Professional Documents
Culture Documents
KELOMPOK I :
1. Dzulfikar Sri Bagus W. 16.1225
2. Ika Maulida 16.1232
Penyakit difteri muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperature lebih dingin
di negara subtropis, terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang
belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi.
Di negara tropis, dimana variasi musim kurang jelas yang sering terjadi adalah infeksi
subklinis dan difteri kulit.
Sebelum era vaksinasi, difteri merupakan penyakit ynag sering menyebabkan
kematian. Namun, sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (Indonesia pada
tahun 1974), maka kasus dan kematian difteri berkurang sangat banyak. Angka mortalitas
di Indonesia menurut laporan Parwati. S Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota
Jakarta (RSCM), Bandung (RSHS), Makassar (RSWS), Semarang (RSK) dan Palembang
(RSHS) rata-rata sebesar 15%.
Menurut World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang
dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut
menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus
difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan
ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang
menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang
terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.
Di akhir tahun 2017, Indonesia kembali mengalami wabah penyakit difteri.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menetapkan status Kejadian Luar Biasa
(KLB) karena jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae
tersebut telah banyak memakan korban jiwa, setidaknya di 20 Provinsi di Tanah Air. Data
Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sampai dengan November 2017, ada 95
Kab/Kota dari 20 Provinsi melaporkan kasus Difteri. Sementara pada kurun waktu
Oktober-November 2017 ada 11.
Kota Pati Jawa Tengah termasuk yang berstatus kejadian luar biasa (KLB) untuk
penyakit Difteri. Meski demikian tidak ada yang sampai meninggal dunia akibat wabah
tersebut
Kepala Dinas Kesehatan Kota Pati, Widoyono mengatakan selama tahun 2017 ini
memang hanya 1 anak yang terindikasi Difteri, namun jumlah tersebut cukup untuk suatu
daerah menetapkan KLB.
Akibat penyakit Difteri ini muncul, dikarenakan adanya ibu dari anak tersebut tidak
mengimunisasikan anak mereka. Satu anak yang terkena Difteri tersebut merupakan
warga Mangunrekoso, Tambakromo, Pati berusia 10 tahun. Namun saat ini pasien
tersebut sudah diperbolehkan pulang setelah ditangani dokter. Pada tahun 2010 ada 6
kasus, tahun 2011 ada 5 kasus, tahun 2012 ada 5 kasus, tahun 2013 ada 3 kasus, tahun
2014 ada 2 kasus, tahun 2016 ada 2 kasus, dan tahun 2017 ada 1 kasus. Imunisasi
terhadap bayi untuk pencegahan penyakit tersebut 50% sudah dilakukan di beberapa
kecamatan di Kota Pati, namun kondisi daya tahan tubuh kadang bisa membuat anak-
anak terkena wabah tersebut meski kemungkinannya kecil.
B. TUJUAN KEGIATAN
1. Tujuan umum
Untuk memberikan pemahaman kepada ibu-ibu agar mau melaksanakan imunisasi
difteri kepada bayi dan anaknya.
2. Tujuan khusus
a. Ibu mengetahui gambaran umum mengenai jadwal imunisasi difteri, yaitu:
1) Pada usia 2 bulan : imunisasi dasar diberikan dengan vaksin DPT-HB-Hib
2) Pada usia 3 bulan : imunisasi dasar diberikan dengan vaksin DPT-HB-Hib
3) Pada usia 4 bulan : imunisasi dasar diberikan dengan vaksin DPT-HB-Hib
4) Pada usia 18 bulan : imunisasi lanjutan 1 diberikan dengan vaksin DPT-HB-Hib
5) Pada kelas 1 SD : imunisasi lanjutan 2 diberikan dengan vaksin DT
6) Pada kelas 2 SD : imunisasi lanjutan 2 diberikan dengan vaksin Td
7) Pada kelas 5 SD : imunisasi lanjutan 2 diberikan dengan vaksin Tdap/Td
b. Ibu mengetahui gejala yang muncul jika anak mereka mengalami penyakit Difteri
dan mengetahui cara pencegahannya.
C. SASARAN
Sasaran promosi kesehatan pencegahan Difteri ini adalah sasaran sekunder, karena
dengan memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok ini diharapkan untuk semua
masyarakat berperilaku hidup sehat. Upaya promosi kesehatan yang ditunjukkan kepada
sasaran sekunder ini adalah sejalan dengan strategi dukungan sosial dan peran seorang ibu
sangatlah dibutuhkan untuk mengontrol kegiatan keseharian anak, perhatian seorang ibu
dibutuhkan oleh anak, agar mereka terhindar dari difteri.
D. METODE
1. Ceramah
Menyampaikan secara langsung materi pencegahan Difteri pada masyarakat.
E. MEDIA
1. Laptop dan LCD
Untuk mempermudah penyampaian informasi dan lebih mudah diterima ibu-ibu.
2. Leaflet
Dengan pembagian leaflet akan menjadi lebih menarik perhatian dan ibu-ibu dapat
membaca sendiri tentang pencegahan Difteri di leaflet juga untuk membantu ibu-ibu
agar lebih mudah memahami materi.
G. DESKRIPSI KEGIATAN
Langkah-langkah kegiatan :
1. Kegiatan pra pembelajaran
a. Mempersiapkan materi, media, dan tempat
b. Memberikan salam
c. Perkenalan
d. Kontrak waktu
2. Membuka pembelajaran
a. Menjelaskan pokok bahasan
b. Menjelaskan tujuan
c. Apersepsi
3. Kegiatan inti
a. Penyuluhan menjelaskan materi pencegahan difteri
b. Sasaran menyimak pencegahan difteri
c. Sasaran mengajukan pertanyaan tentang pencegahan difteri
d. Penyuluh menjawab pertanyaan
e. Penyuluh menyimpulkan jawaban
4. Penutup
a. Evaluasi
b. Penyuluh dan sasaran menyimpulkan materi
c. Memberi salam
H. SUSUNAN PANITIA
1. Dzulfikar Sri Bagus Wiratmoko
2. Ika Maulida
I. PENUTUP
Demikianlah proposal kegiatan penyuluhan pencegahan Difteri ini kami susun.
Terima kasih atas kerjasama dan bantuan dari semua pihak demi kesuksesan dan
kelancaran kegiatan ini. Atas perhatiannya, kami mengucapkan terimakasih.
MATERI
C. Pencegahan Difteri
Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian
sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna
mencegah penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu :
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B dan
Meningitis, serta Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophylus Influenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
(Kemenkes RI, 2017)
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal :
1. Imunisasi dasar :
Bayi berusia 2, 3, dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1 bulan.
2. Imunisasi lanjutan :
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi Anak
Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.
(Kemenkes RI, 2017)
Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan
imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi dan merata. Cakupan harus
mencapai minimal 95%, merata di setiap kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan.
Selain cakupan yang harus diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak
pengiriman, penyimpanan sampai ke sasaran.
Vaksin difteri merupakan vaksin yang sensitif terhadap suhu beku sehingga dalam
pengiriman maupun penyimpanan harus tetap berada pada suhu 2 - 8° C.
Setiap daerah menyediakan biaya operasional untuk imunisasi rutin dan imunisasi
dalam penanggulangan KLB (ORI).
(Kemenkes RI, 2017)
Menurut Kemenkes RI (2017), kegiatan imunisasi dalam KLB Difteri, antara lain :
1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB Difteri :
a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai 95%.
b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak Sekolah Dasar minimal harus
mencapai 95%.
2. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) tanpa menunggu hasil
laboratorium suspek difteri (kasus indeks), dengan sasaran sesuai dengan kajian
epidemiologi tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI
adalah minimal tingkat kecamatan dan dilaksanakan 3 putaran dengan jarak
pemberian antara putaran pertama dan kedua 1 bulan, dan antara putaran kedua dan
ketiga adalah 6 bulan. Vaksin yang digunakan adalah :
a. Anak usia 1-<5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib.
b. Anak usia 5-<7 tahun menggunakan vaksin DT.
c. Anak usia ≥7 tahun menggunakan vaksin Td.
Cakupan ORI minimal 90% pada lokasi yang telah ditetapkan.
3. Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang dewasa
harus disertakan dalam imunisasi missal.
4. Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang ada kegiatan
imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan tanggapan masyarakat yang masih
menolak imunisasi.
5. Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat besar
kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan terbentuknya kekebalan.
6. Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun koordinator
program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan koordinator program imunisasi
yang tidak kualified akan berpengaruh pada kualitas vaksinnya.
7. Penderita Difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah diimunisasi sebaiknya
segera diberi satu dosis vaksin yang mengandung toksoid Difteri (sebaiknya Td) dan
kemudian lengkapi imunisasi dasar sekurang-kurangnya 3 dosis.
8. Penderita dengan status imunisasi belum lengkap, harus melengkapi imunisasi dasar
dan lanjutan sesuai jadwal program imunisasi nasional.