You are on page 1of 13

ABSTRAK

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna di antara makhluk-
makhluk lain, karena ia mempunyai berbagai potensi yang tidak dimiliki makhluk lain.
Potensi itu akan mengarahkan manusia pada tahap mencapai hakikatnya sebagai
manusia. Para sufi mengatakan bahwa manusia yang hakiki adalah ia yang mampu
memenuhi kebutuhan jiwanya. Pencapaian jiwa manusia akan Tuhannya merupakan
tanda bahwa ia sudah mencapai manusia hakiki. Manusia yang demikian tak akan lagi
mengedepankan dunia.1 Pembahasan mengenai manusia merupakan sesuatu yang
tidak pernah tuntas. Berbagai pengetahuan dimunculkan oleh para peneliti manusia
dan telah melahirkan berbagai bidang kajian tentang manusia. Semua itu dilakukan
untuk mengetahui hakikat manusia itu sendiri, sehingga dapat memberikan makna
dan menjadikan satu motivasi untuk menjalani kehidupan ini.2 Di antara yang
menjadi topik bahasan tentang manusia adalah berkaitan agama dan filsafat.

Kata Kunci: Manusia, Agama, Filsafat

Pendahuluan
Manusia adalah salah satu mahluk tuhan yang hidup di muka bumi ini. Ia
mempunyai keunikan tersendiri. Dalam ilmu logika manusia di definisikan sebagai
hewan yang nathiq. Manusia adalah animal simbolicum atau language using animal.
Artinya bahwa kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari bahasa khususnya
percakapan dan melakukan penafsiran terus menerus. 3
Secara umum, filsafat dianggap sesuatu yang sangat bebas karena ia berpikir
tanpa batas. Sedangkan agama, lebih mengedepankan wahyu/ilham dari zat yang
dianggap Tuhan. Segala sesuatu yang berasal dari Tuhan, dalam perspektif agama
adalah sebuah kebenaran yang tidak dapat ditolak. Ahli filsafat melihat agama dengan
pemikiran yang mendalam, sehingga seorang filosof mendapat kebenaran yang paling
hakiki. 4
Berbicara tentang manusia dan agama dalam Islam adalah membicarakan
sesuatu yang sangat klasik namun senantiasa aktual. Berbicara tentang kedua hal
tersebut sama saja dengan berbicara tentang kita sendiri dan keyakinan asasi kita
sebagai makhluk Tuhan Kehadiran manusia tidak terlepas dari asal usul kehidupan di
alam semesta. Manusia hakihatnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Pada diri
manusia terdapat perpaduan antara sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dalam
1 Hairus Saleh, “Filsafat Manusia : Studi Komparatif antara Abdurrahman Wahid dan Murtadla
Muthahhari” , (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014), hlm., vi.
2 Naila Farah dan Cucum Novianti, “Fitrah dan Perkembangan Jiwa Manusia dalam Perspektif Al-

Ghazali.” Yaqzhan, 2 (Desember, 2016), hlm., 189.


3 Rully Nasrullah dan Abdul Mukti Rouf, Manusia: Dari Mana & Untuk Apa?, (Sidoarjo: Mashnun,

2008), hlm., 1.
4 Abd. Wahid, “Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu.” Jurnal Substantia, 2 (Oktober, 2012), hlm., 224.

1
pandangan Islam, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT manusia memiliki tugas
tertentu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Untuk menjalankan tugasnya
manusia dikaruniakan akal dan pikiran oleh Allah SWT. Akal dan pikiran tersebut
yang akan menuntun manusia dalam menjalankan perannya. Dalam hidup di dunia,
manusia diberi tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah di muka
bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.5
Pengertian Manusia
Apa arti kata manusia? dan siapakah manusia? Manusia merupakan sebuah
misteri di samping Sang Misteri Agung. Studi tentang manusia disebut antropologi.
Istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani yakni anthropos berarti manusia dan logos
berarti kata, percakapan dan ilmu. Jadi, yang dimaksud dengan antropologi adalah
percakapan atau pembicaraan mengenai manusia.
Tetapi apakah arti kata “manusia”? Dalam Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, kata manusia hanya diartikan sebagai “makhluk Tuhan yang paling
sempurna yang mempunyai akal dan budi”. Sedangkan Oxford Advanced Learner’s
Dictionary, kata benda man diartikan “orang dewasa”. Arti kata ini tidak jelas, namun
kata man dapat dihubungkan dengan dua kata Latin mens, artinya “ada yang berpikir”
dan kata homo yang berarti “orang yang dilahirkan di atas bumi”. Sedangkan istilah
Yunani anthropos pada umumnya diartikan sebagai manusia. Dari studi etimologi di
atas, dua kata Latin, mens dan homo memberi pengertian yang cukup jelas.
Manusia adalah makhluk yang paling mulia di bandingkan makhluk yang lain.
Manusia adalah pemimpin atau yang mengatur alam ini. Manusia adalah makhluk
yang mempunyai kepribadian yang berbeda-beda dan lain sebagainya. Jelasnya,
manusia adalah makhluk paling istimewa di antara makhluk lainnya.6
Para pemikir, baik Islam ataupun Barat mempunyai banyak ragam dalam
mengartikan dan memahami manusia itu sendiri. Murtadla Muthahari misalnya,
memahami manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tingggi
yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai berbicara. Lebih dari itu,
manusia lebih luhur dan lebih ghaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh kata-kata
tersebut.7
Dalam konsep teologi, yang menjadi sentral pembahasan mengenai manusia
adalah kekuatan, kelemahan, kebebasan, dan tanggung jawab manusia. Misalnya,
dalam teologi Mu’tazilah salah satu konsep ushul khamsah ada pembahasan mengenai
kebebasan manusia. Perbuatan manusia adalah ciptaan mereka sendiri. Dengan
demikian, manusia bebas menentukan perbuatannya, dan bertanggung jawab penuh

5 Desi Yunita, “Makalah Agama Hakikat Manusia Menurut Islam”, diakses dari
https://desiyunita0628.wordpress.com/2015/02/17/makalah-agama-hakikat-manusia-menurut-
islam/, pada tanggal 17 Februari 2015.
6
Rully Nasrullah dan Abdul Mukti Rouf, Manusia: Dari Mana & Untuk Apa?, hlm., 7
7 Ibid. 8.

2
atas perbuatan tersebut. Kelompok Maturidi memandang manusia mempunyai
kebebasan dalam melakukan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatan manusia
sendiri dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti kiasan.
Para filosof Barat era modern juga tidak ketinggalan untuk mengkaji masalah
manusia. Misalnya, Mercia Eliade, seorang sosiolog dalam bidang agama, menyatakan
bahwa manusia mempunyai sikap homo religious. Manusia sebagai homo religious
merupakan bentuk mikrokosmos, yang oleh karenanya manusia juga berhak
mendapatkan kesucian dari kosmos.8
Keanekaragaman pandangan dan definisi manusia dikarenakan manusia
merupakan makhluk yang multidimensional, makhluk yang paradoksal dan makhluk
yang dinamis. Sehingga manusia dirumuskan sebagai ”an ethical being, en aesthetical
being a metaphysical being, a religious being.”
Di samping itu masih ada ungkapan lain tentang definisi manusia, di
antaranya, manusia sebagai: animal rationale (hewan yang rasional atau berpikir), animal
symbolicum (hewan yang menggunakan symbol)dan animal educandum (hewan yang bisa
dididik). Tiga istilah terakhir ini menggunakan kata animal atau hewan dalam
menjelaskan manusia. Hal ini mengakibatkan banyak orang terutama dari kalangan
Islam tidak sependapat dengan ide tersebut. Dalam Islam hewan dan manusia adalah
dua makhluk yang sangat berbeda. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk
sempurna dengan berbagai potensi yang tidak diberikan kepada hewan, seperti
potensi akal dan potensi agama. Jadi jelas bagaimanapun keadaannya, manusia tidak
pernah sama dengan hewan.
Munir Mursyi seorang ahli pendidikan Mesir mengatakan bahwa pendapat
tentang manusia sebagai animal rationale atau al-Insan Hayawan al-Natiq bersumber dari
filsafat Yunani dan bukan dari ajaran Islam. Terkait dengan hal ini adalah gagalnya
teori evolusi Charles Darwin. Ternyata Darwin tak pernah bisa menjelaskan dan
membuktikan mata rantai yang dikatakannya terputus (the missing link) dalam proses
transformasi primata menjadi manusia. Jadi pada hakikatnya manusia tidak pernah
berasal dari hewan manapun, tetapi makhluk sempurna ciptaan Allah dengan
berbagai potensinya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin (95) : 4).
Muhammad Daud Ali (1998) menyatakan pendapat yang bisa dikatakan
mendukung bantahan Munir Mursyi di atas, namun ia menyatakan bahwa manusia
bisa menyamai binatang apabila tidak memanfaatkan potensi-potensi yang diberikan
Allah secara maksimal terutama potensi pemikiran (akal), kalbu, jiwa, raga serta panca
indra. Dalil al- Qur’an yang diajukannya adalah surah al-A’raf: “… mereka (manusia)
punya hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka punya mata tapi
tidak dipergunakan untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga
tapi tidak dipergunakan untuk (mendengar ayat-ayat Allah). Mereka itu sama dengan binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf (7) :
8 Ibid. 9.

3
179). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa manusia memang diciptakan Tuhan
sebagai makhluk terbaik dengan berbagai potensi yang tidak diberikan kepada
makhluk lainnya. Namun apabila manusia tidak bisa mengembangkan potensinya
tersebut bisa saja manusia menjadi lebih rendah dari makhluk lain, seperti hewan
misalnya.9

Pengertian Agama
Kata agama kadangkala diidentikkan dengan kepercayaan, keyakinan dan
sesuatu yang menjadi anutan. Dalam konteks Islam, terdapat beberapa istilah yang
merupakan padanan kata agama yaitu: al-Din, al-Millah dan al-Syari’at. Ahmad Daudy
menghubungkan makna al-Din dengan kata al-Huda (petunjuk). Hal ini menunjukkan
bahwa agama merupakan seperangkat pedoman atau petunjuk bagi setiap
penganutnya. Muhammad Abdullah Darraz mendefinisikan agama (din) sebagai:
“keyakinan terhadap eksistensi (wujud) suatu dzat-atau beberapa dzat-ghaib yang
maha tinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak, ia memiliki wewenang untuk
mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan nasib manusia. Keyakinan
mengenai ihwalnya akan memotivasi manusia untuk memuja dzat itu dengan
perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan pengagungan”. Secara
lebih ringkas, ia mengatakan juga: bahwa agama adalah “keyakinan (keimanan)
tentang suatu dzat (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatan dan ibadah
(persembahan). Sedangkan Daniel Djuned mendevinisikan agama sebagai: tuntutan
dan tatanan ilahiyah yang diturunkan Allah melalui seorang rasul untuk umat manusia
yang berakal guna kemaslahatannya di dunia dan akhirat. Fungsi agama salah satunya
adalah sebagai penyelamat akal.
Dari definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa pokok dan dasar dari agama
adalah keyakinan sekelompok manusia terhadap suatu zat (Tuhan). Keyakinan dapat
dimaknai dengan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan yang memiliki sifat agung dan
berkuasa secara mutlak tanpa ada yang dapat membatasinya. Dari pengakuan tentang
eksistensi Tuhan tersebut, menimbulkan rasa takut, tunduk, patuh, sehingga manusia
mengekpresikan pemujaan (penyembahan) dalam berbagai bentuk sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan oleh suatu agama.
Makna lainnya dari agama bila dirujuk dalam bahasa Inggris Relegion (yang
diambil dari bahasa Latin: Religio). Ada yang berpendapat berasal dari kata Relegere
(kata kerja) yang berarti “membaca kembali” atau “membaca berulang-ulang”.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan berasal dari kata Religare yang berarti
mengikat dengan kencang. Dalam makna tersebut penekanannya ada dua, yaitu pada
adanya ikatan antara manusia dengan Tuhan, dan makna membaca, dalam arti adanya
ayat-ayat tertentu yang harus menjadi bacaan bagi penganut suatu agama.
Esensi agama adalah untuk pembebasan diri manusia dari penderitaan,
penindasan kekuasaan sang tiran untuk kedamaian hidup. Islam, seperti juga
Abrahamic Religious keberadaannya untuk manusia (pemeluknya) agar dapat berdiri
bebas di hadapan Tuhannya secara benar yang diaktualisasikan dengan formulasi taat

9 Siti Khasinah, “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat.” Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA,
2 (Februari, 2013), hlm., 297-298.

4
kepada hukum-Nya, saling menyayangi dengan sesama, bertindak adil dan menjaga
diri dari perbuatan yang tidak baik serta merealisasikan rasa ketaqwaan. Dasar
penegasan moral keagamaan tersebut berlawanan dengan sikap amoral. Dalam
implementasinya institusi sosial keagamaan yang lahir dari etika agama sejatinya
menjadi sumber perlawanan terhadap kedhaliman, ketidak-adilan, dan sebagainya.
Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa agama juga mengandung
pemahaman tentang adanya unsur agama yang memiliki peran penting untuk
mengharmoniskan kehidupan manusia. Dengan agama, suatu komunitas menjadi
saling menyayangi sesama manusia walaupun memeluk agama yang saling berbeda.
Hal ini menunjukkan bahwa agama tidak semata-mata interaksi manusia dengan
Tuhan, tetapi juga menuntut sikap yang saling menyayangi sesama manusia, walaupun
berbeda agama sekalipun. Untuk itu makna agama dapat dikatakan sangat luas,
termasuk juga sebagai wadah membina sikap saling sayang menyayangi sesama
manusia. Dengan kata lain, agama bukan hanya mengatur urusan penyembahan
manusia terhadap Tuhannya, tetapi juga mengatur pola hidup manusia yang lebih
baik melalui sikap saling kasih mengasihi sesama mereka.
Selanjutnya, agama juga didefinisikan sebagai suatu keyakinan (iman) kepada
sesuatu yang tidak terbatas (muthlak). Hal ini seperti dikatakan oleh Herbert Spencer
bahwa faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan tak terbatas,
atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu atau tempatnya. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu unsur terpenting dalam pemahaman tentang agama
adalah adanya kekuasaan muthlak dari dzat yang dianggap pokok segala sesuatu, yaitu
Tuhan. Dalam konsep ini, agama identik dengan pemahaman bahwa manusia
memiliki keterbatasan dalam segala hal. Karena itu agama merupakan sebagai central
dari segala sesuatu tersebut untuk dikembalikan dan diserahkan segala urusan. Kadar
penyerahan segala urusan ini, memiliki tingkat yang berbeda bagi agama tertentu dan
aliran tertentu.10

Pengertian Filsafat
Secara etimologis, asal kata menurut bahasa, “filsafat” atau dalam bahasa
inggris philosophy, berasal dari kata yunani philosopia. Philosopia berupa gabungan
dari dua kata ialah philein yang berarti cinta, merindukan atau philos yang berarti
mencintai, menghormati, menikmati, dan sopia atau sofein yang artinya kehikmatan,
kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan atau kejernihan. Jadi secara etimologis, berfilsafat
atau filsafat itu berarti mencintai, menikmati, merindukan kebijaksanaan atau
kebenaran.11
Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk
proses, artinya segala usaha pemikiran selalu terarah untuk mencari kebenaran. Orang
yang bijaksana selalu menyampaikan suatu kebenaran sehingga bijaksana
mengandung dua makna yaitu baik dan benar. Sesuatu dikatakan baik apabila sesuatu

10
Wahid, “Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu.”, hlm. 226-228.
11Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu
(Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009). hlm., 13.

5
itu berdimensi etika, sedangkan benar adalah sesuatu yang berdimensi rasional, jadi
sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan logis. Dengan demikian
berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai kebaikan dan
kebenaran, berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir secara
radikal sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berfilsafat mengandung
kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau berfilsafat.
Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu ialah berfikir,
dan hanya manusia yang telah tiba di tingkat berfikir, yang berfilsafat (Alisyahbana,
1981).
Guna lebih memahami mengenai makna filsafat, berikut ini akan
dikemukakan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf:
a. Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 SM mengartikan
filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, tidak ada batas antara filsafat
dan ilmu (Gazalba, 1992).
b. Aristoteles (382 – 322 SM) murid Plato, menurutnya, filsafat bersifat sebagai ilmu
yang umum sekali yaitu ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik dan estetika (Suharsaputra, 2004) Dia juga berpendapat bahwa filsafat itu
menyelidiki sebab dan asas segala benda (Gazalba, 1992).
c. Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah induk segala ilmu dunia. Filsafatlah yang
menggerakkan, yang melahirkan berbagai ilmu karena filsafat memacu para ahli
mengadakan penelitian (Gazalba, 1992).
d. Al Farabi (870 – 950 M) adalah seorang Filsuf Muslim yang mendefinisikan
filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya
yang sebenarnya. (Suharsaputra, 2004).
e. Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pokok dan
pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan yaitu :
1) Metafisika (apa yang dapat kita ketahui).
2) Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
3) Agama (sampai dimanakah pengharapan kita).
4) Antropologi (apakah yang dinamakan manusia). (Suharsaputra, 2004)
f. H.C Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat
mengandung pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang
khusus dan tertentu saja, bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakikat baik dari
dunia kita, maupun dari cara hidup yang seharusnya kita selenggarakan di dunia
ini. (Suharsaputra, 2004).
g. Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan
beberapa pengertian filsafat yaitu :
1) Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat adalah sikap terhadap
kehidupan dan alam semesta).
2) Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat adalah suatu
metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional).
3) Philosophy is a group of problems (Filsafat adalah sekelompok masalah).

6
4) Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat adalah serangkaian sistem
berfikir) (Suharsaputra, 2004).
Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa ada pokok-pokok definisi
dari para ahli yang menekankan pada :
1. Subtansi, cakupan, dan upaya pencapaian dari apa yang dipikirkan dalam
berfilsafat.
2. Upaya penyelidikan tentang substansi yang baik sebagai suatu keharusan dalam
hidup di dunia.
3. Dimensi-dimensi filsafat dari mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah,
serta sistem berfikir.
Bila diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut
lebih bersifat saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa berfilsafat
berarti penyelidikan tentang apanya, bagaimananya, dan untuk apanya. Dalam
konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang bila dikaitkan dengan terminologi filsafat
tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi (bagaimananya), dan axiologi (untuk
apanya).12

Hakikat Manusia
Beberapa pandangan mengenai hakikat manusia:
1. Pandangan Psikoanalitik
Dalam pandangan psikoanalitik diyakini bahwa pada hakikatnya manusia
digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif.
Hal ini menyebabkan tingkah laku seorang manusia diatur dan dikontrol oleh
kekuatan psikologis yang memang ada dalam diri manusia. Terkait hal ini diri
manusia tidak memegang kendali atau tidak menentukan atas nasibnya seseorang
tapi tingkah laku seseorang itu semata-mata diarahkan untuk mememuaskan
kebutuhan dan insting biologisnya.
2. Pandangan Humanistik
Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan dari
dalam dirinya untuk mengarahkan dirinya mencapai tujuan yang positif. Mereka
menganggap manusia itu rasional dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal
ini membuat manusia itu terus berubah dan berkembang untuk menjadi pribadi
yang lebih baik dan lebih sempurna. Manusia dapat pula menjadi anggota
kelompok masyarakat dengan tingkah laku yang baik. Mereka juga mengatakan
selain adanya dorongan-dorongan tersebut, manusia dalam hidupnya juga
digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan keinginan mendapatkan sesuatu.
Dalam hal ini manusia dianggap sebagai makhluk individu dan juga sebagai
makhluk sosial.
3. Pandangan Martin Buber
Martin Buber mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa disebut
‘ini’ atau ‘itu’. Menurutnya manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan
yang memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam. Namun

12Setya Widyawati, “Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pendidikan.”, Jurnal Seni
Budaya, 1 (Juli, 2013), hlm., 88-89.

7
keterbatasan ini hanya bersifat faktual bukan esensial sehingga apa yang akan
dilakukannya tidak dapat diprediksi. Dalam pandangan ini manusia berpotensi
utuk menjadi ‘baik’ atau ‘jahat’, tergantung kecenderungan mana yang lebih besar
dalam diri manusia. Hal ini memungkinkan manusia yang ‘baik’ kadang-kadang
juga melakukan ‘kesalahan’.
4. Pandangan Behavioristik
Pada dasarnya kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai
makhluk yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari
luar dirinya, yaitu lingkungannya. Lingkungan merupakan faktor dominan yang
mengikat hubungan individu. Hubungan ini diatur oleh hukum-hukum belajar,
seperti adanya teori conditioning atau teori pembiasaan dan keteladanan. Mereka
juga meyakini bahwa baik dan buruk itu adalah karena pengaruh lingkungan.

Dari uraian di atas bisa diambil beberapa kesimpulan yaitu;


a. Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan
hidupnya.
b. Dalam diri manusia ada fungsi yang bersifat rasional yang bertanggungjawab atas
tingkah laku intelektual dan sosial individu.
c. Manusia pada hakikatnya dalam proses ‘menjadi’, dan terus berkembang.
d. Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur
dan mengendalikan dirinya dan mampu menentukan nasibnya sendiri.13
e. Dalam dinamika kehidupan individu selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia menjadi
lebih baik.
f. Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudannya
merupakan ketakterdugaan. Namun potensi itu bersifat terbatas.
g. Manusia adalah makhluk Tuhan, yang yang kemungkinan menjadi ‘baik’
atau’buruk’.
h. Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku itu
merupakan kemampuan yang dipelajari.

Beberapa pendapat lain tentang hakikat manusia adalah:


1. Pandangan Mekanistik
Dalam pandangan mekanistik semua benda yang ada di dunia ini termasuk
makhluk hidup dipandang sebagai sebagai mesin, dan semua proses termasuk
proses psikologi pada akhirnya dapat diredusir menjadi proses fisik dan kimiawi.
Lock dan Hume, berdasarkan asumsi ini memandang manusia sebagai robot
yang pasif yang digerakkan oleh daya dari luar dirinya.
2. Pandangan Organismik
Pandangan organismik menganggap manusia sebagai suatu keseluruhan
(gestalt), yang lebih dari pada hanya penjumlahan dari bagian-bagian. Dalam
pandangan ini dunia dianggap sebagai sistem yang hidup seperti halnya
tumbuhan dan binatang. Organismik menyatakan bahwa pada hakikatnya

13 Khasinah, “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat.”, hlm., 299-300.

8
manusia bersifat aktif, keutuhan yang terorganisasi dan selalu berubah. Manusia
menjadi sesuatu karena hasil dari apa yang dilakukannya sendiri, karena hasil
mempelajari.14
3. Pandangan Kontekstual
Dalam pandangan kontekstual manusia hanya dapat dipahami dalam
konteksnya. Manusia tidak independent, melainkan merupakan bagian dari
lingkungannya. Manusia adalah individu yang aktif dan organisme sosial. Untuk
bisa memahami manusia maka pandangan ini megharuskan mengenal
perkembangan manusia secara utuh seperti memperhatihan gejala-gejala fisik,
psikis, dan juga lingkungannya, serta peristiwa-peristiwa budaya dan historis.15

Hakikat Manusia dalam Perspektif Agama


Menurut islam, bukan sekedar ‘Homo Erectus Berkaki Dua’ yang dapat
berbicara dan berkuku lebar. Akan tetapi manusia menurut pandangan islam dapat
kita lihat dari al-Qur’an dan al-hadist.
Pertama, al-Qur’an menyebut manusia dengan Insan. Insan (jamaknya al Nas)
dapat di lihat dari banyak asal kata. Insan di lihat dari anasa artinya melihat (QS
20:10), mengetahui (QS 4:6), dan meminta izin (QS 24:27). Hal ini berkaitan erat
dengan kemampuan penalaran manusia. Ia dapat mengambil pelajaran dari apa yang
dilihatnya, mengetahui benar dan salah, dan terdorong untuk meminta izin
menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Sedang insan dilihat dari kata nasiya
berarti lupa, yang berkaitan dengan kesadaran manusia. Jika dilihat dari asal kata al-
Uns atau anisa berarti jinak. Dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya
memiliki kaitan erat dengan pendidikan jika di artikan dengan anasa, sebagai makhluk
yang pelupa, dan sebagai makhluk yang tidak liar serta memiliki tata aturan etik,
sopan santun dan berbudaya.
Kedua, Alqur’an juga menyebut manusia sebagai basyar. Pemakaian kata
basyar di beberapa tempat dalam alqur’an seluruhnya memberikan pengertian bahwa
yang dimaksud dengan kata tersebut adalah anak adam yang bisa makan dan berjalan
di pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan.
Dengan demikian kata basyar mengacu pada aspek lahiriyah manusia-bentuk tubuh,
makan, minum dan kemudian mati (QS 21:34-35). Sebagaimana di dalam alqur’an
disebutkan sebagai jawaban pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah SAW
yang artinya : “Katakanlah: sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku : “bahwa sesungguhnya tuhan kamu itu tuhan yang esa”. Barang siapa
yang mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
salehdan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada tuhannya”.
Dari kedua kata di atas insan dan basyar menunjukan dua dimensi manusia.
Kata insan menunjukan kepada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedang kata basyar

14 Ibid. 301.
15 Ibid. 302.

9
digunakan untuk menunjukan pada dimensi alamiah manusia, yang menjadi ciri
pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum dan kemudian mati.
Lebih lanjut, pandangan islam mengenai proses kejadian manusia dapat
dilihat dalam surat al-Mu’minuun 12-14:

)١٣( ‫ين‬ ْ ُ‫) ث ُ َّم َجعَ ْلنَاهُ ن‬١٢( ‫ين‬


ٍ ‫طفَةً فِي قَ َر ٍار َم ِك‬ ٍ ‫ساللَ ٍة ِم ْن ِط‬ َ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإل ْن‬
ُ ‫سانَ ِم ْن‬

‫ام لَحْ ًما‬


َ ‫ظ‬َ ‫س ْونَا ْال ِع‬ ْ ‫ضغَةً فَ َخلَ ْقنَا ْال ُم‬
َ ‫ضغَةَ ِع‬
َ ‫ظا ًما فَ َك‬ ْ ‫علَقَةً فَ َخلَ ْقنَا ْال َعلَقَةَ ُم‬ ْ ُّ‫ث ُ َّم َخلَ ْقنَا الن‬
َ َ‫طفَة‬
16
)14( َ‫س ُن ْالخَا ِلقِين‬
َ ْ‫َّللاُ أَح‬ َ َ‫ث ُ َّم أ َ ْنشَأْنَاهُ خ َْلقًا آخ ََر فَتَب‬
َّ َ‫ارك‬

Artinya :
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al- Mu’minuun (23) : 12-14).

Dan juga surat ash-Shad ayat 72 :

17
َ‫س ِجدِين‬ ۟ ُ‫وحى فَقَع‬
َ َٰ ‫وا لَهُۥ‬ ِ ‫س َّو ْيتُهُۥ َونَفَ ْختُ فِي ِه ِمن ُّر‬
َ ‫فَإ ِ َذا‬
Artinya :
“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku;
Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". (QS. Ash-Shad (38) : 72).
Di dalam al-Hadits juga dijelaskan mengenai proses kejadian manusia,
Rasulallah SAW bersabda: “Bahwasannya seorang kamu dihimpunkan kejadiannya di dalam
perut ibu selama 40 hari, kemudian merupakan laqah (segumpal darah) seumpama demikian
(selama 40 hari), kemudian merupakan mudgatan (segumpal daging) seumpama demikaian
(selama 40 hari). Kemudian allah mengutus seorang malaikat, maka diperintahkan kepadanya
(malaikat) empat perkataan dan dikatakan kepada malaikat engkau tuliskanlah amalnya, dan
rizkinya dan azalnya, dan celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkanlah kepada makhluk itu
ruh” (H.R Bukhari).
Di sini dapat dikatakan bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi
yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari tuhan. Berbeda dari malaikat yang
hanya merupakan makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) dan hewan, makhluk yang
bersifat jasad material.

16 al-Qur’an, al- Mu’minuun (23) : 12-14.


17 al-Qur’an, ash-Shad (38) : 72

10
Hakikat Manusia dalam Perspektif Filsafat
Setidaknya ada empat pandangan yang berbicara mengenai hakikat manusia
dalam perspektif filsafat:
a. Aliran Serba Zat
Menyatakan bahwa hakikat manusia adalah zat atau materi. Dari proses
kejadiannya, yakni bertemunya sperma laki-laki kedalam sel telur perempuan
yang kemudian menjadi janin dan lahir ke dunia. Aliran ini mengatakan bahwa
apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan,
kesadaran, ingatan, khayalan, asosiasi, penghayatan dan sebagainya) dari zat atau
materi yaitu sel-sel tubuh. Kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga berasal
dari materi (Pandangan Materialistis). Hal-hal yang bersifat ukhrowi (akhirat)
dianggap sebagai khayalan belaka.
b. Aliran Serba Ruh
Merupakan lawan dari aliran serba zat. Mereka mengatakan bahwa yang ada
dalam manusia sebenarnya adalah ruh. Sedang zat hanya manifestasi ruh di dunia
ini. Hal ini berdasarkan bukti bahwa ruh lebih tinggi nilainya daripada zat.
c. Aliran Dualisme
Merupakan aliran yang mencoba menggabungkan kedua aliran sebelumnya.
Mereka berpendapat bahwa manusia adalah makhluk dualisme, terdiri dari ruh
dan badan (Zat). Antara keduanya terjadi hubungan kausalitas. Ruh dan badan
berbeda dan tidak bergantung satu sama lain. Dengan artian ruh tidak berasal
dari badan, begitu pula sebaliknya.18
d. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang menekankan eksistensi, yaitu
tentang cara manusia berada di dunia yang berbeda dengan benda.
Eksistensialisme sangat menentang objektivitas (cenderung menganggap
manusia sebagai nomor dua sesudah benda) dan impersonalitas, karena apabila
manusia diberi interpretasi-interpretasi secara objektif dan impersonal, maka
dapat mengakibatkan kehidupan menjadi dangkal dan tidak bermakna.
Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subjektifitas telah
membawa penekanan terhadap pentingnya kebebasan dan rasa tanggung jawab.
Di mana kebebasan dan rasa tanggung jawab tersebut hanya berlaku bagi
manusia, tidak terdapat pada benda-benda.
Eksistensialisme membedakan antara eksistensi dan esensi. Eksistensi
merupakan keadaan yang aktual, terjadi dalam ruang dan waktu, yang berarti
menunjukkan kepada “suatu benda yang ada disini dan sekarang”. Eksistensi
juga berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Sedangkan
esensi adalah sesuatu yang membedakan antar suatu benda dan corak-corak
benda lainnya. Esensi yang menjadikan suatu benda menjadi apa adanya. Jika

18 aA uNie Thea, “Manusia dalam Berbagai Perspektif”, diakses dari


http://aauniethea.blogspot.co.id/2011/11/manusia-dalam-berbagai-perspektif.html, pada tanggal 08
November 2011 pukul 00.44.

11
seseorang telah memahami ide atau konsep esensi suatu benda, maka sudah pasti
dapat memikirkannya tanpa memedulikan tentang adanya.
Jean Paul Sartre, merupakan salah satu tokoh eksistensialisme yang berasal
dari Prancis. Menurut Sartre, konsep yang berlaku umum bagi para eksistensialis
ialah “eksistensi mendahului esensi” (“Existence precedes essence”). Eksistensi
manusia mendahului esensinya berarti bahwa manusia bukanlah perwujudan
suatu konsepsi tertentu. Bagi Sartre, manusia tidak mempunyai “watak manusia”,
di mana watak tersebut merupakan konsepsi manusia yang dapat ditemukan di
dalam diri setiap orang. Jika terdapat suatu watak manusia, maka setiap orang
merupakan sebuah contoh suatu konsepsi universal, yaitu konsepsi manusia
universal, sehingga manusia yang tidak beradab yang hidup di hutan, manusia
sederhana, maupun manusia borjuis, semuanya mempunyai definisi dan kualitas
fundamental yang sama. Dengan demikian, bagi Sartre manusia belum bisa
didefinisikan sebelum bereksistensi, dalam arti manusia harus “mengada” untuk
menjadi apa yang diinginkan. Manusia harus membentuk dirinya terlebih dahulu,
baru kemudian dapat diketahui esensinya atau dapat didefinisikan.19

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia dalam
perspektif agama berbeda dengan hakikat manusia dalam perspektif filsafat. Hakikat
manusia dalam perspektif agama bukan sekedar ‘Homo Erectus Berkaki Dua’ yang
dapat berbicara dan berkuku lebar. Akan tetapi manusia menurut perspektif agama
Islam dapat kita lihat dari al-Qur’an dan al-hadist. Al-Qur’an menyebut manusia
dengan insan dan basyar. Dari insan dan basyar menunjukan dua dimensi manusia.
Kata insan menunjukan kepada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedang kata basyar
digunakan untuk menunjukan pada dimensi alamiah manusia, yang menjadi ciri
pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum dan kemudian mati.
Sedangkan hakikat manusia dalam perspektif filsafat ada 4 pandangan yaitu aliran
serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme. Aliran serba
zat menyatakan bahwa hakikat manusia adalah zat atau materi. Aliran serba ruh
mengatakan bahwa yang ada dalam manusia sebenarnya adalah ruh. Aliran dualisme
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk dualisme, terdiri dari ruh dan badan
(Zat). Aliran eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang menekankan eksistensi,
yaitu tentang cara manusia berada di dunia yang berbeda dengan benda.

19Diana Mella Yussafina, “Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Relevansinya dengan Moral
Manusia”, (Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2015), hlm., 5-7.

12
DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Hairus. “Filsafat Manusia : Studi Komparatif antara Abdurrahman Wahid dan
Murtadla Muthahhari”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 2014.

Farah, Naila dan Cucum Novianti. “Fitrah dan Perkembangan Jiwa Manusia dalam
Perspektif Al-Ghazali.” Yaqzhan. Vol. 2 No. 2, Desember 2016.

Nasrullah, Rully dan Abdul Mukti Rouf. Manusia: Dari Mana & Untuk Apa. Sidoarjo:
Mashnun, 2008.

Wahid, Abd. “Korelasi Agama, Filsafat, dan Ilmu.” Jurnal Substantia. Vol. 14 No. 2,
Oktober 2012.

Yunita, Desi. “Makalah Agama Hakikat Manusia Menurut Islam”,


https://desiyunita0628.wordpress.com/2015/02/17/makalah-agama-hakikat-
manusia-menurut-islam/. (diakses tanggal 17 Februari 2015).
Khasinah, Siti. “Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat.” Jurnal Ilmiah
DIDAKTIKA. Vol. XIII No. 2, Februari 2013.
A. Wiramihardja, Sutardjo. Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat, Logika dan
Filsafat Ilmu (Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi. Bandung: PT
Refika Aditama, 2009.

Widyawati, Setya. “Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pendidikan.”


Jurnal Seni Budaya. Vol. 11 No. 1, Juli 2013.

uNie Thea, aA. “Manusia dalam Berbagai Perspektif”,


http://aauniethea.blogspot.co.id/2011/11/manusia-dalam-berbagai-perspektif.html.
(diakses tanggal 08 November 2011).

Mella Yussafina, Diana. “Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Relevansinya dengan
Moral Manusia”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Walisongo. Semarang, 2015.

13

You might also like