You are on page 1of 11

OBAT-OBAT SALURAN PERNAPASAN

DISUSUN OLEH

NAMA : Dewi Lestari

NIM : F320175078

KELAS :2C

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS TAHUN


2107/2018
SALURAN PERNAPASAN

Saluran pernapasan dibagi dalam 2 golongan utama:

1. saluran pernapasan atas, terdiri dari lobang hidung, rongga hidung, faring, laring

2. saluran pernafasan bawah terdiri dari trachea, bronchi, bronchioles, alveoli dan membran alveoulerv –
kapiler

Ventilasi dan respirasi adalah dua istilah yang berbeda dan tidak boleh ditukar pemakaiannya. Ventilasi
adalah pergerakan udara dari atmosfer melalui saluran pernapasan atas dan bawah menuju alveoli.
Respirasi adalah proses dimana terjadi pertukaran gas pada membrane alveolar kapiler.

Infeksi saluran pernafasan adalah infeksi yang mengenai bagian manapun saluran pernafasan, mulai dari
hidung, telinga tengah, faring, laring (bronkus bronkeolus) dan paru-paru.

Saluran pernafasan terdiri dari 2 bagian utama :

1. Saluran pernafasan atas

2. Saluran pernafasan bawah

 Jenis-jenis infeksi saluran pernafasan atas : batuk pilek, faringitis, sinusitis, dan toksilitis.

 Jenis infeksi saluran pernafasan bawah : asma, bronchitis kronik, emfizema, bronkioklialis.

Cara (cheronic aspecific respiratory affections)

Mencakup semua penyakit saluran nafas yang berartikan penyumbatan (obstruksi) bronchi di sertai
pengembangan mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum) berlebihan. Penyakit-penyakit tersebut
meliputi berbagai bentuk penyakit beserta peralihannya. Yakni asma, bronchitis kronis, dan emfisema
paru yang gejala klinisnya dapat saling menutupi (everlapping). Gejala terpentingnya antara lain sesak
nafas (dispnoe) saat mengeluarkan tenaga, selama istirahat dan sebagai serangan akut, juga batuk kronis
dengan pengeluaran dahak kental. Karena gangguan tersebut memiliki mekanisme pathofisiologi yang
berbeda-bedaa dengan penanganan yang juga tidak sama.

OBAT SALURAN PERNAFASAN

A. rhinitis

Semua antihistamin memberikan manfaat potensial pada terapi alergi nasal, rhinitis alergik. Sifat
antikolinergik pada kebanyakan antihistamiin menyebabkan mulut kering dan pengurangan sekresi,
membuat zat ini berguna untuk mengobati rhinitis yang ditimbulkan oleh flu. Antihistamin juga
mengurangi rasa gatal pada hidung yang menyebabkan penderita bersin banyak obat-obat flu yang dapat
dibeli bebas mengandung antihistamin, yang dapat menimbulkan rasa mengantuk. Rhinitis adalah radang
membran mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal, hidung berlendir, dan kongesti atau hidung
tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena menghirup alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk sari bunga
tertentu, asap rokok dn polutan. Zat-zat tersebut berinteraksi dengan selmast merangsng pelepasan
histamin, leukotrin atau zat lain yang dapat menyebabkan konstriksi bronkus, udem, urtikaria, dan
infiltrasi sel.

1. antihistamin

a. Antihistamin (Penghambat Reseptor H1)

Histamin adalah zat yang secara alamiah terdapat da tersebar di seluruh tubuh. Tempat penyimpanan
utamanya adalah di sel mast dan basofil. Kerja histamin diperantarai oleh 2 repseptor yaitu reseptor H1
dan H2. Reseptor H2 kebanyakan terdapat di usus halus, bronkus, dan sel parietal lambung. Histamin
yang dilepaskan sel mast atau basofil akan berinteraksi dengan reseptor menimbulkan gejala rhinitis yang
telah disebutkan di atas. Interaksi dengan reseptor H2 dapat memacu muntah atau mabuk perjalanan.

Antihistamin paling sering digunakan untuk terapi alergi atau alergi rhinitis. Penghambat ( reseptor
bloker) H1 atau antihistamin akan menduduki reseptor H1 sehingga histamin tidak dapat berinteraksi
dengannya sehingga gejala alergi tidak timbul. Pengahmbat reseptor histamin yang sering digunakan
adalah difenhidramin, klorfeniramin, loratadin, terfenadin, dan astemisol. Loratadin, terfenadin, dan
astemisol relatif tidak menembus SSP sehingga efek sedatifnya sangat kecil dibandingkan obat yang lain.

Jika terjadi kongesti, pemberian kombinasi antihistamin dengan dekongestan akan lebih efektif
dibandingkan dengan pemberian antihistamin saja.

b. Agonis α-adrenergik (Dekongstan)

Obat golongan ini sering disebut dekongestan atau orang awam menyebutnya obat pelega pernapasan.
Dekongestan menyebabkan konstriksi arterioral di mukosa hidung sehingga mengurangi infiltrasi cairan
dari pembuluh darah ke jaringan sekitar yang dapat menyebabkan udem. Selain itu dekongestan juga
dapat menyebabkan relaksasi bronkus menyebabkan berkurangnya gangguan aspirasi udara masuk ke
paru-paru.

Dekongestan sering diberikan melalui aerosol untuk memperpendek onzet dan mengurangi efek samping
sistemiknya. Jika diberikan melalui oral, efeknya akan panjang tetapi dapat menimbulkan efek samping
sepertipeningkaan tekanan darah dan denyut jantung. Kombinasi dengan antihistamin hanya boleh
diberikan dalam beberapa hari untuk mengurangi fenomena reboun kongesti jika pemberian obat
dihentikan. Contoh agonis α-adrenergik adalah fenileprin, pseudoefedrin, dan okzimetazolin. Obat-obat
tersebut bekerja pada reseptor α1 di pembuluh darah mukosa hidung menyebabkan kontriksi sehingga
mengurangi perembesan cairan ke jaringan. Selain itu juga bekerja pada reseptor β2 di bronkus
menyebabkan dilatasi.

c. Kortikosteroid

Obat golongan ini diberikan untuk rhinitis jika antihistamin sudah tidak efektif. Obat ini bukan pilihan
utama untuk rhinitis karena efek sampingnya yang lebih berat. Obat ini mungkin lebih efektif dari
antihistamin oral dalam mengurangi gejala rhinitis baik karena alergi atau non alergi. Untuk mengurangi
efek samping sistematiknya kortikosteroid sering diberikan secara topikal melalui nasal spray. Contoh
steroid yang sering digunakan adalah beklometason, flutikason, dan triamsinolon.

Untuk lebih mengenal obat rhinitis, dalam tabel berikut dicantumkan beberapa contoh beserta dosis
lazimnya.
Tabel 7. Obat-obat untuk rhinitis dan Dekongestan

Nama Obat Dosis Dewasa Kegunaan

Klorfeniramin 2 – 4 mg setiap 4-6 jam Antihistamin

Dimenhidrinat 50 – 100 mg setiap 4-6 jam Antihistamin

Difenhidramin 25 – 50 mg setiap 4-8 jam Antihistamin

Terfenadin 60 mg 2 kali sehari Antihistamin

Astemisol 10 mg/hari Antihistamin

Loratadin 10 mg/hari Antihistamin

Ciproheptadin 4 – 20 mg/hari Antihistamin

Fenilefrin 10 mg setiap 4-6 jam Dekongestan

pseudoefedrin 30 mg 2 kali sehari dekongestan

B. Mukolitik

Mukolitik berkerja sebagai deterjen dengan mencairkan dan mengencerkan secret mukosa yang kental
sehingga dapat dikeluarkan. Efek samping yang paling sering terjadi adalah mual dan muntah, maka
penderita tukak lambung perlu waspada. Wanita hamil dan selama laktasi boleh menggunakan obat ini.
Saluran pernapasan yang terlalu kering dapat menyebabkan irititasi dan memacu reflek batuk.
Ekspektoran dapat meningkatan sekresi disaluran pernapasan sehingga bermanfaat untuk mengurangi
iritasi dan batuknnya akan berkurang sendirinya.

Obat yang sering digumakan sebagai ekspektoran adalah ammonium clorida, potassium sitrat, dan
guaifenesin serta griserin guaikolat. Ekspektoran juga mengencerkan mucus dalam bronkus sehingga
mudah dikeluarkan. Dalam klinik ekspektoran sering ditambahkan dalam obat batuk, walaupun
efektifitasnya masih dipertanyakan. bel mukolitik dan ekspektoran serta dosis lazimnya

Nama obat Dosis lazimnya Kegunaannya

Asetilsistein 200 mg, 3 x sehari ekspektoran

Bromheksin 8 mg, 2-3 x sehari

Guaifenesin 100mg, 3 x sehari

Gliseril Guaikolat 50-100mg, 2-3 x sehari

C. Antiasma dan Bronkodilator


Istilah bronkodilator merujuk pada obat yang mempunyai efek mendilatasi atau relaksasi bronkus.
Obat ini sering digunakan sebagai antiasma. Bronkokonstriksi dapat terjadi karena perangsangan
parasimpatik atau hambatan simpatik dibronkus. Pada kasus asma perangsangan terjadi karena
meningkatnya kepekaan bronkus terhadap rangsang.
Konstriksi bronkus dapat diredakan atau dikurangi dengan pemberian agonis β2 atau pemberian
antagonis kolinergik serta obat golongan xantin.
1. Agonis β2
Agonis β2 dalam terapi dapat diberikan melalui oral,inhalasi,atau injeksi. Pilihan cara penggunaan
tergantung kecepatan dan lamanya efek yang diharapakan. Untuk mendapatkan efek yang cepat cara
pemberian inhalasi dan injeksi umumnya dipilih,untuk mendapatkan efek yang lama seperti pada
pencegahan serangan asma berulang,pemberian oral yang dipilih. Inhalasi agonis β2 adalah terapi yang
paling efektif yang tersedia untuk spasme bronkus akut dan mencegah serangan asma yang dipicu oleh
kelelahan. Reseptor β2 yang terdapat dibronkus jika dirangsang akan menyebabkan dilatasi. Inilah alasan
kenapa agonis β2 digunakan untuk terapi asma. Perangsang reseptor β ada 2 yaitu yang selektif dan non
selektif. Yang selektif hanya merangsang reseptor β2 saja,yang tidak selektif merangsang baik reseptor β2
maupun β1.
Agonis β selektif lebih disukai oleh karena hanya menyebabkan dilatasi bronkus tanpa merangsang β1
yang berakibat peningkatan frekuensi dan kekuatan denyut jantung. Contoh agonis β selektif yang sering
digunakan sebagai bronkodilator adalah:
 Albuterol
 Terbutalin
 Salmeterol
 Salbutamol
 Fenoterol
2. Metil Xantin
Zat atau obat yang termasuk golongan Xantin yang digunakan dalam klinik adalah kafein, teobromin,
dan teofilin. Zat atau obat tersebut berasal dari tanaman the, kopi atau koka. Dari golongan Xantin hanya
teofilin yang dimanfaatkan sebagai bronkodilator.
Teofilin bekerja menghambat fosfodiesterase suatu enzim intraseluler yang berfungsi
menginaktivasi cyclic adenosin mono phosfat (cAMP). Hambatan terhadap fosfodiesterase melibatkan
peningkatan kadar cAMP di bronkus dan sel mast. Peningkatan cAMP mengakibatkan dilatasi bronkus
dan mengurangi pelepasan histamin dari sel mast.
Teofilin dapat diberikan secara oral, rektal atau injeksi IV. Dosis teofilin harus diindividualisasi
(perorangan) karena adanya variasi yang cukup besar antar pasien berkaitan dengan absorbsi dan
metabolismenya. Selain itu, teofilin mempunyai indek terapi sempit (LD50/ED50 kecil), artinya antara
dosis toksik dan dosis terapi jarahnya relatif kecil. Obat yang indek terpinya sempit berpotensi
menimbulkan efek toksik.
Dalam klinik, terdapat sedian tablet teofilin lepas lambat yang ditujukan untuk menimbulkan efek
samping (toksik) karena fluktuasi kadar obat dalam darah dan untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Ini
mengingat terapi asma adalah bersifat kronik atau menahun. Aminofilin adalah prepara larut dalam air
dari teofilin karena penambahan etilendiamin untuk meningkatkan kelarutan teofilin yang relatif sukar
larut dalam air. Efek samping utama dari teofilin adalah mual, muntah dan pada orang-orang tertentu
dapat menimbulkan muka merah (flusing), sakit kepala, dan hipotensi.
Karena efek sampingnya lebih besar dan efektivitasnya lebih kecil jika dibandingkan dengan
agonis β2 menyebabkan teofilin relatif jarang digunakan. Efektifitas teofilin sekitar ¼-1/3 dari agonis β2
menjadikannnya bukan merupakan obat pilihan utama terapi asma.
3. Antikolinergik
Antikolinergik tidak secara luas digunakan untuk terapi asma atau bronkodilator, meskipun berefek
dilatasi bronkus. Ini disebabkan karena efek sampingnya lebig banyak dibandingkan bronkodilator yang
lain. Efek samping utamanya dalah mulut kering karena berkurangnya sekresi kelenjar. Obat golongan ini
baru diberikan jika obat-obat yang lain kurang efektif atau hanya sebagai tambahan pada agonis β2.
Contoh obat kolinergik adalah ipatropium bromid yang pemberiannya melalui inhalasi.
4. Kortikosteroid
Efek utama kortikosteroid dalam terapi asma adalah menghambat inflamasi yang terjadi di saluran
pernafasan. Steroid digunakan terutama jika bronkodilator lain sudah kurang efektif. Kortikosteroid dapat
diberikan secara oral, inhalasi atau injeksi. Contoh kortikosteriod adalah prednison, deksametason,
beklometason, dan triamsinolon.
Tabel 8. Bronkodilator dan dosis lazimnya
Nama Obat Dosis Lazim Kegunaan
Albuterol 2 – 4 mg, 3-4x, maks 8 mg Asma
Salbutamol 2 – 4 mg, 3-4x, maks 8 mg
Terbutalin 2,5 – 5 mg, 3 x sehari
Fenoterol 200 ug, 2 x sehari (inhalasi)
Salmeterol 50 ug, 2 x sehari (inhalasi)
Teofilin 100 – 200 mg setiap 6-12 jam
Aminofilin 200 – 3—mg setiap 6-8 jam
Ipatropium 40 ug, 3-4 kali sehari (inhalasi)
bromid
1. Inhalasi
inhalasi adalah suatu cara penggunaan adrenergika dan korrtikosteroida yang memberikan
beberapa keuntungan dibandingkan pengobatan per oral. Efeknya lebih cepat, dosisnya jauh lebih
rendah dan tidak diresorpsi ke dalam darah sehingga resiko efek sampingnya ringan sekali.
Dalam sediaaninhalasi, obat dihisap sebagai aerosol (nebuhaler) atau sebagai serbuk halusv
(turbuhaler).
Inhalasi dilakukan 3-4 kali sehari 2 semprotan, sebaiknya pada saat-saat tertentu, seperti sebelum
atau sesudah mengelularkan ternaga, setelah bersentuhan dengan zat-zat yang merangsang (asap
rokok, kabut, alergan, dan saat sesak napas).
Contoh obat :
minyak angin (aromatis), Metaproterenol
dosis: isoproterenol atau isuprel: 10-20 mg setiap 6-8 jam (dewasa). 5-10 mg setiap 6-8 jam.
2.2.4. Kromoglikat
Kromoglikat sangat efektif sebagai obat pencegah serangan asma dan bronchitis yang bersifat
alergis, serta konjungtivitis atau rhinitis alergica dan alergi akibat bahan makanan. Efek samping
berupa rangsangan lokal pada selaput lender tenggorok dan trachea, dengan gejala perasaan
kering, batuk-batuk, kadang-kadang kejang bronchi dan serangan asma selewat. Wanita hamil
dapat menggunakan obat ini.
Contoh obat :
Natrium kromoglikat dipakai untuk pengobatan, pencegahan pada asma bronchial dan tidak
dipakai untuk serangan asma akut. Metode pemberiannya adalah secara inhalasi dan obat ini
dapat dipakai bersama dengan adrenergic beta dan derivate santin. Obai ini tidak boleh dihentikan
secara mendadak karena dapat menimbulkan serangan asma.,

D. Antitusif

Antitussiva (L . tussis = batuk) digunakan untuk pengobatan batuk sebagai gejala dan dapat di bagi dalam
sejumlah kelompok dengan mekanisme kerja yang sangat beraneka ragam, yaitu :

1. Zat pelunak batuk (emolliensia, L . mollis = lunak ), yang memperlunak rangsangan batuk,
melumas tenggorokan agar tidak kering, dan melunakkan mukosa yang teriritasi. Banyak
digunakan syrup (thyme dan althea), zat-zat lender (infus carrageen)

2. Ekspoktoransia (L . ex = keluar, pectus = dada) : minyak terbang, gualakol, radix ipeca (dalam
tablet / pelvis doveri) dan ammonium klorida (dalam obat batuk hitam) zat-zat ini memperbanyak
produksi dahak ( yang encer). Sehingga mempermudah pengeluarannya dengan batuk.

3. Mukolotika : asetilsistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol, zat-zat ini berdaya merombak dan
melarutkan dahak ( L . mucus = lender, lysis = melarutkan), sehingga viskositasnya dikunrangi
dan pengeluarannya dipermudah.

4. Zat pereda : kodein, naskapin, dekstometorfan, dan pentoksiverin (tucklase), obat-obat dengan
kerja sentral ini ampuh sekali pada batuk kering yang mengelitik.

5. Antihistaminika : prometazin, oksomomazin, difenhidramin, dan alklorfeniaramin. Obat ini dapat


menekan perasaan mengelitik di tenggorokan.

6. Anastetika local : pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan rangsangan batuk ke pusat
batuk.

Penggolongan lain dari antitussiva menurut titik kerjanya, yaitu :

1. Zat-zat sentral SSP

Menekan rangsangan batuk di pusat batuk (modula), dan mungkin juga bekerja terhadap pusat saraf lebih
tinggi (di otak) dengan efek menenangkan.

1. Zat adiktif : doveri , kodein, hidrokodon dan normetadon.

2. Zat nonadiktif : noskopin, dekstrometorfan, pentosiverin.

2. Zat-zat perifer di luar SSP

Emollionsia, ekspektoransia, mukolitika, anestetika local dan zat-zat pereda.

Batuk kering atau yang dikenal dengan batuk tidak produktif atau batuk tidak menghasilkan secret,
membuat tenggorokan gatal dan menyebabkan suara serak dan hilang. Batuk sering dipicu oleh inhalasi
partikel – partikel makanan, bahan iritan, asap rokok, atau karena perubahan temperature. Batuk kering
juga dapat merupakan gejala sisa dari infeksi virus atau karena flu. Batuk jenis ini tidak memberikan
gejala kecuali batuk itu sendiri, pasien tidak merasa sakit, tidak ada kongesti atau gangguan pernapasan.
Antitusif adalah obat yang menghambat reflek batuk. Batuk sebenarnyaa merupakan mekanisme
perlindungan dan membersihkan saluran pernapasan dari zat-zat yang tidak diingikan oleh tubuh. Dalam
kondisi tertentu, misalnya pada inflamasi atau kanker terjaadi reflek batuk yang berlebihan yang dapat
mengganggu. Batuk yang demikian perlu diredakan dan antitusif dapat bermanfaat. Antitusif yang
digunakan dalam klinik jumlahnya tidak banyak, yaitu kodein, dextrometorfan, noaskapin, dan uap
mentol.

1) Kodein

Kodein bekerja menurunkan sensitifitas pusat batuk dari rangsangan. Kodein pada dosis rendah (10-
20mg) berefek sebagai antitusif tetapi pada dosis yang lebih besar juga berefek sebagai analgetik. Efek
samping obat ini adalah konstipasi, mual, sedasi ringan, dan depresi pernapasan. Obat ini tergolong
narkotika. Penggunaan kodein selain sebagai antitusif adalah analgetik dan mengurangi ketergantungan
terhadap heroin (sebagai terapi subtitusi).

2) Dextrometorfan

Obat ini merupakn L – Isomer dari opioid (kodein) yang juga aktif sebagai antitusif, namun tidak
mempunyai efek analgetik. Obat ini tidak menimbulkan ketergantungan sebagaimana kodein dan efek
konstipasinya lebih ringan

3) Uap mentol

Uap mentol dapat menurunkan sensitifitas dari faring dan laring terhadap iritasi, sehingga mengurangi
timbulnya reflek batuk. Obat ini biasanya diberikan secara inhalasi atau bentuk gosok.

Tabel antitusif dan dosis lazimnya

Nama obat Dosis lazimnya

Kodein 10-20 mg setiap 4-6 jam, maks 120mg

dextrometorfan 10-20 mg setiap 4 jam, maks 120mg

Uap mentol 10-20 mg setiap 4-6 jam, maks 120mg


Kesimpulan

Saluran pernapasan dibagi dalam 2 golongan utama:

1. saluran pernapasan atas, terdiri dari lobang hidung, rongga hidung, faring, laring

2. saluran pernafasan bawah terdiri dari trachea, bronchi, bronchioles, alveoli dan membran alveoulerv –
kapiler

•Jenis-jenis infeksi saluran pernafasan atas : batuk pilek, faringitis, sinusitis, dan toksilitis.

•Jenis infeksi saluran pernafasan bawah : asma, bronchitis kronik, emfizema, bronkioklialis.

Obat-obatan yang mempengaruhi pernafasan adalah Obat yang bekerja dan mempengaruhi sistem
pernafasan

2. Obat obat asma

a) Antihistamin

b) Bronchodilator

· Adrenergika

· Antikoliergika

· Derivat xantin

c) Kortikosteroida

d) Ekspektoransi

3 Obat obat batuk

Penggolongan Obat batuk berdasarkan mekanisme kerjanya :

1. Emolliensia,

2. Ekspektoransia

3. Mukolotika

4. Zat pereda

5. Antihistaminika

6. Anastetika local
Penggolongan obat batuk menurut titik kerjanya

1. Zat-zat sentral SSP

• Zat adiktif : doveri , kodein, hidrokodon dan normetadon.

• Zat nonadiktif : noskopin, dekstrometorfan, pentosiverin.

2. Zat-zat perifer di luar SSP

o Ekspektoransia : Amonium klorida, guaiakol, ipeca dan minyak terbang

o Mukolitika : asetilkarbosistein, mesna, bromheksin, ambroksol

o Zat-zat pereda : oksolamin, dan tipepidin (Asvex)


Daftar pustaka

Hidayat, AAA. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, buku 2. Jakarta : salemba Medika

Hudak&Gallo.1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Vol.1. Jakarta: EGC

Kusyati, E.2006. Keterampilan dan Prosedur Labratium Keperawatan Dasar, Jakarta: EGC

Priyatno.2010.Farmakologi Dasar.Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (LESKONFI): Depok

You might also like