Professional Documents
Culture Documents
ISI
2.1 TINGKEBAN
Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu amalan
sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama salaf atau tidak?
Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya pro dan kontra antara
kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim yang lain. Sebagian dari
kelompok muslim di Indonesia ada yang apriori, tidak mau malakukan bahkan ada
yang bersikap ekstrim menolak dan berusaha untuk memberantasnya. Mereka
berargumentasi bahwa tradisi tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu
peninggalan Budha klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh
umat muslim. Mereka mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi saw. :
1. Nasi tumpeng;
2. Panggang ayam;
3. Buceng/nasi bucu tujuh buah;
4. Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;
5. Takir pontang yang berisi nasi kuning;
6. Nasi liwet yang masih dalam periok;
7. Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;
8. Pasung yang dibungkus daun nangka;
9. Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).
10. Sehelai daun talas yang diberi air putih;
11. Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);
12. Sapu lidi;
13. Pecah kendi di halaman rumah;
14. Dan lain-lain.
Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu, maka
wajarlah kiranya ada kelompok yang besikeras, seratus persen menolaknya.
Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi dengan
sikap selektif dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan acara selamatan
tingkepan asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang berseberangan dengan
syari’at (hal yang haram) dan tidak pula merusak akidah (berbau syirik).
1. Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang dimakan di tempat atau
yang berupa berkatan jangan diniati yang bukan-bukan, akan tetapi berniatlah
menjamu para tamu dan bersedekah dengan harapan semoga
denganwasilah shadaqah ini, Allah SWT. memberikan keselamatan kepada
segenap anggota keluarga, khususnya janin yang berada dalam kandungan serta
sang suami dan isteri yang sedang mengandung (selameto ingkang dipun kandut,
selameto ingkang ngandut lan selameto ingkang ngandutaken).
Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya shadaqah
dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang ikhlas dan bahan-
bahannya halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat menganjurkannya dan
beliau jelaskan pula dalilahnya, sebagaimana sabda beliau :
ان أَ ْو
ِ َس َوا ٌء كَانَ ِل ْلعُ ْر ِس أ َ ْو ِل ْل ِخت
َ ،س ُر ْو ٍر ِ ص ْن ُع ال َّطعَ ِام َوال َّدع َْوةُ ِإلَ ْي ِه ِع ْن َد ك ُِل حَا ِد
ُ ث ُ ُّسنَ ُ ي:الشَّافِ ِعيَّةُ َقالُ ْوا
اهـ.غي ِْر ذَ ِلكَ ِم َّما ذُ ِك َرَ سفَ ِر إِ َلى
َّ ِل ْلقُد ُْو ِم ِمنَ ال
Artinya :
“Ulama Syafi’iyyah (pengikut madzhab Syafi’i) berpendapat : disunatkan membuat
makanan dan mengundang orang lain untuk makan-makan, sehubungan dengan
datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara temantenan, khitanan,
datang dari bepergian dan lain sebagainya”.
Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli sudah barang
tentu harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan mempunyai sikap arif dan
bijak dalam memilih dan memilah di antara beberapa hidangan dan sajian tersebut,
mana yang bisa diselaraskan dengan syari’at dan mana yang tidak, mana yang
masih dalam koridor akidah islamiyah dan mana yang tidak.
Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi
ini.
Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata :
“Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin
Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu ‘anha
melahirkannya”.
Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari
Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.
Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-
Haitsami meriwayatkannya dalam Majma’ Zawaid (4/60) dari jalan
Hammad bin Syua’ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari
Abi Rafi dengan tambahan : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-
Husain”.
Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main.
Berkata Al-Bukhari tentangnya : “Mungkarul hadits”. Dan pada tempat lain
Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya”.
Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah,
dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan
matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi
Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain
dan ia menambahkan lafadz : “Al-Husain” dan perintah adzan. Hammad ini
termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam
meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana
tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan
lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini
mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia
menyelisihi rawi yang tsiqah.
Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada
Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : “Ia Dla’if”,
dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu’bah
berkata : “Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun
masjid Bashrah niscaya ia berkata : ‘Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya”.
Maka dengan demikian hadits ini dha’if karena perputarannya pada Ashim
dan anda telah mengetahui keadaannya.
Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi’ dalam kitabnya Tuhfatul
Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid
bagi hadits Abu Rafi’. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-
Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul “Sunnahnya
adzan pada telinga bayi”. Namun kita lihat keadaan dua hadits yang
menjadi syahid tersebut.
Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta’dil 91/2/26) tarjumah no. 109
:’Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami
tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)”.
Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari
Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia
berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni
dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami
membawakannya dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim
Al-Ghifari, ia matruk”.
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dengan nomor (6780).
Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada
Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan
hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah
(321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor
(6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar.
Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini
sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) :
“Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla’if.
Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan
Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata :
“Hadits hasan”. Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini
Hasan Isya Allah”.
Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin
Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga
tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta.
Aqiqah itu sunah muakkadah (amalan sunah yang sangat ditekankan-red) bagi
orang yang mampu untuk melakukannya, yaitu penyembelihan dua ekor kambing
jika bayinya laki dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Paling bagus,
hewan-hewan itu disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi yang
diaqiqahi. Misalnya, lahir pada hari Selasa, maka diaqiqahi pada pada senin
berikutnya; Jika hari Jum’at, maka hari Kamis diaqiqahi dan begitu seterusnya.
Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka pada hari ke-14; Jika
pada hari ke-14 juga belum bisa, maka dilaksanakan pada hari ke-21; Jika pada
hari itu juga belum bisa, maka kapan saja bisa dilaksanakan. Itulah pendapat para
Ulama ahli fikih.
Jika orang tua tidak memliki kemampuan untuk melakukannya pada hari itu,
maka keharusan melaksanakan aqiqah itu menjadi gugur. Karena aqiqah
disyari’atkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan. Adapun orang-orang
yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia tidak dibebani
untuk melakukannya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
Dan firman-Nya:
سعها
ْ َو ً ََّللاَُن ْف
ُ ساَ ِّإ ََّل َّ ف ُ َلَيُك ِّل
Jadi orang tua yang sudah meninggal itu dan memiliki beberapa anak yang belum
sempat diaqiqahi, maka kita lihat keadaannya:
Jika semua ahli warisnya mursyidûn (berakal sehat dan memiliki kemampuan
untuk mengelola hartanya dengan baik-red) lalu mereka ingin dan sepakat untuk
menunaikan aqiqah itu dengan menggunakan harta warisan orang tua mereka,
maka itu tidak apa-apa.
Jika itu tidak terjadi lalu masing-masing dari anak-anak itu berkeinginan untuk
mengaqiqahi diri mereka sendiri sebagai wakil dari orang tua mereka atau sebagai
qadha’ dari kewajiban orang tua mereka, maka itu juga tidak apa-apa.