyai apa yang perlu

dilakukan untuk menyelesaikan problem-problemnya dan langkah apa yang akan

dilakukan kemudian.

1. G. Teknik-Teknik Konseling SFBT

Teknik-teknik yang digunakan dalam terapi singkat berfokus solusi sebagai berikut :

1. 1. Perubahan sebelum terapi

Penjadwalan suatu janji saja sering membuat perubahan positif dalam perjalanannya.

Dengan menanyakan perubahan, konselor dapat merangsang, membangkitkan, dan

memperkuat apa yang sudah dilakukan yang merupakan cara untuk membuat

perubahan. Perubahan-perubahan ini tidak dapat ditumpukan sepenuhnya pada proses

terapi itu sendiri, sehingga pertanyaan itu cenderung mendorong klien untuk tidak

banyak bergantung kepada konselor dan lebih bergantung kepada sumber yang dimiliki

dalam dirinya untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

1. 2. Pertanyaan Ajaib/The Miracle Question (MQ)

a. Pengertian

45
MQ adalah teknik bertanya yang digunakan konselor untuk membantu klien bagaimana

menetapkan visi ke depan, merupakan suatu keadaan bilamana klien tidak bermasalah,

dan itu merupakan tujuan yang hendak dicapai. Klien didorong untuk bertindak “apa

yang kemungkinan berbeda” meskipun problemnya masih ada.

De Jong dan Berg (dalam Gerald Corey, 2002:8) mengenali sejumlah alasan bahwa

pertanyaan ajaib adalah suatu teknik yang bermanfaat. Dengan bertanya kepada klien

untuk mempertimbangkan bahwa suatu keajaiban akan terjadi membuka luasnya

kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Klien didorong untuk bebas bermimpi

sebagai cara mengenali perubahan yang memang mereka inginkan. Pertanyaan ini

memiliki focus masa depan yang dari situ klien bisa dapat memulai mempertimbangkan

suatu jenis kehidupan yang berbeda yang tidak didominasi oleh suatu masalah tertentu.

Intervensi ini mengalihkan penekanan keduanya yaitu masalah masa lalu maupun masa

sekarang terhadap hidup di masa yang akan datang.

b. Contoh Versi tradisional MQ

contoh 1:

“Jika di suatu pertemuan konseling berakhir, Anda pulang, Anda melakukan apapun yang

Anda rencanakan pada hari itu, akhirnya Anda kelelahan dan tidur pada malam harinya.

Di tengah malam, saat Anda tidur nyenyak, keajaiban terjadi yaitu semua masalah yang

Anda alami hari ini sepertinya terpecahkan semuanya. Tetapi karena keajaiban itu

hanyalah mimpi, maka tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa mukjizat terjadi.

Ketika Anda bangun pagi hari, bagaimana Anda akan memulai melakukan bahwa

keajaiban terjadi? … Apa lagi yang akan Anda kerjakan? Apa lagi?”

Contoh 2:

“Jika Anda bangun sampai besok, dan keajaiban terjadi, Anda tidak lagi mudah

kehilangan kesabaran, seberbeda apa yang akan terjadi pada diri Anda?Tanda-tanda

pertama apa bila kemukjizatan itu terjadi? ”

Respon Klien barangkali :

46
“Saya tidak akan kesal ketika seseorang memanggil nama saya.” (tidak efektif)

Para konselor ingin klien mengembangkan tujuan positif, atau apa yang akan mereka

lakukan lebih dari pada apa yang mereka tidak ingin lakukan. Ini akan menjadi lebih baik,

karena memberikan kepastian akan keberhasilan.

Lebih baik, konselor barangkali meminta klien, “Apa yang dapat Anda lakukan, pada saat

seseorang memanggil namamu?”

3. Pertanyaan Penskalaan/Scaling Questions (SQ)

1. a. Pengertian

SQ adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengidentifikasi perbedaan yang

bemanfaat bagi klien, dan dapat membantu untuk menetapkan tujuan pula.

Kutub dari skala biasanya berentang dari “kondisi masalah yang terburuk yang terjadi” (0

atau 1) di salah satu ujung, dan diujung yang lain menggambarkan “kondisi terbaik yang

mungkin akan dicapai” (10).

Klien diminta untuk menilai mereka saat ini berada pada posisi skala berapa, dan

pertanyaan yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi berbagai sumber.

Konselor menggunakan pertanyaan yang memberi skala apabila perubahan dalam

pengalaman manusia tidak mudah diamati, seperti perasaan, suasana hati, atau

komunikasi. Pertanyaan dengan memberikan skala menjadikan klien untuk memberikan

perhatian yang lebih dekat kepada apa yang sedang mereka kerjakan dan bagaimana

mereka dapat mengambil langkah yang akan mengarahkan kepada perubahan yang

mereka kehendaki.

1. b. Contoh

 “Apa yang tidak membuatmu terperosok pada jalur skala rendah?”,

47
 Pengecualian: “pada suatu hari ketika Anda berada di satu titik skala yang lebih

tinggi, apa yang akan Anda katakan bahwa hal ini merupakan hal yang berada.

 “Di posisi skala berapa Anda menjadi merasa cukup baik? Apa yang akan terjadi

bilamana di suatu hari Anda berada pada titik skala tersebut?”

4. Exception Seeking (ES) atau Pertanyaan Kekecualian

SFBT mendasarkan pada anggapan bahwa ada saat-saat dalam hidup klien

ketika suatu masalah-masalah yang mereka kenali tidak menjadi masalah. Waktu-waktu

inilah yang disebut kekecualian-kekecualian. Konselor mengajukan pertanyaan

kekecualian untuk mengarahkan klien ke arah waktu-waktu ketika problem tidak timbul.

Kekecualian adalah pengalaman-pengalaman masa lalu dalam hidup klien yang layak

untuk diharapkan muncul ketika ada masalah, meskipun biasanya tidak. Pengungkapan

ini mengingatkan kepada klien bahwa problem itu tidak semuanya memiliki kekuatan dan

tidak selalu muncul selamanya. Pengungkapan ini juga memberikan bidang peluang bagi

munculnya sumber, ditemukannya kekuatan, dan didapatkannya kemungkinan solusi.

1. Para pendukung SFBT berpendapat bahwa selalu ada saat dimana klien

merasakan ringan atau bahkan tidak sedang mengalami masalah.

2. Konselor berusaha mendorong klien untuk menjelaskan apa yang berbeda dengan

saat ketika ia berada dalam kondisi bermasalah (kasus).

3. Tujuan dari teknik ini adalah agar klien mengulang kesuksesan di masa lalu, dan

membantu mereka mendapatkan kepercayaan untuk melakukan perbaikan ke

depan berdasarkan pengalaman suksesnya tersebut.

5. Mengatasi Pertanyaan/Coping Question (CQ)

1. a. Pengertian

Teknik CQ dirancang untuk memperoleh informasi tentang berbagai sumber daya yang

dimiliki klien, yang saat itu hilang (dilupakan) tak ketahuan. Bahkan mungkin merupakan

ceritera dalam kondisi klien takberpengharapan (hoppless).

Rasa ingin tahu dan senang dapat membantu klien melihat kekuatan tanpa

mempertentangkan dengan kondisi klien senyatanya.

Sumber daya yang dimiliki klien ada dua yaitu :

48
1. 1. Sumberdaya Internal: keterampilan, kekuatan, kualitas, kepercayaan

klien dan kapasitas mereka yang berguna.

2. 2. Sumberdaya External: Relasi yang mendukung, seperti, mitra, keluarga,

teman, atau kelompok agama dan juga kelompok-kelompok pendukung yang

lainnya.

3. b. Contoh

“Saya melihat hal itu benar-benar sulit bagi Anda, namun Saya kaget melihat fakta

bahwa meskipun dalam kondisi seperti itu Anda mampu me-manage dirimu untuk

bangkit, dan setiap pagi Anda melakukan semua yang diperlukan keluargamu.

Bagaimana anda melakukannya?”

6. Umpan Balik Konselor kepada Klien

Para pelaksana konseling umumnya mengambil waktu jeda lima sampai dengan

sepuluh menit menjelang setiap akhir pertemuan untuk menyusun suatu ringkasan

pesan kepada klien. Selama waktu jeda ini konselor merumuskan umpan balik yang akan

diberikan kepada klien setelah waktu jeda. De Jong dan Berg (dalam Gerald Corey,

2002:9)menguraikan tiga bagian pokok untuk umpan balik yang berupa ringkasan:

pujian, jembatan, dan anjuran tugas. Pujian adalah pengakuan yang tulus terhadap apa

yang telah klien lakukan yang mengarah ke solusi yang efektif. Pujian-pujian ini yang

wujudnya berbentuk dorongan, menciptakan harapan, dan penyampaian harapan kepada

klien bahwa mereka dapat mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan

kekuatan dan keberhasilan mereka. Kedua, sebuah jembatan menghubungkan pujian

awal kepada tugas anjuran yang diberikan. Jembatan memberikan alasan penalaran

untuk pujian itu. Aspek umpan balik ketiga berisi anjuran tugas kepada klien, yang dapat

dipertimbangkan sebagai pekerjaan rumah. Tugas pengamatan maksudnya ialah

meminta klien untuk sekedar memberikan perhatiannya kepada beberapa aspek

kehidupan mereka. Proses monitoring diri ini membantu klien mencatat perbedaan-

perbedaan apabila segala sesuatu keadaannya lebih baik.

7. Penghentian

Dari awal sekali wawancara berfokus solusi, konselor selalu berpikiran bahwa

dalam bekerja akan mengarah kepada penghentian. Begitu klien mampu membangun

49
solusi yang memuaskan, hubungan terapi dapat dihentikan. Sebelum konseling berakhir,

konselor membantu klien dalam mengenali hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk

melanjutkan perubahan-perubahan yang telah mereka lakukan di masa yang akan

datang.

Klien juga bisa dibantu untuk mengenali rintangan atau hambatan-hambatan yang

kemungkinan ditemui dalam perjalanannya memelihara perubahan yang telah mereka

lakukan. Karena model terapi ini singkat, berpusat pada masa sekarang, dan

dimaksudkan untuk keluhan tertentu, akan sangat mungkin bahwa klien akan mengalami

persoalan-persoalan perkembangan lain di kemudian hari. Klien bisa minta pertemuan

tambahan kapan saja ketika mereka merasakan adanya kebutuhan yang mereka rasakan

untuk kembali ke jalan hidup yang benar.

1. H. Kecocokannya Diterapkan di Indonesia

Terapi singkat berfokus solusi bisa digunakan oleh konselor/guru BK. Terapi ini

berlangsung singkat dan bisa digunakan kapan saja maupun dimana saja. Proses yang

singkat inilah yang disukai oleh kebanyakan klien-klien di Indonesia. Instan, begitulah

orang-orang mengatakan. Klien-klien di Indonesia lebih suka apabila permasalahannya

langsung bisa diatasi, tanpa harus menghimpun sebab-sebab masalah. Konselor/guru BK

di Indonesia diharapkan mampu secara kreatif memadukan antara

menumbuhkembangkan kesadaran klien dan membuat pilihan perubahan.

Pada terapi singkat berfokus solusi, klien di Indonesia diajarkan suapaya tidak perlu

terpaku pada masalah. Mereka perlu berfokus pada solusi, bergerak menuju dan

mengejawantahan solusi. Oleh karena itu, supaya masalah yang dihadapi cepat teratasi

maka konselor Indonesia yang menggunakan teori SFBT tak perlu menggunakan

kebiasaan lamanya yaitu dengan pertanyaan “mengapa” tetapi langsung pada solusinya

dengan menggunakan pertanyaan “bagaimana tujuan/harapan yang akan Anda

inginkan ?”. Misalnya pengetahuan tentang mengapa seseorang menjadi peminum

50
minuman keras 25 tahun yang lampau (semisal, karena tekanan kelompok teman

sebaya) ternyata tidak bermanfaat banyak, yang lebih bermanfaat

adalah bagaimana individu itu kini berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Edy Legowo, dkk. 2008. Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Bimbingan

Konseling. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13

Michael S. Kelly, dkk. 2009. Solution-Focused Brief Therapy in Schools. Surakarta:

Perpustakaan Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret

51
52

You might also like