Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Ririn Purwaningtyas 22020118220077
Annisa Ika Setyowati 22020118220078
Tadea Yasinta Wijaya 22020118220068
Ariza Widya Rahma 22020118220075
Alfiah Tri Hastutik 22020118220067
A. LATAR BELAKANG
Penurunan curah jantung merupakan suatu keadaan di mana pompa darah oleh
jantung yang tidak adekuat untuk mencapai kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan
curah jantung ini disebabkan akibat adanya gangguan pada jantung (Wilkinson & Ahern,
2016).
Penurunan curah jantung merupakan masalah serius pada gangguan fungsi
kardiovaskuler. Hal ini karena penurunan curah jantung secara patofisiologi dapat
menimbulkan dampak atau gangguan pada organ-organ vital diluar jantung sebagai akibat
defisit sirkulasi. Misalnya sirkulasi otak, paru, ginjal, hati, limpha dan jantung itu sendiri.
Kematian klien dapat terjadi karena kerusakan sel otak, edema paru, gagal ginjal, dan
gangguan fungsi hepar.
Untuk mengatasi masalah penurunan curah jantung, penatalaksanaan dan
managemen asuhan keperawatan harus dilakukan berlandaskan pendekatan pada fisiologis
curah jantung. Rencana keperawatan masalah ini seyogyanya dirumuskan berdasarkan
patofisologi curah jantung secara holistic, yang direpresentasikan melalui hasil akhir
keperawatan (Nursing Outcome).
Wilkinson dan Ahern (2016) menyebutkan ada lima Nursing Outcome Clasification
(NOC) penurunan curah jantung yaitu: 1) peningkatan keefektifan pompa jantung. 2) status
sirkulasi. 3) perfusi jaringan: organ-organ abdomen. 4) perfusi jaringan: peripher. 5) status
tanda-tanda vital normal. Dari urutan NOC diatas, keefektifan pompa jantung merupakan
NOC prioritas pertama dengan indikatornya meliputi: Tekanan darah (sistol dan diastol
normal), denyut jantung, Cardiac index, Fraksi ejeksi, toleransi terhadap aktivitas,
kekuatan nadi perifer, warna kulit, output urine, status kognitif, tidak didapatkan disritmia,
tidak ada suara jantung abnormal, tidak ada angina, dan tidak ada edema pulmoner (Ackley,
2017).
Jantung mempunyai fungsi utama yaitu untuk memompakan darah. Hal ini dapat
dilakukan dengan baik apabila kemampuan otot jantung untuk memompa cukup baik,
sistem katupnya sendiri serta irama pemompaan yang baik. Bila ditemukan
ketidaknormalan pada salah satu di atas maka akan mempengaruhi efisiensi pemompaan
dan kemungkinan dapat menyebabkan kegagalan memompa (Huddak & Gallo, 2010).
Apabila jantung tidak dapat mencukupi jumlah darah yang dibutuhkan, maka
mekanisme kompensasi akan bekerja, sehingga jantung akan tetap dapat mencukupi
kebutuhan jaringan. Namun, apabila jantung harus melakukan pekerjaan pada keadaan-
keadaan yang lebih sulit, mekanisme kompensasi ini tidak cukup untuk menanggulanginya.
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gagal jantung (Naga, 2012).
Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks yang ditandai oleh berkurangnya
kemampuan jantung untuk memompa darah sehingga output yang dihasilkan jantung tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik (Savarese & Lund, 2017). Gagal jantung
adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki tampilan
berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan
aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema
pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat (PERKI, 2015).
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan
prevalensi gagal jantung sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang (Kemenkes
RI, 2014). Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
tertinggi pada usia 65- 74 tahun. Risiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-
10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal
jantung berat (Kasron, 2012).
Hasil penelitian lainnya oleh Kumalasari (2013) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dari
48 pasien GJK yang dirawat di HCU dan ICU, tingkat kematian mencapai 92% dan hanya
8% yang pulang dari rumah sakit dengan kondisi lebih sehat.
Pada penderita gagal jantung kongestif perlu penanganan konservatif yang meliputi
usaha-usaha untuk meningkatkan curah jantung, mencegah kegagalan jantung lebih lanjut.
Dampak penyakit jantung pada pasien dapat terjadi komplikasi serius seperti syok
kardiogenik, episode trombo emboli, efusi pericardium dan tamponade pericardium, serta
merupakan ancaman kesehatan yang dapat menimbulkan kematian.
Berdasarkan data diatas maka kelompok tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan penurunan curah jantung pada pasien dengan diagnose medis Congestive
Heart Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi, Semarang. Kelompok
kami melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif yang didasarkan pada
pengkajian holistik untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara holistik demi
tercapainya taraf kesehatan yang optimal.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mendapatkan pengalaman secara nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung dengan
diagnosa medis Congestive Heart Failure (CHF)
2. Tujuan Khusus
a) Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan diagnosa keperawatan penurunan
curah jantung dengan diagnosa medis Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang
Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi, Semarang.
b) Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis Congestive Heart
Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi, Semarang.
c) Mampu merencanakan intervensi keperawatan pada klien dengan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis Congestive Heart
Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi, Semarang.
d) Mampu melaksanakan intervensi keperawatan yang telah direncanakan pada klien
dengan diagnosa diagnosa keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa
medis Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi,
Semarang.
e) Mampu mengevaluasi atas intervensi keperawatan yang telah dilakukan pada klien
dengan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis
Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi,
Semarang.
f) Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis Congestive Heart
Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi, Semarang.
g) Mampu menemukan kesesuaian atau perbedaan antara teori dan praktik asuhan
keperawatan pada klien dengan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung
dengan diagnosa medis Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra
RSUP dr. Kariadi, Semarang.
C. Manfaat
Penulisan laporan ini akan bermanfaat bagi:
1. Bagi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Hasil studi kasus ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit agar dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis Congestive Heart Failure
(CHF) secara lebih maksimal.
2. Bagi mahasiswa.
Hasil studi kasus ini dapat menjadi salah satu referensi bagi mahasiswa berikutnya
yang akan melakukan studi kasus pada asuhan keperawatan klien dengan diagnosa
diagnosa keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis Congestive
Heart Failure (CHF)
3. Bagi profesi kesehatan.
Hasil studi kasus ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan dan
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan diagnosa keperawatan penurunan curah jantung dengan diagnosa medis
Congestive Heart Failure (CHF) di Ruang Elang 1 Putra RSUP dr. Kariadi, Semarang.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Curah jantung adalah jumlah darah yang dapat dipompa oleh ventrikel tiap
menitnya. Terdapat 2 faktor penting yang berpengaruh terhadap curah jantung, yaitu
faktor jantung yang terdiri dari denyut jantung (heart rate) dan isi sekuncup (stroke
volume), sehingga curah jantung dapat dirumuskan dengan = SV x HR. Hal ini berarti
Stroke volume berbanding lurus dengan curah jantung (Ronny, Setiawan & Fatimah,
2008).
Penurunan curah jantung merupakan suatu keadaan dimana pompa darah oleh
jantung yang tidak adekuat untuk mencapai kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan
curah jantung disebabkan akibat adanya gangguan pada jantung (Wilkinson & Ahern,
2011). Herdman (2018) juga menjelaskan bahwa penurunan curah jantung merupakan
ketidakadekuatan pompa darah oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh.
B. BATASAN KARATERISTIK
Menurut Herdman, TH & Kamitsuru, S (2018), batasan karateristik dari
penurunan curah jantung yaitu :
1. Perubahan frekuensi atau irama jantung
a. Aritmia
b. Bradikardia
c. Perubahan EKG
d. Palpitasi
e. Takikardi
2. Perubahan preload
a. Penurunan tekanan vena sentral (central venous pressure, CVP)
b. Penurunan tekanan baji arteri paru (pulmonary artery wedge pressure, PAWP)
c. Edema
d. Keletihan
e. Peningkatan CVP
f. Peningkatan PAWP
g. Distensi vena jugular
h. Murmur
i. Peningkatan berat badan
3. Perubahan afterload
a. Kulit lembap
b. Penurunan nadi perifer
c. Penurunan resistansi vaskuler paru (pulmonary vascular resistance, PVR)
d. Penurunan resistensi vaskuler sistemik (systemic vascular resistance, SVR)
e. Dipsnea
f. Peningkatan PVR
g. Peningkatan SVR
h. Oliguria
i. Pengisian kapiler memanjang
j. Perubahan warna kulit
k. Variasi pada pembacaan tekanan darah
4. Perubahan kontraktilitas
a. Batuk
b. Crackle
c. Penurunan indeks jantung
d. Penurunan fraksi ejeksi
e. Penurunan left ventricular stroke work index (LVSWI)
f. Penurunan stroke volume index (SVI)
g. Orthopnea
h. Dipsnea paroksimal nocturnal
i. Bunyi S3
j. Bunyi S4
5. Perilaku/emosi
a. Ansietas
b. Gelisah
C. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
Menurut Satoto, H.H (2014) faktor yang berhubungan terkait penurunan curah
jantung meliputi :
1. Perubahan frekuensi atau irama jantung
Gangguam irama jantung (aritmia) ditandai dengan ketidakteraturan irama
dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650x/menit sehingga atrium
menghantarkan impuls terus menerus ke nodus AV. Atrial fibrilasi terjadi karena
meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium,
sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi).
Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke
ventrikel. Hal ini ditandai dengan heart rate yang sangat cepat sehingga gelombang
P di dalam EKG tidak dapat dilihat.
Perubahan irama jantung juga dapat disebabkan karena infark miokardium
yang timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium, sehingga
bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi berupa rekaman grafik
aktivitas listrik sel. Gangguan irama jantung dapat mengganggu konduksi jantung
yang menunjukkan adanya blok atau hambatan sehingga tertundanya penghantaran
impuls jantung yang abnormal dari SA Node, melalui bundle branch kiri atau kanan
ke sistem purkinje kemudian ke ventrikel. Blok dapat terjadi di beberapa titik di
sepanjang jalur sistem konduksi. Perkembangan heart block ini dihubungkan
dengan lambatnya frekuensi ventrikel, penurunan curah jantung dan meningkatkan
peluang terjadinya disritmia ventrikel lethal/ventrikuler standstill (henti ventrikel).
2. Perubahan volume sekuncup
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang disemburkan setiap denyut.
Curah jantung dapat dipengaruhi oleh perubahan volume sekuncup maupun
frekuensi jantung. Tiga variabel yang mempengaruhi volume sekuncup yaitu
preload, afterload, dan kontraktilitas jantung (EF= SV/EDV).
- Preload : setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding lurus dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung
- Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung serta
kadar kalsium
- Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan
arteriole (Harbani dan Anwar, 2007).
Apabila individu melakukan aktivitas yang tidak teratur akan mengakibatkan
peningkatan volume sekuncup, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
curah jantung. Peningkatan volume sekuncup tersebut terjadi karena ventrikel
mengalami penurunan preload (EDV yang kurang untuk dipompakan). Untuk
menurunkan curah jantung tersebut maka jantung mengalami penurunan heart rate
sebagai kompensasinya.
3. Perubahan preload
Preload merupakan akhir volume diastolic, saat ventrikel terisi darah maka
ventrikel meregang. Semakin besar regangan pada ventrikel, semakin besar pula
kontraksi dan semakin besar volume sekuncup. Apabila preload yang berlebihan
dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic overload) akan menyebabkan volume
dan tekanan pada akhir diastolic dalam ventrikel meninggi. Kegagalan ventrikel
dapat menyebabkan kemacetan dari kapiler sistemik yang cenderung
mengakibatkan pengumpulan darah yang mengalir ke bagian kanan jantung dan
menghasikan akumulasi cairan dalam tubuh berlebihan. Hal ini sesuai dengan
prinsip Frank Starling “curah jantung mula-mula akan meningkat sesuai dengan
besarnya regangan otot jantung, tetapi bila beban terus bertambah sampai
melampaui batas tertentu, maka akan terjadi suatu fase yang akan menimbulkan
efek negatif, yaitu curah jantung justru akan menurun”.
4. Perubahan afterload
Afterload adalah beban jantung untuk berkontraksi memompa darah.
Komponen utama afterload adalah resistensi aliran darah yang diciptakan oleh
sirkulasi sistemik, dengan otot arteri dan arteriol yang berperan utama memberikan
resistensi vascular. RV (right ventrikel) merupakan ruang jantung berdinding tipis,
berfungsi pada tekanan dan kebutuhan oksigen yang rendah. Karena RV merupakan
pompa darah dengan tekanan rendah, maka kontraktilitasnya sangat tergantung
pada tekanan diastolik. Ketika kontraktilitas dan fungsi diastolik terganggu akibat
infark RV, maka curah RV akan menurun secara dramatik, tekanan diastolik RV
meningkat secara substansial dan tekanan sistolik turun. Kenaikan tekanan diastolik
RV diikuti oleh kenaikan tekanan atrium kanan dan kongesti vena sistemik. Jika
disfungsi RV juga diikuti oleh disfungsi LV, maka terjadi peningkatan beban akhir
(afterload) RV yang akan memperburuk kondisi RV (Rampengan & Antono,
2007). Dengan adanya peningkatan afterload dapat menyebabkan menurunnya
curah jantung dan isi sekuncup. Akibatnya terjadi refleks peningkatan resistensi
vaskular sistemik antara lain dengan peningkatan simpatis dan katekolamin yang
bersirkulasi. Hal ini kemudian akan memperkecil curah jantung. Sebaliknya,
berkurangnya afterload akan meningkatkan curah jantung.
5. Perubahan kontraktilitas
Curah jantung dapat meningkat atau menurun akibat gaya-gaya yang bekerja
secara intrinsik di jantung. Kontrol intrinsik curah jantung ditentukan oleh panjang
serat serat otot jantung. Apabila serat-serat otot jantung diregangkan sampai batas
tertentu, maka kontraktilitas atau kemampuan jantung untuk memompa akan
meningkat. Peningkatan kontraktilitas akan meningkatkan kekuatan setiap denyut
sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan curah jantung. Penurunan
peregangan serat-serat otot menyebabkan kontraktilitas dan kekuatan setiap
denyutan berkurang. Berkurangnya volume sekuncup menyebabkan penurunan
curah jantung.
D. PATOFISIOLOGI (Udjianti , 2010)
E. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Menurut Mutaqqin (2009) pengkajian pada klien dengan gangguan kardiovaskular
meliputi :
a. Pengkajian
CHF adalah suatu sindrom klinis yang ditandai oleh sejumlah gejala dan tanda,
serta disebabkan oleh berbagai kelainan jantung seperti gangguan irama jantung,
gangguan endokardial, perikardial, vulvuar atau miokardial. Kelainan miokardium dapat
bersifat sistolik (berhubungan dengan kontraksi dan pengosongan ventrikel), diastolik
(berhubungan dengan relaksasi dan pengisian ventrikel) atau kombinasi keduannya.
b. Keluhan utama
Kelemahan saat beraktivitas dan sesak napas
c. Riwayat Penyakit Saat Ini
- P : kelemahan fisik terjadi setelah melakukan aktivas ringan sampai berat, sesuai
derajat gangguan pada jantung (liat klasifikasi gagal jantung)
- Q : Seperti apa keluhan dalam melakukan aktivitas yang dirasakan atau digambar
klien. Biasanya setiap beraktivitas klien merasakan sesak nafas (dengan menggunakan
alat atau otot bantu pernafasan)
- R : Apakah kelemahan fisik bersifat lokal atau mempengaruhi keseluruhan sistem otot
rangka dan apakah disertai ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan
- S : Kaji rentang kemampuan klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Biasanya
kemampuan klien dalam beraktivitas menurun sesuai derajat gangguan perfusi dialami
organ
- T : keluhan kelemahan beraktivitas biasanya timbul perlahan. Lama timbulnya
(durasi) kelemahan saat beraktivitas biasanya setiap saat, baik saat istirahat maupun
beraktivitas
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung dikaji dengan menanyakan apakah sebelumnya klien
pernah menderita nyeri dada, hipertensi, iskemi miokardium, diabetes melitus, dan
hiperlipidemia. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa diminum oleh klien pada
masa yang lalu dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Obat-obatan yang biasa
diminum meliputi obat diuretik, nitrat, penghambat beta, serta antihipertensi. Catat
adanya efek samping yang terjadi di masa lalu, alergi obat, dan reaksi alergi yang timbul.
e. Riwayat keluarga
Menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami oleh keluarga, anggota
keluarga yang meninggal terutama pada usia produktif, dan penyebab kematiannya.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda merupakan
faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik pada keturunannya.
f. Riwayat Pekerjaan dan Pola Hidup
Menanyakan situasi tempat klien bekerja dan lingkungannya. Kebiasaan sosial
dengan menanyakan kebiasaan dan pola hidup misalnya minum alkohol atau obat
tertentu. Kebiasaan merokok dengan menanyakan tentang kebiasaan merokok, sudah
berapa lama, berapa batang per hari, dan jenis rokok. Disamping itu data biografi juga
perlu diketahui yaitu dengan menanyakan nama, usia, jenis kelamin, tempat tinggal,
suku, dan agama yang dianut.
g. Pengkajian Psikososial
Perubahan integritas ego yang ditemukan pada klien adalah klien menyangkal,
takut meninggal, perasaan ajal sudah dekat, marah terhadap penyakitnya, cemas tentang
keluarga, pekerjaan, dan keuangan. Kondisi ini ditandai dengan menolak, menyangkal,
semas, kurang kontak mata, gelisah, dan marah. Interaksi sosial dikaji terhadap adanya
stres karena keluarga, pekerjaan, kesulitan biaya ekonomi, dan kesulitan koping dengan
stresor yang ada. Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi
jaringan, stres akibat kesulitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi
dengan baik.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien biasanya baik atau composmentis
dan akan berubah sesuai tingkat gangguan perfusi sistem saraf pusat.
2) B1 (Breathing)
Kongesti Vaskular Pulmonal
Gejala-gejala kongesti vaskular pulmonal adalah dispnea, ortopnea, dispnea
nokturnal paroksimal, batuk, dan edema pulmonal akut
Dispnea
Dispnea dikateristikan dengan pernafasan cepat, dangkal, dan keadaan yang
menunjukkan bahwa klien sulit mendapatkan udara yang cukup. Terkadang klien
mengeluhkan adanya insomnia, gelisah, atau kelemahan
Ortopnea
Ortopnea adalah keluhan umum lain dari gagal ventrikel kiri yang berhubungan
dengan kongesti vaskular pulmonal. Perawat harus memastikan apakah ortopnea benar
disebabkan berhubungan dengan penyakit jantung atau apakah peninggian kelapa saat
tidur adalah kebiasaan dari klien
Dispnea Nokturnal Paroksismal
DNP adalah keluhan yang dirakan klien ketika terbangun ditengah malam karena
mengalami nafas pendek yang hebat. DNP disebabkan oleh perpindahan cairan dari
jaringan kedalam intravaskular sebagai akibat posisi terlentang. Pada siang hari, saat
klien melakukan aktivitas, tekanan hidrostatik vena meningkat khususnya bagian bawah
tubuh karena adanya gravitasi, peningkatan volume cairan, dan peningkatan tonus
sismpatetik. Adanya peningkatan tekanan hidrostatik ini sejumlah cairan keluar masuk
ke area jaringan secara normal. Namun dengan posisi terlentang tekanan pada kapiler-
kapiler dependen menurun dan cairan diserap kembali kedalam sirkulasi. Peningkatan
volume cairan dalam sirkulasi akan memberikan jumlah tambahan darah yang dialirkan
ke jantung untuk dipompa tiap menit (peningkatan beban awal) dan memberikan beban
tambahan pada dasar vaskular pulmonal yang telah mengalami kongesti.
Batuk
Batuk iritatifadalah salah satu gejala dari kongesti vaskular pulmonal yang sering
tidak menjadi perhatian tetapi dapat merupakan gejala dominan. Batuk ini dapat
produktif namun biasanya kering dan batuk pendek. Gejala ini dihubungkan dengan
kongesti mukosa bronkial dan berhubungan dengan peningkatan produksi mukus.
Edema Pulmonal
Edema pulmo terjadi bila tekanan kapiler pulmonal melebihi tekanan yang
cenderung mempertahankan cairan di dalam saluran vaskular. Pada tekanan ini terjadi
transduksi cairan ke dalam alveoli, namun sebaliknya tekanan ini akan menurunkan
tersediannya area untuk transpor oksigen dan karbondioksida dari darah dalam kapiler
pulmonal.
3) B2 (Blood)
Inspeksi : tentang adanya parut pada dada, keluhan kelemahan fisik, dan adanya
edema ekstermitas
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah. Thrill biasannya ditemukan
Auskultasi : Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup.
Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya ditemukan pada klien dengan
gagal jantung yang diakibatkan kelainan katup
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya hipertrofi
jantung (kardiomegali)
Selain itu pada pemeriksaan B2 ditemukan pula :
Disritmia : Respon awal jantung terhadap stres, sinus takikardia mungkin dicurigai
dan sering ditemukan pada pemeriksaan klien dengan kegagalan pompa jantung
Distensi Vena Jugularis : Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi terhadap
kegagalan ventrikel kiri akan terjadi dilatasi dari ruang ventrikel, peningkatan volume,
dan tekanan diastolik akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel, dan
peningkatan lanjut pada tekanan atrium kanan. Peningkatan tekanan ini akan
diteruskan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan peningkatan pada tekanan
vena jugularis.
Kulit dingin : Kegagalan arus darah ke depan pada ventrikel kiri menimbulkan tanda-
tanda yang menunjukkan berkurangnya perfusi ke organ-organ, karena darah
dialihkan dari organ nonvital ke organ vital contohnya jantung dan otak untuk
mempertahankan perfusinya. Maka manifestasi paling awal yaitu berkurangnya
perfusi oragn-organ misalnya kulit dan otot rangka. Kulit tampak pucat dan terasa
dingin karena pembuluh darah perifer mengalami vasokontriksi dan kadar hemoglobin
yang tereduksi meningkat, sehingga terjadi sianosis.
Perubahan nadi : Denyut jantung yang cepat atau takikardi mencerminkan respon
terhadap perangsangan saraf simpatik. Sedangkan penurunan nadi disebabkan karena
adanya penurunan yang bermakna dari volume sekuncup dan adanya vasokontriksi
perifer akan mengurangi tekanan nadi
4) B3 (Brain)
Pengkajian objektif klien meliputi wajah meringis, menangis, merintih, meregang,
dan menggeliat
5) B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urin selalu dihubungkan dengan intake cairan. Perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena merupakan tanda awal dari syok kardiogenik.
Adanya edema ekstermitas menunjukkan adanya resistensi cairan yang parah.
6) B5 (Bowel)
Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam
pembuluh portal meningkat sehingga cairan terdorong masuk ke rongga abdomen atau
asites. Penumpukan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan
pada diafragma sehingga klien dapat mengalami distres pernafasan
Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena di dalam rongga abdomen
7) B6 (Bone)
Edema merupakan sebagai tanda adanya gagal ventrikel kanan. Bila edema tampak
dan berhubungan dengan kegagalan ventrikel kanan, maka jika klien berdiri edema
akan ditemukan pada pergelangan kaki dan terus berlanjut ke bagian atas tungkai. Bila
klien dalam posisi berbaring di tempat tidur bagian tubuh yang mengalami edema
adalah sakrum
Mudah lelah dikarenakan curah jantung yang berkurang sehingga menghambat
sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan serta dapat menghambat pembuangan
sisa hasil katabolisme. Dapat juga terjadi karena meningkatnta energi yang digunakan
untuk bernafas. Perfusi yang kurang pada otot rangka menyebabkan kelemahan dan
keletihan
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Brunner & Suddrath (2013), pemeriksaan penunjang meliputi :
1. EKG
Menunjukan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan tipe/ sumber
gangguan irama jantung dan efek ketidakseimbangan elektrolit.
2. Monitor Holter
Gambaran EKG 24 jam mungkin diperlukan untuk menentukan dimana gangguan
irama jantung timbul.Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/
efek obat antidisritmia
3. Rontgen dada
Dapat menunjukan pembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi
ventrikel/ katup
4. Scan pencitraan miokard
Dapat menunjukan area iskemik/ kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi
konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa
5. Elektrolit
Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium, dan magnesium dapat menyebabkan
gangguan irama jantung
6. Enzim jantung
Meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,missal infark miokard
(Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim
LDH).
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas, perubahan
irama jantung/frekuensi, perubahan preload/afterload
2. Nyeri akut berhubungan dengan kurangnya suplai darah ke miokardium, perubahan
metabolisme, peningkatan produksi asam laktat
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perembesan cairan, kongesti paru
akibat perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan intertestial
4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan cairan sistematis, perembesan
cairan interstitial di sistemik akibat penurunan curah jantung
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen ke
jaringan
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut Bulechek, M.G dkk (2013) intervensi keperawatan yang bisa dilakukan meliputi
:
1. Manajemen jalan nafas
- Lakukan fisioterapi dada
- Buang sekret dengan memotivasi klien untuk batuk atau menggunakan suction
- Instruksikan untuk batuk efektif
- Auskultasi suara nafas
- Posisikan 450 untuk mengurangi sesak nafas
2. Manajemen Jantung : Rehabilitatif
- Monitor tanda-tanda vital klien
- Monitor EKG
- Monitor hasil pemeriksaan radiologi foto X Thoraks
- Lakukan penilaian komperhensif pada sirkulasi perifer (edema, CRT, warna dan
suhu ekstermitas)
3. Manjemen Elektrolit
- Monitor nilai serum elektrolit yang abnormal
- Pertahankan kepatenan akses IV
- Konsultasikan dengan dokter terkait pemberian elektrolit dengan sedikit obat-obatan
(Misalnya spironolactone)
- Ambil spesimen sesuai order (misalnya ABG, urin, dan level serum)
- Kolaborasi dengan gizi mengenai diet yang sesuai (misalnya kaya pottasium, rendah
sodium)
4. Monitor Cairan
- Monitor hasil elektrolit
- Batasi cairan klien
- Monitor cairan yang masuk
- Monitor cairan yang keluar
- Monitor balance cairan setiap hari
I. PENGKAJIAN
Tanggal Masuk RS : 18 April 2019, Jam 08.15 WIB
Tanggal Masuk Bangsal : 19 April 2019, Jam 09.40 WIB
Tanggal Pengkajian : 19 April 2019, Jam 11.00 WIB
V. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
1. Status Psikologis : Klien tidak mau ditunggui selain oleh istrinya.
2. Status Mental : Tidak terdapat masalah perilaku klien, klien dalam
keadaan normal.
3. Status Sosial : Hubungan klien dengan anggota keluarganya baik.
Klien selalu ditemani isterinya sedangkan anaknya sedang
bekerja.
4. Pengkajian HARS (Hamilton Rating Scale For Anxiety)
NO PERNYATAAN 0 1 2 3 4
1 Perasaan Ansietas
Cemas
Firasat Buruk √
Takut Akan Pikiran Sendiri
Mudah Tersinggung
2 Ketegangan
Merasa Tegang
Lesu
Tak Bisa Istirahat Tenang
√
Mudah Terkejut
Mudah Menangis
Gemetar
Gelisah
3 Ketakutan √
NO PERNYATAAN 0 1 2 3 4
Pada Gelap
Pada Orang Asing
Ditinggal Sendiri
Pada Binatang Besar
Pada Keramaian Lalu Lintas
Pada Kerumunan Orang Banyak
4 Gangguan Tidur
Sukar Masuk Tidur
Terbangun Malam Hari
Tidak Nyenyak
√
Bangun dengan Lesu
Banyak Mimpi-Mimpi
Mimpi Buruk
Mimpi Menakutkan
5 Gangguan Kecerdasan
Sukar Konsentrasi √
Daya Ingat Buruk
6 Perasaan Depresi
Hilangnya Minat
Berkurangnya Kesenangan Pada Hobi
√
Sedih
Bangun Dini Hari
Perasaan Berubah ubah Sepanjang Hari
7 Gejala Somatik (Otot)
Sakit dan Nyeri di Otot-Otot
Kaku
√
Kedutan Otot
Gigi Gemerutuk
Suara Tidak Stabil
8 Gejala Somatik (Sensorik)
Tinitus
Penglihatan Kabur
Muka Merah atau Pucat √
Merasa Lemah
Perasaan ditusuk
Tusuk
9 Gejala Kardiovaskuler
Takhikardia
Berdebar
Nyeri di Dada
Denyut Nadi Mengeras √
Perasaan Lesu/Lemas Seperti Mau
Pingsan
Detak Jantung Menghilang (Berhenti
Sekejap)
10 Gejala Respiratori
Rasa Tertekan atau Sempit Di Dada
Perasaan Tercekik √
Sering Menarik Napas
Napas Pendek/Sesak
11 Gejala Gastrointestinal
Sulit Menelan √
Perut Melilit
NO PERNYATAAN 0 1 2 3 4
Gangguan Pencernaan
Nyeri Sebelum dan Sesudah Makan
Perasaan Terbakar di Perut
Rasa Penuh atau Kembung
Mual
Muntah
Buang Air Besar Lembek
Kehilangan Berat Badan
Sukar Buang Air Besar (Konstipasi)
12 Gejala Urogenital
Sering Buang Air Kecil
Tidak Dapat Menahan Air Seni
Amenorrhoe
Menorrhagia √
Menjadi Dingin (Frigid)
Ejakulasi Praecocks
Ereksi Hilang
Impotensi
13 Gejala Otonom
Mulut Kering
Muka Merah
√
Mudah Berkeringat
Pusing, Sakit Kepala
Bulu-Bulu Berdiri
14 Tingkah Laku Pada Wawancara
Gelisah
Tidak Tenang
Jari Gemetar
Kerut Kening √
Muka Tegang
Tonus Otot Meningkat
Napas Pendek dan Cepat
Muka Merah
SKOR TOTAL 18
Total Skor :
< 14 = tidak ada kecemasan 14 – 20 = kecemasan ringan
21 – 27 = kecemasan sedang 28 – 41 = kecemasan berat
42 – 56 = kecemasan berat sekali
Kesimpulan : skore 18 kecemasan ringan
b. Bawah
Inspeksi : Sebaran kulit merata, tidak ada luka, Klien mengalami keterbatasan
rentang gerak. Mengalami kesulitan berjalan karena kakinya bengkak (
edeme)
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, CRT > 2 detik, terdapat
edema dengan pitting edema derajat II
Kekuatan otot :
Dekstra Sinistra
3333 3333
Keterangan :
1= tidak ada pergerakan otot
2 = Pergerakan otot yang dapat terlihat, namun tidak ada pergerakan sendi
3= Pergerakan melawan gravitasi, namun tidak melawan tahanan
4= Pergerakan melawan tahanan, namun kurang dari normal
5= (Mampu menggerakkan persendian dalam lingkup gerak penuh, mampu
melawan gaya gravitasi, mampu melawan dengan tahan penuh).
Gatal Tidak ada ruam gatal di kulit Tidak ada ruam dan gatal di
kulit
3. Kebutuhan Istirahat dan Tidur
Parameter Sebelum sakit Saat sakit
Frekuensi ± 8 jam dalam sehari (24 ± 7 jam dalam sehari (24
jam) jam)
Kualitas Nyenyak, tidak mudah Tidur nyenyak dan tidak
terbangun mudah terbangun
Gangguan Tidak mengalami Tidak mengalami
gangguan saat tidur gangguan saat tidur
Obat-obatan Tidak menggunakan obat Tidak menggunakan
tidur obat tidur
Saat Pengkajian
A (Antropometri) - BB : 70 kg TB : 166 cm
5. Kebutuhan Oksigenasi
Sebelum sakit :
Tn. T mengatakan bahwa tidak mempunyai keluhan sesak nafas sebelum sakit
Selama sakit :
Tn. T mengatakan bahwa ia merasa sesak nafas namun hilang timbul
RR= 22 x/ menit
Tidak ada cuping hidung
Tidak terdapat retraksi dinding dada
CRT > 2 detik
6. Kebutuhan Eliminasi
a. BAB
Parameter Sebelum sakit Saat pengkajian
Frekuensi 1x sehari Terakhir BAB pada
tangal 17/4/19
Jumlah 100 cc ± 100 cc
Konsistensi Lembek Cair
Keluhan Tidak ada keluhan BAB sangat sedikit
Warna Kuning Kuning cair
Bau Bau khas feses Bau khas feses campur
obat
Darah Tidak ada darah yang Tidak ada darah yang
keluar keluar
b. BAK
Parameter Sebelum sakit Saat pengkajian
Frekuensi 6-8x sehari Tidak terpasang DC
Jumlah 1200 cc 1000 cc
Konsistensi Cair Cair
Keluhan Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Warna Kuning keputihan Kuning
Bau Bau khas urine Bau khas urine
bercampur obat
Darah Tidak ada darah Tidak ada darah
8. Kebutuhan Termoregulasi
Sebelum sakit:
Tn. T mengatakan bahwa jika ia kepanasan maka mengenakan baju yang berbahan
dasar katun atau baju tipis. Namun apabila kedinginan maka ia menggunakan
selimut dan baju lengan panjang.
Saat sakit:
Suhu: 36,5o C
Tn. T tidak mengalami kenaikan suhu
Identitas diri Tn. T mengatakan bahwa ia adalah seorang suami dan bapak
bagi istri dan anaknya.
Harga diri Tn. T jarang berkomunikasi dengan pasien lainnya karena lemas
dan hanya bisa berbaring di atas tempat tidur.
Kesimpulan :
Jungtion Ritme
frekuensi 60 x/menit
axis jantung : Left Axis Deviation
Left Ventrikel Hipertrofi.
Left Atrial Hipertrofi
Dilatasi Kardiomiopati
2. Echocardiography
Hasil Pemeriksaan :
Ejeksi fraksi 11%
Kesimpulan :
Kesan :
Kardiomegali (LV, LA)
Gambaran edema pulmo, curiga disertai infiltrat pada lapangan bawah paru kanan
Efusi pleura kanan
21/4/2019 1,2,3 11.35 Mengkaji keadaan umum klien S: Klien mengatakan klien merasa lemas, sesak Team
Monitor Tanda-Tanda Vital napas
O: klien composmentis GCS 15 (E4M5V6), klien
terpasang nasal kanul 3 L, TTV : TD: 140/90
mmHg, HR: 66x, RR: 22x, S: 36oC, CRT > 2
detik
1,3 11.40 Mengkaji status sirkulasi pasien S: Klien mengatakan klien merasa lemas, sesak Team
Mengkaji status pernapasan klien napas
O: klien tampak pucat, akral dingin, klien terpasang
nasal kanul 3 L, RR: 22x, CRT >2 detik,
auskultasi paru ronkhi basah halus
2 11.45 Monitor intake dan output klien S: klien mengatakan lemas Team
O: klien terpasang infus RL 8 tpm di tangan kanan,
klien terpasang terapi obat furosemide melalui
syringe pump, intake : 500 ml, output : 800 ml
1 12.00 Memberikan terapi obat per oral S: Team
(clepidogrel, atorvastatin, candasartan, O : tidak ada tanda infeksi dan alergi setelah
aspilet) diberikan obat.
4 14.00 Memberikan terapi obat per oral S: Team
(salbutamol) O : tidak ada tanda infeksi dan alergi setelah
Mengatur posisi nyaman untuk klien diberikan obat, klien mengatakan merasa lebih
nyaman
(semi fowler)
1,2,3 17.45 Mengkaji keadaan umum klien S: Klien mengatakan klien merasa lemas, sesak Team
Monitor Tanda-Tanda Vital napas
O: klien composmentis GCS 15 (E4M5V6), klien
terpasang nasal kanul 3 L, TTV : TD: 140/90
Diagnosa
Tanggal Keperawatan
Jam Tindakan Keperawatan Hasil (Evaluasi Formatif) TTD
mmHg, HR: 66x, RR: 22x, S: 36oC, CRT > 2
detik
1. PENGKAJIAN
Tn. T adalah klien yang didiagnosa Congestive Heart Failure (CHF) NYHA III e.c
DCM. Pada tanggal 18 April 2019, klien dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi karena kondisi klien
tidak mengalami perubahan selama di rawat di RS Ambarawa selama satu minggu. Tn. T
masuk melalui IGD dan langsung diberikan penanganan berupa pemeriksaan serta
pemasangan infus Nacl 0,9% dengan kecepatan 8 tpm, pemberian terapi oksigen nasal kanul
3 liter. Setelah itu ditransfer ke ruang Elang I Putra pada jam 09.00 WIB. Hasil pengkajian
menunjukan TD: 140/90, HR : 64 x/menit, RR : 22x/menit, suhu: 36,5 oC, dan klien tidak
mengeluh nyeri. Klien mengatakan badannya lemas dan lemah. Klien juga mengeluh sesak
napas.
Pada hasil pemeriksaan fisik klien terlihat pucat, konjungtiva anemis, akral teraba
dingin, diaphoresis, CRT > 2 detik, terdapat asites, terdapat edema derajat dua pada
ekstremitas bawah kanan dan kiri, balance cairan + 800 cc, IMT 25,5 (overweight), mukosa
bibir kering. Pada pemeriksaan dada dan paru mendapat hasil bahwa taktil fremitus kanan
lebih redup dari kiri, terdengar suara napas tambahan ronchi basah halus. Pada pemeriksaan
jantung terlihat ictus cordis pada intercostal V midclavikula sinistra bergeser ke kiri 5 cm,
teraba pembesaran jantung bawah yaitu intercostal V midclavikula sinistra bergeser ke kiri 5
cm.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang elektrokardiogram pada tanggal 18 April
2018 menunjukkan hasil bahwa klien mengalami right ventrikel hipertrofi, dilatasi
kardiomiopati, dan left axis deviation, dan irama irregular. Hasil echocardiography juga
menunjukkan bahwa Ejeksi fraksi hanya 11%. Foto thoraks pada tanggal 18 April 2019,
didapatkan hasil COR : apeks jantung bergeser ke laterocaudal dengan kesan kardiomegali
(LV, LA), dan efusi pleura kanan. Hasil BGA juga menyebutkan bahwa klien mengalami
asidosis metabolic terkompensasi penuh, hasil pemeriksaan hematologi 17 April 2019
menunjukkan bahwa HDL klien rendah yang mengindikasikan adanya peningkatan
penyumbatan arteri coroner oleh LDL.
CHF atau Gagal Jantung Kongestif (GJK) adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan
nutrisi (Brunner & suddarth, 2013). Tanda gejala yang khas pada gagal jantung adalah
kelelahan, edema tungkai, sesak napas saat istirahat atau aktivitas, ronkhi paru, efusi pleura,
kardiomegali, dan murmur jantung. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan GJK
adalah dyspnea, takikardi, kelelahan, intoleransi aktifitas, retensi cairan, penurunan kadar
oksigen darah arteri, edema paru, edema perifer, ketidaknyamanan, dan gangguan pola tidur
(Yancy et al., 2013).
Doengus (2010), menjelaskan bahwa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada
klien CHF adalah penurunan curah jantung berhubungan perubahan kontraktilitas miokard,
gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveoli,
kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
2. Masalah Keperawatan Klien
a. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan Perubahan Kontraktilitas
Miokard
Penurunan curah jantung adalah tidak adekuatnya suplai darah yang dipompa
jantung guna memenuhi kebutuhan tubuh dari metabolik, yang biasanya sering
ditemukan pada penderita penyakit jantung seperti Congesive Heart Failure dimana
penyakit ini ditandai dengan kerusakan struktur atau fungsi jantung sehingga
kemampuan pengisian dan pemompaan ventrikel menjadi terganggu. Risiko CHF akan
meningkat pada lansia karena penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat
menjadi kronik apabila disertai dengan penyakit-penyakit lain seperti hipertensi,
penyakit jantung katup, kardiomiopati, penyakit jantung koroner, dan lain-lain.
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik
pada jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang
akibat penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat,maka volume dan
tekanan pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan
meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu
sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi
ventrikel. (Rampengan, 2013)
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan
arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan
humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi
miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan volume darah
sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi - adaptasi ini
dirancang untuk meningkatkan cardiac output ,adaptasi itu sendiri dapat mengganggu
tubuh. Oleh karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat
memacu terjadinya iskemia pada pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan
peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.(Satoto, 2014)
Berdasarkan pengkajian kepada pasien diperoleh data yang menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan tekanan darah dikarenakan perubahan kontraktilitas miokard
sehingga mengakibatkan tekanan darah sebesar 140/90 mmHg, nadi 64 x/menit, Akral
dingin, CRT > 2 detik yang diakibatkan oleh penurunan kontraktilitas otot jantung
sehingga darah yang membawa oksigen tidak sampai ke jaringan perifer.
Adapun pemeriksaan penunjang yang mendukung penegakan diagnose
keperawatan penurunan curah jantung adalah pemeriksaan Electrokardiograf yang
digunakan sebagai modalitas pencitraan, Ekokardiografi dua dimensi (2-D) diperlukan
untuk evaluasi awal pada pasien yang diketahui atau dicurigai gagal jantung. Fungsi
ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer atau sekunder bisa dinilai dengan
akurat. (Rinaldi, Herlambang, & Novitasari, 2010) hasil EKG terbaca Irama jungtion
ritme, frekuensi 60 x/menit, Axis jantung : Left Axis Deviation, Left ventrikel hipetrofi
dan right vnntrikel hipertrofi, Dilatasi Kardiomiopati.
Pemeriksaan foto thoraks : COR : Apeks jantung bergeser ke laterocaudal, dan
kesan Kardiomegali yaitu terdapat pembesaran jantung di atrium kanan dan kiri. Hasil
pemeriksaan lab mengatakan bahwa HDL ( kolesterol baik ) mengalami penurunan yaitu
32 mg/dL hal ini menandakan bahwa terjadi ateroskelrosis.
b. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan Kelebihan Asupan Cairan
Hasil pengkajian yang telah dilakukan pada Tn. T ditemukan diagnosa lain yaitu
kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan. Kelebihan
volume cairan merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan asupan dan retensi cairan
dalam tubuh (Herdman T.H, 2018). Penegakkan diagnosa ini didukung oleh data subjektif
dimana klien mengeluh perut dan kakinya bengkak sejak 1 bulan lalu dan lemas ketika
beraktivitas. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung yaitu BB: 70 kg, TB: 166 cm,
IMT: 25,5 (Overweight), Balance Cairan: +800 cc, tampak asites, dan edema pada kedua
ekstermitas bawah klien dengan pitting edema derajat II. Hasil pemeriksaan foto thoraxs
klien mengalami efusi pleura.
Penyebab kelebihan volume cairan pada pasien dikarenakan beban pengisian
preload dan beban afterload di ventrikel mengalami dilatasi atau hipertrofi
memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga
curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis
sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan
meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung yang berlebihan dapat menimbulkan
curah jantung menurun, sehingga terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui
pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar aliran balik vena ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir
diastolik dan menaikan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan
redistribusi cairan tubuh merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh. Bila semua kemampuan
makanisme kompensasi jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan
sirkulasi darah dalam tubuh belum juga terpenuhi maka terjadilah keadaan gagal jantung
(Price, 2005).
Pendapat lain menyatakan bahwa gagal jantung kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastol dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam
ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk
mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan
rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus
berlanjut maka bendungan akan terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya
edema paru atau efusi pleura dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya
tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan
bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkulasi paru. Bila beban pada
ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan untuk
melakukan kompensasi dengan mengalami hipertrofi dan dilatasi sampai batas
kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung
kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri dan kanan (Smeltzer, 2002).
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya
pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal
jantung kiri. Menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir diastol
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya
mengisi ventrikel kanan pada waktu diastol, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan
dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior kedalam jantung
sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena sistemik tersebut
(bendungan pada vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus
berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang berat dengan akibat timbulnya edema
tumit dan tungkai bawah dan asites (Neal, J.M, 2006).
c. Hambatan Pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-
kapiler
Hambatan pertukaran gas merupakan kondisi kelebihan atau defisit oksigenasi dan
atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolar-kapiler (Herdman, 2018). CHF
mengakibatkan kegagalan fungsi pulmonal sehingga terjadi penimbunan cairan di alveoli.
Hal ini menyebabkan jantung tidak dapat berfungsi dengan maksimal dalam memompa
darah. Dampak lain yang muncul adalah perubahan yang terjadi pada otot-otot respiratori.
Hal-hal tersebut mengakibatkan suplai oksigen ke seluruh tubuh terganggu sehingga
terjadi dyspnea (Wendy, 2010).
Penimbunan cairan di alveoli dapat disebabkan karena ventrikel kiri tidak mampu
pemompaan darah sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir
diastol dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat.
Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri
pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium
kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran
masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut maka
bendungan akan terjadi dalam paru-paru (Smeltzer, 2002).
Penegakan diagnosa hambatan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alveolar-kapiler dapat ditegakkan berdasarkan data subjektif bahwa klien
mengatakan sesak napas. Berdasarkan data objektif juga ditemukan bahwa hasil
pemeriksaan analisa gas darah yaitu asidosis metabolik terkompensasi penuh. Analisa gas
darah penting untuk dilakukan karena berperan dalam menentukan seberapa baik paru-
paru dalam bekerja memindahkan oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon
dioksida dari darah. Ketidakseimbangan antara oksigen, karbon dioksida, dan tingkat pH
darah dapat mengindikasikan adanya suatu penyakit atau kondisi medis tertentu seperti
gagal jantung atau gagal ginjal (Manokharan, 2017).
Asidosis metabolik didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi serum bikarbonat
(HCO3) yang sering dikaitkan dengan penurunan pH darah. Kondisi ini dapat disebabkan
karena kapasitas ginjal yang berkurang dalam mensintesis amonia (NH3) dan
mengeluarkan ion hidrogen (H+). Kompensasi umumnya terdiri dari kombinasi
mekanisme resporatorik dan ginjal, ion hidrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat
membentuk molekul CO2 yang dieliminasi di paru, sementara itu ginjal mengupayakan
ekskresi ion hidrogen ke urin dan memproduksi ion bikarbonat yang dilepaskan ke cairan
ekstrasel. Kadar ion HCO3- normal adalah 24 mEq/L dan kadar normal pCO2 adalah 40
mmHg dengan kadar ion hidrogen 40 nanomol/L (Ortega & Arora, 2012)
Asidosis metabolik berkembang karena berkurangnya massa ginjal dan
ketidakmampuan dari nefron yang tersisa untuk mengeluarkan beban asam harian melalui
ammoniagenesis. produksi NH3 di tubulus ginjal dirangsang oleh asidosis intraseluler.
Ketika beban asam sistemik meningkat sedikit, keseimbangan dijaga oleh peningkatan
produksi dan ekskresi dari NH4 + . Kegagalan untuk mengeluarkan NH4 + sehingga
menyebabkan retensi ion H+ dan menyebabkan metabolik asidosis (Ortega & Arora,
2012).
Hasil pemeriksaan penunjang lain yang mampu memperkuat penegakan diagnosa
ini adalah hasil foto thorax yang memberi kesan bahwa klien mengalami efusi pleura dan
ketika dilakukan auskultasi paru, terdengar suara ronkhi basah halus. Suara paru ronkhi
dapat mengindikasikan bahwa udara yang melewati saluran napas mengalami
penyempitan karena di dalam paru terdapat cairan yang menumpuk, dalam kasus ini
adalah adanya efusi pleura. Efusi pleura merupakan akumulasi abnormal cairan pleura
pada rongga pleura yang terletak diantara permukaan lapisan viseralis dan parientalis,
yang disebabkan karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses absorpsinya.
Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi sejumlah kecil cairan, biasanya hanya
0,1-0,2 ml/kgBB (Lee, 2013).
Akumulasi cairan abnormal pada pleura dapat disebabkan karena peningkatan
tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil. Peningkatan tekanan intra
kapiler merupakan faktor yang paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal jantung
kongestif. Selain itu, penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil
disebabkan oleh hypoalbuminemia juga cenderung meningkatkan cairan di dalam rongga
pleura. Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan peningkatan
jumlah cairan pleura, hal ini biasanya disebabkan oleh atelectasis (Lee, 2013).
3. Intervensi Keperawatan
a. Penurunan Curah Jantung berhubungan dengan Perubahan Kontraktilitas
Miokard
Salah satu penatalaksanaan penurunan curah jantung adalah dengan edukasi
pembatasan aktivitas dan mengajarkan melakukan aktivitas ringan. Pada pasien CHF
Menurut Dunlay et al, (2012) menyatakan bahwa pasien CHF menemukan bahwa
kesulitan dengan kegiatan aktivitas sehari -hari adalah umum pada pasien dengan gagal
jantung, dengan banyak aktivitas membuat kerja jantung juga mengalami peningkatan.
(Rita Sekarsari1, 2016)
Keterbatasan gerak pada pasien CHF adalah ketika mereka melakukan suatu
gerakan bagi orang normal, berjalan dua tiga meter tidak merasa lelah, akan tetapi bagi
pasien yang mengalami penyakit jantung, bergerak atau berjalan sedikit saja nafasnya
sudah terengah-engah. Sudah kelelahan. Karena tubuhnya tidak mampu memproduksi
energi yang cukup untuk bergerak. Jadi, apapun penyakit yang membuat
terhambatnya/terputusnya suplai nutrisi dan O2 ke sel, dengan kata lain mengganggu
pembentukan energi dalam tubuh, dapat menimbulkan respon tubuh berupa intoleransi
aktifitas .Jantung bertugas untuk memompa darah ke seluruh tubuh, apabila jantung
mengalami gangguan, maka darah yang membawa O2 dan nutrisi menjadi berkurang
jumlahnya sehingga produksi energy menjadi berkurang.(Prihanto, Robert, 2007) .
Maka pembatasan aktivitas dengan melakukan aktivitas ringan seperti duduk,
berdiri, jalan ringan, menggerakkan anggota gerak atas dan bawah bagi pasien penyakit
jantung sangat penting guna menjaga supply oksigen yang mengalir keseluruh tubuh.
Penelitian yang dilakukan oleh Halimudin menyatakan bahwa terdapat pengaruh
pemberian terapi aktivitas ringan bagi pasien gagal jantung pada tekanan darah dan tonus
otot pasien. (Halimuddin, n.d.)
b. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan Kelebihan Asupan Cairan
Intervensi keperawatan yang dilakukan yaitu memonitoring input dan output cairan
dan menghitung balance cairan. Memonitor input dan output cairan dapat dilakukan
dengan menghitung kebutuhan cairan pasien. Kebutuhan cairan dapat dihitung dengan
menggunakan cara perhitungan balance cairan untuk menghitung IWL (Insensible Water
Loss) dengan rumus (15 x BB). Rumus Balance Cairan adalah (intake-output). Input
cairan antara lain air (makan dan minum), cairan infus, injeksi, air metabolisme (hitung
AM 5 x BB). Sedangkan output cairan meliputi feses, urin, muntah, dan perdarahan
(Ambarwati, 2014).
Intervensi selanjutnya adalah pembatasan intake pada klien yaitu kolaborasi
pemberian infus RL 8 tpm. RL merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan, cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid
maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial.
Namun penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan
alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat
metabolisme laktat (Salam, 2016).
Intervensi farmakologi yang bisa diberikan adalah diuretik berupa injeksi
Furosemid 40 mg dan Spirolacton 100 mg/12 jam. Diuretik mengurangi edema dengan
menghambat reabsorbsi dari natrium dan air oleh ginjal. Diuretik juga dapat menginduksi
kehilangan elektrolit penting lainnya dan mengubah keseimbangan asam basa. Meskipun
retensi natrium dan air oleh ginjal adalah komponen penting pada pengembangan edema,
tidak semusa kondisi edema memerlukan terapi diuretik (Horne, 2001).
c. Hambatan Pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-
kapiler
Intervensi keperawatan berdasarkan NIC yang diberikan kepada klien adalah terapi
oksigenasi yang terdiri dari beberapa intervensi, dimana intervensi fokus pada asuhan
keperawatan ini adalah pemeriksaan TTV pasien (TD, HR, RR), pemeriksaan fisik dada
dan paru untuk mengetahui ada tidaknya suara napas tambahan, memposisikan semi
fowler dengan nyaman untuk memaksimalkan ekspansi paru, menganjurkan pembatasan
aktivitas atau bedrest dan kolaborasi memperian terapi O2 3 lpm dengan nasal kanul.
Posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45° dapat membantu memaksimalkan
pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma, sehingga
dapat memfasilitasi proses pernapasan menjadi lebih mudah serta dapat meningkatkan
kemampuan ekspansi paru dan memperbaiki oksigenasi. Hal ini sesuai dengan penelitian
Halisya dkk (2016), menyebutkan bahwa sebelum dilakukan pemberian posisi semi
fowler p value = 0, 015 dan sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler p value =
0,008, yang artinya terjadi penurunan sesak napas setelah dilakukan pemberian posisi
semi fowler.
Intervensi selanjutnya adalah pemberian terapi O2 3 lpm melalui nasal kanul. Terapi
oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan oksigen di atmosfer (21%). Tujuan terapi oksigen adalah memberikan transpor
oksigen yang adekuat dalam darah diiringi untuk menurunkan upaya bernapas, mencegah
kematian sel, dan mengurangi stres pada miokardium (Mutaqqin, A, 2008 dan Bachtiar
A, 2015).
4. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, dari tiga masalah
keperawatan yang ditemukan pada Tn. T terdapat 1 diagnosa keperawatan yang belum
teratasi yaitu penurunan curah jantung. Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan adalah
edukasi klien untuk membatasi aktivitas yang dapat memperberat kerja jantung, memotivasi
klien untuk membatasi intake cairan, dan menganjurkan klien untuk patuh minum obat, serta
motivasi klien untuk rutin melakukan kontrol di Poli Jantung RSUP Dr. Kariadi agar kondisi
klien stabil.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah kelompok mempelajari kasus Tn. T dengan masalah utama penurunan curah jantung
baik secara teori maupun pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. Tmaka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam pengkajian Tn. T mengeluh lemas. Ia tidak mampu melakukan aktivitas secara
mandiri untuk memenuhi kebutuhan dibantu oleh keluarga. Keluarga pasien belum
mengetahui bagaimana cara perawatan penyakit jantung yang benar.
2. Sesuai dengan data yang didapatkan saat pengkajian didapatkan 3 diagnisa keperawatan,
yaitu : 1) penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokard. 2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan. 3)
Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler.
3. Perencanaan dirumuskan berdasarkan prioritas masalah yang dihadapi sekaligus
memperhatikan Tn. T serta kesanggupan keluarga, karena disini keluarga adalah partner
dalam bekerjasama dengan perawat.
4. Implementasi keperawatan dilakukan dalam bentuk edukasi, anjuran tindakan,
monitoring serta kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarga mengenai pembatasan aktivitas fisik Tn. T, pembatasan
dalam mengkonsumsi cairan dan penggunaan alat bantu pernapasan maupun posisi ketika
pasien sesak. Selain itu, perawat menganjurkan pasien untuk melakukan aktivitas ringan
dan bekerjasama dengan keluarga dalam memonitoring intake output cairan pasien serta
perubahan yang terjadi pada pasien.
5. Evaluasi pasien dengan masalah penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan dan
hambatan pertukaran gas. Melihat catatan perkembangan selama 3 hari menunjukan
bahwa pasien mengalami perubahan yang baik ditandai dengan keluhan lemas pada
pasien berkurang, balance cairan berkurang menjadi -550 dan berkurangnya keluhan
sesak napas pada pasien.
B. SARAN
1. Diharapkan petugas kesehatan terutama perawat dapat memberikan pelayanan kepada
pasien lebih komprehensif, optimal dan holistik dengan memperhatikan kebutuhan dasar
pasien.
2. Perawat sebaiknya memberikan informasi terkait permasalahan yang sedang dialami
pasien, meliputi perawatan, pencegahan serta perkembangan pasien selama dilakukan
perawatan. Perawat tidak harus menunggu visit dokter untuk memberitahukan
perkembangan keadaan pasien terhadap pasien dan keluarga karena hal tersebut dapat
menambah kepercayaan pasien dan keluarga terhadap perawat.
3. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien Jantung
dengan intervensi sesuai dengan evidence based yang telah ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, B.J., & Ladwig, G.B. (2017). Nursing Diagnosis Handbook; a guide to Planing care.
10th edition, Mosby Elsevier.
Hudak C.M. & Gallo B.M. (2010). Critical Care Nursing: A Holistic Approach. Philadelphia:
J.B. Lippincott Company
Kasron. (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta: Nuha Medika
Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kumalasari, Etha Yosi and Leksana, Ery (2013) Angka Kematian Pasien Gagal Jantung
Kongestif Di HCU DAN ICU RSUP dr. Kariadi Semarang. Semarang : Universitas
Diponegoro.
Naga, S. (2012). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta: Diva Press
PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta : Indonesia Heart Asosiation
Savarese, G. & Lund, L. H. (2017). Global Public Health Burden of Heart Failure. Cardiac
Failure Review, 3 (1). 7–11.doi: 10.15420/cfr.2016:25:2
Wilkinson, J.M. (2016). Prentice Hall Nursing Diagnosis, Handbook with NIC Interventions
and NOC Outcomes, 14th edition. Pearson. Prentice Hall. New Jersey. (page 64-68).
Halimuddin. (n.d.). Pengaruh Model Aktivitas Dan Latihan Intensitas Ringan Klien Gagal
Jantung Terhadap Tekanan Darah. Idea Nursing Journal, (PENGARUH MODEL
AKTIVITAS DAN LATIHAN INTENSITAS RINGAN KLIEN GAGAL JANTUNG
TERHADAP TEKANAN DARAH), 93–104.
Rampengan, sterry H. (2013). penaganan gagal jantunh diastolik. FKU Sam Ratulangi, 5(1),
1–9.
Rinaldi, L., Herlambang, K. S., & Novitasari, A. (2010). Karakteristik Hasil Pemeriksaan
Ekokardiografi pada Penderita Gagal Jantung yang Dirawat di Rumah Sakit Roemani
Periode 1 Januari – 31 Desember 2010 Characteristic of Echocardiography Results in
Patient with Heart Failure treated in Roemani Hospital Perio, 1(2), 60–69.
Rita Sekarsari1, A. I. S. (2016). Gambaran aktivitas sehari-hari pada pasien gagal jantung kelas
ii dan iii di poli jantung RSU kabupaten Tangerang. Jkft, 2, 1–7.
Satoto, H. H. (2014). Coronary Heart Disease Pathophysiology. Jurnal Anestesiologi Indonesia,
VI(3), 209.
Price, S.A. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC
Neal, M.J. (2006). At a glance farmakologi medis. Edisi 1. Jakarta: Erlangga
Ambarwati, F. R. (2014). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta: Dua Satria Offset
Horne, Mima M dan Swearingen, Pamela L . 2001. Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam
Basa. Terjemahan : Jakarta : EGC.
Bachtiar, A., Hidayah, N., Ajeng, A. (2015). Pelaksanaan Pemberian Terapi Oksigen pada
Pasien Gangguan Sistem Pernafasan. Jurnal Keperawatan Terapan, 1 (2): 200-206.
Halisya, S., Puti, R. A., & Suhendra, R. (2016). Pengaruh pemberian posisi semi fowler
terhadap penurunan sesak napas pasien asma di ruang Musdhalifa Rumah Sakit Islam
Siti Khaijah Palembang Tahun 2015. Jurnal Ilmiah Multi Science, 6 (1), 1-6.
Lee YCG. (2013). Pleural Anatomy and Fluid Analysis in Principles and Practice of
Interventional Pulmonology. Springer. New York, 545-555.
Manokharan, P. (2017). Analisis Gas Darah dan Aplikasinya di Klinik. Bali: Fakultas
Kedokteran Ilmu Anestesi dan Reanimasi.
Ortega LM, Arora S. (2012). Metabolic acidosis and progression of chronic kidney disease :
incidence, pathogenesis, and therapeutic therapy. Revista Nefrologia, 32(6) :724-30.
Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Edisi 8). Jakarta: EGC.
Wendy, C. (2010). Dyspnoea and Oedema in Chronic Heart Failure. Pract Nurse. 39(9): 110-
121.