You are on page 1of 34

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU

CHF NYHA IV + HIPERTENSI STAGE II

Oleh
Qisthinadia Hazhiyah Setiadi
H1A 013 053

Pembimbing Fakultas
dr. Lina Nurbaiti, M.Kes, FISPH, FISCM
dr. Wahyu Sulistya Affarah MPH

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
PUSKESMAS NARMADA KABUPATEN LOMBOK BARAT
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Jantung bertanggung jawab untuk menyuplai darah ke jaringan tubuh dan


organ-organ, termasuk ginjal, yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan
dan homeostasis garam dalam tubuh. Oleh karena itu, gangguan pada ginjal sering
disertai gagal jantung dan gangguan pada jantung sering disertai gagal ginjal. Gagal
jantung merupakan tahap akhir dari semua penyakit jantung yang merupakan
masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang
tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia,
usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai
dengan tampilan klinis yang lebih berat.1
Secara keseluruhan, prevalensi gagal jantung adalah 3-20 per 1.000 populasi,
meskipun jumlah ini melebihi 100 per 1.000 pada mereka yang berusia 65 tahun dan
lebih. Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung muncul setiap
tahunnya di seluruh dunia. Lima puluh persen penderita gagal jantung akan
meninggal dalam waktu 5 tahun sejak diagnosis ditegakkan. Penyebab terseringnya
adalah penyakit jantung koroner dan hipertensi. 1
Hipertensi sebagai salah satu faktor risiko utama gagal jantung masih menjadi
salah satu permasalahan kesehatan yang prevalensinya terus meningkat. Menurut
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat
melalui pengukuran pada umur lebih dari 18 tahun adalah sebesar 25,8%, sedangkan
prevalensi di Nusa Tenggara Barat adalah sebesar 24,3%.2 Berdasarkan data Survei
Indikator Kesehatan Nasional 2016 persentase penduduk dengan hipertensi secara
nasional adalah 30,9%. dimana prevalensi ini meningkat seiring dengan peningkatan
usia.3 Sedangakan berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi NTB tahun 2016 pada
masyarakat berusia lebih dari 18 tahun yang dilakukan pengukuran tekanan darah,
didapatkan angka prevalensi hipertensi di Nusa Tenggara Barat sebesar 41,89%,
sedangkan di Lombok Barat sebesar 43,77%.4

2
Menurut Data Indeks Keluarga Sehat di Tujuh Desa Puskesmas Narmada
tahun 2017, persentase penderita hipertensi yang berobat teratur sebesar 21,13%.
Persentase penderita hipertensi yang berobat teratur paling rendah terdapat di desa
Badrain, yaitu sebesar 12,35%. 5

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung atau heart failure adalah suatu sindroma klinis kompleks,
yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke
seluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural atau
fungsional dari jantung (Tabel 2.1.).1 Menurut ESC (2016), gagal jantung adalah
suatu sindroma klinis yang ditandai dengan gejala khas (seperti sesak nafas,
edema pergelangan kaki, dan kelelahan) yang dapat disertai dengan tanda-tanda
gagal jantung (peningkatan tekanan vena jugularis, ronki paru, and edema
perifer) yang disebabkan oleh abnormalitas struktural dan/atau fungsional
jantung, yang mengakibatkan penurunan curah jantung (cardiac output) dan/atau
peningkatan tekanan intrakardiak saat istirahat atau selama stres. Gagal jantung
kongestif adalah istilah yang kadang-kadang dipakai untuk menyebutkan gagal
jantung akut atau kronik yang disertai dengan bukti adanya kelebihan cairan
(volume overload).1,6
Tabel 2.1. Definisi Gagal Jantung1
Gagal jantung merupakan sindrom klinis pasien dengan tampilan seperti:
Gejala gagal jantung: Sesak nafas saat istirahat atau aktifitas, kelelahan, edema
tungkai
dan
Tanda khas gagal jantung: Takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan
tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali
dan
Bukti objektf gangguan struktural atau fungsional jantung saat istrahat:
Kardiomegali, suara jantung ketiga, bising jantung, abnormalitas dalam gambaran

4
ekokardiografi, peningkatan konsentrasi peptida natriuretik.

B. Etiologi
Etiologi gagal jantung berbeda-beda pada setiap wilayah di dunia. Saat ini
tidak terdapat sistem klasifikasi yang disetujui untuk penyebab gagal jantung.
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikard,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa
dan Amerika, disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung
koroner, biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering
pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan, di
Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang
menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung
koroner dan katup.7
C. Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan untuk gagal jantung ada 2 jenis, yaitu
klasifikasi NYHA dan klasifikasi ACC/AHA (Tabel 2.2). Klasifikasi menurut
NYHA lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan keluhan subjektif.1
Tabel 2.2 Klasifikasi Fungsional NYHA berdasarkan pada Beratnya Gejala
dan Aktivitas Fisik1
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
Kelas I
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
Kelas II istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
Kelas III istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.

5
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala
Kelas IV
saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.

Klasifikasi lain yang dikeluarkan American College of


Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) pada tahun 2005
menekankan pembagian gagal jantung berdasarkan progresivitas kelainan
struktural dari jantung dan perkembangan status fungsional (Tabel 2.3).1
Tabel 2.3. Stadium Gagal Jantung ACC/AHA1
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak
Stadium A terdapat ganggguan struktural atau fungsional, tidak terdapat tanda
atau gejala.
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan
Stadium B
perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit
Stadium C
struktural jantung yang mendasari.
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang
Stadium D sangan bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi
medis maksimal (refrakter).

D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala gagal jantung adalah hasil dari klinis yang rekuren dimana
CO tidak memadai dan aliran balik ke vena kurang efisien. Dispnu, batuk, dan
mengi merupakan hasil daripeningkatan tekanan di daerah kapiler paru karena aliran
dari ventrikel kiri menuju aliran depan tidak efektif. Edema ekstremitas bawah dan
asites terjadi ketika ventrikel kanan tidak mampu menampung aliran balik dari vena
sistemik. Kelelahan umum untuk gagal jantung terjadi oleh karena tidak dapat
mempertahankan kecukupan CO untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
dan mengalirkan darahke jantung dan otak. Mual dan penurunan nafsu makan

6
mungkin juga terjadi sebagai akibat adanya aliran darah yang bergeser dari saluran
pencernaan keorgan yang lebih penting. Palpitasi dapat terjadi bila jantung mencoba
untuk mengakomodasikan dengan peningkatan denyut jantung.8
Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Gagal Jantung Ventrikel Kiri8
Gejala Tanda
Dyspnea on exertion Ronki basal
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema paru
Takikardi S3 gallop
Hemoptisis Efusi pleura
Pernafasan Cheyne-Stokes

Tabel 2.5 Tanda dan Gejala Gagal Jantung Ventrikel Kanan8


Gejala Tanda
Nyeri abdomen Edema perifer
Anoreksia Distensi vena jugularis
Mual Refleks abdominal-jugular
Muntah Hepatomegali

E. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks,
elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, dan kateterisasi. Untuk menegakkan
diagnosis gagal jantung, harus memenuhi dua kriteria mayor atau paling sedikit satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor dari kriteria Framingham di bawah ini:9
Kriteria mayor Kriteria minor
 Paroxysmal nocturnal dyspnea  Edema ekstremitas
 Distensi vena leher  Batuk malam hari
 Peningkatan vena jugularis  Dyspnea d’effort

7
 Ronki paru  Hepatomegali
 Kardiomegali  Efusi pleura
 Edema paru akut  Penurunan kapasitas vital paru
 S3 gallop 1
/3 dari normal
 Refluks hepatojugular positif  Takikardia (>120 kali/menit)
2 Mayor atau 1 mayor + 2 minor

a. Pemeriksaan Laboratorium Rutin


Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien yang diduga mengalami gagal
jantung adalah darah lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah, profil
lipid, albumin, enzim hati, INR, dan urinalisa. Konsentrasi peptida natriuretik
yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang
tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejala-gejala
yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil. Pemeriksaan troponin dilakukan
pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma
koroner akut.9,10
b. Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan diagnostik pendahuluan yang
harus dilakukan pada kasus gagal jantung. Pada foto toraks dapat dijumpai
kardiomegali, kongesti paru (distensi vena pulmonalis dan redistribusinya ke
apeks paru dengan gambaran opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks), efusi
pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak napas. 9,10
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi
frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi, dan membantu
menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain).
Abnormalitas EKG sering dijumpai pada pasien gagal jantung namun memiliki

8
nilai prediktif kecil dalam diagnosis. Kelainan segmen ST berupa infark miokard
dengan elevasi segmen ST (STEMI) atau Non-STEMI. Adanya hipertrofi, bundle
branch block, disinkronitas elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia,
atau perimiokarditis harus diperhatikan. Gagal jantung dekompensasi dapat
terlihat gambaran sinus takikardia atau atrial tachycardia/atrial flutter/atrial
fibrillation pada EKG. 9,10
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Pemeriksaan ini dapat
menilai informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan
perikard dengan cepat. Diagnostik biasanya sensitif pada pasien dengan fraksi
ejeksi rendah. Pada pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang rendah (<35–40%) atau normal (>45–50%), kelainan katup
(stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid, atau regurgitasi trikuspid),
hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi
ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, perikarditis. 9,10
F. Tatalaksana
Penatalaksanaan Nonfarmakologi11
a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung
b. Perubahan gaya hidup
Beberapa penelitian telah melaporkan beberapa cara utnuk mengurangi risiko
gagal jantung kongestif dengan gaya hidup sehat. Berat badan normal,
menghindari merokok, olahraga secara teratur, membatasi konsumsi alkohol,
dan diet yang sehat telah terbukti mengurangi faktor risiko gagal jantung
termasuk penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, dan hipertensi.5
 Manajemen diet, yaitu mengurangi jumlah garam, menurunkan berat
badan bila dibutuhkan, rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori
adekuat

9
 Latihan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas
fisik yang berlebihan akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan
muskuloskeletal. Latihan fisik yang sesuai akan memperbaiki
kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung
c. Dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal
jantung di usia tua sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup
pasien

Penatalaksanaan Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung adalah
sebagai berikut:7
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Indikasi: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala. Kecuali
kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung,
dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik,
batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien
dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Kontraindikasi: Riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium
serum >5 mmol/l, serum kreatinin >2,5 mg/dl, stenosis aorta berat.
2. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,

10
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB
mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %, sebagai pilihan
alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV
NYHA) yang intoleran ACE-I. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk. Kontraindikasi pemberian ARB: Sama seperti ACE-I, kecuali
angioedema, pasien yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan.
Monitor fungsi ginjal dan elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACE-I.
3. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan
gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA), dosis optimal penyekat
β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB).
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron: konsentrasi serum kalium >5
mmol/l, serum kreatinin >2,5 mg/dl, bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau
suplemen kalium, kombinasi ACEI dan ARB.
4. β-blocker (penyekat β)
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %. Penyekat β memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat β: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA), ACEI/ARB (dan antagonis

11
aldosteron jika indikasi) sudahdiberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada
perubahan dosis diuretik,tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda
retensi cairan berat).
Kontraindikasi pemberian penyekat β: Asma, blok AV (atrioventrikular)
derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus
bradikardia (nadi <50x/menit).
Tabel 2.6.Dosis Obat Gagal Jantung7
Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
ACE-I
Captopril 6,25 (3 x/hari) 50 -100 (3x/hari)
Enalapril 2,5 (2 x/hari) 10 – 20 (2x/hari)
Lisinopril 2,5 – 5 (1 x/hari) 20 – 40 (1x/hari)
Ramipril 2,5 (1 x/hari) 5 (2x/hari)
Perindopril 2 (1x/hari) 8 (1x/hari)
ARB
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)
Antagonis aldosteron
Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)
Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)
Penyekat β
Bisoprolol 1,25 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Carvedilol 3,125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)
Metoprolol 12,5/25 (1x/hari) 200 (1x/hari)

5. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti.

12
Tabel 2.7. Dosis Obat Diuretik pada Gagal Jantung7
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40 – 240
Bumetanide 0,5 – 1,0 1–5
Torasemide 5 – 1,0 10 – 20
Tiazid
Hidrochlorotiazide 25 12,5 – 100
Metolazone 2,5 2,5 – 10
Indapamide 2,5 2,5 – 5
Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12,5 – 25 (+ACEI/ARB) 50
(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100 – 200

13
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. R

Kelamin : Laki-laki

Usia : 50 tahun

Alamat : Desa Badrain, Kecamatan Narmada

Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Tidak bekerja

Agama : Islam

Tanggal pemeriksaan : 27 Februari 2018

II. Anamnesis
Keluhan utama: Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Puskesmas Narmada dengan keluhan sesak napas
sejak 2 hari sebelumnya. Pasien sudah merasakan keluhan sesak sejak 6 bulan
yang lalu yang biasanya memberat jika melakukan aktivitas, namun sejak dua
hari terakhir pasien merasa sesak meskipun saat istirahat. Keluhan sesak
dirasakan sering memberat pada malam hari yang sering membuat pasien
terbangun dari tidur. Pasien merasa lebih nyaman ketika tidur setengah duduk
atau menggunakan 2-3 bantal. Pasien tidak mengeluhkan mual muntah (-),
demam (-), nyeri dada (-), nyeri ulu hari (-). Pasien juga mengeluhkan badan

14
yang lemas. Pasien mengaku BAK kurang dari biasanya dengan kencing
berwarna kekuningan. Pasien tidak mengeluhkan nyeri saat BAK. BAB dalam
batas normal, tidak berwarna kehitaman dan tidak disertai darah maupun
lendir. Tidak diketahui adanya penurunan berat badan, nafsu makan tidak
menurun.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Keluhan serupa (+) sejak 6 bulan yang lalu. Pasien mengaku sempat dirawat
di RSUP NTB 2 bulan yang lalu karena merasa sesak napas, serta kaki, tangan, dan
perut mengalami pembengkakan.setelah dilakukan pemeriksaan di RSUP NTB pasien
di diagnosis mengalami gagal jantung dan jantungnya telah membengkak.
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang diketahui sejak ± 10 tahun yang lalu
dan pasien mengaku tidak pernah meminum obat. Riwayat diabetes melitus dan asma
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien menyangkal adanya riwayat DM dan asma pada keluarga. Keluhan
serupa yang dialami pasien (+), riwayat hipertensi pada keluarga (+).

15
Genogram Keluarga Pasien
Genogram Keluarga Pasien

As

37 th 34 th
27 th As

AS

8 th 15 bln

Keterangan:

: Laki-Laki

: Perempuan

: Pasien

: Persaudaraan

: Perkawinan

As : Asma

: Tinggal dalam satu rumah

Riwayat Pengobatan

16
Sejak satu bulan terkahir pasien juga rutin meminum jamu 1 minggu sekali
yang dibelinya di penjual obat-obatan tradisional yang berkeliling. Selain itu, pasien
juga meminum obat yang diberikan dokternya, yaitu furosemide. Tapi obat ini tidak
rutin diminum, pasien meminumnya hanya jika pasien merasakan keluhan.

Riwayat Ekonomi dan Lingkungan:


Pasien tinggal bersama istri, dan ketiga anaknya. Berikut usia dan pekerjaan dari
masing-masing anggota keluarga:
a. Pasien 50 tahun, tidak bekerja lagi semenjak sakit
b. Istri pasien 45 tahun, bekerja sebagai petani
c. Anak pertama pasien 23 tahun sebagai buruh bangunan
d. Anak kedua pasien 15 tahun sebagai pelajar
e. Anak ketiga pasien 10 tahun sebagai pelajar
 Pasien merupakan keluarga dengan ekonomi kurang. Pemasukan keuangan
didapatkan dari istri dan anak pertama pasien. Dengan penghasilan kira-kira Rp.
800.000 - 1.000.000/bulan.
 Untuk air minum, pasien menggunakan air galon.
 Pasien mengaku sudah merokok sejak remaja, dimana setiap hari pasien dapat
menghabiskan sekitar 1 bungkus. Namun semenjak di rawat di rumah sakit 2
bulan yang lalu, pasien berhenti merokok.
 Untuk keperluan MCK, pasien menggunakan air sumur, dan menggunakan kamar
mandi yang terletak di dalam rumah pasien. Saat ini pasien dan anggota keluarga
biasanya BAB di kamar mandi miliknya.
 Untuk mencuci pakaian, dan mandi serta mencuci kebutuhan sehari-hari, pasien
menggunakan air sumur.
 Untuk memasak, keluarga pasien menggunakan kompor gas. Pasien memasak di
dapur yang berada di dalam rumah pasien.

17
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Status Gizi : Normoweight
BB = 58 kg ; TB = 160 cm ; BMI = 22
Tanda Vital
- Tekanan darah : 160/100 mmHg
- Frekuensi nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat.
- Frekuensi napas : 28 x/menit, reguler, torako-abdominal.
- Suhu aksila : 36,3 ºC
Status Lokalis
- Kepala
 Bentuk dan ukuran : normal
 Rambut : normal
 Edema : (-)
 Parese N. VII : (-)
 Hiperpigmentasi : (-)
 Nyeri tekan kepala : (-)
- Mata
 Simetris
 Alis normal
 Exopthalmus : (-/-)
 Ptosis : (-/-)
 Nystagmus : (-/-)
 Strabismus : (-/-)
 Edema palpebra : (-/-)

18
 Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemia (-/-)
 Sclera : ikterus (-), hiperemia (-/-), pterygium (-/-)
 Pupil : Refleks pupil +/+, isokor, bentuk bulat, Ø 3
mm, miosis (-/-), midriasis (-/-)
 Kornea : normal
 Lensa : pseudopakia (-/-), keruh (-/-)
 Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
- Telinga
 Bentuk : normal, simetris antara kiri dan kanan.
 Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-).
 Nyeri tekan tragus : (-/-)
 Peradangan : (-/-)
 Pendengaran : kesan normal
- Hidung
 Simetris
 Deviasi septum : (-/-)
 Napas cuping hidung : (-)
 Perdarahan : (-/-)
 Sekret : (-/-)
 Penciuman : kesan normal
- Mulut
 Simetris
 Bibir : sianosis (-), pucat (-), stomatitis angularis (-),
ulkus (-)
 Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
 Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah
berselaput (-),

19
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah
kotor (-).
 Gigi geligi : normal
 Mukosa : normal
- Leher
 Simetris
 Deviasi trakea : (-)
 Kaku kuduk : (-)
 Pembesaran KGB : (-)
 JVP : meningkat (5+6) cm
 Otot SCM : aktif (+), hipertrofi (-)
 Pembesaran tiroid : (-)
- Thorax
 Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada normal simetris, barrel chest (-).
2) Pergerakan dinding dada simetris.
3) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-), spider naevi (-), ictus
cordis tak tampak.
4) Penggunaan otot bantu napas : otot SCM aktif, hipertrofi otot SCM (-
)
5) Tulang iga dan sela iga : pelebaran ICS (-), penyempitan ICS (-).
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula cembung simetris, fossa
jugularis: deviasi trakea (-).
7) Tipe pernapasan torako-abdominal dengan frekuensi napas 28 x/menit.
 Palpasi :
1) Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), ictus cordis teraba di ICS VI
linea aksilaris anterior sinistra, thrill (-).
2) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-), suhu normal.

20
3) Pergerakan dinding dada simetris
4) Vocal fremitus
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
 Perkusi :
1) Densitas
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

2) Batas paru-jantung : Dextra → ICS II linea parasternalis dekstra


Sinistra → ICS VI linea aksilaris anterior
sinistra
3) Batas paru-hepar :
- Ekspirasi → ICS IV
Ekskursi : 2 ICS
- Inspirasi → ICS VI
 Auskultasi :
1) Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).
2) Pulmo :
- Vesikuler :
+ +
+ +
+ +
- Rhonki basah :
- -
- -
+ +

21
- Wheezing :
- -
- -
- -
- Abdomen
 Inspeksi :
1) Distensi (-)
2) Umbilikus masuk merata
3) Permukaan kulit: ikterik (-), bercak luka yang mengering (-), scar (-),
massa(-), vena kolateral (-), caput medusa (-).
 Auskultasi :
1) Bising usus (+) normal
2) Metalic sound (-)
3) Bising aorta (-)
 Perkusi :
1) Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
2) Nyeri ketok (-)
3) Shifting dullness (-)
 Palpasi :
1) Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
2) Massa (-)
3) Hepar/lien/ren tidak teraba
4) Hepatomegali (-), splenomegali (-)

- Ekstremitas

22
Ekstremitas Atas
 Akral hangat : +/+
 Pucat : -/-
 Deformitas : -/-
 Edema : -/-
 Sianosis : -/-
 Petekie : -/-
 Bercak luka : -/-
 Clubbing finger : -/-
 Sendi : dbn
 CRT : < 2 detik
Ekstremitas Bawah
 Akral hangat : +/+
 Pucat : -/-
 Deformitas : -/-
 Edema : -/-
 Sianosis : -/-
 Petekie : -/-
 Bercak luka : -/-
 Clubbing finger : -/-
 Sendi : dbn

IV. Pemeriksaan Penunjang


Rontgen Thoraks (bulan Desember)

23
V. Diagnosis
CHF NYHA IV
Hipertensi Stage II

VI. Penatalaksanaan
 Managemen berdasarkan diagnosis pasien
- O2 2-4 L/mnt via nasal kanul
- Furosemide 2x40mg
- Captopril 2 x 25 mg

 Tujuan Terapi
Menjaga tekanan darah agar terkontrol
Menghilangkan keluhan sesak napas
Mencegah komplikasi lebih lanjut

VII. Konseling

24
1. Penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit hipertensi dan
gagal jantung, serta komplikasi lanjut yang dapat terjadi.
2. Edukasi untuk minum obat secara teratur.
3. Mulai membiasakan diri tidak memakan makanan tinggi garam dan
membatasi asupan air.
4. Tanda-tanda kegawatan segera bawa pasien ke rumah sakit.
5. Olahraga teratur selama minimal 15 menit sehari.
6. Kontrol setiap bulan ke puskesmas untuk memeriksa tekanan darah.
VIII. Denah Rumah Pasien
5m 2m

WC 2
2m DAPUR 2m

4m 3m

KAMAR TIDUR 3m

6m RUANG
TAMU 3m

3m
KAMAR TIDUR

3m

Keterangan:
Jendela
Ventilasi

25
Ruang Tamu

Dapur

26
Kamar Tidur

27
KERANGKA KONSEP MASALAH PASIEN

BIOLOGIS

MELITUS
 Usia pasien
(semakin tua usia, semakin
meningkatkan risiko gagal jantung.
 Genetik
DIABETES
Riw keluarga yang meninggal
karena penyakit jantung dan
adanya MELITUS
riw hhipertensi.

PERILAKU LINGKUNGAN
DIABETES
 Perilaku Hidup Bersih  Kebiasan keluarga
MELITUS
dan Sehat yang memakan makanan
kurang, tinggi garam
CHF
 Pengetahuan dan  Kurangnya dukungan
pendidikan tergolong DIABETES
Hipertensi keluarga
rendah
MELITUS
 Kesadaran akan
kesehatan yang
kurang
DIABETES
PELAYANAN
MELITUS
KESEHATAN

 Kurangnya informasi tentang komplikasi hipertensi


 DIABETES
Kurangnya edukasi mengenai bagaimana
meningkatkan kualitas hidup pada pasien gagal
jantung MELITUS

DIABETES
28

MELITUS
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Aspek Klinis


Pasien datang ke Puskesmas Narmada dengan keluhan sesak napas
sejak 2 hari sebelumnya. Pasien sudah merasakan keluhan sesak sejak 6 bulan
yang lalu yang biasanya memberat jika melakukan aktivitas, namun sejak dua
hari terakhir pasien merasa sesak meskipun saat istirahat. Keluhan sesak
dirasakan sering memberat pada malam hari disertai keluhan batuk berdahak
yang sering membuat pasien terbangun dari tidur. Pasien merasa lebih nyaman
ketika tidur setengah duduk atau menggunakan 2-3 bantalPasien juga
mengeluhkan badan yang lemas.
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum lemah,
tekanan darah 160/100 mmHg, frek. nadi 88 x/menit, frekuensi nafas 28
x/menit, suhu aksila 36,3º C, BB 58 kg, TB 160 cm, status gizi baik. Pada
pemeriksaan status lokalis, didapatkan peningkatan JVP dan otot SCM aktif.
Pada pemeriksaan thoraks, didapatkan pergeseran batas kiri jantung dan iktus
kordis ke ICS VI linea aksilaris anterior sinistra. Selain itu juga terdengar
ronkhi di kedua lapang paru bagian bawah. Pada pemeriksaan penunjang
rontgen thoraks, didapatkan adanya gambaran pembesaran jantung.
Pasien memiliki riwayat hipertensi yang diketahui sejak ± 10 tahun
yang lalu dan pasien mengaku tidak pernah meminum obat. Keluhan serupa (+)
sejak 6 bulan yang lalu, pasien mengaku pernah 1 kali opname di RSUP NTB
2 bulan yang lalu karena merasa sesak napas, serta kaki, tangan, dan perut
mengalami pembengkakan.setelah dilakukan pemeriksaan di RSUP NTB
pasien di diagnosis mengalami gagal jantung dan jantungnya telah
membengkak.
Pasien didiagnosis dengan gagal jantung kogestif NYHA IV dan
hipertensi stage II berdasarkan anamnesis (riwayat hipertensi tidak terkontrol,

29
sesak saat istirahat), pemeriksaan fisik (peningkatan JVP, kardiomegali, ronkhi
di basal paru), pemeriksaan penunjang (rontgen thoraks dengan gambaran
kardiomegali) dan riwayat penyakit sebelumnya.
Terapi pada pasien ditujukan untuk mengatasi sesak napas yang
dirasakan pasien, mengontrol tekanan darah pasien, dan meningkatkan kualitas
hidup pasien yang telah mengalami gagal jantung. Adapun pengobatan yang
diberikan meliputi O2 2-4 L/mnt via nasal kanul, Furosemide 2x40mg,
Captopril 2 x 25 mg.

5.2. Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat


Timbulnya suatu penyakit pada seorang individu dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. H.L. Bloom memperkenalkan paradigma hidup sehat yang terdiri
atas faktor genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau
masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor
pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya). Faktor-faktor tersebut
memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya suatu penyakit dan
kesehatan. Analisa munculnya penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi
pada pasien berdasarkan empat faktor tersebut meliputi:
i. Faktor Genetik dan Biologis
- Usia
Usia tua semakin meningkatkan risiko penyakit jantung, salah satunya gagal
jantung terutama bila disertai hipertensi yang merupakan salah satu faktor
risiko utama yang menyebabkan gagal jantung.
- Riwayat keluarga
Pasien memiliki riwayat keluarga hipertensi, selain itu ayah pasien
meninggal karena penyakit jantung dengan keluhan serupa seperti yang
pasien rasakan.

30
ii. Faktor Perilaku
- Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang kurang
Pasien kerap mengonsumsi makanan tinggi garam sehari-harinya. Pasien
sebelum sakit rutin merokok hingga satu bungkus per hari dan kerap
meminum minuman beralkohol.
- Pengetahuan dan pendidikan tergolong rendah
Pasien tidak mengetahui bahwa dia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami hipertensi dan penyakit jantung dikarenakan adanya riwayat
keluarga dengan penyakit serupa Pasien juga tidak mengetahui apa saja
komplikasi yang dapat terjadi jika tidak melakukan pengobatan rutin untuk
mengatasi penyakit hipertensinya.
- Kesadaran akan kesehatan yang kurang
Pasien tidak pernah berobat rutin walaupun mengetahui menderita
hipertensi, karena pasien merasa tidak memiliki keluhan apapun. Walaupun
pasien telah mengalami komplikasi hipertensi berupa gagal jantung, pasien
tetap tidak mau berobat rutin dikarenakan merasa lebih baik jika meminum
obat tradisional dibandingkan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
Pasien juga masih sulit merubah pola makannya.

iii. Faktor Lingkungan


- Kebiasan keluarga memakan makanan tinggi garam
Pasien dan keluarga memiliki kebiasaan memakan makanan tinggi garam
setiap harinya. Menurut pasien ini sudah menjadi kebiasaan pasien sejak
kecil dan pasien dan keluarga mengaku sulit untuk meninggalkan kebiasaan
ini.
- Kurangnya dukungan keluarga
Salah satu alasan pasien jarang datang ke fasilitas kesehatan untuk
memeriksakan dirinya secara rutin dikarenakan tidak ada yang
mengatarnya. Karena anak pertama pasien setiap harinya bekerja untuk

31
memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, keluarga pasien juga merubah
pola hidup mereka yang tinggi mengonsumsi garam, sehingga menyebabkan
pasien juga sulit untuk merubah pola hidupnya.

iv. Pelayanan Kesehatan


- Kurangnya informasi tentang komplikasi hipertensi
Keluarga pasien dan pasien kurang dalam mendapatkan informasi yang
cukup mengenai komplikasi yang dapat terjadi jika tidak melakukan
pengobatan rutin hipertensi. Petugas kesehatan dapat meningkatkan
penyuluhan mengenai hipertensi dan komplikasinya.
- Kurangnya edukasi mengenai bagaimana meningkatkan kualitas hidup pada
pasien gagal jantung
Pasien yang telah mengalami gagal jantung kurang mendapatkan edukasi
bagaimana agar tetap bisa meningkatkan kualitas hidupnya walaupun telah
mengalami komplikasi hipertensi, berupa gagal jantung. Petugas kesehatan
perlu lebih menggiatkan upaya ksehatan pencegahan tersier dengam
melakukan edukasi pada berbagai kegiatan lapangan seperti posbindu atau
posyandu lansia.

32
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Jantung bertanggung jawab untuk menyuplai darah ke jaringan tubuh dan
organ-organ, termasuk ginjal, yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan
dan homeostasis garam dalam tubuh. Gagal jantung merupakan tahap akhir dari
semua penyakit jantung yang merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan
angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara
berkembang termasuk Indonesia. Kasus gagal jantung pada pasien ini tidak terlepas
dari adanya ketidakseimbangan dari empat determinan kesehatan yang meliputi faktor
biologis, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pelayanan kesehatan.

6.2 Saran
Dalam menangani dan mengatasi kasus ini perlu kerjasama berbagai pihak.
Dalam hal ini, penulis memberikan saran untuk beberapa pihak agar dapat bermanfaat
bagi kemajuan bersama.

1. Meningkatkan upaya promotif dan preventif dengan meningkatkan kegiatan


penyuluhan di kalangan masyarakat agar semakin banyak masyarakat yang
mengetahui tentang penyakit hipertensi dan terutama komplikasi yang dapat
terjadi serta cara pencegahannya. Upaya promotif dapat dilakukan oleh pihak
Puskesmas yang bekerja sama dengan tokoh di lingkungan sekitar dan kader
tentang hipertensi. Selain itu, diperlukan juga peningkatan upaya pencegahan
sekunder dan tersier dengan melakukan kunjungan rumah kepada sasaran,
sehingga dapat meningkatkan kesadaran akan kesehatan dan kualitas hidupnya.
2. Bagi pasien, upaya preventif yang sebaiknya dilakukan adalah upaya preventif
tersier berupa terapi dan perubahan pola hidup untuk meningkatkan kualitas hidup
dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Rilantono, L. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta :Balai penerbit FK UI.1996.


2. Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Profil Kesehatan Indonesia
2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2017. Profil Kesehatan Provinsi
Nusa Tenggara Barat 2016. Mataram: Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
5. PKM Narmada 2017, Data Indeks Keluarga Sehat di Tujuh Desa 2017,
Puskesmas Narmada, Narmada.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Gagal Jantung. Indonesia: Centra Communications; 2015.
7. Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease. 5th Ed. China: Wolters Kluwer
Health; 2011.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
9. Dharma S. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta:EGC; 2009.
10. Lankhorst, CE dan Wish, JB. Anemia in Renal Disease: Diagnosis and
Management, Blood Reviews.2010.
11. Imagily EU. Gagal Jantung Pada Geriatri. 2014. CDK-212; 41(1): 19-24.[pdf]

34

You might also like