You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Landasan Teori


Otot polos memperlihatkan aktivitas intrinsik elektrik maupun mekanik, yang
diubah tapi tidak menemukan saraf otonom. Pada otot polos yang terionisasi,
pemberian Ach 10-7-10-6 menurunkan potensial istirahat (menjadi kurang
negative) dan meningkatkan frekuensi potensial aksi, disertai peningkatan
tegangan. Dalam hal ini Ach melalui reseptornya menyebabkan depolarisasi
parsial membrane seldengan cara meningkatkan konduktivitas terhadap Na+ dan
mungkin Ca++.
Pada sel efektor tertentu yang dihambat oleh impuls kolinergik, Ach
menyebabkan hiperpolarisasi membran melalui peningkatan K+ dan Cl-.
Konsep reseptor α dan β pada sel efektor yang distimulasi oleh agonis
adrenergic dan yang dihambat oleh antagonisnya, memudahkan pengertian
tentang mekanismekerja obat adrenergic.
Pada umumnya efek yang ditimbulkan melalui reseptor α pada otot polos adalah
perangsangan. Sebaliknya reseptor β pada otot polos akan menghasilkan efek
penghambatan. Salah satu pengecualian pada otot polos usus yang mempunyai
kedua reseptor yaitu α danβ. Aktivasi reseptor α1 maupun α2 pada otot polos
menimbulkan kontraksi, kecuali pada otot polos usus menimbulkan relaksasi.

1.2 Tujuan praktikum


1. Dapat memahami prinsip-prinsip percobaan farmakologi dengan
menggunakan sediaan usus terpisah
2. Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada jaringan usus.
3. Menghitung afinitas dan seletifitas obat terhadap reseptor pada sediaan usus
terpisah.
BAB II

METODE PRAKTIKUM

2.1 Alat dan bahan:

- Ileum tikus (3-4 cm)


- Organ bath
- Larutan tyrode
- Pompa udara

2.2 Cara kerja:

1. Tikus yang telah dibunuh, diambil ileumnya sepanjang 3-4 cm


2. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrod dengan
temperatur 37 oC dan diaerasi dengan udara dari pompa udara
3. Besar kontraksi ileum dicatat pada kertas kymograph melalui software
pengukuran.
4. Respon organ terhadap obat dapat dilihat dengan pemberian obat ke dalam
larutan di dalam organ bath.

2.3 Prosedur kerja

Pada praktikum ini dapat dilihat:

- Perubahan tonus
- Perubahan kontraksi
- Mula kerja dan masa kerja obat
a. Respon organ terhadap pemberian metacolin (Cholinoseptor agonist)
Injeksikan obat agonis ke dalam larutan di dalam organbath. Gantilah
larutan dengan volume yang sama setelah kontraksi usus mulai turun (±1
menit). Tunggu aktivitas ileum kembali normal sebelum memberikan obat
berikutnya (lebih kurang 3 menit)
No. Konsentrasi Volume Konsentrasi
Metakolin (M) Metakolin (cc) Metakolin dalam
organ bath (M)
1. 2,5 x 10-6 1,8 10-7
2. 2,5 x 10-6 1,8 10-6
3. 2,5 x 10-6 1,8 10-5
4. 2,5 x 10-6 1,8 10-4
5. 2,5 x 10-6 1,8 10-3
6. 2,5 x 10-6 1,8 10-2
7. 2,5 x 10-6 1,8 10-1

b. Respon organ terhadap pemberian cholinoceptor antagonist (atropin)


i. Siapkan usus terpisah dalam organ bath dengan larutan baru (dari
percobaan b)
ii. Berikan atropine pada larutan dalam organ bath sebesar 0,2 ul
dengan konsentrasi 3 x 10-6 M. Konsentrasi atropine dalam organ
bath 3 x 10-8 M (volume larutan 25 ml). Tunggu 1 menit.
iii. Berikan asetilkolin sesuai dengan urutan konsentrasi pada a
dengan cara seperti pada a.
BAB III
HASIL PENGAMATAN
3.1 Data
1. Grafik (10-7)

Grafik pertama adalah grafik pemberian metakolin tanpa atropin,


sedangkan grafik kedua adalah grafik pemberian atropine yang belum
menunjukan reaksi kontraksi. Pada grafik pertama mengalami efek
maksimal sebesar 0,06 dan pada grafik kedua tidak mencapai efek
maksimal.
2. Grafik (10-6)

Grafik pertama adalah grafik pemberian metakolin tanpa atropin,


sedangkan grafik kedua adalah grafik pemberian metakolin setelah
pemberian atropine. Pada grafik pertama mengalami efek maksimal
sebesar 0,26 dan pada grafik kedua terlihat masih belum mencapai efek
maksimal, hal ini menunjukan otok tidak mengalami kontraksi.
3. Grafik (10-5)

Grafik pertama adalah grafik pemberian metakolin tanpa atropin,


sedangkan grafik kedua adalah grafik pemberian metakolin setelah
pemberian atropin. Pada grafik pertama mengalami efek maksimal
sebesar 0,3dan pada grafik kedua tidak mengalaimi efek maksimal karena
grafik menunjukan angka (-).
4. Grafik (10-4)

Grafik pertama adalah grafik pemberian metakolin tanpa atropin,


sedangkan grafik kedua adalah grafik pemberian metakolin setelah
pemberian atropin. Pada grafik pertama mengalami efek maksimal
sebesar 0,55 dan pada grafik kedua baru mengalami efek maksimal
sebesar 0,2.
5. Grafik (10-3)

Grafik pertama adalah grafik pemberian metakolin tanpa atropin,


sedangkan grafik kedua adalah grafik pemberian metakolin setelah
pemberian atropin. Pada grafik pertama mengalami efek maksimal
sebesar 0,55 dan pada grafik kedua mengalami efek maksimal sebesar
0,5.
6. Grafik (10-2)

Grafik pertama adalah grafik pemberian metakolin tanpa atropin,


sedangkan grafik kedua adalah grafik pemberian metakolin setelah
pemberian atropin. Pada grafik pertama mengalami efek maksimal
sebesar 0,3dan pada grafik kedua

Pada tabel diatas pemberian dosis yang meningkat ditujukan untuk


mendapatkan dosis maksimal suatu obat. Tanda jika obat tersebut sudah
mencapai dosis maksimalnya yaitu ketika usus tikus tersebut tidak
bergerak atau memberikan grafik menurun walaupun sudah diberi obat.
Pada pemberian usus tikus dengan metakolin saja, memberikan dosis
maksimal sebesar 10-2 dan pada obat yang diberi metakolin dan atropin
memberikan dosis maksimal yang sama.
Jika kita bandingkan efikasi dari usus yang diberi metakolin saja
dengan yang ditambah atropin, efikasi keduanya sama besar
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Prinsip Praktikum Sediaan Organ Terpisah


Percobaan menggunakan usus terpisah merupakan salah satu
percobaan klasik didalam fisiologi dan farmakologi untuk pembelajaran aksi
obat dan control otonom kontraksi otot polos (motility).
Pada dasarnya, metode ini hanyalah laporan dan modifikasi dari percobaan
asli yang dilakukan oleh finkleman pada tahun 1930 sebagai pembelajaran
control otonom motalitas usus.
Tehnik organ terpisah dapat digunakan degan efektif untuk
mendapatkan informasi tentang cara kerja suatu obat dan reseptor yang ada
pada obat tersebut. Hal-hal yang harus dikerjakan dalam tehnik organ terpisah
adalah:
1. Memisahan organ yang ingin diujikan dari badan hewan coba.
2. Perlunya jaringan untuk fisiologis yang cocok pada situasi in vivo.
3. Adanya keinginan untuk menstimulasi peredaran alami pada organ.
4. Pembelajaran analisis mandiri terhadap organ dapat dilakukan
5. Dengan mengatur besar organ kita dapan melihat fisiologis yang terjadi
atau efek yang terjadi, sehingga kita dapat menentukan interaksi apa yang
telah terjadi.
6. Efikasi relative dari agonis dapat diukur dengan segera. (furchgott, 1978 ;
mehendale, 1989)
Banyak factor yang menjadi pertimbangan ketika memilih organ
terpisah dalam melakukan penelitian farmakologi untuk menggambarkan
kesimpulan yang valid.
1. Hewan coba
Harga dan tersedianya hewan coba, penggunaan AGC, berat serta
tegang atau tidaknya hewan coba dapat menjadi pertimbangan untuk
melakukan tehnik organ terpisah.
2. Pengawetan jaringan agar tetap bertahan hidup
3. Oksigen
Pelepasan oksigen yang adekuat menjadi pertimbangan utama.
4. Temperature
Medium temperature juga menjadi pertimbangan utama.(Blinks, 1967)
5. pH larutan
standar pH dapar berpengaruh terhadap ionisasi obat atau dapat
merubah susunan kimia pada reseptor, dengan demikian dapat
merubah moieties yang mana akan berinteraksi dengan respon produk
(Ko dan Paradise,1971)

Manfaat dari system organ terpisah adalah, untuk memudahkan


peneliti mengamati efek yang terjadi pada organ tersebut, contoh pada
organ usus, kita dapat melihat kontraksi yang terjadi pada usus
tersebut.

4.2 Prinsip Kontraksi Usus sebagai Organ Otonomik


1. Persarafan otonomik usus
Persarafan motorik spinchter ani interna beasal dari serabut saraf
simpatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
parasimpatis (N.spanchnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua
jenis saraf ini membentuk pleksus rektalis.
Sistem saraf otonom intrinsic pada usus terdiri dari :
a. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal.
b. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas otot sirkuler.
c. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
2. Isolated usus masih ada efek kontraksi
Pada praktikum ini organ usus terpisah terdapat ganglion yang
menempel pada organ sehingga ia hanya perlu impuls untuk dapat
merangsang ganglion agar dapat berkontraksi. Impuls itu tidak akan
didapat jika organ berada atmosfer, sehingga perlunya zat perantara untuk
menghasilkan kontraksi pada usus terpisah yaitu dengan memberikan
metakolin yang dicampur dengan larutan infuse. Cairan metakolin
termasuk kedalam bagian aetilkolin, bedanya metakolin berdasarkan sifat
farmakologisnya sifat kerjanya lebih lama dari asetilkolin, potensi
muskarinik hamper sama dengan asetilkolin dan potensi nikotinik kurang
dari asetilkolin. Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang digunakan
oleh serat preganglion simpatis dan parasimpatis. Ach juga dignakan
sebagai neurotransmitter posganglion serat parasimpatis.
Serat otonom pascaganglion ini tidak berakhir di satu benjolan
terminal saja, namun cabang-cabang terminal serat otonom memiliki
banyak pembengkakan atau benjolan yang disebut sebagai varicosities,
yang secara bersamaan mengeluarkan neurotransmitter ke suatu daerah
yang luas di organ yang disarafi dan bukan hanya di satu sel saja.
Pelepasan neurotransmitter yang difus ini, disertai kenyataan bahwa setiap
perubahan aktivitas listrik yang terjadi menyebar keseluruh massa otot
polos atau otot jantung melalui taut celah, menyebabkan aktivitas otonom
biasanya mempengaruhi organ keseluruhan bukan sel-sel tertentu.
(Sherwood, 2012)
Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai
neurotransmitter pascaganglion. Sistem parasimpatis sangat berperan
dalam system pencernaan. Sistem ini mendominasi pada keadaan tenang
dan santai. Sistem parasimpatis merupakan tipe rest and digest, yaitu
istirahat dan cerna sekaligus memperlambat aktivitas-aktivitas yang
ditingkatkan oleh system simpatis. Berikut contoh efek stimulasi
parasimpatis pada system pencernaan :
1. Meningkatkan motilitas organ pencernaan
2. Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran
pencernaan)
3. Stimulasi sekresi pencernaan
4. Stimulasi sekresi pancreas eksokrin
5. Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim.

4.3 Teori Okupasi

Pada permulaan abad ke 20, Ehrlich dan Langley menyatakan bahwa


suatu obat harus berinteraksi dengan suatu reseptor pada jaringan untuk
menghasilkan efek pada jaringan tersebut. Clark (1937) menyatakan bahwa
molekul berikatan dengan reseptor-reseptor dengan kecepatan yang
proporsional dengan konsentrasi obat dalam larutan dan jumlah reseptor
bebas.

Berdasarkan penelitian di labolatorium, Clark berpendapat bahwa


jumlah reseptor yang diikat oleh obat menentukan besarnya respon jaringan
terhadap obat. Bila 50% dari seluruh reseptor ditempati obat, maka terjadi
respon yang besarnya 50% dari respon maksimal. Respon maksimal bisa
dicapai bila seluruh reseptor diikat obat. Teori ini disebut teori “occupancy”
dari Clark.

Reseptor merupakan makromolekul seluler tempat terikatnya obat


untuk menimbulkan respon. Terdapat juga protein seluler yang berfungsi
sebagai reseptor fisiologik bagi ligand endogen seperti hormon,
neurotransmiter, autakoid.

Reseptor adalah area spesifik membran dimana obat akan beraksi.


Seperti lubang kunci, dan obat adalah anak kuncinya, bila cocok maka akan
mengaktifkan sistem enzim yang kemudian memproduksi efek tertentu seperti
peningkatan atau penurunan aktifitas seluler tertentu, perubahan permeabilitas
membran sel, atau perubahan metabolisme seluler.

Reseptor adalah bagian integral protein dinding sel atau protein di


dalam sitoplasma atau nucleus. Mereka membentuk sisi dimana kimia
pembawa pesan tubuh, hormone dan neurotransmitter berinteraksi di dalam
sel. Fungsi reseptor adalah :

1. Pengikatan ligand yang sesuai


2. Penghantaran sinyal yang menimbulkan efek intrasel atau yang
tidak langsung memilai sintesis / pelepasan molekul intrasel lain
(second messenger).

Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat


dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor – efektor sebelum
menimbulkan respons. Ada 4 tipe utama reseptor berdasarkan mekanismenya:

Tipe I = berpasangan langsung dengan kanal ion.


Tipe II = reseptor-reseptor untuk hormone dan neurotransmitter ;
berpasangan kepada system efektor oleh protein-G.
Tipe III= reseptor untuk insulin dan factor pertumbuhan lain, yang
langsung berhubungan dengan enzim tyrosine kinase.
Tipe IV =reseptor untuk hormone steroid dan hormone thyroid

Terdapat pula fungsi obat terhadap reseptor yaitu Agonist yang


merupakan menstimulasi reseptor dan Antagonist yang bertugas untuk
memblok aksi sifat kimia pada reseptor.

4.4 Prinsip Kerja Agonis

Agonis kolinergik istilahnya berarti obat-obat tersebut dapat berikatan


dengan reseptor dan dapat menimbulkan efek. Obat-obatan disini berarti
aksinya menyerupai neurotransmitter utama yaitu asetilkolin. Istilah agonis
kolinegik ini juga dapat disebut dengan kolinomimetik atau
parasimpatomimetik. Target aksi obat-obatan ini ada 2 yaitu: Agonis
Kolinergik langsung dan Inhibitor Kolinesterase.

 Agonis Kolinergik langsung


Obat ini bereaksi secara langsung dengan reseptor asetilkolin. obat-
obatan pada agonis kolinergik langsung ini bereaksi pada 2 tempat yaitu
sebagai Agonis Muskarinik, dan Agonis Nikotinik.
 Agonis Muskarinik
Obat golongan ini dibedakan menjadi 2 yaitu obat golongan ester dan
alkaloid
 Obat golongan ester
Pada obat golongan ester ini merupakan senyawa ester dari
neurotransmitter asetilkolin, oleh karena itu obat golongan ini strukturnya
mirip dengan asetilkolin. Oleh karena itu obat golongan ini juga dapat
dimetabolisme oleh enzim asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ester ini
adalah Metakolin, betanekol, dan Karbakol. Metakolin dan Betanekol
mempunyai spesifitas hanya pada reseptor muskarinik. Jika karbakol
mempunyai spesifitas pada kedua reseptor (muskarinik dan nikotinik).
 Obat golongan alkaloid
Pada obat golongan ini strukturnya tidak mirip dengan asetilkolin,
maka obat golongan ini tidak dapat dimetabolisme oleh enzim
asetilkolinesterase. Contoh obat golongan ini adalah
Pilokarpin, muskarin, dan arekolin.Golongan obat ini yang dipakai hanyalah
pilokarpin sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan efek miosis.
 Agonis Nikotinik
Sesuai dengan namanya maka obat ini bekerja pada reseptor
asetilkolin nikotinik. Obat ini dapat mempengaruhi pada siste syaraf somatik
atau neuromuscular junction. Contoh senyawanya adalah nikotin, lobelin,
epibatidin, dll. Nikotin dal lobelin didapatkan dari isolasi dari tanaman
tembakau dan senyawa ini dapat digunakan untuk orang yang kecanduan
merokok.
 Inhibitor Kolinesterase
Pada bagian sistem syaraf otonom terdapat suatu enzim yang sangat
penting yaitu Asetilkolin asetil hidrolase (AchE) atau biasa disebut dengan
asetilkolinesterase. Enzim ini ditemukan pada celah syaraf kolinergik,
neuromuscular junction, dan darah. Enzim ini sangat penting karena berfungsi
untuk memecah asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Obat dalam hal ini
bereaksi dengan menghambat enzim kolinesterase pada celah sinaptik.
Sedangkan obat-obatannya beraksi dengan 2 tipe, yaitu sebagai Inhibitor
reversibel dan sebagai Inhibitor Ireversibel.
 Inhibitor Reversibel
Obat ini dapat berinteraksi secara kompetitif dengan sisi aktif enzim
AChE dan dapat terbalikkan / reversibel. Obat pada golongan ini bersifat larut
air. Contoh obat-obatan yang bersifat inhibitor reversibel ini adalah
Edroponium. Obat ini bereaksi dengan cepat yang diberikan secara intravena
untuk diagnosa penyakit Myastenia gravis. Pada penderita Myastenia gravis
jika diberikan Edroponium maka akan meningkatkan kekuatan otot skeletal.
 Inhibitor Irreversibel
Obat ini berinteraksi dengan sisi sktif enzim AchE dan bersifat tak
terbalikkan dan biasanya senyawa golongan ini bersifat larut dalam lipid
sehingga dapat menembus barrier darah otak. Obat ini bereaksi dengan
memfosforilasi enzim AchE sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim
tersebut. Senyawa yang bersifat sebagai Inhibitor Irreversibel ini contohnya
yaitu Malation, golongan insektisida dan golongan pestisida
(organophosphat). Jika suatu inhibitor irreversibel ini bereaksi terhadap enzim
asetilkolinesterase maka enzim ini tidak aktif sehingga tidak dapat memecah
asetilkolin menjadi asetat dan kolin dan mengakibatkan penumpukan. Obat
yang dapat digunakan adalah Pralidoksim. Obat ini bereaksi dengan menarik
kuat Inhibitor Irreversibel dari sisi aktif enzim agar enzim tersebut aktif
kembali. Tetapi penggunakaan pralidoksim pada pasien keracunan
organophosphat harus dilakukan pada waktu yang cepat, karena dalam waktu
beberapa jam setelah keracunan organofospat, enzim terfosforilasi atau
kehilangan gugus alkil atau alkoksi sehingga menyebabkan atbil dan lebih
resisten terhadap pralidoksim.
Agonis Parsial ialah agonis lemah, yang mempunyai aktivitas intrinsik
atau efektivitas yang rendah sehingga efek maksimalnya lemah namun
mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh agonis penuh disebut
antagonis parsial. Contoh antagonis parsial nalorfin dan nalokson sebagai
antagonis murninya.

Kurva Dosis vs Efek


1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
10-7 10-6 10-5 10-4 10-3 10-2

Metakolin Metakolin + Atropin

Pembahasan Grafik pada kurva tidak disertakan dosis 10-1, karena


pada grafik tidak disertakan pemberian metakolin + atropin pada dosis 10-1.
Pemberian Metakolin  Onset obat dimulai pada dosis 10-7 yang
menimbulkan efek 0,1. Semakin besar dosis yang diberikan, maka semakin
besar pula efek yang ditimbulkan, namun usus memiliki batasan pemberian
dosis dalam menimbulkan efek. Pada kurva didapatkan efek puncak metakolin
pada dosis 10-3 sampai 10-2. Pada pemberian dosis 10-1 efeknya tidak
meningkat. Hal ini disebabkan pemberian terlalu tinggi dosis akan
menurunkan afinitas pada obat sehingga efeknya juga akan turun.
Pemberian Metakolin + Atropin  Onset obat dimulai pada dosis 10-4
yang menimbulkan efek 0,3. Pada dosis 10-3, sudah menimbulkan efek puncak
yaitu 0,5. Pada pemberian dosis 10-2, efeknya tetap ada namun menurun
sekitar 0,01.
4.5 Prinsip Kerja Antagonis

Perbedaan effikasi pada pemberian metakolin dan kombinasi atropine-


metakolin dikarenakan metakolin merupakan agonis pada reseptor yang
terdapat pada usus terpisah sedangkan atropine merupakan antagonisnya. Obat
agonis ini memberikan efek kontraksi pada usus terpisah sehingga terlihat
kenaikan grafik. Walaupun obat antagonis (atropin) mempunyai afinitas untuk
resptor muskarinik, tetapi kombinasi atropine-reseptor ini tidak akan
dihasilkan respon biologis. Atropine hanya mengurangi jumlah reseptor yang
dipakai untuk pendudukan metakolin . Oleh karena itu, dosis metakolin harus
diperbesar agar bisa menggeser antagonis tersebut hingga akhirnya didapatkan
efek pada pemberian dosis 10-4 dan kurva bergeser ke kanan. Karena dengan
penambahan dosis, atropine dapat digeser oleh agonis reseptor, maka ia
disebut ebagai antagonis kompetitif.

1. Hasil Praktikum

Berdasarkan kymograf menunjukkan atropin menghambat gerak


peristaltik usus tikus, hal tersebut dapat dibuktikan pada proyeksi hasil organ
bath memberikan grafik statis pada pemberian dosis rendah agonis.

2. Mekanisme Sinyal Transduksi Atropin

Atropin merupakan senyawa obat yang termasuk natural alkaloid yang


berfungsi sebagai antagonis reseptor muskarinik. Kerja obat tersebut yaitu
menghambat kinerja senyawa asetilkolin menduduki reseptor muskarinik
secara kompetitif karena afinitas atropin terhadap reseptor muskarinik
melebihi afinitas asetilkolin.

6. Membandingkan Afinitas dan Effikasi Metakolin Jika Diberikan


Metakolin Saja dengan Jika Diberikan Atropin Dahulu kemudian
Metakolin
1. Prinsip Keja Antagonis Kompetitif dan Non-Kompetitif

Obat antagonis kompetitif menghambat kinerja metakolin dengan cara


mengikat reseptor secara reversibel pada daerah yang sama dengan tempat
ikatan agonis, tetapi tidak menyebabkan efek karena obat antagonis memiliki
afinitas tetapi tidak memiliki efikasi. Efek antagonis kompetitif dapat
dihilangkan dengan peningkatan konsentrasi sejarah agonis, sehingga
meningkatkan proporsi reseptor yang dapat diduduki oleh agonis. Sedangkan
obat non-kompetitif menghambat kinerja agonis dengan cara mengurangi
efektifitas suatu agonis melalui mekanisme selain berikatan dengan tempat
ikatan agonis pada reseptor.

2. Hasil Praktikum

Jika kita lihat hasil pengukuran kymograf dengan pemberian atropin


terlebih dahulu kemudian diberikan metakolin, gerakan peristaltik usus
terhenti dari dosis pemberian awal sebesar 10-7 hingga 10-5 kemudian
memberikan grafik hingga dosis 10-2. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kinerja metakolin terhenti akibat pendudukan atropin pada reseptor
muskarinik usus tikus dan dapat dihilangkan efeknya dengan pemberian dosis
dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasi atropin. Dengan
demikian efikasi obat metakolin tidak terganggu hanya dosisnya saja yang
perlu ditambah.

3. Kesimpulan

Jadi jika kita berikan suatu obat antagonis kompetitif pada suatu organ
maka affinitas agonis organ tersebut terhadap reseptor akan berkurang namun
effikasinya tidak menurun, sedangkan pada obat antagonis non-kompetitif
tidak mempengaruhi afinitas obat namun menurunkan efikasi obat tersebut.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
a. Respon asetilkolin pada usus
Pemberian metakolin memberikan efek gerak peristaltic pada
sediaan usus terpisah berdasarkan hasil percobaan menggunakan
alat Organ Bath
b. Pemberian atropin dan asetilkolin
Pemberian atropine dan metakolin memberikan efek terhentinya
pergerakan usus tikus sehingga a terhadap
Berdasarkan data diatas pada percobaan dengan pemberian atropin
pada ileum tikus membutuhkan dosis metakolin yang lebih tinggi daripada
yang tidak diberi dan mengurangi efek maksimal tiap dosisnya, Sehingga
dapat kita disimpulkan atropine termasuk dalam golongan obat antagonis
muskarinik kompetitif.

You might also like