You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asuransi syariah merupakan salah satu instrumen lembaga


keuangan yang dioperasikan dengan sistem yang sesuai dengan
syari’at Islam. Sehingga akad-akad yang digunakan dan mekanisme
pengelolaan dana harus berdasarkan syari’at Islam. Kebutuhan
terhadap jasa asuransi syariah semakin dirasakan baik oleh
perorangan maupun perusahaan terutama bagi masyarakat Islam.
Karena asuransi syariah merupakan lembaga perlindungan terhadap
berbagai resiko dalam kehidupan masyarakat seperti kematian dan
kecelakaan. Selain itu, perusahaan sebagai badan usaha juga
membutuhkan asuransi syariah untuk mengatasi berbagai masalah
dalam aktivitas bisnis.

Asuransi syariah sebagai salah satu lembaga keuangan yang


berbasis syari’ah berperan penting dalam pembangunan ekonomi
masyarakat. Dengan menghimpun dana dari masyarakat yang berasal
premi yang disetorkan oleh peserta asuransi syariah maka pihak
asuransi syariah dapat menggunakan dana tersebut untuk investasi.
Sehingga pembangunan dalam bidang ekonomi dapat terus
berkembang dan berkelanjutan.

Reasuransi adalah pertanggungan ulang yang dilakukan oleh


perusahaan asuransi ke perusahaan asuransi lain, atau dapat diartikan
dengan membagi risiko pada sesama perusahaan asuransi. Oleh karena itu
untuk mengetahiu lebih lanjut tentang asuransi dan reasuransi maka di
dalam makalah ini kami akan membahas tentang bagaimana hakikat
asuransi syariah, apa perbedaan asuransi syariah dan konvensional,
bagaimana hakikat reasuransi syariah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat Asuransi Syariah?
2. Apa Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional?
3. Bagaimana Hakikat Reasuransi Syariah?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami tentang Hakikat Asuransi Syariah.
2. Mengetahui dan memahami tentang Perbedaan Asuransi Syariah dan
Konvensional.
3. Mengetahui dan memahami tentang Hakikat Reasuransi Syariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Asuransi Syariah

Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para peserta saling


menanggung risiko (sharing of risk) dengan menghibahkan sebagian atau
seluruh kontribusi melalui dana tabarru’, yang akan digunakan untuk
membayar klaim, atau jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian
peserta. Peranan perusahaan di sini adalah sebagai pemegang amanah
dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.
Perusahaan bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan sebagai
penanggung seperti pada asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah
harus menggunakan akad-akad yang sesuai dengan syariah, akad yang
sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan),
maysir (perjudian), riba, dzlum (penganiayaan), risywah (suap), barang
haram dan maksiat.

Hakikat asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab,


saling bekerja sama atau bantu-membantu dan saling menanggung
penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan
secara syariah, karena prinsip-prinsip dasar syariah mengajak kepada
setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada
sesuatu yang meringankan bencana mereka sebagaimana firman Allah
SWT. dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya”. Prinsip asuransi syariah yang menekankan pada semangat
kebersamaan dan tolong-menolong (ta’awun). Semangat asuransi syariah
menginginkan berdirinya sebuah masyarakat mandiri yang tegak di atas
asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim

3
terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling
menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi
ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil (aklu
amwalinnas bilbathil), karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata
sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi
syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian
umat.1

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi


syariah berpegang pada pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu: Fatwa DSN-MUI
No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah di
samping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad
perjanjian asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa No.
52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi
Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada
Asuransi Syariah.

Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah


berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:

1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/


KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa-haan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat
dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan
usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…”
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal
3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32

1
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankkan dan Perasuransian Di
Indonesia, (Depok: PT.Fajar Interpratama Mandiri, 2017) hlm 146

4
mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33
mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/


KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah
tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan
harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip syariah.

3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/


LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.2

B. Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992,


pengertian asuransi konvensional adalah pelimpahan risiko yang mungkin
akan terjadi pada tertanggung (peserta asuransi) kepada penanggung
(perusahaan asuransi).3

Menurut Wirdyaningsih (2005:220) asuransi (asuransi


konvensional) itu sendiri diambil dari bahasa Belanda yaitu assurantie.
Dalam hukum Belanda disebut dengan verzekering, yang berarti
pertanggungan, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau

2
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafmodo Persada, 1999), Hlm 31
3
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, (Jakarta: PT Gramedia, 2006), Hlm.6

5
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas hidup seseorang yang
dipertanggungkan.

Menurut Wirdyaningsih (2005:221) dalam bahasa Arab, asuransi


dikenal dengan istilah al-ta’min, penanggung disebut muammin,
tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. at-ta’min yang
artinya memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa
takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106):4, yaitu “Dialah
Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.” Pengertian dari at-
ta’min adalah seseorang yang membayar atau menyerahkan uang cicilan
agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang
telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang
hilang.

Asuransi syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling


menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan
dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut Tabarru’. Jadi sistem ini
tidak menggunakan pengalihan resiko (risk transfer) dimana tertanggung
harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian resiko (risk
sharing) di mana para peserta saling menanggung.4

Asuransi syariah secara teoritis masih menginduk kepada kajian


ekonomi Islam secara umum. Oleh karena itu, asuransi syariah harus
tunduk kepada aturan-aturan syariah. Inilah yang membentuk karakteristik
asuransi syariah dan membedakannya dengan asuransi konvensional.5 Ada
beberapa perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional
sebagai berikut:

4
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2009), hlm. 245
5
Arti Damisa, Asuransi dalam Perspektif Syariah, Volume 2, No 2, Juli-Desember 2016,
hlm. 177

6
No Dari Segi Konvensional Syariah
1 Konsep Perjanjian antara dua Sekumpulan orang
pihak atau lebih, pihak yang saling
penanggung mengikatkan membantu, saling
diri kepada tertanggung menjamin, dan
dengan menerima premi bekerja sama, dengan
asuransi, untuk cara masing-masing
memberikan pergantian mengeluarkan dana
kepada tertanggung. tabarru’.
2 DPS (Dewan Tidak ada, sehingga Ada, yang berfungsi
Pengawas Syariah) dalam prakteknya mengawasi produk
bertentangan dengan dan pelaksanaan
kaidah-kaidah syara’. operasional
perusahaan agar
terbebas dari praktek-
praktek muamalah
yang bertentangan
dengan prinsip-
prinsip syariah.
3 Akad Akad jual beli (Tabaduli) Akad tabarru’ dan
akad tijarah
(mudharabah,
wakalah, wadiah,
syirkah)
4 Jaminan/risk Transfer of Risk, di mana Sharing of Risk, di
(risiko) terjadi pengalihan risiko mana terjadi proses
dari tertanggung ke saling menanggung
penanggung. antara satu peserta
dan peserta lainnya
(ta’awun).

7
5 Pengelolaan dana Tidak ada pemisahan Tidak mengenal dana
dana, sehingga berakibat hangus, jika pada
pada terjadinya dana masa kontrak peserta
hangus. tidak dapat
melanjutkan
pembayaran premi
dan ingin
mengundurkan diri
sebelum masa
reserving period,
maka dana yang
dimasukkan dapat
diambil kembali,
kecuali yang sudah
dimasukkan ke dana
tabarru’.
6 Kepemilikan dana Dana yang terkumpul Merupakan milik
dari premi peserta peserta, perusahaan
seluruhnya menjadi milik hanya sebagai
perusahaan. Perusahaan pemegang amanah
bebas menggunakan dan dalam mengelola dana
menginvestasikan ke tersebut secara
mana saja. syariah.
7 Sumber Sumber biaya klaim Sumber pembayaran
pembayaran klaim diambil dari rekening klaim diperoleh dari
perusahaan, sebagai rekening tabarru’, di
konsekuensi penanggung mana peserta saling
terhadap tertanggung. menanggung. Jika
Murni bisnis dan tidak salah satu peserta
ada nuansa syariah. mendapat musibah,

8
maka peserta lainnya
ikut menanggung
bersama risiko
tersebut.
8 Keuntungan (profit Keuntungan diperoleh Profit yang diperoleh
share) dari surplus dari surplus
underwriting, komisi underwriting, komisi
reasuransi, dan hasil reasuransi, dan hasil
investasi seluruhnya investasi bukan
adalah keuntungan seluruhnya menjadi
perusahaan. milik perusahaan,
tetapi dilakukan bagi
hasil (mudharabah).
9 Konsep akuntansi Menggunakan sistem Menggunakan cash
yang digunakan akuntansi acrual basic basic yang mengakui
yang mengakui asset, apa yang telah ada.
biaya, kewajiban yang
sebenarnya belum ada.
10 Zakat Tidak ada. Adanaya kewajiban
membayar zakat dari
keuntungan yang
diperoleh.

C. Hakikat Reasuransi Syariah


Pengertian reasuransi dalam bahasa Belanda yakni hervezekering
yang artinya pertanggungan ulang. Sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut “reisurance” yang berarti sama seperti dalam bahasa Belanda
yaitu pertanggungan ulang. Meurut purwosutjipto, reasuransi adalah
perusahaan yang khusus hanya menjalankan pertanggungan ulang secara
professional. Jadi tidak menerima permintaan pertanggungan dari

9
tertanggung pertama. Perusahaan reasuransi hanya menerima tawaran
dari penanggung pertama yang mengasuransikan objek
pertanggungannya kepada perusahaan asuransi.6
Reasuransi syariah adalah proses saling menanggung antara
pemberi sesi (cending company) dengan pengaggung ulang (reasurder)
dengan proses suka sama suka dari berbagai risiko dan persyaratan yang
yang ditetapkan dalam akad dengan konsep sharing of risk. Dalam
operasionalnya, menggunakan prinsip-prinsip syariah, terbebas dari
praktek gharar,maisir,dan riba.
Hakikat reasuransi adalah pertanggungan ulang yang dilakukan
oleh perusahaan asuransi ke perusahaan asuransi lain, atau dapat
diartikan dengan membagi risiko pada sesama perusahaan asuransi.
Dimana perusahaan asuransi yang pertama disebut ceding company.
Sedangkan perusahaan asuransi yang menerima risiko disebut reasuradur.
Reasuradur terkadang melemparkan sebagian risiko yang ia terima ke
perusahaan asuransi lain yang bisa disebut retrocessionare.7
Reasuransi syariah merupak pengembangan dari industry asuransi
syariah yang memiliki tujuan yang sama dengan asuransi syriah yaitu
menciptakan kerja sama yang saling menguntungkan antar kedua belah
pihak. Reasuransi syariah juga beroperasi untuk melindungi dan saling
tolong menolong antara sejumlah perusahaan asuransi syariah melalui
investasi dalam bentuk tabarru’ yang memberikan pola pengembalian
untuk menghadapi suatu risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan
prinsip syariah.
Keterbatasan kemampuan dari perusahaan asuransi yang
mendorong adanya perusahaan reasuransi syariah. Untuk mengurangi atu
memperkecil beban risiko yang diterima perusahaan asuransi dengan
mengalihkan sebagian atau seluruh risiko kepada perusahaan reasuransi
sebagai penanggung lain.
6
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Prespektif Kewenangan Peradilan
Agama, (Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2012), Hlm 278
7
Khoiril Anwar, Asuransi, Halal &Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), Hlm 73

10
Di dalam reasuransi syariah terdapat beberapa prinsip diantaranya
yaitu:
a. Prinsip lktikad Baik
Prinsip ini terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang dimana
menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik atau kepercayaan yang baik.. Prinsip ini juga berlaku
dalam dunia perdagangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 281
KUHD. Kalau prinsip ini tidak ada, maka tidak sah perjanjian
tersebut.
b. Prinsip Insurable Interest

Prinsip ini disebut juga dengan kepentingan yang


dipertanggungkan yang merupakan suatu hak dan kewajiban
tertanggung terhadap benda pertanggungan. Kepentingan dalam
reasuransi adalah kewajlban penanggung pertama untuk mengganti
kerugian terhadap tertanggung pertama.

c. Prinsip lndemnitas

Yang dimaksud dengan prinsip indemnitas yaitu prinsip ganti rugi


sebagaimana yang dialur dalam Pasal 252 dan 253 KUHD. lsi dari
prinsip ini adalah keseimbangan, seimbang dengan jumlah ganti
rugi dcngan kerugian yang bcnar-benar diderita oleh tertanggung
dan keseimbangan antara jumlah pertanggungan dengan nilai
sebenarnya benda pertanggungan. Prinsip ini hanya berlaku pada
asuransi kerugian, tidak berlaku pada asuransi jiwa.

d. Prinsip Subrogasi
Dalam prinsip ini, terjadi penyerahan hak menuntut dari
tertanggung kepada penanggung, manakala jumlah ganti kerugian
sepenuhnya sudah diganti oleh penanggung terdapat pada Pasal 284
KUHD.

11
e. Prinsip Kontribusi

Prinsip ini terjadi kalau terjadi double reinsurance sebagaimana


tersebut dalam Pasal 278 KUHD. Prinsip ini jarang terjadi dalam
asuransi, kecuali apabila dalam satu-satunya polis ditandatangani
lebih dari satu penanggung ulang. Dalam hal demikian, maka
mereka bersama-sama. menurut imbangan dari pada jumlah
sebagaimana mereka tolak menandatangani polis. memikul hanya
harga sebenarnya dari kerugian yang diderita oleh tenanggung.

f. Prinsip Follow the Fortunes

Prinsip ini merupakan kata singkat dari the insurer follows the
fortunes of the ceding company yakni penanggung ulang mengikuti
suka duka penanggung penama.

g. Prinsip Pertanggungan KembaIi

Prinsip memberi kemungkinan untuk memutuskan perjanjian


pertanggungan secara sepihak dengan cara memberitahukan
melalui pengadilan, yang dimana terdapat pada Pasal 1272 KUHD.

Ditinjau dari aspek teknis, tujuan reasuransi (retakaful) yakni


untuk mengurangi beban risiko yang diterima dengan mengalihkan
seluruh atau sebagian risiko itu kepada pihak penanggung lain. Dengan
adanya pertanggungan ulang ini maka akan mengurangi atau
memperkecil risiko-risiko yang diterima yang dipandang dari segi
kerugian materi. Pada aspek teknis tujuan reasuransi lebih berdasarkan
pada cara atau alat pengalihan beban risiko atau pembagian risiko
(distribution of risk) atau penyebaran risiko (spreading of risk). Jadi
fungsi atau tujuan reasuransi yakni:

a. Memberi jaminan atau perlindungan kepada penanggung dari


kerugian underwriting yang sewaktu-waktu dapat

12
membahayakan likuiditas, solvabilitas dan kelestarian kegiatan
usaha meraka.
b. Menaikkan kapasitas akseptasi perusahaan atas risiko-risiko
yang melampaui batas kemampuannya akibat kelebihan
tanggung gugat yang tidak bisa mereka tampung sendiri akan
dijamin oleh penanggung ulang yang telah bersedia
menampungnya.
c. Sebagai alat penyebaran risiko, baik di pasar reasuransi dalam
negeri maupun di pasar luar negeri.
d. Jika kerja sama reasuransi atas sebagian risiko yang dilakkan
antar perusahaan asuransi, akan terdapat dua fungsi di
dalamnya yaitu sebagai penyebaran risiko dan sebagai sarana
pertukaran bisnis yang dapat meningkatkan pendapatan premi
disamping adanya pengeluaran premi.
e. Meningkatkan atau mendukung stabilitas underwriting dan
keadaan keuangan asuransi, termasuk menjaga stabilitas
pendapatannya.8

8
AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Prespektif Hukum Islam, (Jakarta:Prenada Media,
2006), Hlm 141-142

13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hakikat asuransi secara syariah adalah saling bertanggung jawab,
saling bekerja sama atau bantu-membantu dan saling menanggung
penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan
secara syariah, karena prinsip-prinsip dasar syariah mengajak kepada
setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada
sesuatu yang meringankan bencana mereka
Perbedaan dari asuransi syariah dan asuransi konvensional
berdasarkan Konsep Perjanjian asuransi konvesional dilakukan antara
dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung. sedangkan dalam asauransi syariah
sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja
sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. Dalam
asuransi konvensional tidak terdapat DPS, sedangkan Asuransi syariah
terdapat DPS. Akad yang digunakan dalam asuransi konvensional dalah
akad jual beli, sedangkan dalam asuransi syariah akad tabarru’ dan tijarah.
Hakikat reasuransi adalah pertanggungan ulang yang dilakukan
oleh perusahaan asuransi ke perusahaan asuransi lain, atau dapat diartikan
dengan membagi risiko pada sesama perusahaan asuransi. Dimana
perusahaan asuransi yang pertama disebut ceding company. Sedangkan
perusahaan asuransi yang menerima risiko disebut reasuradur. Reasuransi
syraiah di dasrakan pada prisip lktikad baik, prinsip insurable interest,
prinsip lndemnitas, prinsip subrogasi, prinsip kontribusi, prinsip follow the
fortunes, prinsip pertanggungan kembai, yang bertujuan untuk mengurangi
beban risiko yang diterima dengan mengalihkan seluruh atau sebagian
risiko itu kepada pihak penanggung lain.

14
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini penulis sangat kurang
pengetahuannya. Makalah yang kami tulis masih begitu jauh dari kata
sempuran. Kedepan penulis akan lebih detail dan dapat menjelaskan
dengan sumber yang lebih banyak dan dapat di pertanggung jawabkan.
Oleh karena itu penulis meminta kritik dan saran yang membangun. Untuk
pengembangan lebih lanjut, penulis menyarankan pembaca mempelajari
tentang Hukum Ekonomi Syariah secara bertahap agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam proses pembelajaran. Semoga makalah yang
penulis buat dapat bermanfaat dan pembaca lebih memahami lagi
mengenai Asuransi dan Reasuransi berdasrkan syariah.

15

You might also like