Professional Documents
Culture Documents
Oleh Kelompok 3:
Chandra Aditya Alma (041724253010)
Nina Septika. W. (041724253008)
Nur Habiba Rachmi (041724253041)
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
Latar Belakang
Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi signifikan serta
dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara. Jika kekuatan dan kekayaan laut
diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Salah satu
kekayaan laut yang perlu diperhatikan adalah sektor perikanan. Sektor perikanan merupakan
suatu komoditas yang bernilai bagi suatu negara, mengingat konsumsi ikan di dunia sangatlah
tinggi, hal ini tidak terlepas dari manfaat kandungan gizi yang ada dalam ikan itu sendiri.
Konsumsi per kapita dunia untuk ikan setiap tahunnya diperkirakan meningkat dari 16 kg untuk
saat ini menjadi 19 kg tahun 2015. Dari proyeksi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
konsumsi secara keseluruhan akan terus meningkat.
Pengembangan ekspor produk perikanan harus memperhatikan share (signifikan)
kawasan impor yang menunjukkan kekuatan pasar, maka tumpuan pengembangan juga terdapat
di empat kawasan yakni Asia (Jepang dan Cina), AS, EU karena 95 % pasar dunia berada di
kawasan ini. Daya serap (demand) suatu negara tergantung keadaan ekonomi negara dan analog
dengan pendapatan perkapita / disposible income dengan demikian proyeksi target tujuan pasar
yang dikembangkan haruslah disesuaikan trend pendapatan perkapita di kawasan itu. Indonesia
yang wilayah perairan laut mencapai 70% merupakan suatu keunggulan tersendiri di bidang
industri perikanan, hal ini membutuhkan suatu regulasi yang tepat dalam mengatur bisnis di
bidang perikanan.
Berdasarkan cara memproduksinya, sektor perikanan pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua sub-sektor, yakni perikanan tangkap (capture fisheries) dan
perikanan budidaya (aquaculture) (FAO, 2010). Selanjutnya, kegiatan usaha perikanan tangkap
dapat dilakukan di ekosistem perairan laut, dan ekosistem perairan umum yang meliputi danau,
sungai, waduk (bendungan), dan perairan rawa. Sementara, perikanan budidaya dapat
berlangsung di laut (mariculture), perairan payau (brackishwater/coastal aquaculture), perairan
umum, kolam air tawar, saluran irigasi, dan akuarium.
Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup penelitian ini, deskripsi mengenai dinamika
perkembangan kebijakan pengelolaan pembangunan perikanan memfokuskan pada subsektor
perikanan tangkap, meskipun ada beberapa aspek yang terkait dengan perikanan budidaya serta
industri hulu, hilir, dan industri dan jasa penunjang dari perikanan tangkap diuraikan pula;
karena antar komponen sektor perikanan tersebut saling terkait satu sama lain.
Di era globalisasi ini, pada hakikatnya hampir semua wilayah di dunia, terhubungkan
satu sama lain melalui hubungan perdagangan barang dan jasa (goods and services), pertukaran
manusia (tenaga kerja), kegiatan ekonomi dan bisnis, dan informasi. Selain berbagai bentuk
interaksi antar wilayah tersebut, dalam subsektor perikanan tangkap, keterkaitan antar wilayah
tersebut lebih dipererat lagi melalui aliran (arus) masa air laut dan pergerakan ikan serta biota
laut lainnya, dan dinamika iklim global.
Periode Pra-Industri
Periode pertama: Pra-industri perikanan berlangsung sangat lama, jutaan tahun, sejak pertama
kali manusia primitif dengan tangan atau peralatan seadanya mengumpulkan ikan dari tepian
pantai, sungai dan perairan lainnya sampai ditetapkannya ikan (seafood) sebagai komoditas
ekonomi. Periode ini diperkirakan berlangsung sampai pada akhir abad ke-19.
Periode Industri
Perikanan industri yang diawali dengan penggunaan kapal penangkap ikan bermesin pertama
berlangsung kurang dari 200 tahun. Sejak awal abad ke-20, dunia usaha perikanan telah
mentransformasi dirinya dari yang bersifat subsisten (artisanal) menjadi salah satu industri
penghasil dan pengolah makanan terbesar di dunia. Armada perikanan modern berskala besar
dengan ukuran kapal mencapai ribuan ton dan dilengkapi alat tangkap modern (seperti trawlers,
purse seines, long-lines beserta peralatan pendukungnya termasuk fish finders, GPS, GIS dan
remote sensing) berkembang sangat pesat, utamanya di negara-negara Eropa (Spanyol, Uni
Soviet, Portugis, Islandia, Norwegia, Italia dan Inggris), Amerika Utara (AS dan Kanada), dan
Asia (Jepang, Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand).
Modernisasi untuk menangkap ikan dari laut secara besar-besaran juga dilakukan
negara-negara berkembang hampir di seluruh dunia. Akibatnya, laju penangkapan ikan di
berbagai laut dunia meningkat sangat tajam. Akhirnya total hasil tangkapan laut dunia mencapai
puncak (maximum sustainable yield atau potensi lestari maksimum) sekitar 100 juta ton/tahun
pada 1995. Selanjutnya, menurut FAO (2006), total hasil tangkapan ikan dunia terus menurun
dari tahun ke tahun, yang kini hanya mencapai sekitar 80 juta ton.
Tingginya tingkat penangkapan (fishing intensity) itu mengakibatkan overfishing
(tangkap lebih) berbagai jenis stok ikan, terutama spesies yang bernilai ekonomi tinggi (seperti
tuna dan jenis ikan pelagis besar lainnya, cod, salmon, udang dan sardine) di berbagai belahan
laut dunia. Dari 14 daerah penangkapan ikan utama (major fishing grounds) dunia, sembilan
diantaranya telah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited) atau tangkap lebih
(overfishing).Yang mengkhawatirkan adalah jumlah manusia dalam dasawarsa terakhir lebih
besar dari total produksi ikan dunia. Pasokan ikan per kapita secara global menurun dari 14,6
kg pada 1987 menjadi 13,1 pada 2000 (FAO, 2002).
Periode Krisis
Sejak 1995 sebenarnya perikanan dunia sudah memasuki periode ketiga, yakni periode
krisis. Apabila cara-cara pengelolaan usaha perikanan tangkap tidak segera diperbaiki, maka
dikhawatirkan usaha perikanan tangkap dunia akan bangkrut (collapse). Lamanya setiap
periode sejarah perikanan tersebut bervariasi di setiap kawasan. Di negara-negara Eropa dan
Amerika Utara misalnya, periode ke-2 (perikanan industri) itu berakhir pada awal 1980-an.
Boleh jadi periode perikanan industri di Nusantara kita baru mulai sejak diintroduksikannya
penggunaan pukat harimau (trawlers) dan pukat cincin (purse seines), sekitar awal 1970-an
(Soewito dkk, 2000).
Masa Kolonial
Di masa penjajahan (kolonial), sektor perikanan dikelompokkan menjadi dua: (1) perikanan
laut yang mengurusi tentang usaha perikanan tangkap dan segenap aspek yang terkait, dan (2)
perikanan darat yang mengurusi segala aspek mengenai perikanan budidaya.
Hampir seluruh kebijakan perikanan di zaman kolonial ditujukan untuk pemanfaatan
sumber daya ikan untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia dan mendatangkan manfaat
ekonomi, terutama bagi penjajah Belanda dan Jepang. Kebijakan utama pada saat itu meliputi:
(1) penelitian potensi perikanan laut dan perikanan darat, (2) pengembangan usaha perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, (3) penelitian dan pengembangan (R & D) untuk
menghasilkan teknologi yang dapat disebarluaskan kepada nelayan dan petani ikan, (4)
penyuluhan, (5) membentuk kelompok usaha perikanan seperti paguyuban nelayan dan
koperasi perikanan, (6) perlindungan sumberdaya ikan laut, dan (7) pembentukan dan
penyesuaian kelembagaan perikanan baik di tingkat pusat (Jakarta) maupun di daerah-daerah.
Meskipun di masa kolonial, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut masih sangat rendah,
kualitas perairan laut masih bersih (belum tercemar), dan perusakan terhadap ekosistem pesisir
(seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) sangat terbatas dan tidak
signifikan; tetapi Pemerintah Hindia Belanda saat itu telah mengeluarkan sejumlah kebijakan
dan peraturan-perundangan tentang perlindungan sumberdaya ikan dan lingkungan laut.
Beberapa peraturan yang penting adalah Staatsblad 1916 No.157 tentang kerang
mutiara, teripang, dan bunga karang dalam batas alur laut tidak lebih dari 3 mil laut. Staatsblad
1920 No. 396 tentang perlindungan sumberdaya ikan yang melarang penangkapan ikan dengan
menggunakan obat bius, bahan beracun, atau bahan peledak, kecuali untuk kepentingan
penelitian/ilmu pengetahuan dalam jangka waktu tertentu. Staatsblad 1927 No. 145 tentang
peraturan mengenai perburuan ikan paus dalam batas alur laut 3 mil laut dari pantai seluruh
Indonesia. Dan, penangkapan paus oleh nelayan Indonesia yang telah melakukannya secara
turun-temurun dibolehkan, sebagai pengecualian.
Selain itu, ada dua peraturan yang sifatnya lebih umum mengenai perikanan dan
kelautan, yaitu Staatsblad 1927 No. 144 tentang Ordonansi Perikanan Pantai, dan Staatsblad
1939 No. 442 tentang Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang di dalamnya
tercantum ketentuan perihal perikanan yang mengizinkan penangkapan ikan, selama tidak
bertentangan dengan kepentingan maritim.
Selama Perang Dunia II (1941 – 1945) praktis tidak ada kebijakan dan peraturan baru
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan secara keseluruhan. Hampir
semua aktivitas perikanan ditujukan untuk pengumpulan hasil perikanan sebagai bahan
makanan bagi tetara Jepang.
Analisis dinamika persaingan industri perikanan dengan menggunakan analisis lima kekuatan
porter, yaitu (1) ancaman produk pengganti, (2) ancaman pesaing, (3) ancaman pendatang baru,
(4) daya tawar pemasok, serta (5) daya tawar konsumen.
PEMBAHASAN
I. Ancaman Pendatang Baru
Di bidang perikanan, banyak peraturan pemerintah yang tidak konsisten serta
tidak memberi kepastian terhadap investasi. Terlalu regulasi yang tumpang tindih
dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. prosedur perijinan dirasakan rumit dan
panjang. Kepastian terhadap investasi jangka panjang sangat tidak mendukung
padahal yang dibutuhkan untuk Indonesia adalah investasi jangka panjang, bukan
jangka pendek. Regulasi tenaga kerja sangat restriktif, undang-undang perburuhan
yang baru sangat memukul investasi. Selain itu pajak dan non pajak serta restribusi
daerah tumpang tindih dan memberatkan usaha. PNBP di bidang penangkapan
dirasakan berat baik dilihat dari dimensi besarnya tarif, proses pungutan dan tidak
adanya restitusi walaupun dilakukan pembayaran di depan. Tarif pajak dirasa
kurang kondusif. Produktivitas tenaga kerja yang rendah dan inflasi yang cukup
tinggi. Kesemuanya itu tidak menunjang survival dan pertumbuhan industri
perikanan yang menyebabkan para investor enggan untuk masuk ke dalam industri
ini.
Namun sejak tahun 2015 pemerintah indonesia bertekad mempercepat
pembangunan industri perikanan dan kelautan untuk menjadi penggerak ekonomi
tanah air. Diharapkan, dengan luas perairan yang mencapai 70 persen dari total
wilayah Indonesia, kontribusi sektor perikanan dan kelautan dapat terus meningkat
terhadap Produk Dometik Bruto (PDB) nasional yang kini hanya 30 persen. Hal ini
terlihat dari nilai ekspor impor perikanan tahun 2016 mengalami peningkatan yang
menunjukan bahwa industri perikanan masih layak untuk menjadi sasaran bisnis.
Sumber: BPS 2016
Disamping hal diatas, perlu juga menjadi perhatian yaitu modal yang
besar akibat penggunaan teknologi yang tinggi dalam industri pengolahan ikan
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk masuk dalam industri pengolahan
ikan.
II. Tantangan produk pengganti
Produk pengganti industri perikanan memang sangat banyak sekali , namun
indusri ini dapat melakukan beberapa inovasi produk agar dapat meningkatan nilai
tambah pada produk industri ini. Pengembangan teknologi pengolahan menjadi faktor
penting dalam pelaksanaan program hilirisasi industri pangan berbasis perikanan. Di
Indonesia maupun di berbagai negara, produk olahan ikan sudah banyak diproduksi,
diantaranya ikan dalam kaleng, ikan beku, minyak ikan, tepung ikan dan pakan. Salah
satu produk olahan yang mempunyai potensi besar yaitu minyak ikan, dimana saat ini
produsen minyak ikan di Indonesia baru mampu menghasilkan minyak ikan dengan
kategori crude oil dan belum bisa memproduksi minyak ikan pangan (food grade).
Dengan kondisi tersebut diperlukan inovasi produk dan teknologi yang tinggi untuk
mengatasi ancaman dari produk pengganti.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis porter, dapat disimpulkan bahwa industri perikanan baik di
indonesia dan global merupakan industri yang layak dijadikan sasaran investasi bisnis.
Khususnya di indonesia, perkembangan industri perikanan mempunyai masa depan yang baik
hal ini tidak terlepas dari dukungan dan regulasi pemerintah indonesia yang sangat fokus akan
perkembangan industri perikanan. Namun konsidi yang ideal dan kondusif ini akan mencuri
perhatian para investor untuk melakukan investasi dalam industri ini, untuk itu bagi pelaku
industri yang lama diharapkan untuk dapat terus melakukan inovasi-inovasi dan peningkatan
teknologi untuk tetap mempunyai keunggulan bersaing dalam industri ini.
Sedangkan berdasar analisis SWOT berikut startegi yang digunakan dalam
mmenghadapi dinamika industri perikanan global
1. Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil
perikanan terutama UMKM
2. Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi
termasuk industri berbasis Bioteknologi
3. Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing
4. Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk
hasil olahan UMKM
5. Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar
6. Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki
nilai tambah tinggi
7. Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
8. Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
9. Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah yang
berpotensi
10. Penerapan Teknologi Budidaya
11. Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi
Produk tinggi.
12. Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP0
13. Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yan tinggi namun
pemanfaatannya masih rendah
14. Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan
Industri
15. Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan dengan nilai tambah
tinggi di lokus pilihan (Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
STRENG WEAKNESS (W)
TH (S)
1. Potensi sumber daya laut yang besar (perikanan 1. Ekspor produk hasil laut masih rendah
tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut) 2. Pemanfaatan potensi Perikanan untuk Industri
STRENGTH (S) & 2. Pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita perikanan tidak merata
WEAKNESS (W) hasil perikanan dan produk turunannya 3. Kemampuan Teknologi masih rendahpembangunan
3. Kebijakan pemerintah dan dukungan akademisi bagi industri masih pada bidang pengolahan yang memiliki
pengembangan industri pengolahan hasil laut. nilai tambah dan pengolahan yang rendah
4. Dukungan pemerintah daerah atas pengembangan 4. Infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri
perikanan pengolahan hasil laut belum merata
OPPORTUNITY 5. Produsen Ikan terbesar ke-2 di Dunia 5. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan tidak
(O) & 6. Sebaran UPI didominasi oleh UMKM yang berpotensi sesuai dengan suplai bahan bakau)
THREAT (T) dalam peningkatan ekonomi wilayah 6. Jaminan Kualitas dan Mutu Produk masih sangat rendah
7. Tidak meratanya sumberdaya perikanan tangkap (banyak
daerah overfishing)
1. Kebutuhan konsumsi dunia ataupun nasional atas S-O W-O
produk hasil perikanan yang semakin meningkat
(besarnya peluang ekspor) Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
OPPORTUNITY (O)
2. Meningkatnya kegiatan diversifikasi produk hasil populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
laut UMKM Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan
3. Tingginya keuntungan dan nilai tambah hasil laut Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi
non pangan. memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis Penerapan Teknologi Budidaya
4. Besarnya peluang untuk membangun industri Bioteknologi Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki
pengolahan di Wilayah penghasil lumbung ikan nilai tambah dan diversifikasi Produk tinggi.
nasional Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)
5. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang
memiliki potensi perikanan tinggi
1. Isu tentang food safety S-T W-T
2. Industri Hasil Perikanan di Indonesia saat ini masih
memiliki nilai tambah rendah Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi
3. Industri Pengolahan Perikanan Negara ASEAN peningkatan daya saing yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih
THREAT (T)
memiliki nilai tambah dan keuntungan yang tinggi Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah rendah (SSA rendah)
dalam menjaga food safety produk hasil olahan Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan
UMKM perbaikan sanitasi di UKM dan Industri
Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri
Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan Perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan
terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah (Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
tinggi
Daftar Pustaka
Soewito, S., Malangjoedo, S., Soesanto, V., Soeseno, S., Budiono, S. R., Asikin, M. T., &
Rachmatun, S. (2000). Sejarah perikanan Indonesia. Jakarta: Yasamina.
Soewito, M. (2000, July). Kesiapan dan Prasyarat Lembaga Asuransi Dalam Mendukung
Asuransi Pertanian di Indonesia. In Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari:
Perspektif Usaha Asuransi Pertanian di Indonesia. Jakarta (Vol. 20)
Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam
B A P P E N A S 2016. Kajian Strategi Industrialisasi Produk Perikanan untuk Membangun
Perekonomian Wilayah
http://www.fao.org/news/archive/news-by-date/2010/en/