You are on page 1of 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian maternal dan perinatal merupakan indikator keberhasilan
pelayanan kesehatan karena angka-angka tersebut dapat digunakan untuk
memonitor dan mengevaluasi program serta kebijakan kependudukan dan
kesehatan. Banyak program serta kebijakan pemerintah yang telah difokuskan
untuk menurunkan tingkat kematian ibu dan anak. Salah satunya tercantum dalam
tujuan 4 dan 5 dari Millennium Development Goals (MDGs).
AKI yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, baik secara
langsung maupun tidak. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia
sendiri masih didominasi oleh perdarahan 28%, hipertensi/ eklampsi 24% dan
infeksi 11%. Sedangkan faktor secara tidak langsung, didominasi oleh kasus 3
TERLAMBAT dan 4 TERLALU (Depkes RI, 2011). Namun, faktor penyebab
kematian ibu secara langsung memliki kontribusi lebih besar bila dibandingkan
dengan yang tidak langsung yaitu sebesar 90% (Kemenkes RI, 2011).
Untuk mengurangi angka kematian tersebut, berbagai upaya telah
dilakukan. Salah satunya adalah asuhan persalinan yang baik dan benar. Persalinan
yang berlangsung merupakan masa kritis dalam kehidupan ibu dan bayi. Sekitar
60% kematian ibu segera setelah bayi lahir dan hampir 40% dari kematian terjadi
pada 24 jam pertama setelah persalinan (Wiknjosastro, 2007).
Persalinan dengan ketuban pecah dini dan pre-eklampsia sejak dulu
menjadi salah satu penyebab penyumbang angka kematian ibu dan bayi karena
dampak yang akan terjadi jika tidak dilakukan penatalaksanaan yang benar.
Sebagian besar kejadian tuban pecah dini berdampak pada resiko infeksi dan
prolapsus tali pusat dan asfiksia pada bayi baru lahir. Sedangkan pada kejadian
preeklampsia, tanda-tandanya sering tidak disadari oleh klien sehingga klien sudah
dalam kondisi yang parah ketika datang ke petugas kesehatan. Sebaiknya
pengenalan deteksi dini pada klien perlu ditingkatkan.

1
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis termotivasi untuk
mengangkat kasus yang berjudul “Asuhan Kebidanan Berkesinambungan pada
Ny. U dengan ketuban pecah dini 14 jam dan preeklampsia berat di RSUD Brebes
tahun 2019.”

B. Tujuan Penyusunan Laporan


1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada Ny. U G3P2A0 38
minggu dengan ketuban pecah dini 14 jam dan preeklampsia berat di RSUD
Brebes tahun 2019 secara komprehensif.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian data Subjektif
b. Melakukan pengkajian data Objektif
c. Melakukan Analisis
d. Melakukan perencanaan asuhan
e. Melakukan pelaksanaan asuhan
f. Melakukan evaluasi
g. Mengidentifikasi Kesenjangan antara teori dengan praktik
h. Melakukan pendokumentasian teori

C. Manfaat Penyusunan Laporan


1. Manfaat Teori
a. Meningkatkan wawasan mengenai kasus KPD dan PEB.
b. Sebagai sarana untuk deteksi dini sehingga dapat membantu menurunkan
AKI dan AKB khususnya bagi mahasiswa dan teman sejawat lainnya.
c. Sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Meningkatkan pelayanan asuhan kebidanan pada pasien dengan KPD
dan PEB, serta dapat menjadi langkah awal bagi penulis dan teman sejawat
lainnya untuk membantu meminimalisir dampak terjadinya ketuban pecah dini
dan preeklampsia berat dengan mampu melakukan penanganan dan intervensi
yang tepat dan cepat.

2
D. Sistematika Penyusunan Laporan
1. Bagian Pendahuluan
Halaman Sampul, Halaman Judul, Halaman Persetujuan, Kata
Pengantar, dan Daftar Isi.
2. Bagian Utama
a. Bab I Pendahuluan.
b. Bab II Tinjauan Pustaka.
c. Bab III Tinjauan Kasus.
d. BAB IV Pembahasan.
e. Bab V Simpulan dan Saran.
3. Bagian Akhir
a. Daftar Pustaka.
b. Lampiran.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketuban Pecah Dini (KPD)


1. Pengertian
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda-
tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian
ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37 minggu
sedangkan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2009).
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan <4 cm (fase
laten). Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan manapun jauh sebelum
waktunya melahirkan. Ketuban pecah dini merupakan komplikasi yang
berhubungan dengan kehamilan kurang bulan. (Nugroho, 2010).
2. Etiologi
Menurut Nugroho (2010), penyebab ketuban pecah dini masih belum
diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan
menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini,
namun faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang
menjadi faktor prediposisinya adalah :
a. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bias menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini.
b. Serviks yang inkompetensia, kanalis serviks yang selalu terbuka oleh
karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan, curetage)
c. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemeli.
d. Trauma yang didapat, misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam,
maupun amniosintesis menyebabkan terjadi ketuban pecah dini karena
biasanya disertai infeksi.

4
e. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi Pintu Atas Panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan
terhadap membrane bagian bawah.
Menurut Nugroho (2010), beberapa faktor resiko dari ketubann pecah dini
adalah :
a. Inkompetensi serviks (leher rahim)
b. Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
c. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
d. Kehamilan kembar
e. Trauma
f. Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23
minggu
g. Infeksi pada kehamilan seperti bacterial vaginosis.
3. Diagnosa
Menegakkan diagnosa ketuban pecah dini secara tepat sangat penting.
Karena diagnosis yang positif berarti melakukan intervensi seperti melahirkan
bayi terlalu awal atau melakukan section caesaria yang sebetulnya tidak ada
indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negative berarti akan membiarkan ibu
dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin,
ibu atau keduaanya. Oleh karena itu diperlukan diagnose yang cepat dan tepat
(Manuaba, 2009).
Diagnosa ketuban pecah dini ditegakkan dengan cara melakukan
pemeriksaan dalam, pemeriksaan dengan speculum, infeksi dan anmnnesa
(Nugroho, 2010). Diagnose potensial pada kasus ketuban pecah dini yaitu
dapat mengakibatkan penegluaran cairan dalam jumlah besar dan terus
menerus (varney, 2009).
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan inspekulo. Dari anamnesis didapatkan penderita merasa keluar
cairan yang banyak secara tiba-tiba. Kemudian lakukan satu kali pemeriksaan
inspekulo dengan spekulum steril untuk melihat adanya cairan yang keluar dari
serviks atau menggenang di forniks posterior. Jika tidak ada, gerakkan sedikit
bagian terbawah janin, atau minta ibu untuk mengedan/batuk.

5
Pastikan bahwa:
a. Cairan tersebut adalah cairan amnion dengan memperhatikan:
b. Bau cairan ketuban yang khas.
c. Tes Nitrazin: lihat apakah kertas lakmus berubah dari merah menjadi biru.
Harap diingat bahwa darah, semen, dan infeksi dapat menyebabkan hasil
positif palsu
d. Gambaran pakis yang terlihat di mikroskop ketika mengamati secret
servikovaginal yang mengering
e. Tidak ada tanda-tanda in partu
4. Pemeriksaan penunjang
Menurut Saifuddin (2006), pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada kasus ketuban pecah dini adalah :
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa warna, konsentrasi,
bau dan pH-nya.
2) Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine
atau secret vagina.
3) Secret vagina ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah
warna, tetap kuning.
4) Tes lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru menunjukan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7-7,5,
darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif.
5) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukan
gambaran daun pakis.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
1) Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri.
2) Kada kasus ketuban pecah dini terlihat jumlah cairan kerubann yang
sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita
oligohidramnion.

6
5. Komplikasi
Menurut nugroho (2010), komplikasi yang dapat terjadi pada kasus
ketuban pecah dini antara lain sebagai berikut :
a. Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum usia
kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan
(RDS=Respiratory Distress Syndrome), yang terjadi pada 10-40% bayi
baru lahir.
b. Resiko infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini
c. Semua ibu hamil dengan ketuban pecah dini premature sebaiknya
dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya chriomnionitis (radang pada
korion dan amnion).
d. Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusat dapat terjadi pada
ketuban pecah dini.
e. Resiko kecatatan dan kematian janin meningkat pada ketuban pecah dini
preterm.
f. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban
pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD
preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.
6. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi.
Kesalahan dalam mengelola ketuban pecah dini akan membawa akibat
meningkatnya angka mordibitas dan mortalitas ibu maupun bayinya.
Penatalaksanaan ketuban pecah dini yang cukup bulan, kalau tidak segera
mengakhiri kehamilan akan menaikkan insiden chrioaminonitis (Manuaba,
2008). Kasus ketuban pecah dini yang kurang bulan apabila menempuh cara-
cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi sindrom distress
pernapasan (RDS) dan apabilla menempuh cara konservatif dengan maksud
untuk member waktu pematangan paru harus memantau keadaan janin dan
infeksi yang akan memperjelek prognosis janin. Penatalaksanaan ketuban
pecah dini tergantung pada umur kehamilan. Apabila umur kehamilan tidak
diketahui secara pasti dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk
mengetahui umur kehamilan dan letak janin (Manuaba, 2009).

7
Resiko yang lebih sering pada kasus ketuban pecah dini dengan janin
kurang bulan adalah sindrom distress pernapasan (RDS) dibandinhgkan
dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi
hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur
kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang,
chrioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan sebab utama
meningginya mordibitas dan mortalitas janin (Nugroho, 2010). Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama
pecahnya selaput ketuban atau lamanya periode laten. Kebanyakan penulis
sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil
sikap atau tindakan terhadap penderita ketuban pecah dini yaitu umur
kehamilan dan ada tidaknya tandda-tanda infeksi pada ibu (Nugroho, 2010)
Adapun penatalaksanaan KPD sebagai berikut:
a. Tatalaksana Umum
1) Berikan eritromisin 4x250 mg selama 10 hari
2) Rujuk ke fasilitas yang memadai
b. Tatalaksana khusus
Di RS rujukan, lakukan tatalaksana sesuai dengan usia kehamilan:
1) >34 minggu
a) Lakukan induksi persalinan dengan oksitosi bila tidak ada kontra
indikasi
2) 24-33 minggu
a) Bila terdapat Bila terdapat amnionitis, abrupsio plasenta, dan
kematian janin, lakukan persalinan segera.
b) Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau
betametason 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
c) Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
d) Bayi dilahirkan di usia kehamilan 34 minggu, atau di usia
kehamilan 32-33 minggu, bila dapat dilakukan pemeriksaan
kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa paru sudah matang
(komunikasikan dan sesuaikan dengan fasilitas perawatan bayi
preterm).

8
3) <24 minggu:
a) Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin.
b) Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan mungkin
menjadi pilihan.
c) Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan tatalaksana
d) Korioamnionitis.

B. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN, PRE EKLAMPSIA DAN


EKLAMPSIA
Menurut Kemenkes RI, 2013. Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-
kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali
pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada wanita yang sebelumnya normotensi.
Bila ditemukan tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg) pada ibu hamil,
lakukan pemeriksaan kadar protein urin dengan tes celup urin atau protein urin
24 jam dan tentukan diagnosis.
1. HIPERTENSI KRONIK
a. Definisi
Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan
menetap setelah persalinan
b. Diagnosis
a) Tekanan darah >140/90 mmHg
b) Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya
hipertensi pada usia kehamilan <20 minggu
c) Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
d) Dapat disertai keterlibatan organ lain, seperti mata, jantung, dan
ginjal
c. Tatalaksana Umum
a) Anjurkan istirahat lebih banyak.
b) Pada hipertensi kronik, penurunan tekanan darah ibu akan
mengganggu perfusi serta tidak ada bukti-bukti bahwa tekanan darah
yang normal akan memperbaiki keadaan janin dan ibu.

9
c) Jika pasien sebelum hamil sudah mendapat obat antihipertensi, dan
terkontrol dengan baik, lanjutkan pengobatan tersebut
d) Jika tekanan diastolik >110 mmHg atau tekanan sistolik >160
mmHg, berikan antihipertensi
e) Jika terdapat proteinuria atau tanda-tanda dan gejala lain, pikirkan
superimposed preeklampsia dan tangani seperti preeclampsia

Bila sebelumnya ibu sudah mengkonsumsi antihipertensi, berikan penjelasan


bahwa antihipertensi golongan ACE inhibitor (misalnya kaptopril), ARB (misalnya
valsartan), dan klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil. Untuk itu, ibu harus
berdiskusi dengan dokternya mengenai jenis antihipertensi yang cocok selama
kehamilan.

f) Berikan suplementasi kalsium1,5-2 g/hari dan aspirin 75 mg/hari


mulai dari usia kehamilan 20 minggu
g) Pantau pertumbuhan dan kondisi janin.
h) Jika tidak ada komplikasi, tunggu sampai aterm.
i) Jika denyut jantung janin <100 kali/menit atau >180 kali/menit,
tangani seperti gawat janin.
j) Jika terdapat pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan
terminasi kehamilan.

2. HIPERTENSI GESTASIONAL
a. Definisi
Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
dan menghilang setelah persalinan
b. Diagnosis
a) Tekanan darah >140/90 mmHg
b) Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal
di usia kehamilan <12 minggu
c) Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
d) Dapat disertai tanda dan gejala preeklampsia, seperti nyeri ulu hati
da trombositopenia
e) Diagnosis pasti ditegakkan pascapersalinan

10
c. Tatalaksana Umum
a) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), dan kondisi janin
setiap minggu.
b) Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia
ringan.
c) Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin
terhambat, rawat untuk penilaian kesehatan janin.
d) Beri tahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala
preeklampsia dan eklampsia.
e) Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal.
a. PREEKLAMPSIA RINGAN
a) Tekanan darah >140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
b) Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam
3. PREEKLAMPSIA BERAT
a. Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria 2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
d. Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
e. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
f. Sakit kepala , skotoma penglihatan
g. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
h. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
i. Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl
j. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
k. Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia
kehamilan 20 minggu)
l. Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu

11
1) Patofisiologi Preeklampsia
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai
dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme
hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola
sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel
darah merah. Jadi jika semua arteriola dalm tubuh mengalami
spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk
mengatasi tekanan perifer agar oksigenisasi jaringan dapat dicukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan oedema yang disebabkan oleh
penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum
diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Protein
urin dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi
perubahan pada glomerulus. Mochtar, 1998 (Rini, 2009).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah terbentuknya
angiotensin atau renin yang bisa mengubah angiotensi I dan II atau
angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis yang penting dalam mengatur tekanan darah, mengandung
angiotensnogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon
renin akan diubah angiotensin I yang terdapat ginjal. Kemudian
diubah lagi menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat di paru-
paru, angiotensin II inilah yang memiliki peranan dalam menaikkan
tekanan darah. Abidin, 2009 dalam (Kustiyaningrum, 2012). Selain
itu, adanya volume cairan ekstraseluler akan diencerkan dengan
menarik cairan meningkatkan terjadinya diuresis. Akibatnya,
volume meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan
darah. Suheimi, 2009 dalam (Kustiyaningrum, 2012).
a) Regulasi volume darah
Pengendalian garam dan homeostasis meningkat pada
preeklampsia. Kemampuan untuk mengeluarkan natrium juga
terganggu, tetapi pada derajat mana hal ini terjadi sangat
bervariasi dan pada keadaan berat mungkin tidak dijumpai
adanya edema. Bahkan jika dijumpai edema interstitial, volume

12
plasma adalah lebih rendah dibandingkan pada wanita hamil
normal dan akan terjadi hemokonsentrasi. Terlebih lagi suatu
penurunan atau suatu peningkatan ringan volume plasma dapat
menjadi tanda awal hipertensi.
b) Volume darah, hematokrit, dan viskositas darah
Rata-rata volume plasma menurun 500 ml pada
preeklampsia dibandingkan hamil normal, penurunan ini lebih
erat hubungannya dengan wanita yang melahirkan bayi dengan
berat bayi lahir rendah (BBLR).
4. Eklampsia
a. Gejala
1) Kejang umum dan/atau koma
2) Ada tanda dan gejala preeklampsia
3) Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi,
perdarahan subarakhnoid, dan meningitis)
b. Tatalaksana Umum
Pencegahan dan tatalaksana kejang
1) Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen),
dan sirkulasi (cairan intravena).
2) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai
pencegahan kejang).
3) Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya,
berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas
kesehatan yang memadai.
4) Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu
ke ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas
ventilator tekanan positif.

13
SYARAT PEMBERIAN MgSO4
1. Tersedia CaGlukonas 10%
2. Refleks patella +
3. Jumlah urine minimal 30cc per 3 jam
4. Pernafasan >16x/ menit
CARA PEMBERIAN MGSO4
1) Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah
kejang atau kejang berulang.
2) Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam
6 jam sesuai prosedur.

CARA PEMBERIAN DOSIS AWAL

• Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan


larutkan dengan 10 ml akuades
• Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
• Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml larutan
MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan

CARA PEMBERIAN DOSIS RUMATAN

• Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan kecepatan 28
tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau
kejang berakhir (bila eklampsia)

3) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah,


frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah
urin.
4) Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan
refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5
ml/kg BB/jam), segera hentikan pemberian MgSO4.
5) Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan
10%) bolus dalam 10 menit.
6) Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan
nilai adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia,
lakukan penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan
kembali MgSO4 2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah

14
pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2 menit.

ANTIHIPERTENSI
1. Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat terapi
antihipertensi.
2. Pilihan antihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman dokter
dan ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi yang dapat
digunakan misalnya:

Nama obat Dosis Keterangan


Nifedipin 4 x 10-30 mg per oral (short Dapat menyebabkan
acting) 1 x 20-30 mg per oral hipoperfusi pada ibu dan
(long acting/ Adalat janin bila diberikan
OROS®) sublingual
Nikardipin 5 mg/jam, dapat dititrasi 2,5
mg/jam tiap 5 menit hingga
maksimum
10 mg/jam
Metildopa 2 x 250-500 mg per oral
(dosis maksimum 2000
mg/hari)

3. Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal dianjurkan


untuk melanjutkan terapi antihipertensi hingga persalinan
4. Terapi antihipertensi dianjurkan untuk hipertensi pascasalin berat.
a. Pemeriksaan penunjang tambahan
1) Hitung darah perifer lengkap (DPL)
2) Golongan darah ABO, Rh, dan uji pencocokan silang
3) Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
4) Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum)
5) Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
6) USG (terutama jika ada indikasi gawat janin/pertumbuhan
janin terhambat)

15
b. Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan
1) Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan
dalam 12 jam sejak terjadinya kejang
2) Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia
berat dengan janin yang belum viable atau tidak akan viable
dalam 1-2 minggu.
3) Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah
viable namun usia kehamilan belum mencapai 34 minggu,
manajemen ekspektan dianjurkan, asalkan tidak terdapat
kontraindikasi (lihat algoritma di halaman berikut). Lakukan
pengawasan ketat.
4) Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan
antara 34 dan 37 minggu, manajemen ekspektan boleh
dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi yang tidak
terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin. Lakukan
pengawasan ketat.
5) Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya
sudah aterm, persalinan dini dianjurkan.
6) Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi
gestasional ringan yang sudah aterm, induksi persalinan
dianjurkan.

16
ALGORITMA MANAJEMEN EKSPEKTATIF

Observasi dan manajemen inisial di kamar bersalin

- Evaluasi ibu: gejala, temuan klinis, pemeriksaan laboratorium


- Monitor denyut jantung janin dan kontraksi
- USG: pertumbuhan janin dan jumlah cairan ketuban
- Pertimbangkan pemberian MgSO4 dan antihipertensi
Kontraindikasi manajemen ekspektatif

- Gejala preeklampsia berat persisten


- Eklampsia
- Edema paru
- Hipertensi berat persisten
- Sindrom HELLP
- Disfungsi renal yang nyata
- Solusio plasenta
- Koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular
coagulation/DIC)
- Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, gawat janin
Terminasi kehami
Pertimbangkan kortikosteroid ada

tidak ada

- Beri kortikosteroid
- Kumpulkan dan periksa
urin 24 jam
- Nilai gejala maternal,
tekanan darah, produksi
urin
- Evaluasi laboratorium
per hari untuk fungsi
ginjal dan sindrom
HELLP
- Observasi dapat dilakukan
di ruang rawat setelah
evaluasi awal

C. KEHAMILAN USIA >35 TAHUN


a. Faktor yang mempengaruhin kehamilan >35 tahun
1) Kesuburan
Jumlah sel telur yang diproduksi ovarium atau indung telur akan
menurun seiring bertambahnya usia. Usia paling produktif bagi wanita
ada pada rentang usia 20-29 tahun. Yang paling menentukan kesuburan

17
seorang wanita sebenarnya adalah usia biologis, bukan usia lahiriah
(kalender). Usia biologis adalah kondisi kebugaran dan kesehatan
tubuh, termasuk asupan gizi dan keaktifan melakukan olahraga tubuh.
2) Kondisi rahim
Bertambahnya usia juga mempengaruhi kemampuan rahim
untuk menerima bakal janin (embrio). Penurunan kemampuan rahim ini
terutama terjadi pada wanita diatas usia 35 tahun. Faktor penuaan juga
bisa membuat embrio yang dihasilkan akan sulit melekat pada lapisan
lendir rahim. Kondisi ini bisa menyebabkan keguguran, atau
memunculkan kecenderungan terjadinya plasenta tidak menempel
ditempat semestinya. Disamping itu juga akan menyebabkan resiko
hamil di luar kandungan (ektopik).
b. Penyulit Kehamilan
1) Pre eklampsia dan Eklampsia
Sehubungan dengan makin tingginya usia ibu, intra uterine
semakin mengalami degenerasi. Salah satu factor resiko yang
berpengaruh dalam kejadian preeklampsia adalah usia maternal.
Mekanisme terjadinya hal ini belum banyak dibicarakan, namun
dipercaya berhubungan dengan proses penuaan pada pembuluh darah
pada uterus.
Seiring dengan tingginya angka kejadian Ibu hamil diusia tua,
maka angka terjadinya komplikasi akan meningkat. Komplikasi–
komplikasi yang umumnya menyertai ibu hamil dengan preeklampsia
antyara lain prematuritas, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), bayi lahir
asfiksia (yang kemudian akan meningkatkan kebutuhan perawatan di
NICU), serta meningkatnya angka kematian neonatal. Sementara
komplikasi pada Ibu antara lain peningkatan kebutuhan persalinan
dengan induksi, sectio caesaria, serta peningkatan kebutuhan transfuse
darah.
2) Diabetes Gestasional
Kehamilan merupakan suatu keadaan intoleransi glukosa,
meskipun begitu hanya 3-5% wanita hamil yang kemudian menderita

18
diabetes gestasional. Seiring bertambahnya usia kehamilan, jaringan
yang mengalami resistensi terhadap insulin semakin meningkat,
sehingga menciptakan peningkatan kebutuhan insulin. Pada kehamilan
normal, resistensi insulin dan pemenuhan kebutuhannya berada dalam
keadaan seimbang. Namun, apabila resistensi menjadi dominan, ibu
akan mengalami kondisi hiperglikemi. Hal ini biasanya terjadi pada
paruh terakhir kehamilan, ditandai dengan meningkatnya resistensi
insulin secara progresif sampai proses persalinan. Resiko ini semakin
tinggi pada usia >35 tahun.
Prevalensi diabetes gestasional 3x lebih tinggi pada Ibu hamil
berusia ≥35 tahun disbanding Ibu hamil berusia 25 – 29 tahun dan 9x
lebih tinggi dibanding Ibu hamil usia 20 – 24 tahun.
Toleransi terhadap glukosa merupakan akibat dari sensitifitas dan
sekresi insulin. Sementara itu, fungsi sel B pancreas maupun sensitifitas
insulin menurun seiring bertambahnya usia. Selain itu, adanya diabetes
pregestasional turut berpengaruh. Ibu dengan predisposisi tipe 2
cenderung memiliki respon sel B yang inadekuat terhadap stimulus dan
menjadi lebih insulin-resisten daripada ibu berusia lebih muda,
karenanya, jika dikombinasikan kedua alasan ini, kejadian diabetes
gestasional pada ibu usia tua lebih sering terjadi.
3) Plasenta Previa
Plasenta Previa digunakan untuk menggambarkan plasenta yang
berimplantasi di atas atau sangat berdekatan dengan ostium uteri
internum.
Usia ibu yang semakin lanjut meningkatkan resiko plasenta
previa. Insidensi plasenta previa meningkatkan resiko terjadinya
prematuritas serta kejadian mortalitas dan morbiditas janin. Pada Ibu,
Plasenta Previa meningkatkan resiko dilakukannya transfusi darah,
thrombhoplebitis, serta stress pada ibu akibat perdarahan berulang
selama rawat inap di rumah sakit.
4) Ketuban Pecah Dini

19
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Bila KPD terjadi sebelum usia kehamilan
37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur.
Pecahnya ketuban pada kehamilan premature pada banyak kasus
tidak diketahui sebabnya, namun infeksi intrauterine asimptomatik
merupakan prekusor tersering terjadinya KPD. Usia tua merupakan
factor resiko terjadinya bakteriuria asimptomatik pada kehamilan. Hal
ini didasarkan bahwa pada ibu usia tua umumnya telah terjadi beberapa
kehamilan sebelumnya (multiparitas), dan multiparitas adalah salah
satu faktor resiko dari bakteriuria asimptomatik.
Patofisiologis terjadinya KPD dapat terjadi melalui berbagai jalur
yang mengakibatkan melemahnya selaput ketuban.
5) Serotinus
Serotinus atau kehamilan lewat bulan adalah suatu kondisi
kehamilan dimana persalinan terjadi pada minggu ke-42 atau lebih.
Risiko serotinus 60% lebih tinggi disbanding wanita dengan obesitas.
Patofisiologi terjadinya serotinus diperkirakan berhubungan
dengan adanya mekanisme down regulation pada reseptor – reseptor
sitokin fro dan anti inflamasi yang mengakibatkan terlambatnya
pematangan serviks dan berlanjut menjadi kehamilan lewat bulan.
6) Kelainan letak
Kelainan letak atau malposisi janin merupakan salah satu
penyebab utama terjadinya partus macet. Berdasarkan studi yang
dilakukan Turcot et al disimpulkan bahwa ibu usia ≥ 35 tahun paling
kuat berhubungan dengan persalinan tindakan. Hal ini didukung oleh
penelitian Jhonson et al yang menyebutkan rasio sectio caesaria pada
ibu usia 40-45 tahun mencapai 50%. Dimana, salah satu alasan yang
mendasari tingginya angka persalinan dengan Caesar adalah malposisi
janin.

20
c. Komplikasi Maternal
1) Partus dengan Tindakan
Berdasarkan kepustakaan, ibu usia > 35 tahun memiliki resiko
lebih tinggi menghadapi penyulit dalam masa kehamilan dan persalinan.
Berbagai penyulit kehamilan tersebut berdampak pada meningkatnya
kebutuhan persalinan dengan tindakan. Ibu usia ≥ 35 tahun memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk melahirkan dengan sectio caesaria
serta persalinan dengan induksi dibanding ibu yang berusia lebih muda.
Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya rasio sectio caesaria pada ibu
usia 40 – 45 tahun hingga mencapai 50%.
Usia ibu yang tua merupakan factor resiko tunggal dilakukannya
sectio caesaria baik tindakan sectio yang secara langsung maupun yang
didahului oleh persalinan spontan atau persalinan menggunakan induksi
lainnya. Hal ini dikarenakan parturien yang lebih tua memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan non
progresif dan lebih sering membutuhkan oksitosin dalam dosis lebih
tinggi, serta membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk melahirkan
pervaginam dibandingkan mereka yang berusia lebih muda.
2) Partus lama
Partus lama menurut WHO adalah persalinan yang berlangsung
lebih dari 16 jam. Dimana lamanya persalinan berbeda tergantung
berbagai factor, antara lain BMI, usia kehamilan, dan usia ibu.
Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa kejadian ini
disebabkan oleh disfungsi uterus akibat proses penuaan serta adanya mal
posisi janin, yakni breech presentation yang insidennya meningkat pada
ibu usia tua.
3) Perdarahan post partum
Perdarahan Post Partum (PPP) adalah perdarahan masif (>500 ml
setelah bayi lahir) yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan
pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya. Perdarahan postpartum
merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian ibu.

21
Perdarahan post partum dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain
usia ibu yang tua, partus lama, grandemulti, eklampsia, ibu obesitas,
berat lahir >4000 gram serta riwayat PPP pada kehamilan sebelumnya.
Perdarahan antepartum akibat solusio plasenta dan plasenta previa juga
berhubungan dengan resiko perdarahan post partum.
4) Inersia uteri
Inersia uteri adalah suatu jenis kelainan kontraksi uterus pada
saat persalinan. Inersia uteri adalah kontraksi uterus berupa his yang
kekuatannya lemah, lama kontraksi pendek, interval kontraksinya lama.
Berbagai factor yang berpengaruh terhadap kejadian inersia uteri
antara lain panggul sempit ringan, mal presentasi letak kepala, serviks
yang kaku dan sukar membuka, keadaan fisik yang lemah, uterus hamil
yang selalu meregang, serta mioma uteri.
5) Kematian maternal
Berdasarkan data WHO (2011), diketahui di Negara Indonesia
kasus kematian ibu sebanyak 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2008. menurut SDKI 2012 angka kematian menurun 23 kematian per
100.000 kelahiran hidup, sementara hasil SDKI 2012 angka kematian ibu
kembali naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap peningkatan resiko
komplikasi serta kejadian luaran perinatal yang tidak diinginkan. Hal ini
disebabkan ibu usia tua cenderung memiliki penyakit penyerta seperti
hipertensi kronik, preeklampsia ringan ataupun sedang dan diabetes
gestasional. Selain itu adanya penyakit kronik pregestasional pada ibu
turut menjadi salah satu faktor munculnya luaran perinatal yang tidak
diinginkan,
6) Haemoglobin
Perdarahan obstetrik adalah salah satu penyebab utama kematian
Ibu di Indonesia. Perdarahan yang terjadi karena kehamilan tentunya
akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir persalinan. Luaran
perinatal yang dipengaruhi antara lain kalahiran premature <37 minggu,
IUFD dan kelainan kongenital.

22
Berkaitan dengan perdarahan obstetri, dapat dijumpai penurunan
kadar haemoglobin pada ibu hamil yang mengalaminya, yang
diakibatkan oleh hilangnya banyak darah ibu serta bayi. Keadaan
demikian dikhawatirkan dapat berpengaruh pada kondisi bayi yang
dilahirkan.
d. Komplikasi Perinatal
1) Prematuritas
Persalinan prematur mengacu pada persalinan yang terjadi
sebelum usia kehamilan 37 minggu, baik karena persalinan dengan
membran yang intak maupun persalinan dengan induksi atas indikasi
pada ibu maupun janin.
Ibu dengan usia tua secara signifikan memiliki kecenderungan
untuk melahirkan sebelum minggu ke-34 atau ke-37 serta memiliki
kecenderungan insiden kecil masa kehamilan. Dimana, resiko janin
dilahirkan sebelum minggu ke-34 mencapai 70%. Hal ini dapat
dikarenakan ibu yang berusia tua memiliki resiko 1.5x menderita
preeklampsia dimana salah satu komplikasi dari penyakit ini adalah
prematuritas.
Tingginya tingkat infeksi traktur urinarius pada ibu usia >40
tahun juga menyumbangkan kejadian persalinan prematur pada ibu usia
tua.
2) Asfiksia
Asfiksia pada neonatus merupakan keadaan gawat pada bayi
dimana bayi gagal untuk bernafas secara spontan, teratur, serta disertai
dengan hipoksia. Hipoksia yang terjadi pada bayi asfiksia adalah faktor
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan
ekstra-uterin, selain itu asfiksia dapat menyebabkan terjadinya depresi
susunan saraf pusat. Oleh karena itu, bila keadaan ini tidak ditanggulangi
secara adekuat, dapat menimbulkan kematian.
3) Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital dan persalinan prematur merupakan
penyebab penting dari kematian anak, penyakit kronik, maupun

23
kecacatan pada banyak negara. Insidensinya terjadi pada 1 dari 33 bayi
dan menghasilkan 3.2 juta kecacatan efek kelahiran setiap tahunnya.
Penyebab terjadinya kelainan kongenital pada bayi masih banyak
yang belum diketahui. Namun umunya dipengaruhi oleh faktor
instrinsik, ekstrinsik, maupun gabungan keduanya. Faktor instrinsik ialah
faktor genetik dan kromosom. Sementara faktor ekstrinsik ialah infeksi,
usia ibu, radiasi, obat-obatan, nutrisi, maupun social ekonomi.
Kelainan kongenital parah yang sering terjadi ialah efek jantung,
efek neural tube, serta sindrom down. Sindrom Down ditandai dengan
kelebihan 1 kromosom No. 21 (trisomy). Telah diketahui bahwa Sindrom
Down lebih senang ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh wanita
yang mendekati masa menopause. Frekuensi kelahiran ini akan
meningkat pada ibu yang berusia >35 tahun dan akan semakin meningkat
pada ibu berusia >40 tahun. Hal ini diduga akibat kegagalan pemisahan
sel terutama pada fase awal miosis.
4) Berat bayi lahir rendah
Berat badan lahir rendah (BBLR) merujuk pada bayi dengan berat
kurang dari 2500 gram pada waktu lahir, dapat disebabkan oleh umur
kehamilan kurang 37 minggu dengan berat badan sesuai (SMK), ataupun
Kecil Masa Kelahiran (KMK). Joseph et al menyebutkan bahwa ibu
berusia tua memiliki resiko 1.29 % lebih tinggi untuk melahirkan bayi
BBLR. Hal ini dapat dihubungkan dengan semakin buruknya perfusi
plasenta atau aliran nutrisi transplasenta pada ibu berusia tua.
5) Kematian perinatal
Kematian perinatal ialah jumlah bayi lahir mati (stillbirth)
ditambah kematian bayi yang lahir hidup dalam 7 hari pertama setelah
lahir. Sering dengan meningkatnya usia ibu, berbagai komplikasi selama
kehamilan dan persalinan pun meningkat. Hal ini juga berpengaruh
terhadap luaran perinatal yang tidak diharapkan, dimana bayi-bayi yang
lahir dari ibu berusia tua memiliki risiko mortalitas dan morbitis yang
lebih tinggi.

24
Berbagai faktor berkonstribusi terhadap kematian perinatal.
Prematuritas juga menjadi salah satu faktor penyebab. Hal ini
dikarenakan, bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi terjadinya
gangguan perkembangan neurologis, akibat usia kehamilan yang tidak
proporsional.
6) Intra Uterine Fetal death
Ibu multipara berusia 40 tahun memiliki rasio komplikasi
anterpartum lebih tinggi, dibanding ibu yang berusia lebih muda, dimana
termasuk didalamnya risiko Intra Uterine Fetal Death (IUFD). Selain itu
Odibo et al melaporkan dalam studinya bahwa peningktan risiko IUFD
dimulai pada usia 35 tahun menjadi semakin signifikan pada usia >40
tahun.
7) Makrosomia
Makrosomia ialah berat badan waktu lahir >4000 gram. Beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya makrosomia antar lain
multiparitas, diabetes militus, serotinus, dan adanya riwayat melahirkan
bayi makrosomia.
Bayi makrosomia cenderung lahir dari ibu obese non-diabetes,
jika dibandingkan dengan ibu dengan diabetes gestasional. Meskipun ibu
obese non-diabetes juga memiliki toleransi terhadap glukosa, peningktan
resisten insulin dalam tubuh mereka dapat menyebabkan pertubasi lain
dalam peningktan avabilitas metabolisme nutrisi menuju janin. Lebih
jauh, Pdersen menjelaskan dapat hipotesisnya bahwa, peningktan aliran
nutrisi melalui plasenta dapat menyebabkan hiperinsulnisme pada fetus
mengakselerasi pertubuhan janin.
e. Penatalaksanaan
Kehamilan pada usia lebih dari 35 tahun memerlukan pengawasan dan
penanganan dini, diawali dan ditangani oleh dokter ahli kandungan sejak dini
yaitu perlu melakukan beberapa pemeriksaan seperti :
1) Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa gula darah untuk
memastikan ada atau tidak penyakit diabetes militus.
2) Pemeriksaan darah ibu untuk mengetahui adanya kelainan kromosom.

25
3) Menjalani upaya medis untuk mencegah hipertensi, dan cacat bawaan.
4) Pemberian asam folat yang cukup ada pada ibu hamil karena dapat
mengurangi resiko cacat bawaan diberikan sampai usia kehamilan 12
minggu/masa pembentukan organ janin,pada usia > 35 tahun perlu
mendapat penanganan untuk mencegah kelahiran prematur.
(Ridwanamiruddin,2007 ).

26
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN PADA NY.U DENGAN KETUBAN
PECAH DINI 14 JAM DAN PEB DI RSUD BREBES

Tanggal : 03 Januari 2019


Waktu : 13.00 WIB
Tempat : Ruang Bersalin
A. Data Subjektif
1. Biodata
Ibu Suami
Nama : Ny.U Tn.A
Umur : 42 tahun 42 tahun
Pekerjaan : Tidak Bekerja Dagang
Pendidikan : SMP SMU
Alamat : Desa Jatirokeh
2. Riwayat
Ny. U G3P2A0 merasa hamil 9 bulan datang ke ruang bersalin pukul 03.00 WIB
kiriman dari PONEK RSUD Brebes. Ibu merasa perut kenceng sejak tanggal 02
Januari 2019 pukul 19.00 WIB, pukul 23.00 WIB keluar cairan berwarna jernih
dari jalan lahir dan mengeluh kepalanya pusing kemudian periksa ke PONED
menganjurkan untuk di Rujuk ke Rumah sakit. Di PONED sudah di pasang
dower cateter, urine ±50 cc, infus RL + MgSO4 20% 6 gr pukul 01.05 WIB dan
Injeksi MgSO4 20% 4 gr pukul 01.55 WIB. HPHT 05-04-2018 TP 12-01-2019.
Gerakan janin masih dirasakan hingga sekarang. Merupakan kehamilan yang
Ketiga, memeriksakan kehamilan ke bidan puskesmas dan dokter sebanyak 8
kali. Ibu dan keluarga tidak mempunyai riwayat penyakit hipertensi, asma,
jantung dan penyakit berat lainnya serta belum pernah dirawat selama
kehamilan ini. Makan terakhir pukul 20.00 WIB dan minum terakhir pukul
20.00 WIB. BAB dan BAK terakhir pukul 00.30 WIB.

27
B. Data Objektif
Keadaan umum baik, Kesadaran compos mentis, Tinggi badan 151 cm, Berat
badan 71 kg, Tekanan darah 163/95 mmHg, Nadi 83x/menit, pernapasan
22x/menit, Suhu 36,5˚C. Wajah tidak pucat, konjungtiva tidak pucat, sklera
putih. Leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan kelenjar getah bening.
Irama jantung reguler, Paru-paru tidak ada bunyi ronchi dan wheezing.
Payudara simetris, puting susu menonjol, belum ada pengeluaran Kolostrum.
Tidak ada bekas luka operasi, TFU 35 cm, janin letak memanjang, punggung
kanan, presentasi kepala, penurunan kepala 4/5, terpasang dower cateter
produksi urine ±100 cc , his 3x10’→35”, DJJ 143x/menit. Vulva vagina tidak
ada kelainan, Porsio tebal lunak, pembukaan 2 cm, selaput ketuban sudah
pecah dan terdapat sisa cairan berwarna jernih. Tidak dilakukan tes lakmus.
Anus tidak haemoroid. Ekstremitas atas tidak oedema, terpasang infus RL+
Oxytocin 5 IU sesuai advis dokter dari hasil kolaborasi pada jam 10.30 WIB ±
500 cc 20 tetes/menit, ekstremitas bawah ada oedema, tidak ada varises, reflek
patella +/+
1. Pemeriksaan penunjang tanggal 02 Januari 2019
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hematologi
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Hemoglobin 12,7 g/dL 11,0 – 14,0 Normal
Leukosit 8,04 10^3/ uL 4,50 – 12,50 Normal
Trombosit 198 10^3/ uL 150 – 400 Normal
Hematokrit 38,1 % 37,0 – 43,0 Normal
Eritrosit 4,28 g/dL 32,0 – 37,0 Normal

2) Imunologi
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Interpretasi
HbsAg Negatif Negatif Normal
Anti HIV Negatif Negatif Normal

28
3) Urinalisis
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Interpretasi
Protein urin (+) Positif 1 Tidak Normal

C. Analisis
Ny.U 42 tahun G3P2A0 parturien aterm (38 minggu) kala I fase laten dengan
KPD 14 jam dan PEB.

D. Penatalaksanaan
1. Menginformasikan hasil pemeriksaan dan rencana asuhan yang akan
diberikan, ibu memahami dan respon Ibu baik
2. Memfasilitasi informed consent dan rencana tindakan yang akan dilakukan,
ibu setuju dan suami menandatangani lembar informed consent
3. Pukul 10.30 WIB Kolaborasi dengan dokter . advis infus RL+ Oksitosin 5
IU 20 tetes/menit.
4. Memberikan dukungan emosional, Ibu terlihat lebih tenang
5. Memposisikan/menawarkan posisi yang nyaman, memilih posisi miring
kiri
6. Membantu untuk makan dan minum, Ibu makan nasi 1 porsi habis dan
minum ± 100 cc air putih
7. Melakukan observasi TTV, his, dan DJJ Hasil terlampir di lembar
pemantuan persalinan

Pukul 15.00 WIB


A. Data subjektif
Ibu mengatakan mules semakin sering, ada dorongan kuat untuk meneran.

B. Data Objektif
Keadaan umum baik, kesadaran composmentis, tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 89x/menit, pernapasan 23x/menit, suhu 36,7˚C, penurunan kepala 1/5,
kandung kemih kosong, terpasang infus RL + Oxytocin 5 IU, His 5x10’→45”,
DJJ 144x/menit. ada tanda gejala kala II dorongan meneran, tekanan anus,

29
perineum menonjol, vulva dan sfingter ani membuka. Pemeriksaan dalam
vulva vagina tidak ada kelainan, portio tidak teraba, pembukaan lengkap, sisa
ketuban jernih, penunjuk UUK depan tidak ada bagian yang menumbung.

C. Analisis
Kala II dengan KPD 14 jam dan PEB.

D. Penatalaksanaan
1. Menginformasikan hasil pemeriksaan dan rencana asuhan yang akan
diberikan, pembukaan lengkap dan janin dalam kondisi baik, Ibu sudah
mengetahui
2. Mendorong keluarga untuk tetap memberikan dukungan kepada ibu, Ibu
tampak lebih tenang
3. Memfasilitasi ibu posisi setengah duduk dalam proses persalinan, Ibu
sudah dalam posisi setengah duduk
4. Mengajarkan kepada ibu cara mengejan yang benar, Ibu bersedia
mengikuti dan dapat meneran dengan benar sampai terlihat kepala 5-6 cm
didepan vulva
5. Mendekatkan alat partus set, perlengkapan ibu dan bayi , partus set, obat,
perlengkapan ibu dan bayi sudah siap
6. Mengobservasi DJJ disela-sela his, DJJ janin149x/menit
7. Menawarkan ibu untuk makan dan minum disaat tidak ada his, Ibu sudah
minum ½ gelas teh manis
8. Menolong persalinan secara APN, jam 15.40 WIB bayi lahir spontan,
segera menangis, pergerakan aktif / tonus otot kuat, warna kulit kemerahan,
jenis kelamin laki-laki.
9. Mengeringkan bayi, merangsang taktil, dan mengganti kain kotor dengan
yang bersih, bayi di IMD
10. Mengecek adanya bayi kedua, bayi tunggal.
11. Memberitahu bahwa ibu akan disuntik oksitosin di 1/3 paha kanan bagian
luar ibu agar mengurangi perdarahan, oksitosin 10 IU IM sudah disuntikan
dan tidak alergi.

30
12. Melakukan jepit-jepit potong pada talipusat bayi, talipusat sudah dipotong.
13. Mengikat talipusat bayi dengan benang talipusat, talipusat sudah diikat.
14. Memposisikan bayi untuk melakukan IMD, bayi berada di atas dada dan
perut Ibu.

KALA III
Pukul 15.40
A. Data Subjektif
Ibu masih mules dan merasa senang atas kelahiran bayinya

B. Data Objektif
Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, kandung kemih kosong, tinggi
fundus uteri setinggi pusat, kontraksi uterus baik, pengeluaran darah ± 100 cc,
tampak tali pusat yang sudah dipotong dan di klem. Terpasang infus RL+
Oxytocin 5 IU 20 tetes per menit.

C. Analisis
P3A0 kala III dengan KPD 14 jam dan PEB.

D. Penatalaksanaan
1. Menginformasikan hasil pemeriksaan dan rencana tindakan yang akan
diberikan, Ibu sudah mengerti dan respon ibu baik.
2. Melakukan manajemen aktif kala III
a. Mengenal tanda tanda pelepasan plasenta, adanya kontraksi, uterus
globuler, adanya semburan darah, tali pusat memanjang
b. Melakukan peregangan tali pusat terkendali, sudah ada tanda-tanda
pelepasan plasenta
3. Melahirkan plasenta, jam 15.45 plasenta lahir spontan
4. Melakukan massase uterus sebanyak 15 kali, kontraksi baik.

31
Kala IV
Pukul 15.45 WIB
A. Data Subjektif
Ibu mengatakan lemas dan perutnya masih terasa mulas

B. Data Objektif
Keadaan umum ibu sedang. Kesadaran Composmentis. Tekanan darah 140/90
mmHg, nadi 86x/menit, suhu 37˚C, kandung kemih kosong. Tinggi Fundus
Uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi baik, pengeluaran darah ± 100 cc

C. Analisis
P3A0 kala IV dengan KPD 14 jam dan PEB.

D. Penatalaksanaan
1. Menginformasikan hasil pemeriksaan dan rencana asuhan yang akan
diberikan, Ibu sudah mengetahui hasil pemeriksaan dan respon Ibu baik.
2. Memeriksa kelengkapan plasenta, plasenta lengkap
3. Mengecek adanya laserasi jalan lahir, terdapat laserasi pada jalan lahir
derajat II (mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot
perineum)
4. Memberitahu akan disuntik lidokain agar tidak terasa sakit saat di jahit,
Ibu bersedia
5. Menyuntikkan anastesi lidokain 2% 2 cc dan aquabidest 2 cc dengan
perbandingan 1:1
6. Melakukan penjahitan menggunakan anastesi lidokain 2% 2 cc dan
aquabidest 2 cc dengan perbandingan 1:1, laserasi sudah dijahit tidak ada
perdarahan.
7. Memastikan kontraksi uterus tetap berkontraksi dengan baik, kontraksi
uterus baik
8. Melakukan eksplorasi, tidak ada robekan portio, plasenta lahir lengkap

32
9. Mengajarkan pada ibu dan keluarga cara menilai kontraksi uterus dan
melakukan massase uterus dibantu keluarga, ibu melakukan massase
uterus dibantu keluarga
10. Membersihkan ibu dengan air DTT dan tempat bersalin dengan larutan
klorin 0.5%, Ibu terlihat nyaman dan tempat bersalin bersih
11. Melakukan pemrosesan alat-alat bekas pakai dalam klorin 0,5% selama 10
menit, alat-alat sudah direndam
12. Mencuci alat alat kemudian dikeringkan, alat-alat siap disterilkan.
13. Memberikan selamat kepada Ibu atas kelahiran bayinya, Ibu tampak
senang.
14. Melakukan pemantauan kala IV setiap 15 menit, meliputi tekanan darah,
Tinggi Fundus Uterus, kontraksi uterus, kandung kemih, perdarahan tiap
15 menit pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua, hasil terlampir
di patograf
15. Membantu ibu untuk makan dan minum, sudah makan 1 porsi dan minum
±50 cc air putih
16. Melakukan Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian Therapy, Advis
dokter :
a. Amoxilin 500 mg 3x1 tablet/hari
b. Nifedipin 10 mg 3x1 tablet/hari
c. Asam Mefenamat 500 mg 3x1 tablet/hari
17. Memberikan terapi obat post partum sesuai advis dokter
d. Amoxilin 500 mg 3x1 tablet/hari
e. Nifedipin 10 mg 3x1 tablet/hari
f. Asam Mefenamat 500 mg 3x1 tablet/hari
18. Melengkapi patograf, patograf terlampir
19. Merencanakan pasien pindah keruang nifas bila keadaan umum baik jam
17.40 WIB.

33
ASUHAN KEBIDANAN 2 JAM POST PARTUM DENGAN RIWAYAT
PREEKLAMSI BERAT DAN KPD

Hari dan Tanggal Pengkajian : Kamis, 03 Januari 2019.


Waktu : 17.40 WIB.
Ruang : Seruni

A. Data subjektif
Ibu mengatakan perut masih mules , sudah tidak pusing. Tidak ada pantangan
makanan dan minuman, ibu masih takut untuk miring kanan dan kiri, Kolostrum
nya belum keluar tapi bayi mau menyusu, Ibu belum BAB.

B. Data Objektif
Keadaan umum baik. Kesadaran compos mentis. Tekanan darah 140/90 mmHg,
nadi 80 x/ m, pernapasan 21 x/ m, suhu 36,6°C. Wajah tidak pucat. konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik. kolostrum belum keluar. Kontraksi uterus baik.
TFU 3 jari bawah pusat, kandung kemih kosong. Vulva vagina tidak ada kelainan,
terdapat luka jahitan laserasi baik, pengeluaran darah ± 25 cc. Terpasang dower
cateter urin ±50 cc warna kuning jernih. Terpasang infus RL + MgSO4 20% 30 cc
20 tetes/menit pada tangan kiri. Ekstremitas bawah oedem.

C. Analisis
P3A0 2 jam postpartum dengan riwayat KPD dan PEB.

D. Penatalaksanaan
1. Membina hubungan baik dengan Ibu dan keluarga, terjalin hubungan yang baik
dengan Ibu dan keluarga
2. Memberitahu hasil pemeriksaan dan rencana asuhan yang akan diberikan, Ibu
sudah mengetahui hasil pemeriksaan.
3. Memastikan kontraksi uterus baik dan mengingatkan untuk masasse jika
kontraksi lembek, ibu sudah mengetahui dan dapat melakukan dengan baik.

34
4. Memberitahukan Ibu penyebab mules-mules yang disebabkan karena
kontraksi uterus, Respon Ibu baik.
5. Mengobservasi KU, TTV, proses involusi dan tetesan infus, KU baik, Tekanan
darah 140/90 mmHg, nadi 80 x/ m, pernapasan 21 x/ m, suhu 36,6°C, kontraksi
uterus baik, tetesan infus 20 tetes/menit.
6. Memberikan KIE tentang:
a. Tanda-tanda bahaya masa nifas.
b. Kebutuhan dasar ibu nifas
Respon Ibu baik, dan Ibu dapat mengulang kembali informasi yang
diberikan.
7. Membantu Ibu untuk mobilisasi dini seperti miring kanan dan miring kiri, Ibu
mau melakukan mobilisasi.
8. Memfasilitasi kebutuhan nutrisi, ibu makan habis 1 porsi dan minum ±300 cc
air putih.
9. Memberikan konseling KB pasca persalinan pada Ibu, Ibu memilih KB
Implant
10. Jam 19.05 WIB mengantar Ibu ke ruang Alamanda (Ruang nifas), Ibu sudah
diantar ke ruang Alamanda.
11. Mendokumentasikan hasil asuhan, hasil asuhan telah di dokumentasikan.

35
ASUHAN KEBIDANAN 4 JAM POST PARTUM DENGAN RIWAYAT
PREEKLAMSI BERAT DAN KPD

Hari dan Tanggal Pengkajian : Kamis, 03 Januari 2019.


Waktu : 19.40 WIB.
Ruang : Alamanda

A. Data Subjektif
Ibu merasa tidak nyaman , ingin di lepas selang urine yang terpasang.

B. Data Objektif
Keadaan umum ibu baik. Kesadaran compos mentis. Tekanan darah 139/64
mmHg, nadi 83 x/ m, pernapasan 20 x/ m, suhu 36,5°C. Konjungtiva tidak pucat.
Pengeluaran kolostrum (-). Kontraksi uterus baik. TFU 2 jari bawah pusat,
produksi urine ±100 cc. Luka jahitan laserasi baik. Lochea rubra. Masih terpasang
dower cateter. Ekstremitas atas tidak oedema, terpasang infus RL + MgSO4 20%
30 cc 20 tpm, Ekstremitas bawah oedem.

C. Analisis
Ny. U 42 tahun 4 jam postpartum dengan riwayat KPD dan PEB

D. Penatalaksanaan
1. Membina hubungan baik dengan Ibu dan keluarga, terjalin hubungan yang baik
dengan Ibu dan keluarga
2. Memberitahu hasil pemeriksaan pada Ibu, Ibu sudah mengetahui hasil
pemeriksaan.
3. Memastikan kontraksi uterus baik dan mengingatkan untuk masasse jika
kontraksi lembek, ibu memahami dan dapat melakukan.
4. Mengobservasi TTV, pengeluaran pervaginam dan proses involusi uteri, TD
139/64 mmHg, nadi 83 x/ m, pernapasan 20 x/ m, suhu 36,5°C, TFU 2 jari
dibawah pusat, kontraksi keras, Lochea rubra ±5 cc.
5. Memberitahu Ibu bahwa selang kateter akan di lepas besok, respon Ibu baik.

36
6. Memotivasi Ibu untuk tetap memberikan kolostrum, Ibu tampak menyusui
bayi nya.
7. Mengajarkan Ibu untuk menjalin hubungan yang baik dengan bayinya, Bayi
tampak nyaman bersama Ibu.
8. Memberi KIE pada Ibu untuk tetap menjaga kehangatan Bayi, Bayi tenang dan
nyaman.
9. Mendokumentasikan hasil asuhan, terlampir di status.

37
ASUHAN KEBIDANAN 2 HARI POST PARTUM DENGAN RIWAYAT
PREEKLAMPSIA BERAT DAN KPD

Hari dan Tanggal Pengkajian : Sabtu, 05 Januari 2019.


Waktu : 12.00 WIB.
Ruang : Alamanda

A. Data Subjektif
Ibu mengatakan mulai merasa nyaman dengan keadaan yang sekarang.

B. Data Objektif
Keadaan umum ibu baik. Kesadaran compos mentis. Tekanan darah 136/68
mmHg, nadi 80 x/ m, pernapasan 20 x/ m, suhu 37°C. Konjungtiva tidak pucat.
Pengeluaran Kolostrum (+). Kontraksi uterus baik. TFU 2 jari bawah pusat,
kandung kemih kosong. Luka jahitan laserasi baik. Lochea rubra. Ekstremitas atas
tidak oedem infus sudah di lepas, ektremitas bawah terdapat oedem.

C. Analisis
Ny. U 42 tahun 2 hari postpartum dengan riwayat KPD dan PEB

D. Penatalaksanaan
1. Membina hubungan baik dengan Ibu dan keluarga, terjalin hubungan yang baik
dengan Ibu dan keluarga
2. Memberitahu hasil pemeriksaan pada Ibu, Hasil pemeriksaan Tekanan darah
136/68 mmHg, nadi 80 x/ m, pernapasan 20 x/ m, suhu 37°C. Konjungtiva
tidak anemis. Sklera tidak ikterik. Kontraksi uterus baik. TFU 2 jari bawah
pusat, kandung kemih kosong. Luka jahitan laserasi baik.
3. Menganjurkan ibu untuk banyak istirahat, respon ibu baik.
4. Melaksanakan program dokter tentang pemberian obat
a. Amoxicilin tab 500 mg 3x1
b. Asam mefenamat tab 500 mg 3x1
c. Nifedipin 10 mg 3x1

38
5. Memberikan pendidikan kesehatan pada ibu tentang:
a. Nutrisi Ibu nifas
b. Menjaga kebersihn diri (personal hygiene)
c. Istirahat yang cukup
d. Menyusui bayi sesering mungkin (ondemand)
e. Mencuci tangan dengan sabun bila akan memegang bayi
f. ASI eksklusif
g. Perawatan talipusat bayi.
h. Tanda-tanda bahaya masa nifas dan bayi baru lahir, segera datang ke
tenaga kesehatan jika terdapat salah satu dari tanda bahaya tersebut.
Respon ibu baik, ibu mampu mengulang penjelasan bidan.
6. Membuat kesepakatan untuk kunjungan ulang ke bidan terdekat pada hari ke-
6 (pada tanggal 11 januari 2019), Ibu bersedia kunjungan ulang ke bidan.
7. Melakukan advis dokter ibu boleh pulang, mengantar Ibu pulang.
8. Mendokumentasikan hasil asuhan, asuhan telah di dokumentasikan.

39
ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR NORMAL

Hari/Tanggal : Kamis, 3 Januari 2019


Waktu : 15.40 WIB
Tempat : Ruang Seruni

A. Data Subjektif
Ibu mengatakan senang, bayinya telah lahir.

B. Objektif
Bayi Ny. U lahir normal, spontan, aterm, segera menangis, warna kulit
kemerahan, gerakan aktif, jenis kelamin laki-laki, Berat Badan 2900 gram, PB 49
Cm, Lk/Ld 33cm/32cm Apgar Score 8 8 9.

C. Analisis
Bayi Ny.U dengan BBL normal.

D. Penatalaksanaan
1. Melakukan informed consent, ibu dan keluarga setuju dengan pemeriksaan
yang dilakukan.
2. Melakukan persiapan alat, persiapan diri dan lingkungan, persiapan sudah
dilakukan
3. Melakukan penilaian awal bayi cukup bulan :
a. Apakah bayi cukup bulan ? => Bayi lahir Aterm 38 minggu,
b. Apakah bayi bernapas/menangis => Bayi segera menangis sementara
c. Apakah tonus otot baik => Tonus otot baik
d. Apakah warna kulit kemerahan => Warna kulit kemerahan

40
4. Menilai Apgar Score
Klasifikasi 1 menit 5 menit 10 menit

Warna 2 2 2

Denyut Jantung 2 2 2

Reflex 1 1 1

Tonus Otot 1 1 2

Pernapasan 2 2 2

Jumlah 8 8 9

5. Menilai Down Score


Kriteria 0 1 2 Nilai
Frekuensi napas < 60x/mnt 60-80x/mnt > 80x/mnt 0
Retraksi Tidak Ada Retraksi Retraksi 0
Retraksi Ringan Berat
Sianosis Tidak Sianosis Hilang Sianosis 0
Sianosis Dengan Menetap
Pemberian Walau
Oksigen Diberikan
Oksigen
Air Entry Udara Penurunan Tidak Ada 0
Masuk Ringan Udara Udara Masuk
Bilateral Masuk
Baik
Merintih Tidak Dapat Dapat 0
Merintih Didengar Didengar
Dengan Tanpa Alat
Stetoskop Bantu
Jumlah 0

41
Ket :
0-4 : Distres Nafas Ringan (Memerlukan oksigen nasal atau headbox)
4-7 : Distres Nafas Sedang (Membutuhkan CPAP)
> 7 : Distres Nafas Berat, Ancaman Gagal Nafas (Memerlukan Intubasi)
6. Melakukan IMD pada bayi, bayi berada di dada dan perut Ibu.
7. Memberikan salep mata oxytetracycline 1% dan injek vitamin K 1 mg
secara IM di paha atas sebelah kiri bagian anterolateral, sudah dilakukan.
8. Melakukan pengukuran antropometri, PB 49 cm , BB 2900 gram, LK 33
cm, LD 32 cm.
9. Melakukan pengecekan anus bayi, anus berlubang, mekonium (+)
10. Memberikan kesempatan kepada bapak atau ibu untuk melihat bayinya.
11. Memberitahu ibu hasil pemeriksaan, ibu mengetahui hasil pemeriksaan.
12. Mengidentifikasi ibu dan bayi
a. Memakaikan gelang identifikasi warna biru pada bayi ditangan dan
kaki sebelah kiri sedangkan pada ibu ditangan sebelah kanan.
b. Melakukan cap kaki kana dan kiri bayi
c. Melakukan cap ibu jari kanan dan kiri ibu, sudah dilakukan.
13. Membina hubungan baik dengan ibu dan keluarga, hubungan terjalin
baik
14. Melakukan dokumentasi. Dokumentasi telah dilakukan.

42
ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR NORMAL 2 JAM POSTNATAL

Hari/tanggal : Kamis, 03 Januari 2019


Waktu : 17.40 WIB

A. Data Subjektif
Ibu mengatakan senang bayinya lahir sehat.

B. Data Objektif
Keadaan umum : Baik, bayi menangis, gerakan aktif
Kesadaran : CM
TTV : Denyut Jantung : 140 X/m
Pernafasan : 45 X/m
Suhu : 36,50C
Berat badan : 2900 gram

Kepala : Ubun-ubun datar, Tidak ada caput sucadaneum dan


chepal hematoma. Lingkar kepala 33 cm.
Mata : Tidak ada pus, sejajar dengan telinga, sclera an ikterik,
konjungtiva tidak anemis
Hidung dan Mulut : Tidak ada labioskizis, Bentuk normal, tidak ada
pernafasan cuping hidung, reflex rooting +, refleks
sucking +.

Telinga : Bersih, simetris kanan dan kiri, tidak ada kelainan.


Leher : Tidak ada pembengkakan kelenjar.
Dada : Simetris, terdapat puting susu dan areola, irama
jantung regular, tidak ada ronchi. Lingkar dada 32
cm
Bahu, lengan, tangan : Gerakan aktif, Tidak ada flexus brachialis, tidak ada
polidaktili dan sindaktili,refleks grasping (+),

43
Sistem syaraf : Refleks moro (+)
Abdomen : Normal, tidak ada kelainan, tali pusat bersih, tidak ada
benjolan dan perdarahan tali pusat.
Genitalia : Testis sudah turun, ada lubang uretra (BAK +)
Tungkai dan kaki : Gerakan aktif, tidak ada polidaktili dan sindaktili,
refleks babinsky (+),
Punggung : Tidak ada pembengkakan dan cekungan
(spinabifida),
Anus : Anus berlubang, mekonium (+).
Kulit : Verniks (-), warna kulit kemerahan, bibir tidak pucat,
tidak ada pembengkakan atau bercak-bercak hitam.
Panjang Badan : 49 cm

C. Analisis
Bayi Ny. U 2 jam postnatal dengan BBL normal.

D. Penatalaksanaan
1. Menjaga kehangatan bayi, bayi diselimuti dan diberi penutup kepala
2. Memberikan imunisasi HB0, Imunisasi sudah diberikan secara IM dosis 0,5
mg.
3. Membedong bayi dan memberikan bayi ke Ibu, Bayi sudah bersama Ibu.
4. Melakukan dokumentasi. Pendokumentasian telah dilakukan

44
ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR NORMAL 4 JAM POSTNATAL

Hari/tanggal : Kamis, 03 Januari 2019


Waktu : 19.40.00 WIB

A. Data Subjektif
Ibu mengatakan senang, bayinya sehat.

B. Data Objektif
Keadaan umum Baik, muntah (-), Kembung (-), BAB/BAK +/+. Kesadaran
Composmentis Denyut Jantung 147 x/m, Pernafasan 44 x/m, Suhu 37,00C,
refleks hisap baik, keadaan talipusat terbungkus kassa kering, tidak ada
perdarahan talipusat.

C. Analisis
Bayi Ny. U 4 jam postnatal dengan BBL normal

D. Penatalaksanaan
1. Menjaga kehangatan bayi, Bayi tampak hangat
2. Mengajarkan Ibu cara menyusui bayi, Ibu tampak menyusui bayinya.
3. Memberikan pendidikan kesehatan pada Ibu tentang tanda-tanda bahaya
pada Ibu dan Bayi, Respon Ibu baik, ibu dapat mengulang penjelasan bidan.
4. Melakukan pendokumentasian. Pendokumentasian telah dilakukan.

45
ASUHAN 2 HARI POSTNATAL

Hari/tanggal : Sabtu, 05 Januari 2019


Waktu : 12.00 WIB

A. Data Subjektif
Ibu mengatakan senang karena sudah diperbolehkan pulang.

B. Data Objektif
Keadaan umum Baik, muntah (-), Kembung (-), BAB/BAK +/+. Kesadaran
Composmentis Denyut Jantung 148 x/m, Pernafasan 51 x/m, Suhu 36,7 0C,
refleks hisap baik, keadaan talipusat terbungkus kassa kering, tidak ada
perdarahan talipusat.

C. Analisis
Bayi Ny.U 2 hari postnatal dengan BBL normal.

D. Penatalaksanaan
1. Menjaga kehangatan bayi, suhu ruangan hangat
2. Melakukan pemeriksaan fisik pada bayi, bayi telah dilakukan pemeriksaan
fisik. Keadaan fisik bayi normal.
3. Memotivasi ibu agar memberikan ASI pada bayinya secara eksklusif
selama 6 bulan, respon ibu baik, ibu bersedia melakukannya.
4. Memberikan KIE pada ibu tentang :
a. Cara memberikan ASI yang benar dan posisi menyusui
b. Mencuci tangan dengan sabun bila akan memegang bayi
c. ASI eksklusif
d. Perawatan talipusat bayi.
e. Tanda-tanda bahaya bayi baru lahir, segera datang ke tenaga kesehatan
jika terdapat salah satu dari tanda bahaya tersebut.

46
Respon ibu baik, ibu mampu mengulang penjelasan bidan.

BAB IV
PEMBAHASAN

Bab ini pengkaji akan membahas mengenai kesamaan dan perbedaan antara
teori dan yang terjadi pada saat melaksanakan asuhan kebidanan terhadap pasien Ny.U
42 tahun G3P2A0 dengan preeklampsia berat dan ketuban pecah dini 14 jam. Adapun
hal-hal yang penulis temukan selama melakukan asuhan kebidanan adalah:

A. Persalinan
Menurut Manuaba, 2009 Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya ketuban
sebelum terdapat tanda-tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum
terjadi inpartu. Diagnosa ketuban pecah dini ditegakkan dengan cara melakukan
pemeriksaan dalam, pemeriksaan dengan speculum, infeksi dan anmnnesa
(Nugroho, 2010). Diagnose potensial pada kasus ketuban pecah dini yaitu dapat
mengakibatkan penegluaran cairan dalam jumlah besar dan terus menerus
(varney, 2009).
Pada kasus Ny. U diagnosis KPD ditegakkan berdasarkan dilakukannya
anamnesa Ny.U mengatakan sudah keluar air-air dari jalan lahir ketika dilakukan
pemeriksaan dalam diperoleh belum ada pembukaan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa diagnosis KPD telah Sesuai antara teori dengan praktik.
Penatalaksanaan ketuban pecah dini yang cukup bulan, kalau tidak segera
mengakhiri kehamilan akan menaikkan insiden chrioaminonitis (Manuaba, 2008).
Di RS rujukan, lakukan tatalaksana sesuai dengan usia kehamilan:
1. >34 minggu
i. Lakukan induksi persalinan dengan oksitosi bila tidak ada kontra indikasi
2. 24-33 minggu
a. Bila terdapat Bila terdapat amnionitis, abrupsio plasenta, dan kematian
janin, lakukan persalinan segera.
b. Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau
betametason 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.

47
c. Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
d. Bayi dilahirkan di usia kehamilan 34 minggu, atau di usia kehamilan 32-
33 minggu, bila dapat dilakukan pemeriksaan kematangan paru dan hasil
menunjukkan bahwa paru sudah matang (komunikasikan dan sesuaikan
dengan fasilitas perawatan bayi preterm).
3. <24 minggu:
a. Pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin.
b. Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan mungkin menjadi
pilihan.
c. Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan tatalaksana
d. Korioamnionitis.
Pada kasus Ny. U dalam penatalaksanaannya di berikan oksitosin drip 5
IU dalam cairan LR sebanyak 20 tetes/ menit. Sehingga penatalaksanaan kasus
KPD pada Ny.U di Rumahsakit telah Sesuai dengan apa yang ada dalam teori.
Menurut Prawirohardjo, 2008, Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul
setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria, penyakit ini umumnya
terjadi dalam triwulan ketiga dalam kehamilan, atau segera setelah persalinan.
Dikatakan Preeklamsi berat apabila
a. Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria 2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
c. Atau disertai keterlibatan organ lain:
d. Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
e. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
f. Sakit kepala , skotoma penglihatan
g. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
h. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
i. Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl
j. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
a. Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan
20 minggu)

48
b. Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu
Pada kasus Ny.U diagnosa PEB ditegakkan karena tekanan diastole >160
yaitu 163 mmHg.
Tatalaksana Umum
a. Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan
sirkulasi (cairan intravena).
b. MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai
tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
c. Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis
awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang
memadai.
d. Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang
ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif.
CARA PEMBERIAN MGSO4
a. Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang.
b. Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam
sesuai prosedur.

CARA PEMBERIAN DOSIS AWAL

• Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan


larutkan dengan 10 ml akuades
• Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
• Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml
larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan

CARA PEMBERIAN DOSIS RUMATAN

• Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan kecepatan
28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan
atau kejang berakhir (bila eklampsia)

c. Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi


nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.

49
d. Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks
tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg
BB/jam), segera hentikan pemberian MgSO4.
e. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
f. Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai
adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan
penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali
MgSO4 2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4
ulangan masih terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian
diazepam 10 mg IV selama 2 menit.
Pada Ny. U diberikan dosis awal 4 g larutan MgSO4 40% dosis awal
secara IV dan dosis rumatan 6 g MgSO4 40% dalam larutan RL dengan kecepatan
28 tetes/menit. Sehingga terjadi Kesesuaian antara teori dengan lahan praktik.
Persalinan adalah rangakaian proses yang berakhir dengan pengeluaran
hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini mulai dengan kontraksi persalinan sejati, yang
ditandai oleh perubahan progesif pada serviks dan diakhiri dengan pelahiran
plasenta.
Penanganan asuhan persalinan di VK RSUD Brebes adalah segera setelah
pasien datang pada pukul 03.00 WIB dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
yang dilengkapi dengan pemeriksaan dalam. Setelah diketahui hasilnya, pasien
diketahui memiliki diagnosa Ketuban Pecah Dini dan Pre Eklamsi Berat
didapatkan tensi darah ibu tinggi yaitu 163/95 mmhg serta protein urin
(+),sebelumnya diberikan terapi Amoxicilin 1 tablet per oral. Ibu diberikan terapi
atas advice dokter SpOG, MgSO4 bolus. Ibu merasa ingin BAB dan meneran pada
pukul 15.00 WIB (Kamis, 3 Januari 2019) dengan sebelumnya telah dilakukan
pemeriksaan dalam pada pukul 15.00 WIB yang hasilnya adalah pembukaan 10
cm, ibu mengaku keluar air-air sejak tanggal 2 Januari jam 23.00 WIB. Setelah
memastikan kelengkapan alat, meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan
posisi ibu untuk meneran dan melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai
dorongan yang kuat untuk meneran. Kemudian dilakukan pertolongan persalinan
secara APN, bayi lahir normal, spontan, segera menangis pada pukul 15.40 WIB.

50
Dari uraian kasus tersebut tampak ada kesesuaian antara teori dan praktik di
lapangan di mana proses pertolongan persalinan dilakukan secara APN dan sesuai
dengan kebutuhan pasien dengan preeklampsia berat dan KPD.
Manajemen Aktif Kala III segera dilakukan setelah bayi lahir.
Penengangan tali pusat terkendali dilakukan setelah ada tanda-tanda pelepasan
plasenta yaitu adanya semburan darah dari jalan lahir, tali pusat memanjang dan
uterus globuler. Plasenta lahir lengkap pukul 15.45 WIB. Berdasarkan hal tersebut
tampak adanya kesesuaian antara teori dan penatalaksanaan di lapangan.
Kala IV adalah kala pengawasan dari 1-2 jam setelah bayi dan plasenta
lahir. (Elisabeth Siwi, 2015)
Ny.U dilakukan pemantauan kala IV selama 2 jam dimulai dari plasenta
lahir pukul 15.45 WIB sampai pukul 17.45 dengan hasil terlampir pada partograf.
Dari uraian kasus tersebut, tampak adanya kesesuaian antara teori dan
penatalaksanaan di lapangan.

B. Masa Nifas
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Masa nifas kira-kira
berlangsung selama 6 minggu (Wiknjosastro, 2007).
Berdasarkan anamnesa didapatkan hasil bahwa Ny. U masih merasakan
mules. Hal ini bersifat fisiologis karena pada saat ini uterus secara berangsur-
angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil
(Varney, 2008).
1. Kunjungan I
Pada Ny. U TFU setinggi pusat, kontraksi uterus baik dan keras,
kandung kemih kosong, pengeluaran lochea rubra. Semua hasil pemeriksaan
tidak ada kelainan dan tidak terjadi perdarahan. Menurut teori terjadi
pengeluaran lochea rubra selama 2 hari pasca persalinan. (Maida, 2014). Hal
ini tidak ada kesenjangan antara teori dengan praktik.
Penulis membuat perencanaan yang dibuat berdasarakan diagnosa dan
kebutuhan sesuai dengan asuhan kebidanan post partum normal pada Ny. U
umur 42 tahun P3A0 diantaranya : Beritahu ibu dan keluarga tentang cara

51
menilai kontraksi dan cara massase uterus untuk mencegah perdarahan,
anjurkan untuk menyusui ASI Eksklusif dan anjurkan Ibu untuk menjaga bayi
tetap hangat agar tidak terjadi hipotermi. Hal ini sesuai dengan teori menurut
Elisabeth Siwi Walyani kunjungan masa nifas pertama asuhan yang diberikan
yaitu pencegahan perdarahan masa nifas, pemberian ASI Eksklusif pada masa
awal dan menjaga bayi tetap hangat.

C. Bayi Baru Lahir


Bayi baru lahir Ny.U telah dilakukan penjagaan suhu tubuh, mengeringkan
bay, memantau tanda bahaya, dan melakukan IMD. Pada 1 jam pertama diberikan
vit K1 dan salep mata oxytetracyclin. Setelah 2 jam diberikan imunisasi HB0 0,5
mL. Hal ini sudah sesuai teori tentang asuhan pada bayi baru lahir menurut
Kemenkes RI 2012, yaitu:
a. Menjaga bayi tetap hangat,
b. Isap lendir dari mulut dan hidung
c. Mengeringkan bayi
d. Pemantauan tanda bahaya
e. Melakukan IMD
f. Beri suntikan Vit K1 1mg
g. Memberi salep mata
h. Pemeriksaan fisik
i. Memberi imunisasi HB0 0,5 mL di paha kanan anterorateral, 1-2 jam setelah
pemberian vit K1
Pemeriksaan bayi baru lahir di RSUD Brebes, dimulai saat bayi tersebut baru
lahir hingga bayi diizinkan dibawa pulang dalam kondisi yang sehat. Pemeriksaan
fisik pada bayi dilakukan secara menyeluruh atau head to toe. Pada kasus bayi
Ny.U, bayi lahir normal. Berdasarkan uraian tersebut adanya kesesuaian antara
teori dan praktik di lapangan.

52
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Setelah penulis melakukan asuhan kebidanan pada Ny. U usia 42 tahun
dapat disimpulkan bahwa:
1. Asuhan kebidanan pada Ny. U selama kehamilan sudah dilakukan sesuai
kebutuhan pasien serta kewenangan bidan. Pemeriksaan fisik kehamilan
dilakukan secara head to toe dengan sebelumnya melakukan anamnesa guna
menegakkan diagnosa sehingga tindakan serta pemberian pendidikan
kesehatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan ibu saat itu.
2. Asuhan kebidanan pada Ny. U selama persalinan berlangsung normal serta
spontan. Dilakukan persiapan alat serta bahan dan pertolongan persalinan
normal sesuai dengan buku panduan APN 2008.
3. Asuhan kebidanan pada Ny. U selama masa nifas berlangsung normal.
Dilakukan pemeriksaan fisik selama pasien berada di rumah sakit guna
mencegah, mendeteksi serta mengatasi masalah selama masa nifas sesuai
dengan kewenangan bidan.
4. Asuhan kebidanan pada bayi Ny, U sudah dilakukan sesuai dengan standar
asuhan bayi baru lahir. Dimulai saat pemeriksaan fisik pada 4 jam pertama saat
bayi lahir hingga pemeriksaan fisik yang dilakukan saat bayi dalam perawatan
di rumah sakit. Pendidikan kesehatan dilakukan sesuai kewenangan bidan dan
kebutuhan pasien.

B. Saran
Diharapkan bidan maupun calon bidan dapat melakukan asuhan kebidanan
secara komprehensif sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayi
dapat ditekan.

53
Daftar Pustaka

1. WHO, 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilias Kesehatan Dasar
Dan Rujukan. Jakarta.
2. Bari, Abdul, dkk, 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

54

You might also like