Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH
NIM : F320175078
KELAS :2C
1. saluran pernapasan atas, terdiri dari lobang hidung, rongga hidung, faring, laring
2. saluran pernafasan bawah terdiri dari trachea, bronchi, bronchioles, alveoli dan membran alveoulerv –
kapiler
Ventilasi dan respirasi adalah dua istilah yang berbeda dan tidak boleh ditukar pemakaiannya. Ventilasi
adalah pergerakan udara dari atmosfer melalui saluran pernapasan atas dan bawah menuju alveoli.
Respirasi adalah proses dimana terjadi pertukaran gas pada membrane alveolar kapiler.
Infeksi saluran pernafasan adalah infeksi yang mengenai bagian manapun saluran pernafasan, mulai dari
hidung, telinga tengah, faring, laring (bronkus bronkeolus) dan paru-paru.
Jenis-jenis infeksi saluran pernafasan atas : batuk pilek, faringitis, sinusitis, dan toksilitis.
Jenis infeksi saluran pernafasan bawah : asma, bronchitis kronik, emfizema, bronkioklialis.
Mencakup semua penyakit saluran nafas yang berartikan penyumbatan (obstruksi) bronchi di sertai
pengembangan mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum) berlebihan. Penyakit-penyakit tersebut
meliputi berbagai bentuk penyakit beserta peralihannya. Yakni asma, bronchitis kronis, dan emfisema
paru yang gejala klinisnya dapat saling menutupi (everlapping). Gejala terpentingnya antara lain sesak
nafas (dispnoe) saat mengeluarkan tenaga, selama istirahat dan sebagai serangan akut, juga batuk kronis
dengan pengeluaran dahak kental. Karena gangguan tersebut memiliki mekanisme pathofisiologi yang
berbeda-bedaa dengan penanganan yang juga tidak sama.
A. rhinitis
Semua antihistamin memberikan manfaat potensial pada terapi alergi nasal, rhinitis alergik. Sifat
antikolinergik pada kebanyakan antihistamiin menyebabkan mulut kering dan pengurangan sekresi,
membuat zat ini berguna untuk mengobati rhinitis yang ditimbulkan oleh flu. Antihistamin juga
mengurangi rasa gatal pada hidung yang menyebabkan penderita bersin banyak obat-obat flu yang dapat
dibeli bebas mengandung antihistamin, yang dapat menimbulkan rasa mengantuk. Rhinitis adalah radang
membran mukosa hidung yang ditandai dengan bersin, gatal, hidung berlendir, dan kongesti atau hidung
tersumbat. Rhinitis dapat terjadi karena menghirup alergen, seperti debu, bulu binatang, serbuk sari bunga
tertentu, asap rokok dn polutan. Zat-zat tersebut berinteraksi dengan selmast merangsng pelepasan
histamin, leukotrin atau zat lain yang dapat menyebabkan konstriksi bronkus, udem, urtikaria, dan
infiltrasi sel.
1. antihistamin
Histamin adalah zat yang secara alamiah terdapat da tersebar di seluruh tubuh. Tempat penyimpanan
utamanya adalah di sel mast dan basofil. Kerja histamin diperantarai oleh 2 repseptor yaitu reseptor H1
dan H2. Reseptor H2 kebanyakan terdapat di usus halus, bronkus, dan sel parietal lambung. Histamin
yang dilepaskan sel mast atau basofil akan berinteraksi dengan reseptor menimbulkan gejala rhinitis yang
telah disebutkan di atas. Interaksi dengan reseptor H2 dapat memacu muntah atau mabuk perjalanan.
Antihistamin paling sering digunakan untuk terapi alergi atau alergi rhinitis. Penghambat ( reseptor
bloker) H1 atau antihistamin akan menduduki reseptor H1 sehingga histamin tidak dapat berinteraksi
dengannya sehingga gejala alergi tidak timbul. Pengahmbat reseptor histamin yang sering digunakan
adalah difenhidramin, klorfeniramin, loratadin, terfenadin, dan astemisol. Loratadin, terfenadin, dan
astemisol relatif tidak menembus SSP sehingga efek sedatifnya sangat kecil dibandingkan obat yang lain.
Jika terjadi kongesti, pemberian kombinasi antihistamin dengan dekongestan akan lebih efektif
dibandingkan dengan pemberian antihistamin saja.
Obat golongan ini sering disebut dekongestan atau orang awam menyebutnya obat pelega pernapasan.
Dekongestan menyebabkan konstriksi arterioral di mukosa hidung sehingga mengurangi infiltrasi cairan
dari pembuluh darah ke jaringan sekitar yang dapat menyebabkan udem. Selain itu dekongestan juga
dapat menyebabkan relaksasi bronkus menyebabkan berkurangnya gangguan aspirasi udara masuk ke
paru-paru.
Dekongestan sering diberikan melalui aerosol untuk memperpendek onzet dan mengurangi efek samping
sistemiknya. Jika diberikan melalui oral, efeknya akan panjang tetapi dapat menimbulkan efek samping
sepertipeningkaan tekanan darah dan denyut jantung. Kombinasi dengan antihistamin hanya boleh
diberikan dalam beberapa hari untuk mengurangi fenomena reboun kongesti jika pemberian obat
dihentikan. Contoh agonis α-adrenergik adalah fenileprin, pseudoefedrin, dan okzimetazolin. Obat-obat
tersebut bekerja pada reseptor α1 di pembuluh darah mukosa hidung menyebabkan kontriksi sehingga
mengurangi perembesan cairan ke jaringan. Selain itu juga bekerja pada reseptor β2 di bronkus
menyebabkan dilatasi.
c. Kortikosteroid
Obat golongan ini diberikan untuk rhinitis jika antihistamin sudah tidak efektif. Obat ini bukan pilihan
utama untuk rhinitis karena efek sampingnya yang lebih berat. Obat ini mungkin lebih efektif dari
antihistamin oral dalam mengurangi gejala rhinitis baik karena alergi atau non alergi. Untuk mengurangi
efek samping sistematiknya kortikosteroid sering diberikan secara topikal melalui nasal spray. Contoh
steroid yang sering digunakan adalah beklometason, flutikason, dan triamsinolon.
Untuk lebih mengenal obat rhinitis, dalam tabel berikut dicantumkan beberapa contoh beserta dosis
lazimnya.
Tabel 7. Obat-obat untuk rhinitis dan Dekongestan
B. Mukolitik
Mukolitik berkerja sebagai deterjen dengan mencairkan dan mengencerkan secret mukosa yang kental
sehingga dapat dikeluarkan. Efek samping yang paling sering terjadi adalah mual dan muntah, maka
penderita tukak lambung perlu waspada. Wanita hamil dan selama laktasi boleh menggunakan obat ini.
Saluran pernapasan yang terlalu kering dapat menyebabkan irititasi dan memacu reflek batuk.
Ekspektoran dapat meningkatan sekresi disaluran pernapasan sehingga bermanfaat untuk mengurangi
iritasi dan batuknnya akan berkurang sendirinya.
Obat yang sering digumakan sebagai ekspektoran adalah ammonium clorida, potassium sitrat, dan
guaifenesin serta griserin guaikolat. Ekspektoran juga mengencerkan mucus dalam bronkus sehingga
mudah dikeluarkan. Dalam klinik ekspektoran sering ditambahkan dalam obat batuk, walaupun
efektifitasnya masih dipertanyakan. bel mukolitik dan ekspektoran serta dosis lazimnya
D. Antitusif
Antitussiva (L . tussis = batuk) digunakan untuk pengobatan batuk sebagai gejala dan dapat di bagi dalam
sejumlah kelompok dengan mekanisme kerja yang sangat beraneka ragam, yaitu :
1. Zat pelunak batuk (emolliensia, L . mollis = lunak ), yang memperlunak rangsangan batuk,
melumas tenggorokan agar tidak kering, dan melunakkan mukosa yang teriritasi. Banyak
digunakan syrup (thyme dan althea), zat-zat lender (infus carrageen)
2. Ekspoktoransia (L . ex = keluar, pectus = dada) : minyak terbang, gualakol, radix ipeca (dalam
tablet / pelvis doveri) dan ammonium klorida (dalam obat batuk hitam) zat-zat ini memperbanyak
produksi dahak ( yang encer). Sehingga mempermudah pengeluarannya dengan batuk.
3. Mukolotika : asetilsistein, mesna, bromheksin, dan ambroksol, zat-zat ini berdaya merombak dan
melarutkan dahak ( L . mucus = lender, lysis = melarutkan), sehingga viskositasnya dikunrangi
dan pengeluarannya dipermudah.
4. Zat pereda : kodein, naskapin, dekstometorfan, dan pentoksiverin (tucklase), obat-obat dengan
kerja sentral ini ampuh sekali pada batuk kering yang mengelitik.
6. Anastetika local : pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan rangsangan batuk ke pusat
batuk.
Menekan rangsangan batuk di pusat batuk (modula), dan mungkin juga bekerja terhadap pusat saraf lebih
tinggi (di otak) dengan efek menenangkan.
Batuk kering atau yang dikenal dengan batuk tidak produktif atau batuk tidak menghasilkan secret,
membuat tenggorokan gatal dan menyebabkan suara serak dan hilang. Batuk sering dipicu oleh inhalasi
partikel – partikel makanan, bahan iritan, asap rokok, atau karena perubahan temperature. Batuk kering
juga dapat merupakan gejala sisa dari infeksi virus atau karena flu. Batuk jenis ini tidak memberikan
gejala kecuali batuk itu sendiri, pasien tidak merasa sakit, tidak ada kongesti atau gangguan pernapasan.
Antitusif adalah obat yang menghambat reflek batuk. Batuk sebenarnyaa merupakan mekanisme
perlindungan dan membersihkan saluran pernapasan dari zat-zat yang tidak diingikan oleh tubuh. Dalam
kondisi tertentu, misalnya pada inflamasi atau kanker terjaadi reflek batuk yang berlebihan yang dapat
mengganggu. Batuk yang demikian perlu diredakan dan antitusif dapat bermanfaat. Antitusif yang
digunakan dalam klinik jumlahnya tidak banyak, yaitu kodein, dextrometorfan, noaskapin, dan uap
mentol.
1) Kodein
Kodein bekerja menurunkan sensitifitas pusat batuk dari rangsangan. Kodein pada dosis rendah (10-
20mg) berefek sebagai antitusif tetapi pada dosis yang lebih besar juga berefek sebagai analgetik. Efek
samping obat ini adalah konstipasi, mual, sedasi ringan, dan depresi pernapasan. Obat ini tergolong
narkotika. Penggunaan kodein selain sebagai antitusif adalah analgetik dan mengurangi ketergantungan
terhadap heroin (sebagai terapi subtitusi).
2) Dextrometorfan
Obat ini merupakn L – Isomer dari opioid (kodein) yang juga aktif sebagai antitusif, namun tidak
mempunyai efek analgetik. Obat ini tidak menimbulkan ketergantungan sebagaimana kodein dan efek
konstipasinya lebih ringan
3) Uap mentol
Uap mentol dapat menurunkan sensitifitas dari faring dan laring terhadap iritasi, sehingga mengurangi
timbulnya reflek batuk. Obat ini biasanya diberikan secara inhalasi atau bentuk gosok.
1. saluran pernapasan atas, terdiri dari lobang hidung, rongga hidung, faring, laring
2. saluran pernafasan bawah terdiri dari trachea, bronchi, bronchioles, alveoli dan membran alveoulerv –
kapiler
•Jenis-jenis infeksi saluran pernafasan atas : batuk pilek, faringitis, sinusitis, dan toksilitis.
•Jenis infeksi saluran pernafasan bawah : asma, bronchitis kronik, emfizema, bronkioklialis.
Obat-obatan yang mempengaruhi pernafasan adalah Obat yang bekerja dan mempengaruhi sistem
pernafasan
a) Antihistamin
b) Bronchodilator
· Adrenergika
· Antikoliergika
· Derivat xantin
c) Kortikosteroida
d) Ekspektoransi
1. Emolliensia,
2. Ekspektoransia
3. Mukolotika
4. Zat pereda
5. Antihistaminika
6. Anastetika local
Penggolongan obat batuk menurut titik kerjanya
Hidayat, AAA. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, buku 2. Jakarta : salemba Medika
Kusyati, E.2006. Keterampilan dan Prosedur Labratium Keperawatan Dasar, Jakarta: EGC