You are on page 1of 19

ANALISIS DINAMIKA INDUSTRI PERIKANAN GLOBAL

Analisis Bisnis Strategik

Oleh Kelompok 3:
Chandra Aditya Alma (041724253010)
Nina Septika. W. (041724253008)
Nur Habiba Rachmi (041724253041)

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
Latar Belakang
Seiring perkembangan lingkungan strategis, peran laut menjadi signifikan serta
dominan dalam mengantar kemajuan suatu negara. Jika kekuatan dan kekayaan laut
diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Salah satu
kekayaan laut yang perlu diperhatikan adalah sektor perikanan. Sektor perikanan merupakan
suatu komoditas yang bernilai bagi suatu negara, mengingat konsumsi ikan di dunia sangatlah
tinggi, hal ini tidak terlepas dari manfaat kandungan gizi yang ada dalam ikan itu sendiri.
Konsumsi per kapita dunia untuk ikan setiap tahunnya diperkirakan meningkat dari 16 kg untuk
saat ini menjadi 19 kg tahun 2015. Dari proyeksi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan
konsumsi secara keseluruhan akan terus meningkat.
Pengembangan ekspor produk perikanan harus memperhatikan share (signifikan)
kawasan impor yang menunjukkan kekuatan pasar, maka tumpuan pengembangan juga terdapat
di empat kawasan yakni Asia (Jepang dan Cina), AS, EU karena 95 % pasar dunia berada di
kawasan ini. Daya serap (demand) suatu negara tergantung keadaan ekonomi negara dan analog
dengan pendapatan perkapita / disposible income dengan demikian proyeksi target tujuan pasar
yang dikembangkan haruslah disesuaikan trend pendapatan perkapita di kawasan itu. Indonesia
yang wilayah perairan laut mencapai 70% merupakan suatu keunggulan tersendiri di bidang
industri perikanan, hal ini membutuhkan suatu regulasi yang tepat dalam mengatur bisnis di
bidang perikanan.
Berdasarkan cara memproduksinya, sektor perikanan pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua sub-sektor, yakni perikanan tangkap (capture fisheries) dan
perikanan budidaya (aquaculture) (FAO, 2010). Selanjutnya, kegiatan usaha perikanan tangkap
dapat dilakukan di ekosistem perairan laut, dan ekosistem perairan umum yang meliputi danau,
sungai, waduk (bendungan), dan perairan rawa. Sementara, perikanan budidaya dapat
berlangsung di laut (mariculture), perairan payau (brackishwater/coastal aquaculture), perairan
umum, kolam air tawar, saluran irigasi, dan akuarium.
Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup penelitian ini, deskripsi mengenai dinamika
perkembangan kebijakan pengelolaan pembangunan perikanan memfokuskan pada subsektor
perikanan tangkap, meskipun ada beberapa aspek yang terkait dengan perikanan budidaya serta
industri hulu, hilir, dan industri dan jasa penunjang dari perikanan tangkap diuraikan pula;
karena antar komponen sektor perikanan tersebut saling terkait satu sama lain.
Di era globalisasi ini, pada hakikatnya hampir semua wilayah di dunia, terhubungkan
satu sama lain melalui hubungan perdagangan barang dan jasa (goods and services), pertukaran
manusia (tenaga kerja), kegiatan ekonomi dan bisnis, dan informasi. Selain berbagai bentuk
interaksi antar wilayah tersebut, dalam subsektor perikanan tangkap, keterkaitan antar wilayah
tersebut lebih dipererat lagi melalui aliran (arus) masa air laut dan pergerakan ikan serta biota
laut lainnya, dan dinamika iklim global.

Dinamika Perikanan Global


Menurut Saraghe and Lundbtck (1994), para ahli sejarah perikanan dunia membagi periode
sejarah perikanan tangkap pada tataran global menjadi tiga periode, yakni pra-industri, industri
dan krisis.

Periode Pra-Industri
Periode pertama: Pra-industri perikanan berlangsung sangat lama, jutaan tahun, sejak pertama
kali manusia primitif dengan tangan atau peralatan seadanya mengumpulkan ikan dari tepian
pantai, sungai dan perairan lainnya sampai ditetapkannya ikan (seafood) sebagai komoditas
ekonomi. Periode ini diperkirakan berlangsung sampai pada akhir abad ke-19.

Periode Industri
Perikanan industri yang diawali dengan penggunaan kapal penangkap ikan bermesin pertama
berlangsung kurang dari 200 tahun. Sejak awal abad ke-20, dunia usaha perikanan telah
mentransformasi dirinya dari yang bersifat subsisten (artisanal) menjadi salah satu industri
penghasil dan pengolah makanan terbesar di dunia. Armada perikanan modern berskala besar
dengan ukuran kapal mencapai ribuan ton dan dilengkapi alat tangkap modern (seperti trawlers,
purse seines, long-lines beserta peralatan pendukungnya termasuk fish finders, GPS, GIS dan
remote sensing) berkembang sangat pesat, utamanya di negara-negara Eropa (Spanyol, Uni
Soviet, Portugis, Islandia, Norwegia, Italia dan Inggris), Amerika Utara (AS dan Kanada), dan
Asia (Jepang, Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand).
Modernisasi untuk menangkap ikan dari laut secara besar-besaran juga dilakukan
negara-negara berkembang hampir di seluruh dunia. Akibatnya, laju penangkapan ikan di
berbagai laut dunia meningkat sangat tajam. Akhirnya total hasil tangkapan laut dunia mencapai
puncak (maximum sustainable yield atau potensi lestari maksimum) sekitar 100 juta ton/tahun
pada 1995. Selanjutnya, menurut FAO (2006), total hasil tangkapan ikan dunia terus menurun
dari tahun ke tahun, yang kini hanya mencapai sekitar 80 juta ton.
Tingginya tingkat penangkapan (fishing intensity) itu mengakibatkan overfishing
(tangkap lebih) berbagai jenis stok ikan, terutama spesies yang bernilai ekonomi tinggi (seperti
tuna dan jenis ikan pelagis besar lainnya, cod, salmon, udang dan sardine) di berbagai belahan
laut dunia. Dari 14 daerah penangkapan ikan utama (major fishing grounds) dunia, sembilan
diantaranya telah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited) atau tangkap lebih
(overfishing).Yang mengkhawatirkan adalah jumlah manusia dalam dasawarsa terakhir lebih
besar dari total produksi ikan dunia. Pasokan ikan per kapita secara global menurun dari 14,6
kg pada 1987 menjadi 13,1 pada 2000 (FAO, 2002).

Periode Krisis
Sejak 1995 sebenarnya perikanan dunia sudah memasuki periode ketiga, yakni periode
krisis. Apabila cara-cara pengelolaan usaha perikanan tangkap tidak segera diperbaiki, maka
dikhawatirkan usaha perikanan tangkap dunia akan bangkrut (collapse). Lamanya setiap
periode sejarah perikanan tersebut bervariasi di setiap kawasan. Di negara-negara Eropa dan
Amerika Utara misalnya, periode ke-2 (perikanan industri) itu berakhir pada awal 1980-an.
Boleh jadi periode perikanan industri di Nusantara kita baru mulai sejak diintroduksikannya
penggunaan pukat harimau (trawlers) dan pukat cincin (purse seines), sekitar awal 1970-an
(Soewito dkk, 2000).

Dinamika Kebijakan Pembangunan Perikanan Indonesia


Sejarah pembangunan perikanan di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi empat
periode: (1) masa kolonial, (2) masa kemerdekaan sampai 1967, (3) masa pembangunan 1968
– 1999, dan (4) sejak berdirinya DKP/KKP (Soewito, 2000).

Masa Kolonial
Di masa penjajahan (kolonial), sektor perikanan dikelompokkan menjadi dua: (1) perikanan
laut yang mengurusi tentang usaha perikanan tangkap dan segenap aspek yang terkait, dan (2)
perikanan darat yang mengurusi segala aspek mengenai perikanan budidaya.
Hampir seluruh kebijakan perikanan di zaman kolonial ditujukan untuk pemanfaatan
sumber daya ikan untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia dan mendatangkan manfaat
ekonomi, terutama bagi penjajah Belanda dan Jepang. Kebijakan utama pada saat itu meliputi:
(1) penelitian potensi perikanan laut dan perikanan darat, (2) pengembangan usaha perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, (3) penelitian dan pengembangan (R & D) untuk
menghasilkan teknologi yang dapat disebarluaskan kepada nelayan dan petani ikan, (4)
penyuluhan, (5) membentuk kelompok usaha perikanan seperti paguyuban nelayan dan
koperasi perikanan, (6) perlindungan sumberdaya ikan laut, dan (7) pembentukan dan
penyesuaian kelembagaan perikanan baik di tingkat pusat (Jakarta) maupun di daerah-daerah.
Meskipun di masa kolonial, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut masih sangat rendah,
kualitas perairan laut masih bersih (belum tercemar), dan perusakan terhadap ekosistem pesisir
(seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) sangat terbatas dan tidak
signifikan; tetapi Pemerintah Hindia Belanda saat itu telah mengeluarkan sejumlah kebijakan
dan peraturan-perundangan tentang perlindungan sumberdaya ikan dan lingkungan laut.
Beberapa peraturan yang penting adalah Staatsblad 1916 No.157 tentang kerang
mutiara, teripang, dan bunga karang dalam batas alur laut tidak lebih dari 3 mil laut. Staatsblad
1920 No. 396 tentang perlindungan sumberdaya ikan yang melarang penangkapan ikan dengan
menggunakan obat bius, bahan beracun, atau bahan peledak, kecuali untuk kepentingan
penelitian/ilmu pengetahuan dalam jangka waktu tertentu. Staatsblad 1927 No. 145 tentang
peraturan mengenai perburuan ikan paus dalam batas alur laut 3 mil laut dari pantai seluruh
Indonesia. Dan, penangkapan paus oleh nelayan Indonesia yang telah melakukannya secara
turun-temurun dibolehkan, sebagai pengecualian.
Selain itu, ada dua peraturan yang sifatnya lebih umum mengenai perikanan dan
kelautan, yaitu Staatsblad 1927 No. 144 tentang Ordonansi Perikanan Pantai, dan Staatsblad
1939 No. 442 tentang Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang di dalamnya
tercantum ketentuan perihal perikanan yang mengizinkan penangkapan ikan, selama tidak
bertentangan dengan kepentingan maritim.
Selama Perang Dunia II (1941 – 1945) praktis tidak ada kebijakan dan peraturan baru
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan perikanan secara keseluruhan. Hampir
semua aktivitas perikanan ditujukan untuk pengumpulan hasil perikanan sebagai bahan
makanan bagi tetara Jepang.

Masa Kemerdekaan – 1967


Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai 1967, sebagian besar peraturan dan
perundangan tentang perikanan dan kelautan di zaman penjajahan masih diberlakukan. Pada
1960, Pemerintah RI menerbitkan UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia, yang menyatakan
bahwa wilayah Perairan Indonesia selebar 12 mil laut dari pantai. Kemudian, dengan
diberlakukannya Keppres No. 103/1963, maka wilayah Perairan Indonesia sebagai lingkungan
maritim tahun 1939 tidak berlaku lagi. Dengan demikian, sejak merdeka (1945) sampai 1967
pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan pembangunan yang berarti, termasuk di sektor
perikanan, karena hampir seluruh energi dan kapasitasnya terpakai untuk meredam berbagai
gejolak politik, pergantian sistem pemerintahaan, dan pembenahan organisasi pemerintahan.
Masa Pembangunan 1968 – 1999
Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut di masa kolonial hingga sebelum masa pembangunan
(1968) masih sangat rendah. Lebih dari 95 persen kegiatan perikanan tangkap masih bersifat
subsisten hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan sendiri (Soewito, et al., 2000).
Kemampuan nelayan beroperasi dengan perahu layarnya hanya terbatas pada perairan laut yang
dekat pantai (nearshore fisheries). Sementara itu, kondisi lingkungan laut belum terpengaruh
oleh pencemaran dan perusakan lingkungan lainnya. Atas dasar kondisi nyata tersebut, sampai
akhir 1973 Pemerintah RI c.q. Ditjen. Perikanan belum menganggap perlu melakukan
penelitian tentang besarnya potensi sumberdaya ikan laut. Status pemanfaatan sumberdaya ikan
laut saat itu dapat dikatakan masih underfishing (kurang diusahakan), sehingga belum ada
kebijakan dan peraturan yang secara khusus membatasi intensitas (tingkat) pemanfaatan
sumberdaya ikan laut. Sebaliknya, sebagian besar kebijakan justru diorientasikan untuk
meningkatkan produksi perikanan, terutama dari perikanan tangkap di laut. Kondisi kebijakan
semacam ini berlangsung hingga akhir 1980-an.
Pada tahun 1973 dan 1974 dilakukan pendugaan stok (stock assessment) ikan secara
terbatas di wilayah Laut Indonesia, dan hasilnya mengungkapkan bahwa potensi produksi
lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan Laut Indonesia adalah sekitar 4,5
juta ton/tahun. Kemudian, dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
pada 1983 sebagai keputusan dari UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the
Sea) 1982, maka potensi produksi lestari sumberdaya ikan Laut Indonesia bertambah sebesar
2,1 juta ton/tahun menjadi 6,6 juta ton/tahun. Nilai inilah yang dijadikan dasar dalam kebijakan
pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap di laut sampai tahun 1991 (Soewito, et al.,
2000).
Pendugaan stok sumberdaya ikan laut berikutnya dilaksanakan pada 1991 oleh Ditjen.
Perikanan, Puslitbang Perikanan, dan Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hasilnya justru nilai MSY
sumberdaya ikan laut Indonesia hanya sekitar 6,4 juta ton/tahun. Namun, informasinya menjadi
lebih lengkap, dijabarkan lebih rinci menurut WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) yang
jumlahnya sebanyak sembilan wilayah ketika itu, dan kelompok ikan, yakni pelagis besar,
pelagis kecil, demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, dan lainnya.
Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1975,
tingkat pemanfaatannya baru sebesar 25 persen dari nilai MSY, kemudian meningkat menjadi
38 persen dari nilai MSY, dan mencapai 64 persen dari nilai MSY pada 1999 (Soewito, et al.,
2000; Ditjen. Perikanan, 2000). Namun, tingkat pemanfaatannya tidak merata, baik antara
wilayah Indonesia Timur dan wilayah Indonesia Barat maupun antar wilayah pantai, lepas
pantai, dan ZEEI. Hal ini disebabkan karena sebagian besar nelayan (armada perikanan)
merupakan nelayan skala kecil (artisanal) yang kegiatan operasi penangkapannya berlangsung
di perairan pantai (dangkal), terutama di Paparan Sunda, seperti Laut Pantai Utara Jawa, Selat
Malaka, Selat Karimata, Selat Bali, dan Pantai Selatan Sulawesi. Di wilayah-wilayah laut
dangkal ini, sejak awal 1990-an tingkat pemanfaatannya sudah mencapi titik jenuh (fully
exploited), dan untuk beberapa jenis stok ikan (udang Penaeid dan ikan demersal) bahkan sudah
overfishing (tangkap lebih).
Berdasarkan pada potensi sumberdaya ikan laut dan status pemanfaatannya, maka
berbagai kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan pemerintah sejak 1968 hingga 1999
(sebelum dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan), berupa: (1) kebijakan
perlindungan sumberdaya ikan laut, dan (2) kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut.
Kebijakan perlindungan sumberdaya ikan laut memberikan informasi bahwa
pengelolaan perikanan tangkap sejak masa Orde Baru sebenarnya sudah mulai dilakukan,
meskipun hanya focus pada aspek pemeliharaan ekosistem mangrove dan aspek sumberdaya
ikan dan kegiatan penangkapan ikan. Pada masa itu pengelolaan mangrove menjadi tanggung
jawab Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, sedangkan rencana pembinaan
sumberdaya ikan yang terkait dengan mangrove oleh Dinas Perikanan setempat. Kebijakan
pengaturan penangkapan ikan laut yang berkaitan dengan sumberdaya ikan dan teknologi
penangkapan ikan menjadi mandate utama Direktorat Jendral Perikanan beserta Dinas
Perikanan Provinasi dan Kabupaten/Kotamadya.
Isi dari kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut meliputi: pembinaan kelestarian
kekayaan laut yang terdapat dalam sumberdaya perikanan Indonesia, ketentuan lebar mata
jaring “purse seine”, jalur-jalur penangkapan ikan, daerah penangkapan kapal trawl dasar,
jumlah kapal trawl dasar yang diijinkan beroperasi di setiap daerah penangkapan, larangan
operasi trawl, izin penangkapan udang dengan pukat udang sebagai pengganti jaring trawl, dan
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lampiran 2).

Sejak DKP/KKP Oktober 1999 – Sekarang


Keinginan agar Indonesia memiliki lembaga setingkat departemen yang khusus membidangi
urusan kelautan dan perikanan sudah digagas oleh para ahli, sarjana dan praktisi bisnis
perikanan dan kelautan sejak Konferensi Nasional Kelautan I pada tahun 1987 di Lembaga
Oseanologi Nasional (LON) LIPI, Jakarta. Rekomendasi utamanya adalah perlunya dibentuk
Departemen Kelautan, Departemen Perikanan, atau Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hasil Musyawarah Perikanan Nasional yang diselenggarakan oleh Masyarakat
Perikanan Nusantara (MPN) di Hotel Indonesia pada akhir 1996, mendesak pemerintah agar
segera membentuk Departemen Perikanan. Semangat untuk membentuk departemen khusus ini
didasari suatu keyakinan dan professional judgement, bahwa sebagai negara maritim dan
kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi pembangunan (ekonomi) yang beragam dan
sangat besar, sesungguhnya sumber daya kelautan dan perikanan dapat menjadi soko guru
(sumber pertumbuhan) ekonomi nasional dalam kerangka mewujudkan Indonesia yang maju,
makmur dan berdaulat. Namun, saat itu kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap
perekonomian bangsa (PDB) masih relatif sangat kecil.
Kesenjangan antara potensi dan pencapaian hasil pembangunan tersebut, bisa jadi
disebabkan karena instansi yang menangani urusan kelautan dan perikanan hanya Direktorat
Jenderal Perikanan di bawah Departemen Pertanian. Lembaga selevel Direktorat Jenderal
terlalu kecil untuk mengelola wilayah dan sumber daya kelautan-perikanan yang sangat
beragam dan besar, melibatkan begitu banyak pemangku kepentingan (stakeholders), dan
meliputi rentang geografis yang sangat luas, dari Sabang sampai Merauke.
Presiden Abdurrahman Wahid, yang memimpin Kabinet Persatuan Indonesia
membentuk Departemen Eksplorasi Laut melalui Keppres No.355/M/1999 tertanggal 26
Oktober 1999. Ditunjuk sebagai menterinya adalah Ir. Sarwono Kusumaatmaja. Melalui Kepres
No.177/2000 namanya berubah menjadi Departemen Kalautan dan Perikanan (Ministry of
Marine Affairs and Fisheries). Berdasarkan UU No.31/September/2004 tentang Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) juga memiliki tupoksi dalam mengurusi industri
pengolahan hasil perikanan dan pengadilan khusus perikanan.
Kondisi sumber daya kelautan dan perikanan yang diwariskan kepada DKP berada di
persimpangan jalan. Di satu sisi, potensi sumber daya perikanan, terutama perikanan budidaya
(di laut, perairan payau dan perairan tawar), masih sangat besar dan tingkat pemanfaatannya
masih rendah. Ini tentu menjanjikan prospek ekonomi yang cerah.
Di sisi lain, beberapa stok SDI (sumber daya ikan), khususnya udang penaeid, ikan
karang konsumsi dan beberapa ikan demersal di beberapa wilayah perairan (seperti sebagian
Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Selat Bali dan Pantai Selatan Sulawesi) telah mengalami
tangkap lebih (overfishing). Kondisi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass
beds), estuaria dan habitat perairan penting lainnya yang menjadi tempat pemijahan (spwaning
grounds), tempat mencari makan (feeding grounds), tempat asuhan (nursery grounds) dan alur
ruaya (migratory routes) ikan dan organisme perairan lainnya telah mengalami kerusakan yang
cukup parah, baik akibat perusakan secara fisik (penebangan, penambangan, reklamasi dan
kegiatan manusia lainnya) maupun pencemaran (pollution).
Sebagian besar nelayan (70 persen) saat itu tergolong pra-sejahtera atau miskin.
Kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) oleh para nelayan asing pun lagi marak. Hampir 1 juta
ton ikan setiap tahunnya dicuri oleh mereka, dengan nilai sekitar US$ 4 miliar/tahun. Dukungan
politik-ekonomi (seperti kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan, infrastruktur, permodalan,
SDM dan Iptek) terhadap sektor kelautan dan perikanan saat itu pun masih sangat rendah.
Mayoritas rakyat mendambakan sektor baru ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang
mampu memakmurkan bangsa. September 2001 DKP secara resmi mempublikasikan Visi,
Misi, Kebijakan dan Program Utamanya. Visinya adalah: ”Ekosistem laut dan perairan tawar
beserta segenap sumber daya alam yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Allah
SWT yang harus disyukuri, dipelihara kelestariannya dan didayagunakan secara optimal dan
berkelanjutan bagi kemajuan, kesejahteraan dan kesatuan bangsa”.
Sementara itu, misi DKP ada lima. Pertama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat
nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainnya. Kedua, meningkatkan peran sektor
kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Ketiga,
meningkatkan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan dan
produk perikanan. Keempat, memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kualitas
lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan. Kelima, menjadikan laut
sebagai pemersatu bangsa dan meningkatkan budaya bahari bangsa.
Berbagai kebijakan dan peraturan yang telah dikeluarkan guna mencapai visi dan misi DKP
adalah:
1. Pengendalian dan optimalisasi tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai potensi
produksi lestari.
2. Pengembangan usaha perikanan budidaya di lingkungan perairan laut, payau, dan tawar
sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayah setempat.
3. Penguatan dan pengembangan industri pengolahan hasil perikanan untuk meningkatkan
nilai tambah produk perikanan, menciptakan lapangan kerja, dan multilplier effects.
4. Pengembangan industri bioteknologi kelautan dan perikanan.
5. Pembangunan dan investasi pulau-pulau kecil secara optimal, berbasis masyarakat, dan
berkelanjutan.
6. Pengembangan usaha sumberdaya kelautan non-konvensional, seperti BMKT (Benda
Muatan Asal Kapal Tenggelam), industri laut dalam (deep sea water industries), dan
lainnya.
7. Penguatan dan pengembangan pemasaran produk dan jasa kelautan dan perikanan, baik
pasar domestik maupun pasar global.
8. Pengembangan etalase (role models) kawasan industri perikanan terpadu berbasis
perikanan tangkap dan perikanan budidaya di setiap provinsi.
9. Seluruh kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan harus berdasarkan pada prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan yang antara lain mencakup tata ruang, konservasi
biodiversity, pengendalian pencemaran, dan design and construction with nature.
10. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, gempa bumi, badai,
banjir, dan bencana alam lainnya.
ANALISIS DINAMIKA PERSAINGAN INDUSTRI PERIKANAN
FIVE FORCES PORTER ANALYSIS

Analisis dinamika persaingan industri perikanan dengan menggunakan analisis lima kekuatan
porter, yaitu (1) ancaman produk pengganti, (2) ancaman pesaing, (3) ancaman pendatang baru,
(4) daya tawar pemasok, serta (5) daya tawar konsumen.
PEMBAHASAN
I. Ancaman Pendatang Baru
Di bidang perikanan, banyak peraturan pemerintah yang tidak konsisten serta
tidak memberi kepastian terhadap investasi. Terlalu regulasi yang tumpang tindih
dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. prosedur perijinan dirasakan rumit dan
panjang. Kepastian terhadap investasi jangka panjang sangat tidak mendukung
padahal yang dibutuhkan untuk Indonesia adalah investasi jangka panjang, bukan
jangka pendek. Regulasi tenaga kerja sangat restriktif, undang-undang perburuhan
yang baru sangat memukul investasi. Selain itu pajak dan non pajak serta restribusi
daerah tumpang tindih dan memberatkan usaha. PNBP di bidang penangkapan
dirasakan berat baik dilihat dari dimensi besarnya tarif, proses pungutan dan tidak
adanya restitusi walaupun dilakukan pembayaran di depan. Tarif pajak dirasa
kurang kondusif. Produktivitas tenaga kerja yang rendah dan inflasi yang cukup
tinggi. Kesemuanya itu tidak menunjang survival dan pertumbuhan industri
perikanan yang menyebabkan para investor enggan untuk masuk ke dalam industri
ini.
Namun sejak tahun 2015 pemerintah indonesia bertekad mempercepat
pembangunan industri perikanan dan kelautan untuk menjadi penggerak ekonomi
tanah air. Diharapkan, dengan luas perairan yang mencapai 70 persen dari total
wilayah Indonesia, kontribusi sektor perikanan dan kelautan dapat terus meningkat
terhadap Produk Dometik Bruto (PDB) nasional yang kini hanya 30 persen. Hal ini
terlihat dari nilai ekspor impor perikanan tahun 2016 mengalami peningkatan yang
menunjukan bahwa industri perikanan masih layak untuk menjadi sasaran bisnis.
Sumber: BPS 2016

Disamping hal diatas, perlu juga menjadi perhatian yaitu modal yang
besar akibat penggunaan teknologi yang tinggi dalam industri pengolahan ikan
merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk masuk dalam industri pengolahan
ikan.
II. Tantangan produk pengganti
Produk pengganti industri perikanan memang sangat banyak sekali , namun
indusri ini dapat melakukan beberapa inovasi produk agar dapat meningkatan nilai
tambah pada produk industri ini. Pengembangan teknologi pengolahan menjadi faktor
penting dalam pelaksanaan program hilirisasi industri pangan berbasis perikanan. Di
Indonesia maupun di berbagai negara, produk olahan ikan sudah banyak diproduksi,
diantaranya ikan dalam kaleng, ikan beku, minyak ikan, tepung ikan dan pakan. Salah
satu produk olahan yang mempunyai potensi besar yaitu minyak ikan, dimana saat ini
produsen minyak ikan di Indonesia baru mampu menghasilkan minyak ikan dengan
kategori crude oil dan belum bisa memproduksi minyak ikan pangan (food grade).
Dengan kondisi tersebut diperlukan inovasi produk dan teknologi yang tinggi untuk
mengatasi ancaman dari produk pengganti.

III. Kekuatan Rantai Pasok (Supplier Value Chain)


Dukungan pemerintah terhadap insustri perikanan sangatlah kuat, terlihat dari
konsentrasi pemerintah untuk percepatan industri perikanan nasional yang pada intinya
menjamin pasokan ikan yang melimpah dengan pemberdayaan masyarakat nelayan
yang notabene sebagai supplier dalam industri perikanan ini. Dapat disimpulkan bahwa
supplier dalam industri ini sangatlah banyak sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran
terkait ketersediaan bahan pasokan.

Selain itu Kementerian Perindustrian juga terus meningkatkan kemitraan dengan


instansi terkait dan dunia usaha untuk membangun integrasi antara sisi hulu dan hilir.
Upaya tersebut diharapkan mampu meningkatkan jaminan pasokan bahan baku serta
jaminan mutu dan keamanan produk industri pengolahan ikan.
IV. Kekuatan jual dengan pembeli
Pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri sangat besar sekali
mengingat jumlah penduduk indonesia yang sangat besar, adanya gerakan “Gemar
Makan Ikan” yang diluncurkan oleh pemerintah merupakan salah satu penyebab
meningkatnya konsumsi ikan . Untuk kebutuhan ekspor juga sangat tinggi sekali,
terlihat dalam data International Trade Centre 2017 yang menyatakan bahwa demand
dari negara importir ikan seperti jepang, USA, Itali dan lain-lain sangat besar sekali, hal
ini memperkuat analisis bahwa terdapat kuatnya daya beli oleh konsumen.

Sumber : Sumber : International Trade Centre (2017), diolah

V. Persaingan dalam industri


Menurut data dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2016,
Investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada sektor perikanan mencapai Rp
6,3 triliun (69,65 persen), sementara penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 2,7
triliun (30,35 persen). Para investor menanam modalnya sebesar Rp 6,88 triliun di
sektor pengolahan, sebanyak Rp 797,8 miliar di sektor budidaya, Rp 344,6 miliar pada
sektor perikanan tangkap, dan Rp 440,3 miliar pada bidang jasa perikanan.Investor
asing terbesar pada sektor perikanan Indonesia berasal dari negara Jepang (12 %),
British Virgin Islands dan China (masing-masing 3 %), Korea Selatan (2,03 %),
Singapura (2 %), Taiwan (1,34 %), dan Amerika Serikat (0,39 %). Beberapa negara
sejauh ini sudah menyampaikan minat untuk berinvestasi pada sektor kelautan dan
perikanan di Indonesia, misalnya Arab Saudi, Prancis dan Thailand.
Berdasarkan data di atas persaingan industri perikanan dapat dikatakan kondusif
hal ini tidak luput dari peran pemerintah sebagai regulator yang menjadikan iklim
investasi berjalan baik dan pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara.
Dapat diprediksi untuk tahun-tahun kedepan industri prikanan di indonesia akan
sangat kuat sekali, hal ini berkaitan dengan program prioritas pemerintah yang
berkonsentrasi pada pembangunan industri perikanan baru berbasis kawasan di pulau-
pulau terluar, modernisasi industri di 5 kawasan perikanan dan program prioritas
lainnya.
ANALISA SWOT INDUSTRI PERIKANAN GLOBAL
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kekuatan (strengths) industrialisasi perikanan
adalah: (1) potensi sumber daya laut yang besar, meliputi perikanan tangkap, perikanan
budidaya dan rumput laut; (2) pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita hasil
perikanan dan produk turunannya; (3) dukungan pemerintah dan akademisi bagi pengembangan
industri pengolahan hasil laut; (4) jumlah industri UKM perikanan yang melimpah; dan (5)
kebijakan daerah.
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai kelemahan (weakness) industrialisasi
perikanan adalah: (1) ekspor produk hasil laut masih rendah; (2) keterbatasan suplai bahan baku
terutama musim paceklik; (3) belum terintegrasinya teknologi penangkapan ikan sampai
dengan pengolahannya; (4) SDM dibidang industri pengolahan hasil laut masih belum siap
pakai; (5) infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri pengolahan hasil laut masih
terbatas; (6) kapasitas produksi industri pengolahan ikan belum optimal; (7) jaminan kualitas
dan mutu produk UKM masih sangat rendah; (8) kesenjangan pembangunan wilayah; dan (9)
sumber daya perikanan tangkap yang tidak meratanya
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai peluang (opportunities) industrialisasi
perikanan adalah: (1) kebutuhan konsumsi dunia produk hasil perikanan yang semakin
meningkat (besarnya peluang ekspor); (2) peluang diversifikasi produk hasil laut; dan (3)
kuantitas SDM yang banyak dan tersebar di berbagai sentra hasil laut.
Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai ancaman (threats) industrialisasi perikanan
adalah: (1) isu tentang food safety; (2) persyaratan dan standardisasi produk yang mengacu
pada standar internasional, masih sulit diadopsi dan diterapkan; (3) persyaratan ekspor semakin
ketat; (4) penerapan integrated technology negara pesaing; (5) persaingan yang sangat ketat
dalam mendapatkan bahan baku ikan segar; dan (6) produk lokal kurang kompetitif dibanding
China, Vietnam dan Thailand.(Kelautan, Bidang, & Daya, 2016) Matrik anlisa SWOT
ditampilkan pada Tabel 1

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis porter, dapat disimpulkan bahwa industri perikanan baik di
indonesia dan global merupakan industri yang layak dijadikan sasaran investasi bisnis.
Khususnya di indonesia, perkembangan industri perikanan mempunyai masa depan yang baik
hal ini tidak terlepas dari dukungan dan regulasi pemerintah indonesia yang sangat fokus akan
perkembangan industri perikanan. Namun konsidi yang ideal dan kondusif ini akan mencuri
perhatian para investor untuk melakukan investasi dalam industri ini, untuk itu bagi pelaku
industri yang lama diharapkan untuk dapat terus melakukan inovasi-inovasi dan peningkatan
teknologi untuk tetap mempunyai keunggulan bersaing dalam industri ini.
Sedangkan berdasar analisis SWOT berikut startegi yang digunakan dalam
mmenghadapi dinamika industri perikanan global
1. Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan populasi industri pengolahan hasil
perikanan terutama UMKM
2. Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi
termasuk industri berbasis Bioteknologi
3. Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk peningkatan daya saing
4. Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah dalam menjaga food safety produk
hasil olahan UMKM
5. Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar
6. Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan terhadap industri hilir yang memiliki
nilai tambah tinggi
7. Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
8. Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
9. Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan potensi perikanan di wilayah yang
berpotensi
10. Penerapan Teknologi Budidaya
11. Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki nilai tambah dan diversifikasi
Produk tinggi.
12. Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP0
13. Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi yan tinggi namun
pemanfaatannya masih rendah
14. Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan perbaikan sanitasi di UKM dan
Industri
15. Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri Perikanan dengan nilai tambah
tinggi di lokus pilihan (Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
STRENG WEAKNESS (W)
TH (S)
1. Potensi sumber daya laut yang besar (perikanan 1. Ekspor produk hasil laut masih rendah
tangkap, perikanan budidaya dan rumput laut) 2. Pemanfaatan potensi Perikanan untuk Industri
STRENGTH (S) & 2. Pasar domestik yang besar dengan konsumsi per kapita perikanan tidak merata
WEAKNESS (W) hasil perikanan dan produk turunannya 3. Kemampuan Teknologi masih rendahpembangunan
3. Kebijakan pemerintah dan dukungan akademisi bagi industri masih pada bidang pengolahan yang memiliki
pengembangan industri pengolahan hasil laut. nilai tambah dan pengolahan yang rendah
4. Dukungan pemerintah daerah atas pengembangan 4. Infrastruktur untuk mendukung pengembangan industri
perikanan pengolahan hasil laut belum merata
OPPORTUNITY 5. Produsen Ikan terbesar ke-2 di Dunia 5. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan tidak
(O) & 6. Sebaran UPI didominasi oleh UMKM yang berpotensi sesuai dengan suplai bahan bakau)
THREAT (T) dalam peningkatan ekonomi wilayah 6. Jaminan Kualitas dan Mutu Produk masih sangat rendah
7. Tidak meratanya sumberdaya perikanan tangkap (banyak
daerah overfishing)
1. Kebutuhan konsumsi dunia ataupun nasional atas S-O W-O
produk hasil perikanan yang semakin meningkat
(besarnya peluang ekspor)  Peningkatan ekonomi wilayah melalui peningkatan  Penyediaan peralatan dan teknologi tepat guna
OPPORTUNITY (O)

2. Meningkatnya kegiatan diversifikasi produk hasil populasi industri pengolahan hasil perikanan terutama  Penerapan penangkapan yang berkelanjutan
laut UMKM  Peningkatan Suplai Bahan Baku memalui pemanfaatan
3. Tingginya keuntungan dan nilai tambah hasil laut  Inisiasi Pengembangan Industri Hasil Perikanan yang potensi perikanan di wilayah dengan nilai LQ tinggi
non pangan. memiliki nilai tambah tinggi termasuk industri berbasis  Penerapan Teknologi Budidaya
4. Besarnya peluang untuk membangun industri Bioteknologi  Peningkatan pendirian industri perikanan yang memiliki
pengolahan di Wilayah penghasil lumbung ikan nilai tambah dan diversifikasi Produk tinggi.
nasional  Peningkatan sertifikasi kelayakan pengolahan (SKP)
5. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah yang
memiliki potensi perikanan tinggi
1. Isu tentang food safety S-T W-T
2. Industri Hasil Perikanan di Indonesia saat ini masih
memiliki nilai tambah rendah  Pemberian Insentif Fiskal bagi usaha kecil untuk  Penguatan Infrastruktur di derah yang memiliki potensi
3. Industri Pengolahan Perikanan Negara ASEAN peningkatan daya saing yang tinggi (LQ tinggi) namun pemanfaatannya masih
THREAT (T)

memiliki nilai tambah dan keuntungan yang tinggi  Peningkatan peranan pemerintah pusat maupun daerah rendah (SSA rendah)
dalam menjaga food safety produk hasil olahan  Peningkatan jaminan mutu, keamanan pangan, dan
UMKM perbaikan sanitasi di UKM dan Industri
 Penguatan Rantai Pasok, Kemitraan dan Perluasan Pasar  Akselerasi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Industri
 Penyesuaian potensi wilayah sumberdaya perikanan Perikanan dengan nilai tambah tinggi di lokus pilihan
terhadap industri hilir yang memiliki nilai tambah (Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan)
tinggi
Daftar Pustaka
Soewito, S., Malangjoedo, S., Soesanto, V., Soeseno, S., Budiono, S. R., Asikin, M. T., &
Rachmatun, S. (2000). Sejarah perikanan Indonesia. Jakarta: Yasamina.

Soewito, M. (2000, July). Kesiapan dan Prasyarat Lembaga Asuransi Dalam Mendukung
Asuransi Pertanian di Indonesia. In Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari:
Perspektif Usaha Asuransi Pertanian di Indonesia. Jakarta (Vol. 20)

Direktorat Kelautan dan Perikanan Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam
B A P P E N A S 2016. Kajian Strategi Industrialisasi Produk Perikanan untuk Membangun
Perekonomian Wilayah
http://www.fao.org/news/archive/news-by-date/2010/en/

You might also like