Professional Documents
Culture Documents
“WASPADAI DIFTERI”
Disusun Oleh :
dr. Hasanah
Pendamping :
DINAS KESEHATAN
PUSKESMAS WANASARI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
2
Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era
vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak
vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah
kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
1.2 Tujuan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Penyebab
4
membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan
toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk
menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh
bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya
juga paling besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula
metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak
biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu
membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik
dengan sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V
dan W, mirip seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan,
karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh
merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat
berwarna hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita
biru terang & gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit :
pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.
5
– 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan
masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khasdari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang
berupa reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembran). Membran
ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang
kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita yang paling berat
didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).
6
c. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.
Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
d. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.
Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan
oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi
yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa
irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika
miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling
sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot
mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga
atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan
karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus
keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih
tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah
sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
2.5 Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,
pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada
anak-anak usia sekolah dasar.
7
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae,
penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2.6 Pengobatan
8
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin,
kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala.
b. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
c. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan
observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.
d. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
9
BAB III
10
BAB IV
11
DAFTAR PUSTAKA
12
DAFTAR PERTANYAAN PESERTA PENYULUHAN
“WASPADAI DIFTERI”
Daftar Pertanyaan :
Jawaban Pertanyaan :
1. Efek samping vaksin yaitu : reaksi lokal, seperti demam, kemerahan dan
bengkak di tempat suntikan, dan nyeri saat disuntik yang membuat tak
nyaman. Tapi, reaksi ringan dan sistemik ini jauh lebih jarang terjadi pada
vaksin DTaP asellular. Nah, efek samping Td atau Tdap pada anak-anak
dan orang dewasa yang lebih tua termasuk kemerahan dan bengkak di
tempat suntikan (mengikuti Td) dan nyeri tubuh yang umum, dan
kelelahan (mengikuti Tdap). Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa
yang menerima lebih dari dosis vaksin Td / Tdap yang direkomendasikan
dapat mengalami peningkatan reaksi lokal, seperti pembengkakan lengan
yang menyakitkan. Hal ini disebabkan tingginya kadar antibodi tetanus
dalam darahnya.
13
2. Orang yang tidak boleh di vaksin difteri yaitu orang yang mengalami
alergi serius terhadap dosis DTaP atau vaksin Tdap sebelumnya tidak
boleh menerima dosis lain. Reaksi alergi meliputi suhu 38 derajat Celcius
atau lebih tinggi dalam dua hari, ambruk atau keadaan seperti shock dalam
dua hari, menangis terus-menerus selama lebih dari tiga jam dalam dua
hari, atau kejang dalam tiga hari. Selain itu, orang dengan kondisi
neurologis tertentu juga baiknya menunda mendapat vaksin DTaP atau
Tdap sampai dilakukan evaluasi.
3. Semua wanita hamil harus menerima Tdap. Remaja atau wanita yang
hamil harus menerima Tdap pada setiap kehamilannya. Remaja dan orang
dewasa yang baru saja menerima vaksin Td dapat diberikan Tdap tanpa
masa tunggu.
Setiap kehamilan, sebaiknya suntikan diberi antara usia kehamilan 27 dan
36 minggu. Karena bayi tidak cukup terlindungi dari pertusis sampai
mereka menerima minimal 3 dosis DTaP, sangat penting semua orang
yang kontak sama bayi kurang dari 12 bulan divaksinasi dengan Tdap. Jika
ibu baru belum divaksin Tdap, baiknya divaksin sebelum pulang ke
rumah.
4. Pada pasien yang telah sembuh difteri dapat terkena difteri lagi. Karena
itulah, individu yang sembuh dari difteri harus diimunisasi sesegera
mungkin
14
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
No Waktu Acara
1. 07.20-07.30 Persiapan Penyuluhan
2. 07.30-07.35 Pembukaan
3. 07.35-07.45 Materi Penyuluhan
4. 07.45-07.55 Sesi Tanya Jawab
5. 07.55-08.00 Penutupan
15
DOKUMENTASI PENYULUHAN
“WASPADAI DIFTERI”
16