You are on page 1of 33

Bersiap Menuju Era Industri 5.

0
“Keinginan untuk personalisasi massal ini membentuk pendorong psikologis dan budaya di balik
industri 5.0 yang melibatkan penggunaan teknologi yang dipersonalisasi dengan sentuhan
manusia”

Oleh: Puput Suwastika – Konsultan Manajemen Strategis PPM Manajemen


*Tulisan ini dimuat di Majalah Pajak, Volume LXI| 2019, hlm. 14

Saat kita sedang menyesuaikan diri dengan perkembangan industri Era 4.0, para pengamat
industri menyatakan beberapa negara maju, contohnya Jepang, saat ini telah memasuki
pergeseran dari industri 4.0 menuju industri 5.0.
Apa yang terjadi pada industri 5.0 dan yang menjadi pendorong pergeseran era ini? mari kita
simak sejarah yang terjadi pada era ke era terlebih dahulu.
Industri 4.0 identik dengan industri konsumsi massal (mass consumption), menggunakan
kolaborasi media robotik dengan kecerdasan buatan dan internet of things (IoT), bertujuan
untuk menekan biaya produksi secara total karena barang yang diproduksi dalam jumlah
massal juga habis terkonsumsi karena tepat dengan keinginan pelanggan.
Industri 4.0 berkembang berlandaskan pada perkembangan industri sebelumnya, yakni industri
3.0 yang berfokus pada penggunaan media robotik pada aspek produksi dengan tujuan produksi
massal(mass production) saja.
Penggunaan kolaborasi dengan media robotik pada ke dua era industri ini ditujukan untuk
menciptakan proses yang lean. Dengan penggunaan media robotik, diharapkan mampu
menciptakan proses kerja yang efisien dan meminimalkan biaya kegagalan yang mungkin
timbul sehingga dapat menekan keseluruhan biaya produksi secara optimal.
Selain itu, pendorong utama kolaborasi dengan media robotik dilandaskan oleh keinginan
untuk menghilangkan risiko operasional pada objek pekerja (manusia). Media Robotik atau
proses yang diautomasi bertujuan menghilangkan pekerjaan yang berulang dan membosankan,
mencegah pekerja berhadapan dengan pekerjaan yang berbahaya, dan meminimalkan
“pekerjaan kotor” yang dilakukan oleh pekerja terdidik (dikenal dengan eliminasi Three D’s”
– dull, dangerous dan dirty jobs”).
Perubahan yang terjadi pada masa industri 3.0 – 4.0 tentu saja diprakarsai oleh karakteristik
pasar dan pelanggannya. Pada era itu (tahun 1960s hingga saat ini) pola konsumsi pasar lebih
mengarah kepada pengeluaran yang ekonomis. Hal ini menjadi pemicu para pemain industri
untuk memikirkan cara-cara mengurangi biaya-biaya yang ada diperusahaan. Salah satu cara
yang paling efektif adalah menggunakan mesin-mesin robotik untuk menstandarisasi proses
produksi dalam jumlah massal, meminimalkan risiko kegagalan, dan meminimalkan
biaya human error.

Dominasi generasi milenial


Jika ditelaah, kondisi pasar di masa yang akan datang, pasar akan didominasi oleh para generasi
milenial yang tentunya memiliki sifat unik dan berbeda dengan kondisi pasar pada generasi
sebelumnya. Pola konsumsi generasi milenial yang akan menjelma menjadi konsumen utama
beberapa tahun yang akan datang akan berdampak pada perubahan industri di masa depan.
Karakteristik pada generasi milenial (menurut Kilber, et al, 2014) adalah generasi yang internet
minded, memiliki percaya diri dan harga diri tinggi serta lebih terbuka dan bertoleransi
terhadap perubahan.
Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa ada kecenderungan pada 60 persen milenial untuk
melakukan pembelian yang mendukung mereka dalam berekspresi. Technology International
(Neurosensum) dalam hasil riset mereka yang bertajuk “Memahami Tren Konsumen Masa
Kini”, yakni riset tentang pola konsumsi generasi milenial di Indoensia, mengungkap bahwa

1
pengeluaran di kategori rekreasi telah meningkat 40 persen (1,4 kali) dalam dua tahun terakhir.
Ini menunjukkan bahwa milenial menggap penting pengalaman dan lebih berani
bereksperimen.
Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakteristik pasar di tahun yang akan
datang adalah golongan pasar yang mendambakan produk dan jasa yang spesifik, unik,
serta adjustable(personalisasi) terhadap masing-masing keinginan pelanggan yang
membutuhkan pengakuan dan harga diri tinggi.
Keinginan untuk personalisasi massal ini membentuk pendorong psikologis dan budaya di
balik Industri 5.0 yang melibatkan penggunaan teknologi yang dipersonalisasi dengan sentuhan
manusia untuk meningkatkan nilai tambah dan eksperimen yang berbeda pada setiap output-
nya.
Output di Industri 5.0, hasil dari memberdayakan teknologi dan sentuhan unik manusia untuk
mewujudkan dorongan dasar pasar di masa yang akan datang untuk mengekspresikan diri
mereka, bahkan mereka berkenan membayar harga premium untuk medapatkan produk atau
jasa yang terpersonalisasi tersebut.
Produk dan jasa seperti ini hanya dapat dibuat melalui keterlibatan manusia dan teknologi jika
diperlukan. Penulis percaya bahwa sentuhan manusia ini, di atas segalanya, adalah apa yang
dicari konsumen ketika mereka ingin mengekspresikan identitas mereka melalui produk yang
mereka beli. Konsumen generasi ini menerima teknologi, mereka tidak keberatan jika ada
proses yang diautomasi. Tetapi mereka mendambakan jejak pribadi desainer manusia dan
perajin, yang menghasilkan sesuatu yang istimewa dan unik melalui upaya pribadi.
Personalisasi akan menimbulkan perasaan spesial dan penghargaan tinggi yang didambakan
oleh karakteristik pelanggan di masa yang akan datang.

2
Classroom in a Pocket
“Sebuah survei yang menyatakan bahwa 70% pembelajar dalam jaringan (online) merasa
lebih efektif dan termotivasi ketika menggunakan perangkat mobile dibandingkan laptop atau
komputer personal”

Oleh: Rahadi Catur Yuwono M.M. – Marketing Manager Online LearningPPM Manajemen
*Tulisan ini dimuat di Majalah Sindoweekly No. 04 Tahun VIII, 25-31 Maret 2019, hlm. 82

Perkembangan teknologi terus bergulir. Semua tidak terlepas dari perkembangan


aplikasi yang disematkan di ponsel pintar atau smartphone itu sendiri. Riset menunjukkan
bahwa 80% populasi dunia adalah pengguna ponsel. Merujuk tren tersebut, sangat menarik jika
kita perhatikan bagaimana pemanfaatan aplikasi pada ponsel pintar ini juga dapat dimanfaatkan
dan dioptimalkan bagi para praktisi human resources department, khususnya bagian learning
& development pada masa mendatang.
Hal yang menarik juga terlihat dari sebuah survei yang menyatakan bahwa 70% pembelajar
dalam jaringan (online) merasa lebih efektif dan termotivasi ketika menggunakan
perangkat mobiledibandingkan laptop atau komputer personal. Salah satu manfaat yang paling
signifikan adalah fleksibilitas akses terhadap materi yang memberikan kenyamanan bagi
pembelajar untuk dapat mengunduh materi-materi yang diinginkan, lalu mempelajarinya
kapanpun dan di manapun sekalipun tanpa jaringan atau yang lebih dikenal dengan
istilah saved to offline. Ditambah lagi, sistem notifikasi yang mampu memberikan informasi
yang spesifik dan penting kepada pembelajar terkait proses dari pembelajaran itu sendiri.

Menembus Segala Keterbatasan


Khusus untuk manfaat ini, penulis juga mempunyai pengalaman menarik ketika mempunyai
kesempatan untuk bekerjasama mengadakan pelatihan berbasis daring dengan salah satu
perusahaan distributor alat berat terbesar dan terkemuka di Indonesia. Para peserta didiknya
adalah para kepala unit bisnis di berbagai wilayah pelosok di Indonesia. Sebut saja seperti di
Kecamatan Malinau Utara, Kalimantan Utara yang daerahnya hanya bisa diakses internet di
kantor perwakilan, sedangkan hampir seluruh aktivitas para peserta didik menghabiskan waktu
di lokasi penambangan batu bara yang bisa dikatakan tidak memiliki jaringan internet.
Menariknya, hal ini tidak membuat mereka merasa frustasi, tetapi malah melecut semangat
mereka agar terus belajar. Sebab, ini merupakan kesempatan yang langka bagi mereka, yaitu
mendapatkan pelatihan di pelosok Indonesia. Dengan tersedianya aplikasi mobile e-
learning, para peserta didik berusaha untuk mengunduh semua materi ketika mereka berada di
kecamatan yang memiliki jaringan internet. Alhasil, ketika kembali ke lokasi penambangan
batu bara yang tidak memiliki jaringan internet, para peserta didik tetap dapat mengakses
semua materi karena materi telah diunduh dan tersimpan pada aplikasi ponsel pintar
mereka.Hal ini menjadi bukti nyata bahwa pemanfaatan teknologi berbasis aplikasi menjadi
sangat penting untuk dijadikan salah satu program kerja strategi pembelajaran digital bagi
perusahaan di era ini.
Manfaat kedua adalah aplikasi di perangkat pintar itu dekat dengan kaum milenial. Kaum para
pekerja yang tumbuh dan berkembang dengan lingkungan canggihnya teknologi. Mereka pun
menggunakan kecanggihan teknologi tersebut dalam kehidupan sehari-hari guna memenuhi
berbagai kebutuhannya.
Dengan ponsel pintar, mereka akan selalu terhubung dengan orang lain dan dunia digital
melalui internet. Saat ini, ponsel pintar memegang peranan penting sebagai gawai yang paling
praktis yang bisa dimanfaatkan oleh generasi milenial sehingga program pembelajaran dan

3
pengembangan organisasi melalui perangkat ponsel pintar diyakini mampu memudahkan para
kaum milenial untuk dapat meningkatkan kompetensi mereka di dunia kerja.
Manfaat ketiga adalah dengan penerapan mobile learning di suatu perusahaan dapat
meningkatkan terjaganya pengetahuan dan keterampilan dalam waktu yang lebih lama. Sebab,
salah satu ciri e-learning adalah konten yang bisa dipelajari berulang-ulang. Alhasil, ketika
para pembelajar lupa dengan apa yang telah mereka pelajari, dengan sedikit merogoh ponsel
pintar di saku (classroom in a pocket), saat itu pula mereka dapat mengakses kembali materi
yang ingin mereka pelajari dan membantu menyelesaikan pekerjaan mereka. Hasil riset juga
menunjukkan bahwa tingkat knowledge retention (penyimpanan pengetahuan) melalui
metode e-learning ini dapat terjaga oleh pembelajar sebesar 50-90% karena sifatnya yang
mudah diakses dan dapat digunakan berkali-kali.

4
Kolaborasi: Tindakan atau Pemikiran?
“Dengan mengetahui kelemahan, organisasi menyadari perlunya memberi kesempatan
menyuarakan pemikiran yang lebih detail untuk melengkapi gambaran besar eksplorers dan
energizers”

Hasil riset dari jurnal Harvard Business Review menjelaskan bahwa untuk dapat
berkolaborasi dalam tim ternyata tidak cukup hanya dengan menyelaraskan tindakan tetapi
juga diperlukan penyelarasan pemikiran.

Dalam riset tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa gaya berpikir suatu organisasi dapat
dikelompokkan berdasarkan fokus dan orientasi dengan matriks sebagai berikut:
Explorer, adalah gaya berpikir yang menghasilkan ide-ide kreatif; Planner, merancang
sistem yang efektif; Energizer, yakni menggerakkan tim untuk
bertindak; Connector, membangun dan memperkuat hubungan; Expert, mencapai sasaran
dan wawasan; Optimizer, meningkatkan produktivitas dan efisiensi; Producer, mencapai
penyelesaian dan momentum; Coach, mengembangkan orang dan potensi.
Berdasarkan uraian diatas kita dapat mengevaluasi gaya berpikir organisasi saat ini
seperti apa, sehingga menjadi jelas mengapa masalah tertentu menantang atau membosankan,
dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hal tersebut agar sasaran organisasi tercapai.
Prakteknya pada suatu perusahaan ditemukan bahwa pada perusahaan tersebut sebagian besar
manajer dan pemimpinnya adalah pemikir gambaran besar (explorer) dan pemikir
tindakan (energizer dan producer) tetapi sangat sedikit yang pemikir proses. Sehingga
organisasi tersebut memiliki tim yang kuat dengan ide-ide besar dan menggerakkan tim untuk
mewujudkan ide-ide tersebut, tetapi lemah dalam hal detail sehingga menjadi tidak efisien.
Dengan mengetahui kelemahan, organisasi yang disebutkan diatas kemudian
menyadari perlunya memberi kesempatan menyuarakan pemikiran yang lebih detail untuk
melengkapi gambaran besar eksplorers dan energizers. Sehingga mereka mengubah budaya
dan strategi perekrutan untuk menciptakan keseimbangan dan keberagaman gaya pemikiran.
Contoh penerapannya secara individu dialami oleh seorang pemimpin yang sehari-hari
berada di lingkungan pekerjaan yang kaya ide seperti consulting dan marketing. Dengan
mengidentifikasi gaya pemikirannya, dia menyadari bahwa selama ini lebih fokus
kepada relationship dibandingkan ide-ide. Dia lebih cenderung Connector
thinking dan Explorer thinking. Juga lebih sering menggunakan ide-ide untuk
memelihara relationship dibandingkan menggunakannya untuk mengembangkan ide-ide.
Sehingga ia memutuskan perlu mengganti fokusnya dalam bekerja kepada manajemen dan
pengembangan bisnis, yang justru semakin memperkuat semangat dan keterlibatan tim.
Hal yang sama sering dijumpai dalam setiap organisasi. Karena keterbatasan waktu, kolaborasi
ditunjukkan dalam bentuk bersama-sama mengeksekusi suatu ide besar atau brilian. Padahal,
kolaborasi bukan hanya merupakan tindakan bekerja sama, tetapi juga proses berpikir bersama
yang saling melengkapi.
Jadi seharusnya sebuah tim kolaborasi bekerja dari mulai merumuskan suatu ide sampai
mewujudkan ide tersebut. Bahkan, walaupun tim kolaborasi dibentuk untuk mewujudkan suatu
ide yang dianggap ‘brilian’, tim kolaborasi tetap harus kembali bersama-sama berpikir untuk
menyempurnakan ide brilian tersebut.
Dengan pemahaman ini, setiap tim dapat memulai diskusi kapan saja untuk melahirkan suatu
ide, tidak perlu menunggu adanya inspirasi hebat untuk memulai diskusi. Tidak ada tuntutan
bagi setiap anggota tim untuk mencari ide-ide inovasi atau improvement, tidak ada pula
tuntutan bagi anggota tim untuk berpikir detail. Just do it, mulai saja proses diskusi dan

5
biarkan pemikiran-pemikiran diutarakan dengan bebas sehingga saling melengkapi dan saling
menyempurnakan.
Istilah satu pikiran agaknya perlu hati-hati diartikan, karena tidak ada gaya pemikiran yang
lebih baik dari yang lain, masing-masing ada kekurangan dan kelebihannya, sehingga
keberagaman gaya pemikiran diperlukan untuk menyempurnakan keputusan. Pemahaman ini
juga akan memampukan untuk dapat mendengarkan orang lain dengan lebih baik, karena
menyadari pemikiran kita tidak ada yang sempurna sehingga selalu membutuhkan pemikiran
orang lain untuk menyempurnakannya.

6
Ramadan and Seasonal Entrepreneur
“Customer segment talking about who your target consumers. An entrepreneur must be able
to clearly map out who the customers are, what its intentions are, and how the behavior of
their consumption”
Oleh: Noveri Maulana M.M. – Faculty Member PPM School of Management
*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Momen Ramadhan bukan saja sekadar bulan peribadatan bagi umat muslim Tanah Air.
Namun, Ramadhan juga menjadi sinyal bagi para pelaku industri untuk meningkatkan aktivitas
bisnis mereka, terutama industri makanan, minuman, pakaian, dan semua hal terkait fast
moving consumer goods (FMCG). Bagi negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti
Indonesia, bulan suci Ramadhan menjadi sebuah fenomena unik terkait berubahnya pola
perilaku konsumen di berbagai sektor industri.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) mengungkapkan bahwa selama
Ramadhan terjadi kenaikan tingkat konsumsi masyarakat sebesar 30%. Bahkan, data
Kementerian Perdagangan tahun 2014 mengungkapkan tingkat kenaikan konsumsi masyarakat
di Ramadhan mencapai 40% dibandingkan bulan-bulan biasanya. Hal ini mengindikasikan
bahwa potensi ekonomi di Ramadhan memberi peluang bisnis yang menggiurkan bagi pelaku
usaha.
Tingkat konsumsi yang terus meningkat juga memberi indikasi adanya kenaikan jumlah
transaksi. Meningkatnya jumlah permintaan yang tidak sebanding dengan suplai yang ada
seringkali menjadi isu bagi pelaku usaha dalam menghadapi fenomena bisnis di Bulan
Ramadhan. Persoalan timpangnya supply dan demand selalu menjadi isu utama dalam
menghadapi fenomena ekonomi di bulan ini.
Keterbatasan produksi dan kemampuan untuk melayani menjadi tantangan besar yang sering
dihadapi oleh para pelaku usaha. Entah itu pebisnis besar atau menengah, namun juga menimpa
sektor bisnis kecil dan industri rumahan. Kenaikan jumlah permintaan yang tak sebanding
dengan kemampuan produksi selalu menjadi tantangan tersendiri.
Namun, gap ini ternyata menjadi sebuah celah bagi lahirnya pelaku bisnis baru, para
kelompok entrepreneur musiman. Melihat peluang dan potensi pasar yang menggiurkan,
banyak orang yang memberanikan diri untuk ikut mengadu nasib menjadi wirausahawan
musiman. Banting setir dari profesi sehari-hari dan terjun ke tengah kompetisi berbekal sedikit
kompetensi. Kelompok wirausahawan musiman ini seakan menjadi sebuah anomali,
mempertontonkan bahwa bisnis bukan melulu soal kemampuan, tapi soal kemauan.
Lantas apa yang terjadi? Para entrepreneur musiman ini seringkali terjebak pada sebuah iklim
kompetisi yang tidak bisa mereka atasi. Ternyata, setelah terjun ke tengah pasar, modal
kemauan yang mendasari aktivitas mereka seringkali tidak sesuai dengan apa yang diinginkan
pasar. Perilaku konsumen yang dinamis tidak mampu mereka tafsirkan dengan tepat. Alhasil,
semangat berusaha yang telah menggebu-gebu sebelumnya mulai larut dirundung kecewa.
Fenomena kemunculan entrepreneur musiman ini memberi bukti bahwa kemampuan
mengembangkan potensi bisnis di tengah masyarakat kita sudah mulai berkembang.
Kemampuan membaca peluang dan menghadapi ancaman menjadi modal dasar untuk memulai
sebuah usaha yang disebut sebagai entrepreneur. Entah itu sekadar upaya untuk merespon
pasar, atau memang menciptakan kreasi bisnis yang berdaya jual tinggi. Namun, yang paling
penting dipahami ialah bisnis bukan saja soal kemauan, tapi ia butuh kompetensi dan sederet
kemampuan.

7
Profesi atau Sekadar Sensasi?
Bagi entrepreneur, memulai usaha bisa berawal dari dua hal. Pertama ialah untuk merespon
keinginan pasar, dan kedua ialah kemampuan untuk menciptakan kreasi yang mampu dibeli
oleh konsumen yang ditargetkan. Jika berbisnis hanya dimulai oleh salah satu dari kedua alasan
itu, maka yakin dan percayalah bisnis Anda tidak akan mampu bertahan.
Osterwalder (2010) dalam bukunya yang popular: “Business Model Generation”, menyatakan
bahwa terdapat sembilan komponen penting untuk menggambarkan model bisnis yang
dijalankan oleh sebuah perusahaan. Seluruh model bisnis yang ada digambarkan ke dalam
sebuah kertas kanvas untuk mempermudah pelaku usaha membaca proses bisnis yang mereka
kerjakan. Dari Sembilan komponen tersebut, dua komponen yang paling menarik untuk kita
kaji dalam topik ini ialah mengenai “Customer Segment” dan “Value Proposition”.
Customer segment berbicara mengenai siapa konsumen yang Anda target.
Seorang entrepreneur harus mampu dengan jelas memetakan siapa pelangganya, apa
keinginannya, dan bagaimana perilaku konsumsinya. Pengetahuan terhadap customer
segment akan menentukan arah bisnis dan strategi apa yang akan diterapkan oleh si pelaku
usaha. Semakin paham terhadap konsumen, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan
konsumsi mereka terhadap produk dan layanan bisnis kita.
Sedangkan value proposition menjadi tolak ukur yang membedakan usaha kita dengan
kompetitor yang ada di tengah pasar. Proposisi nilai yang ditawarkan kepada konsumen adalah
titik di mana keinginan dan kebutuhan konsumen bisa dipenuhi melalui produk dan layanan
yang ditawarkan. Namun, pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen itu juga harus
memerhatikan aspek ‘unik’ dan ‘berbeda’ sehingga mampu memenangkan kompetisi. Puas
saja belum cukup membuat kita bangga, tapi puas dan mengidolakan produk dan layanan Anda
adalah tujuan berusaha.
Inilah yang seharusnya menjadi pemikiran dasar untuk memulai bisnis bagi
para entrepreneurmusiman di bulan Ramadhan. Jika mereka ingin berbisnis sebagai sebuah
profesi, sudah sepatutnya mereka tidak terjebak pada kemauan semata, tapi juga memerhatikan
kompetensi dan kemampuan yang ada. Namun, jika mereka memang hanya mencari sensasi,
membuktikan bahwa entrepreneur di bulan Ramadhan mampu memenuhi pundi-pundi, maka
sebuah prestasi jika mereka mampu bertahan sampai lebaran.
Jadi, apakah bisnis Anda di bulan suci ini akan menjadi profesi atau sekadar sensasi? Mari kita
lihat setelah lebaran!

8
Akomodasi
“Konflik juga mempunyai nilai baik jika dikelola dengan baik. Karena jika tidak ada konflik
maka tidak ada perubahan, karena tidak muncul ide-ide baru, tidak muncul tata kelola baru”

Oleh : Gerad Pasolang, M.M . – Trainer, Executive Development Program PPM Manajemen
*Tulisan dimuat di SWA Online

Dalam beraktivitas sehari-hari baik dalam pergaulan maupun pekerjaan, acap kali
terjadi gesekan-gesekan yang tidak diidamkan, alhasil membuat jalannya aktifitas kurang enak.
Sudah sepatutnya gesekan tadi kita tinggalkan dan cari solusinya. Kalau sudah begitu, idealnya
setiap orang saling memaafkan dan memulai lembaran baru dalam ber- relationship . Saling
memaafkan memang diperlukan karena dalam berinteraksi antar individu atau antar kelompok,
terjadinya konflik tidak dapat dihindari.
Sejatinya, konflik juga mempunyai nilai baik jika dikelola dengan baik. Karena, jika tidak ada
konflik maka tidak ada perubahan, karena tidak muncul ide-ide baru, tidak muncul tata kelola
baru. Bila hal ini terjadi dalam suatu organisasi, itu ditandai dengan situasi dalam organisasi
tersebut apatis dan stagnan, dan bisa berefek pada rendahnya kinerja setiap individu dalam
organisasi tersebut. Derajat Konflik dapat digambarkan dalam bentuk kurva normal, dimana
titik puncak kurva adalah derajat optimal konflik.
Sebaliknya, jika derajat konflik terlalu tinggi maka dapat merusak hubungan antar individu
atau antar kelompok sehingga kerja sama yang baik sulit didapat baik itu antar individu maupun
antar kelompok. Bila hal ini terjadi dalam organisasi, dapat mengakibatkan kinerja individu
menjadi rendah, kinerja perusahaan pun merosot karena konflik berkepanjangan yang tidak
dikontrol.
Untuk membuat derajat konflik optimal diperlukan kemampuan dalam mengelola konflik yang
dapat dilihat dari dua unsur, yaitu kepentingan terhadap konflik dan kemampuan dalam bekerja
sama menyelesaikan konflik .
Salah satu konflik yang sering terjadi dalam organisasi disebabkan karena hasil kerja
subordinat yang tidak sesuai dengan harapan atasan atau subordinat melakukan kesalahan
dalam pekerjaannya.
Bila kesalahan tersebut adalah kesalahan pertama, maka cara mengatasi konflik yang paling
efektif yang dapat dilakukan oleh atasan adalah akomodasi. Jika dikaitkan dengan dua unsur
dalam mengelola konflik yang telah disebutkan sebelumnya, akomodasi terkait dengan tidak
adanya kepentingan terhadap konflik tetapi ‘partner konflik’ mampu mendukung atau
bekerjasama untuk menyelesaikan konflik.
Dalam kasus subordinat melakukan kesalahan, yang berkepentingan atau bertanggung jawab
menyelesaikan atau memperbaiki kesalahan tersebut adalah subordinat itu sendiri. Tetapi bila
hal itu adalah kesalahan pertama maka seharusnya atasan memfasilitasi yang bersangkutan
untuk dapat belajar dari kesalahannya sehingga tidak terulang lagi, dengan syarat kesalahan
tersebut bukan perbuatan kriminal atau yang bertentangan dengan hukum dan aturan
perusahaan.
Untuk kesalahan pertama yang masih bisa ditolerir hal ini perlu dilakukan, menurut penelitian
para ahli mengenai cara kerja otak manusia, otak tidak dapat melakukan multi tasking dalam
satu waktu, dengan kata lain otak hanya dapat fokus dalam satu hal dalam satu waktu. Hasil
penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa stres yang berat akan menurunkan kemampuan
otak seseorang untuk belajar.

9
Berdasarkan penelitian tersebut pula, untuk mempelajari suatu kesalahan dengan optimal, otak
perlu difokuskan pada penyebab kesalahannya sehingga dapat mencari solusinya, dan ini tidak
akan optimal bila fokus otak diganggu dengan pemberian punishment atau ‘amarah atasan’
sebagai konsekuensi negatif dari kesalahan tersebut. Disamping itu, dengan
pemberian punishment dan ‘amarah atasan’ dapat mengakibatkan otak menjadi stres berat
sehingga tidak akan optimal dalam mempelajari kesalahan.
Bentuk akomodasi yang perlu dilakukan atasan untuk kesalahan pertama yang bisa ditolerir
adalah mengoreksi kesalahan tersebut melalui diskusi dengan subordinat untuk membantunya
mengetahui penyebab kesalahannya, dan memfasilitasi yang bersangkutan untuk menemukan
solusi terbaiknya. Cara ini juga akan membentuk atasan menjadi pemimpin yang bijaksana
dalam mengembangkan subordinat yang dipimpinnya menjadi problem solver yang mandiri.

10
Aceh Earthquake And Regional Economy
Turbulence
“One kind of risk management approaches that can be applied on Micro Small Medium
Enterprises (UMKM) sectors is Business Continuity Plan (BCP) or what is known as an
emergency plan”
Oleh: Yanuar Andrianto MiniMBA Program Coordinator, PPM School of Management
*Tulisan ini tayang di SWA Onllne

Rasanya baru kemarin beberapa wilayah Indonesia disinggahi bencana banjir, erupsi gunung
berapi, dan angin puting beliung. Indonesia kembali harus berduka, negeri Serambi Mekkah
diterpa gempa bumi berkekuatan 6,5 skala richter. Data terakhir korban yang dirilis BNPB
hingga Kamis (15/12/2016), bencana ini mengakibatkan 103 orang meninggal dunia, dan
ratusan orang lainnya mengalami luka ringan dan berat. Sekitar 85.161 orang harus mengungsi
karena infrastruktur tempat tinggal dan fasilitas umum mengalami kerusakan akibat kuatnya
gempa.
Bencana alam tidak bisa dilepaskan dari aspek geologis wilayah Indonesia yang berlokasi pada
pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan
Lempeng Pasifik. Itu mengakibatkan wilayah Indonesia rentan bencana gempa bumi dan
aktivitas vulkanik gunung api. Namun, pada kenyataannya, dari 1.853 beragam kejadian
bencana yang terjadi hingga bulan Oktober 2016, hanya 2% bencana geologi yang terjadi
seperti gempa aktivitas vulkanik gunang api (BNPB, 2016).
Penyebab utamanya adalah perubahahan iklim global yang sudah berdampak langsung
terhadap Indonesia. 89% kejadian bencana alam yang terjadi merupakan bencana
hidrometeorologi (dipengaruhi oleh cuaca) seperti banjir, tanah longsor, dan gelombang
pasang. Selebihnya sebanyak 9% adalah kebakaran hutan dan lahan.
Jumlah kejadian bencana jauh meningkat dibandingkan tahun 2002, yang mana kejadian
bencana hidrometeorologi kurang dari 200 kejadian. BNPB mencatat, sejak tahun 2012 telah
terjadi 1.811 kejadian bencana, 1.674 bencana pada tahun 2013, tahun 2014 mencapai 1.967
bencana, dan tahun 2015 mencapai 1.732 bencana. Pengalaman ini menunjukkan bahwasanya
risiko bencana alam tidak hanya sebatas waspada, namun sudah harus disiapkan langkah-
langkah antisipasi dan represif dalam mengelola risiko bencana.

Dampak Bencana bagi UMKM


Jumlah kejadian bencana yang terus meningkat secara langsung akan mengganggu aktivitas
ekonomi daerah. Terutama yang akan merasakannya adalah sektor ekonomi kerakyatan yaitu
UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Tidak hanya menghadapi masalah internal
seperti permodalan, pemasaran, dan penciptaan daya saingnya saja, permasalahan UMKM juga
meliputi pengelolaan risiko bencana alam.
Belajar dari bencana serupa di Yogyakarta tahun 2006, sekitar 150.389 UMKM mengalami
kerusakan yang masuk kategori dampak parah. Sekitar 90% masyarakat setempat bekerja di
sektor UMKM yang mengakibatkan sekitar 650.000 orang menjadi pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi Yogyakarta mengalami penurunan menjadi 3,7% pasca kejadian
bencana, yang semula berada di posisi 4,74% (BNPB; Tim Nasional untuk Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Paska Gempabumi, 2008).

11
Melihat dampak gempa di Pidie Jaya, Aceh, rusaknya bangunan rumah (16.238 rumah) dan
161 ruko mengalami kerusakan, bisa berpotensi mengganggu kegiatan ekonomi daerah.
UMKM menjadi rentan akan kejadian bencana karena sebagian besar masih mengelola
usahanya secara konvensional dibandingkan dengan korporasi besar yang lebih mature dalam
pengelolaan bisnis dan risiko.
UMKM umumnya menggunakan sumber daya lokal dalam operasi bisnisnya. Apabila terjadi
bencana melanda disuatu daerah maka berakibat terhentinya pasokan bahan baku,
kerusakan/kehilangan aset produksi, kerusakan bahan baku/hasil produksi, hingga hambatan
distribusi produk. Banyak pihak yang akan dirugikan dan membutuhkan waktu pemulihan yang
tidak sebentar pasca terjadinya bencana.
Kehidupan UMKM patut dijaga dalam menggerakan roda perekonomian. Tidak hanya
menggerakan perekomian daerah, namun sebagai penggerak utama perekonomian nasional
karena 99% pelaku usaha di Indonesia masuk dalam sektor UMKM (Mourougane, 2012).
Kontribusi yang diberikan terhadap PDB telah mencapai 60,34% dalam 5 tahun terakhir dan
mampu menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 97,22% (KADIN, 2016). Artinya, ketika
bencana terlambat diantisipasi, seluruh mata rantai pada sektor UMKM akan lumpuh.
Hasil studi yang dilakukan Oxfam Indonesia kepada 1.212 UMKM menemukan bahwa, 87%
UMKM tidak memiliki kapasitas dan strategi pemulihan ketika terjadi bencana alam. Kesiapan
UMKM dapat didukung melalui penerapan manajemen risiko di sektor UMKM agar dampak
yang ditimbulkan tidak menciptakan masalah sosial ekonomi berkepanjangan. Salah satu
bentuk pendekatan manajemen risiko yang dapat diaplikasikan pada sektor UMKM
adalah Business Countinuity Plan (BCP) atau dikenal dengan emergency plan.

BCP memberikan informasi penting dan tindakan yang dibutuhkan UMKM dalam mengelola
kejadian bencana. UMKM akan memahami risiko yang dihadapi dan memiliki pilihan
alternatif tindak lanjut yang harus dilakukan ketika kejadian bencana muncul. Pada situasi
bencana, pelaku UMKM akan lebih memahami rencana dan langkah-langkah sistematis yang
dilakukan sehingga kemungkinan kesalahan pengambilan keputusan
akibat shock & stress berlebih dapat diminimalisir.

Melalui penerapan BCP, UMKM dapat mengurangi kerugian jangka pendek dan jangka
panjang saat terjadi bencana. UMKM justru lebih sigap mengantisipasi bencana, mampu
bertahan dan cepat beradaptasi dengan situasi bencana, serta dapat memperpendek waktu
pemulihan (recovery) pasca terjadinya bencana.
Memahami fenomena yang sedang terjadi, kehadiran bencana alam bukanlah tamu asing bagi
Indonesia. Pengalaman menghadapi kejadian bencana alam pantas menjadikan Indonesia
sebagai Disasters Laboratory. Terlebih lagi penerapan BCP, akan menjadikan UMKM
Indonesia lebih tangguh mengelola dampak kejadian bencana.

12
Budaya Pelayanan Prima
“Visi, Misi dan Nilai-Nilai perusahaan merupakan dasar dari tujuan pembentukan ciri khas
budaya pelayanan di sebuah perusahaan. Lalu bagaimana perusahaan membentuk budaya
pelayanan prima dalam tubuhnya?”

Pelayanan prima, bagaimana bentuknya di perusahaan Anda? apakah sudah menjadi budaya
perusahaan?
Jika budaya pelayanan prima dalam perusahaan sudah mendarah daging, maka perusahaan
menjadi lebih unggul. Mengapa? Karena peningkatan pelayanan kepada pelanggannya selalu
terjaga. Pun dapat meningkatkan rasa nyaman karyawan dalam bekerja. Karena bila karyawan
nyaman dalam bekerja, otomatis kinerja karyawan pun meningkat, maka pelayanan prima pun
akan didapat.

Dalam pembentukan budaya pelayanan prima di dalam perusahaan, menurut Risal Badudu
dalam buku Service Excellence: Pelayanan Pelanggan yang Prima oleh Perusahaan di
Indonesia, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Pertama ialah tindakan, kemudian
menjadi kebiasaan, lalu berangsur menjadi kebudayaan. Budaya pelayanan prima oleh
perusahaan dapat menjadikan keunggulan bersaing yang menjadi ciri khas perusahaan.
Visi, Misi dan Nilai-Nilai perusahaan merupakan dasar dari tujuan pembentukan ciri khas
budaya pelayanan di sebuah perusahaan. Lalu, bagaimana perusahaan membentuk budaya
pelayanan prima?

Berikut tahapannya:
1. Policy and Process , merupakan penjabaran dan pernyataan visi, misi dan nilai serta
kebijakan perusahaan. Ini sangat berpengaruh dalam membentuk budaya pelayanan yang
prima di perusahaan. Jadi sudah sepatutnya disosialisasikan kepada segenap karyawan.
2. Key Performance Indicator and Standard , sebuah tolok ukur dari kinerja pelayanan di
perusahaan. Merupakan langkah dan prosedur perusahaan untuk membantu pengukuran
policy dan proses pelayanan prima beserta tingkatan pelayanan yang dapat dijadikan sebagai
acuan mencapai target.
3. Service Measurement , pengukuran pelayanan yang bertujuan untuk mencari tahu apakah
standar pelayanan sudah mencapai hasil yang diharapkan. Report and Management
Information System , informasi yang didapat dari service measurement disusun dan dilaporkan
untuk menjadi keputusan perbaikan dari policy dan proses.
4. Report dapat menjadi ukuran untuk menentukan kebutuhan training, coaching , reward dan
punishment bagi karyawan untuk meningkatkan pelayanan. Proses ini sangat penting sebagai
acuan dalam perbaikan di masa yang akan datang.
Empat tahapan proses pembentukan budaya pelayanan prima di atas dilakukan sinambung
untuk meningkatkan budaya pelayanan. Sejatinya, perusahaan perlu melakukan proses-proses
tersebut secara saling berhubungan dan berkesinambungan.
Terakhir yang tak kalah penting adalah proses pembentukan budaya pelayanan tersebut perlu
didukung oleh komunikasi, teknologi, dan peralatan yang mendukung pencapaian pelayanan
yang prima di perusahaan.

Selamat menerapkan budaya pelayanan prima di perusahan!

13
Jurus Membuat Konten Online untuk Menaklukkan
Pelanggan
“Hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah berhenti sejenak menjadi perusahaan Anda
dan mulailah berpikir seperti salah satu pelanggan yang membutuhkan produk atau jasa
Anda”

Website, hampir selalu menjadi tempat pertama yang dikunjungi orang ketika ingin membeli
sesuatu. Calon pelanggan di setiap kategori pasar akan melakukan ‘riset’ kecil-kecilan
secara online. Dan ketika mereka menemukan situs Anda, yang terpenting adalah: Apakah

Anda sebagai pemasar akan menarik mereka ke dalam proses penjualan atau hanya
membiarkan mereka sekadar melihat-lihat saja?
Saat calon pelanggan menggunakan mesin pencari untuk menemukan situs Anda atau
terhubung ke situs Anda melalui situs lain atau melalui sebuah kampanye pemasaran berupa
iklan online atau kegiatan pemasaran lainnya, tak dipungkiri hal tersebut memang memiliki
peluang untuk menyampaikan pesan mengenai produk atau jasa pada waktu yang tepat ketika
calon pelanggan mencari apa yang seharusnya pemasar tawarkan.

Namun, para pemasar sering kali tidak menyadari potensi situs Web mereka yang seharusnya
dapat merangkul para pembeli sejak awal dan mempertahankannya hingga proses pembelian
selesai dilakukan. Sejatinya, para individu tidak akan mengunjungi Web hanya untuk melihat
iklan, lalu apa yang sebetulnya mereka cari? Tidak lain dan tidak bukan, sejatinya mereka
tengah mencari konten.

Content Marketing Kunci Sukses Website


Ketika seseorang mengunjungi sebuah situs untuk pertama kalinya, pertanyaan yang sering
muncul adalah: “Apakah organisasi ini peduli pada pelanggan?; Apakah perusahaan ini
berfokus pada masalah-masalah yang pelanggan hadapi?; Atau situs ini hanya memuat
informasi yang menjelaskan apa yang harus ditawarkan perusahaan tersebut dari perspektif
yang sempit?”

Dengan kemajuan teknologi seperti saat ini, aturan-aturan dalam ilmu komunikasi pemasaran
telah mengalami banyak perubahan dimana saat ini pemasaran lebih dari sekadar beriklan,
pemasar harus mampu mendorong publik memasuki proses pembelian melalui
konten online yang bagus, bermanfaat dan efektif atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Content Marketing .
Strategi konten online yang efektif dan di eksekusi dengan baik akan mendorong
timbulnya action dari pengunjung suatu situs. Organisasi yang menggunakan
konten online yang baik menyatakan tujuannya secara jelas seperti untuk menjual produk,
menghasilkan lead , atau mendapatkan pendaftar baru dan menggunakan strategi konten yang
berkontribusi secara langsung dalam meraih tujuan tersebut.
Hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah berhenti sejenak menjadi perusahaan Anda dan
mulailah berpikir seperti salah satu pelanggan yang membutuhkan produk atau jasa Anda.
Buatlah konten yang akan menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
calon pembeli.

14
Bayangkan Anda seorang pemasar di sebuah pabrik ban mobil. Daripada hanya menjual ban,
Anda sebaiknya menulis sebuah e-book atau membuat sebuah video mengenai cara
berkendara yang aman di jalan licin dan berlubang. Kemudian, publikasikanlah di situs Anda
dan juga kirimkan kepada perusahaan lain seperti komunitas mobil atau sekolah mengemudi.
Atau bayangkan Anda tengah menjalankan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
katering dan memiliki sebuah blog atau situs Web . Anda sebaiknya membuat
konten online di beberapa halaman Web atau podcast di situs Anda. Topiknya bisa berupa
“Rencanakan Resepsi Pernikahan yang Sempurna” atau tips membuat “Makan Malam
Romantis”

Perusahaan penjual ban dan katering yang menampilkan konten semacam ini bertujuan untuk
mengedukasi para pengunjungnya mengenai permasalahan mereka, tapi tidak secara langsung
menawarkan jasa kateringnya. Sebaliknya, dari sisi para pengunjung yang mempelajari sesuatu
dari informasi yang diberikan oleh perusahaan katering ini akan cenderung untuk
menggunakan jasa perusahaan katering tersebut saat diperlukan, karena mereka merasa telah
diberikan sesuatu yang bermanfaat tanpa menitikberatkan suatu merek produk ataupun jasa
tertentu.
Saat Anda membangun Content Marketing pada Website yang bertujuan untuk mencapai
tujuan organisasi Anda ingatlah, bahwa pendekatan yang sukses adalah bagaimana pemasar
mampu memahami masalah pelanggan dan mencerminkan karakteristik, hasrat dan dedikasi
untuk membantu sesama. Layaknya sebuah program televisi atau film layar lebar berkualitas,
adalah kombinasi yang efektif dari konten dan cara penyampaiannya.

15
Viral Belum Tentu Kekal
“Melihat popularitasnya yang begitu cepat menanjak dan hanya mengandalkan promosi
viralnya semata, maka ada kecenderungan untuk mengelompokkan fenomena es kepal ini ke
dalam kategori the fad”

Oleh: Noveri Maulana M.M. – Faculty Member of PPM School of Management


*Tulisan ini dimuat di Majalah Pajak Vol. LIII 2018, p. 45

Akhir-akhir ini Indonesia diramaikan dengan fenomena Es Kepal yang cukup viral di kalangan
pengguna media sosial. Walau es kepal tergolong produk nan sederhana, inovasi rasa yang
dilakukan cukup mampu membuat banyak orang penasaran. Dengan menggaet produk susu
coklat kenamaan, es kepal berhasil mencuri perhatian banyak orang di pasaran. Ditambah
dengan word of mouth yang melejit melalui media sosial, es kepal semakin memperlihatkan
dominasinya sebagai minuman kekinian yang wajib dicoba oleh semua kalangan.
Namun kita patut waspada dengan melejitnya nama es kepal dengan waktu yang relatif cepat.
Pepatah mengatakan, sesuatu yang naik begitu cepat biasanya juga akan turun dalam waktu
yang tidak terlalu lambat. Fenomena es kepal ini dikhawatirkan akan mengikuti jejak produk
minuman fenomenal yang juga telah mulai hilang pamornya.
Sebut saja Cappucino Cincau, Es Kocok/Es Blender, minuman serba green tea, varian
minuman thai tea-yang merajai pasar Indonesia pada masanya tapi sebagian tak mampu
bertahan. Ada yang ditinggal pelanggan, ada pula yang tak mampu bertahan digempur saingan.
Es kepal sudah mulai menunjukkan tanda-tanda akan mengikuti jejak para pendahulunya. Hal
ini semakin meneguhkan pemahaman bahwa mempertahankan keberlanjutan bisnis jauh lebih
susah dibandingkan memulainya. Dan ini adalah tugas besar yang harus dipahami oleh setiap
pelaku usaha.

Tiga tingkat popularitas


Menanggapi sebuah fenomena popularitas suatu produk di tengah masyarakat, para ahli bisnis
telah mengelompokkan tingkat kepopuleran tersebut ke dalam tiga kategori, yaitu fad, trend,
dan megatrend.

Fad atau the fad yang berarti popularitas yang naik begitu cepat dan juga akan turun dalam
waktu yang juga cenderung cepat. Biasanya the fad lebih bersifat sensasional dan cenderung
tidak bertahan lama. Hal ini tentu berbeda dengan trend yang sebagian ahli berpendapat bahwa
suatu hal bisa disebut trend jika mampu bertahan lebih dari satu tahun.
Sedangkan megatrend adalah popularitas yang bertahan melampaui trend dengan masa waktu
lebih dari tiga tahun. Bahkan, banyak orang berkeyakinan bahwa megatrend menjadi cikal
bakal tradisi baru bagi satu generasi.

Lantas, bagaimana dengan fenomena es kepal yang sedang disorot saat ini? Apakah dia masuk
kategori trend atau hanya sekadar the fad? Melihat popularitasnya yang begitu cepat menanjak
dan hanya mengandalkan promosi viralnya semata, maka ada kecenderungan untuk
mengelompokkan fenomena es kepal ini ke dalam kategori the fad.
Prinsip supply and demand sudah mulai berlaku. Pedagang semakin banyak, tapi permintaan
cenderung stagnan dan bahkan menurun. Bagi sebagian orang, menikmati es kepal tak lain
hanya sekadar memenuhi hasrat dan sensasi.

16
Sebenarnya, es kepal yang masuk kategori the fad ini bisa meningkat menjadi
kategori trend jika para pelakunya mampu menghadirkan faktor lain yang menjadi kunci
sukses usahanya. Perlu hal unik dan menarik lainnya agar orang semakin penasaran. Kritik
terbesar kita ialah pada kemampuan pelaku usaha untuk menghadirkan keunggulan
bersaingnya, bukan sekadar membangun popularitasnya semata. Karena dalam bisnis, popular
saja tidak cukup.

Inovasi
Inovasi adalah kunci! Jika tidak maka satu produk akan segera masuk ke ranah transisi,
bergerak maju atau perlahan menuju mati. Namun inovasi yang diciptakan bukan sekadar unik
belaka, tapi harus mampu membuat hati pelanggan bertahan. Semakin Anda memahami
keinginan pelanggan, semakin baik pula inovasi yang akan Anda ciptakan.
Fenomena es kepal ini juga mengajarkan kita bahwa dalam dunia bisnis butuh upaya besar
untuk bertahan dalam persaingan. Jangankan untuk menang, bertahan saja tentu sudah sebuah
upaya yang tak terkirakan. Begitulah sejatinya persaingan, butuh usaha untuk menang dan
bertahan.
Dunia bisnis tidak akan pernah lepas dari persaingan, dan hal itu tak bisa dihindari. Persaingan
adalah nadi yang membuat bisnis akan terus berjalan dengan optimal. Karena itulah, para
pelaku usaha butuh strategi dalam menjalankan usahanya. Memenangkan hati pelanggan tak
semudah menjawab popularitas dan viralnya di media sosial saja. Karena yang viral, memang
belum tentu akan kekal.

17
Integrasi Rantai Pasok Obat yang Unggul
“Wabah obat palsu menjadi mimpi buruk industri farmasi, tidak hanya di Indonesia, bahkan
terjadi di seluruh dunia. Bagaimana tidak, keuntungan besar yang instan menjadi pemikat
bisnis obat palsu yang sangat tidak beretika ini”

Oleh: Puput Suwastika, M.M. – Trainer, Jasa Pengembangan Eksekutif PPM Manajemen
*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Ketahanan ketersediaan obat-obatan berkualitas di Indonesia sempat tergoncang pada 2016


silam. Sejumlah kasus muncul, diawali dengan penyebaran vaksin palsu di sejumlah rumah
sakit dan obat-obatan palsu di beberapa pusat distribusi. Pemberitaan muncul dan tidak
terbendung. Kejadian serupa tidak saja menerpa Industri Obat di Indonesia. Beberapa negara
di dunia-pun tak luput terserang wabah yang sama.

Dari hasil kompilasi beberapa peliputan media, diketahui beberapa kasus serupa. Pada tahun
2009, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat 34 juta tablet obat-obatan
palsu telah dibawa keluar dari peredaran di Eropa hanya dalam jangka waktu dua bulan. Pada
tahun 2010 lebih dari 44,000 pasien meninggal setiap tahunnya di Amerika Serikat disebabkan
oleh kesalahan penanganan klinis, dan 7,000 pasien di antaranya karena kesalahan pengobatan.
Ada lebih dari 120.000 orang per tahun meninggal di Afrika sebagai akibat dari obat anti-
malaria palsu, menurut pengakuan dan data WHO, obat-obatan tersebut tidak mengandung
bahan aktif sama sekali yang diperlukan untuk penangkal malaria.

Wabah obat-obatan palsu ini menjadi masalah besar dan sistemik di beberapa negara
berkembang di dunia. Di Afrika, dan sebagian Asia, serta Amerika Latin, proporsi obat-obatan
palsu diperkirakan telah mencapai porsi 30 persen dari keseluruhan sebaran obat-obatan yang
beredar di masyarakat.

Wabah obat palsu menjadi mimpi buruk industri farmasi, tidak hanya di Indonesia, bahkan
terjadi di seluruh dunia. Bagaimana tidak, keuntungan besar yang instan menjadi pemikat
bisnis obat palsu yang sangat tidak beretika ini. Dalam sebuah studi dikatakan, setiap 1 dollar
(AS) investasi obat palsu dapat menghasilkan keuntungan 70 persen. Sedangkan 1 dollar (AS)
investasi di bisnis narkotika hanya sekitar 30-40 persen. Sungguh profit margin yang sangat
besar jika dibandingkan dengan industri besar lainnya. Namun keuntungan bersumber dari
tindakan tidak etis ini tentunya tidak berlangsung lama, dampak negatifnya justru dirasakan
lebih besar dari itu.

Kekuatan dan Kebersamaan dalam Rantai Pasok Membangun Obat Berkualitas Unggul
Keberhasilan kerja suatu rantai pasok sebuah perusahaan ditentukan oleh kemampuan
perusahaan tersebut mengintegrasikan proses dalam rangkaiannya. Dampak dari integrasi yang
sukses dalam rantai pasok dapat terlihat nyata dari ketersediaan, ketercukupan, dan ketepatan
akan pemenuhan kebutuhan obat-obatan di masyarakat (jenis, kuantitas, kualitas dan
frekuensi).

18
Lantas usaha integrasi seperti apa yang dapat dilakukan untuk menanggulangi wabah obat
palsu tersebut?

Integrasi dalam rangkaian proses rantai pasok obat yang dapat membangun pasokan obat
berkualitas antara lain dengan:
1. Tindakan Responsible atas Perencanaan Permintaan Pelanggan yang didasari atas
integrasi distributor dan produsen. Dapat dilakukan dengan investasi sistem informasi
untuk meningkatkan akurasi peramalan permintaan obat yang bersumber langsung dari
kebutuhan pelanggan. Dengan perencanaan yang responsible akan mengurangi
kemungkinan pasokan berlebih yang dapat berujung mencegah risiko penyalahgunaan.
2. Kolaborasi dan Kerjasama dengan Pelanggan obat. Bentuknya bisa dengan penyediaan
media informasi oleh produsen untuk menampung keinginan konsumen, yang bertujuan
untuk perencanaan produksi terintegrasi. Disamping itu, penyediaan wadah komunikasi
langsung dengan pelanggan dapat mempercepat sebaran informasi terkait keluhan atau
laporan seputar obat yang tidak layak edar, sehingga penanggulangannya dapat lebih
lugas.
3. Pengawasan atas Penyampaian Layanan. Integrasi berlangsung antar badan atau lembaga
pengawas dengan produsen, distributor, serta pemasok dalam rantai pasok obat. Di
Indonesia sendiri, BPOM sebagai lembaga pengawasan telah melakukan pengetatan
pengawasan penyebaran wabah obat palsu dengan penerbitan pedoman CPOB dan
CDOB yang diyakini dapat memperketat bentuk pengawasan kualitas output setiap
entitas dalam rantai produksi, alhasil distribusi terjaga dengan baik.
4. Kolaborasi dan Kerjasama dengan Supplier penyedia bahan baku guna menjamin
ketersediaan bahan baku yang tepat dan berkualitas dan mendukung produksi tepat guna
dan sasaran. Dapat dijalin dengan menciptakan kerjasama jangka panjang dengan
supplier guna menjamin ketersediaan bahan baku tepat mutu dan sasaran produksi obat
tersebut.
5. Dukungan Daur Hidup Obat dengan menyediakan garansi penggunaan, integrasi
dilakukan oleh produsen dan distributor dalam rantai pasok obat-obatan. Ketersediaan
pusat layanan yang disediakan oleh produsen dan distributor yang dapat diakses dengan
mudah. Hal tersebut berguna untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan.
6. Reverse Logistic yang tanggap dalam hal penarikan obat kadaluarsa dan yang tidak layak
edar, ini bertujuan mencegah perluasan dampak buruk atas konsumsinya. Tindakan ini
memerlukan kolaborasi yang apik antara produsen, distributor, dan lembaga pengawasan
yang terlibat.

Dengan menguatkan integrasi antar entitas pada rantai pasok obat di Indonesia,
diharapkan dapat membangun obat berkualitas dan aman di masyarakat. Semoga.

19
Logistik Halal: Peluang yang Terlepas
“Besaran pasar Logistik Halal adalah US$2,3 triliun dengan sebaran terbesar di Asia
Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika (Abdullah, 2015). Nilai ini sekitar Rp30.000 triliun atau 3
kali lipat PDB Indonesia”

Oleh: Ricky Virona Martono – Trainer, Executive Development Services - PPM Manajemen
*Tulisan ini dimuat di Majalah Sindo Weekly No. 29 Tahun VI, 18-24 September 2017 p. 82

Produk halal adalah produk yang diizinkan oleh hukum Agama Islam untuk dikonsumsi
dengan mempertimbangkan sisi keagamaan dan kesehatan. Yang tidak termasuk produk halal
adalah makanan atau minuman yang mengandung dan berasal dari babi, serta menggunakan
alkohol sebagai bahan tambahan (Dra. Hj. Artina Burhan, M.Pd, 2013). Lebih luas lagi, produk
halal mencakup kosmetik, farmasi, pakaian, jasa keuangan, dan logistik (Marco Tieman,
2010).

Produk halal perlu dipersiapkan dan disampaikan kepada masyarakat, mulai dari proses bahan
mentah sampai pengolahannya hingga menjadi barang jadi, pengemasan, pengiriman, dan
penyimpanan sementara. Inilah yang mendorong perkembangan bukan hanya sebatas produk
yang halal, namun sebuah logistik halal menjadi perlu (Farid Awang, 2013).

Besaran pasar logistik halal adalah US$2,3 triliun dengan sebaran terbesar di Asia Tenggara,
Timur Tengah, dan Afrika (Abdullah, 2015). Nilai ini sekitar Rp30.000 triliun atau 3 kali lipat
PDB Indonesia. Dengan pertumbuhan populasi masyarakat Muslim sekitar 1,86% per tahun,
nilai pasar logistik halal sangat menggiurkan. Amerika dan Eropa sendiri sudah membuka
kerjasama untuk logistik halal. Bahkan, Pelabuhan Rotterdam di Belanda sudah menyediakan
pintu khusus untuk pelayanan dan pengiriman produk halal ke berbagai negara di Eropa.
Besarnya nilai pasar dan akses tersebut membuat Malaysia sangat mempersiapkan diri menjadi
Hub di Asia Tenggara untuk logistik produk halal.

Bagaimana dengan Indonesia? Kita masih sibuk dengan pembangunan infrastruktur dasar,
seperti akses jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Dengan berbagai hambatan teknis dan politis,
jangan harap Indonesia mampu merebut pasar logistik halal dari Malaysia. Peringkat performa
logistik Indonesia pun masih jauh dari Malaysia (peringkat 63 berbanding peringkat 32,
sumber: Logistic Performance Index). Maka, sebaiknya Indonesia konsentrasi memperbaiki
Logistik dalam negeri, barulah merebut peluang di luar negeri.

Jika infrastruktur saja belum bisa bersaing, bagaimana ingin bersaing di bidang logistik yang
lebih spesifik? Pekerjaan rumah lain bagi Indonesia adalah skor persaingan harga dan
kemudahan dalam international shipment yang hanya 2,90 berbanding skor Malaysia 3,48.
Jelas kondisi ini mempersulit Indonesia untuk proses ekspor-impor produk halal. Selain isu
infrastruktur, proses operasional logistik halal membutuhkan beberapa kegiatan tambahan
dalam menangani dan mengelola produk.

Misalnya, harus ada pemisahan moda transportasi produk halal dan yang tidak halal. Jika
sebuah truk sudah digunakan untuk mengirim produk tidak halal dan akan digunakan untuk
mengirim produk halal, truk tersebut harus disucikan dengan cara dibersihkan menggunakan
tanah (atau bahan kimia yang memiliki sifat yang sama dengan tanah) sebanyak 7 (tujuh) kali.
Penempatan produk halal dan tidak halal juga harus dipisah, minimal dikemas dengan kemasan

20
yang tidak akan mencampurkan produk halal dan tidak halal.

Meski ada kegiatan tambahan, tapi bukan berarti hambatan. Justru ini menjadi peluang usaha
untuk membuat perusahaan pembersih moda transportasi dan sebagai penyedia kemasan untuk
mencegah bercampurnya produk halal dan tidak halal.

Tantangan lain adalah memperoleh sertifikasi halal dari MUI yang membutuhkan proses audit
dari hulu sampai ke hilir sebuah sistem logistik. Bayangkan jika proses pengolahan produk,
gudang, kemasan produk, pengiriman, semua diaudit. Dalam satu sistem logistik pun ada
banyak perusahaan, aset, dan jenis produk yang terlibat. Ada proses konsolidasi yakni beragam
jenis produk dari beragam lokasi berkumpul sehingga setiap produk harus selalu diberi label
yang sah, apakah sudah melalui proses yang halal atau tidak.

Sebaiknya, Indonesia membereskan logistik dalam negeri supaya lebih efisien, kemudian
memikirkan bagaimana menjadi hub logistik terpercaya di Asia Tenggara, sebelum
memikirkan bagaimana menjadi hub logistik halal. Memang membutuhkan waktu yang tidak
sebentar, namun sekali Logistik Indonesia mencapai kelas dunia, maka semua potensi logistik
halal dapat diraih, mengingat Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar.

21
Sekoci Penyelamat
“Kapan sekoci penyelamat itu akan kita bangun? Tidak ada suatu aturan atau teori mana pun
yang akan menyebutkan bahwa sekoci penyelamat harus kita bangun saat kapal akan
tenggelam, ataupun saat kapal sedang berlabuh”

Oleh: Alphieza Syam - Head of Research and Consulting Services Division PPM Manajemen
*Tulisan ini dimuat di Majalah BUMN Track No. 116 Agustus-September 2017 p. 26

Alkisah terdapat sebuah pulau yang diisi oleh satu desa, lengkap dengan penduduk dan
perangkat pemerintahan desanya. Mata pencaharian penduduk desa tersebut pada umumnya
berasal dari kegiatan bercocok tanam ataupun menangkap ikan. Berbeda dengan penduduk
desa pada umumnya, hidup pula suatu keluarga, sebut saja keluarga Pak Belalang, yang
menjadikan kegiatan berdagang berbagai kebutuhan sehari-hari dengan mendirikan sebuah
toko sebagai mata pencahariannya. Sejak desa tersebut berdiri dan didiami oleh warganya, toko
Pak Belalang -lah satu-satunya tempat di mana seluruh warga desa dapat membeli berbagai
kebutuhan sehari-harinya. Mulai dari bahan pangan, pakaian, kebutuhan rumah, alat dan bahan
pertanian dan penangkapan ikan, kebutuhan sekolah, dan berbagai kebutuhan lainnya. Praktis
dengan kondisi seperti itu dapat kita sebut bahwa Pak Belalang dengan tokonya telah
me"monopoli" pasar kebutuhan sehari-hari desa tersebut.

Waktu pun terus berganti, hingga pada suatu satu-dua tetangga satu desa Pak Belalang juga
tergiur mengubah mata pencahariannya, dari bercocok tanam atau menangkap ikan beralih ke
berdagang dengan membuka toko. Ada yang berdagang bahan pangan dan pakaian, dan ada
pula yang berdagang alat dan bahan pertanian dan penangkapan ikan. Sedikit demi sedikit
pelanggan setia toko Pak Belalang pun beralih ke toko-toko baru tersebut. Kondisi pasar kini
sudah tidak lagi monopolistik, dan bulan madu usaha Pak Belalang pun berakhir.

Bila kita lanjutkan cerita tersebut dengan pertanyaan; apa yang harus dilakukan Pak Belalang
untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya? Agaknya kita pun tidak sepakat bila yang
harus dilakukan oleh Pak Belalang adalah melakukan aksi unjuk rasa, ataupun lobi-lobi politis
tingkat desa kepada perangkat pemerintahan desa tersebut, hingga kepala desa dapat
mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan usaha Pak Belalang secara sepihak. Bukan pula
dengan tindakan menebarkan ancaman teror kepada pemilik toko-toko yang baru berdiri
tersebut.

Upaya yang paling bijak yang dapat dilakukan oleh Pak Belalang adalah dengan menciptakan
keunggulan-keunggulan kompetitif bagi tokonya. Menciptakan keunggulan dan keunikan dari
produk dan layanannya, entah berupa produk yang memang benar-benar berbeda dari para
pesaingnya kini, ataupun dengan keunggulan atas harganya yang sangat terjangkau. Selain
dengan menciptakan keunggulan-keunggulan tadi, yang juga dapat dilakukan oleh Pak
Belalang adalah berkreasi dan berinovasi menciptakan sumber pendapatan baru. Sehingga bila
terjadi penurunan dari hasil usahanya akibat persaingan, maka dapur keluarga Pak Belalang
pun masih tetap berasap karena adanya sumber pendapatan lain hasil daya kreatif dan
inovasinya.

22
Cerita tentang Pak Belalang dan desanya tersebut memang kisah fiktif belaka. Namun demikian
agaknya ada beberapa hal yang menarik untuk kita refleksikan ke dalam praktik organisasi kita
sehari-hari. Pertama, yang harus kita lakukan adalah terus menciptakan keunggulan baru, dan
bukan mencoba mengubah lingkungan eksternal yang kendalinya pun tidak kita pegang.
Kedua, bahwa dalam keadaan lingkungan yang tenang dan nyaman sekalipun, upaya inovasi
di dalam organisasi tidak boleh padam. Terlena dalam kenyamanan lingkungan yang
bersahabat dapat saja mengantarkan kita ke kondisi yang tidak produktif, apalagi bila dikaitkan
dengan karakteristik lingkungan saat ini yang sarat dengan VUCA
(volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Gelaran Anugerah BUMN 2017 yang baru saja terlaksana setidaknya telah menjadi suatu ajang
yang memberikan indikasi bahwa telah banyak BUMN kita (beserta anak-anak usahanya) yang
sadar akan tantangan lingkungan eksternal tersebut. Pun demikian, banyak pula di antara
mereka yang telah memulai langkah-langkah inovasi demi terwujudnya proses transformasi
yang akan membawa mereka dapat tumbuh dan bernilai tambah secara berkelanjutan.

Sebut saja Perum PERURI. Berbagai penugasan yang diberikan oleh pemerintah, seperti
mencetak alat pembayaran fisik, meterai, serta dokumen-dokumen legal bermuatan fitur
keamanan yang tinggi tampaknya tidak membuat PERURI terlena dan berdiam diri. Isu-isu
atas tren cashless society, crypto-currency, e-document dan berbagai dampak kemajuan
teknologi lainnya, yang sebenarnya sudah di depan mata tetapi belum sepenuhnya menjadi
kenyataan, justru tidak sedikit pun menghentikan langkah organisasi berinovasi dengan
membangun berbagai lini bisnis baru yang memanfaatkan isu atas tren tersebut. Sekoci-sekoci
penyelamat berupa lini-lini bisnis baru tersebut justru diciptakan pada saat-saat di mana riak-
riak gelombang perubahan lingkungan eksternal belum terlalu dirasakan. Sekoci-sekoci
tersebut justru diciptakan saat samudera yang mereka arungi masih cukup tenang dan
bersahabat.

Selain PERURI, sejumlah anak usaha BUMN yang juga turut berpartisipasi dalam gelaran
Anugerah BUMN 2017 ini pun menunjukkan suatu indikasi bahwa mereka telah lama
dipersiapkan oleh induknya masing-masing untuk tidak hanya memberikan dukungan bagi
bisnis sang induk, tetapi juga menjadi sekoci penyelamat keluarga (kelompok perusahaan) di
tengah tantangan lingkungan eksternal yang serba tidak pasti dan semakin kompleks.

Pertamina Drilling Services Indonesia (PDSI) yang telah memulai langkah-langkah strategis
untuk berinovasi dan mengembangkan sejumlah usaha barunya merupakan salah satu contoh
betapa tantangan persaingan usaha dan perlambatan petumbuhan di sektor yang digeluti
induknya telah memacu mereka untuk terus berinovasi, dan berjuang untuk menjadi sekoci
penyelamat bagi mereka sendiri dan keluarga besar PERTAMINA. Begitu pula dengan sang
saudara kandung; Pertamina Lubricants, yang juga terus berinovasi bahkan di tengah samudera
industri pelumas yang juga tidak kalah keras aroma kompetisinya.

Di keluarga Perusahaan Gas Negara (PGN), ada PGAS Telekomunikasi Nusantara, anak yang
dilahirkan untuk mengemban amanah untuk mendukung berbagai proses bisnis sang induk
melalui kompetensi teknologi informasi dan komunikasinya. Amanah tersebut lebih lanjut
dimaknai oleh PGAS Telekomunikasi Nusantara untuk tidak hanya hadir sebagai pendukung
bisnis induknya. Amanah tersebut lebih lanjut dimaknai sebagai amanah transformasi untuk
menjadi salah satu mesin pertumbuhan PGN serta menjadi sekoci penyelamat di tengah
samudera yang akan diarungi oleh keluarga besar PGN.

23
Baik Pak Belalang, tokoh fiktif kita di cerita awal tulisan, ataupun organisasi-organisasi entitas
usaha seperti BUMN, memiliki sekoci penyelamat atau tidak adalah suatu pilihan. Dan bila
keberlanjutan usaha dan pertumbuhan nilai perusahaan yang menjadi kehendak utama, maka
memiliki sekoci penyelamat adalah suatu keniscayaan.

Kapan sekoci penyelamat itu akan kita bangun? Tidak ada suatu aturan atau teori mana pun
yang akan menyebutkan bahwa sekoci penyelamat harus kita bangun saat kapal akan
tenggelam, ataupun saat kapal sedang berlabuh. Namun demikian, tampaknya di dunia yang
dipenuhi dengan dinamika VUCA ini, membangun sekoci penyelamat saat gejolak arus
samudera belum terlalu mengancam gerak laju kapal tentunya akan menjadi pilihan bijaksana.
Seperti kata pepatah latin yang juga dikutip oleh George Washington dan Sun Tzu; Si vis pacem
para bellum atau In a time of peace, prepare for war.

24
Perang Model Bisnis: X is The New King
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam memenuhi kebutuhan konsumen
cenderung sukses menjawab tantangan zaman lebih cepat.

Oleh: I Gede Christian Adiputra, M.M. – Trainer & Consultant PPM Manajemen
*Tulisan ini tayang di Majalah Sindo Weekly No. 26 Tahun VI 28 Ags 2017 - 3 Sep 2017

Cash is King, ungkapan lama yang masih menjadi pedoman kebanyakan perusahaan untuk
tetap bertahan di belantika bisnis. Keadaan kas perusahaan juga sering dijadikan patokan oleh
investor dalam meramu portofolio investasinya.

Namun, apakah kondisi kas cukup relevan lagi sebagai bekal untuk sukses di persaingan yang
semakin sengit? Sudah tidak lagi tabu kalau sekarang perusahaan baru (start up) yang minim
kas bisa dengan mudah menguasai medan perang. Senjata rahasianya adalah, model bisnis yang
mutakhir.

Renald Khasali menganalogikan secara sederhana melalui kisah pertarungan model bisnis
pedangdut Inul Daratista dengan Rhoma Irama. Betapa keduanya berlomba di industri hiburan
melalui model bisnis yang berbeda. Inul dengan model bisnis panggung hiburannya, sementara
Rhoma setia dengan model bisnis royalti. Tentu saja model bisnis yang mengikuti
perkembangan zaman yang menang, karena tumbuh pesat.

Model bisnis yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam
memenuhi kebutuhan konsumen cenderung sukses menjawab tantangan zaman lebih cepat.
Istilah terkenal dari fenomena ini adalah disrupsi teknologi.

Era Disrupsi Teknologi Menurut Forbes, tahun ini akan ada 5 tren disrupsi teknologi, yaitu
automasi keuangan fintech, big data yang semakin canggih, internet of everything, mobile
transactions in any way, dan eksplorasi alam semesta yang semakin mudah. Tren tersebut bak
komik science-fiction yang nyata di hadapan kita.

Nah, tentu saja hal ini jangan hanya sekadar fenomena semata, tapi kita sebagai organisasi
harus ambil peran yang signifikan. Membuat perubahan pada status quo yang dapat
meningkatkan eksistensi perusahaan di hadapan konsumen.

Pesatnya disrupsi teknologi membuat beberapa perusahaan besar tumbang dari berbagai
industri. Masih ingat dampak yang terjadi akibat hadirnya Amazon, Uber, Netflix, SpaceX,
atau Airbnb? Kasus-kasus tersebut bisa menjadi renungan. Those new players didn’t kill the
incumbents, they did to themselves. Ya, perusahaan-perusahaan besar tumbang karena model
bisnisnya statis dan minim inovasi.

X is The New King Menurut buku X: The Experience When Business Meets Design karangan
Brian Solis, “without defining experiences, brands will become victim to whatever people feel
and share.” Di dunia yang tanpa batas dan akses informasi yang berlimpah, pengalaman yang
bermakna bagi konsumen adalah yang utama dalam kesukesan suatu produk. Sebagus apapun
produk yang dimiliki takkan pernah cukup untuk memenangkan persaingan. But its X does.

Salah satu contoh kasus perusahan yang tidak tergerus era disrupsi teknologi adalah perusahaan

25
boneka American Girl. Mereka sukses bertahan dan terus tumbuh di ladang yang penuh rumput
disrupsi. Satu strategi yang digunakan adalah memberikan segala bentuk pengalaman kepada
konsumen tentang produknya. Misalnya, mereka memberikan media story telling tentang
boneka, pengalaman membawa boneka di jamuan makan malam atau berbelanja ke mall,
bahkan konsumen diberikan kesempatan mengenal boneka lebih personal dengan kesamaan-
kesamaan yang dimiliki.

Kekomprehensifan pengalaman yang ditawarkan ini membuat pesaing yang disruptif kesulitan
untuk mencuri pangsa pasar. This simply confirms that X to be the New King.

Kembali ke tren disrupsi teknologi oleh Forbes di atas, yaitu teknologi big data yang semakin
canggih, kita bisa jemput bola di ranah ini. Dengan bantuan big data, kita bisa menganalisis
bagaimana konsumen menggunakan produk kita, termasuk apa yang mereka rasakan dan apa
yang mereka katakan tentang produk kita. Dari hasil analisa tersebut, secara realistis kita dapat
merancang suatu pengalaman yang bermakna untuk produk yang sesuai dengan ekspektasi
konsumen. Dengan begitu, perusahaan bisa ambil ancang-ancang untuk lari melesat.

Sebenarnya, ketakutan pemain lama di industri terhadap pesaing yang disruptif terlalu
berlebihan. Pasalnya, mereka akan kalah bukan semata-mata karena adanya pesaing yang
disruptif tetapi karena mereka lambat dalam menjawab tantangan perubahan zaman. Model
bisnis mereka terlalu kompleks untuk melayani konsumen yang membutuhkan simplicity.

Pun bisa ditarik benang merah bahwa bukan jumah kas yang melimpah atau berapa panjang
sejarah yang dimiliki, tapi perusahaan yang memberikan pengalaman yang berbeda, yang lebih
sesuai dengan ekspektasi konsumennya, dan simplicity yang lebih masuk akal, yang akan
memenangkan kompetisi pangsa pasar.

Satu kalimat dari Oliver Wendell Holmes, Jr., seorang ahli hukum Amerika, sepertinya cukup
untuk menutup tulisan ini; “A mind that is streched by a new experience can never go back to
its old dimensions.

26
Pemimpin Otentik Dibangun Melalui
Pengalaman
“Dalam situasi saat ini, kondisi politik dan ekonomi bisa berubah setiap saat dengan disrupsi
teknologi dan digitalisasi ekonomi. Perilaku pasar atau masyarakat pada umumnya juga cepat
berubah”
Oleh: Dr. Ningky Sasanti Munir, MBA – Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM
*Tulisan ini dimuat di SWA Online 6/08/2018

Demam Pilkada yang memilih 171 kepala daerah Juni lalu masih belum reda. Tentu
kita berharap bahwa yang kita pilih adalah pemimpin yang genuine, yang seperti iklan
politiknya, yang konsisten antara apa yang dikatakan dengan yang dia kerjakan. Dengan kata
lain, kita berharap agar yang kita pilih tersebut adalah betul-betul pemimpin yang otentik.
Berbeda dengan teori kepemimpinan lama, yang berorientasi pada “gaya” kepemimpinan,
termasuk teori tentang “tokoh besar” (the great man theory) dan kepemimpinan berbasis
kompetensi (competency-based leadership), kepemimpinan otentik ini lebih banyak dijelaskan
melalui proses (transformasi) dalam pembentukan atau pengembangannya.

Dalam monograf mengenai kepemimpinan otentik yang terbit tahun 2005, Alvolio, Gardner,
dan Walumbwa (2005) bersepakat bahwa kepemimpinan otentik adalah pendekatan terhadap
kepemimpinan yang menekankan pentingnya membangun legitimasi pemimpin melalui
hubungan yang jujur dengan pengikut, yang menghargai masukan mereka, dan dibangun di
atas landasan etika. Margarita Mayo, seorang profesor ahli kepemimpinan dalam
bukunya, Yours Truly (2018), mengatakan bahwa pemimpin otentik adalah orang-orang positif
dengan konsep diri yang jujur yang mempromosikan keterbukaan.

Bill George, profesor dari sekolah bisnis Harvard dan penulis buku Authentic
Leadership (2004) secara sederhana mendefinisikan kepemimpinan otentik sebagai
kepemimpinan yang punya hati nurani. George yang pernah menjadi CEO sebuah perusahaan
terkemuka, kemudian menerbitkan buku best seller berjudul True North Pada tahun 2007 dan
diperbarui pada tahun 2015. Dalam bukunya tersebut George mengatakan pula bahwa
pemimpin yang otentik itu sesungguhnya adalah pemimpin yang EQ (Emotional Quotient) nya
tinggi. Dengan EQ manusia yang bisa terus bertumbuh dan berkembang, pemimpin otentik
juga dapat terus mengembangkan kepemimpinannya.

Karakteristik Kepemimpinan Otentik


Kepemimpinan otentik, memiliki setidaknya beberapa ciri atau karakteristik. Pertama,
pemimpin yang otentik itu menyadari dirinya dan “apa adanya” atau asli (genuine). Mereka
mengaktualisasi diri, dan sadar akan kekuatan, keterbatasan, dan emosi-emosinya. Mereka juga
menunjukkan siapa dirinya yang asli kepada pengikut atau bawahannya. Mereka tidak bersikap
lain di lingkungan pribadi atau di tempat umum. Mereka sadar bahwa mengaktualisasikan diri
merupakan proses yang tidak pernah berakhir.

Kedua, para pemimpin otentik itu digerakkan oleh misi (mission driven) dan berfokus pada
hasil. Mereka menempatkan misi dan tujuan organisasi di atas kepentingan pribadinya. Mereka
melaksanakan pekerjaannya untuk mencapai hasil, tidak mencari kekuasaan, kekayaan atau
memuaskan egonya.

27
Ketiga, para pemimpin otentik memimpin dengan hatinya, tidak hanya dengan pikirannya.
Dalam menghadapi situasi yang dinamis, mereka tidak takut menunjukkan kewaspadaan dan
kekhawatirannya, dan menyampaikan kepada karyawannya. Tidak berarti mereka lemah.
Tetapi mereka tidak cuma menjaga citra (image). Kalau suatu tugas itu ada risikonya, dia perlu
berempati pula kepada staf yang diberi tugas.
Terakhir, pemimpin otentik berorietasi jangka panjang–pastinya–tidak hanya untuk
kepentingan terpilih sebagai pemimpin saat Pemilu. Para pemimpin otentik tidak hanya
berpikir mejalankan tugas-tugas yang berjangka waktu bulanan, triwulanan, tetapi berjangka
panjang. Dia peduli dan memikirkan organisasi, perusahaan, daerah atau wilayah administratif
yang dipimpinnya dalam jangka panjang. Termasuk berpikir tentang inovasi-inovasi yang
perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan jangka panjang.
Dalam situasi saat ini, kondisi politik dan ekonomi bisa berubah setiap saat dengan disrupsi
teknologi dan digitalisasi ekonomi. Perilaku pasar atau masyarakat pada umumnya juga cepat
berubah, akibat beralihnya dominasi generasi baby boomers kepada generasi milenial, yang
lebih demokratis, ingin berperan aktif (partisipatif), mencari yang unik, organik, dan lokal.
Dengan situasi seperti ini tentu kita tidak berharap, atau percaya, pada pemimpin yang hanya
mengobral pidato, karisma, dan sok yakin tentang masa depan. Yang kita perlukan dalam
situasi saat ini justru pemimpin yang punya kepercayaan diri, bervisi jangka panjang ke depan,
tetapi sekaligus cukup realistis untuk mengakui bahwa dia dan kita semua memang sedang
menghadapi situasi yang menjanjikan peluang, tetapi juga penuh tantangan ketidak pastian.

Bagaimana Para Pemimpin Mengembangkan Otentisitasnya?


Sambil mengetik artikel ini saya memikirkan beberapa buku dan artikel ilmiah yang
memperdebatkan teori mengenai kepemimpinan, termasuk kepemimpinan otentik. Namun
daripada ribut dengan definisi, ada pertanyaan yang luar biasa penting. Bagaimana seorang
pemimpin mengembangkan otentisitasnya? Apakah suatu program pengembangan
kepemimpinan dapat membangun otentisitas pemimpin?
Para ahli kepemimpinan di sekolah bisnis Harvard pernah melakukan interviu kepada 172
pemimpin yang dipandang memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang otentik. Kesimpulannya,
otentisitas tidak bisa dibentuk seketika, melainkan melalui proses praktik kepemimpinan yang
melalui pergulatan mengatasi berbagai persoalan dan tantangan.
Hasil studi mengenai kepemimpinan otentik menunjukkan bahwa proses terbentuknya
kepemimpinan otentik merupakan proses belajar, bertumbuh dan berkembang dari si pemimpin
tersebut.
Dalam proses tersebut, kandidat pemimpin otentik mengintegrasikan pengalaman-
pengalamannya dalam sebuah proses konstruksi diri yang membuatnya memandang situasi dan
kondisi sekitarnya dengan pemahaman atau makna yang berbeda. Dalam menjalankan tugas-
tugasnya sebagai pemimpin, mereka juga mengembangkan pemahaman atas dirinya dan
mengalami proses berdamai dengan dirinya. Sehingga terbentuklah otentisitas dirinya.
Jadi, pembentukan pemimpin otentik melewati perjalanan sepanjang hidup, dengan setiap
tingkatan menyingkap lapis berikutnya, seperti orang mengupas bawang. Dalam proses
konstruksi dirinya, pemimpin otentik mengupas dirinya, lapis demi lapis, dan terus menyadari
diri “sejati”nya.
Hasil studi juga menunjukkan pemimpin otentik melakukan refleksi dan introspeksi setiap hari.
Hal ini dilakukan secara formal dengan meditasi, berdoa, salat, atau ritual lainnya, atau sekedar
duduk sebentar melakukan perenungan. Kuncinya ialah mereka keluar sebentar dari rutinitas
kesibukan, termasuk melepaskan diri dari gawai dan interaksi dengan media sosial (FB, twitter,

28
WA, dst), atau baca berita, untuk bisa melakukan refleksi diri. Intinya mereka menunjukkan
bagaimana mereka bisa hidup serasi dengan kesibukan kerjanya, tanpa terhanyut oleh
kesibukan tersebut.

Para pemimpin otentik senantiasa mencari umpan-balik yang apa adanya, jujur dari kolega,
teman-teman, maupun anak buah tentang dirinya dan praktik kepemimpinannya. Mereka
mengakui bahwa hal yang sulit ialah untuk mendapatkan umpan-balik tentang “bagaimana
orang-orang melihat dirinya”, yang harus dia bedakan dengan “bagaimana aku ingin dilihat,
dinilai oleh orang-orang”. Untuk itu dia mengamati “real-time feedback”, mencatat respons
langsung saat dia berkomunikasi dengan orang-orang, bawahannya.

Pemimpin otentik selalu berupaya memahami tujuan kepemimpinannya, sehingga dia bisa
mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menuju tujuan bersama. Tujuan bersama
memungkinkannya mengenali potensi dan keunikan masing-masing orang yang dia pimpin.
Dengan begitu dia dapat menyerasikan keunikan dan peran tiap orang dalam mencapai tujuan
bersama. Aspek ini jauh lebih penting untuk memfokuskan semua orang berkontribusi
mencapai tujuan, daripada memfokuskan mereka pada sekedar ukuran kuantitatif seperti
jumlah uang, ketenaran, dan kekuasaan. Walau tentu saja ukuran kinerja tersebut juga perlu.
Proses-proses yang dilewati oleh pemimpin otentik menjadikan mereka terampil dalam
merangkai, memadukan gaya kepemimpinannya dengan audiensnya, sejalan dengan situasi,
dan kesiapan dari sekitar untuk menerima perbedaan pendekatan. Sekali waktu ada situasi di
mana seorang pemimpin harus membuat keputusan sulit yang membuat kolega atau
bawahannya tidak nyaman, dan mereka perlu tampil tegar, tegas, dan berani memberi umpan
balik yang tajam. Pada kesempatan lain, dia perlu tampil menginspirasi, sebagai coach yang
baik, dan membangun konsensus.
Sebagai pemimpin mereka mendapatkan pengalaman dan mengembangkan kesadaran diri
yang lebih luas, mereka lebih terlatih, mahir dalam mengadaptasikan gaya kepemimpinannya,
tanpa kehilangan ciri karakternya sendiri. Otentisitas pada level lebih dalam juga terkait dengan
transparansi dan komunikasi yang jujur, berdamai dengan paradoks, dan mencari kebenaran.

Heart, Habit, dan Harmony


Karakteristik kepemimpinan otentik dan proses pembentukannya sebenarnya secara ringkas
disampaikan oleh Margarita Mayo, dalam bukunya yang terbit awal tahun 2018 ini, sebagai 3
H dari kepemimpinan otentik: Heart, Habit, dan Harmony. Komponen Heart atau hati dalam
kepemimpinan otentik berarti otentik secara emosional (emotional authenticity). Pemimpin
otentik jujur pada diri sendiri – be true to yourself. Lihat ke dalam diri sendiri dan menemukan
apa yang menjadi gairah atau passion. Jadi kalau maju sebagai kandidat kepala daerah, harus
jujur pada diri sendiri, apa yang membuat kandidat tersebut berambisi menjadi bupati,
walikota, atau gubernur. Gairah itulah yang menjadi magnet yang memengaruhi dan
menggerakkan para pengikut yang memiliki passion yang sama.
Komponen Habit atau kebiasaan dalam kepemimpinan otentik secara spesifik merujuk pada
kebiasaan belajar. Melalui belajar, manusia akan mengubah dirinya menjadi lebih efektif dalam
menghadapi lingkungan. Pemimpin otentik mempunyai kebiasaan belajar melalui umpan balik
yang jujur. Kalau dikritik, pemimpin otentik bersedia mendengarkan, bukan ngamuk, bicara
kasar, menggunakan power untuk menekan, menteror, bahkan membungkam. Pemimpin
otentik mengembangkan mindset bertumbuh. Umpan balik yang kritis membuatnya belajar
agar mampu beradaptasi, bertumbuh, dan terus maju – be true to your best self.

29
Komponen Harmony dalam kepemimpinan otentik terkait dengan lingkungan, atau dalam hal
ini, pengikut. Pemimpin otentik perlu mencari keseimbangan. Dia konsisten mencapai tujuan,
target, tapi juga menimbang kenyataan praktis (down-to-earth). Dia punya prinsip, konsisten
dengan nilai-nilai yang dipegangnya, namun tetap sadar bahwa hidup, bekerja dengan orang
lain, serta komunitas yang lebih luas. Pemimpin otentik membangun harmoni antara dirinya
dan pengikut atau stake holders, dengan tujuan membangun konteks bersama yang otentik.
Masyarakat atau rakyat itu, walau mungkin memilih hanya karena menjalankan kewajiban
sebagai warganegara tanpa tahu persis siapa kandidat-kandidatnya, masing-masing memiliki
harapan agar kabupaten, kota, atau propinsi dimana ia tinggal atau bekerja menjadi lebih
kondusif. Konteks bersama yang otentik itu adalah pertemuan antara harapan konstituen dan
janji kandidat – be true to others.

Akhirnya, dalam menghadapi situasi dan kondisi ketidakpastian kepemimpinan dalam


organisasi, apalagi kabupaten, kota, atau propinsi juga perlu perubahan. Masyarakat atau
karyawan mungkin tidak membutuhkan sekedar tokoh besar penuh karisma seperti Jenderal
Patton di Amerika. Tetapi butuh kepemimpinan yang tampil jujur, punya visi masa depan yang
menginspirasi, namun sekaligus rendah hati, santun, terbuka, dan siap mendengarkan masukan
dari orang lain.

30
Disruptive Innovation, Pelajaran Apa yang Bisa
Dipetik?
“Disruption atau gangguan, menggambarkan sebuah proses perusahaan yang lebih kecil
dengan sumber daya yang lebih sedikit berhasil menantang bisnis pemain lama yang besar
dan pemimpin pasar”

Oleh: Dr. Ningky Sasanti Munir, MBA – Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM
*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Hampir seperempat abad sejak Joseph Bower dan Clayton Christensen menerbitkan sebuah
artikel berjudul Disruptive Technologies: Catching the Waves, di jurnal bisnis Harvard
Business Review edisi Januari-Februari 1995. Sejak lima tahun terakhir, istilah disruptive
innovation atau “inovasi pengganggu” digunakan untuk menjelaskan fenomena munculnya
taksi daring seperti Uber, jaringan penginapan seperti AirBnB, aneka perusahaan financial
technology (fintech), dan lain-sebagainya. Benarkah semua itu contoh dari disruptive
innovation seperti yang dimaksud oleh Christensen, profesor bisnis dari sekolah bisnis
Harvard?

Dalam artikel di atas, Bower dan Christensen menyampaikan hasil riset yang menunjukkan
bahwa perusahaan-perusahaan besar dan pemimpin pasar sulit mempertahankan posisinya
ketika ada perubahan pada teknologi dan pasar. Hasil riset tersebut terdengar aneh, karena
perusahaan besar apalagi pemimpin pasar biasanya memiliki kemampuan luar biasa untuk
melakukan investasi pada teknologi terkini. Masalahnya, investasi pada teknologi ini adalah
untuk menghasilkan inovasi-inovasi yang diharapkan akan memuaskan pelanggan lama atau
pasar mainstream dengan kebutuhan yang sudah dikenal oleh perusahaan. Inovasi yang hanya
memuaskan pelanggan lain atau pasar yang baru bertumbuh tidak dilirik, bahkan kebanyakan
“dibunuh.”

Disruption atau gangguan, menggambarkan sebuah proses perusahaan yang lebih kecil dengan
sumber daya yang lebih sedikit berhasil menantang bisnis pemain lama yang besar dan
pemimpin pasar. Pendatang baru menjadi terasa “mengganggu” ketika berhasil memuaskan
pasar yang terabaikan dengan harga yang–biasanya–lebih rendah. Pada kondisi ini, perusahaan
lama karena alasan birokrasi dan dengan fokus pada penciptaan laba sebesar-besarnya
cenderung tidak merespons dengan serius.

Lama kelamaan, perusahan pendatang baru memasuki pasar mainstream, menawarkan kinerja
barang atau jasa yang memenuhi keinginan pelanggan lama perusahaan-perusahaan pemimpin
pasar. Nah, pada saat pelanggan mainstream yang mewakili pasar yang besar mulai
mengadopsi tawaran para perusahaan pendatang baru dengan volume belanja yang makin besar
didukung oleh perubahan gaya hidup, disinilah disruption terjadi.
Jadi, disruption adalah suatu proses, demikian menurut Christensen dalam artikelnya yang
lebih baru, berjudul What is Disruptive Innovation (Harvard Business Review, December
2015). Disruption yang digagas oleh Christensen tidak muncul dari produk semata. Tidak
seperti Uber atau Grab. Inovasi yang mengganggu, dimulai dari dua segmen pasar yang
diabaikan oleh para pemimpin pasar. Pertama adalah pasar low-end, yaitu pasar yang diabaikan
karena para pemain lama biasanya mencurahkan perhatian pada pelanggan yang paling
menguntungkan (dan rewel) dengan produk dan layanan yang terbaik, pemain lama kurang

31
memerhatikan pelanggan yang kurang menuntut. Ini membuka pintu bagi “pengganggu” yang
fokus (pada awalnya) untuk melayani pelanggan low-end dengan produk yang "cukup baik".
Kedua adalah pasar baru (emerging market), di mana “pengganggu” menciptakan pasar yang
sebelumnya tidak ada sama sekali. Sederhananya, mereka menemukan cara untuk mengubah
konsumen non-konsumen menjadi konsumen. Misalnya, pada masa awal teknologi fotokopi,
Xerox menargetkan perusahaan besar dan mengenakan harga tinggi untuk memberikan kinerja
yang dibutuhkan pelanggan tersebut. Pelanggan lain seperti, sekolah, universitas, home-office,
usaha kecil-menengah diabaikan. Kemudian pada akhir 1970-an, penantang baru mengenalkan
mesin fotokopi pribadi, menawarkan solusi terjangkau bagi individu dan organisasi kecil. Lalu
pasar baru pun diciptakan. Dari awal yang relatif sederhana ini, pembuat fotokopi pribadi
secara bertahap memasuki pasar mainstream dan merebut posisi prestisius yang awalnya
diduduki oleh Xerox dengan nyaman.

Disruptive innovation, menurut pengertian di atas, dimulai dari salah satu dari dua pijakan
tersebut. Tapi Uber tidak berasal dari salah satunya. Uber diluncurkan di San Francisco (pasar
taksi yang dilayani dengan baik), dan pelanggan Uber pada umumnya sudah memiliki
kebiasaan naik taksi atau menyewa mobil. Uber berhasil meningkatkan volume pembelian dan
mengubah gaya hidup karena mengembangkan solusi yang lebih baik dan lebih murah untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan secara luas. Ini berbeda dengan “pengganggu” yang mulai
dengan menarik konsumen low-end atau yang belum terlayani dan kemudian bermigrasi ke
pasar mainstream. Uber justru menggunakan arah yang berlawanan, yakni membangun posisi
di pasar mainstream terlebih dahulu dan kemudian menarik segmen yang diabaikan.

Disruptive innovation membedakan inovasi yang “mengganggu” dengan "inovasi yang


berkelanjutan." Yang terakhir ini membuat produk bagus menjadi lebih baik di hadapan
pelanggan lama yang ada: pisau kelima dalam pisau cukur, gambar TV yang lebih jernih,
penerimaan ponsel yang lebih baik. Perbaikan ini dapat berupa kemajuan, tambahan, atau
terobosan besar, namun semuanya memungkinkan perusahaan untuk menjual lebih banyak
produk kepada pelanggan mainstream.
Di sisi lain, disruptive innovation pada awalnya dianggap kurang berarti oleh sebagian besar
pelanggan mainstream. Biasanya pelanggan tidak mau beralih ke penawaran baru hanya karena
harganya lebih murah. Sebaliknya, mereka menunggu sampai kualitasnya naik cukup untuk
memuaskan mereka. Setelah itu terjadi, mereka mengadopsi produk baru dan dengan senang
hati menerima harga yang lebih rendah -- Ini adalah bagaimana gangguan mendorong harga
turun di pasar.
Sebagian besar elemen strategi Uber tampaknya mendukung inovasi. Layanan Uber jarang
digambarkan sebagai inferior dari taksi yang ada. Di beberapa negara banyak yang bilang lebih
baik. Pemesanan perjalanan hanya membutuhkan beberapa tekanan di telepon pintar,
pembayaran tunai atau non-tunai, dan penumpang dapat menilai pelayanan mereka
sesudahnya, yang membantu memastikan standar yang tinggi. Selanjutnya, di beberapa negara,
Uber memberikan layanan dengan andal dan tepat waktu, dan harganya biasanya lebih rendah
dari layanan taksi yang mapan. Dan seperti biasa ketika para pemain lama menghadapi
ancaman dari inovasi yang terus berlanjut, banyak perusahaan taksi termotivasi untuk
meresponsnya. Mereka menerapkan teknologi yang kompetitif, seperti mengembangkan
aplikasi, dan memperjuangkan legalitas beberapa layanan Uber.
Dalam kasus Uber, penyebab kesuksesannya sebagian besar adalah sifat bisnis taksi di banyak
negara yang diatur secara ketat oleh regulator. Regulasi yang ketat menyebabkan kebanyakan
perusahaan taksi jarang berinovasi. Para pengemudi individu juga memiliki sangat sedikit
peluang berinovasi, kecuali membelot ke Uber. Jadi Uber berada dalam situasi yang unik

32
dibandingkan dengan taksi, yang menyebabkannya dapat menawarkan kualitas yang lebih baik
dan perusahaan lama sulit menanggapi.
Kebanyakan inovasi –yang disruptive maupun tidak– memulai hidup sebagai percobaan skala
kecil. “Pengganggu” cenderung fokus pada membangun model bisnis, bukan pada produknya
saja. Ketika mereka berhasil, para “pengganggu” bergerak dari pinggir, dari pasar yang
terabaikan atau dari pasar yang baru bertumbuh ke pasar mainstream, sedikit demi sedikit
mengikis pangsa pasar dan laba para pemain lama. Proses ini bisa memakan waktu sebentar,
bisa juga puluhan tahun.
Pada saat transisi ini, perusahaan-perusahaan lama, para pemimpin pasar bisa belajar,
memperbaiki diri, dan menerapkan strategi yang kreatif untuk melindungi pasarnya, bahkan
menarik pasar baru ke dalam jangkauannya. Sebaliknya, karena disruption memakan waktu
lama, para pemimpin pasar sering tidak memandangnya sebagai ancaman. Ketika
pasar mainstream mulai terkikis didukung oleh perubahan gaya hidup atau bahkan mindset
pelanggan, sangat sulit bagi pemain lama untuk meniru inovasi para “pengganggu” dalam
waktu singkat.
Jika kita menyebut setiap kesuksesan bisnis sebagai "gangguan," maka perusahaan yang naik
ke puncak dengan cara yang berbeda dengan yang dikenal selama ini akan dipandang sebagai
inspirasi strategi bersama untuk sukses. Ini kan jelas berbahaya. Disruption bukan semata
berbeda dan para eksekutif bisa terdorong untuk melakukan usaha mencampur dan
mencocokkan inovasi yang tidak sesuai satu sama lain.
Misalnya, kesuksesan iPad, Uber, dan Apple didukung oleh model berbasis platform: Uber
secara digital menghubungkan pengendara dengan pengemudi; iPhone menghubungkan
pengembang aplikasi dengan pengguna ponsel. Tapi Uber, yang sesuai dengan sifatnya sebagai
inovasi yang berkelanjutan, berfokus untuk memperluas jaringan dan fungsinya dengan cara
yang membuatnya lebih baik daripada taksi tradisional. Apple, di sisi lain telah mengikuti jalan
yang “mengganggu” dengan membangun ekosistem pengembang aplikasi sehingga membuat
iPhone lebih mirip komputer pribadi.
Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan para pemimpin pasar, yang
telah lama malang-melintang di industrinya?
Perusahaan lama perlu menanggapi “gangguan” jika terjadi, tapi seharusnya tidak perlu
bereaksi berlebihan dengan segera membongkar habis bisnis yang masih menguntungkan.
Perusahaan lama harus terus memperkuat hubungan dengan pelanggannya dengan berinvestasi
dalam mempertahankan inovasi. Belajarlah dari Uber yang memasuki
pasar mainstream dengan menawarkan jasa yang lebih baik dan mudah dibandingkan para
pemain lama.
Selain itu, perusahaan lama bisa menciptakan divisi baru yang fokus hanya pada peluang
pertumbuhan yang timbul dari adanya “gangguan”. Itu berarti bahwa untuk beberapa waktu,
perusahaan lama akan mengelola dua operasi yang sangat berbeda. Divisi baru ini awalnya
akan “mengganggu” bisnis lama, bahkan terjadi kanibal pada pelanggan perusahaan. Namun
divisi baru ini bisa jadi nantinya akan terus bertumbuh menggantikan perusahaan lama yang
bergerak di bisnis inti.

33

You might also like