Professional Documents
Culture Documents
Perkenalkan Kami dari SMA Kehidupan Jakarta. Saya Antonius sebagai pembicara pertama tim
kontra; pada kesempatan ini akan menanggapi pernyataan dari pembicara pertama tim pro.
Kemudian menjelaskan dasar argumen tim kami, yang berkaitan dengan topik debat kali ini.
Selanjutnya rekan saya Mario sebagai pembicara kedua akan kembali menanggpi
pernyataan dari lawan; kemudian menguatkan kembali kontruksi berpikir tim kami dengan contoh
– contoh kongkrit.
Terakhir sebagai pembicara ketiga, saudara Jose akan menanggpi pernyataan dari tim pro.
Kemudian menguatkan argumentasi tim kami, dan merangkum pernayataan dari pembicara
pertama dan kedua.
Bagian akhir dari sistematika debat ini akan ditegaskan kembali oleh saya sendiri,
Antonius sebagai pembicara pertama tim kontra dalam pidato penutup sesi ini.
Hadirin dan dewan juru yang terhormat. Mosi debat pada sesi ini adalahKebijakan Pemerintah
dalam Menerapkan Full Day School. Sebelum saya menanggapi dan memberi batasan pada
mosi ini saya ingin memaparkan dua hal tentang kondisi dunia pendidikan kita. Pertama soal guru
dan kedua soal sarana dan pra sarana.
Ada bukti yang menunjukan mutu pendidikan itu rendah akibat kurangnya kompotensi guru, hal
ini bisa kita lihat pada http://bengkuluekspress.com/kompetensi-guru-bahasa-masih-rendah.
Di sini dikatakan saat uji kompotensi guru tahun 2006 standarnya adalah 5,5 itu banyak yang
tidak lulus, apalagi saat ini tahun 2017 standar UKG telah dinaikan menjadi 8 logikanya tentu
banyak yang tidak lulus.
Lantas pertanyaan saya, menurut tim pro mungkinkah pendidikan Indonesia akan lebih baik jika
diajarkan oleh guru yang hasil UKG 5,5 saja tidak lulus?. Tidak perlu dijawab tetapi direnungkan
saja. Belum lagi kasus pelecehan seksual oleh guru.
Jadi kesimpulannya adalah meski kurikulum diganti 100 kali pun tetapi jika kualitas guru kurang,
sarana dan pra sarana tidak memadai. Maka kurikulum sebagus apapun tidak akan berhasil
meningkatkan pendidikan di Indonesia. Apalagi dengan embel-embel mengubah moral
remaja. Selain itu kerja sama dengan orang tua sangatlah penting karena orang tua murid yang
punya anak. Sedangkan fakta menunjukan orang tua menggagas petisi menolak full day school
Solusi yang kami berikan adalah perbaiki kualitas guru dan bangun sarana dan pra sarana di
daerah terluar terlebih dahulu baru kebijakan ini di terapkan. Tetapi selama sarana dan pra
sarana di daerah belum ada pemerataan seperti Jakarta dan kualitas guru belum diperbaiki maka
kami dengan tegas menolak mosi ini. Dengan berbagai dasar pemikiran yang telah dikemukakan
pada bagian terdahulu.
Soal moral, seperti disinggung oleh pembicara pertama tim pro, dengan tegas saya nyatakan
bahwa itu adalah tanggung jawab seluruh stekholder, bukan saja sekolah semata. Orang tua,
tokoh masyarakat, dan tokoh agama berperan di situ juga. Rincinya akan dikemukakan oleh
rekan saya pembicara kedua.
Jadi sekali lagi saya nyatakan dengan tegas, kami sangat menolak mosi ini karena tidak efektif
dan efisien. Sekian dan terima kasih, waktu selanjutnya saya kembalikan pada Moderator.
Baiklah rekan-rekan tim kontra yang saya hormati, dilansir darihttp://news.liputan6.com, kalau
anda berkenan saudara bisa membacanya sendiri, saya bawah print outnya. Di
situ, Narsulla, staf khusus Kendikbud bidang komunikasi publik, mengatakan:
“Konsekuensi diterapkan full day school tersebut harus ada penambahan fasilitas di lingkup
sekolah. Penambahan fasilitas umum di sekolah tersebut menggunakan dana hibah”. Kata
Nasrullah di sela Focus Groups Discussion (FGD) Penguatan Media dalam Mensosialisasikan
Kebijakan Mendikbud di Malang, Jawa Timur, Sabtu 18 Maret 2017.
Artinya soal sarana dan pra sarana yang dikawatirkan oleh tim kontra tadi, jauh-jauh hari sudah
dipikirkan, bahkan sudah ada yang melaksanakan. Saya akan membacakan
pernayataan Narsulla staf khusus kemendikbudpada pargraf selanjutnya;
Artinya apa, yang dikawatirkan tim kontra sudah dilaksanakan. Fakta lain pun menunjukan ada
540 sekolah yang menerima dana hibah untuk melengkapi fasilitas sekolah yang belum ada atau
kurang. Artinya, kebijakan ini sudah berjalan, dan jika mayoritas orang tidak setuju, bahkan anda
katakan tadi menggagas petisi, tetapi mengapa ada 540 sekolah yang setuju menerima dana
hibah?. Paksaan, tekanankah itu?.
Menurut hemat kami, ini hanya sekelintir orang yang tidak menginginkan revolusi mental terjadi
di negeri ini; sehingga dengan segala daya upaya hendak menghentikan program yang baik ini.
Kemudian kekawatiran kedua adalah soal guru dengan dihadirkan hasil UKG guru tahun 2006
dan 2017 sebagai data perbandingan.
Rekan-rekan tim kontra yang kami hormati. Di bagian akhir pernayataan Nasrullah bahwa, "rasio
guru dan siswa pun juga tidak merata dan rata-rata guru menumpuk di Jawa atau di lokasi
tertentu. Oleh karena itu dalam waktu dekat akan dilakukan, Gerakan literasi di Sekolah.
Artinya apa, lagi-lagi saya harus katakan bahwa anda berpikir saat ini. Namun jauh sebelum itu,
pengampuh kebijakan kita telah memikirkannya terlebih dahulu. Sebelum anda berpikir dan
sebelum mereka melakukan kebijakan penerapan full day school segala situasi, termasuk apa
yang tim kontra pikirkan sudah lebih dulu dipikirkan dan dilaksanakan.
Selain itu, soal kualitas guru, telah dilakukan pelatihan guru dengan sistem klaster pada masa
peralihan dari Anis Baswedan ke Muhadjir Effendi, menteri pendidikan saat ini.
Artinya apa, beliau sudah teruji dalam situasi sulit untuk berpikir cepat dan tepat. Sehingga
kebijakan yang digagas olehnya sendiri tentu telah dibekali dengan kontruksi berpikir sebab
akibat. Termasuk item penting dalam bidang pendidikan, yakni guru sebagai garda terdepan.
Kemudian meyoal tentang full day school, perlu kita ketahui bersama bahwa penaman tersebut
telah diganti menjadi Pendidikan Penguatan Karakter (PPK) dengan jadwal pelajaran tetap
namun aktifitas sekolah yang lain ditambah dengan fokus utama adalah pendidikan karakter.
Jadi bisa saya simpulkan bahwa kelompok pro memiliki tingkat kekawatiran berlebihan yang tidak
berdasar dan beralas; karena segala kekawatiran yang dikemukakan, soal guru maupun sarana
pendidikan; jauh sebelumnya sudah dipikirkan dan dilaksanakan oleh pengampuh kebijakan
yakni pemerintah, melalui menteri pendidikan nasional.
Jadi kami mendukung mosi ini untuk mengaktualisasikan revolusi mental demi generasi sesudah
kita dan Indonesia yang lebih baik.
Sekian dan terima kasih, selanjutnya saya kembalikan kepada moderator.
Saya ingin mengajak rekan-rekan sekalian untuk berpikir sebelum kita bertemu di tempat ini. Jika
sekolah anda menerapkan kurikulum K 13, berarti anda mungkin juga sering dengar pernayataan,
guru hanya sebagai fasilitator, siswa belajar untuk menemukan sendiri.
Prakteknya deretan tugas kimia, fisika, sejarah, dan berbagai pelajaran lain menumpuk. Itu fakta
jangan membantah, jika anda seorang pelajar pasti mengalaminya.
Full day school. Kita akan menghapi suatu kenyataan belajar seperti biasa dari jam 06.30 hingga
pukul 13.00 WIB. Setelah itu, kegiatan sekolah dilanjutkan dengan eskul dan bimbingan
keagamaan, yang anda katakan (pembicara 1 dan 2) soal moral itu, ada pada kira-kira pukul
13.00 sampai pukul 16.30 WIB.
Pertanyaan saya kapan kita bisa mengerjakan tugas-tugas sekolah yang kita peroleh dari belajar
reguler sejak pukul 6.30 hingga pukul 13.00?.
Hari Sabtu dan Minggu?, jika iya maka tidak efektef. Dimana karakter kita sebagai remaja dengan
gaya berkumpul dan bersosialisasi sebagai kebutuhan yang harus terpenuhi; di lain pihak harus
mengerjakan tumpukan tugas sekolah, semantara waktu bersama keluarga tidak terpenuhi
dengan baik. Selain itu, dengan kebijakan ini memberi beban mental dan fisik tersendiri, apalagi
siswa SD yang muda bosan.
Sampai pada bagian ini, saya cukup yakin anda akan katakan tugas seorang pelajar ya belajar.
Anda lupa pada satu hal bahwa masa anak-anak itu masa bermain. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka ibaratnya orang yang haus tidak diberi minum. Maka yang muncul adalah
pemberontakan karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi.
Apakah anda setuju dengan kebijakan yang akan menjadi beban bagi anda juga?.
Selain itu saya ingin mengajak anda, jangan hanya berpikir soal Jakarta, tempat anda berada
saat ini. Coba anda lihat gambar ini dan baca refrensi tentang Indonesia timur yang rumahnya
jauh-jauh, akses sulit dan orangtuanya petani dan nelayan.
Kemudian coba lihat gambar ini, sebuah sekolah yang bangunannya dipinjam dari SMP terbuka.
Lantas yang ini, sekolah tidak layak. Jangankan beli komputer, beli kapur tulis saja susah. Sampai
pada bagian ini anda mungkin akan katakan, jauh sebelum anda berpikir pengampuh kebijakan
sudah berpikir, dan jauh sebelum anda kawatir Muhadjir Effendy menteri pendidikan sudah
laksanakan A, B, C dan seterusnya.
Bahkan mungkin saat ini rekan-rekan tim propun sedang melawan nuraninya sendiri, soal tugas-
tugas sekolah yang menumpuk dan kapan akan diselesaikan.
Jadi, dewan juri yang terhormat, kami tim kontra dengan tegas menolak mosi ini dengan alasan
masih tentang sarana dan pra sarana, kualitas guru, dan ditambah dengan beban fisik dan
psikologis siswa.
Sekian dan terima kasih. Waktu selanjutnya saya kembalikan ke moderator.
Mengawali tanggapan saya tentang kekawatiran tim kontra soal sarana dan pra sarana. Ditambah
dengan beban fisik dan psikis yang telah dipaparkan oleh pembicara kedua tim kontra tadi. Saya
ingin mengutip kata-kata Sidarta Gautama, tokoh yang dikenal sebagai pendiri agama Budha.
"Segala sesuatu (pasti) berubah, tidak ada satu hal yang tetap dan tidak berubah."
Dalam konteks pendidikan dan remaja, kita bisa simak dari orang tua kita, guru-guru kita, atau
membaca dari literatur yang ada bahwa, sopan santun anak sekolah masih dijaga, menghormati
orang tua syarat mutlak dan kental, seks bebas tidak diperkenankan sebelum pernikanan
resmi. ITU DULU.
Sekarang kita bisa lihat tawuran antar pelajar, fenomena keautisan sosial yang ditimbulkan
karena adanya teknologi informasi, secara khusus bahaya gadjet bagi remaja. Jika kurang jelas
saya ingin beri contoh fenomenapokemon go yang cukup menyita perhatian kita bersama pekan
sebelumnya. Seks bebas, belum lagi kasus narkoba, juga korupsi yang menganak pinang di
negeri ini, radikalisme dan beribu kasus lain yang miris jika dikaji lebih jauh.
Soal radikalisme ingin saya katakan pada forum ini bahwa orang-orang yang terlibat di
dalamnya, bukan orang yang tidak memiliki kecerdasan intlektual melainkan cukup cerdas.
Buktinya mereka bisa rakit bom, dan mohon maaf saya harus sampaikan di forum ini bahwa bom
tersebut dipakai untuk membom gereja, melawan aparat penegak hukum, dan bahkan tidak
segan-segan menghabisi nyawa siapa saja yang berseberangan dengan kelompok ekstrimisme
ini.
Apakah mereka orang-orang bodoh?, saya katakan tidak. Tetapi mereka kurang dalam hal
kecerdesan emosional, karakter moral dan nilai-nilai kebangsaan.
Fenomena rekutan anak muda yang kita kenal dengan sebutan ISIS rekuitmen adalah salah satu
gambaran bahwa moralitas dan pendidikan karakter kebangsaan harus kita galakkan lagi untuk
melihat Indonesia terus berjaya. Pancasila tetap menjadi dasar negara kita, dan Bineka Tunggal
Ika pun tetap menjadi semangat berbanggsa kita.
Dewan juri yang terhormat, Itulah fenomena dan tantangan berbangsa saat ini. Kepada siapa
negeri ini berharap untuk terbebas dari semua kenyataan yang saya sebutkan tadi. Bukan
presiden, gubernur atau bupati, tetapi melalui generasi mudanya. Yaitu saya, rekan saya, dan
teman-teman dari tim kontra. Cara yang dilakukan adalah melalui jalur pendidikan; dan sekali lagi
saya tegaskan lewat pendidikan karakter yang digagas lewat full day school.
Soal beban fisik dan mental saya ingin kemukakan bahwa full day schooladalah belajar seperti
biasa, hanya ditambahkan gaya pendidikan karakter alah pondok pesantern, seminari maupun
pembinaan remaja gereja. Jika anda katakan cape fisik dan mental, bagi saya ini hanya bentuk
ketakutan karena tidak mau keluar dari zona nyaman.
Ribuan santri yang ada di tanah air Indonesia. Ratusan seminaris yang tersebar di daratan Jawa,
sulawesi, dan Indonesia Timur lain, biasa saja. Ratusan aktifis muda gereja yang juga anak
sekolah mungkin sudah gila semua jika mereka selalu berpikir sulit seperti tim kontra. Tetapi
kenyataannya, santri, seminaris, maupun pemuda gereja masih ada sampai saat ini.
Jadi intinya, ini hanya soal mau atau tidak keluar dari zona nyaman dan mau dibina menjadi lebih
baik atau tidak.
Dewan juri yang terhormat, mengenai minimnya sarana dan pra sarana, terutama akses yang
sulit di timur sana. Itulah kenyataan saat ini tetapi jangan pernah lupa juga tantangan lainnya
sedang menanti generasi muda Indonesia.
Apa itu tantangannya?, ya narkoba, seks bebas, keatusian sosial, tawuran antara pelajar,
radikalisme, ekstrimisme.
Apakah kita hanya duduk diam dan menerima nasib?.
Bagi kami tim pemerintah, sarana dan prasarana memang penting. Tetapi membangun
intlektualitas dan moralitas generasi penerus bangsa jauh lebih penting. Sampai pada bagian ini
saya meyakini rekan-rekan tim oposisi akan menanggapinya dengan pertanyaan kritis;
bagaimana mungkin kita membangun manusia muda agar siap menggantikan generasi tua kalau
guru sebagai pioner terdepan pendidikan tidak memiliki kualitas yang mumpuni.
Jika setiap saat sejak republik ini ada, kita selalu bersikap skeptis terhadap guru maka tidak ada
Baharudin Habibi yang bisa buat pesawat. Tidak ada presiden yang bernama Jokowidodo; tidak
ada Ahok yang mengubah tempat pelacuran Kali jodoh menjadi taman bermain keluarga, dan
tidak ada anak Papua yang bernama George Saa yang menemukan rumus fisika, dan saat ini
bersekolah di Amerika.
Soal pekerjaan rumah menumpuk dan kapan harus dikerjakan adalah evaluasi dan perbaikan
untuk menjadi lebih baik. Berilah kami kesempatan untuk membuktikan kalau program ini benar
dan membawa manfaat. Tunggu evaluasi anda diaktualisasikan atau belum itu soal nanti, tetapi
saat ini marilah kita dukung program yang baik ini untuk Indonesia yang lebih baik.
Dewan juri yang terhormat, sebelum saya mengahiri paparan argumentasi saya, izinkan saya
untuk kemukakan satu hal.
Fenomena remaja dan perubahan selalu terjadi di mana saja. Dunia pendidikan yang baik harus
selalu tanggap menanggapi perubahan zaman dan membuat kemasan yang baik untuk
menghadapinya. Soal siap atau tidak siap sarana dan pra sarana, itu yang kedua. Tetapi
keutamaan untuk membangun manusia muda yang intletual dan bermoral lewat full day
schoolharus didukung.
Sekian dan terima kasih, selanjutnya saya kembalikan kepada moderator.
Membangun manusia itu penting, niat baik itu bagus tetapi semuanya akan sia-sia jika
pengampuh kebijakan tidak memiliki skala prioritas dan melibatkan segenap komponen bangsa
dalam membangun manusia itu sendiri.
Jadi dengan tegas saya nyatakan dengan rasio yang ada program ini tidak bisa diterima oleh
masyarakat umum, dengan berbagai alasan seperti yang dikemukakan oleh pembicara 1 dan 2
tim oposisi yang telah disampaikan sebelumnya.
Bukan hanya masyarakat yang menolak kebijakan full day school. Penolakan yang samapun
dilakukan oleh bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi (http://news.okezone.com).
Pertanyaan saya bagaimana mungkin kebijakan pemerintah pusat bisa terealisasi jika kepala
daerahnya saja menolak?.
Apakah ini akan maksimal?, saya pikir tidak. Bahkan hanya akan membuang biaya, waktu dan
tenaga saja, padahal dibagian lain sektor pendidikan masih banyak yang harus dibereskan
segera. Seperti sarana dan pra sarana sekolah.
Sampai pada bagian ini saya cukup yakin tim pemerintah akan katakan, bangun manusia dulu
baru bangunan. Karena manusia yang membangun bangunan bukan bangunan yang
membangun manusia.
Lantas bagimana dengan guru honorer yang gajinya tidak mencapai UMR. Tiga bulan sekali baru
diterima. Apakah mereka bukan manusia tim pro?
Penolakan yang sama juga dilakukan oleh wakil DPR RI Fadli zon (http://m.metrotvnews.com).
Lantas bagaimana mungkin eksekutif dan legislatif bisa bersinergi kalau sejak awal saja sudah
menolak.
Jadi kesimpulannya full day school belum bisa diterapkan di Indonesia karena sarana dan pra
sarana belum memadai. Masih terjadi kesenjangan antara pusat dan daerah, kualitas guru yang
belum memadai, dan masih ada masalah lain di bidang pendidikan yang lebih serius lagi
daripada full day school.
Program ini hanya bisa diterapkan di negara maju dan wilayah perkotaan, yang memiliki akses
yang muda dan mata pencarian orang tua adalah perkantoran. Tidak untuk daerah yang
aksesnya sulit dan mata pencarian orang tua adalah bertani dan nelayan.
Jika dewan menyetujui permintaan ini maka dewan ikut andil dalam menciptakan kesenjangan
antara pusat dan daerah, ikut andil dalam sentimen sosial tertentu antara pedesaan dan
perkotaan. Sekali lagi saya tegaskan jika dewan menyetujui permintaan tim pemerintah maka
program pemerintah tentang pemerataan pendidikan di Indonesia tidak terjadi, dan itu semua
karena keputusan dewan pada sidang ini. Sekian dan terima kasih, selanjutnya saya kembalikan
pada moderator.
Dewan yang terhormat, di era moderen seperti saat ini, setiap saat selalu mengahdirkan
fenomena baru yang menuntut suatu tanggapan serius dari perubahan tersebut.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan perannya sangatlah sentral dan strategis, untuk
menentukan nasib sebuah bangsa dalam menanggapi perubahan yang ada.
Kenyataan yang telah kami jelaskan sebelumnya, seperti radikalisme, autisme, ekstrimisme,
narkoba, dan seks bebas adalah bagian kecil dari tantangan dunia pendidikan saat ini. Di sisi
yang lain sebagai sebuah bangsa, kita dihadapi oleh kenyataan bahwa sarana dan prasarana
sekolah yang minim fasilitasnya. Namun, bagi kami tim pemerintahan, orentasi pembangunan
suatu bangsa adalah bukan pada gedung dan benda mati, melainkan manusia.
Sebab manusia yang akan mengendalikan kekurangan sarana dan pra sarana, bukan sarana
dan pra sarana yang mengendalikan manusia. Oleh karena itu, dengan tegas kami menyatakan
mendukung penuh mosi tentang diberlakukan full day school; untuk mencetak generasi muda
penerus bangsa yang cerdas otaknya. Moralnya baik, karena nilai kebangsaan dan moralitas
adalah dasar pendidikannya; dan tentunya memiliki raga yang sehat karena jauh dari narkoba,
seks bebas, maupun tidakan eksrimisme lainnya.
Jika dewan menolak paparan kami, maka dengan tegas saya nyatakan dewan terlibat dalam
persekongkolan untuk menghancurkan negeri ini dari dalam, dan melalui generasi mudanya.
Hadirin sekalian,
Kapan lagi kalau bukan sekarang, siapa lagi kalau bukan kita yang memulai.
Dewan yang terhormat, terus berpikir untuk membuat sebuah keputusan yang tepat itu baik.
Tetapi manusia dan sisi kemanusian haruslah mendapatkan tempat yang paling terhormat.
Sekian dan terima kasih, selanjutnya saya kembalikan kepada moderator.
Dewan yang terhormat, mohon dipertimbangkan argumentasi, riset dan bukti-bukti lapangan
yang telah kami kemukan.
Sekian dan terima kasih, selanjutnya saya kembalikan pada moderator.