You are on page 1of 3

Dian Kemala Astuti

Abu Ubaidah Al-Jarrah, Orang Kepercayaan Umat Ini

Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul
Umara). Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,
ُ
َّ‫أَ ِمينا أمةَّ لَ ُكمَّ إِن‬، َّ‫ن وَإِن‬ َِّ ‫ن ُعبَي َد ََّة أَ ُبوَّ األُم‬
ََّ ‫ة ه ِذ َِّه أَ ِمي‬ َُّ ‫احِ ب‬
َّ ‫الجَر‬
“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini
adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“
Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat
akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu
‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya
kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan
kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”
Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang
kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm
dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai
peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.
Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia
benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya
kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya
memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.
Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah
radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu
‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang
musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang
mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga
membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,
َ ‫ح َكي‬
َّ‫ف‬ َُّ ِ‫ض ُبوا َقومَّ ُيفل‬
َ ‫خ‬
َ ‫ه‬
ََّ ‫نَ ِب ِي ِهمَّ وَج‬، ‫ه ََّو‬ ُ ‫رَبِ ِهمَّ إِلَى يَد ُعو‬
ُ ‫همَّ َو‬
“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia
menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)
Dian Kemala Astuti

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang


fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku
cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang
datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah,
jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia
berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku
mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya.
Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan
jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi
lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah
khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).
Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan
meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang
yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan kepada mereka,
َّ‫م َع ُكمَّ ألَب َع َثن‬ ُ ‫أَ ِمينا َر‬، َّ‫أَ ِمينَّ حَق‬، َّ‫أَ ِمينَّ حَق‬، َّ‫أَ ِمينَّ حَق‬
ََّ َّ‫جل‬
“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya,
benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-
benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)
Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.
Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun
sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal
memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan
salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar
beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah
bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,
َّ‫ َم َع ُهمَّ اُخ ُرج‬، ‫ض‬ َِّ ‫ه اختَلَ ُفوا فِيمَا بِالح‬
َِّ ‫َق بَي َن ُهمَّ َفاق‬ َِّ ‫فِي‬
‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala
hal yang mereka perselisihkan’.“
Dian Kemala Astuti

Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.


Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu
berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada
kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu
‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam.
Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga
ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan
bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka
bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah
radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu
membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak
melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar
radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki
sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu
menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”
Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada
di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah
telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua
matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka
kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam
keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata
mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab
radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya
mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme
Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di
bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan
jiwa yang tentram.

You might also like