You are on page 1of 13

BAB II

ISI

2.1 TINGKEBAN

Di kalangan masyarakt jawa khususnya yang ada di pedesaan masih


dilestarikan suatu tradisi apabila si perempuan hamil maka keluarganya
mengadakan selamatan/walimahan, mereka menyebutnya “tingkepan”, sementara
para santri menyebutnya “walimatul hamli”.
Kata tingkepan/tingkep berasal dari bahasa daerah/jawa : sing dienti-enti wis
mathuk jangkep(yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna). Waktu
pelaksanaan selamatan tingkepan ini antara daerah satu dengan daerah lain tidak
sama. Di sebagian daerah dilaksanakan pada saat usia janin ± empat bulan,
sedangkan di daerah lain dilaksanakan pada saat usia janin tujuh bulan. Dalam
upacara tingkepan yang mereka anggap sakral itu dihidangkan beberapa jenis menu
makanan khas, di samping itu disajikan juga secama sesajen yang beraneka ragam.

Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu amalan
sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama salaf atau tidak?
Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya pro dan kontra antara
kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim yang lain. Sebagian dari
kelompok muslim di Indonesia ada yang apriori, tidak mau malakukan bahkan ada
yang bersikap ekstrim menolak dan berusaha untuk memberantasnya. Mereka
berargumentasi bahwa tradisi tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu
peninggalan Budha klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh
umat muslim. Mereka mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi saw. :

.ُ‫ام ِر ٍئ ليهريق َد َمه‬ ٍ ‫سنَّةَ ا ْلجَا ِه ِليَّ ِة َو ُم َّط ِل‬


ْ ‫ب َد َم‬ ْ ‫ َو ُم ْبت َ ٍغ فِ ْي اْ ِإل‬،‫اس ِإلَى للاِ ثَالَثَةٌ ُم ْل ِح ٌد فِ ْي ا ْلح ََر ِام‬
ُ ‫سالَ ِم‬ ُ َ‫أ َ ْبغ‬
ِ َّ‫ض الن‬
5 ‫ اهـ الجامع الصغير ص‬.‫رواه البخاري عن ابن عباس‬
Artinya :
“Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :
1. Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;
2. Orang yang sudah memeluk Islam, akan tetapi masih mengamalkan tradisi kaum
jahiliyah;
3. Orang yang menuntut darah orang lain agar orang lain itu dialirkan darahnya
(yakni menuntut hukum bunuh tanpa alasan yang benar)”.

Adapun kelompok sunni (umumnya warga nahdliyin) menyikapi budaya


tingkepan ini dengan fleksibel/lentur, mau menerima tidak apriori mau melakukan
bahkan melestarikannya, namun tidak serta-merta menerimanya secara total, akan
tetapi bertindak selektif, yang dilihat bukan tradisi atau budayanya tetapi nilai-nilai
yang dikandungnya.

Sebagaimana di sebut di awal bahwa dalam upacara tingkepan -biasanya


dilakukan oleh orang awam- itu ada hidangan khusus dan ada lagi sajian lain. Jika
hal itu tidak dipenuhi -menurut kepercayaan mereka- akan timbul dampak negatif
bagi ibu yang sedang hamil atau janin yang dikandungnya. Hidangan atau sajian
dimaksud antara lain :

1. Nasi tumpeng;
2. Panggang ayam;
3. Buceng/nasi bucu tujuh buah;
4. Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;
5. Takir pontang yang berisi nasi kuning;
6. Nasi liwet yang masih dalam periok;
7. Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;
8. Pasung yang dibungkus daun nangka;
9. Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).
10. Sehelai daun talas yang diberi air putih;
11. Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);
12. Sapu lidi;
13. Pecah kendi di halaman rumah;
14. Dan lain-lain.

Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu, maka
wajarlah kiranya ada kelompok yang besikeras, seratus persen menolaknya.

Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi dengan
sikap selektif dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan acara selamatan
tingkepan asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang berseberangan dengan
syari’at (hal yang haram) dan tidak pula merusak akidah (berbau syirik).

Shahibul walimah seharusnya mengerti bahwa :

1. Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang dimakan di tempat atau
yang berupa berkatan jangan diniati yang bukan-bukan, akan tetapi berniatlah
menjamu para tamu dan bersedekah dengan harapan semoga
denganwasilah shadaqah ini, Allah SWT. memberikan keselamatan kepada
segenap anggota keluarga, khususnya janin yang berada dalam kandungan serta
sang suami dan isteri yang sedang mengandung (selameto ingkang dipun kandut,
selameto ingkang ngandut lan selameto ingkang ngandutaken).

Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya shadaqah
dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang ikhlas dan bahan-
bahannya halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat menganjurkannya dan
beliau jelaskan pula dalilahnya, sebagaimana sabda beliau :

a. Hadits riwayat Imam Rafi’i :

)264 :‫ رواه الرافعي عن ثابت (الجامع الصغير ص‬.‫الضيَافَ ِة‬


ِ ُ‫ َو َزكَاةُ الد َِّار بَيْت‬،ٌ‫ِلك ُِل ش َْيءٍ َزكَاة‬
Artinya :
“Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat tinggal
adalah menjamu para tamu”. (HR. Imam Rafi’i).

b. Hadits riwayat Imam Thabarani :


ُّ ‫س ْب ِع ْينَ َبابًا ِمنَ ال‬
‫ رواه الطبراني‬.‫س ْو ِء‬ ُ َ‫ص َدقَةُ ت‬
َ ‫س ُّد‬ َّ ‫ال‬
Artinya :
“Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan”. (HR. Imam
Thabarani).

c. Hadits riwayat imam Khatib :


َ ‫ص َدقَةُ ت َ ْمنَ ُع‬
‫ رواه الخطيب‬.‫س ْب ِع ْينَ نَ ْوعًا ِمنَ ا ْل َبالَ ِء‬ َّ ‫ال‬
Artinya :
“Bersedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam mala petaka/bala’”. (HR. Imam
Khatib)

2. Walimatul hamli/selamatan tingkepan adalah salah satu wujud tahadduts bin


ni’mah yakni memperlihatkan rasa syukur atas kenikmatan/ kegembiraan yang
dianugerahkan oleh Allah SWT. berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang
selama ini menjadi dambaan pasangan suami dan isteri.

Ulama’ salaf memfatwakan : setiap ada suatu kenikmatan/kegembiraan disunatkan


mengadakan selamatan/bancaan mengundang sanak tetangga dan teman-teman
sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya “al-
fiqhu alal madzahibil arba’ah” juz II hal. 33 :

‫ان أَ ْو‬
ِ َ‫س َوا ٌء كَانَ ِل ْلعُ ْر ِس أ َ ْو ِل ْل ِخت‬
َ ،‫س ُر ْو ٍر‬ ِ ‫ص ْن ُع ال َّطعَ ِام َوال َّدع َْوةُ ِإلَ ْي ِه ِع ْن َد ك ُِل حَا ِد‬
ُ ‫ث‬ ُ ُّ‫سن‬َ ُ‫ ي‬:‫الشَّافِ ِعيَّةُ َقالُ ْوا‬
‫ اهـ‬.‫غي ِْر ذَ ِلكَ ِم َّما ذُ ِك َر‬َ ‫سفَ ِر إِ َلى‬
َّ ‫ِل ْلقُد ُْو ِم ِمنَ ال‬
Artinya :
“Ulama Syafi’iyyah (pengikut madzhab Syafi’i) berpendapat : disunatkan membuat
makanan dan mengundang orang lain untuk makan-makan, sehubungan dengan
datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara temantenan, khitanan,
datang dari bepergian dan lain sebagainya”.

Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli sudah barang
tentu harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan mempunyai sikap arif dan
bijak dalam memilih dan memilah di antara beberapa hidangan dan sajian tersebut,
mana yang bisa diselaraskan dengan syari’at dan mana yang tidak, mana yang
masih dalam koridor akidah islamiyah dan mana yang tidak.

2.2 Dalil adzan dan iqomah pada bayi

Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi
ini.

Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata :
“Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin
Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu ‘anha
melahirkannya”.

‫اط َمةُ بِال ه‬


‫ص ََل ِة‬ َ ‫سله َم أَذهنَ فِي أُذُ ِن ْال َح‬
ِ َ‫س ِن ب ِْن َع ِلي ٍّ ِحينَ َو َلدَتْهُ ف‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
‫سو َل ه‬
َ ِ‫َّللا‬
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi
dalam Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu’ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam
Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du’a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-
392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-
Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : “Shahih
isnadnya dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya”. Ad-
Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata : “Aku katakan :
Ashim Dla’if”. Berkata At-Tirmidzi : “Hadits ini hasan shahih”.

Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari
Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.

Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-
Haitsami meriwayatkannya dalam Majma’ Zawaid (4/60) dari jalan
Hammad bin Syua’ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari
Abi Rafi dengan tambahan : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-
Husain”.

Rawi berkata pada akhirnya : “Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat


demikian”.

Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main.
Berkata Al-Bukhari tentangnya : “Mungkarul hadits”. Dan pada tempat lain
Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya”.

Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : “Dalam sanadnya ada


Hammad bin Syua’ib dan ia lemah sekali”.

Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah,
dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan
matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi
Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain
dan ia menambahkan lafadz : “Al-Husain” dan perintah adzan. Hammad ini
termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam
meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana
tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan
lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini
mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia
menyelisihi rawi yang tsiqah.

Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada
Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : “Ia Dla’if”,
dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu’bah
berkata : “Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun
masjid Bashrah niscaya ia berkata : ‘Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya”.

Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : “Telah berkata Abu Zur’ah


dan Abu Hatim : ‘Mungkarul Hadits’. Bekata Ad-Daruquthni : ‘Ia
ditinggalkan dan diabaikan’. Kemudian Daruquthni membawakan untuknya
hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan pada
telinga Al-Hasan dan Al-Husain” (selesai nukilan dari Al-Mizan).

Maka dengan demikian hadits ini dha’if karena perputarannya pada Ashim
dan anda telah mengetahui keadaannya.

Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi’ dalam kitabnya Tuhfatul
Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid
bagi hadits Abu Rafi’. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-
Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul “Sunnahnya
adzan pada telinga bayi”. Namun kita lihat keadaan dua hadits yang
menjadi syahid tersebut.

Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman


(6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-
Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib
dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma’bad dari Ibnu Abbas.

‫ام فِ ْي أُذُنِ ِه ْاليُس َْرى‬


َ ‫ فَأَذهنَ فِ ْي أُذُنِ ِه ْالي ُْمنَى َوأ َ َق‬،َ‫س ِن ب ِْن َع ِلي ٍّ يَ ْو َم ُو ِلد‬
َ ‫أَذهنَ فِ ْي أُذُ ِن ْال َح‬

“Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan pada


telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga
kanannya dan iqamah pada telinga kiri”.

Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.

Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu’ (palsu) dan cacat (ilat)nya


adalah Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-
Taqrib : “Matruk”.

Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta’dil 91/2/26) tarjumah no. 109
:’Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami
tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)”.

Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : “Ibnul Madini mendustakannya dan


berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.

Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits


bahwa hadits yang dla’if tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan
kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dengan syarat tidak ada
pada jalan yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi hadits
yang lemah, -pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta
atau matruk. Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang
sangat lemah atau pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau
dikuatkan itu tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai
untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa
hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka
hadits Abu Rafi tetap Dla’if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.

Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari
Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia
berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ان‬ ِ ‫ض هرهُ أ ُ ُّم‬


ِ ‫الص ْب َي‬ ُ َ‫ص ََلة َ ِفي أُذُ ِن ِه ْاليُس َْرى َل ْم ت‬ َ َ‫َم ْن ُو ِلدَ لَهُ َم ْولُودٌ فَأَذهنَ ِفي أُذُ ِن ِه ْاليُ ْمنَى َوأَق‬
‫ام ال ه‬

“Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan


dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka
mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.

Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni
dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami
membawakannya dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim
Al-Ghifari, ia matruk”.

Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dengan nomor (6780).

Berkata Muhaqqiqnya : “Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh


memalsukan hadits”. Kemudian ia berkata : ‘Sebagaimana hadits Ibnu
Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan
dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-
Syu’ab dan dengannya menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan
alasan ini At-Tirmidzi berkata : ‘Hadits hasan shahih’, yakni shahih
lighairihi. Wallahu a’lam (12/151-152).

Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena


hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas
menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat
penjelasannya, Wallahu a’lam.

Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada
Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan
hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah
(321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor
(6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar.
Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini
sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) :
“Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla’if.

Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan
Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata :
“Hadits hasan”. Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini
Hasan Isya Allah”.

Dalam Adl-Dla’ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan


melemahkan hadits Abu Rafi’ ini : “At-Tirmidzi telah meriwayatkan
dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia berkata :”Aku melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan dengan adzan shalat pada
telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya Fathimah”.

Berkata At-Timidzi : “Hadits shahih (dan diamalkan)”.


Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : “Mungkin penguatan hadits Abu Rafi
dengan adanya hadits Ibnu Abbas”. (Kemudian beliau menyebutkannya)
Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman.

Aku (yakni Al-Albani) katakan : “Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas


ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain
yakni hadits yang ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits ini pantas
sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu ‘alam. Maka jika
demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi)
karena masalah ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi’, adapaun
iqamah maka hal ini gharib, wallahu a’alam.

Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : ‘Aku


katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu
Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti syahid
terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang akan datang
setelahnya dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla’ifah no (321) dan aku
berharap di sana ia dapat menjadi syahid untuk hadits ini, wallahu a’alam.

Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-


Ma’arif) (1/494) no. 321 menyatakan : “Aku katakan sekarang bahwa hadits
Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid karena pada sanadnya ada rawi
yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan Al-Baihaqi kemudian
Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga
hampir-hampir aku memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai
syahid. Aku memandang termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal
tersebut dan takhrijnya akan disebutkan kemudian (61121)” (selesai ucapan
Syaikh).
Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar
untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah
memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan memberi
ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk memperingatkan para
penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan sunnah yang shahihah
yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap tempat
bahwa yang pegangan bagi hadits Abu Rafi’ yang lemah adalah
sebagaimana pada akhirnya penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah
berhenti padanya. Dan inilah yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini
tidaklah shahih seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih
Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu
a’lam.

Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin
Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga
tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta.

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi


Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, hal 31-
36 Pustaka Al-Haura]

2.3 Tradisi aqiqah

Aqiqah itu sunah muakkadah (amalan sunah yang sangat ditekankan-red) bagi
orang yang mampu untuk melakukannya, yaitu penyembelihan dua ekor kambing
jika bayinya laki dan satu ekor kambing jika bayinya perempuan. Paling bagus,
hewan-hewan itu disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi yang
diaqiqahi. Misalnya, lahir pada hari Selasa, maka diaqiqahi pada pada senin
berikutnya; Jika hari Jum’at, maka hari Kamis diaqiqahi dan begitu seterusnya.
Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka pada hari ke-14; Jika
pada hari ke-14 juga belum bisa, maka dilaksanakan pada hari ke-21; Jika pada
hari itu juga belum bisa, maka kapan saja bisa dilaksanakan. Itulah pendapat para
Ulama ahli fikih.

Jika orang tua tidak memliki kemampuan untuk melakukannya pada hari itu,
maka keharusan melaksanakan aqiqah itu menjadi gugur. Karena aqiqah
disyari’atkan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan. Adapun orang-orang
yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka dia tidak dibebani
untuk melakukannya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

َ‫ستط ْعت ُ ْم‬


ْ ‫واََّللاَماَا‬
َّ ُ‫فَاتَّق‬

Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu [At-


Taghâbun/64:16]

Dan firman-Nya:

‫سعها‬
ْ ‫َو‬ ً ‫ََّللاَُن ْف‬
ُ ‫ساَ ِّإ ََّل‬ َّ ‫ف‬ ُ ‫َلَيُك ِّل‬

Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. [Al-Baqarah/2:286]

Jadi orang tua yang sudah meninggal itu dan memiliki beberapa anak yang belum
sempat diaqiqahi, maka kita lihat keadaannya:

1. Jika dia termasuk orang-orang yang memeliki kesulitan dalam masalah


ekonomi sehingga dia tidak bisa mengaqiqahi anak-anaknya, maka
anak-anak itu tidak memiliki kewajiban untuk mengqadha’ pelaksanaan
aqiqah itu, karena orang tua mereka ketika itu tidak terkena beban
syari’at ini.
2. Jika dia (semasa hidupnya-red) termasuk orang-orang yang kaya, akan
tetapi dia tidak mengaqiqahi anak-anaknya karena meremehkan syari’at
ini, maka ini tergantung keadaan dan kesepakatan ahli warisnya.
Maksudnya, jika diantara ahli warisnya ada yang memiliki keterbatasan
akal, keterbelakangan mental atau ada yang belum baligh, maka bagian
mereka tidak boleh diambil untuk melaksanakan aqiqah ini.

Jika semua ahli warisnya mursyidûn (berakal sehat dan memiliki kemampuan
untuk mengelola hartanya dengan baik-red) lalu mereka ingin dan sepakat untuk
menunaikan aqiqah itu dengan menggunakan harta warisan orang tua mereka,
maka itu tidak apa-apa.

Jika itu tidak terjadi lalu masing-masing dari anak-anak itu berkeinginan untuk
mengaqiqahi diri mereka sendiri sebagai wakil dari orang tua mereka atau sebagai
qadha’ dari kewajiban orang tua mereka, maka itu juga tidak apa-apa.

Ditempat lain, beliau rahimahullah menyebutkan perbedaan pendapat para Ulama


tentang orang yang mengaqiqahi dirinya. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa
sebagian para Ulama memandang bolehnya seseorang mengaqiqahi dirinya
sendiri, jika dia tahu orang tuanya belum mengaqiqahinya. Namun sebagian
Ulama yang lainnya memandang bahwa aqiqah dibebankan hanya kepada orang
tua. Jika orang tua melaksanakan mengaqiqahi anaknya, maka dia berhak
mendapatkan pahala. Jika tidak, maka dia tidak mendapatkan pahala.

You might also like