You are on page 1of 54

Proses Dan Perkembangan Janin Di Rahim

Sabtu, 9 April 2011 22:53:07 WIB

PROSES DAN PERKEMBANGAN JANIN DI RAHIM

Saat yang dinanti sepasang suami-isteri, dari perwujudan buah percintaan kasih-sayang
sekian waktu, yaitu ketika rahim sang isteri mengandung janin calon bayi. Sungguh terasa
sebagai anugerah indah tiada tara dari Allah Azza wa Jalla. Gerakan-gerakan kecil
menyentak dinding perut sang ibu. Betapa bahagia calon orang tuanya. Ingin segera
mengasuh dan merawatnya.

Itulah kebesaran Allah Azza wa Jalla sebagai bukti kekuasaan Nya kepada manusia. Agar
mereka banyak bersyukur. Di dalam al-Qur'an Allah Azza wa Jalla telah berfirman

‫س َّواهُ َونَفَ َخ فِي ِه ِمن‬ َ ‫ين ث ُ َّم‬ ُ ‫ين ث ُ َّم َج َع َل نَ ْس َلهُ ِمن‬
ٍ ‫س ََل َل ٍة ِِّمن َّماءٍ َّم ِه‬ ٍ ‫ان ِمن ِط‬
ِ ‫س‬ ِ ْ َ‫ش ْيءٍ َخلَقَهُ ۖ َوبَدَأ َ خ َْلق‬
َ ‫اْلن‬ َ ‫سنَ ُك َّل‬ َ ْ‫ا َّلذِي أَح‬
ِ َ‫ق َجدِي ٍد ۚ بَ ْل هُم ِب ِلق‬
‫اء‬ ٍ ‫ض أَ ِإنَّا لَ ِفي خ َْل‬
ِ ‫ضلَ ْلنَا فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫يَل َّما ت َ ْش ُك ُرونَ َوقَالُوا أَ ِإذَا‬
‫ار َو ْاْل َ ْفئِدَة َ ۚ قَ ِل ا‬
َ ‫ص‬َ ‫وح ِه ۖ َو َج َع َل لَ ُك ُم الس َّْم َع َو ْاْل َ ْب‬
ِ ‫ُّر‬
َ‫َر ِِّب ِه ْم كَافِ ُرون‬

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh
(ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur. Dan mereka berkata, "Apakah bila kami telah lenyap (hancur)
di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?" Bahkan
(sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Rabbnya. [As Sajdah : 7-10]

Firman Allah yang lain tentang penciptaan manusia ialah :

‫شيُو اخا َو ِمن ُكم َّمن يُت ََوفَّ ٰى‬ ُ ‫شدَّ ُك ْم ث ُ َّم ِلت َ ُكونُوا‬ ْ ُّ‫ب ث ُ َّم ِمن ن‬
ُ َ ‫طفَ ٍة ث ُ َّم ِم ْن َعلَقَ ٍة ث ُ َّم ي ُْخ ِر ُج ُك ْم ِط ْف اَل ث ُ َّم ِلت َ ْبلُغُوا أ‬ ٍ ‫ه َُو الَّذِي َخلَقَ ُكم ِ ِّمن ت ُ َرا‬
َ‫س ًّمى َولَعَ َّل ُك ْم ت َ ْع ِقلُون‬
َ ‫ِمن قَ ْب ُل َو ِلتَ ْبلُغُوا أَ َج اَل ُّم‬

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkanNya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu
dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan hidup
lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian)
supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). [Al
Mu'min : 67].

TAHAPAN PERKEMBANGAN JANIN


Setelah terjadi pembuahan yang ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla hingga berproses
menjadi seorang anak, mulailah sang ibu mengalami perubahan-perubahan di rahimnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam satu hadits shahih bersabda.

َ ‫ ث ُ َّم ي ُْر‬، َ‫ضغَةا ِمث َل ذَلِك‬


‫س ُل ِإلَ ْي ِه‬ ْ ُ‫ط ِن أ ُ ِ ِّم ِه أ َ ْربَ ِعيْنَ يَ ْو اما ن‬
ْ ‫ ث ُ َّم يَ ُك ْونُ ُم‬، َ‫ ث ُ َّم َي ُك ْونُ َع َل َقةا ِمثْ َل ذَلِك‬،‫ط َفةا‬ ْ َ‫إن أ َ َحدَ ُكم يُجْ َم ُع خلقُهُ فِ ْي ب‬
َّ
‫س ِعيْد‬ َ ‫ي أَ ْو‬ َ ‫ َو‬،‫ َو َع َم ِل ِه‬،‫ َوأ َ َج ِل ِه‬،‫ب ِر ْزقِ ِه‬
ٌّ ‫ش ِق‬ ِ ْ‫ ِب َكت‬:ٍ‫ َويُؤْ َم ُر ِبأ َ ْربَعِ َك ِل َمات‬،‫الر ْو َح‬ ُّ ‫ا ْل َملَكُ فيَ ْنفُ ُخ فِ ْي ِه‬،

Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya
selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula
(selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus
malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal:
rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya." [Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu].

Dilihat dari perkembangan ilmu medis sekarang ini, jelas hadits tersebut akan dibenarkan
para ilmuwan, karena tidaklah jauh berbeda dengan penemuan-penemuan mereka.
Disebutkan pula, bahwa pada kehamilan antara 8 sampai 10 pekan (sekitar 56-70 hari)
pembuluh darah janin mulai terbentuk. Dengan alat-alat modern seperti alat perekam jantung
bayi (elektrokardiografi/EKG untuk bayi) dan ultrasonografi (USG) dapat diketahui sedini
mungkin, apakah jantung bayi sudah berdenyut atau belum. Umumnya denyut jantung bayi
dapat diketahui dan dicatat pada pekan ke 12 (lebih kurang 84 hari). Tetapi dengan alat
sederhana, baru terdengar pada kehamilan 20 pekan (kira-kira 140 hari). Dibuktikan bahwa
kira-kira pada kehamilan 10 pekan (kira-kira 70 hari) sudah mulai terbentuk sistem jantung
dan pembuluh darah.

Sejak umur kehamilan 8 pekan (kira-kira 56 hari) mulai terbentuk hidung, telinga, dan jari-
jari dengan kepala membungkuk ke dada.

Setelah 12 pekan (84 hari) telinga lebih jelas, tetapi mata masih melekat. Leher sudah mulai
terbentuk, alat kelamin sudah terbentuk tetapi belum begitu nampak. Baru setelah 16 pekan
(112 hari) alat kelamin luar terbentuk, sehingga dapat dikenali dan kulit janin berwarna
merah tipis sekali. Pada umumnya plasenta atau ari-ari sudah terbentuk lengkap pada 16
pekan.

Menginjak kehamilan 24 pekan (168 hari), kelopak mata sudah terpisah. Ditandai dengan
adanya alis dan bulu mata. Maha luas ilmu Allah k dalam segala penciptaanNya.

Apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut
memang benar adanya. Manusia baru membuktikannya pada abad ini. Padahal kebenaran
ayat-ayat Allah Azza wa Jalla sudah disampaikan puluhan abad lalu; sebagai bukti, bahwa
Allah k telah menciptakan manusia dari segumpal darah (alaqah) 40 hari, setelah
terbentuknya air mani. Hal ini bisa diketahui oleh ahli medis, bahwa kurang lebih umur 56-70
hari pembuluh darah janin mulai terbentuk..Kemudian ada gerakan-gerakan. Gerakan inilah
yang mungkin terdeteksi oleh alat-alat kedokteran modern sebagai denyut jantung janin.
Namun berdasarkan dhohir hadits, bahwa ruh ditiupkan pada saat janin berumur lebih dari
120 hari. Wallahu a’lam
MENENTUKAN USIA KEHAMILAN
Seringkali ibu hamil tidak mengetahui secara pasti berapa usia kehamilannya. Ini dapat
dimaklumi, mengingat waktu terjadinya pembuahan sering tidak dapat diketahui secara pasti.
Tidak demikian halnya, bila sepasang suami-isteri terakhir berhubungan tanpa melakukannya
lagi, dan diketahui sang isteri langsung terlambat haid, serta mendapatkan tanda-tanda
kehamilan. Maka, usia kehamilannya langsung dapat diketahui.

Rahim (uterus) wanita yang tidak hamil kira-kira sebesar telur ayam. Bila terjadi kehamilan,
rahim tumbuh secara teratur. Kecuali jika ada gangguan pada kehamilan tersebut.

Pada kehamilan 8 pekan (kurang lebih 2 bulan), rahim membesar sebesar telur bebek,
kemudian pada kehamilan 12 pekan kira-kira 3 bulan membesar seperti telur angsa. Pada saat
inilah puncak rahim atau fundus uterus dapat diraba dari luar.

Secara syariat tidak ada cara khusus untuk menentukan umur kehamilan wanita. Namun
secara medis ada cara-cara tertentu, untuk mengetahui usia kehamilan walaupun hanya
perkiraan.

Ada tiga cara untuk memperkirakan usia kehamilan. Dengan mengukur tinggi dari puncak
rahim. Yaitu bagian tertinggi puncak rahim yang menonjol di dinding perut. Kadang terasa
keras karena terasa kepala, atau lunak apabila teraba pantat janin.

Pertama : Menggunakan Ukuran Sentimeter.


Apabila jarak dari tulang kemaluan sampai puncak rahim menunjukkan lebih kurang 25 cm,
berarti usia kehamilan 28 pekan (kira-kira 7 bulan). Apabila 27 cm, lebih kurang 32 pekan
(kira-kira 8 bulan). Terukur 30 cm, menunjukkan umur 36 pekan (kira-kira 9 bulan).

Pada kehamilan 40 pekan (lebih kurang 9 bulan lebih), puncak rahim turun kembali dan
terletak kira-kira 3 jari di bawah tulang dada, yang terletak di tengah-tengah melekatnya
beberapa tulang rusuk. Ukuran ini tidak akan bertambah, walau usia kehamilan mencapai 40
pekan. Jika tingginya bertambah, kemungkinan bayi besar, kembar atau cairan tubuh
berlebih.

Kedua : Menghitung Dengan 2 Jari Tangan.


Setiap pertambahan selebar 2 jari tangan menunjukkan pertumbuhan 2 pekan. Perhitungan ini
digunakan jika jarak antara tulang kemaluan dengan puncak rahim masih di bawah pusar.
Sebaliknya, jika jarak tulang kemaluan dengan puncak rahim sudah di atas pusar perhitungan
2 jari, menunjukkan pertambahan 4 pekan.

Ketiga : Memperkirakan kalau tinggi puncak rahim sudah tepat di pusar, itu menunjukkan
usia kehamilan 5 bulan-6 bulan. Sementara, jika puncak rahim sudah sampai di tengah antara
tulang dada dan pusar, menunjukkan usia kehamilan kira-kira 7 bulan. Apabila puncak rahim
sudah mencapai dada, diperkirakan usia kehamilan 9 bulan. Hasil pengukuran ini akan
meragukan, jika ibu hamil terlalu gemuk atau otot perut tegang.

Jika calon ibu sudah mulai dapat merasakan gerakan janin, diperkirakan usia kehamilan
mencapai 18 pekan (kira-kira 4,5-5 bulan). Tetapi pada kehamilan kedua, gerakan janin
sudah terasa pada usia kehamilan 16 pekan.

GANGGUAN PADA PEMBENTUKAN JANIN


Terkadang seorang wanita yang positif hamil, hasil pembuahannya bisa mengalami
gangguan. Atau pembentukan janin tidak berlanjut. Ada beberapa jenis gangguan yang
berhubungan dengan hasil pembuahan. Sebagian besar dengan keluhan pendarahan. Macam-
macam gangguan pada pembentukan janin diantaranya ialah :

Abortus (Keguguran).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan, sebelum janin mampu hidup di dunia luar. Rata-rata
dengan umur kehamilan kurang dari 22 pekan (kurang dari 5 bulan), dengan berat badan
kurang dari 500 gr. Sebab-sebab terjadinya keguguran, bisa diakibatkan karena kelainan
zigote. Yaitu kelainan hasil penyatuan dari sel sperma (sel kelamin laki-laki) dan ovum (sel
kelamin perempuan).

Adanya gangguan di selaput lendir dalam rahim (endometrium), juga bisa mengakibatkan
keguguran. Hal ini karena masuknya ovum yang telah dibuahi ke dalam rahim tersebut,
mengalami gangguan. Atau gangguan tersebut terjadi dalam pertumbuhan embrio.

Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan fungsi selaput lendir rahim tersebut ialah
kelainan hormonal, gangguan nutrisi. Contohnya, anemia berat, penyakit menahun, dan lain-
lain yang dapat mempengaruhi gizi penderita. Juga penyakit infeksi, kelainan imunologik
(misalnya gangguan darah, faktor rhesus, dsb.). Selain itu, faktor psikologis (mental) seorang
wanita juga dapat mempengaruhi gangguan di rahimnya.

Kehamilan Diluar Kandungan (Kehamilan Ektopik)


Kehamilan ini terjadi, apabila ovum yang dibuahi masuk dan tumbuh tidak di tempat yang
normal di dalam rahim. Tempat-tempat tersebut bisa di saluran telur, rahim yang bukan
tempat kebiasaan janin untuk tumbuh, di tempat indung telur (organ penghasil telur), diantara
jaringan ikat yang berbentuk seperti tali penghubung organ-organ tertentu dengan rahim.

Kehamilan diluar kandungan bisa juga terjadi di dalam rongga perut. Tempat pertumbuhan
janin yang tidak sempurna menyebabkan kematian janin. Atau janin tidak tumbuh secara
normal. Kondisi seperti inilah oleh tim medis harus dilakukan operasi segera; apalagi untuk
janin yang masih hidup. Mengingat resiko pendarahan bagi wanita yang mengalami
kehamilan ektopik tersebut. Biasanya kehamilan seperti ini sering berakhir setelah umur 6-8
pekan. Ada yang sampai 10 pekan, dan ada juga yang berakhir sampai pada umur 5-6 bulan
pada janin yang berkembang di perut (abdomen). Tetapi biasanya meninggal atau cacat.

Kehamilan Anggur (Mola Hidatidosa)


Kehamilan ini adalah kehamilan abnormal. Pada kehamilan biasa, embrio tumbuh terus
menjadi janin dan kemudian dapat dilahirkan sebagai bayi. Adapun pada kehamilan anggur
ini, perkembangan sel ovum bukan menjadi embrio. Tetapi menjadi bentuk seperti anggur.
Biasanya tidak ada tanda-tanda kehidupan pada janin.

Kehamilan anggur ini bisa berkembang menjadi tumor ganas. Kelainan bentuk rahim juga
dapat menghalangi berkembangnya janin secara sempurna.

PENUTUP
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan seorang wanita, yang secara fitrah berlainan
dengan laki-laki. Dengan fitrahnya, disiapkanlah seorang wanita yang siap untuk
mengandung dan melahirkan. Yang akhirnya akan mengasuh anak yang telah dilahirkannya
sebagai calon generasi penerus.

Berkenaan keadaan fitrahnya tersebut, wanita juga mendapatkan hukum-hukum tersendiri


berkenaan dengan keadaan organ rahim yang dimilikinya. Sehingga seorang wanita bisa
berbeda dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dikarenakan sebab
hukum haid, nifas, atau istihadhah yang terjadi pada dirinya. Ataupun sebab kehamilannya.

Oleh karena itu, kita harus merujuk kepada ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta para ulama fiqh yang bermanhaj salaf yang
telah membahasnya panjang lebar berkenaan kondisi fitrah seorang wanita. Wallahu a'lam.
(dr. Ummu Muhammad)

Maraji'
- Ilmu Kebidanan, Prof. Sarwono P, Yayasan Bina Pustaka FKUI, 1994.
- Ilmu Kandungan, Prof. Sarwono P, Yayasan Bina Pustaka FKUI, 1991.
- Indeks Al Qur'an, Yusuf Rocy Asyarif. S, Penerbit Pustaka Salman ITB, 1984.
- Kamus Istilah Kedokteran, Penerbit FKUI, 1984.
- Al Qur'nul Karim, terjemahan.
- Fatwa-fatwa Tetantang Wanita Edisi Indonesia. Penerbit Darul Hak Jakarta.

Buah Hati, Antara Perhiasan Dan Ujian


Keimanan
Jumat, 8 April 2011 22:19:58 WIB

BUAH HATI... ANTARA PERHIASAN DAN UJIAN KEIMANAN

Oleh
Al Maghribi bin As Sayyid Mahmud Al Maghrib
ANAK SEBAGAI PERHIASAN DUNIA
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada manusia pilihan Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sahabat keluarga dan para pengikutnya dengan baik hingga hari akhir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi
sebagai perhiasan bagi kehidupan dunia, termasuk di dalamnya adalah harta dan anak-anak.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

‫ث‬ِ ‫س َّو َم ِة َواْْل َ ْنعَ ِام َو ْال َح ْر‬


َ ‫ض ِة َو ْال َخ ْي ِل ْال ُم‬َّ ‫ب َو ْال ِف‬ َ ‫ير ْال ُمقَن‬
ِ ‫ط َرةِ ِمنَ الذَّ َه‬ ِ ‫اء َو ْالبَنِينَ َو ْالقَن‬
ِ ‫َاط‬ ِ ‫س‬َ ِِّ‫ت ِمنَ الن‬ َّ ‫اس حُبُّ ال‬
ِ ‫ش َه َوا‬ ِ َّ‫ُزيِِّنَ ِللن‬
ْ
ِ ‫ع ال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َوهللاُ ِعندَهُ ُح ْسنُ ال َمئَا‬
‫ب‬ ْ ُ ‫ذَلِكَ َمت َا‬

Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah
tempat kembali yang baik (surga). [Ali Imran:14].

Anak merupakan karunia dan hibah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai penyejuk
pandangan mata, kebanggaan orang tua dan sekaligus perhiasan dunia, serta belahan jiwa
yang berjalan di muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

َّ ‫ْال َما ُل َو ْالبَنُونَ ِزينَةُ ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َو ْالبَاقِيَاتُ ال‬
‫صا ِل َحاتُ َخيْر ِعندَ َربِِّكَ ثَ َواباا َو َخيْر أَ َمَلا‬

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi
shalah adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik menjadi harapan. [Al
Kahfi:46].

Dan diantara bentuk perhiasan dunia adalah bangga dengan banyaknya anak, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

‫ا ْعلَ ُموا أَنَّ َما ْال َحيَاة ُ الدُّ ْنيَا لَعِبُ ُُ َو َل ْه ُوُُ َو ِزينَة َوتَفَا ُخ ُرُُ بَ ْينَ ُك ْم َوتَكَاثُ ُرُُ فِي اْْل َ ْم َوا ِل َواْْل َ ْوالَ ِد‬

Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-bangga tentang
banyaknya harta dan anak. [Al Hadid:20].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

‫تَزَ َّو ُج ْوا ْال َولُ ْودَ ْال َود ُْودَ فَإنِِّي ُمكَاثِر بِ ُك ْم‬

Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penyayang. Karena aku bangga dengan
jumlah kalian yang banyak. [HR Nasa’i].
‫ْس ِمنِِّ ْي ت َزَ َّو ُج ْوا ْال َولُ ْودَ ا ْل َود ُْودَ فَإنِِّي ُمكَاثِر ِب ُك ْم َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة‬
َ ‫سنَّتِ ْي فَلَي‬
ُ ‫ َو َم ْن لَ ْم َي ْع َم ْل ِب‬,‫سنَّتِ ْي‬
ُ ‫النِِّكَا ُح ِم ْن‬.

Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukan
termasuk golonganku. Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penuh kasih sayang.
Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak pada hari kiamat. [HR. Nasa’i]

Seorang yang bijak, jika sudah mengetahui bahwa anak merupakan perhiasan, tentunya ia
akan menjaga perhiasan tersebut sebaik-baiknya. Yakni dengan membekali mereka dengan
pendidikan yang baik. Hingga mereka betul-betul menjadi penyejuk pandangan mata,
memiliki keluhuran budi pekerti, akhlak mulia dan sikap ksatria.

Hal ini adalah perkara yang wajib atas setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.

‫س ُك ْم َوأَ ْه ِلي ُك ْم ن ا‬
‫َارا‬ َ ُ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا قُوا أَنف‬

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. [At
Tahrim:6].

Cukuplah sebagai tanda jasa dan pujian bagi pendidik, bahwa seorang hamba akan meraih
balasan pahala yang besar setelah wafatnya dan masa umurnya habis serta habis masa
hidupnya.

Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

َ ‫ار َية ْأو ِع ْلم َي ْنتَ ِف ُع ِب ِه ْأو َولَد‬


ُ‫صالحُِ َيدْع ُْو لَه‬ َ ‫ط َع َع َملُهُ َّإال ِم ْن ث َ ََلث َ ٍة‬
ِ ‫صدَقَة َج‬ َ ‫ ِإذَا َماتَ اْْل ْن‬.
َ َ‫سانُ ا ْنق‬

Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariah,
ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo’akannya. [1]

Jadi, seorang pendidik akan meraih derajat yang tinggi, pahala berlipat ganda dan
meninggalkan pusaka yang mulia di dunia bagi anak cucunya.

Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

َ‫ ِبا ْستِ ْغفَا ِر َو َلدِكَ لَك‬:ُ‫ أَنَّي ِلي َهذَا؟ فَيُقَال‬:ُ‫ فَيَقُ ْول‬,‫الر ُج َل لَت ُ ْرفَ ُع دَ َر َجتُهُ فِي اْل َجنَّ ِة‬ َّ .
َّ ‫إن‬

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah


balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”.[2]

Begitu pula dia akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya sebagai
karunia dan balasan yang baik dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
‫ب َرهِين‬ َ ‫ئ ِب َما َك‬
َ ‫س‬ َ ‫ان أ َ ْل َح ْقنَا ِب ِه ْم ذ ُ ِ ِّريَّتَ ُه ْم َو َمآأَلَتْنَاهُم ِِّم ْن َع َم ِل ِهم ِ ِّمن‬
ٍ ‫ش ْىءٍ ُك ُّل ا ْم ِر‬ ٍ ‫َوا َّلذِينَ َءا َمنُوا َوات َّ َب َعتْ ُه ْم ذ ُ ِ ِّريَّت ُ ُهم ِبإِي َم‬

Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi
sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. [Ath Thur:21].

ANAK SEBAGAI FITNAH DUNIA


Anak, selain sebagai perhiasan dan penyejuk mata, juga bisa menjadi fitnah (ujian dan
cobaan) bagi orang tuanya. Ia merupakan amanah yang akan menguji setiap orang tua. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

ْ ُ ‫اج ُك ْم َوأ َ ْوالَ ِد ُك ْم َعد ًُّوا لَّ ُك ْم فَاحْ ذَ ُرو ُه ْم َوإِن تَ ْعفُوا َوت‬
ُ ُ‫ص ِف ُحوا َوتَ ْغ ِف ُروا فَإِ َّن هللاَ َغف‬
‫ورُُ َّر ِحيم‬ ِ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا إِ َّن ِم ْن أ َ ْز َو‬
{14} ُُ‫إِنَّ َمآ أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأَ ْوالَد ُ ُك ْم فِتْنَةُُُ َوهللاُ ِعندَهُ أَجْ ر َع ِظي ُم‬

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu
memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan dan anak-anakmu
hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [At Taghabun:14,15].

Firman Allah di atas dengan sangat tegas menandaskan, anak bisa menjadi fitnah dunia bagi
kita. Ibarat permata zamrud yang wajib kita pelihara. Maka berhati-hatilah, janganlah kita
terlena dan tertipu sehingga kita melanggar perintah Allah Azza wa Jalla dan menodai
laranganNya. Jangan sampai anak kita menjadi penyebab turunnya murka dan bencana Allah
Azza wa Jalla pada diri kita. Allah Azza wa Jalla befirman,

َ‫ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َمآ أَ ْم َوالُ ُك ْم َوأَ ْوالَد ُ ُك ْم فِتْنَةُُُ َوأَ َّن هللا‬, َ‫سو َل َوت َ ُخونُوا أَ َمانَا ِت ُك ْم َوأَنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ َّ ‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا الَت َ ُخونُوا هللاَ َو‬
ُ ‫الر‬
ُُ‫ِعندَهُ أَجْ ُرُُ َع ِظي ُم‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan RasulNya, dan juga
janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu padahal kamu
mengetahui. Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan,
dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. [Al Anfal:27, 28].

Berkenaan dengan firman Allah Azza wa Jalla di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di rahimahullah berkata,”Allah Ta’ala memerintahkan para hambaNya yang beriman, agar
mereka menunaikan amanah yang diembankan kepada mereka, baik berupa perintah-
perintahNya maupun larangan-laranganNya. Sesungguhnya amanah adalah hal yang pernah
Allah tawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian dipikullah
amanat tersebut oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.
Maka barangsiapa yang menunaikan amanah tersebut, ia berhak meraih pahala dan ganjaran
dari Allah. Adapun orang yang menyia-nyiakan amanah tersebut, ia berhak mendapat siksa
yang pedih, dan ia menjadi orang yang berkhianat terhadap Allah dan RasulNya serta
amanahNya. Dia telah menurunkan derajat dirinya sendiri dengan sifat tercela, yakni khianat.
Dan telah telah melenyapkan dari dirinya kesempurnaan sifat, yaitu sifat amanah.” [3]

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

َ‫ش ْيئاا ِإ َّن َو ْعدَ هللاِ َح ٌّق فََل‬َ ‫از َعن َوا ِل ِد ِه‬ ٍ ‫اخش َْوا َي ْو اما الَيَجْ ِزي َوا ِلد َعن َولَ ِد ِه َوالَ َم ْولُود ه َُو َج‬ ُ َّ‫يَآأَيُّ َها الن‬
ْ ‫اس اتَّقُوا َر َّب ُك ْم َو‬
ُ ‫تَغُ َّر َّن ُك ُم ْال َحيَاة ُ الدُّ ْنيَا َوالَ َيغُ َّرنَّ ُكم بِاهللِ ْالغ َُر‬
‫ور‬

Hai manusia, bertawaqalah kepada Rabb-mu, dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu)
seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong
bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan
kamu dalam (mentaati) Allah. [Luqman:33].

Dalam realita, mungkin kerap kita saksikan, para orang tua bekerja membanting tulang tak
kenal lelah demi sang anak. Mencurahkan segenap upayanya, semata demi kebahagiaan anak.
Dari sini dapat kita fahami, betapa anak mampu menggelincirkan orang tua dari jalan
kebenaran, melalaikan mereka dari akhirat, jika mereka tidak mendasari segala upaya
tersebut untuk meraih ridha Allah.

Sebagian orang mungkin berasumsi, orang tua yang beruntung adalah yang berhasil
menyekolahkan anaknya sampai meraih gelar doktor, insinyur dan seabrek titel dan gelar
lainnya. Mungkin asumsi ini benar, jika ditilik dari satu sisi saja. Namun ada satu hal penting
yang harus diperhatikan oleh orang tua, bahwa keberhasilan mendidik anak serta kebahagiaan
hidup tidak hanya terletak pada gelar sarjana dan segala fasilitas dunia lainnya. Anak juga
membutuhkan pendidikan rohani dan bimbingan religi, agar mereka kelak tumbuh menjadi
pribadi yang seimbang, mengerti tugasnya sebagai hamba Allah Azza wa Jalla, juga
memahami kedudukannya sebagai anak dan fungsinya sebagai bagian dari umat. Alangkah
baiknya jika kita memiliki anak bergelar doktor sekaligus muwahhid. Betapa bahagianya
orang tua yang memiliki anak bergelar arsitek yang mu’min dan shalih. Sehingga ilmu
mereka bisa bermanfaat untuk kemashlahatan umat.

Oleh karena itu, setiap orang tua wajib mengetahui perkara-perkara yang telah Allah
wajibkan kepada mereka berkaitan dengan anak-anak. Sehingga dapat menjaga amanah yang
berharga ini.

Diantara yang bisa menebus dosa akibat fitnah yang ditimbulkan dari anak adalah puasa,
shalat dan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim serta Tirmidzi dari Hudzaifah dalam hadits yang panjang, beliau
berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

‫ي َع ِن‬ ِ ‫صدَقَةُ َواْْل ْم ُر بِ ْال َم ْع ُر ْو‬


ُ ‫ف َوالنَّ ْه‬ َّ ‫صَلَة ُ َوال‬
َّ ‫صيَا ُم َوال‬ َّ ُ‫فِتْنَة‬
ِ ‫الر ُج ِل فِي أ ْه ِل ِه َو َما ِل ِه َو َولَ ِد ِه َونَ ْف ِس ِه ِو َج‬
ِّ ِ ‫ ال‬:‫ار ِه يُ َكفَّ ُرهَا‬
‫ ْال ُم ْن َك ِر‬.
Fitnah seseorang dari keluarganya, hartanya, anaknya, dirinya dan tetangganya ditebus
dengan puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf nahi munkar. [Muttafaqun’alaih]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan karunia anak yang shalih, yang membantu
dalam ketaatan dan menjadi pengingat dari kelalaian, serta memberi nasihat ketika lupa dan
luput dari ajaran Islam. Wallahu waliyyut taufiq.

(Diadaptasi dari kitab Kaifa Turabbi Waladan Salihan, karya Al Akh Al Maghribi bin As
Sayyid Mahmud Al Maghrib, dengan beberapa tambahan oleh Ummu Rasyidah).

Tata Cara Puasa Enam Hari Bulan


Syawwal
Sabtu, 18 September 2010 15:36:01 WIB

TATA CARA PUASA ENAM HARI BULAN SYAWWAL

Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan masyru’ (disyari'atkan). Pendapat yang
menyatakan bid’ah atau haditsnya lemah, merupakan pendapat bathil [1]. Imam Abu Hanifah,
Syafi’i dan Ahmad menyatakan istihbab pelaksanaannya [2].

Adapun Imam Malik, beliau rahimahullah menilainya makruh. Agar, orang tidak
memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan. Namun, alasan ini
sangat lemah, bertentangan dengan Sunnah shahihah.

Alasan yang diketengahan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada pengkajian dan penelitian
dalil, yang akan menyimpulkan pendapat tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan
yang menjadi penyebab sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh
Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti) dalam
madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha.

Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr berkata,"Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Malik.
Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat dengannya.” Beliau mengatakan dalam
Iqna’, disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan
terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.

Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah
ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan
Ramadhan laksana sepuluh bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya
menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan,
sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.

Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:

‫سنَ ِة‬
َّ ‫صيَ ِام ال‬ ْ ‫صيَا ُم ِست َّ ِة أَي ٍَّام بَ ْعدَ ْال ِف‬
ِ ‫ط ِر فَذَلِكَ ت َ َما ُم‬ ِ ‫ش ْهر ِب َعش ََرةِ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
َ َ‫ضانَ ف‬
َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari
setelah hari Idul Fitri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh".[3]

BILAMANA PELAKSANAANNYA?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah (15\391)
menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah.
Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan
caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" :

ِ ‫ضانَ ث ُ َّم أَتْبَعَهُ ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل َكانَ ك‬


‫َصيَ ِام الدَّ ْه ِر‬ َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada
bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun" [4].

Beliau rahimahullah juga berpendapat, seluruh bulan Syawwal merupakan waktu untuk puasa
enam hari. Terdapat riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda : Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan
Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun [5].

Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawwal. Seorang mu`min boleh memilih
kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan.
Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel,
alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka
itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan [6].

Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah
langsung hari 'Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan
kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada
kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa
menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.

Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini (yaitu hadits
tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan
pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang
menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa
saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau
sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka
diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, itu
semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan
Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti
tarakhi (bisa dengan ditunda)”.[7]

Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah
puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai
sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan
kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bish-shawab.

BAGAIMANA JIKA MASIH MENANGGUNG PUASA RAMADHAN?


Para ulama berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh mendahulukan puasa sunnah
(termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan.

Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan
itu. Mereka mengqiyaskannya dengan shalat thathawu’ sebelum pelaksanaan shalat fardhu.

Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, diharamkannya mengerjakan puasa
sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib.

Syaikh Bin Baz rahimahullah menetapkan, berdasarkan aturan syari'at (masyru’)


mendahulukan puasa qadha Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa
sunnah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ِ ‫ضانَ ث ُ َّم أَتْ َب َعهُ ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل َكانَ ك‬


‫َص َي ِام الدَّ ْه ِر‬ َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan
Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun".

Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum
mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian
puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa hukumnya wajib. Sedangkan puasa enam hari
hukumnya sunnah. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu [8].

Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan
Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawwal. Beliau
tetap berpendapat, menurut aturan syari'at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha
terlebih dahulu. Sebab, dalam hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan puasa
enam hari (Syawwal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan
daripada perkara sunnah [9].

Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah berpendapat, masih
memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, meskipun masih
memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar argumentasi yang digunakan, yaitu kandungan
hadits Tsauban di atas yang bersifat mutlak [10].
Wallahu a’lam.

Shahih Dan Dhaif Hadits Puasa Enam Hari


Bulan Syawwal
Jumat, 17 September 2010 15:14:17 WIB

SHAHIH DAN DHAIF HADITS PUASA ENAM HARI BULAN SYAWWAL

Pembaca,
Berikut kami sampaikan beberapa hadits yang shahih maupun dhaif, berkaitan dengan puasa
enam hari pada bulan Syawwal. Hadits-hadits ini kami ambil dari pendapat Syaikh
Muhammad Nashiruddin al Albani sebagaimana tersebut dalam kitab yang membahasnya.
Semoga bermanfaat. (Redaksi)

HADITS SHAHIH BERKAITAN PUASA SYAWAL

‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َع ْنهُ أ َ َّن َر‬َّ ‫ي‬َ ‫ض‬ ِ ‫ي ِ َر‬
ِّ ‫ار‬ َ ‫ُّوب ْاْل َ ْن‬
ِ ‫ص‬ َ ‫َع ْن أَ ِبي أَي‬
‫َص َي ِام الدَّ ْه ِر‬ِ ‫ضانَ ث ُ َّم أَتْ َب َعهُ ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل َكانَ ك‬َ ‫ام َر َم‬ َ ‫قَا َل َم ْن‬
َ ‫ص‬
‫رواه مسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه‬

Dari Abu Ayyub al Anshari Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam
hari pada bulan Syawwal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun”. [Diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi, an Nasaa-i dan Ibnu Majah].

‫ط ِر‬ْ ‫ام ِستَّةَ أَي ٍَّام بَ ْعدَ ْال ِف‬


َ ‫ص‬ َ ‫سلَّ َم أَنَّهُ قَا َل َم ْن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫سلَّ َم َع ْن َر‬
َّ ‫سو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َع ْن ث َ ْوبَانَ َم ْولَى َر‬
َّ ‫سو ِل‬
‫سنَ ِة فَلَهُ َع ْش ُر أَ ْمثَا ِل َها‬ ْ
َ ‫سنَ ِة َم ْن َجا َء ِبال َح‬
َّ ‫َكانَ تَ َما َم ال‬
‫ رواه ابن ماجه والنسائي ولفظه‬:

Dari Tsauban maula (pembantu) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
yang melakukan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri, maka, itu menjadi
penyempurna puasa satu tahun. [Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya – QS al An’am/6 ayat 160-]”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Imam Nasaa-i dengan lafazh :


َ‫سنَة‬ ْ ‫صيَا ُم ِستَّ ِة أَي ٍَّام بَ ْعدَ ْال ِف‬
َّ ‫ط ِر تَ َما ُم ال‬ َ ‫َج َع َل هللاُ ْال َح‬
ِ ‫سنَةَ ِب َع ْش ِر أ َ ْمثَا ِل َها فَ َش ْهر ِب َع ْش َرةِ أ َ ْش ُه ٍر َو‬

"Allah menjadikan (ganjaran) kebaikan itu sepuluh kali lipat, satu bulan sama dengan sepuluh
bulan; dan puasa enam hari setelah hari raya ‘Idul Fithri merupakan penyempurna satu
tahun".

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dengan lafazh :

‫سنَ ِة‬
َّ ‫صيَا ُم ال‬ َ ِ‫صيَا ُم ِستَّ ِة أَي ٍَّام ب‬
ِ َ‫ش ْه َري ِْن فَذَلِك‬ ِ ‫ضانَ بِعَش ََرةِ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
َ ‫ش ْه ِر َر َم‬
َ ‫صيَا ُم‬
ِ

"Puasa bulan Ramadhan, (ganjarannya) sepuluh bulan dan puasa enam hari (sama dengan)
dua bulan. Itulah puasa satu tahun".

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dengan lafazh :

َ‫سنَة‬
َّ ‫ام ال‬
َ ‫ص‬َ ْ‫ضانَ َو ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل فَقَد‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫صا َم َر َم‬

"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan enam hari pada bulan Syawwal,
berarti sudah melaksanakan puasa satu tahun".

‫سلَّ َم قَا َل‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي هللاُ َع ْنهُ َع ِن النَّبِي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َو َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َر‬
‫ام الدَّ ْه َر‬َ ‫ص‬َ ‫ِت ِم ْن ش ََّوا ٍل فَ َكأَنَّ َما‬
ٍ ِّ ‫ضانَ َوأَتْبَعَه بِس‬َ ‫ام َر َم‬َ ‫ص‬ َ ‫َم ْن‬
‫رواه البزار وأحد طرقه عنده صحيح‬

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dan
mengiringinya dengan enam hari dari bulan Syawwal, maka seakan dia sudah berpuasa satu
tahun”. [Diriwayatkan oleh al Bazzar, dan salah satu jalur beliau adalah shahih].

Semua hadits di atas dinyatakan shahih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani,
sebagaimana terdapat pada kitab Shahihut Targhibi wat Tarhib, no. 1006, 1007 dan 1008.

HADITS DHA’IF

َ‫ْس َو ْال ُج ْم َعةَ دَ َخ َل ْال َجنَّة‬


َ ‫ضانَ َوش ََّواالا َواْل َ ْر ِب َعا َء َو ْالخ َِمي‬
َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬

"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, Syawwal, hari Rabu, Kamis dan Jum’at,
maka dia akan masuk surga".

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 3/416, dari Hilal bin Khabbab dari Ikrimah bin Khalid, dia
mengatakan : Aku diberitahu oleh salah satu dari orang pandai Quraisy, aku diberitahu oleh
bapakku bahwasanya dia mendengar dari belahan bibir Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam … lalu dia membawakan hadits di atas.
Syaikh al Albani mengatakan :
Ini merupakan sanad yang lemah, karena orang pandai dari kalangan Quraisy ini tidak
diketahui jati dirinya. Dan Hilal, orangnya shaduq (jujur dan terpercaya), tetapi dia berubah
pada masa tuanya, sebagaimana dijelaskan dalam kitab at Taqriib.

Dan hadits ini diriwayatkan oleh al Haitsami dalam al Majma’, 3/190 tanpa ada kalimat “wal
Jum’ah,” lalu beliau rahimahullah mengatakan : Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan di
dalam sanadnya terdapat orang yang tidak disebutkan, sementara para perawi lainnya adalah
tsiqah (bisa dipercaya, Red).

Begitu juga dibawakan oleh Imam as Suyuthi dalam al Jami’, dari riwayat Imam Ahmad dari
seseorang, akan tetapi dengan menggunakan lafazh : ‫ ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل‬sebagai ganti dari kalimat
Syawwal.

Syaikh Al Albani mengatakan :


Aku tidak tahu, apakah perbedaan ini karena perbedaan naskah kitab Musnad atau karena
kekeliruan si penukil. [Lihat Silsilah adh Dha’ifah, no. 4612, 10/124-125].

HADITS MAUDHU’ (PALSU)

ُ‫ضانَ َوأَتْبَعَهُ ِستًّا ِم ْن ش ََّوا ٍل خ ََر َج ِم ْن ذُنُ ْوبِ ِه َكيَ ْو ٍم َولَدَتْهُ أ ُ ُّمه‬
َ ‫ام َر َم‬
َ ‫ص‬َ ‫َم ْن‬

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu diiringi dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal,
maka dia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dilahirkan dari perut ibunya".

Syaikh al Albani mengatakan :


Maudhu’ (palsu). Diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani dalam kitab al Ausath melalui jalur
Imran bin Harun, kami diberitahu oleh Maslamah bin Ali, kami diberitahu oleh Abu Abdillah
al Hamsh dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar secara marfu’, dan beliau rahimahullah (Ath Thabrani)
mengatakan : Hadits ini tidak diriwayatkan, kecuali oleh Abu Abdillah, dan Maslamah
menyendiri dalam membawakan riwayat ini.

Syaikh al Albani mengatakan :


Orang ini (yakni Maslamah, Red) muttaham (tertuduh), ada beberapa riwayat maudhu’nya
sudah dibawakan di depan, yaitu hadits no. 141, 145 dan 151.

Sedangkan Abu Abdillah al Hamsh, saya cenderung memandang bahwa orang ini adalah
Muhammad bin Sa’id al Asdiy al Mashlub al Kadzdzab (banyak berdusta) al waddha’ (sering
memalsukan hadits). Mereka merubah nama orang ini menjadi sekitar seratus nama, untuk
menutupi jati dirinya. Ada yang memberinya kunyah Abu Abdirrahman, Abu Abdillah, Abu
Qais. Tentang nisbahnya, ada yang mengatakan, dia itu Dimasqiy (orang Damaskus), al
Urduni (orang Urdun). Dan ada yang mengatakan ath Thabariy.
Maka saya (Syaikh al Albani, Red) tidak menganggap mustahil, jika kemudian orang yang
tertuduh, yaitu Maslamah mengatakan tentang orang ini : Abu Abdillah al Hamshy.

Tidak menutup kemungkinan bahwa Abu Abdillah al Hamshy ini adalah orang yang
dinamakan Marzuq. Ad Daulabiy membawakannya dalam kitab al Kuna seperti ini. Orang ini
termasuk perawi Imam Tirmidzi, akan tetapi, mereka tidak pernah menyebutkan bahwa orang
ini memiliki riwayat dari Nafi’. Berbeda dengan al Mashlub. Wallahu a’lam.

Hadits ini diberi isyarat dhaif oleh al Mundziri, 2/75. Al Haitsami menyatakan illat hadits ini
ialah Maslamah al Khasyani. [Lihat Silsilah adh Dha’ifah, no. 5190, 11/309]

Fidyah Dalam Puasa


Selasa, 24 Agustus 2010 04:16:33 WIB

FIDYAH DI DALAM PUASA

Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro

Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua
Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang
mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan
tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang
beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh
tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan
membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal
berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita untuk
ilmu yang bermanfa'at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah (‫ )فدية‬atau fidaa (‫ )فدى‬atau fida` (‫ )فداء‬adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia
memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya [1].

Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi
makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan
kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia. Sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ين فَ َمن‬
ٍ ‫ط َعا ُم ِم ْس ِك‬ َ ُ‫سفَ ٍر فَ ِعدَّة ِ ِّم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر َو َع َلى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِدْيَة‬
َ ‫ت فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِريضاا أ َ ْو َعلَى‬
ٍ ‫أَيَّا اما َّم ْعدُودَا‬
َّ
َ‫صو ُموا َخي ُْرُُ ل ُك ْم ِإن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ َ َّ
ُ َ ‫ع َخي اْرا فَ ُه َو َخي ُْرُُ لهُ َوأن ت‬ َ َ‫ت‬
َ ‫ط َّو‬

‫"ا‬Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau
dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan
memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar
fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu
lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui". [Al Baqarah : 184].

Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah :

‫ين‬ َ ‫َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِدْيَة‬


ٍ ‫طعَا ُم ِم ْس ِك‬

"(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar
fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)".

Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini
merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan
mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak
berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah
dimansukh dengan firman Allah:

ُ ‫ش ْه َر فَ ْل َي‬
ُ‫ص ْمه‬ َّ ‫ش ِهدَ ِمن ُك ُم ال‬
َ ‫فَ َمن‬

"(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah
dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)".

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi
sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka
tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan
bacaan tasydid, yakni ‫ يطوقونه‬. Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk
mengerjakannya.[2]

Dari 'Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

‫ين‬ َ ُ‫َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِدْيَة‬


ٍ ‫طعَا ُم ِم ْس ِك‬

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah
orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia
memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin". [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di
dalam kitab Tafsir]. [3]

Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa'di di dalam tafsirnya: "Dan ada pendapat yang lain,
bahwa ayat :

‫ين‬ َ ُ‫َو َعلَى الَّذِينَ ي ُِطيقُونَهُ فِدْيَة‬


ٍ ‫طعَا ُم ِم ْس ِك‬

Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga
tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah
untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang
benar".[4]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini
menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah
menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika
dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah.
Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka
ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya,
yaitu fidyah".[5]

C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH


1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia
diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari
kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas,
Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza'i.[6]

2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau
penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.

Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama,
karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari
Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar
fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?

Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena
kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah
melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi
gugur kewajibannya untuk berpuasa.[7]

Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah
atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :

1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.


Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita
hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian
pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga
bisa mengganggu perkembangan anaknya.

Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada
pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan
dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila
mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar
fidyah.

Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang
sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu
pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu
Abbas:

ْ َ‫ط َرتا َ َوأ‬


‫طعَ َمتَا‬ َ ‫ض ُع َو ْال ُح ْبلَى إذَا خَافَـتَا َع‬
َ ‫لى ْأو َال ِد ِه َما أ ْف‬ ِ ‫ا َ ْل ُم ْر‬

"Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya
berbuka dan memberi makan". [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18].

Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan atsar ini juga
dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa'.

Ibnu Qudamah berkata,"Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan
hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di
antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika
keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan
memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu
'Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi'i. [8]

Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi wajib untuk
membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.

Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:

ِ ‫ـيام َع ِن ْال ُح ْبلَى َو ْال ُم ْر‬


ِ‫ضع‬ َ ‫ص‬ ِّ ِ ‫ض َع ال‬ َّ
َ ‫إن هللاَ َو‬
"Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui".
[HR Al Khamsah].

Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika
takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak
menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.[*]

Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja.


Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian.
Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', karena hal itu
sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits "Sesungguhnya Allah
menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui", maka yang dimaksud ialah,
bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk
mengqadha'. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al
Bashri dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil,
jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha'
(dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).

Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat [9]. Beliau (Syaikh Ibnu
'Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap
dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik
Al Ka'bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:

‫ص ْو َم‬ ِ ‫صَلَ ِة َو َع ْن ْالحُبْ ُِلَى َو ْال ُم ْر‬


َّ ‫ضعِ ال‬ ْ ‫سا ِف ِر ش‬
َّ ‫َط َر ال‬ َ ‫ع ْن ْال ُم‬ َ ‫ِإ َّن الهَ َو‬
َ ‫ض َع‬

"Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan
wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa". [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu
Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha' dari hari yang dia
tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang
telah sembuh.[10]

Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash
fatwa tersebut dibawah ini.

Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.


Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap
anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia
berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha'? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha',
tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha'?
Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?

Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya
jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha'
saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia
khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:

‫سفَ ٍر فَ ِعدَّة ِِّم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر‬


َ ‫فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِريضاا أ َ ْو َعلَى‬

"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari
hari-hari yang lain".

Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika
menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa,
sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk
mengqadha' saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.[11]

2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha' Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak
Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.

Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar fidyah. Hal ini
merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi'i,
wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati
(yakni jika dia belum mengqadha' puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib
baginya fidyah dua kali).

Dalil dari pendapat ini adalah:


Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk
memberi makan dan mengqadha' bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan
berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha'if, sehingga tidak
bisa dijadikan hujjah.

Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha'
hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red)
memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab
mengakhirkan dalam mengqadha' puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan
merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha'i. Karena hal itu merupakan puasa
wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti
dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]

Berkata Imam Asy Syaukani: "Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib
(untuk membayar fidyah)". [14]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu
Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk
membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib
baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam
menngqadha". [15]

Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang
mengakhirkan mengqadha' hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit
atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar
fidyah.

Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam
masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya
untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati,
maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha',
kemudian mati sebelum mengerjakannya.

Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa
kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha'nya,
maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari
hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha', tetapi karena dia
mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.

Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban
baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[16]

D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH.


Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah
yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan
kepada 'urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah,
apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau
makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka
memilikinya.

Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.


Berkata Imam An Nawawi: "(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan
untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan
pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang
paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa
dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara
jenis makanan yang ada".

Imam An Nawawi juga berkata: "Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq
(tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar
fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang
lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah
dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari
fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja". [17]

Ukuran Satu Mud.


Satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus
delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram.
Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. [18]

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu
mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. [19]

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud
dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah
dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha' (dua
mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi
makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka
itu adalah lebih baik baginya.

E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH


Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.

Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin


sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas
bin Malik ketika beliau tua.

Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa
pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian
beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga
kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul
Ghalil).

Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama
berkata: "Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha' dari selainnya. Akan
tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau
selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan".

F. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH.


Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah
untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan
hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau
tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti
mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban.

Wallahu Ta'ala A'lam.

Maraji`:
1. Al Majmu' Syarh Al Muhadz-dzab, Imam An Nawawi. Cet. Maktabah Al Irsyad, Jeddah.
2. Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah, Cet. Maktabah Ar Riyadh Al Haditsah, Riyadh, Tahun
1402 H.
3. Mukhtar Ash Shihah, Imam Muhammad Ar Razi, Cet. Maktabah Lubnan, Tahun 1989.
4. Asy Syarhul Mumti', Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin. Cet. Maktabah Asaam,
Riyadh, Tahun 1416 H.
5. Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, Cet. Dar Al Kalim Ath Thayyib, Beirut, Tahun1419
H.
6. Nailul Maram, Allamah Shiddiq Hasan Khan, Cet. Ramadi, Dammam, Tahun 1418 H.
7. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Kedua Al Maktab Al
Islami, Tahun1405 H.
8. Fat-hul Bari, Al Hafizh Ibnu Hajar. Cet. Dar Al Ma'rifah, Beirut.
9. Fatawa Islamiyah, Jama': Muhammad Al Musnid. Cet Dar Al Wathan, dan kitab-kitab
lainnya.

Derajat Hadits Puasa Hari Tarwiyah


Kamis, 13 Desember 2007 14:37:48 WIB

DERAJAT HADITS PUASA HARI TARWIYAH

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Sudah terlalu sering saya ditanya tentang puasa pada hari tarwiyah (tanggal delapan
Dzulhijjah) yang biasa diamalkan oleh umumnya kaum muslimin. Mereka berpuasa selama
dua hari yaitu pada tanggal delapan dan sembilan Dzulhijjah (hari Arafah). Dan selalu
pertanyaan itu saya jawab : Saya tidak tahu! Karena memang saya belum mendapatkan
haditsnya yang mereka jadikan sandaran untuk berpuasa pada hari tarwiyah tersebut.

Alhamdulillah, pada hari ini (3 Agustus 1987) saya telah menemukan haditsnya yang
lafadznya sebagai berikut.
“Artinya : Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan (dosa) satu tahun, dan puasa pada hari
Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun”.

Diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248) dari jalan :

[1]. Abu Syaikh dari :


[2]. Ali bin Ali Al-Himyari dari :
[3]. Kalbiy dari :
[4]. Abi Shaalih dari :
[5]. Ibnu Abbas marfu’ (yaitu sanadnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Saya berkata : Hadits ini derajatnya maudlu’.

Sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.

Pertama.
Kalbiy (no. 3) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbiy. Dia ini seorang rawi
pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits yang engkau
dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits ini dusta” (Sedangkan
hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas).

Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih hadits-hadits yang maudlu’
(palsu)” Tentang Kalbiy ini dapatlah dibaca lebih lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.

[1]. At-Taqrib 2/163 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar


[2]. Adl-Dlu’afaa 2/253, 254, 255, 256 oleh Imam Ibnu Hibban
[3]. Adl-Dlu’afaa wal Matruukin no. 467 oleh Imam Daruquthni
[4]. Al-Jarh Wat Ta’dil 7/721 oleh Imam Ibnu Abi Hatim
[5]. Tahdzibut Tahdzib 9/5178 oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar

Kedua : Ali bin Ali Al-Himyari (no. 2) adalah seorang rawi yang majhul (tidak dikenal).

Kesimpulan
[1]. Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) adalah hukumnya bid’ah. Karena hadits yang
mereka jadikan sandaran adalah hadits palsu/maudlu’ yang sama sekali tidak boleh dibuat
sebagai dalil. Jangankan dijadikan dalil, bahkan membawakan hadits maudlu’ bukan dengan
maksud menerangkan kepalsuannya kepada umat, adalah hukumnya haram dengan
kesepakatan para ulama.

[2]. Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) adalah hukumnya sunat sebagaimana
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini.

“Artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa)
satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’
(tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang
telah lalu”.

Apakah Imsak Memiliki Dalil Dari As-


Sunnah Ataukah Merupakan Bid'ah?
Senin, 2 Oktober 2006 14:11:12 WIB

APAKAH IMSAK MEMILIKI DALIL DARI SUNNAH ATAUKAH MERUPAKAN


BID’AH ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami melihat beberapa almanak di
bulan Ramadhan dituliskan padanya bagian yang disebut “imsak” yang dijadikan sebelum
shalat shubuh kurang lebih sepuluh menit, atau seperempat jam, apakah hal ini memiliki dalil
dari sunnah ataukah merupakan bid’ah ? Berilah fatwa kepada kami, mudah-mudahan anda
mendapat pahala.

Jawaban
Hal ini termasuk bid’ah, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya,
karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia.

“Artinya : Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang merah dari benang putih yaitu
fajar” [Al-Baqarah : 187]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, makan dan


minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan
sampai terbit fajar” [1]

Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang
diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk
perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda.

“Artinya : Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan !


Celakalah orang yang mengada-adakan ! “ [2]

SEBELUM NAIK PESAWAT MATAHARI SUDAH TENGGELAM LALU IA


BERBUKA, SETELAH PESAWAT LEPAS LANDAS DIA MELIHAT MATAHARI,
APAKAH HARUS MENAHAN DIRI DARI MAKAN MINUM ?

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seseorang menyaksikan tenggelamnya
matahari, muadzin pun mengumandangkan adzan sedangkan saat itu dia berada di Bandar
Udara lalu dia berbuka puasa, sesudah pesawat yang ditumpanginya lepas landas dia melihat
matahari, apakah dia harus menahan diri dari makan dan minum?

Jawaban
Jawaban kami terhadap kasus ini adalah dia tidak wajib menahan diri (berpuasa lagi), karena
waktu berbuka datang tatkala mereka masih berada di daratan, matahari sudah tenggelam
ketika itu dan mereka berada di tempat tenggelamnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

“Artinya : Apabila malam datang menyongsong dari sana dan siang telah meninggalkan dari
arah sana, juga matahari telah tenggelam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” [3]

Apabila dia berbuka berdasar tengelamnya matahri sedangkan saat itu dia berada di Bandar
Udara (Airport) maka berakhirlah harinya, jika harinya telah berakhir maka dia tidak lagi
wajib menahan diri dari makan dan minum kecuali pada hari berikutnya.
Atas dasar ini, dia tidak wajib menahan diri dalam kondisi ini, karena berbuka puasa sudah
sesuai dalil syariat sehingga tidak diwajibkan atasnya berpuasa lagi kecuali dengan dalil
syariat pula.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi
Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]

Larangan Pengkhususan Puasa Hari


Jum'at, Hukum Puasa Asyura Dan Apa
Puasa Wishal Itu ?
Rabu, 20 September 2006 15:22:29 WIB

LARANGAN PENGKHUSUSAN PUASA HARI JUM’AT


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa alasan dilarangnya pengkhususan
hari Jum'at untuk berpuasa ? Apakah termasuk juga puasa pengganti (pembayaran hutang
puasa) ?

Jawaban.
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum'at, kecuali jika berpuasa
sehari sebelum atau setelahnya" [Ditakhrij oleh Muslim : Kitabush Shaum/Bab Karahiatu
Shiyam Yaumul Jum'ah Munfaridan (1144)]

Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum'at dengan puasa adalah bahwa hari Jum'at
merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang
disyariatkan ; karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul Adha
dan Hari raya mingguan yakni hari Jum'at. Oleh sebab itu hari ini terlarang dari
pengkhususan puasa, karena hari Jum'at adalah hari yang sepatutnya seseorang lelaki
mendahulukan shalat Jum'at, menyibukkan diri berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan
hari Arafah yang para jama'ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia
disibukkan dengan do'a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa ketika saling berbenturan
beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan ibadah yang tak bisa
ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda.

Apabila ada orang yang berkata, "Sesungguhnya alasan ini, bahwa keadaan Jum'at sebagai
hari raya mingguan seharusnya menjadikan puasa pada hari itu menjadi haram sebagaimana
dua hari raya lainnya (Fitri dan Adha) tidak hanya pengkhususannya saja".

Kami katakan, "Dia (Jum'at) berbeda dengan dua hari raya itu ; sebab dia berulang di setiap
bulan sebanyak empat kali, karena ini tiada larangan yang berderajat haram padanya,
selanjutnya di sana ada sifat-sifat lain dari dua hari raya tersebut yang tidak didapatkan di
hari Jum'at.

Adapun apabila dia berpuasa satu hari sebelumnya atau sehari sesudahnya maka puasanya
ketika itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum'at dengan
puasa ; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari
Sabtu.
Sedangkan soal seorang penanya, "Apakah larangan ini khusus untuk puasa nafilah (sunah)
atau juga puasa Qadha (pengganti hutang puasa) ?

Sesungguhnya dhahir dalilnya umum, bahwa makruh hukumnya mengkhususkan puasa sama
saja apakah untuk puasa wajib (qadla) atau puasa sunnah, -Ya Allah-, kecuali kalau orang
yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya
sehingga dia bisa membayar hutang puasanya kecuali pada hari Jum'at, ketika itu dia tidak
lagi makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum'at untuk berpuasa ; karena dia
memerlukan hal itu.

APAKAH PUASA WISHAL ITU ?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah puasa Wishal itu? Apakah
puasa itu termasuk diperintahkan ?

Jawaban
Puasa wishal adalah apabila seseorang berbuka selama dua hari lalu menyambung
(melangsungkan) puasa dua hari secara berturut-turut. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah melarang perbuatan ini, beliau bersabda :

“Artinya : Barangsiapa yang ingin menyambung puasa maka hendaklah dia menyambung
puasa sampai sahur saja” [Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum. Bab Wishal
(menyambung puasa) sampai sahur 19670)]

Orang yang menyambung puasa sampai sahur termasuk bab kebolehan, tetapi tidak termasuk
dianjurkan, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menyegerakan berbuka,
beliau bersabda.

“Artinya : Tidak henti-hentinya manusia dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan


berbuka puasa”

Akan tetapi mereka diperbolehkan untuk menyambung puasa sampi sahur saja, tatkala para
sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah ! sesungguhnya engkau menyambung puasa”. Beliau
menjawab : “Sesungguhnya keadaanku tidak sebagaimana keadaan kalian”[Ditakhrij oleh Al-
Bukhari dalam Kitabush Shaum/Bab Barakatus Sahur fie ghairi ijab 1922 dan Muslim dalam
Kitabus Shaum/Bab An-Nahyu anil wishal 1102]

HUKUM BERPUASA DI BULAN SYA’BAN

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya berpuasa pada bulan
Sya’ban ?

Jawaban
Berpuasa pada bulan Sya’ban adalah sunah, memperbanyak puasa di bulan itu juga
merupakan sunah sampai-sampai Aisyah Radhiyallahu ‘anha bertutur:

“Aku tidak pernah melihat beliau (Nabi) berpuasa lebih banyak daripada di bulan Sya’ban”
[Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum, Bab Puasa Sya’ban 1969]
Sebaikny memperbanyak puasa di bulan Sya’ban menurut hadits ini.

Para ulama berkata : “Puasa di bulan Sya’ban sebagaimana sunat rawatib bagi lima shalat
fardhu, seolah-olah dia mendahului puasa Ramadhan, maksudnya seakan-akan dia menjadi
rawatibnya bulan Ramadhan. Karena itu sunnah puasa di bulan Sya’ban dan sunah puasa
enam hari di bulan Syawal seperti rawatib sebelum shalat wajib dan sesudahnya.

Dalam puasa di bulan Sya’ban terdapat manfaat yang lain yakni mempersiapkan diri dan
menyiagakannya untuk berpuasa agar dirinya menjadi siap mengerjakan puasa Ramadhan,
menjadi mudah baginya untuk menunaikannya.

HUKUM PUASA ASYURA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya puasa Asyura?

Jawaban.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari kesepuluh bulan Muharram, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.

“Artinya : Saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian!, lalu beliau mengerjakan puasa
pada hari itu dan memerintahkan muslimin untuk berpuasa padanya” [Diriwayatkan oleh
Bukhari : Kitab Shaum/Bab Puasa Hari Asyura 2004. Muslim Kitab Syiyam/Bab Puasa Hari
Asyura 1130]

Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma yang disepakati
keshahihannya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan
menyuruh untuk berpuasa padanya. Ditanyakan kepada beliau tentang keutamaan puasa hari
itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

“Artinya : Aku mengharap kepada Allah untuk menghapuskan dosa setahun yang
sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Disukainya berpuasa tiga hari
tiap bulan atau puasa di hari Arafah 1162]
Akan tetapi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah itu memerintahkan untuk
menyelisihi Yahudi dengan berpuasa satu hari sebelumnya yakni tanggal 9 Muharram atau
satu hari sesudahnya yakni tanggal 11 Muharram.

Atas dasar itu, yang paling utama adalah berpuasa pada hari kesepuluh (10 Muharram) lalu
merangkaikan satu hari sebelumnya, atau satu hari sesudahnya. Tambahan di hari kesembilan
lebih utama daripada hari kesebelas.

Sebaiknya engkau, wahai saudaraku muslim, berpuasa hari Asyura, demikian juga hari
kesembilan Muharram

Bagaimana Menjalankan Puasa Enam Hari


Bulan Syawal ?
Selasa, 8 Nopember 2005 06:54:30 WIB

BAGAIMANA MENJALANKAN PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa cara yang paling baik dalam
menjalankan puasa enam hari bulan Syawal ?

Jawaban
Cara yang paling utama adalah berpuasa pada enam hari awal bulan syawal sesudah hari Idul
Fithri secara langsung, berturut-turut sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama, karena
cara itu lebih maksimal dalam mewujudkan pengikutan seperti yang dituturkan dalam hadits,
"Kemudian mengikutinya", dan karena cara itu termasuk bersegera menuju kebajikan yang
diperintahkan oleh dalil-dalil yang menganjurkannya dan memuji orang yang
mengerjakannya, juga hal itu termasuk keteguhan hati yang merupakan bagian dari
kesempurnaan seorang hamba Allah, sebab kesempatan tidak selayaknya dibiarkan lewat
percuma ; karena seseorang tidak tahu apa yang dihadapkan kepadanya di kesempatan yang
kedua atau akhir perkara.

Inilah yang saya maksudkan dengan bersegera dalam beramal dan cepat-cepat mengambil
kesempatan, sebaiknya seseorang menjalankannya dalam segala urusannya di kala kebenaran
telah jelas nampak padanya.

PUASA ENAM HARI BULAN SYAWAL BAGI ORANG YANG PUNYA HUTANG
PUASA WAJIB.

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pendapat anda tentang
puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang berkewajiban membayar hutang puasa wajib
?

Jawaban
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan enam hari
dari bulan Syawal, seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa"[1]

Adapun jika seseorang masih menanggung hutang puasa lalu dia puasa enam hari, apakah dia
boleh mengerjakannya sebelum pelunasan hutang Ramadhan ataukah harus sesudahnya ?

Misalnya : Seorang laki-laki berpuasa Ramadhan sebanyak dua puluh empat hari, masih
terhutang atasnya enam hari, apabila dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum
mengerjakan enam hari puasa pengganti Ramadhan, maka tidak bisa dikatakan :
Sesungguhnya dia berpuasa Ramadhan, dan dia mengikutinya dengan enam hari bulan
Syawal ; sebab dia tidak dianggap berpuasa Ramadhan kecuali bila dia menyempurnakannya,
atas dasar ini maka tidak ditetapkan pahala puasa enam hari bulan Syawal bagi orang yang
mengerjakannya padahal dia masih punya tanggungan hutang puasa Ramadhan.

Masalah ini bukanlah termasuk hal diperselisihkan ulama tentang bolehnya puasa nafilah
(sunah) bagi orang yang masih memiliki tanggungan puasa wajib, karena perselisihan itu
terjadi pada puasa selain enam hari tersebut, sedangkan tentang enam hari yang mengikuti
Ramadhan tidak mungkin ditetapkan pahalanya kecuali bagi orang yang telah
menyempurnakan puasa Ramadhan.

Tanda Subuh Adalah Terbitnya Fajar, Apa


Hukum Makan Dan Minum Ketika
Muadzin Adzan
Rabu, 19 Oktober 2005 11:02:18 WIB

TANDA SUBUH ADALAH TERBITNYA FAJAR, APA HUKUM MAKAN DAN


MINUM KETIKA MUADZIN ADZAN.
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum makan dan minum ketika
muadzin mengumandangkan adzan atau sesaat setelah adzan, terutama bila terbitnya fajar
tidak diketahui dengan pasti ?

Jawaban
Batas yang menghalangi seseorang yang berpuasa dari makan dan minum adalah terbitnya
fajar, berdasarkan firman Allah Ta'ala.

Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. [Al-Baqarah ; 187]

Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam

Artinya : Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangakan
adzan.

Perawi hadits ini menyebutkan, Ibnu Ummi Maktum adalah seorang laki-laki buta, ia tidak
mengumandangkan adzan kecuali diberitahukan kepadanya, Engkau telah masuk waktu
subuh, engkau telah masuk waktu subuh[1]

Jadi, tandanya adalah terbitnya fajar. Jika muadzinnya seorang yang tepat waktu dan dikenal
tidak pernah mengumandangkan adzan kecuali setelah terbitnya fajar, apabila ia adzan maka
yang mendengarnya wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan
patokan mendengar adzannya. Jika muadzinnya memang biasa mengumandangkan adzan
berdasarkan perkiraan, maka sebaiknya orang menghentikan kegiatan makannya ketika
mendengarnya, kecuali orang yang sedang di dataran dan dapat menyaksikan fajar, maka ia
tidak perlu berhenti hanya karena mendengar adzannya sampai ia betul-betul melihat
terbitnya fajar jika tidak ada sesuatu yang menghalanginya, karena Allah telah menetapkan
hukum ini dengan ketentuan bergantinya malam ke siang yang ditandai dengan terbitnya
fajar. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun telah mengatakan tentang adzannya Ibnu Ummu
Maktum, Ia tidak adzan kecuali setelah terbitnya fajar[2]

Perlu saya ingatkan di sini tentang masalah yang dilakukan oleh sebagian muadzin, yaitu
mereka mengumandangkan adzan sebelum fajar, yaitu sekitar lima atau empat menit dengan
alas an untuk kehati-hatian bagi yang hendak berpuasa.

Sikap kehati-hatian semacam ini termasuk berlebih-lebihan, bukan kehati-hatian yang syar'i,
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda :

Artinya : Binasalah orang yang berlebih-lebihan.[3]

Yaitu kehati-hatian yang tidak benar, karena mereka memberikan sinyal kehati-hatian untuk
puasa tapi malah menimbulkan keburukan dalam perkara shalat. Banyak orang yang langsung
mengerjakan shalat subuh begitu mendengar adzan. Ini berarti orang-orang tersebut shalat
subuh karena mendengar adzan yang sebenarnya dikumandangkan sebelum waktunya,
padahal mengerjakan shalat sebelum waktunya tidak sah. Dengan demikian berarti telah
menimbulkan petaka bagi orang-orang yang shalat.

Lain dari itu, hal ini pun berarti keburukan bagi yang hendak berpuasa, karena adanya adzan
tersebut telah menghalangi seseorang yang hendak berpuasa dari makan dan minum, padahal
saat tersebut termasuk saat yang masih dibolehkan oleh Allah. Dengan demikian berarti
terlah berbuat dosa terhadap orang-orang yang hendak berpuasa, karena ia mencegah mereka
dari apa yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, dan berarti pula berdosa terhadap orang-
orang yang shalat karena mereka mengerjakan shalat sebelum waktunya, yang mana hal ini
membatalkan shalat mereka.

Maka seorang muadzin hendaknya senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan menempuh cara kehati-hatian yang benar berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Jika Orang Yang Shaum Mimpi Basah Di


Siang Hari Ramadhan, Apakah Shaumnya
Batal ?
Jumat, 14 Oktober 2005 15:26:57 WIB

JIKA ORANG YANG SHAUM MIMPI BASAH DI SIANG HARI RAMADHAN,


APAKAH SAHUMNYA BATAL ?

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika orang yang shaum mimpi basah di
siang hari Ramadhan, apakah membatalkan shaumnya ataukah tidak ? Haruskah dia
bersegera untuk mandi ?

Jawaban
Mimpi basah tidak membatalkan shaum, karena hal itu terjadi tanpa unsur kesengajaan dari
orang yang shaum tersebut. Dan dia wajib mandi janabah ketika melihat keluarnya air mani.

Jika seseorang mimpi basah setelah shalat shubuh lalu dia mengakhirkan mandinya hingga
menjelang dhuhur maka tidak apa-apa. Demikian pula jika seseorang menggauli istrinya di
waktu malam dan dia belum mandi hingga terbitnya fajar, hal itu tidak mengapa, karena
disebutkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ketika subuh Nabi masih dalam
keadaan junub karena jima (di malam hari), kemudian beliau mandi dan shaum.

Demikian pula halnya dengan orang yang haidh dan nifas, seandainya keduanya telah suci di
malam hari lalu baru mandi setelah terbit fajar, hal itu tidak mengapa, shaumnya tetap sah.
Akan tetapi tidak boleh bagi keduanya maupun bagi yang junub untuk mengakhirkan mandi
atau shalatnya hingga terbit matahari. Wajib bagi mereka untuk bersegera mandi sebelum
terbit matahari untuk menunaikan shalat tepat pada waktunya.

Bagi seorang laki-laki hendaknya bersegera untuk mandi janabah sebelum shalat subuh
sehingga memungkinkan baginya untuk menghadiri shalat jama'ah. Wallahu waliyut Taufiq

Orang Yang Mendapatkan Bulan


Ramadhan, Tapi Masih Punya Hutang
Puasa Ramadhan Tahun Sebelumnya
Rabu, 12 Oktober 2005 07:48:33 WIB

ORANG YANG MENDAPATKAN BULAN RAMADHAN, TAPI DIA MASIH PUNYA


HUTANG BEBERAPA HARI PUASA RAMADHAN TAHUN SEBELUMNYA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang yang ketika datang bulan
Ramadhan dia masih punya hutang puasa Ramadhan tahun lalu. Berdosakah dia dalam hal ini
? Haruskah dia membayar kifarat (denda) ?

Jawaban
Orang yang mempunyai hutang puasa Ramadhan dia wajib mengqadlanya sebelum
Ramadhan berikutnya. Dan dia boleh mengakhirkan puasa qadha tersebut sampai bulan
Sya'ban. Jika Ramadhan berikutnya telah tiba sementara dia belum mengqadla puasa
Ramadhan tahun lalu tanpa alasan yang syar'i, maka dia berdosa.

Dalam hal ini dia harus mengqadla puasa tersebut dan memberi makanan kepada fakir
miskin, satu hari satu orang. Hal ini bedasarkan fatwa sejumlah shahabat Radhiyallahu
'anhum. Adapun jumlah makanan pokok tersebut adalah setengah sha' makanan pokok
setempat untuk satu hari puasa. Diberikan kepada orang-orang miskin walaupun satu.

Adapun jika keterlambatan mengqadla tersebut disebabkan karena sakit atau safar (musafir),
maka dia hanya wajib mengqadla saja dan tidak wajib memberi makan kepada fakir miskin.

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Artinya : Barangsiapa yang sakit atau sedang bepergian, maka dia boleh berpuasa di hari
lain".[Al-Baqarah : 184]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha penolong

MENGQADLA PUASA RAMADHAN TAHUN YANG TELAH LALU

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya telah berumur 50 tahun dan saya
pernah meninggalkan puasa Ramadhan sebanyak 15 hari yaitu ketika saya melahirkan salah
seorang anak saya dan waktu itu umur saya kira-kira 27 tahun. Pada tahun tersebut saya
belum mengqadla hutang puasa saya. Haruskah saya mengqadlanya sekarang ? Dan
berdosakah saya dalam hal ini ? berikanlah jawaban kepada saya, mudah-mudahan Allah
Subhanahu wa Ta'ala membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban
Anda wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena anda telah mengakhirkan
kewajiban anda tersebut. Jadi anda wajib mengqadla jumlah hari yang anda tinggalkan dan
anda juga harus member makan kepada orang miskin setiap satu hari setengah sha' makanan
pokok setempat

Mengobati Pilek Dengan Obat Yang


Dihirup Melalui Hidung, Menggunakan
Kecantikan Modern Saat Berpuasa
Sabtu, 30 Oktober 2004 07:39:26 WIB

HUKUM MENGGUNAKAN CELAK MATA DAN PERLENGKAPAN KECANTIKAN


LAINNYA DI SIANG HARI RAMADHAN

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apa hukumnya menggunakan celak mata dan
perlengkapan kecantikan lainnya bagi kaum wanita pada siang hari bulan Ramadhan, apakah
hal ini dapat membatalkan puasanya atau tidak .?

Jawaban
Celak mata tidak membatalkan puasa kaum pria maupun wanita menurut pendapat yang
paling benar di antara dua pendapat ulama, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih
utama bagi orang yang sedang berpuasa. Begitu juga menggunakan perlengkapan kecantikan
wajah lainnya yang berhubungan dengan wajah, seperti sabun, cream dan sejenis lainnya
yang berhubungan dengan kulit, termasuk inai, make up dan sebagainya, hanya saja make up
sebaiknya tidak digunakan jika dapat merusak wajah.

[Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/170]

MENGGUNAKAN ALAT-ALAT KECANTIKAN MODERN SAAT BERPUASA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya menggunakan alat-alat kecantikan
modern saat berpuasa, apakah saya dikenakan sesuatu karena menggunakannya .?

Jawaban
Tidak ada apa pun yang dikenakan pada seorang wanita yang berpuasa jika menggunakan
cream pada wajahnya, baik untuk mempercantik dirinya ataupun bukan, yang penting semua
kosmetik ini dengan segala macam rupanya yang digunakan di wajahnya atau di
punggungnya atau di bagian badan lainnya tidak ada pengaruhnya terhadap orang yang
sedang berpuasa dan tidak membatalkannya.

[Fatawa wa Durus Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65]

MENGGUNAKAN INAI PADA RAMBUT SAAT BERPUASA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah boleh menggunakan inai pada saat berpuasa dan saat
shalat, karena saya telah mendengar pendapat yang menyatakan bahwa inai dapat
membatalkan puasa .?

Jawaban
Pendapat itu tidak benar, karena sesungguhnya menggunakan inai saat puasa tidak
membatalkan puasa dan tidak berdampak apa pun bagi orang yang berpuasa, sama halnya
dengan menggunakan celak mata, dan sama halnya juga dengan menggunakan obat tetes
mata atau obat tetes untuk telinga, karena semua itu tidak dapat membahayakan puasa
seseorang dan tidak membatalkan puasa. Adapun menggunakan inai saat shalat, saya tidak
paham bagaimana maksud dari pertanyaan ini, sebab wanita yang sedang shalat tidak bisa
memakaikan inai, mungkin yang dimaksud penanya adalah : Apakah inai dapat mengahalangi
sahnya wudhu seorang wanita jika ia menggunakannya..?

Jawabannya adalah : Bahwa menggunakan inai tidak membatalkan wudhu, karena inai tidak
memiliki dzat yang dapat mencegah mengalirnya air pada kulit. sebab inai hanyalah warna
saja, adapun yang dapat membatalkan wudhu adalah sesuatu yang memiliki dzat yang mana
dzat itu dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka dzat tersebut harus dihilangkan
terlebih dahulu hingga wudhu menjadi sah.

[Fatawa Nur'ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 46]

APAKAH KOSMETIK PELEMBAB DAPAT MEMBATALKAN PUASA

Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah kosmetik pelembab kulit dapat membatalkan
puasa jika termasuk jenis yang tidak menghalangi mengalirnya air pada kulit ..?

Jawaban
Tidak mengapa menggunakan kosmetik pelembab pada tubuh saat berpuasa jika hal itu
dibutuhkan, karena pelembab itu hanya membasahkan permukaan kulit dan tidak masuk
hingga ke dalam tubuh, kemudian jika pelembab itu diperkirakan dapat masuk ke pori-pori
kulit maka hal itu pun tidak termasuk yang membatalkan puasa.

[Fatawa Ash-Shiyam, halaman 41]

MENGOBATI PILEK DENGAN OBAT YANG DIHIRUP MELALUI HIDUNG

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ada sejenis obat untuk penyakit pilek yang cara
pennggunaannya dengan menghirupnya melalui hidung, apakah menggunakan obat ini dapat
membatalkan puasa atau tidak .?
Jawaban
Obat pengakit pilek yang digunakan oleh penderita penyakit itu dengan cara menghirupnya
melalui hidung lalu masuk ke dalam paru-paru melalui rongga tempat berlalunya pernafasan
dan tidak menuju ke tempat perut besar, maka hal ini tidak dinamakan memakan atau
meminum atau yang serupa dengan keduanya. Cara pengobatan seperti itu sama halnya
dengan meneteskan obat melalui suntikan untuk menuju pada badan tanpa menggunakan
mulut atau hidung. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat, apakah pengobatan
dengan cara itu dapat membatalkan puasa atau tidak, sebagian mereka ada yang berpendapat
bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa, walaupun demikian mereka semua bermufakat
bahwa hal tersebut tidak dinamakan makan ataupun minum, akan tetapi mereka yang
berpendapat bahwa hal itu dapat membatalkan puasa karena benda yang dimasukkan itu
masuk ke dalam tubuh, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Dan mantapkanlah dalam istinsyaq [1] kecuali jika kami sedang berpuasa"

Perintah memantapkan ber-istinsyaq ini dikecualikan bagi orang yang sedang berpuasa,
karena dikhawatirkan air yang dihirup itu akan masuk ke dalam kerongkongan lalu ke perut
besar, sebab hal itu dapat membatalkan puasa. Maka hadits ini menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan yang bukan kerena keterpaksaan, dapat
mebatalkan puasa. Adapun golongan ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak
membatalkan puasa, di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
dan yang sependapat denganya, menyatakan bahwa tidak benar mengkiaskan hal ini dengan
makan dan minum, karena dalil-dalil yanga ada tidak menunjukkan bahwa yang
membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu yang sampai ke dalam otak atau ke dalam
tubuh, dan juga bukan yang masuk melalui suatu jalan yang sampai ke tenggorokan. Karena
tidak ada dalil syar'i yang menjadikan salah satu proses itu (istinsyaq atau berkumur) sebagai
penyebab berlakunya hukum, yakni membatalkan puasa. Jadi proses tersebut (istinsyaq atau
berkumur) tidak dapat dikategorikan dengan sampainya benda ke dalam tenggorokan atau
perut sehingga membatalkan puasa, baik itu sampainya melalui hidung maupun melalui
mulut, sebab keduanya hanyalah jalan. Karena itu, puasa seseorang tidak batal hanya karena
berkumur atau istinsyaq yang tidak dalam, bahkan hal ini tidak dilarang. Mulut itu sendiri,
hanya sebagai jalan masuk saja, tapi jalan ini tidak pasif, artinya tidak semua yang masuk ke
mulut mesti masuk ke tenggorokan, sebab mulut bisa memuntahkan lagi. Jika masuknya
sesuatu melalui hidung sama dengan yang melalui mulut, kemudian adakalanya hidung sama
dengan yang melalui mulut, kemudian adakalanya hidung digunakan untuk memasukkan
sesuatu, maka mulut dan hidung mempunyai fungsi yang sama, yakni bisa sebagai jalan
masuk, bisa menahan dan bisa mengeluarkan kembali. Tampaknya pendapat yang benar
adalah pendapat yang menyatakan tidak membatalkan puasa bila menggunakan obat yang
dihirup, karena cara tersebut tidak sama dengan makan dan minum.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, 3/365]


Kaffarat Orang Yang Menyetubuhi
Istrinya, Bolehkah Memberi Makan
Kepada Selain Kaum Muslimin ?
Selasa, 26 Oktober 2004 22:11:49 WIB

KAFFARAT ORANG YANG MENYETUBUHI ISTRINYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang yang berpuasa telah
menyetubuhi istrinya, bolehkah ia memberi makan enam puluh orang miskin sebagai
kaffaratnya .?

Jawaban.
Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan padahal ia sendiri wajib
berpuasa, maka ia wajib berkaffarat berupa memerdekakan hamba sahaya ; jika tak mampu,
wajib berpuasa dua bulan berturut-turut ; jika tak mampu, wajib memberi makan enam puluh
orang miskin.

Penanya mengatakan : "Bolehkah dirinya berkaffarat dengan cara memberi makan enam
puluh orang miskin ?" Kami jawab : "Jika masih kuat berpuasa, maka ia wajib berpuasa dua
bulan berturut-turut". Puasa dua bulan akan ringan bila seseorang bertekad ingin
melakukannya kecuali jika malas. Segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan bagi kita
beberapa hal yang jika dilakukan akan dapat menghapus siksa akhirat. Karena itu, kepada
saudara penanya, kami sarankan hendaklah saudara berpuasa berturut-turut jika tak ada
hamba sahaya untuk di merdekakan. Puasa kaffarat tersebut boleh dilakukan pada musim
hujan biar udara dingin dan sejuk. Kewajiban kaffarat tersebut berlaku pula bagi istrinya, jika
bersetubuh atas kehendaknya sendiri, kecuali jika dipaksa. Bagi yang dipaksa tak wajib
kaffarat dan qadla serta puasanya tetap sempurna.

BERSETUBUH DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum orang yang
bersetubuh di siang hari Ramadhan ..?

Jawaban.
Jika ia termasuk orang yang boleh berbuka, seperti tengah menempuh suatu perjalanan, maka
tidak mengapa bersetubuh. Dan jika keduanya tidak termasuk yang boleh berbuka, maka
bersetubuh haram, berdosa serta wajib qadla. Di samping wajib qadla, iapun wajib
memerdekakan hamba sahaya ; jika tak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut ; jika
tak mampu, wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Kewajiban ini berlaku
pula kepada istrinya, kecuali jika dipaksa melakukannya.

BOLEHKAH MEMBERI MAKAN KEPADA SELAIN KAUM MUSLIMIN ?

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah memberi makan kepada
selain muslimin dan berpakah macam orang sakit dalam berpuasa .?

Jawaban.
Pertama, kami kemukakan bahwa sakit itu ada dua macam ; [a] sakit yang bisa diharapkan
sembuh, maka hukumnya diterangkan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Orang yang
sakit seperti ini hendaknya menunggu sembuh setelah itu baru berpuasa. Jika diperkirakan
bahwa sakitnya akan berkepanjangan dan ternyata ia meninggal dunia sebelum sempat
membayar puasanya, maka ia tak wajib mengqadlanya, sebab terburu mati, tak jauh berbeda
dengan yang meninggal dunia pada bulan Sya'ban. [b] sakit yang tak kunjung sembuh, seperti
kanker atau rematik, mag, pusing atau yang lainnya. Orang yang berpenyakit seperti ini boleh
selamanya tak berpuasa dan digantikan kewajibannya dengan memberi makan seorang
miskin pada setiap harinya. Yang berpenyakit seperti ini sama kedudukannya dengan orang
yang sudah tua renta yang tak sanggup lagi berpuasa. Allah berfirman :
"Artinya : Dan wajib bagi orang berat menjalankannya (jika mereka tida berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin". [Al-Baqarah : 184]

Itulah keringanan pertama bagi yang tak mampu berpuasa, namun akan lebih baik jika
mereka tetap berpuasa menurut kelanjutan ayat di atas. Maka dalam hal ini ada pilihan antara
berpuasa dan memberi fidyah. Kemudian puasa sendiri wajib pada ayat berikutnya (Al-
Baqarah : 185). Dengan demikian Allah menjadikan pemberian makanan sebagai imbangan
puasa. Jika seseorang tak mampu berpuasa, baik pada bulan Ramadlan atau sesudahnya,
maka kita kembalikan kepada imbangannya yaitu memberi fidyah. Karena itu, fidyah wajib
bagi yang sakit tak kunjung sembuh atau kepada yang sudah tua renta yang tak sanggup
berpuasa, baik dengan cara langsung diberikan kepada fakir miskin atau mereka yang
diundang untuk makan sesuai dengan jumlah hari-hari puasa, seperti yang pernah dilakukan
oleh Anas sewaktu tua.
Kedua, jika orang yang hendak fidyah masih menemukan orang Islam yang miskin di
negerinya, maka berika fidyah tersebut kepada mereka. Jika tidak ada orang Islamnya, maka
fidyah hendaknya disalurkan kepada negara Islam yang membutuhkannya.

WAJIB PUASA TANPA FIDYAH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya nikah dengan seorang wanita yang
punya hutang puasa Ramadlan sepuluh hari, apakah saya keluarkan fidyah untuknya karena
diketahui ia bukan menjadi tanggunganku atau wajib bagi orang tuanya. Ia sendiri sekarang
hamil delapan bulan, wajibkah ia berpuasa .?

Jawaban.
Bismillahirahmanirrahim. Jika wanita tersebut melahirkan dan habis masa nifasnya, ia wajib
berpuasa tanpa fidyah.

FIDYAH ORANG SAKIT

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah yang sakit tak kunjung sembuh
wajib berpuasa atau fidyah. Jika wajib fidyah, apakah boleh dikeluarkan lebih dulu dan
bolehkah diberikan kepada satu orang atau beberapa orang. Jika ia sembuh, wajibkah ia qadla
atau tidak .?
[Mahmud Zaky Hawary, Amman]

Jawaban.
Jika sembuh dari penyakitnya, ia tak wajib berpuasa, sebab telah menunaikan kewajiban dan
telah bebas.

WAJIB QADLA ATAU MEMBERI FIDYAH BAGI YANG TIDAK BERPUASA


KARENA SAKIT TERJATUH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :Saya terkena musibah sakit terjatuh
hingga tak dapat berpuasa Ramadlan karena terus berobat tiga kali sehari. Pernah pula saya
puasa dua hari namun tak mungkin meneruskannya. Akan tetapi, saya seorang pensiunan
yang bergaji sekitar 83 dinar perbulan dengan seorang istri dan tak ada penghasilan lain,
maka bagaimana hukumnya bila saya tak mungkin memberi makan kepad tiga puluh orang
miskin selama bulan Ramadlan dan sebanyak apa yang mesti saya keluarkan .?

Jawaban.
Jika penyakitnya bisa diharapkan sembuh pada suatu hari, maka tunggullah sampai hilang
sakitnya lalu berpuasa sebagaimana firman Allah (Al-Baqarah : 185). Dan jika penyakitnya
tak ada harapan sembuh, maka wajib mengeluarkan makanan kepada seorang miskin pada
setiap harinya atau dibuatkan makanan lalu diundang seorang miskin untuk menikmatinya
selama hari-hari puasa yang ditinggalakannya. Dengan demikian, tanggung jawab seseorang
terpenuhi. Saya kira hal seperti ini akan mampu dilakukan oleh setiap orang. Jika tak mampu
memberikannya selama satu bulan, maka boleh dicicil dalam beberapa bulan sesuai dengan
kemampuan.

[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al-Utsaimin, hal.227-230, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa
Prof,Drs.KH.Masdar Helmy]

WAKTU-WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA

Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Allah memberikan masing-masing waktu dengan keutamaan dan kemuliaan yang berbeda-
beda, diantaranya ada waktu-waktu tertentu yang sangat baik untuk berdoa, akan tetapi
kebanyakan orang menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut. Mereka mengira bahwa seluruh
waktu memiliki nilai yang sama dan tidak berbeda. Bagi setiap muslim seharusnya
memanfaatkan waktu-waktu yang utama dan mulia untuk berdoa agar mendapatkan
kesuksesan, keberuntungan, kemenangan dan keselamatan. Adapun waktu-waktu mustajabah
tersebut antara lain.

[1]. Sepertiga Akhir Malam

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap
malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu berfirman ; barangsiapa
yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan
perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya”.
[Shahih Al-Bukhari, kitab Da'awaat bab Doa Nisfullail 7/149-150]

[2]. Tatkala Berbuka Puasa Bagi Orang Yang Berpuasa

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pafa saat berbuka ada doa yang tidak
ditolak”. [Sunan Ibnu Majah, bab Fis Siyam La Turaddu Da'watuhu 1/321 No. 1775. Hakim
dalam kitab Mustadrak 1/422. Dishahihkan sanadnya oleh Bushairi dalam Misbahuz Zujaj
2/17].

[3]. Setiap Selepas Shalat Fardhu

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang
doa yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menjawab.

“Artinya : Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai shalat fardhu”.
[Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da'awaat 13/30. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan At-Tirmidzi 3/167-168 No. 2782].

[4]. Pada Saat Perang Berkecamuk

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

“Artinya : Ada dua doa yang tidak tertolak atau jarang tertolak ; doa pada saat adzan dan doa
tatkala peang berkecamuk”. [Sunan Abu Daud, kitab Jihad 3/21 No. 2540. Sunan Baihaqi,
bab Shalat Istisqa' 3/360. Hakim dalam Mustadrak 1/189. Dishahihkan Imam Nawawi dalam
Al-Adzkaar hal. 341. Dan Al-Albani dalam Ta'liq Alal Misykat 1/212 No. 672].

[5]. Sesaat Pada Hari Jum’at

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya pada hari Jum’at ada satu saat yang tidak bertepatan
seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan
diberikan padanya, beliau berisyarat dengan tangannya akan sedikitnya waktu tersebut”.
[Shahih Al-Bukhari, kitab Da'awaat 7/166. Shahih Muslim, kitab Jumuh 3/5-6]

Waktu yang sesaat itu tidak bisa diketahui secara persis dan masing-masing riwayat
menyebutkan waktu tersebut secara berbeda-beda, sebagaimana yang telah disebutkan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 11/203.

Dan kemungkinan besar waktu tersebut berada pada saat imam atau khatib naik mimbar
hingga selesai shalat Jum’at atau hingga selesai waktu shalat ashar bagi orang yang
menunggu shalat maghrib.

[6]. Pada Waktu Bangun Tidur Pada Malam Hari Bagi Orang Yang Sebelum Tidur
Dalam Keadaan Suci dan Berdzikir Kepada Allah

Dari ‘Amr bin ‘Anbasah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda.

“Artinya :Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun padamalam hari
kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan
mengabulkannya”. [Sunan Ibnu Majah, bab Doa 2/352 No. 3924. Dishahihkan oleh Al-
Mundziri 1/371 No. 595]

Terbangun tanpa sengaja pada malam hari.[An-Nihayah fi Gharibil Hadits 1/190]


Yang dimaksud dengan “ta’ara minal lail” terbangun dari tidur pada malam hari.

[7]. Doa Diantara Adzan dan Iqamah

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

“Artinya : Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah”. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat
1/144 No. 521. Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da'waat 13/87. Sunan Al-Baihaqi, kitab
Shalat 1/410. Dishahihkan oleh Al-Albani, kitab Tamamul Minnah hal. 139]

[8]. Doa Pada Waktu Sujud Dalam Shalat

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.

“Artinya : Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab saat itu
sangat tepat untuk dikabulkan”. [Shahih Muslim, kitab Shalat bab Nahi An Qiratul Qur'an fi
Ruku' wa Sujud 2/48]

Yang dimaksud adalah sangat tepat dan layak untuk dikabulkan doa kamu.

[9]. Pada Saat Sedang Kehujanan

Dari Sahl bin a’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda.

“Artinya : Dua doa yang tidak pernah ditolak ; doa pada waktu adzan dan doa pada waktu
kehujanan”. [Mustadrak Hakim dan dishahihkan oleh Adz-Dzahabi 2/113-114. Dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' No. 3078].

Imam An-Nawawi berkata bahwa penyebab doa pada waktu kehujanan tidak ditolak atau
jarang ditolak dikarenakan pada saat itu sedang turun rahmat khususnya curahan hujan
pertama di awal musim. [Fathul Qadir 3/340].

[10]. Pada Saat Ajal Tiba

Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah mendatangi rumah Abu Salamah (pada hari
wafatnya), dan beliau mendapatkan kedua mata Abu Salamah terbuka lalu beliau
memejamkannya kemudian bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan


mengikutinya’. Semua keluarga histeris. Beliau bersabda : ‘Janganlah kalian berdoa untuk
diri kalian kecuali kebaikan, sebab para malaikat mengamini apa yang kamu ucapkan”.
[Shahih Muslim, kitab Janaiz 3/38]
[11]. Pada Malam Lailatul Qadar

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-
malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu
penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. [Al-Qadr : 3-5]

Imam As-Syaukani berkata bahwa kemuliaan Lailatul Qadar mengharuskan doa setiap orang
pasti dikabulkan. [Tuhfatud Dzakirin hal. 56]

[12]. Doa Pada Hari Arafah

Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah”. [Sunan At-Tirmidzi, bab
Jamiud Da'waat 13/83. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Ta'liq alal Misykat 2/797 N

Wirid-wirid Setelah Shalat Lima Waktu


Sabtu, 11-Desember-2010, Penulis: Buletin Islam AL ILMU Edisi: 1/I/IX/1432 H

Para pembaca semoga Allah menanamkan dalam hati kita kecintaan kepada
kebaikan dan kebenaran. Diantara kebaikan yang mudah untuk kita amalkan adalah
berdzikir setelah melaksanakan shalat wajib yang lima waktu. Dzikir (wirid) ini
sangat penting karena diantara fungsinya adalah sebagai penyempurna dari
kekurangan dalam shalat kita. Bahkan dzikir setelah shalat fardhu merupakan
perintah langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, walaupun dalam keadaan
genting sekalipun seperti dalam keadaan perang. Sebagaimana firman-Nya:

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring.” (An-Nisa’: 103)

Ayat tersebut terkait dengan kondisi perang, maka dalam kondisi aman tentu lebih
memungkinkan untuk melaksanakan dzikir.

Para pembaca rahimakumullah, seorang muslim yang berdzikir setelah shalat


hendaknya mencukupkan dengan dzikir-dzikir yang telah disyari’atkan dan
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bukan dengan dzikir yang
tidak dicontohkan oleh beliau, yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.

Dzikir-dzikir yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam


berdasarkan hadits-hadits yang shahih adalah sebagai berikut:

1. Mengucapkan istighfar 3 kali:

ْ َ‫أ‬
َ َ ‫ست َْغ ِف ُر‬
‫ّللا‬

Artinya: “Saya mohon ampun kepada Allah.”

Lalu mengucapkan:

ِ ‫إل ْكرَا‬
‫م‬ ِ ‫ل وَا‬ َ ‫ت َذا ْال‬
ِ َ ‫جال‬ َ ‫السال َ ُم تَبَار َْك‬
َ َ ‫السال َ ُم َو ِم ْن‬
‫ك‬ َ َ ‫م أَ ْن‬
‫ت‬ َ ‫الل َ ُه‬

Artinya: “Ya Allah Engkaulah As-Salam (Dzat yang selamat dari segala kekurangan)
dan dari-Mu (diharapkan) keselamatan, Maha Suci Engkau Dzat Yang mempunyai
keagungan dan kemuliaan.” (HR. Muslim no. 591)

2. Mengucapkan:

‫ى ٍء َق ِدير‬ َ ‫ل‬
ْ ‫ش‬ ُ
ِ ‫َه َو َعلَى ك‬ ْ ‫ وَلَ ُه ْالح‬، ‫ك‬
ْ ‫ و‬، ‫َم ُد‬ ُ ‫م ْل‬
ُ ‫ لَ ُه ْال‬، ‫ك لَ ُه‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬
َ ‫ش ِري‬ ُ َ َ ‫ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬

‫ك ْالجَد‬ ِ ‫ َوال َ يَ ْن َف ُع َذا ْالج‬، ‫ت‬


َ ‫َد ِم ْن‬ َ ‫ى لِمَا َمن َْع‬ َ ‫ع لِمَا أَ ْعطَ ْي‬
ِ ‫ َوال َ ُم ْع‬، ‫ت‬
َ ‫ط‬ َ ‫الل َ ُه‬
َ ِ‫م ال َ مَان‬

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-
Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula
segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Ya Allah tidak ada yang mampu mencegah terhadap apa yang Engkau berikan, dan
ada yang mampu memberi terhadap apa telah Engkau mencegahnya, serta tidak
bermanfaat disisi-Mu kekayaan orang yang kaya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Mengucapkan:

‫ل َوال َ ُق َو َة‬ َ ‫ح ْو‬َ َ ‫ى ٍء َق ِدير ال‬


ْ ‫ش‬ َ ‫ل‬ ُ
ِ ‫ه َو َعلَى ك‬ ْ ‫ك وَلَ ُه ْالح‬
ُ ‫َم ُد َو‬ ُ ‫م ْل‬ُ ‫ك لَ ُه لَ ُه ْال‬ َ ‫ش ِري‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬ ُ َ َ ‫ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬
ُ َ َ ‫ن ال َ إِلَ َه إِال‬
‫ّللا‬ ُ ‫َس‬ َ ‫الثنَا ُء ْالح‬
َ ‫ل وَلَ ُه‬ ُ ‫ض‬ ْ ‫َة وَلَ ُه ْال َف‬ ِ ‫ّللا َوال َ نَ ْع ُب ُد إِال َ إِيَا ُه لَ ُه‬
ُ ‫الن ْعم‬ ُ َ َ ‫اَّلل ال َ إِلَ َه إِال‬
ِ َ ِ‫إِال َ ب‬
‫ون‬ َ ‫كافِ ُر‬ َ ‫الدينَ وَلَ ْو َك ِر َه ْال‬
ِ ‫صينَ لَ ُه‬ ِ ِ‫خل‬ْ ‫ُم‬

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-
Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula
segala puji, Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah, Tidak ada sesembahan
yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dan kami tidak beribadah kecuali kepada-
Nya. Milik-Nya segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Tidak ada
sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah dengan memurnikan agama
hanya untuk-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (HR. Muslim no. 594)

4. Mengucapkan Tasbih, Tahmid dan Takbir:

ُ
‫سبحان هللا‬

(Maha suci Allah) 33 kali,

‫الحمد هلل‬

(Segala puji hanya milik Allah) 33 kali,

‫هللا أكبر‬

(Allah Maha besar) 33 kali,


dan digenapkan menjadi seratus dengan mengucapkan:

‫ى ٍء َق ِدير‬ َ ‫ل‬
ْ ‫ش‬ ُ
ِ ‫َه َو َعلَى ك‬ ْ ‫ك وَلَ ُه ْالح‬
ُ ‫َم ُد و‬ ُ ‫م ْل‬
ُ ‫ك لَ ُه لَ ُه ْال‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬
َ ‫ش ِري‬ ُ َ َ ‫ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-
Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula
segala puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

« َ‫ّللا ثَالَثًا وَثَالَثِين‬ َ َ ‫ّللا ثَالَثًا وَثَالَثِينَ و ََكبَ َر‬


َ َ ‫م َد‬ َ ‫صال َ ٍة ثَالَثًا وَثَالَثِينَ َو‬ ُ ََ ‫ح‬ َ َ‫سب‬
ِ ‫ح‬ َ ‫ل‬ ِ ‫ّللا فِى ُد ُب ِر ك‬ َ ‫َن‬ ْ ‫م‬
ْ ‫ك وَلَ ُه ْالح‬
‫َم ُد‬ ُ ‫م ْل‬ُ ‫ك لَ ُه لَ ُه ْال‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬
َ ‫ش ِري‬ ُ َ َ ‫ة ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬ ِ ‫م ْال‬
ِ َ‫مائ‬ َ ‫ل تَمَا‬ َ ‫ون و ََقا‬
َ ‫س ُع‬ْ ِ‫س َعة َوت‬
ْ ِ‫ك ت‬َ ‫َفتِ ْل‬
ْ ‫ل َزبَ ِد ْالب‬ ْ َ‫خطَايَا ُه وَإِ ْن َكان‬ ْ ‫ى ٍء َق ِدير ُغ ِفر‬ ُ
‫َح ِر‬ َ ‫ت ِم ْث‬ َ ‫َت‬ ْ ‫ش‬ َ ‫ل‬ ِ ‫ه َو َعلَى ك‬ ُ ‫» َو‬.

ُ 33 kali, bertahmid
“Barangsiapa    bertasbih   (mengucapkan ‫)سبحان هللا‬
(mengucapkan ‫ )الحمد هلل‬33 kali, dan bertakbir (mengucapkan ‫ )هللا أكبر‬33 kali, itu
semua berjumlah 99, kemudian sempurnanya 100 dengan mengucapkan:

‫ى ٍء َق ِدير‬ َ ‫ل‬
ْ ‫ش‬ ُ
ِ ‫َه َو َعلَى ك‬ ْ ‫ك وَلَ ُه ْالح‬
ُ ‫َم ُد و‬ ُ ‫م ْل‬
ُ ‫ك لَ ُه لَ ُه ْال‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬
َ ‫ش ِري‬ ُ َ َ ‫ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬

((Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya,
tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula segala
puji, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu)),

Niscaya akan diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih di lautan.”


(HR.Muslim no. 597)

Catatan: Cara menghitung Tasbih, Tahmid dan Takbir yang dicontohkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam adalah dengan jari-jemari. Sebagaimana telah
dijelaskan oleh shahabat Yasiirah a. (Lihat Sunan Abu Daud no. 1501 dan Sunan At-
Tirmidzi no. 3486)
5. Mengucapkan:

َ‫ل ش‬ ُ
ِ ‫ه َو َعلَى ك‬
ُ ‫يت َو‬
ُ ‫م‬ِ ‫ح ِيي َو ُي‬ ْ ‫ك وَلَ ُه ْالح‬
ْ ‫َم ُد ُي‬ ُ ‫م ْل‬
ُ ‫ لَ ُه ْال‬، ‫ك لَ ُه‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬
َ ‫ش ِري‬ ُ َ َ ‫ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬

‫ي ٍء َق ِدير‬
ْ

Artinya: “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) diibadahi kecuali Allah satu-satu-
Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya pula
segala puji, (Dialah Dzat) Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Dibaca 10 kali setelah Shalat Maghrib dan Shubuh.

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang mengucapkan usai shalat Shubuh dalam keadaan melipat kedua
kakinya sebelum berbicara

َ‫ل ش‬ ُ
ِ ‫ه َو َعلَى ك‬
ُ ‫يت َو‬
ُ ‫م‬ِ ‫ح ِيي َو ُي‬ ْ ‫ك وَلَ ُه ْالح‬
ْ ‫َم ُد ُي‬ ُ ‫م ْل‬
ُ ‫ لَ ُه ْال‬، ‫ك لَ ُه‬ َ َ ‫َح َد ُه ال‬
َ ‫ش ِري‬ ُ َ َ ‫ال َ إِلَ َه إِال‬
ْ ‫ّللا و‬

‫ي ٍء َق ِدير‬
ْ

10 kali, maka dituliskan baginya 10 kebajikan, dihapus darinya 10 keburukan, dan


diangkat baginya 10 derajat,serta harinya itu berada dalam lindungan dari semua
yang tidak disenangi dan dijaga dari setan, juga dosa tidak akan mencapai
(timbangan)nya pada hari itu selain dosa menyekutukan Allah (berbuat kesyirikan -
red).” (HR. At-Tirmidzi no. 3474 dan Ahmad no. 16583/16699)

6. Membaca Ayat Kursi:

Artinya: “Allah, tidak ada ilah (sesembahan yang haq (benar) diibadahi) melainkan
Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk
dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat
memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? (Allah) mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan
bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 255)

Tentang keutamaannya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda:

‫من قرأ آية الكرسي في دبر كل صالة مكتوبة لم يمنعه من دخول الجنة اال ان يموت نوع آخر‬
‫في دبر الصلوات‬

“Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu,
maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga)
kecuali kematian.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)

7. Membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas:

Artinya: “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 1-4)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh. Dari
kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita.Dan
dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul. Dan
dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (Al-Falaq: 1-5)

Artinya: “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan


menguasai) manusia. Raja manusia. Ilah (sesembahan) manusia. Dari kejahatan
(bisikan) setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam
dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (An-Naas: 1-6)
Khuruj Jama'ah Tabligh
Rabu, 27-Januari-2010, Penulis: ASY SYAIKH ABDURRAZZAQ AFIFI

Syaikh Abdurrazzaq Afifi – semoga Allah merahmatinya- ditanya: tentang khuruj


jama'ah tabligh untuk megingatkan manusia tentang kebesaran Allah?

Beliau menjawab:

‫ وخروجهم ليس في سبيل هللا‬,‫ وأصحاب طرق قادرية وغيرهم‬,‫الواقع أنهم مبتدعة ومخرفون‬
‫ هم ال يدعون إلى الكتاب والسنة ولكن يدعون إلى إلياس شيخهم‬,‫ولكنه في سبيل إلياس‬
‫في بنجالدش‬.

‫أما الخروج بقصد الدعوة إلى هللا فهو خروج في سبيل هللا وليس هذا هو خروج جماعة التبليغ‬

‫وأنا أعرف التبليغ منذ زمان قديم وهم المبتدعة في أي مكان كانوا في مصر وإسرائيل وأمريكا‬
‫والسعودية وكلهم مرتبطون بشيخهم إلياس‬

Pada kenyataannya mereka adalah ahli bid'ah, suka berbuat khurafat, penganut
tarekat Qadiriyyah dan yang lainnya.Khuruj mereka bukanlah dijalan Allah,namun
dijalan Ilyas, mereka tidak mengajak kepada Al-Kitab dan a-As-sunnah, namun
mengajak kepada Ilyas guru mereka di Bangladesh.

Adapun khuruj dengan tujuan berdakwah menuju jalan Allah Azza wajalla maka itu
merupakan khuruj dijalan Allah, dan tidak demikian dengan khuruj jama'ah tabligh.

Saya mengetahui tabligh semenjak dahulu, mereka adalah ahli bid'ah dimanapun
berada, apakah mereka berada di Mesir, Israel, Amerika, Arab Saudi. Mereka semua
terikat dengan guru mereka Ilyas.

You might also like