You are on page 1of 4

Praktikum kali ini dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa dapat

menerapkan metode skrining farmakologi dalam menentukan potensi aktivitas suatu


senyawa obat baru. Mahasiswa juga diharapkan dapat mengaitkan gejala-gejala yang
diamati dengan sifat farmakologi suatu obat serta memahami faktor-faktor yang
berperan dalam skrining farmakologi suatu senyawa obat baru.

Skrining farmakologi terhadap suatu obat atau senyawa obat baru ditujukan
untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai aktivitas farmakologi dari obat
atau senyawa tersebut. Skrining obat meliputi proses scanning dan evaluasi. Scanning
ini meliputi suatu uji atau serangkaian uji yang akan mendeteksi aktivitas fisiologi
obat tersebut. Uji-uji yang dijelaskan pada skrining ini dibuat untuk mendeteksi
secara cepat aktivitas obat. Untuk aktivitas yang spesifik, diperlukan uji yang lebih
spesifik untuk aktivitas tertentu. Terdapat tiga macam prosedur skrining aktivitas
biologi yaitu skrining sederhana (simple screening) atau skrining umum (general
screening), skrining buta (blind screening), serta skrining terprogram (programmed
screening) atau skrining spesifik (specific screening). Pemilihan macam skrining
tergantung berdasarkan kepada tujuan yang ingin dicapai.

Skrining sederhana adalah suatu prosedur pengujian obat dasar yang meliputi
satu atau dua pengujian yang sama untuk mendeteksi apakah suatu senyawa memiliki
aktivitas farmakologi. Skrining sederhana memiliki prosedur yang sederhana dan
tidak memerlukan sederetan pengujian yang interpretasi hasil suatu pengujiannya
tergantung kepada pengujian lain. Misalnya jika injeksi suatu senyawa uji
menyebabkan hewan percobaan kehilangan kesadaran, kemungkinan senyawa
tersebut bersifat depresan sistem saraf pusat. Skrining buta adalah program skrining
yang dilakukan terhadap senyawa baru tanpa informasi apapun mengenai aktivitas
farmakologinya. Hasil dari skrining buta adalah paling sedikit dapat diketahui ada
atau tidaknya aktivitas farmakologi obat dan dapat memberikan arahan untuk indikasi
aktivitas farmakologi tersebut pada manusia. Skrining terprogram terbatas dilakukan
terhadap senyawa yang telah diperkirakan khasiatnya. Pada skrining buta dilakukan
pengujian neurofarmakologi, toksisitas (LD50), kemudian pengujian terhadap organ
yang diisolasi serta pengujian lain yang dianggap penting.

Pertama-tama setiap kelompok bekerja dengan tiga ekor mencit. Mencit


ditimbang lalu ditandai. Kemudian dilakukan pengamatan keadaan mencit sebelum
diberi obat meliputi semua hal yang akan diamati setelah pemberian obat. Setelah
diamati, pada mencit 1 diberikan secara peroral control negatif yaitu PGA. Mencit 2
diberikan secara peroral obat A dan mencit 3 diberikan secara peroral obat B. Untuk
langkah selanjutnya diamati keadaan masing-masing mencit setelah 15 menit agar
terlihat efek obat terhadap mencit. Pertama diamati sikap awareness pada mencit
seperti kewaspadaan, respons terhadap pemindahan, respons apabila ditempatkan
pada posisi yang tidak biasa dan lain lain. Didapat hasil bahwa ketiga mencit masih
berada dalam keadaan normal. Selanjutnya dimati sikap mood pada mencit seperti
belaian atau gosokan kaki depan pada muka, member suara, keadaan tidak tenang,
keadaan tidak tenang yang hebat, sikap agresif menyerang serta ketakutan bila
diperlakukan oleh manusia. Didapat hasil bahwa pada belaian dan suara mencit masih
dalamkeadaan normal. Tetapi sikap agresif dan ketakutannya berbeda. Mencit
pertama dan kedua masih dalam keadaan normal sedangkan pada mencit ketiga
muncul efek yang sebaliknya atau sudah berada dalam batas tidak normal. Kemudian
dimati aktivitas motoriknya seperti aktivitas spontan, reaktivitas, respons yang
diberikan jika hewan disentuh dengan pensil atau pinset pada berbagai bagian
tubuhnya, dan respons nyeri. Didapat hasil bahwa pada aktivitas spontan, respon jika
disentuh, dan reaktivitas, ketiga mencit masih berada dalam batas normal. Sedangkan
untuk respon terhadap nyeri, pada mencit pertama dan kedua menunjukkan hasil
dalam keadaan normal sedangkan mencit ketiga menunjukkan efek sebaliknya.

Selanjutnya dimati gejala neurofarmakologi pada mencit. Yang pertama


berdasarkan profil neurologisnya. Diamati eksitasi SSP nya seperti respon yang
diberikan bila hewan diberi kejutan dengan suara yang keras, kenaikan dari ekor
mencit, tremor serta konvulsi. Didapat hasil pada kenaikan ekor mencit, tremor, dan
konvulsi, ketiga mencit menunjukkan masih berada dalam keadaan normal.
Sedangkan pada respon yang diberikan bila hewwan diberi kejutan dengan suara
yang keras, pada mencit pertama dan kedua memberikan respon yang normal
sedangkan mencit ketiga menunjukkan efek sebaliknya. Kemudian diamati
inkoordinasi motoriknya seperti posisi tubuh, posisi anggota badan, cara hewan
berjalan yang terhuyung, cara hewan berjalan dengan cara yang tidak normal dan
righting reflex. Didapat hasil pada posisi tubuh, posisi anggota badan, dan righting
reflex, ketiga mencit dalam batas normal sedangkan pada cara hewan berjalan, mencit
pertama dan kedua dalam batas normal tetapi mencit ketiga menunjukkan efek
sebaliknya. Selanjutnya diamati tonus obatnya seperti otot anggota tubuh, mencit
dibiarkan menggenggam pensil dalam posisi horizontal, body tone dan abdominal
tone. Didapat hasil pada ketiga mencit berada dalam batas normal. Kemudian diamati
reflexnya seperti reflex bila pusat pinna disentuh dengan rambut atau benda yang
halus, reflex bila kornea disentuh dengan rambut yang kaku, dan reflex menarik kaki
bila tapak dijepit dengan pinset. Didapat hasil pada reflex kornea dan kaki, ketiga
mencit menunjukkan efek yang masih berada dalam batas normal. Sedangkan pada
reflex pada pinna, mencit pertama dan ketiga menunjukkan efek normal, sedangkan
pada mencit ketiga menunjukkan efek sebaliknya. Selanjutnya diamati berdasarkan
profil otonomiknya. Pertama diamati optiknya. Didapat hasil pada mencit pertama
dan kedua memberikan efek normal, sedangkan pada mencit ketiga memberikan efek
sebaliknya. Selanjutnya diamati sekresinya. Didapat hasil pada mencit pertama dan
kedua menunjukkan keadaan normal sedangkan mencit ketiga menunjukkan efek
sebaliknya. Kemudian diamati umumnya seperti menggeliat, bulu tubuh dan lain-lain.
Pada pengamatan menggeliat, bulu tubuh berdiri, penurunan suhu tubuh dari suhu
normal serta warna kulit didapat hasil ketiga mencit dalam keadaan normal.
Sedangkan dari kecepatan denyut jantung serta kecepatan respirasinya, mencit
pertama dan ketiga menunjukkan efek normal sedangkan pada mencit kedua
menunjukkan efek sebaliknya.
Berdasarkan hasil pengujian dan literature yang didapat, maka dapat
disimpulkan bahwa obat A merupakan golongan obat kafein dan obat B merupakan
golongan obat diazepam.

Kafein merupakan senyawa yang dapat menstimulan sistem saraf dan meningkatkan
metabolisme. Kafein menghambat kerja dari enzim fosfodiesterase, menyekat
reseptor adenosin yang mana adenosin merupakan neurotransmitter yang menekan
kerja dari sistem saraf pusat sebagai penyebab bronkokonstriksi, penghambat
pelepasan renin, dan sebagai pengurang agregasi trombosit. Struktur dari adenosin
dan kafein mirip sehingga kafein dapat menggantikan posisi adenosin untuk berikatan
dengan reseptor di otak.

Sedangkan diazepam ialah senyawa obat golongan sedatif yang bekerja pada reseptor
GABA dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA.

Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan


meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Reseptor GABA yang aktif
menyebabkan saluran ion klorida terbuka lebih sering dan ion klorida dapat masuk ke
dalam sel dengan jumlah yang lebih banyak. Peningkatan jumlah ion klorida yang
masuk menyebabkan hiperpolarisasi sel sehingga kemampuan sel untuk dirangsang
akan berkurang. Maka hewan uji akan mengalami kondisi yang menunjukkan
aktivitas tubuh hewan uji melemah karena efek diazepam yang menidurkan atau
menghipnotik.

You might also like