You are on page 1of 16

LAPORAN PENYULUHAN

“WASPADAI DIFTERI”

Disusun Oleh :

dr. Hasanah

Pendamping :

dr. Salim Jindan

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BEKASI

DINAS KESEHATAN

PUSKESMAS WANASARI

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular


(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung
dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita
yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit
serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah
Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan
dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan
salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di

2
Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era
vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak
vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah
kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memiliki beberapa


tujuan yang ingin dicapai sebagai tindakan preventif terhadap angka
kejadian difteri diantaranya:

 Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit difteri.


 Masyarakat dapat memahami gejala dan jenis-jenis difteri sehingga
dapat dilakukan pencegahan serta penanganan yang tepat terhadap
penyakit difteri.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,


faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faring otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak.
Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan
oedema dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif
dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

2.2 Penyebab

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium


diphtheria .Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi efek
patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants
dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan
type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif
dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak
bergerak. Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis,
mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan,
dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang

4
membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan
toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan
tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi dan anak-anak.
Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian antitoksin difteri untuk
menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk membunuh
bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya
juga paling besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula
metakromatik sedikit, pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak
biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu
membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik
dengan sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V
dan W, mirip seperti karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan,
karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh
merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat
berwarna hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita
biru terang & gelap, tidak adanya granula metakromatik. Penyakit :
pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.

2.3 Cara Penularan


Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya
melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2

5
– 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan
masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.
Ciri khasdari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang
berupa reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembran). Membran
ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang
kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita yang paling berat
didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).

2.4 Gambaran Klinis


Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk
tujuan klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi
beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
a. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di
lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi
antibiotik.
b. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,
anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika
toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma,
dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan
penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.

6
c. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.
Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
d. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.
Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan
oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi
yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa
irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika
miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling
sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot
mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga
atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan
karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus
keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih
tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah
sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

2.5 Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,
pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada
anak-anak usia sekolah dasar.

7
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae,
penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

2.6 Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin


yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian
pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih
dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit
atau uji mata terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi

8
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin,
kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala.
b. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
c. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan
observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.
d. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

9
BAB III

METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Bentuk Kegiatan

Kegiatan dilakukan di Ruang tunggu Puskesmas Wanasari berupa


penyuluhan tentang difteri. Kegiatan dimulai pada pukul 07.25 berupa
persiapan dan materi dimulai pukul 07.30 WIB dihadiri kurang lebih 30
orang yang hendak berobat dengan metode penyuluhan kuantitatif dengan
cara menerangkan materi kepada peserta penyuluhan dan disajikan dengan
menggunakan powerpoint. Kemudian acaradilanjutkan dengan tanya
jawab mengenai materi yang telah disampaikan.

3.2 Sasaran Kegiatan

Seluruh pengunjung Puskesmas Wanasari yang hendak berobat.

3.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan penyuluhan dilaksanakan pada :

Hari/tanggal : Rabu, 21 februari 2018

Waktu : 07.30-08.00 WIB

Tempat : Ruang tunggu Puskesmas Wanasari

10
BAB IV

HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1 Hasil Pelaksanaan

Kegiatan penyuluhan dimulai pada jam 07.30-08.00 pada hari


Senin di Ruang tunggu Puskesmas. Perserta penyuluhan yang sudah
berada di Puskesmas dipersilahkan mengisi daftar hadir. Peserta yang
hadir terdiri dari berbagai jenjang umur. Terlihat antusiasme dari para
peserta terutama ketika dijelasakan tentang cara pencegahan penyakit
difteri salah satunya dengan vaksin difteri. Setelah penyuluhan didapatkan
beberapa pertanyaan dari peserta yakni efek samping difteri, siapa saja
yang boleh di vaksin dan pengobatan vaksin difteri.

4.2 Hasil Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan

Dalam pelaksanaan penyuluhan perlu dipertimbangkan waktu.


materi, sasaran, metode yang dilakukan serta sarana dan prasarana yang
digunakan. Pemilihan waktu yang tepat serta penyediaan sarana yang
memadai dan tepat guna akan membuat penyuluhan menjadi lebih efektif,
untuk itu diperlukan pertimbangan mengenai waktu yang cukup dan
tempat yang nyaman agar tujuan yang dimaksud dalam penyuluhan
tersampaikan dengan baik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan


dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),
2007, Jakarta.

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,


2003, Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,


2005,Jakarta

Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV.


Infomedika, Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten


Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2
No.5 Profil,2004,

Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/

Anonim, 2003, The Complete Genome Sequence and Analysis


of Corynebacterium diphtheria NCTC 13129, www.google.com, diakses tanggal
7 Mei 2008.

Anonim, 2007, Difteri. www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5


Januari 2008.

12
DAFTAR PERTANYAAN PESERTA PENYULUHAN

“WASPADAI DIFTERI”

Nama Penyuluh : dr. Hasanah

Judul Penyuluhan : Waspadai Difteri

Hari/Tanggal : Rabu, 21 februari 2018

Daftar Pertanyaan :

1. Apa efek samping vaksin difteri?


2. Siapa saja yang tidak boleh di vaksin difteri?
3. Bisakah ibu hamil mendapat vaksin difteri?
4. Apakah setelah sembuh dari difteri, akan terkena difteri lagi?

Jawaban Pertanyaan :

1. Efek samping vaksin yaitu : reaksi lokal, seperti demam, kemerahan dan
bengkak di tempat suntikan, dan nyeri saat disuntik yang membuat tak
nyaman. Tapi, reaksi ringan dan sistemik ini jauh lebih jarang terjadi pada
vaksin DTaP asellular. Nah, efek samping Td atau Tdap pada anak-anak
dan orang dewasa yang lebih tua termasuk kemerahan dan bengkak di
tempat suntikan (mengikuti Td) dan nyeri tubuh yang umum, dan
kelelahan (mengikuti Tdap). Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa
yang menerima lebih dari dosis vaksin Td / Tdap yang direkomendasikan
dapat mengalami peningkatan reaksi lokal, seperti pembengkakan lengan
yang menyakitkan. Hal ini disebabkan tingginya kadar antibodi tetanus
dalam darahnya.

13
2. Orang yang tidak boleh di vaksin difteri yaitu orang yang mengalami
alergi serius terhadap dosis DTaP atau vaksin Tdap sebelumnya tidak
boleh menerima dosis lain. Reaksi alergi meliputi suhu 38 derajat Celcius
atau lebih tinggi dalam dua hari, ambruk atau keadaan seperti shock dalam
dua hari, menangis terus-menerus selama lebih dari tiga jam dalam dua
hari, atau kejang dalam tiga hari. Selain itu, orang dengan kondisi
neurologis tertentu juga baiknya menunda mendapat vaksin DTaP atau
Tdap sampai dilakukan evaluasi.
3. Semua wanita hamil harus menerima Tdap. Remaja atau wanita yang
hamil harus menerima Tdap pada setiap kehamilannya. Remaja dan orang
dewasa yang baru saja menerima vaksin Td dapat diberikan Tdap tanpa
masa tunggu.
Setiap kehamilan, sebaiknya suntikan diberi antara usia kehamilan 27 dan
36 minggu. Karena bayi tidak cukup terlindungi dari pertusis sampai
mereka menerima minimal 3 dosis DTaP, sangat penting semua orang
yang kontak sama bayi kurang dari 12 bulan divaksinasi dengan Tdap. Jika
ibu baru belum divaksin Tdap, baiknya divaksin sebelum pulang ke
rumah.
4. Pada pasien yang telah sembuh difteri dapat terkena difteri lagi. Karena
itulah, individu yang sembuh dari difteri harus diimunisasi sesegera
mungkin

14
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Nama Penyuluh : dr. Hasanah

Judul Penyuluhan : Waspadai Difteri

Hari/Tanggal : Rabu, 21 februari 2018

No Waktu Acara
1. 07.20-07.30 Persiapan Penyuluhan
2. 07.30-07.35 Pembukaan
3. 07.35-07.45 Materi Penyuluhan
4. 07.45-07.55 Sesi Tanya Jawab
5. 07.55-08.00 Penutupan

15
DOKUMENTASI PENYULUHAN

“WASPADAI DIFTERI”

RABU, 21 FEBRUARI 2018 oleh dr. Hasanah

16

You might also like