You are on page 1of 17

Asuhan Keperawatan Pertusis

DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................................... i
Kata Pengantar....................................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Pertusis................................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi..................................................................................................... 3
2.3 Etiologi.............................................................................................................. 4
2.4 Manifestasi Klinis............................................................................................. 5
2.5 Patofisiologi...................................................................................................... 7
2.6 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................... 8
2.7 Penatalaksaan Umum........................................................................................ 8
2.8 Pencegahan........................................................................................................ 9
BAB III PATHWAYS
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian........................................................................................................ 12
4.2 Diagnosa Keperawatan..................................................................................... 16
4.3 Perencanaan Keperawatan................................................................................ 16
4.4 Pelaksanaan Keperawatan................................................................................ 21
4.5 Evaluasi............................................................................................................ 22
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan....................................................................................................... 25
5.2 Saran................................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 26
`
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya
vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata 80%
anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang
dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka mortalitas
dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Namun demikian penyakit ini masih merupakan
salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi-bayi dibawah umur.
Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Penyakit ini
mudah menyebar ketika si penderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka orang
tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang-
kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian. Pada saat ini vaksin pertusis tidak
dianjurkan bagi orang dewasa. Walaupun orang dewas sering sebagai penyebab pertusis pada
anak-anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan untuk masa depan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi pertusis ?
2. Bagaimana epidemiologi terjadinya pertusis ?
3. Bagaimana etiologi terjadinya pertusis ?
4. Bagaimana manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien anak pertusis ?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang klien anak dengan pertusis ?
7. Bagaimana penatalaksanaan umum klien anak dengan pertusis ?
8. Bagaimana pencegahan pertusis pada anak ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak pertusis ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apakah definisi pertusis
2. Mengetahui bagaimana epidemiologi terjadinya pertusis
3. Mengetahui bagaimana etiologi terjadinya pertusis
4. Mengetahui bagaimana manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien anak pertusis
5. Mengetahui bagaimana patofisiologi terjadinya pertusis
6. Mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang klien anak dengan pertusis
7. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan umum klien anak dengan pertusis
8. Mengetahui bagaimana pencegahan pertusis pada anak
9. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada anak pertusis
1.4 Manfaat Penulisan
Bisa lebih mengetahui dan memahami bagaimana tentang hal yang bersangkutan
dengan pertusis, gangguan pertusis terjadi, bagaimana pencegahannya serta bagaimana
menyusun Asuhan Keperawatannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pertusis
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella
pertusis terutama terjadi pada anak-anak usia 4 tahun yang tidak diimunisasi.
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan, batuk 100
hari.
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang
menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising.
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular
dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan
paroksismal disertai nada yang meninggi.
2.2 Epidemiologi Terjadinya Pertusis
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara “Agent
“ atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai “penjamu” atau “host”, dan faktor
lingkungan yang mendukung (Environment), ketiga faktor tersebut dikenal sebagai “Triad
Epidemiologi”.
Proses Interaksi ini disebabkan adanya “Agent” atau penyakit kontak dengan manusia
sebagai penjamu yang rentan dan didukung oleh keadaan llingkungan. Agent merupakan
faktor penyebab penyakit, dapat berupa unsur hidup atau mati yang terdapat dalam jumlah
yang berlebihan atau kekurangan (organisme yang menginfeksi). Agent penyakit adalah
bordetella pertusis atau hemopilus pertusis. bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil
ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um, ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram
negative, tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50 celcius tetapi
bertahan pada suhu 0-10 celcius dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.
2.3 Etiologi Terjadinya Pertusis
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan.
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordetella pertusis, Bordetella Parapertusis,
Boredetella Bronkiseptika, dan Bordetella Avium.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif,
tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan
ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou.
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
1. Berbentuk batang (coccobacilus)
2. Tidak dapat bergerak
3. Bersifat gram negative
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul
5. Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10º C)
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
7. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap penicillin
8. Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a. Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (lipopolisakarida)
2.4 Manifestasi Klinis
1. Stadium 1
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga catarrhal phase, stadium
kataralis, stadium prodromal, stadium pre-paroksismal.
Stadium ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas dengan
common cold, kongesti nasal, rinorea, dan bersin, dapat disertai dengan sedikit demam (low-
grade fever), tearing, dan conjunctival suffusion.
Pada stadium ini, pasien sangat infeksius (menular) namun pertusis dapat tetap menular
selama tiga minggu atau lebih setelah onset batuk. Kuman paling mudah diisolasi juga pada
stadium ini.
Tanda / gejala :
a) Gejala infeksi saluran nafas bagian atas dengan timbulnya rinore.
b) Batuk dan panas yang ringan.
c) Anoreksia.
d) Batuk timbul mula-mula malam, siang dan menjadi semakin berat.
e) Sekret banyak dan kental.
f) Konjungtiva kemerahan.
Pada stadium ini biasanya tidak dipikirkan diagnosis pertusis karena sering tidak dapat
dibedakan dengan penyakit influenza.
2. Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut
jugaparoxysmal phase, stadium akut paroksismal, stadium paroksismal, stadium spasmodik.
Penderita pada stadium ini disertai batuk berat yang tiba-tiba dan tak terkontrol (paroxysms
of intense coughing) yang berlangsung selama beberapa menit. Bayi yang berusia kurang dari
6 bulan tidak disertai whoop yang khas namun dapat disertai episodeapnea (henti nafas
sementara) dan berisiko kelelahan (exhaustion).
Tanda / gejala :
a) Batuk hebat di tandai dengan whoop ( tarikan nafas panjang dan dalam, berbunyi melengking
).
b) Batuk 5-10 kali per hari atau 10-20 kali per hari.
c) Selama serangan muka menjadi merah atau sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur
keluar.
d) Tampak gelisah dan berkeringat.
e) Dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epistsksis.
f) Akhir serangan sering kali memuntahkan lendir atau sputum kental.
g) Pada serangan batuk, nampak pelebaran pambuluh darah muka dan leher.
h) Selama serangan, dapat sampai keluar kencing.
i) Sesudah serangan, anak terbaring kelelahan dan sesak nafas.
Pada bayi dibawah umur 3 bulan, paroksimalitas dapat disertai atau berakhir dengan apnea
dan juga dapat terjadi aspiksia yang berakibat fatal.
3. Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadiumkonvalesens.
Pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun batuk yang terjadi merupakan
batuk kronis yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu.
Tanda / gejala :
a) Berhentinya whoop (batuk yang berbunyi nyaring), dan muntah-muntah.
b) Puncak serangan paroksimal berangsur-angsur menurun.
c) Batuk masih menetap untuk beberapa waktu dan akan hilang sekitar 2-3 minggu.
d) Ronki difus pada stadium spasmodik mulai menghilang.
e) Infeksi semacam “commond cold“ dapat menimbulkan serangan.
2.5 Patofisiologi Terjadinya Pertusis
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin
(PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah
terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh
permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif pada
daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag
ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia
sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus
akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya
apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf
pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic
terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi
yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Cara penularan pertusis, melalui:
a) Droplet infection (partikel air ludah)
b) Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c) Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah
penderita pada saat batuk dan bersin.
d) Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman
penyakit tersebut.
Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada
orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : LED dan leukosit meningkat.
2. Pada stadium kataralis dan permulaan stadium plasmodik jumlah leukosit meningkat antara
15.000 - 45.000 per mm3 dengan limfositosis. Diagnosis dapat diperkuat dengan mengisolasi
kuman dari sekresi jalan nafas yang dikeluarkan pada waktu batuk.
3. Foto thorax, CT Scan.
4. Periksa sputum.
2.7 Penatalaksanaan Umum
1. Antibiotik
a) Eritromisin dengan dosis 50 mg / kg BB / hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini menghilangkan
B. Pertussis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata-rata 3-6 hari ) dan dengan demikian
memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisin juga menggugurkan atau
menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataral, mecegah dan menyembuhkan
pneumonia dan oleh karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis khususnya pada
bayi muda.
b) Ampisilin dengan dosis 100 mg / kg BB / hari, dibagi dalam 4 dosis.
c) Lain-lain : Rovamisin, kotrimoksazol, klorampenikol dan tetrasiklin.
2. Ekspektoran dan mukolitik.
Ekspektoran biasanya diresepkan untuk batuk kering dimana pasien sulit untuk
mengeluarkan dahak. sedangkan mukolitik adalah obat yang bekerja dengan mengurangi
kekentalan dahak sehingga diharapkan dahak tersebut menjadilebih mudah dikeluarkan.
3. Kodein
Kodein adalah golongan obat yang digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga
berat, batuk dan diare. Selain sangat berperan untuk meredakan batuk juga obat yang paling
banyak digunakan dalam perawatan kesehatan. Kodein inidiberikan bila terdapat batuk-batuk
yang hebat sekali.
4. Luminal sebagai sedative
Luminal atau fenobarbital adalah depresan sistem saraf pusat yang terutama digunakan
sebagai hipnotik sedativ dan juga sebagai antikonvulsan dalam dosis subhypnotic.
2.8 Pencegahan Pertusis
Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secarapasif:
1. Secara aktif
a) Dengan pemberian imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DTP tidak boleh
dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DTP-1 deberikan pada umur 2
bulan,DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTp-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya
diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DTP-5 pada saat masuk
sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DTP. Untuk
meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DTP diberika pada awal sekolah dasar
dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS). Beberapa penelitian menyatakan bahwa
vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik
sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4 minggu. Kontra
indikasi pemberian vaksin pertusis :
1) Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
2) Riwayat kejang
3) Reaksi berlebihan setelah imunisasi DTP sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejang,
penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.
b) Perawat sebagai edukator melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kepada
orang tua yang mempunyai bayi tentang bahaya pertusis dan manfaat imunisasi bagi bayi.
2. Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis.
Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.
BAB III
PATHWAYS

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
1. Identitas
a) Kaji identitas pasien
b) Kaji identitas penanggung Jawab
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Pasien mengeluh batuk terus-menerus.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengalami batuk keras yang terus-menerus, berat badan menurun, mual/muntah, tidak
selera makan, nyeri tenggorokan.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai penyakit menular.
3. Pengkajian pola aktivitas sehari-hari
a) Pola nafas
Sebelum sakit normal, saat dikaji terasa sedikit sesak karena diselingi batuk.
b) Nutrisi
Sebelum sakit normal, saat dikaji hanya menghabiskan separuh dari biasanya.
c) Eliminasi
Sebelum sakit dan saat dikaji normal.
d) Pola istirahat tidur
Sebelum sakit tidur normal, saat dikaji ibu pasien mengatakan istirahat sering terganggu
karena batuk.
e) Pola gerak dan keseimbangan
Sebelum sakit normal, saat dikaji malas melakukan aktivitas.
f) Personal higine
Sebelum sakit dan saat dikaji normal.
g) Komunikasi
Sebelum sakit pasien aktiv bermain bersama temannya, saat sakit menjadi lebih diam.
4. Pemeriksaan fisik
a) Tanda-tanda vital
1) Keadaan umum : compos menti
2) Tekanan darah : 90/60 mmHg
3) Nadi : 80 x/menit
4) Suhu : 370C
5) Respirasi : 20 x/menit
b) Pemeriksaan Kepala
1) Kulit dan rambut
Warna kulit merah muda (normal) tidak ada lesi, penyebaran merata, warna rambut
hitam, rambut bersih, kulit normal sawo matang.
2) Kepala
Bentuk lonjong, simetris, ukran normacephali, tidak ada nyeri tekan.
3) Mata simetris, palpebra tidak ada edema dan lesi, bulu mata bersih dan tidak rontok,
konjungtiva pucat dan tidak terdapat edema, sclera putih, pupil reflek cahaya baik, ukuran
isokor.
4) Telinga
Ukuran sedang, simetris antara kanan dan kiri, tidak ada serumen pada lubang telinga,
tidak ada benjolan, tes pendengaran Rinne +, Weber lateralisasi Swabach memanjang.
5) Hidung
Simetris, tidak ada sekret, tidak ada lesi. Palpasi Tidak ada benjolan.
6) Mulut
Inspeksi bentuk mulut simetris, lidah bersih dan merah, gigi bersih, bibir kering, tidak ada
karang gigi. Tes perasa normal.
7) Leher
Bentuk leher simetris, tidak terdapat benjolan di leher, tidak ada pembesaran di kelenjar
tiroid.
8) thoraks
Pemeriksaan paru
Inspeksi : simetris, pola nafas reguler, batuk tidak ada
Palpasi : getaran lokal femitus sama antara kanan dan kiri
Perkusi : tidak terkaji
Auskultasi : tidak terkaji
Pemeriksaan jantung
Inspeksi :tidak terkaji
Palpasi :tidak terkaji
Perkusi :tidak terkaji
Auskultasi :s1 dan s2 normal
9) Abdomen
Inspeksi : perut datar, simetris, tidak ada massa dan benjolan
Auskultasi : bising usus 7x/menit, kualitas adekuat
Palpasi : tidak ada nyeri dan benjolan
Perkusi : bunyi timpani
10) Pemeriksaan kelamin
Tidak terkaji
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium : LED dan leukosit meningkat.
Pada stadium kataralis dan permulaan stadium plasmodik jumlah leukosit meningkat
antara 15.000 - 45.000 per mm3 dengan limfositosis. Diagnosis dapat diperkuat dengan
mengisolasi kuman dari sekresi jalan nafas yang dikeluarkan pada waktu batuk.
b. Foto thorax, CT Scan.
c. Periksa sputum.
6. Tabel Analisis Data
No Tanggal Data fokus Etiologi Problem
.
1. 30 DS : Radang paru Ketidak
September - Pasien ↓ efektifanbersihan jalan
2016 mengatakan batuk Peningkatan nafas(00031)
disertai lendir, dan reproduksi sekret
ingus, terkadang ↓
juga sesak. Akumulasi sekret
DO : ↓
- Pasien batuk- Obstruksi jalan nafas
batuk , RR ↓
18x/menit. Batuk keras dan
terus-menerus

Ketidakefektifan
jalan nafas
2. 30 DS : Batuk keras dan Ketidakseimbangan
September - Pasien terus-menerus nutrisi kurang dari
2016 mengatakan tidak ↓ kebutuhan tubuh
selera makan Napsu makan (00002)
karena batuk yang berkurang
terus-menerus ↓
- Pasien Berat badan
mengatakan menurun
merasa mual dan ↓
muntah Ketidakseimbangan
DO: nutrisi kurang dari
- Batuk kebutuhan tubuh
- Berat badan
menurun
- Pasien terlihat
pucat dan lemah

3. 30 DS : Nyeri akut (00132)


September - Pasien
2016 mengatakan nyeri
tenggorokan
DO :
- Pasien terlihat
memegangi
tenggorokannya
sambil meringis
- Pasien terlihat
pucat dan lemah

4.2 Diagnosa keperawatan


No Diagnosa Keperawatan Ttd
1 Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
mucus berlebihan di tandai dengan pasien mengatakan batuk
disertai lendir, RR 18x/menit.

Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


2 berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan di
tandai dengan pasien mengatakan tidak selera makan, pasien
mengatakan merasa mual dan muntah, penurunan berat badan.

Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis ditandai


3 dengan pasien mengatakan nyeri tenggorokan, pasien terlihat
memegangi tenggorokannya sambil meringis, pasien terlihat
pucat dan lemah.

4.3 Perencanaan (Intervensi)


N Tanggal Diagnosa NOC dan Indikator Serta Uraian Tt
o Keperawatan yang Skor Awal dan Skor Target Aktivitas d
Ditegakkan Rencana
(NIC)
1 30 Ketidak Tujuan : setelah dilakukannya Peningkatan
septemb efektifanbersihanjal asuhan keperawatan selama (manajemen
er 206 an nafas 3x24 jam, ketidakefektifan jalan batuk) (3250)
berhubungan nafas teratasi. :
dengan mucus kriteria hasil (NOC) 1. Damping
berlebihan di tandai status pernafasan (0415) pasien
dengan batuk tidak kode indikat S. S. menggunaka
efektif,dispnea,dan or A T n bantal atau
perubahan pola 0415 Frekue 3 5 selimut yang
nafas. 01 nsi dilipat untuk
Kode diagnose pernafa menahan
keperawatan : san perut saat
00031 0415 Dispne 3 5 batuk.
14 saat 2. Monitor
istiraha fungsi paru,
t terutama
0415 4 5 kapasitas
29 Perasaa vital, tekanan
n inspirasi
kurang maksimal,tek
0415 istiraha 2 5 anan volume
31 t ekspiasi 1deti
k (FEV1)dan
Batuk FEV1/FVC
Ket: sesuai
1 : sangat terganggu dengan
2 : banyak terganggu kebutuhan.
3 : cukup terganggu 3. Dukung
4 : sedikit terganggu pasien untuk
5 : tidak terganggu melakukan
nafas dalam
beberapa
kali.
4. Dukung
hidrasi cairan
yang
sistemik,
sesiai dengan
kebutuhan.
5. Lakukan
teknik‘chest
wall rib
sping’selama
fase ekspirasi
melalui
maneuver
batuk, sesuai
dengan
kebutuhan.
Intevensi
yang akan
digunakan :
ONEC
1. Monitor
fungsi paru,
terutama
kapasitas
vital, tekanan
inspirasi
maksimal,tek
anan volume
ekspiasi 1deti
k (FEV1)dan
FEV1/FVC
sesuai
dengan
kebutuhan.
2. Dukung
pasien untuk
melakukan
nafas dalam
beberapa
kali.
3. Dukung
hidrasi cairan
yang
sistemik,
sesiai dengan
kebutuhan.
4. Damping
pasien
menggunaka
n bantal atau
selimut yang
dilipat untuk
menahan
perut saat
batuk.
5. Lakukan
teknik‘chest
wall rib
sping’selama
fase ekspirasi
melalui
maneuver
batuk, sesuai
dengan
kebutuhan.

4.4 Pelaksanaan (Implementasi)


No Diagnosa kep. Tanggal Tindakan Ttd
Ditegakkan/kode
diagnoasa kep.
1 Ketidak 30 1. Memonitor fungsi paru,
efektifanbersihan jalan Septembe terutama kapasitas vital,
nafas berhubungan dengan r 2016 tekanan inspirasi
mucus berlebihan di tandai maksimal,tekanan volume
dengan batuk tidak ekspiasi 1detik
efektif,dispnea,dan (FEV1)dan FEV1/FVC
perubahan pola nafas. sesuai dengan kebutuhan.
Kode diagnose keperawatan 2. Mendukung pasien untuk
: 00031 melakukan nafas dalam
beberapa kali.
3. Mendukung hidrasi
cairan yang sistemik,
sesiai dengan kebutuhan.
4. Mendamping pasien
menggunakan bantal atau
selimut yang dilipat untuk
menahan perut saat batuk.
5. Melakukan teknik‘chest
wall rib sping’selama fase
ekspirasi melalui
maneuver batuk, sesuai
dengan kebutuhan.

4.5 Evaluasi
No. Masalah Tanggal Catatan Perkembangan Ttd
Keperawatan
1. Ketidak 30 S : ibu pasien mengatakan bahwa
efektifanbersihan jala September anaknya masih batuk.
n nafas berhubungan 2016 O:
dengan mucus TD : mmHg
berlebihan di tandai Nadi : x/menit
dengan batuk tidak RR : x/menit
efektif,dispnea,dan A:
perubahan pola nafas. kode indikasi SA ST C
Kode diagnose
keperawatan : 00031

041501 Frekuensi 3 5 4
pernafasa
041514 n

3 5 4
041529 Dispne
saat
istirahat
041531
4 5 5
Perasaan
kurang
istirahat
2 5 4

Batuk

P:
1. Monitor fungsi paru, terutama
kapasitas vital, tekanan inspirasi
maksimal,tekanan volume
ekspiasi 1detik (FEV1)dan
FEV1/FVC sesuai dengan
kebutuhan.
2. Dukung pasien untuk melakukan
nafas dalam beberapa kali.
3. Dukung hidrasi cairan yang
sistemik, sesiai dengan kebutuhan.
4. Damping pasien menggunakan
bantal atau selimut yang dilipat
untuk menahan perut saat batuk.
5. Lakukan teknik ‘chest wall rib
sping’ selama fase ekspirasi melalui
maneuver batuk, sesuai dengan
kebutuhan.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang
menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising.
Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari.
Pertusis terutama terjadi pada anak-anak usia 4 tahun yang tidak diimunisasi.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif,
tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan
ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou.
5.2 Saran
Anak-anak dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu
dianjurkan untuk melakukan imunisasi atau pemberian vaksin pada usia 2, 4, dan 6 bulan
sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat.

DAFTAR PUSTAKA

Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko
(Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
Hadinegoro Sri Rejeki.2011.”Panduan Imunisasi Anak Edisi1”. Jakarta : IKD
Bulechek, Gloria M., et al. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th edition. 2013
Moorhead, Sue, et al. Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th edition. 2013
Herdman, T.H., Kamitsuru, Shigemi. Diagnosa Keperawatan 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC

You might also like