You are on page 1of 166

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

AKURASI METODE REAL PCR


UNTUK ANALISA EKSPRESI GEN PmVRP15

Oleh : Rahayu Rahardianti dan Evy Maftuti Nur

ABSTRAK
Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode paling
sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA hingga sekarang. Prinsip
kerja qPCR adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi berdasarkan keberadaan
Reporter Fluorescens. Sinyal Fluorescens akan meningkat seiring dengan
bertambahnya produk PCR (amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon
yang signifikan pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen
target. Makin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin
cepat terjadi. Tujuan dari kegiatan ini untuk menetukan ekspresi gen PmVRP15
melalui real time PCR. Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan melalui real time PCR
(qPCR) dengan metode comparative CT, yaitu dengan menggunakan rumus
matematis untuk menghitung perbedaan tingkat ekspresi pada gen target. Analisis
melt curve pada amplifikasi gen target dan β-aktin dari data yang digunakan
dalam perhitungan ekspresi gen melalui comparative CT juga menunjukkan single
peak dengan kisaran Tm 83-84 oC yang mengindikasikan bahwa amplifikasi target
telah spesifik. Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu
qPCR dapat digunakan untuk penentuan ekspresi gen

Kata Kunci : PmVRP15, ekspresi gen, real time PCR

PENDAHULUAN

Organisme memiliki gen yang diekspresikan secara konstitutif pada


seluruh/beberapa jenis sel dan gen yang diekspresikan berbeda-beda bergantung
pada kondisi yang dihadapi organisme. Ekspresi gen tersebut secara molekuler dapat
dideteksi pada tahap transkripsi (mRNA) maupun translasi (protein) (Storey, 2004).
Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode
paling sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA (O’Connel, 2002).
Prinsip kerja qPCR adalah mendeteksi dan menguantifikasi reporter fluoresen.
Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk PCR
(amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon yang signifikan pada fase
eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen target. Makin tinggi tingkat
ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi (Arya et al.,
2005).
Terdapat dua jenis reporter fluoresen yang umumnya digunakan dalam qPCR,
yaitu Taqman dan SYBR Green. SYBR Green akan berfluoresensi ketika berikatan
dengan seluruh double-stranded DNA (dsDNA). Sinyal fluoresens SYBR Green
saat berikatan dengan dsDNA direkam setiap siklus sehingga menunjukkan banyak

1
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

produk yang teramplifikasi selama reaksi berlangsung (Bustin, 2000). Semakin


banyak template pada awal reaksi, maka semakin sedikit siklus amplifikasi yang
dibutuhkan untuk mencapai titik saat sinyal fluoresens SYBR Green terdeteksi lebih
tinggi dari ambang batas (threshold) fluoresens yang ditentukan (Bustin, 2000; Nolan
et al., 2006; Wong & Medrano, 2005). Siklus saat sinyal fluoresens pertama kali
meningkat melebihi threshold ini disebut threshold cycle atau disingkat CT (Nolan
et al., 2008; Schmittgen & Livak, 2008). Karena interkalasinya dengan seluruh
dsDNA, amplifikasi target dengan menggunakan SYBR Green harus diiringi dengan
tahap melt curve agar spesifitas produk dapat dianalisis. DNA akan terdenaturasi
pada suhu tertentu yang disebut melting temperature (Tm). Nilai Tm bergantung
pada ukuran dan komposisi nukleotida. Sinyal fluoresens akan dilepaskan ketika
dsDNA terdenaturasi menjadi single-stranded DNA (ssDNA), sehingga data Tm
dari setiap produk yang teramplifikasi dapat diketahui (Nolan et al., 2006). Apabila
amplifikasi produk telah spesifik, tahap melt curve akan menghasilkan single peak
dengan Tm yang identik.
Kuantifikasi qPCR secara secara relatif tidak dibutuhkan kurva kalibrasi
karena ekspresi gen target dibandingkan dengan gen housekeeping (reference atau
control gene) untuk normalisasi sampel (Pfaffl, 2004). Gen housekeeping ini dapat
diamplifikasi dalam tube yang sama dengan gen target pada multiplex assay atau
pada tube terpisah pada singleplex assay (Applied Biosystems, 2010). Perhitungan
ekspresi gen PmVRP15 pada kuantifikasi relatif dapat dilakukan dengan berbagai
metode, salah satunya adalah melalui comparative threshold cycle (CT) (Joyce,
2002; Pfaffl, 2004). Pada metode ini, nilai CT dijadikan dasar untuk
mengkuantifikasi ekspresi gen PmVRP15 secara relatif terhadap gen lain yang
berfungsi sebagai kontrol internal. Gen kontrol atau standar internal yang digunakan
dalam qPCR adalah gen housekeeping yang terekspresi secara konstitutif,
misalnya β-aktin atau GAPDH. Gen housekeeping yang digunakan dalam qPCR
harus terekspresi dalam tingkat yang cukup tinggi agar mudah terdeteksi. β-aktin
dilaporkan sebagai gen housekeeping yang memproduksi protein sitoskeleton yang
tingkat ekspresinya tidak terpengaruh karena infeksi Virus dan tidak ikut
teramplifikasi dengan pseudogen, sehingga memberikan hasil kuantifikasi yang lebih
akurat (Bustin, 2000; Raff, 1997; Vatanavicharn et al., 2014).
Tujuan dari kegiatan ini untuk menetukan ekspresi gen PmVRP15 dengan
metode Real Time PCR.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan meliputi : antikoagulan sodium sitrat 10%, Trizol
Reagent (Invitrogen, USA), isopropanol, ethanol 75%, kloroform, nuclease free-
water (Invitrogen, USA), AMV RT-ase 10U/μl (Promega, USA), AMV 5x RT
buffer (Promega, USA), RNase inhibitor 40U/μl (Promega, USA), MgCl225 mM

2
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(Promega, USA), dan dNTP mix 10mM (Promega, USA), DNase I recombinant
RNase-free 1U/μl (Invitrogen, USA), KAPA SYBR FAST qPCR Kit Master Mix
(2X) ABI Prism (KAPA Biosystems, USA), primer PmVRP15-RTF/R (amplikon
231 bp), dan primer β-aktin F/R (amplikon 124 bp)
Alat yang digunakan meliputi : dissecting set, pellet pestle, mikrotube,
mikropipet dan tips, refrigerated centrifuge (Eppendorf), heating block, ice-block,
mikrosentrifus (Sansio), vortexer (Thermolyne), PCR tubes, thermal cycler (Applied
Biosystems), 96-well-plate (Applied Biosystems), optical strips, microwave, tangki
elektroforesis, UV transiluminator, power supply, syringe 1 ml 27G x 13 mm
(Terumo), spektrofotometer NanoDrop 2000 (Thermoscientific), 7500 Fast Real-
time PCR System (Applied Biosystems)

Tata Kerja
Pengambilan Hemolimfe
Pada kegiatan ini sampel berupa hemolimfe (200 µL) yang akan diambil
dari bagian sinus ventral pada segmen abdomen kedua pada P. monodon dengan
menggunakan syringe 1 ml yang berisi 0,2 ml larutan antikoagulan sodium sitrat
10%. Pengambilan hemolimfe dilakukan per individu kemudian disimpan dalam
mikrotube dalam ice-box.

Isolasi RNA total


Hemolimfe yang telah diambil dimasukkan ke dalam mikrotube dan
dicampurkan dengan larutan Trizol 500 μl, kemudian dihomogenkan dengan
pellet pestle. Homogenat diinkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit dan
ditambahkan dengan 100 μl kloroform ditambahkan. Larutan ini disentrifugasi
pada 12.000 x g selama 15 menit pada suhu 40C. Fase yang bening (supernatan)
sebanyak 250 μl dipindahkan ke mikrotube baru dan ditambahkan 250 μl
isopropanol. Larutan ini divorteks selama 5-10 detik dan diinkubasi lagi dalam suhu
kamar selama 10 menit. Langkah selanjutnya adalah melakukan sentrifugasi kembali
pada 12.000 x g selama 10 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang kemudian
ditambahkan 500 μl etanol 75%. Larutan disentrifugasi kembali pada 7.500 x g
selama 5 menit. Etanol dibuang sehingga pellet RNA dapat dikeringanginkan. Ke
dalam pellet RNA ditambahkan dengan nuclease free-water sebanyak 20 μl
(modifikasi Life Technologies, 1999). Isolat ini divorteks dengan DNase I 0,01U/μl
(inkubasi 37 oC selama 30 menit, dilanjutkan inaktivasi 5 menit pada suhu 95 oC)
untuk menghilangkan kontaminasi gDNA, kemudian disimpan dalam freezer -80 oC
sebelum dilanjutkan ke proses sintesis cDNA. Konsentrasi dan tingkat kemurnian
RNA diukur dengan spektrofotometer NanoDrop 2000 (260/280 nm) dengan
volume 1 μl/sampel.

3
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Sintesis cDNA
Proses transkripsi balik dilakukan dengan pembuatan reverse transcription
mix dengan komposisi pada Tabel 1:
Tabel 1. Reverse transcription mix (modifikasi Schmittgen & Livak, 2008; Farell,
2005)

Sebanyak 10 µL aliquot dari primer mix dicampurkan dengan 2 µL RNA


template kemudian diinkubasi pada thermal cycler selama 5 menit pada suhu 70 oC.
Primer mix ini segera diinkubasi dalam es selama 5 menit. Sebanyak 15 µL aliquot
dari reverse transcription mix dimasukkan ke dalam tube PCR yang telah berisi
primer mix. Setelah vortexing dan spin-down, tube PCR kembali dimasukkan pada
thermal cycler selama 15 menit pada suhu 60 oC untuk tahap annealing. Untuk
melanjutkan ke tahap qPCR, RTase diinaktivasi dengan cara pemanasan selama 5
menit pada suhu 85 ºC. Sampel cDNA yang dihasilkan segera dianalisis dengan
qPCR atau disimpan pada suhu -20 oC (modifikasi Nolan et al., 2006; Schmittgen &
Livak, 2008).

Real-time PCR (qPCR)


Sebelum melakukan qPCR, perlu dilakukan pembuatan master mix qPCR
berdasarkan komposisi pada Tabel 2. Sampel cDNA diencerkan 10x untuk
diamplifikasi dengan menggunakan primer β-actin (untuk normalisasi) dan gen
target.

4
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Komponen master mix untuk qPCR (modifikasi KAPA Biosystems, 2013)

Sebanyak 15 µL aliquot master mix qPCR dari masing-masing primer


dimasukkan ke dalam well plate diikuti sampel cDNA sebanyak 5 µL. Well-plate
ditutup dengan optical strips dan disentrifugasi selama 5 menit pada 3.000 rpm.
Running di dalam mesin qPCR diprogram sesuai dengan Tabel 3.
Tabel 3. Siklus qPCR (modifikasi Vatanavicharn et al., 2014)

Analisis data
Nilai CT dipindahkan dari software ABI 7500 ke Microsoft Excel untuk
menghitung tingkat ekspresi relatif dengan menggunakan rumus R (Schmittgen &
Livak, 2008; Pfaffl, 2004; Wong & Medrano, 2005). Nilai R adalah rasio dan CT
adalah siklus saat terjadi perpotongan antara garis threshold dan baseline:

5
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Data CT diubah ke dalam bentuk linear (2- CT) kemudian dianalisis secara
statistik melalui Minitab 16 dengan two-samples t-test dengan nilai P<0,05 dengan
rata-rata ± standar deviasi untuk menentukan apakah nilai CT berbeda signifikan.
Hubungan antar resistensi populasi dan tingkat ekspresi gen target dianalisis secara
deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Tingkat Ekspresi Gen Melalui qPCR


Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan melalui real time PCR (qPCR) dengan
metode comparative CT, yaitu dengan menggunakan rumus matematis untuk
menghitung perbedaan tingkat ekspresi pada gen target (Schmittgen & Livak, 2008).
Analisis melt curve pada amplifikasi gen target dan β-aktin dari data yang
digunakan dalam perhitungan ekspresi gen melalui comparative CT juga
menunjukkan single peak dengan kisaran Tm 83-84 oC yang mengindikasikan
bahwa amplifikasi target telah spesifik (Gambar 1).

Gambar 1. Kurva melt curve pada saat amplifikasi gen PmVRP15 (kiri) dan reference
gene β-aktin (kanan) menunjukkan single peak sebagai penanda spesifitas produk

Dalam kuantifikasi gen secara relatif, perubahan tingkat ekspresi relatif


(fold change) > 1 menunjukkan adanya peningkatan ekspresi; sebaliknya jika
perubahan perubahan tingkat ekspresi < 1, maka dinilai terjadi penurunan ekspresi.
Nilai angka 1 merupakan kuantitas yang disepakati untuk penetuan gen target
(Agilent Technologies, 2012).. (Perbaiki keterangan gambar sesuai dengan gambar
masing-masing)

KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu qPCR dapat
digunakan untuk penentuan ekspresi gen dalam hal ini gen PmVRP15.

6
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna
Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan
teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan
makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Agilent Technologies. 2012. Introduction to Quantitative PCR: Methods and


Applications Guide. IN 70200 D
Andrade, A. J. 2011. Shrimp immunological reactions against WSSV: role of
haemocytes on WSSV fate. Faculty of Bioscience Engineering: Universiteit
Gent
Antony, S. P., Singh, I., Sudheer, N.S., Vrinda, S., Prijaya, P., & Philip, R. 2011.
Molecular characterization of a crustin-like antimicrobial peptide in the giant
tiger shrimp, Penaeus monodon, and its expression profile in response to
various immunostimulants and challenge with WSSV. Immunobiology 216
(2011): 184-194
Applied Biosystems. 2004. Guide to Performing Relative Quantitation of Gene
Expression Using Real-Time Quantitative PCR. P/N 4371095 RevA
Arya, M., Shergill, I., Williamson, M., Gommersall, L., Arya, N., & Patel, H. 2005.
Basic principles of the real time quantitative PCR. Expert Rev. <ol. Diagn. 5
(2): 1-11
Escobedo-Bonilla, C.M., Audoorn, L., Wille, M., Alday-Sanz, V., Sorgeloos, P.,
Pensaert, M.B., & Nauwynck, H.J. 2006. Standardized White spot syndrome
virus (WSSV) inoculation
Goni, R., Garcia, P., & Foissac, S. 2009. The qPCR data statistical analysis. Spain:
Integromics SL.Gopikrishna, G., Gopal, C., Shekhar, M. Kumar, K.V.,
Kannappan, S., &
Greber-Platzer, S., Schatzmann-Turhani. D., Cairns, N., Baclz, B., & Lubec, G.
1999. Expression of the transcription factor ETS2 in brain of patients with
Down syndrome-evidence against the overexpression-gene dosage
hypothesis. J. Neural Transm Suppl 57: 268-281
Gudkovs, N. 2009. ACIAR Project: Application of PCR for Improved Management
of Shrimp Disease in Asia Region. Jakarta: ACIAR
Joyce, C. 2002. Quantitative PCR: A Review of Current Methodologies. From
Methods in Molecular Biology vol. 193: RT-PCR Protocols. Edited by: J.
O’Connel. Totowa: Humana Press Inc.
KAPA Biosystems. 2013. KAPA SYBR FAST qPCR kit Master Mix (2x) ABI
Prism Technical Data Sheet. Boston: KAPA BIO

7
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PRODUKSI PROBIOTIK TEPUNG


PADA BERBAGAI JENIS FILLER

Oleh : Zariah dan Budi Santosa

ABSTRAK

Melimpahnya keberadaan marine yeast (khamir laut) dapat dijadikan sebagai agen
probiotik melalui kombinasi dengan indigenous bakteri probiotik lainnya, sehingga
diharapkan mampu menunjang keberhasilan budidaya. Probiotik dalam bentuk cair
terkendala pada efisiensi dan pengangkutan sedangkan probiotik kering terkendala
pada harga yang masih relatif tinggi mengingat masih menggunakan teknologi tinggi
sehingga sangat diperlukan teknik produksi probiotik dengan cara yang sederhana.
Tujuan dari kegiatan ini adalah menghasilkan produk probiotik indigenous (asli)
padat dengan teknik produksi yang sederhana serta dapat diaplikasikan dalam
kegiatan budidaya. Pembuatan probiotik kering dilakukan dengan menggunakan
berbagai macam filler yang dihomogenkan dengan biakan cair bakteri probiotik
kemudian dilakukan pengeringan pada suhu 50 °C. Berdasarkan pengujian
penggunaaan berbagi macam filler sebagai pembawa bakteri dapat dilihat bahwa
penggunaan filler tepung rumput laut, tepung kanji dan zeolit memiliki waktu
pengeringan lebih singkat yaitu 5 jam dengan suhu 50 °C. Sedangkan penggunaan
filler susu skim dan tepung terigu membutuhkan waktu pengeringan 10 jam.

Kata Kunci: probiotik, marine yeast, khamir laut, filler dan viabilitas

PENDAHULUAN

Penggunaan bakteri probiotik baik sebagai pengurai bahan organik maupun


sebagai feed additive memberikan kontribusi dalam memperbaiki kualitas
lingkungan budidaya dan mampu meningkatkan kesehatan udang sehingga tidak
mudah stress dan tahan terhadap serangan penyakit (Muliani, et al., 2010).
Keragaman diversitas mikroba yang terdapat secara alami dalam
usus (indigeneous) maupun mikroba eksogenous (diperoleh melalui
makanan/suplemen obat), baik yang bersifat menguntungkan dan sebagai probiotik
ataupun bersifat pathogen akan saling berkompetisi untuk mempertahankan jumlah
koloninya (Soccol et al. 2010). Karena itu mengkonsumsi kultur probiotik yang
sudah diperkaya jumlah koloninya pada dasarnya merupakan upaya untuk
mempertahankan dominasi mikroflora probiotik dalam saluran pencernaan.
Khamir tersebar luas di beberapa lingkungan alam seperti tanah, air tawar dan
air laut. Tersebarnya berbagai jenis yeast tergantung pada kandungan dan jenis bahan
organik yang tersedia, untuk lingkungan dekat pantai biasanya terdapat 10 – 1.000

8
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

sel ragi/L air sedangkan pada tempat yang kandungan bahan organik rendah seperti
wilayah samudera laut dalam mengandung < 10 sel/ L air (Navarrete, et al. 2014).
Selain bakteri sebagai kandidat probiotik, khamir laut juga banyak diteliti sebagai
immunostimulan namun masih sedikit yang menggunakan khamir laut ini sebagai
imunostimulan melalui aplikasi pakan atau sebagai agen yang mampu menekan
pertumbuhan bakteri vibrio di lingkungan budidaya. Melimpahnya keberadaan
khamir laut tersebut dapat dijadikan sebagai agen probiotik baik aplikasi pakan atau
air melalui kombinasi dengan bakteri probiotik indigenous lain, sehingga diharapkan
mampu menunjang keberhasilan budidaya.
Menurut Sukoso (2009) marine yeast merupakan khamir laut atau lebih
dikenal dengan ragi laut merupakan mikroorganisme yang diisolasi dari laut lalu
dikembangkan untuk menghasilkan massa sel. Dimana proses kultur khamir laut ini
dapat dimulai dengan mengisolasi mikroorganisme tersebut dari laut untuk kemudian
ditumbuhkan dalam media. Manfaat lain yang saat ini tengah dikembangkan adalah
sebagai immunostimulan, yaitu sebagai zat imunostimulator yang meningkatkan
daya resisten terhadap infeksi penyakit yaitu dengan meningkatkan respon imun non-
spesifik baik melalui mekanisme pertahanan hormonal maupun selular. Dengan
kandungan bheta-glucan yang dimiliki maka khamir laut sebagai immunostimulan
mampu meningkatkan aktivitas leukosit dan menjadi mediator imun. Saat ini khamir
laut juga telah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti bioremediasi
dalam bidang teknologi lingkungan; obat, vaksin, hormon dan probiotik dalam
industri kesehatan; penghasil enzim, penyedap rasa, pigmen dan pereduksi kimia
dalam industri makanan berbahan kimia. Selain itu, marine yeast ternyata memiliki
kelebihan mudah tumbuh dan berkembang dalam media fermentasi dengan
kepadatan > 108 sel/mL dalam waktu yang cepat serta sangat mudah dilakukan kultur
secara masal karena sifatnya yang mudah membentuk flokulan dan ukuran selnya
yang lebih besar daripada bakteri sehingga mudah untuk dibuat konsentrat dari kultur
cair (Chi et al; 2006).
Proses produksi perbanyakan strain mikroba probiotik ada yang
menggunakan teknik fermentasi cair pada fermentor dan pengeringan Broth
fermentasi serta teknik pengeringan dengan udara panas. Adapun sediaan probiotik
komersial yang ada di pasar saat ini tersedia dalam bentuk: probiotik kering dikemas
dalam bentuk bubuk, kapsul atau tablet dan probiotik cair. Namun probiotik cair
terkendala pada efisiensi dan pengangkutan sedangkan probiotik kering terkendala
pada harga yang masih relatif tinggi mengingat masih menggunakan teknologi tinggi
sehingga sangat diperlukan teknik produksi probiotik yang efisien dengan cara yang
sederhana.

Tujuan
Menghasilkan produk probiotik indigenous dalam bentuk tepung dengan
teknik produksi yang sederhana.

9
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

BAHAN DAN METODE

Bahan
Bahan yang digunakan antara lain : nutrien agar, MgSO4, NaCl, KCl, MRS
agar, nutrien broth, filler dari zeolite bubuk, tepung kanji, tepung terigu, susu skim,
limbah tepung rumput laut, CaCO3, isolat probiotik Lactobacillus plantarum,
Bacillus subtilis, B. licheniformis, Nitrobacter, khamir laut dan incubator shaker.

Alat
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi; lemari pengering, mixer,
pemanas, bunsen, tabung reaksi, cawan petri dan sealer.

Gambar 1. Lemari Pengering

Tata Kerja
Kandidat probiotik diperbanyak pada media Nutrien Broth diinkubasi selama
24 jam pada suhu 35 °C, kemudian dilakukan penambahan berbagai jenis filler
berupa limbah tepung rumput laut, susu skim, tepung terigu, tepung kanji dan zeolit.
Campuran bahan selanjutnya dihomogenkan kemudian dilakukan pengeringan pada
suhu 50 °C selama 5-7 jam di dalam lemari pengering. Setelah kering selanjutnya
dilakukan pengemasan dan penyimpanan. Probiotik tepung selanjutnya disimpan
selama10 bulan, tiap bulan masing-masing jenis filler dilakukan penghitungan total
bakteri.

(a) (b)

10
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(c) (d)
Gambar 2. Proses pembuatan probiotik tepung. (a) Menuangkan adonan probiotik ke
dalam Loyang, (b) Memasukkan loyang ke dalam lemari pengering, (c)
Pengaturan temperatur pengering (d) Produk probiotik tepung dalam
kemasan.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil pengujian berbagai jenis filler terhadap kemampuan mempertahankan


kadar bakteri probiotik disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji berbagai jenis filler terhadap kemampuan mempertahankan kadar
bakteri probiotik
Komposisi Lama Waktu
Jenis Bakteri: Pengeringan
No Keterangan
Filler Filler suhu 50 °C.
(mL:g) (jam)
Limbah Bahan seperti semula (sebelum
1 tepung 100 : 200 5 dikeringkan) dan mudah
rumput laut dipacking
Hasil kering keras, bahan harus
2 Susu skim 150 : 100 10
dihaluskan sebelum dipacking
Tepung Hasil kering keras, bahan harus
3 200 : 100 10
terigu dihaluskan sebelum dipacking
Tepung Bahan kering,mudah
4 100 : 100 5
kanji dihancurkan
Bahan kering,mudah
5 Zeolit 100 : 200 5
dihancurkan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan probiotik kering adalah jenis filler (pembawa) yang dipergunakan.

11
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pemilihan filler didasarkan pada kemudahan mendapatkan bahan, harga dan


kemampuan mempertahankan komposisi mikrobia di dalamnya. Berdasarkan hasil
pembuatan probiotik kering dengan filler limbah tepung rumput laut masih
terkontaminasi dengan bakteri lain walaupun sudah dilakukan sterilisasi terhadap
bahan yang digunakan. Sedangkan untuk filler dengan susu skim dan tepung terigu
hasil setelah pengeringan mengeras seperti batu dan susah dihaluskan sehingga tidak
dilakukan uji kepadatan lanjutan.

KESIMPULAN
Berdasarkan pengujian penggunaaan berbagi macam filler sebagai pembawa
bakteri dapat dilihat bahwa penggunaan filler tepung rumput laut, tepung kanji dan
zeolit memiliki waktu pengeringan lebih singkat yaitu 5 jam dengan suhu 50 °C.
Sedangkan penggunaan filler susu skim dan tepung terigu membutuhkan waktu
pengeringan 10 jam.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bpk Sugeng Raharjo selaku
Kepala Balai , dan teman – teman Laboratorium Manejemen Kesehatan Hewan
Akuatik yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Chi,Z., Liu, Z., Gao L., Gong,F., Ma, C., Wang,X., Li,H., 2006. Marine yeast and
their applications in mariculture. Joournal of Ocean University of China.
Vol 5. No3, pp.251-256.
Gama, L., F. Ascencio, and B. Ho, 2001. Probable application of marine yeasts
as probiotic supplements. Http:// www. np. edu. sg/.
Harmayani, E., Ngatirah., Rahayu, E.S., Utami, T. 2001. Ketahanan dan Viabilitas
Probiotik Bakteri Asam Laktat Selama Proses Pembuatan Kultur Kering
Dengan Metode Freeze dan Spray Drying. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan, Vol.XII, No. 2.
Muliani; Nurbaya; Muharijadi,A.2010. Penggunaan Probiotik Pada Pemeliharaan
udang Windu (Penaeus monodon ) Dengan Dosis Pakan Yang Berbeda.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. hal 249-250.
Navarrete, P., and Tovar, R.,2014.Use of yeast as probiotics in fish aquaculture.
Intech. 5: 135-156.
Soccol, C.R., de Souza Vandenberghe, L.P., Spier, M.R., Medeiros, A.B.P.,
Yamaguishi, C.T., De Dea Lindner, L., Pandey, A., and Thomaz-Soccol, V.
The Potential of Probiotics: A Review. Food Technol. Biotechnol. 48 (4)
413–434 (2010).
Sukoso, 2009. Khamir Laut sebagai Pengganti Kedelai dalam Industri Pangan.
https://prasetya.ub.ac.id/. Tanggal akses 5 Maret 2016.

12
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

ANALISIS SEKUENSING GEN CYTOCHROME OXIDASE 1


DAN 16SrDNA PADA BEBERAPA KOMODITAS UDANG

Oleh : Rahayu Rahardianti dan Evy Maftuti Nur

ABSTRAK

Sekuensing merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu gen. Identitas
suatu gen yang telah diketahui sekuennya dapat ditentukan dengan membandingkan
dengan data sekuen yang terdapat pada Genbank. Salah satu metode yang dapat
digunakan dengan menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk menelaah
profil DNA gen Cytocrome oxidase 1 dan 16S-rDNA. Penggunaan primer tersebut
telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan
praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Tujuan
dari kegiatan ini adalah mengidentifikasi gen cytochrome oxidase 1 dan 16S-rDNA
melalui proses sequensing pada beberapa komoditas udang. Proses Sequensing
dilakukan dengan mengamplifikasi gen cytochrome oxidase1 dan 16S rDNA dengan
metode PCR menggunakan primer universal 63f forward primer dan reverse primer
1387r, LCO dan HCO. hasil amplifikasi dielektroforesis dengan agarose 1,5% dan
selanjutnya dilakukan sekuensing terhadap gen cytochrome oxidase1dan 16SrRNA.
Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa analisis sequensing mampu
mengidentifikasi isolat dari beberapa komoditas udang secara genetik dari sekuens
gen 16S-rDNA dan Cytochrome Oxidase I dengan hasil yang lebih akurat dan waktu
lebih singkat. Selain itu dari isolat yang dianalisis menunjukkan urutan nukleotida
gen 16S rDNA dan Cytochrome Oxidase I mempunyai kesamaan 100% dengan
Fenneropenaeus merguiensis mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii
mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii voucher SIF-MR 14 16S ribosomal RNA
gene, voucher CIFE-MUM-PM3 cytochrome oxidase subunit I COI) gene, Penaeus
monodon cytochrome oxidase subunit I gene, Macrobrachium rosenbergii haplotype
Hap36 cytochrome oxidase subunit I (CO1) gene Macrobrachium rosenbergii
haplotype 37 cytochrome oxidase subunit I (COI) gene.

Kata Kunci : Gen 16S rDNA, Cytochrome Oxidase I, PCR, Sekuensing.

PENDAHULUAN

Sekuensing DNA atau pengurutan DNA adalah suatu proses atau teknik
penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut dikenal
sebagai sekuen DNA, yang merupakan informasi paling mendasar suatu gen atau
genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh
makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk menentukan identitas

13
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara membandingkan
sekuennya dengan sekuen DNA lain yang sudah diketahui.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis deteksi bakteri dengan
menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk menelaah profil DNA gen
Cytochrome oxidase1 (COI) dan 16S-rDNA. Penggunaan 16S-rDNA telah
digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan
praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Salah
satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas deteksi molekuler berbasis PCR
ialah pemilihan primer yang tepat (Rychlic 1995). Primer PCR merupakan
oligonukleotida yang berperan sebagai inisiasi amplifikasi molekul DNA.
Keberadaan primer PCR tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang
reaksi PCR berlangsung. Analisis PCR dengan primer spesifik merupakan langkah
terbaik untuk kepentingan deteksi bakteri patogen karena dapat menghasilkan
penentuan secara cepat keberadaan gen target, cukup sensitif dan mudah digunakan
dalam kegiatan rutin.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi gen cytochrome oxidase
1 dan 16S-rDNA melalui proses sequensing.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan meliputi : aquades, alkohol, primer set (cytochrome
oxidase 1 dan 16S-rDNA), bahan analisa PCR untuk amplifikasi DNA, Polymer POP
7, conditioning reagent, cathode buffer, anode buffer, ethidium bromide, gel
agarosa, 0,5x TBE buffer, loading dye, ethidium bromide, alkohol 70%.
Alat yang digunakan meliputi : mikropipet, thermocycler (mesin PCR), 3500
Genetic Analyzer, gunting bedah, elektroforesis, rak tabung, ruang asam dan ruang
steril, peralatan PCR, lampu bunsen, UV Transiluminator, sentrifus, digibox kamera,
vortex mixer, pellet pestle, tabung ependorf, sarung tangan.

Tata Kerja

Isolasi DNA Genomik


Isolasi DNA Genomik dari sampel udang dilakukan dengan metode Wizard
DNA Purification Kit. DNA genom disimpan pada suhu -20°C untuk selanjutnya
digunakan pada tahap amplifikasi gen Cytochrome oxidase1 (COI) dan 16SrDNA.

Amplifikasi gen Cytochrome oxidase 1 dan 16S-rDNA dengan PCR


Primer yang digunakan adalah primer universal untuk domain bakteri berupa
forward primer 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan reverse
primer 1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al. 1998) serta

14
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

primer LCO (5’-GGT CAA CAA ATC ATA AAG ATA TTG G-3’) dan HCO (5’-
TAA ACT TCA GGG TGA CCA AAA AAT CA-3’). Semua komponen reaksi
dicampur ke dalam microtube dan dimasukkan ke dalam mesin PCR. Tahapan PCR
terdiri dari pre-denaturasi 94oC, 2 menit; tahap denaturasi 92oC, 30 detik; tahap
annealing 55oC, 30 detik, tahap elongasi 72oC selama 1 menit. Proses PCR terdiri
dari 30 siklus. Selanjutnya post PCR pada suhu 75oC selama 20 menit dan tahap stop
PCR pada suhu 4oC. Hasil PCR disimpan pada suhu -20oC atau langsung
dielektroforesis.

Elektroforesis dan Visualisasi


Gel elektroforesis disiapkan dengan 1,5 % agarose dalam 0,5x buffer TBE,
dipanaskan dan setelah larut didinginkan sampai 50 oC kemudian dituang pada
cetakan gel. Wadah yang sudah berisi gel diberi buffer 0,5x buffer TBE secukupnya
kemudian memasukkan sampel hasil digesti pada sumur-sumur gel. Pada waktu
elektroforesis diberikan suatu marker atau penanda molekul DNA. Elektroforesis
dilakukan pada kondisi 30-40 Volt dan 28 –29 mA dan diakhiri setelah bromofenol
sampai tepi bawah gel.

Purifikasi Produk PCR


Setelah dilakukan Elektroforesis selanjutnya dilakukan purifikasi produk
PCR untuk menjamin kemurnian hasil PCR sehingga tidak akan berpengaruh
terhadap hasil sequensing.

Sekuensing dan Analisis Sekuen DNA


Sekuensing dilakukan dengan piranti Automated DNA Sequencer Applied
Biosystem 3500 Genetic Analyzer. Cycle sequencing DNA template dilakukan
menggunakan kit BigDye® Ready Reaction Mix (Perkin Elmer Biosystem, USA).
Campuran cycle sequencing terdiri atas 1 µL (300-500 ng) DNA template, 3,2 pmol
primer, 1 µL DMSO, 6 µL BigDye® Ready Reaction Mix, dan nuclease free water
untuk menggenapkan volume menjadi 20 µL. Proses cycle sequencing dilakukan
pada mesin sequencer dengan kondisi sebagai berikut: pre-PCR pada suhu 94 oC
selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94 oC selama 30 detik, annealing atau
pelekatan primer (50 oC, 30 detik), elongasi atau pemanjangan primer (72 oC, 2
menit), dan post-PCR (72 oC, 7 menit) dengan jumlah siklus sebanyak 25 kali. Hasil
cycle sequencing tersebut selanjutnya dimurnikan dengan metode BigDye® X-
Terminator Kit. Pada metode pemurnian ini campuran hasil cycle sequencing
dimasukkan dalam tabung Eppendorf yang berisi 90 µL SAM Solution dan 20 µL
BigDye® X-Terminator Kit lalu divorteks selama 30 menit pada kecepatan yang
memungkinkan semua cairan tercampur merata. Setelah itu cairan disentrifus dengan
kecepatan 1000 g selama 2 menit dan siap running CE (Capilarry Elektroforesis).

15
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen Cytochrome oxidase 1 dan 16SrDNA


DNA genomik yang telah diisolasi dan diekstraksi dari 10 isolat kemudian
dianalisis dengan metode PCR untuk mengamplifikasi gen 16S rDNA. Hasil
amplifikasi gen 16SrDNA ditunjukkan dengan pita dikisaran 1500 bp. Hasil
amplifikasi gen 16SrDNA ditunjukkan pada gambar 1.
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Gambar 1 : Hasil elektroforesis gel amplifikasi gen 16S-rDNA, M : marker, 1-10 :


Sampel, 11: kontrol negatif

Untuk melihat spesies, maka hasil amplifikasi dilakukan proses sekuensing.


Urutan nukleotida hasil sekuensing ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Sekuens gen Cytochrome oxidase 1 dan 16SrDNA
Isolat Sekuens gen
Primer 16S rDNA-F dan 16S rDNA-R
16-F-18dan 16-R-18 (554 bp)
GCCTGTTTAACAAAAACATGTCTATATGATTGTTATATAAAGTCTA
GCCTGCCCACTG
ATTTAGTTTAAAGGGCCGCGGTATATTGACCGTGCGAAGGTAGCAT
AATCATTAGTCTTT
TAATTGAAGGCTTGTATGAATGGTTGGACAAAAAGTAAGCTGTCTC
AATTATAATAATTG
AACTTAACTTTTAAGTGAAAAGGCTTAAATAAATTAAGGGGACGAT
A
AAGACCCTATAAAG
CTTGACAATAATTTAATTATACTATCAATTGTTAGTGTAACTTGGTT
TTAATTAAAATTT
GTTGCGTTGGGGCGACGAGAATATAATAGGTAACTGTTCTTAAATA
TTTAATAACAAATA
TAATTGAAAATTAGTGTGATCCTCTATTAGCGATTAAAAGATTAAG
TTACTTTAGGGATA
ACAGCGTAATCTTCTTTGAGAGTCCATATCGACAAGAAGGTTTGCG
ACCTCGATGTTGAA

16
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TTAAGGTATCCTTATGATGCAGCAGTTATAAAGGAAGGTCTGTTCG
ACCTTTAAATCCTT
ACATGATCTGAGTTCA
16-F-20 dan 16-R-20 (548 bp)
CGCCTGTTTAACAAAAACATGTCTGTGTGAATTAGTTATAAAGTCT
AGCCTGCCCACTG
ATTTATTTAAAGGGCCGCGGTAATTTGACCGTGCGAAGGTAGCATA
GTCAGTAGTCTTTT
AATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATAAACTGTCTCC
TTAGCGGCGTTTGA
ATTTAACTTTTGAGTGAAAAGGCTCAAATTGTTTAGGGGGACGATA
AGACCCTATAAAAC
TTGATATAATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTT
B
TGTCTGGTTTATAT
TTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATAAAATTT
TATAGCATTGACTA
GAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAGGAGAATAAGTTACTTTAGGG
ATAACAGCGTGATT
TTCTTTGAGAGTTCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTT
GAATTAAAATTTCA
GCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCTTTAAAAT
TTTACATGATCTGA
GTTCAGAC
16-F-21 dan 16-R-21 (545bp)
CGCCTGTTTAACAAAAACATGTCTGTGTGAATTAGTTATAAAGTCT
AGCCTGCCCACTG
ATTTATTTAAAGGGCCGCGGTAATTTGACCGTGCGAAGGTAGCATA
GTCAGTAGTCTTTT
AATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATAAACTGTCTCC
TTAGCGGCGTTTGA
ATTTAACTTTTGAGTGAAAAGGCTCAAATTGTTTAGGGGGACGATA
AGACCCTATAAAAC
C TTGATATAATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTT
TGTCTGGTTTATAT
TTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATAAAATTT
TATAGCATTGACTA
GAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAGGAGAATAAGTTACTTTAGGG
ATAACAGCGTGATT
TTCTTTGAGAGTTCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTT
GAATTAAAATTTCA
GCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCTTTAAAAT
TTTACATGATCTG

17
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

AGTTCA
16-F-22 (444bp)
GTAGTCTTTTAATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATA
AACTGTCTCCTTAGCGGCGTTTGAATTTAACTTTTGAGTGAAAAGG
CTCAAATTGTTTAGGGGGACGATAAGACCCTATAAAACTTGATATA
ATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTTTGTCTGGT
TTATATTTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATA
D
AAATTTTATAGCATTGACTAGAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAG
GAGAATAAGTTACTTTAGGGATAACAGCGTGATTTTCTTTGAGAGT
TCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTTGAATTAAAATTT
CAGCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCCTTTAA
AAATTTTACATGATCTGAGTTCAGACCGGA

Primer LCO dan HCO


J1 (Primer: HCO) (619 bp)
ATGTATTTAAATTACGATCTGTTAACAGTATAGTAATAGCTCCTGCT
AGGACTGGTAAAGATAGTAATAGAAGTAGGGCTGTAATAAACACT
GCTCAAACAAAAAGTGGTATTCGGTCTATAGTTATTCCTGTCGATC
GTATATTGATAACGGTCGTTATAAAGTTTACAGCACCTAAGATTGA
TGAAACCCCTGCTAAGTGCAATGAAAAAATACCTAGGTCAACTGA
AGCACCTGCATGAGCAATTCTGGCTGACAAAGGAGGATATACTGTT
E CATCCAGTTCCAACTCCTCTTTCAACTATACCTCTAGACAAAAGTA
AAGTCAATGAAGGTGGTAAAAGTCAGAAACTTATATTATTTATTCG
GGGAAATGCTATATCTGGGGCGCCTAATATTAAAGGGACAAGTCA
ATTTCCAAAACCTCCAATCATAATAGGTATAACTATAAAAAAAATT
ATAACGAAAGCGTGAGCTGTAACCACTACATTGTAAATTTGATCAT
CTCCAATAAGGCTTCCTGGTTGACCTAATTCAGCACGAATAATAAG
ACTAAGAGCTGTACCTACTATTCCTGCTCAAGCTCCGAAAATAAAG
TATAAAGTTCCAATATCTTTATGA
J1 (Primer: LCO)(641 bp)
TAAACTTCAGGGTGACCAAAAAATCAAAATAAATGTTGATATAAA
ACAGGGTCACCACCTCCTGCTGGGTCAAAGAA
TGATGTATTTAAATTACGATCTGTTAACAGTATAGTAATAGCTCCT
GCTAGGACTGGTAAAGATAGTAATAGAAGTAGGG
CTGTAATAAACACTGCTCAAACAAAAAGTGGTATTCGGTCTATAGT
TATTCCTGTCGATCGTATATTGATAACGGTCGTT
ATAAAGTTTACAGCACCTAAGATTGATGAAACCCCTGCTAAGTGCA
ATGAAAAAATACCTAGGTCAACTGAAGCACCTGC
ATGAGCAATTCTGGCTGACAAAGGAGGATATACTGTTCATCCAGTT
CCAACTCCTCTTTCAACTATACCTCTAGACAAAA
GTAAAGTCAATGAAGGTGGTAAAAGTCAGAAACTTATATTATTTAT
TCGGGGAAATGCTATATCTGGGGCGCCTAATATT

18
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

AAAGGGACAAGTCAATTTCCAAAACCTCCAATCATAATAGGTATA
ACTATAAAAAAAATTATAACGAAAGCGTGAGCTGT
AACCACTACATTGTAAATTTGATCATCTCCAATAAGGCTTCCTGGTT
GACCTAATTCAGCACGAATAATAAGACTAAGAG
CTGT
M1 (Primer: HCO) (617 bp)

GATGTATTTAGGTTTCGATCAGTTAAGAGCATGGTAATGGCTCCGG
CTAAAACTGGTAGTGAGAGAAGAAGCAGGATGGCTGTTAGAAATA
CGGCCCATACGAATAGGGGCAGTCGATCTATAGTTATTCCTGGGGC
TCGTATGTTAATCACTGTGGTAATAAAGTTGACAGCTCCTAGGATT
GAAGAGACTCCTGCTAGGTGGAGGGAAAAGATACCTAGATCTACC
GATGCTCCGGCGTGGGCGGTACCAGCTGCTAGTGGTGGGTAAACA
GTTCATCCTGTGCCAACCCCTCTTTCTACTATTCCTCTGGATAGAAG
AAGTGTTAGAGATGGGGGTAGGAGTCAGAATCTTATGTTGTTTATG
CGTGGGAATGCTATGTCTGGGGCCCCTAATATTAGGGGTACTAGTC
AATTACCGAAACCACCAATTATGATCGGTATAACTATGAAAAAAAT
TATTACGAATGCGTGGGCAGTGACAATTACGTTGTAGATTTGGTCA
TTTCCGATCAGTCTGCCTGGCTGCCCTAATTCTGCTCGAATTAAGAG
F
TCTTAGTGACGTACCTACCATGCCTGCTCACGCTCCGAAGATAAAA
TATAGTGTTCCAATATCTTTM1 (primer: LCO) (496 bp)

GAATTAGGGCAGCCAGGCAGACTGATCGGAAATGACCAAATCTAC
AACGTAATTGTCACTGCCCACGCATTCGTAATAATTTTTTTCATAGT
TATACCGATCATAATTGGTGGTTTCGGTAATTGACTAGTACCCCTA
ATATTAGGGGCCCCAGACATAGCATTCCCACGCATAAACAACATA
AGATTCTGACTCCTACCCCCATCTCTAACACTTCTTCTATCCAGAGG
AATAGTAGAAAGAGGGGTTGGCACAGGATGAACTGTTTACCCACC
ACTAGCAGCTGGTACCGCCCACGCCGGAGCATCGGTAGATCTAGGT
ATCTTTTCCCTCCACCTAGCAGGAGTCTCTTCAATCCTAGGAGCTGT
CAACTTTATTACCACAGTGATTAACATACGAGCCCCAGGAATAACT
ATAGATCGACTGCCCCTATTCGTATGGGCCGTATTTCTAACAGCCA
TCCTGCTTCTTCTCTCACTACCAGTTTTAGCCGGAG

Hasil sekuensing ini menghasilkan urutan nukleotida gen COI dan 16SrDNA.
Terhadap urutan nukleotida gen COI dan 16SrDNA diBlast secara online melalui :
http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. Hasil blast menunjukkan kesamaan urutan
nukleotida gen COI dan 16S rDNA isolat yang diperoleh dengan urutan nukleotida
gen 16S rDNA yang ada pada GenBank. Hasil blast ditunjukkan pada tabel 1.
Selanjutnya untuk melihat hubungan kekerabatan tiap-tiap isolat yang mempunyai
kesamaan gen COI dan 16S rDNA, maka dilakukan pensejajaran secara on line
melalui http://expasy.org/tools/

19
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Hasil Blast Gen Cytochrome Oxidase 1 dan 16SrDNA


No Isolat Deskripsi spesies Max identity % Coverage
Udang Fenneropenaeus
1 99,64% 100
vaname merguiensis mitochondrion
Macrobrachium rosenbergii
2 Udang windu 98,91% 100
mitochondrion
Macrobrachium rosenbergii
98,87%
3 Udang windu voucher SIF-MR 14 16S 100
ribosomal RNA gene
voucher CIFE-MUM-PM3
4 Udang windu cytochrome oxidase subunit 100 % 100
I COI) gene
Penaeus monodon
5 Udang windu cytochrome oxidase subunit 99 % 100
I gene
Macrobrachium rosenbergii
haplotype Hap36
6 Udang windu 99,84 % 100
cytochrome oxidase
subunit I (CO1) gene
Macrobrachium rosenbergii
haplotype 37 cytochrome
7 Udang windu 100 % 100
oxidase subunit I
(COI) gene

KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa analisis sequensing mampu


mengidentifikasi isolat dari beberapa komoditas udang secara genetik dari sekuens
gen 16S-rDNA dan Cytochrome Oxidase I dengan hasil yang lebih akurat dan waktu
lebih singkat. Selain itu dari isolat yang dianalisis menunjukkan urutan nukleotida
gen 16S rDNA dan Cytochrome Oxidase I mempunyai kesamaan 100% dengan
Fenneropenaeus merguiensis mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii
mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii voucher SIF-MR 14 16S ribosomal RNA
gene, voucher CIFE-MUM-PM3 cytochrome oxidase subunit I COI) gene, Penaeus
monodon cytochrome oxidase subunit I gene, Macrobrachium rosenbergii haplotype
Hap36 cytochrome oxidase subunit I (CO1) gene Macrobrachium rosenbergii
haplotype 37 cytochrome oxidase subunit I (COI) gene.

20
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna
Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan
teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan
makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Suwanto A. 1994. Pulsed-field gel electrophoresis: A revolution in microbial genetic.


Aspac. J. Mol. Biotechnol. 2:78-85 Dieffenbach dan Dveksler 1995).
Rychlic W. 1995. Selection of primer for polymerase chain reaction. Mol biotechnol
3:129-134.
Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade WG.
1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that
amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Appl Environ. Microbiol
64:795-9.
Suwanto A. 2002. Complication of Practical Manual. Biotrop Training Course in
Microbial Biodiversity.
Rybicki EP, Purves M. 1996. Enzyme-assisted immunoelectroblotting (IEB or
western blotting). Di
dalam: Coyne VE, James MD, Reid SJ, Rybicki EP (ed) Molecular Biology
Techniques Manual. Ed ke-3. Cape Town: Departemen of Microbiology
University of Cape Town.
Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Maniatis. 1989. Molecular cloning. A laboratory
manual 2nd edition. Cold spring harbor lab press. USA

21
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

STATUS INFEKSI IHHNV PADA BENIH UDANG WINDU


MUSIM HUJAN DAN MUSIM KEMARAU
DI PEMBENIHAN BBPBAP JEPARA

Oleh : Rahayu Rahardianti dan Juni Setyowati

ABSTRAK

Virus IHHNV dikenal sebagai virus penyebab penyakit kerdil udang windu Virus ini
umumnya menginfeksi benih udang windu secara tunggal. Deteksi virus pada satu
individu udang dapat dilakukan menggunakan metode PCR. Metode PCR sangat
efisien karena dapat mendeteksi secara dini dan cepat. Kegiatan ini bertujuan untuk
mendeteksi tingkat infeksi virus IHHNV selama musim hujan dan kemarau pada
pembenihan udang windu di BBPBAP Jepara. Ekstraksi DNA menggunakan Lysis
Buffer. DNA virus diamplifikasi menggunakan 1 pasang primer spesifik yang
ditandai oleh jumlah pita yang muncul. Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa
tingkat infeksi positif IHHNV benih udang windu pada musim hujan lebih tinggi
(43,33%) dibandingkan pada musin kemarau (16,00%).

Kata Kunci : IHHNV, Musim hujan, musim kemarau, infeksi, benih udang windu

PENDAHULUAN

Penyakit kerdil (IHHNV) pada udang windu sebenarnya telah banyak


menyebabkan kerugian petani tambak karena ukuran udang yang tidak bisa mencapai
ukuran standar sesuai umur udang tersebut, namun laporan tentang kerugian ekonomi
yang dialami usaha budidaya di belum pernah dilaporkan. Sriwulan (2012)
melaporkan adanya fenomena udang windu kerdil di tambak di Sulawesi Selatan
yaitu udang windu berukuran sekitar 4.12– 16.86 g setelah 4 bulan pemeliharaan.
Kasus Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis vrius (IHHNV)
pada udang windu telah dilaporkan di beberapa negara. Multiplikasi virus IHHNV
pada L. vannamei yang dipelihara pada air hangat (32.8 oC dan 31.1 oC)
memperlihatkan tingkat replikasi yang lebih rendah dibanding dengan yang
dipelihara pada suhu dingin (24.4 - 26.3 oC) (Montgomery-Brock et al., 2007). Hal
ini memperlihatkan bahwa dinamika perkembangan virus sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan. Oleh sebab itu, kegiatan ini akan melihat perbedaan musim yang
mempengaruhi parameter kualitas air media budidaya terhadap keberadaan virus-
virus penyebab udang kerdil. Di Indonesia penelitian tentang penyakit udang kerdil
belum banyak dipublikasi baik pada pembenihan maupun pada tambak di dua musim
yang berbeda yaitu musim hujan dan kemarau khususnya mengenai model/tipe
infeksi virus penyakit kerdil terhadap udang windu.

22
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tujuan dari kegiatan ini untuk mengetahui tingkat infeksi IHHNV pada
musim hujan dan musim kemarau pada benih udang windu di Pembenihan BBPBAP
Jepara.

BAHAN DAN METODE

Sampel
Sampel berupa benih udang windu berukuran pasca larva PL 8-12 sebanyak
30 sampel dari pembenihan di BBPBAP Jepara.

Bahan dan Alat


Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah mikrotube, mikropipet,
vortex mixer, sentrifus, thermal cycler, elektroforesis, uv transilluminator, digibox,
waterbath, inkubator, dan laminar flow. Sedangkan bahan yang digunakan dalam
kegiatan ini adalah primer 389F (5’-CGGAACACAACCCGACTTTA-3’) dan 389R
(5’-GGCCAAGACCAAAATACGAA- 3’), lysis buffer, ethanol absolut, double
distilled water (DDW)/akuabides, Master Mix, agarose LE, ethidium bromide,
loading buffer, buffer TBE, 100 bp DNA ladder.

Tata Kerja
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA menggunakan metode lysis buffer. Untuk mendapatkan
ekstrak DNA virus dari benih, organ yang dipakai adalah seluruh tubuh udang.
Prosedur ekstraksi DNA sebagai berikut :
a. Menghancurkan jaringan sampel (insang, otot, karapas) sampai rata atau
menghomogenkannya dengan gunting dan pinset.
b. Memasukkan jaringan 0,2 gram ke dalam microtube kemudian menumbuk
dengan pellet pestel.
c. Menambahkan 500 μL lysis buffer kemudian menghomogenkannya dengan
pellet pestel.
d. Diinkubasi pada suhu 95 0C selama 10 menit.
e. Mendinginkan sampel pada suhu ruang ± 5 menit.
f. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 g selama 10 menit.
g. Memindahkan 200 µL supernatan ke dalam microtube baru kemudian
menambahkan 400 µL etanol absolute.
h. Disentrifugasi pada kecepatan 12.000 g selama 5 menit.
i. Supernatan dibuang dan dikeringkan selama 10 menit.

23
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Amplifikasi PCR
a. Reaksi PCR untuk deteksi IHHNV
1) Komposisi larutan PCR untuk deteksi IHHNV (25μL/reaksi) dibuat dengan
mencampurkan bahan-bahan sebagai berikut :
 DDW 10,5 µL
 MM 12,5 µL
 Primer 389F 0,5 µL
 Primer 389R 0,5 µL
 Sampel DNA 1 µL
Total volume 25 µL
2) Banyaknya bahan yang dipersiapkan adalah 1,1 x jumlah sampel
3) Setelah semua bahan dicampur, kecuali sampel DNA bagikan ke
dalam mikrotube 0,2 mL dengan volume masing-masing 24 L
4) Tambahkan sampel DNA, termasuk kontrol negatif dan kontrol
positif
5) Pengaturan suhu pada thermal cycler sebagai berikut :
Thermal cycler diatur dengan hot start 95 °C selama 5 menit, suhu
denaturasi 95 °C selama 30 detik, suhu annealing 55 °C selama 30
detik, suhu extention 72 °C selama 1 menit. Proses PCR dilakukan
sebanyak 35 siklus. Kemudian dilanjutkan dengan extra extention 72
°C selama 7 menit. Setelah proses selesai sampel disimpan pada suhu
4 °C.

Infeksi IHHNV
Prevalensi tipe infeksi adalah persentase jumlah benih udang windu yang
terinfeksi setiap tipe infeksi dalam setiap populasi udang pada musim kemarau dan
hujan. Prevalensi virus. Pengukuran prevalensi WSSV menggunakan rumus menurut
Fernando et .al (1972) diacu dalam Pratama (2011), adalah sebagai berikut :
Tingkat infeksi= Jumlah sampel udang terinfeksi x 100%
Jumlah sampel udang yang diamati

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel benih udang windu di pembenihan


BBPBAP Jepara pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2016 diperoleh hasil
seperti pada Gambar 1 dan Tabel 1.

24
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

1 2 3 4 5 6 7 8 M

389 bp

Gambar 1. Hasil PCR benih udang windu, M adalah marker 100bp, lane 1 kontrol
positif (389 bp), lane 2 kontrol negatif, lane 3,4,5,6,7,8 positif IHHNV

Tabel 1. Hasil Analisa PCR virus IHHNV


Kode Hasil
No Tanggal Jenis Sampel Keterangan
Sampel Analisa
1 4 Januari 2016 A.16.03 Hujan
Benih udang windu (+) IHHNV
2 19 Januari A.16.05 (+) IHHNV
2016 A.16.06 Benih udang windu (-) IHHNV Hujan
A.16.07 (+) IHHNV
3 09 Februari A.16.34 (+) IHHNV
2016 A.16.35 (+) IHHNV
A.16.36 Benih udang windu (+) IHHNV Hujan
A.16.37 (-) IHHNV
A.16.38 (-) IHHNV
4 15 Februari A.16.49 (+) IHHNV Hujan
Benih udang windu
2016 A.16.50 (-) IHHNV
5 01 Maret 2016 A.16.70 Benih udang windu (+) IHHNV Hujan
6 01 Maret 2016 A.16.71 Benih udang windu (+) IHHNV Hujan
7 02 Maret 2016 A.16.75 (+) IHHNV
Benih udang windu Hujan
A.16.76 (+) IHHNV
8 23 Maret 2016 A.16.99 (+) IHHNV
Benih udang windu Hujan
A.16.100 (+) IHHNV
9 25 April 2016 A.16.114 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau
10 27 April 2016 A.16.121 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau
11 03 Mei 2016 A.16.123 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau
12 11 Mei 2016 A.16.136 (-) IHHNV
A.16.137 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau
A.16.138 (-) IHHNV
13 06 Juni 2016 A.16.162 (-) IHHNV
A.16.163 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau
A.16.164 (-) IHHNV
14 14 Juni 2016 A.16.166 (-) IHHNV
Benih udang windu Kemarau
A.16.167 (-) IHHNV

Dari sampel yang dianalisa dapat dilihat tingkat infeksi IHHNV sebagaimana
pada Tabel 2.

25
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Tingkat infeksi IHHNV pada musim hujan dan musim kemarau
Tingkat Infeksi IHHNV
No Uraian
Musim Hujan Musim Kemarau
1 Positif IHHNV 13 (43,33 %) 5 (16,00 %)
2 Negatif IHHNV 6 (20,00 %) 11 (36,67 %)
Jumlah
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa tingkat infeksi IHHNV pada musim
hujan lebih tinggi dari pada tingkat infeksi pada musim Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perubahan kualitas media seperti suhu, salinitas dan pH yang pada
musim hujan relatif tidak stabil (fluktuatif) sehingga menyebabkan larva mudah
terinfeksi virus.

KESIMPULAN

Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa tingkat infeksi positif IHHNV
benih udang windu pada musim hujan lebih tinggi (43,33%) dibandingkan pada
musin kemarau (16,00%).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna
Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan
teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan
makalah ini

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2011. Manual of diagnostic test for aquatic animal. Office International
Des Epizooties. Fourth edition. France. p.78-95
Flegel, T. W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for
aquaculture. Science Asia, 32: 215 – 221.
Lightner, D.V., Redman, R.M. and Bell, T.A. 1983. Infectious hypodermal and
hematopoietic
necrosis, a newly recognized virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr.
Pathol. 42, 62– 80.
Poulpanich, N., and Withyachumnarnkul, B. 2009. Fine structure of a septate
gregarine trophozoite in the black tiger shrimp Penaeus monodon. Dis Aquat
Org, 86: 57–63
Sriwulan, Tahir, A., Rantetondok, A., dan Baharuddin. 2012. Pengembangan
Multipleks PCR (MPCR) untuk mendeteksi virus penyakit kerdil udang
windu di tambak pada musim berbeda. e-jurnal Pascasarjana UNHAS. 14 hal.
Sriwulan dan Anshary, H. 2011. Deteksi virus penyebab penyakit kerdil pada benih
udang windu (Penaeus monodon) dengan multipleks PCR. J. Fish. Sci. XIII
(1): 1-7.

26
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TINGKAT INFEKSI WSSV, IMNV DAN EHP


PADA SAMPEL UDANG ASAL BANYUWANGI

Oleh : Evy Maftuti Nur dan Rahayu Rahardianti

ABSTRAK
Udang masih menjadi komoditas usaha perikanan budidaya yang sangat menarik
bagi pengusaha bidang akuakultur. Kelemahan dalam budidaya udang adalah adanya
serangan penyakit yang mengakibatkan turunnya produksi yang sangat drastis.
Kejadian WSSV (White spot syndrome virus) maupun IMNV (Infectious
myonecrosis virus) hampir setiap musim tanam terjadi di area pertambakan udang,
baik intensif maupun tradisional. Kasus penyakit berak putih (EHP : Enterocytozoon
hepatopenaeai) pertama kali dilaporkan oleh para pembudidaya udang vannamei
intensif di beberapa wilayah budidaya, antara lain Banyuwangi. Tujuan dari kegiatan
ini adalah untuk mengetahui tingkat infeksi WSSV, IMNV dan EHP pada sampel
udang asal Banyuwangi. Metode yang digunakan untuk analisis sampel adalah Real-
time qPCR. Sampel pertama diekstraksi DNA/RNAnya menggunakan metode silika
extraction kit. Kontrol standar, komposisi master mix dan protokol amplifikasi
mengacu pada Applied Biosystem. Hasil yang didapatkan dari kegiatan ini bahwa
tingkat infeksi IMNV dan WSSV mengalami penurunan pada bulan Desember
sedangkan tingkat infeksi EHP mengalami pkenaikan pada bulan Desember.

Kata Kunci : Tingkat infeksi, IMNV, WSSV, EHP

PENDAHULUAN

Budidaya udang masih menjadi kegiatan bisnis perikanan yang sangat


menarik bagi pengusaha bidang akuakultur. Keunggulan komoditas udang
dibandingkan dengan komoditas perikanan lainnya adalah memiliki harga yang stabil
bahkan cenderung terus naik, pasar terbuka secara internasional karena konsumen
dari segala lapisan bangsa di dunia. Kelemahan dalam budidaya udang adalah adanya
serangan penyakit yang mengakibatkan turunnya produksi yang sangat drastis.
Penyakit terkait dengan kematian masal pada budidaya udang hingga saat ini
masih didominasi oleh WSSV (White spot syndrome virus) dan IMNV (Infectious
myonecrosis virus), yang mengakibatkan kerugian hingga lebih dari tiga trilyun
rupiah. Kejadian WSSV maupun IMNV hampir setiap musim tanam terjadi di area
pertambakan udang, baik intensif maupun tradisional, sehingga mengakibatkan
trauma bagi sebagian pembudidaya untuk membudidayakan udang, dan memilih
berbudidaya ikan baik bandeng atau nila, dan rumput laut yang tidak memiliki risiko.
White spot syndrome virus atau virus penyebab penyakit bercak putih
merupakan virus paling ganas dibandingkan dengan virus lain yang menyerang
udang windu yang bisa mengakibatkan kematian mencapai 100 % dalam waktu yang
sangat singkat. Penyakit bercak putih pertama kali diidentifikasi pada tahun 1993 di

27
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Jepang (Chou et al., 1995 dalam Flegel,2006). Wabah WSSV ini pada tahun 1996
diketahui sudah menyebar di beberapa negara kawasan Asia Tenggara (Flegel,
2006). Serangan WSSV sangat merugikan pembudidaya di kawasan yang terserang,
dengan kerugian mencapai milyaran rupiah.
Kasus penyakit berak putih (EHP : Enterocytozoon hepatopenaeai) pertama
kali dilaporkan oleh para pembudidaya udang vannamei intensif di beberapa wilayah
budidaya, antara lain Banyuwangi (Pitoyo, Kom. Pri, 2014). Seiring perkembangan
waktu, penyakit berak putih telah secara sporadis menyerang udang di tambak di
wilayah Purworejo, dan Rembang. Pada saat ini penyakit berak putih telah menyebar
hampir di seluruh area pertambakan di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali,
Lombok dan Sumbawa. Hal ini menunjukkan bahwa baik faktor lingkungan, kondisi
tanah dan iklim sangat bervariasi terhadap terjadinya penyakit berak putih. Tujuan
dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui prevalensi IMNV, WSSV dan EHP pada
sampel udang asal Banyuwangi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi : bahan ekstraksi
DNA/RNA menggunakan metode silica extraction kit dari IQ Real, bahan
amplifikasi PCR menggunakan reagen Real-time PCR dari Applied Biosystem kit.
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi : ruang asam, thermoblok,
mikropipet, sentrifuse dan mesin Real-time PCR beserta kelengkapannya.

Tata Kerja
1. Ekstraksi DNA/RNA menggunakan metode silica extraction kit dari IQ Real
Taiwan
2. Menyiapkan kontrol standar DNA/RNA yang mengacu protokol dari Applied
Biosystem dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Larutan standar untuk mendukung kuantifikasi Real-time PCR
Konsentrasi Jumlah Jumlah Rt-PCR
Konsentrasi
Standar yang yang grade water yang Total
Akhir
diinginkan diambil ditambahkan
Standar 12.500 3 µL (dari 100.000
27 µL 30 µL
1 copies/µL (1) stok) copies/µL
Standar 1.250 3 µL (dari 10.000
27 µL 30 µL
2 copies/µL (2) 1) copies/µL
Standar 125 copies/µL 3 µL (dari 1.000
27 µL 30 µL
3 (3) 2) copies/µL
Standar 12,5 copies/µL 3 µL (dari 100
27 µL 30 µL
4 (4) 3) copies/µL
Standar 1,25 copies/µL 3 µL (dari 10
27 µL 30 µL
5 (5) 4) copies/µL

28
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

3. Membuat Master Mix qPCR untuk deteksi virus dan protocol amplifikasi
PCR yang mengacu pada kit dari Applied Biosystem dapat dilihat pada
Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi Master Mix qPCR untuk deteksi virus IMNV, WSSV dan EHP
WSSV/EHP IMNV
No Komponen Volume No Komponen Volume
1 RT-PCR Grade 3,5 μL 1 RT-PCR Grade Water 1
Water μL
2 2x qPCR Master 12,5 μL 2 2x Multiplex RT-PCR 12,5 μL
Mix Buffer
3 25x Primer Probe 1 μL 3 10x Multiplex RT-PCR 2,5 μL
Mix Enzym Mix
4 25x IMNV Probe Mix 1 μL
Total volume 17 μL
Total volume 17 μL

- Vortex tube master mixtube diatas selama 5 detik lalu spin selama 5 detik
- Pipet 17 μL master mix ke dalam tiap well
- Tambahkan 8 μL sampel DNA/RNA untuk sampel target
- Tambahkan 8 μL untuk setiap konsentrasi standar (minimal duplo)
- Tambahkan 8 μL nuclease free water untuk non template control (NTC)
- Sehingga total volume 25 μL
Tabel 3. Protokol amplifikasi PCR untuk deteksi IMNV, WSSV dan EHP
WSSV/EHP IMNV
o o
95 C selama 10 48 C selama 19 Reverse
menit menit transcriptase
95oC selama 10
Amplifikasi PCR
95oC selama 15 menit
dilakukan sebanyak Amplifikasi PCR
detik 95oC selama 15
40 siklus dilakukan sebanyak
detik
40 siklus
60oC selama 45 60oC selama 45
detik detik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Hasil analisis IMNV, WSSV dan EHP pada udang sampel dari tambak
Banyuwangi dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis IMNV, WSSV dan EHP sampel asal Banyuwangi.
Jumlah % Positif
No Bulan
Sampel IMNV WSSV EHP
1 Juni 96 23 (23,9%) 7 (7,3%) 32 (33,3%)
2 Desember 111 8 (7,2%) 0% 44 (39,6%)
Total Sampel 207

29
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pembahasan
Sampel udang yang berasal dari Banyuwangi berjumlah 207 sampel dan
dianalisis menggunakan metode Real Time PCR (qPCR). Sebanyak 96 sampel yang
diambil dan dianalisis pada bulan Juni menunjukkan hasil positif IMNV sebanyak
23 sampel atau sebesar 23,94%, terdeteksi positif WSSV sebanyak 7 sampel atau
sebesar 7,29% dan terdeteksi positif EHP sebanyak 32 sampel atau sebesar 33,3%.
Sampel pada bulan Desember yang dianalisis sebanyak 111 sampel, terdeteksi positif
IMNV sebanyak 8 sampel atau sebesar 7,2%, terdeteksi positif EHP sebanyak 44
sampel atau sebesar 39,64%, sedangkan untuk WSSV tidak terdeteksi positif atau
0%.
Berdasarkan data diatas dapat dinyatakan bahwa kasus infeksi IMNV pada
bulan Desember mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 16,74%
dibandingkan kasus bulan Juni. Kasus infeksi WSSV pada bulan Desember juga
mengalami penurunan menjadi 0%. Berbeda dengan kasus IMNV dan WSSV, EHP
pada bulan Desember justru mengalami kenaikan sebesar 6 %. Meningkatnya kasus
EHP ini kemungkinan terkait dengan meningkatnya kasus WFS yang meningkat
terutama di musim hujan, dan juga perlu dikaji lebih lanjut hubungan antara wabah
WFS dengan infeksi EHP pada udang.

KESIMPULAN

Hasil dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi EHP pada bulan
Desember mengalami peningkatan dibandingkan bulan Juni, sedangkan prevalensi
IMNV dan WSSV mengalami penurunan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi


selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna
Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan dan Penyelia laboratorium
Biologi Molekuler beserta teman-teman laboratorium MKHA atas kerjasamanya.

30
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

BBPBL. 2009. Laporan Hasil Active Surveillance Penyakit Virus : TSV, WSSV,
PvNv Dan IMNV Pada Budidaya Udang Vanamei Di Kabupaten Pesawaran
Dan Kabupaten Lampung Selatan. Laporan Balai Besar Pengembagan
Budidaya Laut Lampung.
Desiliyarni, T. 2013. Training manual Applied Biosystem 7500 Fast Real-Time
PCR. 24 hal
Flegel, T.W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for
aquaculture. Sci. Asia 32, 215–231.
Lightner. 2005. Review of white spot disease of shrimp and other decapod
crustaceans.
Nunes AJP, Martins PCC, Gesteira TCV (2004) Produtores sofrem com as
mortalidades decorrentes do virus da mionecrose infeccisa (IMNV). Panorama
da AQUICULTURA, Maio/Junho, p 37–51

31
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

MONITORING TOTAL BAKTERI Vibrio sp. DAN VIRUS DI


SALURAN TAMBAK BBPBAP JEPARA TAHUN 2016

Oleh: Budi Santosa dan Zariah

ABSTRAK
Berdasarkan pada pengalaman terjadinya serangan WSSV pada kegiatan budidaya
pada hampir semua blok tambak BBPBAP pada tahun 2014, oleh karena itu semua
sumber air masuk dan keluar dari kegiatan budidaya dilakukan pengecekan WSSV
dan menunjukkan bahwa perairan baik pada saluran I, II dan tandon utama
terdeteksi adanya WSSV. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan
informasi mengenai fluktuasi kelimpahan total Vibrio sp serta dominasinya
diperairan dan keberadaan WSSV karena berkaitan dengan sumber air yang
digunakan dalam aktivitas budidaya udang dilingkungan BBPBAP Jepara selama
tahun 2016.
Monitoring kelimpahan total bakteri, total vibrio, dominasi vibrio serta deteksi
WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara pada tiga titik yaitu Saluran I, saluran
II dan tandon utama selama 1 tahun menunjukkan bahwa kelimpahan total bakteri
berkisar antara 3,0 x 103 CFU/ml – 4,27 x 105 CFU/ml, sedangkan kelimpahan total
Vibrio sp. berkisar 0,3 x 102 CFU/ml - 7,72 x 103 CFU/ml dengan tingkat dominasi
Vibrio sp. sebesar 0,88 % - 36,29% serta deteksi adanya virus bintik putih (WSSV)
hanya pada tandon utama yang terjadi pada bulan April, Juni dan September 2016.

Kata Kunci: Total bakteri, dominasi vibrio, WSSV dan vibrio sp.

PENDAHULUAN

Perkembangan budidaya udang vaname terus meningkat baik jumlah, luas


kawasan tambak maupun penerapan teknologi budidaya untuk meningkatkan
produktivitas. Penerapan teknologi yang kurang tepat seperti penambahan padat
tebar yang tidak didukung dengan sarana penunjang yang memadai untuk
menciptakan lingkungan budidaya akan mempunyai resiko kegagalan yang tinggi
(Supito,et al.2015). Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada sebagian
kawasan budidaya udang vaname adalah serangan penyakit kotoran putih (berak
putih) yang diduga berkaitan dengan kelimpahan bakteri Vibrio Sp. (Limsuwan,
2010). Selain itu, dari beberapa jenis virus yang menyerang udang, white spot
syndrome virus (WSSV) atau virus bintik putih diketahui sebagai agen utama yang
paling sering menimbulkan serangan penyakit yang mematikan pada hampir seluruh
lokasi budidaya udang di Amerika Utara, Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk
di Indonesia (Tahir, 2014).

32
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Penyebaran/penularan penyakit ini terutama melalui saluran makanan dan aliran


air tambak dan sekitarnya (penyebaran secara horisontal) dan penyebaran secara
vertikal yaitu penyakit yang berasal dari induk udang. Bahkan di beberapa wilayah
Asia WSSV ini dijumpai juga menyerang udang yang hidup di perairan bebas/alami
khususnya di perairan pantai yang berdekatan dengan lokasi tambak, walaupun
kematian massal udang di perairan tersebut yang disebabkan oleh virus ini belum
teramati. Oleh karena itu, diperlukan monitoring kelimpahan bakteri Vibrio Sp. serta
dominasinya yang diduga berasosiasi dengan penyakit berak putih serta keberadaan
WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara yang baik secara langsung maupun
tidak langsung berhubungan dengan air sumber/baku selama kegiatan budidaya
udang di tambak.
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai fluktuasi
kelimpahan total Vibrio Sp. serta dominasinya diperairan dan keberadaan WSSV
karena berkaitan dengan sumber air yang digunakan dalam aktivitas budidaya udang
dilingkungan BBPBAP Jepara.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah media Nutrient
Agar, TCBSA, NaCl, KCl, MgSO4, Alkohol 96%, Alkohol 70%, Aquades.
Sedangkan alat yang digunakan adalah tabung reaksi, ember, kertas label, pensil,
plastik, cawan petri, mikro pipet, spatula, vortek, incubator, autoclave dan magnetik
stirrer.

Tata Kerja
1. Posisi pengambilan sampel air dilakukan pada 3 titik yaitu saluran I, saluran
II dan Tandon utama .

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel air

33
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

2. Pengambilan sampel air setiap seminggu sekali untuk analisa total bakteri
dan total vibrio setiap 1 minggu sekali, serta analisa PCR WSSV yang
dilakukan setiap 2 minggu sekali selama satu tahun. Sampel air diambil pada
jam 07.30-08.30.
3. Sampling air pada lingkungan terbuka adalah sebagai berikut: air diambil
menggunakan ember volume 2 liter pada masing-masing titik pengambilan
sampel yaitu saluran I, saluran II dan tandon utama, ember dicelupkan pada
permukaan air kemudian diangkat. Botol sampel steril yang telah diberi
label/kode lokasi dipegang bagian bawah dan dicelupkan ke dalam ember
yang berisi air sampel tersebut. Botol dibuka didalam air secara perlahan,
sampai air masuk tanpa ada gelembung udara dengan volume air ± 8 ml.
Kemudian botol ditutup didalam air, diangkat dan siap dibawa ke
laboratorium untuk dianalisa lebih lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan, dominansi vibrio pada 3 titik yaitu saluran I,saluran II dan


tandon utama serta keberadaan WSSV pada perairan tersebut dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.

a. KelimpahanTotal Bakteri selama kurun bulan Januari-Desember Tahun


2016

Berdasarkan data kemelimpahan total bakteri pada 3 titik pengambilan sampel


yaitu saluran I, II dan tandon utama selama 1 tahun menunjukkan nilai kepadatan
total bakteri tertinggi pada bulan April dan Desember dengan kisaran tertinggi pada
kepadatan 4,27 x 105 CFU/mL.

34
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

b. KelimpahanTotal Vibrio Sp. selama kurun bulan Januari-Desember


Tahun 2016

Sedangkan untuk kelimpahan total Vibrio Sp. selama tahun 2016 pada
saluran I,II dan tandon utama menunjukkan nilai tertinggi pada Maret, Agustus dan
Desember dengan nilai kepadatan tertinggi 7,72 x 103 CFU/mL. Menurut Prastowo
(2007) menyebutkan bahwa batas ambang kelimpahan total bakteri Vibrio pada
tambak budidaya tidak boleh melebihi 104 CFU/mL sehingga berdasarkan
pemaparan data diatas dapat disimpulkan bahwa kepadatan total bakteri vibrio pada
sumber air untuk kegiatan budidaya kurang dari 104 CFU/mL.

c. Dominasi Bakteri Vibrio selama kurun waktu Januari-Desember 2016


Dominasi Bakteri Vibrio Sp. (%)
Lokasi Sep
Jan. Feb. Mar. Apr Mei Jun Jul Ags Okt. Nov. Des.
.
Saluran 10,9 10,8 34,0 14,3
4,75 2,83 2,82 4,34 5,4 7,85 7,7 1,56
I 2 2 5 8
Saluran 17,7 34,3
4,28 2,55 0,88 2,27 3,51 3,66 6,78 4,42 5,41 8,4
II 7 3
Tandon 36,2 11,9 16,1 12,0
7,27 9,33 2,24 7,48 8,04 9,57 3,19 4,48
Utama 9 4 4 1

35
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Dominasi bakteri vibrio terhadap total bakteri pada ketiga titik pengambilan
sampel menunjukkan dominasi tertinggi pada bulan Juli dan September dengan nilai
dominasi 36,29%. Pada tambak budidaya, dominasi Vibrio yang tinggi (> 20-50%)
tidak menyebabkan terjadinya serangan penyakit bintik putih (WSSV) apabila terjadi
kestabilan pada kelimpahan vibrio sebesar 102-103 CFU/mL dengan fluktuasi sebesar
101 CFU/mL (Prastowo, 2008).

d. Keberadaan WSSV dalam perairan selama kurun waktu Januari-


Desember 2016
Lokasi Bulan
Jan. Febr. Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep. Okt. Nov. Des.
Saluran
I - - - - - - - - - - - -
Saluran
II - - - - - - - - - - - -
Tandon
utama - - - + - + - - + - - -
Keterangan: - = Negatif (tidak terdeteksi WSSV)
+ = Positif (terdeteksi WSSV)

Mengingat pernah terjadinya serangan WSSV pada kegiatan budidaya pada


hampir semua blok tambak budidaya BBPBAP pada tahun 2014, yang mana semua
sumber masuk dan keluar air kegiatan budidaya dilakukan pengecekan WSSV dan
menunjukkan bahwa perairan baik pada saluran I,II dan tandon utama terdeteksi
adanya WSSV. Maka mendorong kami untuk melakukan monitoring pada sumber air
yang digunakan untuk aktivitas budidaya, dan berdasarkan data Tabel 2. diatas
menunjukkan bahwa pada tandon utama terdeteksi adanya WSSV pada bulan April,
Juni dan September 2016.

36
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN

Monitoring kelimpahan total bakteri dan total Vibrio, kelimpahan total Vibrio
serta deteksi WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara yang mana merupakan
aspek penting dalam kegiatan budidaya mengingat ketiga titik yaitu Saluran I,
saluran II dan tandon utama berkaitan langsung dengan sumber air utama kegiatan
budidaya maka data selama 1 tahun menunjukkan bahwa kelimpahan total bakteri
berkisar 3,0 x 103 CFU/ml – 4,27 x 105 CFU/mL, sedangkan kelimpahan total Vibrio
berkisar 0,3 x 102 CFU/ml - 7,72 x 103 CFU/mL dengan tingkat dominasi Vibrio
sebesar 0,88 % - 36,29% serta deteksi adanya WSSV hanya pada tandon utama yang
terjadi pada bulan April, Juni dan September 2016.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan Kepada Bapak Sugeng Raharjo selaku
Kepala BBPBAP Jepara, dan teman Lab MKHA yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Limsuwan,C.2010. White feces disease in Thailand. Boletin Kasertsart University.


Thailand. www.nicovita.com.pe . diunduh 12 maret 2017.
Supito, Arif G., Ita R. 2015. Teknik pencegahan penyakit kotoran putih (White Feces
Syndrome) pada budidaya udang vaname. Makalah disampaikan pada
pertemuan Asian Pasific Aquaculture Surabaya tanggal 26-29 April 2016.
Tahir,A. 2014. Strategi pengelolaan untuk pengendalian penyakit dalam budidaya
udang windu. FPIK Universitas Hasanuddin Makassar.
Trobos. 2016. Budidaya Udang Tenang dengan Biosekuriti. Diakses tanggal 5 Maret
2017
Prastowo, B.W., S.M. Astuti dan A. Taslihan. 2007. Fluktuasi dan kemelimpahan
bakteri vibrio di tambak sebagai indikator serangan penyakit bintik putih
(white spot) di tambak udang Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara. Ulasan Ilmiah disampaikan pada Pertemuan Hasil Pemantauan
Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Jakarta, 11 – 14 Nopember 2007.
------------------., S.M. Astuti dan A. Taslihan. 2008. Dominansi bakteri vibrio di
tambak sebagai indikator serangan penyakit bintik putih (white spot) di
tambak udang Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Makalah disampaikan Indonesian Aquaculture 2008 Symposium.
Yogyakarta, 17-20 Nopember 2008.

37
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PENYIAPAN SERBUK DAUN JAMBU BIJI


(Psidium guajava L.) UNTUK PENGKAYAAN PAKAN UDANG

Oleh : Juni Setyowati dan Mursid

ABSTRAK

Penanggulangan terhadap serangan penyakit dapat dilakukan melalui tindakan


pencegahan maupun pengobatan. Upaya pencegahan dapat dilakukan diantaranya
dengan cara mengontrol kulitas air agar sesuai, pemberian pakan yang sesuai baik
kualitas maupun kuantitasnya, sedangkan pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan bahan kimia atau antibiotik.Uji dilakukan dengan hewan uji tokolan
udang vaname di akuarium (40 liter) dengan kepadatan 20 ekor/akuarium dengan 3
perlakuan, P1 (10 g/kg pakan), P2 (20 g/kg pakan), P3 (40 g/kg pakan) dan kontrol.
Metode pengkayaan adalah dengan menyiapkan serbuk daun jambu biji dan pakan
udang. Serbuk daun jambu ditimbang sesuai dengan dosis yang akan digunakan,
selanjutnya setiap perlakuan diberikan perekat progol 2-3g/kg pakan dicampur air,
kemudian di kering anginkan dan siap diberikan ke udang.
Hasil aplikasi bahan melalui uji tantang pada udang dengan cara direndam di air
yang sudah diinfeksi Virus WSSV (10.000 copy ) dosis 0,5 ml /liter selama 30
menit, tidak menunjukkan perbedaan baik sebelum maupun sesudah dilakukan uji
tantang virus dengan metode real time PCR .

Kata Kunci: serbuk daun jambu biji, herbal

PENDAHULUAN

Upaya penanggulangan terhadap serangan penyakit dapat dilakukan melalui


tindakan pencegahan maupun pengobatan. Upaya pencegahan dapat dilakukan
diantaranya dengan cara mengontrol kulitas air agar sesuai, pemberian pakan yang
sesuai baik kualitas maupun kuantitasnya, sedangkan pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan kimia atau antibiotik. Beberapa bahan kimia yang
digunakan bersifat presistensi, artinya bahan kimia tersebut tidak mudah terurai
secara alami, sehingga dikategorikan tidak ramah lingkungan. Penggunaan
antibiotik cukup efektif untuk pengobatan penyakit ini, namun akan meningkatkan
frekuensi isolat bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Dampak negatif lain dari
penggunaan antibiotik adalah terjadinya akumulasi antibiotik tersebut dalam
jaringan terutama tulang, sehingga dapat membahayakan manusia yang
mengkonsumsinya (Prapanza dan Marianto 2003).
Salah satu upaya untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan bahan
kimia dan antibiotik adalah menggunakan bahan obat alternatif yang lebih aman,
ramah lingkungan, mudah didapat dan diaplikasikan serta mudah terurai secara alami

38
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

di perairan. Bahan obat alternatife yang dapat digunakan untuk menanggulangi


penyakit adalah bagian daun dari tumbuhan jambu biji (Psidium guajava L.). Hasil
skrining fitokimia, daun jambu biji mengandung metabolit sekunder, terdiri dari
tanin, polifenolat, flavonoid, monoterpenoid, siskulterpen, alkaloid, kuinon dan
saponin (Kurniawati, 2006). Komponen utama dari daun jambu biji adalah tanin
yang besarnya mencapai 9-12% (Depkes, 1989).
Tujuan dari kegiatan ini adalah melalukan preparasi bahan nabati untuk
mengendalikan penyakit pada budidaya udang.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang akan digunakan dalam pembuatan serbuk daun jambu biji untuk
pengkayaan pakan udang yaitu: daun jambu biji, progol untuk perekat pakan udang.
Peralatan yang digunakan adalah: gunting, nampan plastik, blender, saringan,
sendok, beker glass, gelas ukur dan timbangan.

Tata Kerja
• Pembuatan Serbuk Daun Jambu Biji
Daun jambu biji segar 2 kg, dicuci dengan air tawar, kemudian digunting
kecil ukuran 0,5 cm, diletakkan pada nampan plastik untuk dikering anginkan dalam
ruangan ber AC selama tiga hari. Daun yang telah kering dihaluskan dengan
menggunakan blender, kemudian disaring dengan ukuran saringan 0,5 mm, dan
disimpan di dalam botol HDPE yang dilengkapi dengan penutup.

• Aplikasi pengkayaan pada pakan


Siapkan serbuk daun jambu biji sesuai dosis, 2-3 g bahan perekat, dilarutkan
dalam 200 mL air menggunakan beaker glass, diaduk sampai homogen. Cairan
tersebut selanjutnya dilapiskan secara merata setiap1 kg pakan udang. Pakan yang
telah diperkaya selanjutnya diletakkan pada nampan plastik untuk dikeringkan pada
suhu ruangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Proses pembuatan serbuk di lakukan dengan blender sampai halus selama 5-
10 menit. Proses pembuatan disajikan seperti Gambar 1.

39
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(a) (b) (c)

Gambar 1. Pembuatan serbuk daun biji. (a) potongan daun jambu biji kering, (b)
pembuatan serbuk menggunakan blender, (c) serbuk daun jambu biji
yang siap diaplikasikan.

Tahap akhir dari proses pembuatan serbuk bahan nabati adalah dengan
melakukan penyimpanan di tempat tertutup dan kedap udara serta suhu kamar antara
25- 30 oC. Proses pengkayaan serbuk daun jambu biji pada pakan udang dengan
menggunakan bahan perekat didapatkan hasil seperti Gambar 2.

Gambar 2. Proses pengkayaan serbuk daun jambu biji pada pakan udang

KESIMPULAN

Dari kegiatan ini didapatkan teknik pembuatan serbuk daun jambu biji dan
pengkayaannya pada pakan udang vanamei untuk keperluan pengobatan .

SARAN

Perlu diuji bahan perekat dan teknik pembuatan serbuk agar didapatkan
serbuk yang lebih halus.

40
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Perikanan


Budidaya Air Payau Jepara serta seluruh staf Laboratorium Manajemen Kesehatan
Hewan Akuatik, Divisi Pembesaran Udang atas semua dukungan, sampel hewan uji
sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan.1989. Vademakum Bahan Obat Alami. Dirjen POM.


Jassim SAA & Naji MA. 2003. Novel antiviral agents:a medicinal plant perspective.
J. Appl. Microbiol.95(3): 412–427.
Prapanza, I dan L.A. Marianto. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit
Penakluk Aneka Penyakit. Agro Media Pustaka. Jakarta. 60 Hlm.

41
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT KEPITING DAN


RAJUNGAN
Oleh: Mursid dan Purwanah

ABSTRAK

Kitosan me
miliki sifat polielektrolitik yang dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair
industri karena dapat menyerap logam berat dan menjernihkan limbah cair industry.
Gugus amina dan hidroksil dalam senyawa kitosan yang dapat berfungsi sebagai
koagulan untuk mengikat logam berat dari limbah industri menjadi bentuk flok-flok
yang sangat mudah dipisahkan dari media asalnya. Metode pembuatan kitosan terdiri
dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Senyawa
kitin sebagai bahan baku pembuatan kiosan banyak diemukan dalam cangkang
kepiting dan rajungan merupakan limbah. Dari 25 Kg tepung kulit kepiting dan
rajungan yang diolah diperoleh sebanyak 5 Kg kitosan. Dengan kata lain produksi
kitosan dari tepung kulit kepiting dan rajungan yang dilakukan memiliki nilai
rendmen sebesar 20%.

Kata Kunci : kitosan, kepiting, rajungan

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer
N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (GlcN). Bentukan derivatif
deasetilasi dari polimer ini adalah kitin. Kitin adalah jenis polisakarida terbanyak ke
dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata dan
beberapa fungi pada dinding selnya. Kitosan memiliki bentuk yang unik dan
memiliki manfaat yang banyak bagi pangan, agrikultur, dan medis.
Metode pembuatan kitosan terdiri dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi,
demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar
protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses
demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan
menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan chitin, sedangkan proses
deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari chitin melalui pemanasan
dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Yunizal, dkk., 2001). Proses
deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan
terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul chitin. Gugus amida pada chitin
akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk
gugus amina bebas –NH2. (Mekawati, 2000).Gugus ini chitosan dapat mengadsorpsi
ion logam dengan membentuk senyawa kompleks (khelat). Tahap dekolorisasi dapat
ditambahkan agar kitosan yang dihasilkan mempunyai warna yang lebih putih.

42
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Senyawa kitin sebagai bahan baku pembuatan kiosan banyak diemukan


dalam cangkang hewan invertebrata seperti udang, kepiting, rajungan, lobster, dan
hewan sejenis lainnya. Cangkang udang dan kepiting merupakan limbah dari industri
pengolahan produk perikanan tersebut, melalui pengolahan secara fisik dan kimiawi
limbah tersebut dapat ditransformasi menjadi senyawa kitosan yang bernilai guna. Di
pasaran, satu kilogram tepung kitosan memiliki harga kisaran Rp.400.000,-.
Sifat polielektrolitik yang dimiliki kitosan ternyata telah banyak digunakan
dibeberapa negara dalam pengolahan limbah cair industri karena dapat menyerap
logam berat dan menjernihkan limbah cair industri (Widodo, 2005). Kemudahan lain
dari pemanfaatan kitosan dalam pengendalian penurunan kualitas perairan adalah
karena gugus amina dan hidroksilnya yang dapat berfungsi sebagai koagulan untuk
mengikat logam berat dari limbah industri menjadi bentuk flok-flok yang sangat
mudah dipisahkan dari media asalnya.

Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk memproduksi kitosan yang siap diaplikasikan
oleh pembudidaya.

MATERI DAN METODOLOGI


Metode pembuatan kitosan terdiri dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi,
demineralisasi, dan deasetilasi. Berikut ringkasan proses-proses tersebut.

Kulit Kepiting dan Rajungan


Deproteinasi
Penepungan/  Dalam ember Masukkan 10L NaOH 0,1 M
 Timbang secukupnya Tepung Kulit Kepiting/
Rajungan masukkan ke ember
Tepung Kepiting/ Rajungan  Rendam selama 2 jam, (sambil diaduk)
 Dinginkan, Cuci hingga pH netral
 Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam

Demineralisasi
 Dalam ember Masukkan 10 L HCl 0,1 M
 Masukkan Tepung Kulit Kepiting/ Rajungan
hasil deproteinasi
 Rendam selama 2 jam, (sambil diaduk)
 Dinginkan, Cuci hingga pH netral
Kitin  Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam

Deaselatisasi
 Dalam ember Masukkan 10 L NaOH 50%
 Msukkan Tepung Kulit Kepiting/ Rajungan
hasil deproteinasi dan demineralisasi
 Rendam selama 4 jam, (sambil diaduk)
 Dinginkan, Cuci hingga pH netral
Kitin  Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Kitosan

43
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pengeringan serta Homogenasi (Penepungan) Cangkang dan Kepala


Udang.
Sebagai bahan dasar kitosan digunakan cangkang kulit kepiting dan rajungan
yang diperoleh dari unit pengolahan kepiting/ rajungan di daerah Bandengan Jepara,
Jawa Tengah. Kulit kepiting/ Rajungan yang diperoleh sudah dalam keadaan kering
sehingga proses dilanjutkan dengan penggilingan (homogenasi).

Gambar 2. Bahan baku dan proses homogenasi

Proses Deproteinasi
Proses deproteinasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/
cangkang udang setelah proses demineralisasi dalam larutan NaOH 0,1 M selama 2
Jam. Setelah itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven
pada 80oC selama 48 jam. Untuk pembuatan larutan NaOH 0,1 M adalah dengan cara
melarutkan 40.82 gr NaOH Teknis dalam 10L Air.

Proses Demineralisasi
Proses demineralisasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/
cangkang kepiting dalam larutan HCl 0,1 M pada suhu ruang selama dua Jam.
Setelah itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada
80oC selama 48 jam. Untul pembuatan larutan HCl 0,1 M adalah dengan cara
melarutkan 98,4 mL HCl teknis dalam 10L Air.

44
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Proses Deasetilasi
Proses deasetilasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/ cangkang
kepiting setelah proses deproteinasi dalam larutan NaOH 50% selama 4 Jam. Setelah
itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada 80oC
selama 48 jam.

Gambar 3. Proses perendaman (kiri) dan pengeringan (kanan)

Massa awal tepung kepiting 25 Kg


Produk kitosan 5 Kg
Dari 25 Kg tepung kulit kepiting dan rajungan yang diolah diperoleh
sebanyak 5 Kg kitosan. Dengan kata lain produksi kitosan dari tepung kulit kepiting
dan rajungan yang dilakukan memiliki nilai rendmen sebesar 20%.

KESIMPULAN

Dari kegiatan yang dilakukan telah behasil diperoleh kitosan dari kulit
kepiting/ rajungan dengan rendemen sebesar 20%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.


selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak
Ir.M.Syahrul Latief M.Si. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Lingkungan dan
teman teman yang terkait.

45
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Mekawati, E. Fachriyah dan D. Sumardjo.2000, “Aplikasi Chitosan Hasil


tranformasi Chitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion
Logam Timbal”. Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang,
Vol. 8 (2), hal. 51-54
Purwanti, Ani. 2014. Evaluasi Proses Pengolahan Limbah Kulit Udang untuk
Meningkatkan Mutu Kitosan yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi, Volume 7
Nomor 1. 83-90
Yunizal dkk, (2001), “Ekstraksi Chitosan dari Kepala Udang Putih (Penaeus
merguensis)”. J. Agric. Vol. 21 (3), hal 113-117

46
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK AKTIVASI DAN UJI EFISIENSI KOLOM REDUKSI


PADA PENGUJIAN NITRAT DALAM AIR LAUT SECARA
SPEKTROFOTOMETRI

Oleh ; Suparno dan Meynawati

ABSTRAK

Penentuan kadar nitrat dalam air dengan metode reduksi asam askorbat
spektrofotometrik didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit oleh butiran
Kadmium yang dilapisin dengan tembaga dalam suatu kolom yang disebut dengan
Kolom Reduksi Nitrat. Hasil reduksi sangat tergantung pada aktivitas permukaan
logan Cd/Cu dalam kolom reduksi nitrat. Dalam analisis nitrat, kesalahan analisis
dapat terjadi, salah satunya disebabkan oleh efisiensi kolom reduksi yang tidak
optimal. Aktivasi kolom reduksi dilakukan melalui 2-3 kali pencucian butir
Kadmium yang berukuran 0.5-2.0 mm dengan larutan HCl 2 N, Kemudian dibilas
beberapa kali dengan akuades hingga pH > 5, dilanjutkan dengan perendaman dalam
larutan 2% CuSO4.5H2O sampai seluruh bitiran Kadmium terlapisi oleh Cu yang
ditandai dengan terbentuknya endapan koloid berwarna coklat. Uji efisiensi kolom
dilakukan dengan cara membandingkan absorbansi antara larutan standar nitrit dan
standar nitrat yang telah direduksi melewati kolom reduksi tentunya dengan
konsentrasi yang sama.

Kata Kunci: uji efisiensi, kolom nitrat

PENDAHULUAN

Upaya untuk meberikan jaminan mutu hasil analisis selalu dilakukan dengan
menjalankan Prosedur pengujian yang sesuai dengan standard Laboratorium Uji,
mengunakan bahan yang berkualitas (pa), menggunakan bahan acuan CRM,
mengunakan peralatan gelas yang bebas kontaminasi, menggunakan peralatan ukur
yang terkalibrasi dan hal hal lain yang disyaratkan dalam SNI. Selain itu hal penting
yang harus dilakukan adalah kontrol presisi dan akurasi dan mengeliminir hal-hal
yang menyebabkan terjadinya kesalahan hasil analisis.
Penentuan kadar nitrat dalam air dengan metode reduksi asam askorbat
spektrofotometrik didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit. Senyawa nitrat (NO3-
) direduksi menjadi nitrit (NO2-) oleh butiran Kadmium yang dilapisin dengan
tembaga dalam suatu kolom yang disebut dengan Kolom Reduksi Nitrat (kolom Cd-
Cu). Hasil reduksi sangat tergantung pada pH larutan dan aktivitas permukaan logan
Cd/Cu dalam kolom reduksi nitrat.
Dalam analisis nitrat, kesalahan analisis dapat terjadi disebabkan banyak hal
antara lain pada saat pengambilan dan pengawetan contoh air (Alat pengambil
contoh, wadah contoh, dan gangguan mikro organism), pembuatan larutan blanko

47
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

dan efisiensi kolom reduksi. Dalam makalah ini akan kita bahas masalah efisiensi
kolom reduksi, mulai dari aktivasi Kadmium-Tembaga(Cd-Cu), mengisi kolom
sampai uji efisiensi kolom.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk merawat dan mengaktipkan kolom reduksi
nitrat (kolom Cd-Cu) supaya tetap dalam kondisi optimal, Segingga didapatkan
kinerja kolom reduksi nitrat (kolom Cd-Cu) dengan tingkat efisiensi > 95%,
sehingga presisi dan akurasi hasil analisis NO3-N dapat dipertanggung jawabkan.

BAHAN DAN METODA

Bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan ini adalah Butir Kadmium (0.5 –
2.0mm), Glass wool, larutan HCl 2N, larutan CuSO4 2%, larutan NH4Cl-EDTA,
larutan sulfanilamide, larutan n-(naftil)-ethylendiamin dihidroklorida (NED
dihidroklorida) dan air suling bebes nitrat.
Peralatan yang digunakan adalah : kolom reduksi nitrat, beaker glass 500 mL,
batang pengaduk, timbangan analitik, spatula,spektrofotometer, kuvet disposibble,
erlenmeyer, gelas ukur, pipet, labu ukur

Tata Kerja :
Aktivasi serbuk Kadmium-Tembaga (Cd-Cu) :
Masukkan sebanyak 100 gram butir Kadmium yang berukuran 0.5-2.0 mm ke
dalam Erlenmeyer 500 mL yang telah berisi 300 mL HCl 2N, aduk dengan batang
pengaduk ± 2 menit, kemudian HCl dibuang. Proses diulangi hingga 2-3 kali dengan
pemberian HCl yang baru. Bilas beberapa kali dengan akuades hingga pH > 5.
Masukkan butir Kadmium tersebut ke dalam beaker plastic yang berisi larutan 2%
CuSO4.5H2O sampai seluruh butiran Kadmium terendam. Aduk sampai merata
hingga warna biru hilang dan meresap pada butir Kadmium. buang larutan 2%
CuSO4.5H2O, ulangi 2-3 kali lagi dengan larutan 2% CuSO4.5H2O yang baru sampai
seluruh butiran Kadmium terlapisi oleh Cu yang ditandai dengan terbentuknya
endapan koloid berwarna coklat. Bilas butir Kadmium tersebut paling sedikit 10 kali
dengan akuades. Rendam butir Kadmium dalam larutan NH4Cl-EDTA encer,
selanjtnya butir Cd-CuSO4 siap digunakan.

Pembuatan Kolom Reduksi


Siapkan kolom reduksi, tutup dasar kolom dengan glass wool. Isi kolom
dengan akuades bebas nitrit. Kemudian sedikit demi sedikit masukkan butir-butir
Kadmium ke dalam kolom tersebut sampai seluruh kolom terisi butir Kadmium ±20
cm jaga agar permukaan akuades selalu lebih tinggi dari pada butir Cd-Cu. Cuci
kolom dengan 200 mL larutan NH4Cl-EDTA encer. Agar reduksi berjalan dengan
baik, maka kecepatan tetesan untuk 100 mL air berkisar antara 8-12 menit. Aktifkan
kolom dengan melewatkan sedikitnya 100 mL larutan yang terdiri dari 25% standard
NO3-N dan 75% NH4Cl-EDTA.

48
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Sebelum digunakan, efisiensi kolom reduksi diuji dengan larutan standar. Efisiensi
kolom reduksi harus melebihi 95%.

Uji efisiensi kolom reduksi nitrat :


Buat larutan standard nitrat dan standard nitrit secara terpisah dengan konsentrasi
yang sama yaitu : 0,05; 0.1; 0,2; 0,5; 0,1 mg/L, lewatkan 100 mL larutan standard
nitrat melalui kolom reduksi nitrat, buang 25 mL tampungan pertama, ambil 50 mL
tampungan berikutnya. Masukkan masing masing 50 mL larutan standard nitrat
yang sudah direduksi dan 50 mL larutan standard nitrit kedalam Erlenmeyer yang
berbeda, lalu tambahkan masing-masing 1 mL larutan Sulfanilamide, kocok dan
biarkan bereaksi 2-8 menit, kemudian tambahkan masing-masing 1 mL larutan NED
dihidroklorida, kocok hati-hati dan biarkan bereksi, reaksi sempurna ± 10 menit dan
stabil sampai 50 menit. Ukur absorbansi masing-masing dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 543 nm.
Perhitungan :
% efisiensi = Absorbansi NO3 X 100%
Absorbansi NO2

HASIL DAN BAHASAN

Tampilan hasil dari pembuatan kolom reduksi nitrat seperti terlihat pada
gambar 1 dibawah ini.

49
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Hasi uji efisiensi yang telah dilakukan didapatkan data sebagai berikut:
Absorbansi Standard
Ulangan Absorbansi Standard Nitrat
Nitrit
1 2,481 2,532
2 2,478 2,532
3 2,482 2,531
4 2,483 2,532
5 2,482 2,531
Rerata 2,481 2,532

Dengan rumus perhitungan : % efisiensi = Absorbansi NO3 X 100%


Absorbansi NO2

Maka didapatkan % Efisiensi hasil uji :


Absorbansi Standard Absorbansi Standard % Efisiensi
Ulangan
Nitrat Nitrit
1 2,481 2,532 97,99
2 2,478 2,532 97,87
3 2,482 2,531 98,06
4 2,483 2,532 98,06
5 2,482 2,531 98,06
Rerata 2,481 2,532 98,01
Efisiensi kolom reduksi sangat tergantung pada kebersihan dan kepadatan
logam Cd-Cu, serta kecepatan tetesan pada saat proses reduksi. Jika kecepatan
tetesan kolom pada saat reduksi lebih dari 100 mL/12 menit, maka kepadatan butir
Kadmium atau glass wool pada dasar kolom perlu ditingkatkan, tetapi jika kecepatan
tetesan kurang dari 100 mL/8 menit, maka kolom yang berisi butir Kadmium harus
dibongkar, pengisian diulang kembali. Sebelum digunakan kolom diaktifkan dengan
melewatkan sedikitnya 100 mL larutan yang terdiri dari 25% standard NO3-N dan
75% NH4Cl-EDTA, efisiensi kolom reduksi diuji dengan larutan standar. Hasil uji
fisiensi kolom reduksi harus melebihi 95%. Bila kurang dari 95%, maka proses
aktivasi Cd-Cu harus diulang kembali.
Pemakaian kolom yang berulang ulang akan menyebabkan Cd-Cu jenuh,
sehinggana kemampuan untuk mereduksi nitrat semakin kecil. Hal ini akan
menyebabkan data hasil analisis menjadi tidak akurat. Untuk mengatasi kesalahan ini
adalah dengan melakukan aktivasi secara berkala atau jika terjadi hal-hal berikut :
- Warna serbuk Cd-Cu sudah berubah dari hitam kecoklatan menjadi abu-
abu
- Terlihat serbuk warna keputihan
- Reaksi warna standard negatif.

50
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN

Dari kegiatan aktivasi dan uji efisiensi yang telah dilakukan dengan lima kali
ulangan didapatkan hasil perhitungan % efisiensi kolom reduksi nitrat rata-rata
sebesar 98.01 %, persyaratan efisiensi kolom raduksi nitrat minimum 95 %
terlampaui.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.


selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Syahrul
Latief, M.Si. selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium Fisika Kimia
Lingkungan dan Residu

DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung, HorasP., Dkk(Editor) 1997, Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan
Biota, Buku 2, Jakarta : P30-LIPI.
SNI 19-6964.7-2003, Kualitas air laut Bagian 7 : Cara uji nitrat(NO3-N) dengan
reduksi Kadmium secara spektrofotometri, BSNi.

51
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

VALIDASI METODA PENETAPAN NITROGEN PADA


PENENTUAN KADAR PROTEIN DENGAN TEKNIK DUMAS

Oleh : Meynawati, Suparno

ABSTRAK
Dalam rangka menjamin mutu hasil analisis kadar protein dari contoh uji,
diperlukan suatu metoda pengujian yang akurat. Untuk mendapat metoda yang akurat
perlu dilakukan suatu validasi metoda.Parameter dalam validasi metoda adalah uji
akurasi, linearitas, presisi. Nilai koefisien korelasi (r) standar nitrogen dengan berat
penimbangan 10.5 mg sampai dengan 153.9 mg adalah sebesar 0.9996. Pengujian
repitabilitas mempunyai nilai KV/RSD sebesar 0.459 dengan KV Horwitz sebesar
3.426 dan reprodusibilitas, dihasilkan data yang mempunyai nilai KV/RSD sebesar
0.780 dengan KV Horwitz sebesar 3.431. Pengujian recovery dan akurasi
menunjukkan hasil yang memenuhi persyaratan untuk tiap sampel yang disyaratkan
pada validasi ini. Pada persen perolehan kembali (% recovery) pada sampel didapat
nilai berkisar antara 99.3% - 101.5%.

Kata Kunci: validasi, dumas, protein

PENDAHULUAN

Keistimewaan dari protein adalah strukturnya yang mengandung N, di


samping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), S dan kadang-kadang P, Fe
dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah
satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara
kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam contoh uji apabila
unsur N ini dilepaskan dengan cara combustion (pembakaran). Prinsip analisis dari
dumas adalah sampel padat atau cair yang dibakar dengan oxygene murni pada suhu
tinggi di hadapan katalis dalam oksida. Dengan bantuan tembaga, nitrogen oksida
yang dihasilkan (NOx) direduksi menjadi nitrogen unsur sedangkan produk
sampingan air dan karbon dioksida dipisahkan sepenuhnya. Nitrogen yang tersisa
dianalisis menggunakan detektor konduktivitas termal.

Jumlah protein dapat diperhitungkan atas dasar kandungan rata-rata unsur N


dalam protein. Cara penentuan jumlah protein melalui penentuan jumlah N total
hasilnya disebut jumlah protein kasar atau crude protein.

52
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang


objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus dipenuhi ( ISO/IEC-
17025-2000 Klausul 5.4.5.1)
Dalam rangka menjamin mutu hasil analisis kadar protein dari contoh uji,
diperlukan suatu metoda pengujian yang akurat. Untuk mendapat metoda yang akurat
perlu dilakukan suatu validasi metoda. Validasi metoda dilakukan untuk penetapan
nitrogen dalam menentukan Kadar protein pada contoh uji dengan menggunakan
metoda Dumas

BAHAN DAN METODA

Bahan yang digunakan adalah: pakan, Hellium UHP, Oksigen UHP,


Nitrogen UHP, EDTA CRM Sedangkan Alat yang digunakan adalah : Timbangan
analitik, Dumatherm unit, Dumatherm tray Contoh, Ash insert, Tin foil,

Tata Kerja

PARAMETER VALIDASI
1. Akurasi
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukan derajat kedekatan
hasil analisa dengan kadar analit yang sebenarnya. Terkadang masalah dalam
menentukan akurasi adalah ketidaktahuan terhadap nilai yang sebenarnya. Dalam
beberapa tipe sampel kita dapat menggunakan sampel yang telah diketahui nilainya
dan mengecek metode pengukuran kita gunakan untuk menganalisis sampel itu
sehingga kita mengetahui akurasi dari prosedur yang diujikan, metode ini disebut
dengan CRM (Certified Reference Method). Pendekatan lain adalah dengan
membandingkan hasilnya dengan hasil yang dilakukan oleh laboratorium lain atau
dengan menggunakan metode referen. Akurasi juga dapat diketahui dengan
melakukan uji perolehan kembali (recovery). Hasil uji ini akurasi dapat dinyatakan
sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan pada
sampel. Rentang nilai penerimaan kecermatan suatu metode akan bervariasi sesuai
kebutuhannya. Adapun AOAC menetapkannya seperti dalam Tabel 1.

53
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 1 Persentase recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
(%) analit Mass fraksi (C) Unit Rata-rata recovery (%)
100 1 100 % 98-102
-1
10 10 10 % 95-102
-2
1 10 1% 97-103
-3
0.1 10 0.10 % 95-105
-4
0.01 10 100 ppm 90-107
0.001 10-5 10 ppm 80-110
-6
0.0001 10 1 ppm 80-110
-7
0.00001 10 100 ppb 80-110
-8
0.000001 10 10 ppb 60-115
-9
0.0000001 10 1 ppb 40-120
(sumber: AOAC 2016)

Persen recovery dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


% R = [C] sampel+spike - [C]sampel x 100
[C] spike

2. Liniaritas
Liniaritas metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode untuk
memperoleh hasil uji, yang baik langsung maupun dengan definisi transformasi
matematis yang baik, proporsional dengan konsentrasi analat dalam sampel pada
range tertentu (Leyva, 2008). Liniaritas dapat diuji secara informal dengan membuat
plot residual yang dihasilkan oleh regresi linier pada respon konsentrasi dalam satu
seri kalibrasi (Thompson, 2002).
Liniaritas harus dievaluasi dengan pemeriksaan visual terhadap plot
absorbansi yang merupakan fungsi dari konsentrasi analat. Jika hubungannya linier,
hasil uji dievaluasi lebih lanjut secara statistik dengan perhitungan garis regresi.
Dalam penentuan linieritas, sebaiknya menggunakan minimum lima konsentrasi.
Rentang penerimaan linieritas tergantung dari tujuan pengujian. Pada kondisi yang
umum, nilai koefisien regresi (r2) ≥ 0,99 (EMA, 1995).
Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r
pada analisis regresi linier Y= aX+b. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai
a=0 dan r=+1 atau -1 bergantung pada arah garis. Koefisien b menunjukan kepekaan
analisis terutama instrumen yang digunakan. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi
persyaratan adalah sebesar ≥ 0,99970 (ICH, 1995), ≥ 97 (SNI) atau ≥
0,9980(AOAC).

3. Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji
individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur
diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang

54
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

homogen (Harmita, 2004). Presisi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu
keterulangan atau repitabilitas (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility).
Repitabilitas adalah nilai presisi yang diperoleh jika seluruh pengukuran
dihasilkan oleh satu orang analis dalam satu periode tertentu, menggunakan pereaksi
dan peralatan yang sama dalam laboratorium yang sama. Ketertiruan adalah nilai
presisi yang dihasilkan pada kondisi yang berbeda, termasuk analis yang berbeda,
atau periode dan laboratorium yang berbeda dengan analis yang sama. Karena
ketertiruan dapat memperbanyak sumber variasi, ketertiruan dari analisis tidak akan
lebih baik hasilnya dari nilai keterulangan.
Presisi dalam hal repitabilitas diukur dengan menghitung relative standard
deviation atau simpangan baku relatif (RSD) dari beberapa ulangan dan dari nilai
simpangan baku tersebut dapat dihitung nilai koefisien varian (KV). Dari nilai KV
yang diperoleh dibandingkan dengan KV Horwitz yaitu suatu kurva berbentuk
terompet yang menghubungkan reproducibilitas (presisi yang dinyatakan sebagai
%KV) dengan konsentrasi analit. Presisi metode analisis diekspresikan sebagai
fungsi dari konsentrasi melalui persamaan : KV Horwits = 2 1-0,5 log C.
Adapun AOAC menetapkan presisi dan konsentrasi analit seperti dalam
Tabel 2.
Tabel 2 Persentase presisi yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
Analit, % Mass fraksi (C) Unit RSD, %
100 1 100% 1.3
10 10-1 10% 1.9
1 10-2 1% 2.7
-3
0.1 10 0.1% 3.7
0.01 10-4 100 ppm(mg/kg) 5.3
-5
0.001 10 10 ppm(mg/kg) 7.3
0.0001 10-6 1 ppm(mg/kg) 11
-7
0.00001 10 100 ppb (µg/kg) 15
0.000001 10-8 10 ppb (µg/kg) 21
-9
0.0000001 10 1 ppb (µg/kg) 30
(sumber: AOAC 2016)

A. Tata Kerja
Sampel ditimbang sebanyak 10.5-153.9 mg, selanjutnya dibungkus
menggunakan Tin foil, dan masukkan kedalam autosampler

B. Validasi
I. Uji Liniearitas
Ditimbang EDTA CRM 10.5mg, 20.5mg, 30.6mg, 40.2mg,
50.1mg, 60.1mg, 81mg, 125.6mg, 153.9mg dibungkus menggunakan
Tin foil

55
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

II. Uji Presisi


Sampel ditimbang sebanyak 50 mg. Untuk repitabilitas
dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali setiap penimbangan,
sedangkan untuk reprodusibilitas dilakukan penggulangan sebanyak
10 kali setiap penimbangan

III. Uji Akurasi dan recovery


Sampel ditimbang sebanyak 50 mg dan EDTA CRM sebanyak
20mg pengulangan sebanyak 10 kali setiap penimbangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. LINEARITAS
Menimbang EDTA CRM 10.5mg, 20.5mg, 30.6mg, 40.2mg,
50.1mg, 60.1mg, 81mg, 125.6mg, 153.9mg bungkus menggunakan Tin foil
Hasil linearitas penetapan nitrogen dapat dilihat pada tabel 1 dan 2
Tabel. 1. Data hasil pengujian Linearitas
Nitrogen (mg) Area (mV*s)
0.000 1.7321
1.0049 3936.4
1.9619 7680.6
2.9284 11521
3.8471 15135
4.7946 18936
5.7516 22846
7.7517 30750
12.0199 46575
14.7282 56369

Tabel. 2. Grafik pengujian Linearitas

56
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Nilai koefisien korelasi (r) standar nitrogen dengan berat penimbangan 10.5
mg sampai dengan 153.9 mg adalah sebesar 0.9996. Hal ini menunjukkan
bahwa analisis nitrogen pada kisaran tersebut bersifat linear.
2. PRESISI
Pengukuran presisi menggunakan sampel pakan. Untuk pengujian
repitabilitas dan reprodusibilitas dilakukan dilakukan sepuluh kali ulangan.
Hasil repitabilitas dan reprodusibilitas dapat dilihat pada tabel 3 dan 4.
Tabel.3.Data hasil pengujian repitabilitas
Protein
Jenis sampel ulangan sampel (mg) N (mg) N terkoreksi
(%)
PKN 1 50.010 2.80 5.69 35.55
2 50.090 2.79 5.68 35.49
3 50.070 2.79 5.67 35.41
4 50.060 2.80 5.69 35.53
5 50.090 2.81 5.70 35.65
6 50.070 2.79 5.67 35.44
7 50.070 2.81 5.71 35.71
8 50.000 2.79 5.67 35.44
9 50.040 2.80 5.70 35.62
10 50.100 2.83 5.74 35.88
Rata2 50.060 2.801 5.692 35.573
SD 0.01 0.14
KV/RSD 0.459 0.406
KV Horwitz 3.426 2.337

Tabel. 4. Data hasil pengujian reprodusibilitas


Protein
Jenis sampel ulangan sampel (mg) N (mg) N terkoreksi
(%)
PKN 1 50.000 2.73 5.55 34.70
2 50.000 2.78 5.66 35.37
3 50.050 2.76 5.61 35.04
4 50.040 2.79 5.68 35.51
5 50.070 2.76 5.61 35.09
6 50.000 2.77 5.63 35019
7 50.090 2.81 5.70 35.65
8 50.030 2.76 5.61 35.06
9 50.100 2.78 5.64 35.26
10 50.050 2.76 5.60 35.03
Rata2 50.043 2.770 5.630 35.190
SD 0.02 0.27
KV/RSD 0.780 0.776
KV Horwitz 3.431 2.340
Pengujian repitabilitas mempunyai nilai KV/RSD sebesar 0.459 dengan KV
Horwitz sebesar 3.426 dan reprodusibilitas, dihasilkan data yang mempunyai nilai
KV/RSD sebesar 0.780 dengan KV Horwitz sebesar 3.431 , artinya nilai pengujian
diatas telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan yakni nilai KV/RSD lebih

57
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

kecil dari nilai KV Horwitz dan lebih kecil dari AOAC 2016 yang menetapkan RSD
sebesar 1.3. Hal ini menunjukkan bahwa teknik dumas menggunakan Dumatherm
unit untuk penentuan nitrogen pada analisis protein dapat dilakukan secara berulang
kali karena metode tersebut dapat memberikan hasil yang sama pada contoh yang
sama atau dengan metode tersebut memiliki ketelitian yang valid.

3. AKURASI DAN RECOVERY


Pengujian akurasi dilakukan sebanyak 10 kali penimbangan EDTA CRM
dan 10 kali penimbangan pada sampel dengan penambahan EDTA CRM. Hasil
pengujian dapat dilihat pada tabel 5dan 6.
Tabel. 5. Data hasil pengujian EDTA CRM
Jenis sampel Ulangan EDTA (mg) N% N EDTA (mg)
EDTA CRM 1 20.010 9.4360 1.89
2 20.030 9.3900 1.88
3 20.080 9.4090 1.89
4 20.080 9.4040 1.89
5 20.050 9.4260 1.89
6 20.050 9.6020 1.93
7 20.100 9.3740 1.88
8 20.010 9.3930 1.88
9 20.030 9.4150 1.89
10 20.000 9.3940 1.88
Rata-rata 9.424 1.890
SD 0.065 0.015
KV/RSD (%) 0.690 0.789
KV Horwitz (%) 2.854 3.635

Tabel. 6. Data hasil pengujian sampel pakan + spike


Jenis Sampel Spike N
Ulangan Sampel+spike(mg) N%
sampel (mg) (mg) (mg)
PKN + 1 50.0300 20.10 70.1300 6.816 4.78
spike 2 50.0000 20.10 70.1000 6.765 4.74
3 50.0900 20.09 70.1800 6.802 4.77
4 50.0900 20.03 70.1200 6.810 4.77
5 50.0200 20.01 70.0300 6.818 4.77
6 50.1000 20.02 70.1200 6.798 4.77
7 50.0500 20.04 70.0900 6.825 4.78
8 50.0100 20.01 70.0200 6.810 4.77
9 50.0200 20.03 70.0500 6.804 4.77
10 50.0000 20.02 70.0200 6.814 4.77
Rata-rata 6.945 4.769
SD 0.02 0.01
KV/RSD (%) 0.238 0.231
KV Horwitz 2.988 3.162
(%)

58
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel. 7. Data hasil pengujian Recovery


Massa N
penimban Kemurni N PKN Recov
Massa Massa N N
gan an EDTA EDTA +spi ery
terkoreksi N koreksi hitung
EDTA CRM CRM ke (%)
(mg) (mg)
20.10 99 % 19.899 9.59% 1.91 4.78 2.85 1.93 101.3
20.10 99 % 19.899 9.59% 1.91 4.74 2.85 1.89 99.3
20.09 99 % 19.8891 9.59% 1.91 4.77 2.85 1.92 100.6
20.03 99 % 19.8297 9.59% 1.90 4.77 2.85 1.92 100.9
20.01 99 % 19.8099 9.59% 1.90 4.77 2.85 1.92 101.2
20.02 99 % 19.8198 9.59% 1.90 4.77 2.85 1.92 100.9
20.04 99 % 19.8396 9.59% 1.90 4.78 2.85 1.93 101.5
20.01 99 % 19.8099 9.59% 1.90 4.77 2.85 1.92 101.3
20.03 99 % 19.8297 9.59% 1.90 4.77 2.85 1.92 101.1
20.02 99 % 19.8198 9.59% 1.90 4.77 2.85 1.92 101.2

Data hasil pengujian recovery dan akurasi penetapan nitrogen dalam sampel
pakan dengan penambanhan spike EDTA menunjukkan hasil yang memenuhi
persyaratan untuk tiap sampel yang disyaratkan pada validasi ini. Pada persen
perolehan kembali (% recovery) pada sampel didapat nilai berkisar antara 99.3% -
101.5%. Hal ini telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan AOAC
2016.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat dihasilkan dari pengujian validasi metode penetapan


kadar nitrogen dalam penentuan protein kasar adalah sebagai berikut :
 Semua parameter yang diujikan untuk validasi metode penetapan kadar
protein dengan teknik dumas menggunakan dumatherm gerhard Unit.
 Penetapan protein melalui perhitungan nitrogen dengan menggunakan
metode Dumas dan alat dumatherm Gerhard dapat digunakan pada
Laboratorium Fisika-Kimia Lingkungan Residu di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.
selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara. Bapak Syahrul
Latief, M Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan Laboratorium Fisika Kimia
Lingkungan dan Residu

59
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA
AH Simonne, EH Simonne, RR Eitenmiller, HA Mills and CP Cresman (1996).
Could the Dumas Method Replace the Kjedhal Digestion for Nitrogen and
Crude protein Determinations in Foods
AOAC (2016). Appendix F : Guidelines for Standart Method Performance
Requirements
Vladimir Kocourek, Prague (2012). Method Validation and Quality Control
Procedures
Carlos Rivera, Rosario Rodriguez. Horwitz Equation as Quality Benchmark in
ISO/IEC 17025 Testing Laboratory

60
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

OPTIMASI OKSIGEN UNTUK MENDUKUNG PERTUMBUHAN


DAN KELANGSUNGAN HIDUP PADA BUDIDAYA
UDANG VANAME

Oleh : Hadi Prayitno dan Jumana

ABSTRAK
Produktifitas tambak tidak terlepas dari tingkat teknologi. Semakin tinggi padat
tebar (intensif) maka kebutuhan oksigen menjadi salah satu faktor pembatas
produksi. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya limbah dari hasil
feces/ekskresi udang, sisa pakan dan kematian plankton, yang pada akhirnya
membuat semakin memburuknya kondisi lingkungan tanah dan air yang
berimbas pada defisit oksigen didalam tambak pemeliharaan.
Kegiatan perekayasaan untuk mengetahui nilai optimasi oksigen > 3,5 ppm
yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang serta
efek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah dan air pada
budidaya udang vaname intensif dengan padat tebar sekitar 96 ekor/m2 telah
dilakukan di tambak selama 4 bulan pemeliharaan sebanyak 2 petak
pemeliharaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat mengetahui nilai optimasi
oksigen yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada
budidaya udang vaname dan efek optimasi oksigen terhadap peningkatan
kualitas tanah dan air media budidaya.
Hasil kajian menunjukkan bahwa optimasi oksigen dapat dilakukan dengan
penambahan jumlah kincir seiring dengan umur pemeliharaan dan biomassa
udang. Produksi akhir dari kegiatan ini adalah Petak A-5 sebanyak 1.680 kg
dengan SR 73,12% dan petak A-6 sebanyak 1.732 kg dengan SR 75%. Target
produksi dari kegiatan ini belum tercapai target karena pertumbuhan udang
tidak maksimal sehubungan udang terserang penyakit IHHNV yang
menyababkan pertumbuhan udang kerdil meskipun telah dipacu dengan
pemberian pakan yang berlebih.

Kata Kunci : produksi, udang vaname, optimasi, oksigen, faktor pembatas.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peningkatan produksi Perikanan di Indonesia terus digalakkan dengan
mengintroduksi jenis udang vaname yang dibudidayakan tambak, hal ini sebagai
upaya untuk mengejar target produksi udang Nasional. Beberapa karakteristik yang
membuat pembudidaya tertarik pada udang vaname adalah kemampuan
recovery/pemulihan terhadap serangan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis udang windu dan dapat dilakukan dengan kepadatan tinggi (>100
ekor/m2) serta mempunyai pangsa pasar yang terbuka luas baik dalam maupun luar
negeri dengan variasi size yang lebar, yaitu antara 50 – 150 ekor/kg).

61
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tingkat produktivitas tambak tidak terlepas dari tingkat teknologi yang


diterapkan dan kondisi sarana/fasilitas yang digunakan. Salah satu faktor pembatas
untuk memperoleh produksi optimal dalam budidaya udang adalah kandungan
terlarut oksigen dalam tambak. Pada tingkat kepadatan udang di atas 10 ekor/m2,
kebutuhan oksigen bagi udang peliharaan secara nyata tidak dapat terpenuhi hanya
dari hasil fotosintesa fitoplankton, melainkan harus melalui tambahan peralatan
pensuplai oksigen yang berupa kincir air/peadle wheel ataupun super charger. Hal
ini terkait selain dengan semakin padatnya organisme peliharaan, juga hasil ekskresi
udang yamg berupa limbah/kotoran, plankton mati serta sisa pakan yang tidak
termakan oleh udang merupakan sebagian faktor penyebab devisitnya oksigen dalam
budidaya udang di tambak.
Kelarutan oksigen dalam air media pemeliharaan merupakan parameter kunci
dalam setiap kehidupan organisme air (Boyd, 1989). Oksigen dalam tambak telah
secara nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.
Konsentrasi maksimum oksigen air media sangat tergantung pada tekanan atmosfir,
konsentrasi garam dan temperatur. Konsentrasi oksigen yang rendah yaitu dibawah
1,5 mg/l (ppm) bersifat lethal bagi ikan maupun udang. Sedangkan kondisi ideal bagi
pertumbuhan ikan dan udang adalah pada konsentrasi diatas 3.5 mg/l hingga
konsentrasi saturasi (Anonim, 1991).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka, BBPBAP Jepara memandang
perlu untuk melakukan kajian “peningkatan produksi budidaya udang vaname
melalui optimasi oksigen“ guna mengetahui tingkat kebutuhan oksigen bagi udang
vaname yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup serta
effisiensinya.

Tujuan
Tujuan yang diharapkan pada kegiatan ini adalah :
- Mengetahui nilai optimasi oksigen yang mampu mendukung
pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada budidaya udang vaname.
- Mengetahui effek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah
dan air media budidaya.
- Mampu menghasilkan berat udang size 60 (16,6 gram) dan tingkat
kelangsungan hidup (SR) sebesar 70%, dengan Rasio pakan (FCR) 1,487
: 1 selama masa peliharaan 120 hari.
Sasaran.
Sasaran yang hendak dicapai pada kegiatan ini adalah :
- Diperoleh Nilai oksigen ideal > 3,5 ppm, pada pagi hari sebelum matahari
terbit (05.30 WIB),
- Diperoleh Nilai kelayakan parameter kualitas tanah dan air selama masa
pemeliharaan,

62
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

BAHAN DAN ALAT

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan optimasi oksigen pada
pembesaran udang vaname tercantum pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Bahan-bahan yang digunakan
No. Uraian Bahan Volume
1 Benih Udang Vaname 770.000 ekor
2 Pakan udang vaname 12.100 kg
3 Kaporit 4 – 6 galon
4 CaCO3 2.000 kg
5 Urea 80 kg
6 TSP 80 kg
7 NPK 60 kg
8 Multivitamin 1 kg
9 Binder 1 kg
10 Probiotik 18 liter
11 Inokulan plankton 4 ton
12 Disinfektan ( kaporit ) 29 galon
13 Ikan nila 3 – 5 cm 1.000 ekor
14 Glondong Bandeng 1.500 ekor
15 Rumput Laut 300 kg

Tabel 2. Alat dan sarana yang digunakan


No. Uraian Alat dan Sarana Volume
Tambak peliharaan 2 petak (luasan : @ 5.000 m2)
1 Tandon biofilter dan Reservoir 2 petak (luasan : @ 7.000 m2)
2 Pompa submersible 8 inchi 4 unit
3 Kincir air 6 – 10 unit
4 Peralatan lapangan 1 paket
5 Peralatan sampling 1 paket
6 Peralatan pengamatan parameter
7 kualitas lingkungan 1 paket
8 Gudang penyimpan bahan-bahan 1 unit

METODE

Persiapan Lahan
a) Perbaikan pematang petak pemeliharaan dengan bahan pengkedapan
berupa waring/kasa halus untuk mengatasi bocoran/rembesan,
b) Perbaikan petak tandon biofilter dengan cara pendalaman dan peninggian
pematang menggunakan alat berat berupa exchavator dan penataannya
dengan tenaga manual,

63
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

c) Pengolahan tanah dasar tambak dilakukan dengan cara :


- Pengeringan dan penjemuran, masa waktu 30 hari
- Pengangkatan tanah caren dan penimbunannya, masa waktu 6 hari
- Pengupasan tanah dasar, masa waktu 15 hari,
- Pembalikan tanah dasar, masa waktu 10 hari,
- Pemberantasan hama ikan, masa waktu 1 hari
- Pengapuran Tanah dasar (CaCO3), masa waktu 1 hari.
d) Pengamatan parameter kualitas tanah (sesuai SPO)

Penyiapan Air Media


a) Pengisian air ke petak tandon secara grafitasi dan pompanisasi dengan
melakukan penyaringan double screen,
b) Sterilisasi Air petak tandon sebelum dilakukan penebaran bibit
glondongan bandeng, nila dan rumput laut,
c) Pengisian air di petakan pemeliharaan berasal dari petak tandon air baku
dengan pompanisasi 8 inch, double screen disalurkan melalui saluran air
tertier, disaring lagi dengan bok saringan sebelum air masuk ke petakan
tambak peliharaan,
d) Pengisian air I (Pertama) setinggi 40 cm, diaplikasikan probiotik murni
2,5 ppm + Molase 2,5 ppm, diaerasi maksimal selama 3 hari untuk
merombak Bahan organik tanah dan menekan gas beracun NH3. Probiotik
yang digunakan yang memiliki kandungan bakteri Bacillus spp,
Sacharomyces (ragi) dan Lactobacillus dengan kandungan bakteri > 109
CFU/mL,
e) Peninggian air petak peliharaan hingga 120 cm dan dibiarkan selama 3
hari untuk mengontrol adanya kemungkinan bocoran/penyusutan air
tambak,
f) Sterilisasi air petakan peliharaan dengan bahan disinfektan (kaporit dosis
20 – 30 ppm), aplikasi sore hari/malam hari, diaduk kincir selama 5 menit
agar bahan disinfektan merata, kemudian kincir dimatikan dan dibiarkan
selama 3 hari agar terjadi penetralan bahan disinfektan,
g) Penumbuhan plankton dilakukan dengan aplikasi inokulan plankton jenis
Chlorella sp. sebanyak 2 ton/petak dan dipupuk dengan urea 40 kg, TSP
20 kg dan NPK 10 kg per petak ditunggu masa penumbuhan plankton
hingga 5 – 7 hari,
h) Pengamatan parameter kualitas air (sesuai SPO).

Pemilihan, Pemilahan dan Penebaran Benih Udang


a) Teknik pemilihan dan pemilahan benih vaname (sesuai SNI),
b) Penebaran pada intensitas suhu rendah dan dilakukan adaptasi terhadap
suhu dan salinitas di tambak,

64
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

c) Jumlah tebar benih vaname adalah 350.000 ekor/petak atau padat tebar
sekitar 75 ekor/m2. Dilakukukan pada 2 petak pemelihraan .

Pemeliharaan
a) Rancangan penerapan dan perlakuan optimasi oksigen dengan pengaturan
jumlah kincir:
Perlakuan Petak I
- Umur 1 – 30 hari sebanyak 6 unit kincir
- Umur 31 – 60 sebanyak 8 unit kincir
- Umur 61 – 120 sebanyak10 unit kincir

Perlakuan Petak II
- Umur 1 – 60 hari sebanyak 8 unit kincir
- Umur 60 – 120 hari sebanyak 10 unit kincir
Catatan : Perlakuan ini tergantung hasil pengukuran oksigen minimal pagi
hari > 3,5 ppm
b) Pengelolaan pakan (blind feeding programme dan Sampling mingguan),
c) Pembuangan limbah tambak 5 menit pd pagi dan sore hari selama
budidaya,
d) Penerapan sistim ganti air “Less Water Exchanges” :
- Umur 1 – 30 hari, sebanyak 0% tambahan air
- Umur 31–60 hari, sebanyak 2 – 3% tambah air/minggu
- Umur 61–90 hari, sebanyak 3 – 5% tambah air /minggu
- Umur > 91 hari, sebanyak 5% tambah air/minggu.
e) Pengamatan dan pengedalian penyakit (kesehatan udang) -- 7 hari sekali,
dengan aplikasi feed additive, multivitamin, bawang putih, dll.

Monitoring
Kegiatan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan pengamatan selama masa
pemeliharaan dengan data yang diamati sebagai berikut :
a) Kualitas air -- pengukuran kualitas air harian (pagi dan sore) yakni
parameter fisik : suhu, salinitas, DO, pH sedangkan parameter kimia
seminggu sekali meliputi ammonia, nitrit, C/N ratio, bahan organik,
vibrio dan total bakteri serta kelimpahan dan jenis plankton.
b) Kualitas tanah -- pengukuran parameter tanah seminggu sekali meliputi
redoks potensial, C/N ratio, bahan organik, vibrio dan total bakteri
(termasuk jumlah Bacillus sp).
c) Kesehatan Udang -- pengelolaan kesehatan udang dilakukan dengan
pemberian feed additive. Sampling dilakukan 7 hari sekali untuk
mengetahui populasi, berat udang dan biomasa udang, setelah umur
pemeliharaan 30 hari.

65
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Panen
Apabila umur pemeliharaan udang vaname telah mencapai 120 hari, maka
dilakukan pemanenan secara total dan atau dilakukan pada kondisi
emergensi/darurat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Sintasan Udang Vaname


Pertumbuhan
Pertumbuhan udang peliharaan sangat dipengaruhi parameter kualitas tanah
dan air serta kualitas dan kuantitas pakan yang dibutuhkan oleh udang untuk tumbuh
dan berkembang. Laju pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan dihitung
dengan formula kenaikan bobot harian rata-rata (ADG --- average daily growth).
Pada kajian ini laju pertumbuhan harian (LPH) udang sangat lambat sejak awal
pemeliharaan. Hingga umur 35 hari pemeliharaan LPH yang dihasikan hanya
berkisar 0,04 s/d 0,07 gram/hari. Kenaikan laju pertumbuhan harian berkisar antara
0,07 s/d 0,185 gram/hari dibawah laju pertumbuhan harian standart yaitu 0,28 s/d
0,35 gram/hari. Lambatnya laju pertumbuhan harian udang pada kegiatan ini
kemungkinan besar dikarenakan udang telah terinfeksi penyakit IHHNV yang
menyebabkan pertumbuhan udang menjadi kerdil/kuntet meskipun dipacu dengan
pemberian pakan yang berlebih, Peningkatan oksigen hingga 4,5 ppm dipagi hari.
Dampak dari serangan penyakit IHHNV pada udang menunjukkan bahwa
Pencapaian berat udang hingga umur 112 hari pemeliharaan hanya mencapai berat
9,5 – 9,6 gram/ekor jauh dibawah standart, yaitu berkisar antara 16,5 – 18,5 gram
(Anonim, 2004). Sebagai akibat pemberian pakan yang berlebihan guna memacu
pertumbuhan udang serta pergantian air di atas 10%/hari telah memberikan dampak
buruk terhadap parameter kualitas tanah dasar dan memberi peluang berkembangnya
populasi bakteri dan vibrio yang pada akhirnya udang menjadi stress, nafsu makan
menurun drastis dan penyakit WSSV menginfeksi udang peliharaan dan
menyebabkan kematian.
Kematian udang vaname akibat serangan penyakit WSSV berlangsung cepat
dan diawali pada udang yang berukuran besar (> 7 gram), sehingga pada akhir panen
didapatkan udang dengan berat rata rata berkisar 6 gram/ekor atau size 166,7,
dengan penyusutan kelangsungan hidup berkisar antara 9 – 10% dari estimasi
kelangsungan hidup (SR) antara 82,3 – 84,8%.
Keterkaitan dengan aplikasi jumlah kincir guna meningkatkan produksi
udang vaname intensif, dalam hal ini belum terlihat signifikan yang artinya meskipun
hasil kandungan oksigen cukup tinggi > 3,5 ppm, namun dengan adanya benih yang
telah terinfeksi penyakit IHHNV sejak umur 35 hari ternyata belum mampu sebagai
upaya/langkah di dalam mendukung pertumbuhan udang. Hanya saja dalam
effisiensi penggunaan kincir dan biaya produksi dapat ditekan.

66
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Kelangsungan Hidup (SR)


Tingkat kelangsungan hidup/ Sintasan/SR udang merupakan suatu hal yang
tidak mudah dilakukan. Karena udang merupakan organisme yang hidup di dalam
air. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kesalahan di dalam pendugaan
kelangsungan hidup udang sintasan antara lain keahlian tenaga sampling, ketinggian
air, jumlah/frekuensi sampling, alat sampling dan waktu sampling.
Frekuensi sampling untuk udang vaname hanya dilakukan 1 – 2 kali
penjalaan. Hal ini dikarenakan udang putih termasuk vaname sangat mudah stress
atau lemah akibat perlakukan sampling. Sutanto (2002) menyatakan bahwa effek
negatif dari frekuensi penjalaan udang dapat membawa dampak terhadap kesehatan
udang, yaitu udang mudah mengalami stress, daya tahan tubuh semakin menurun dan
dipicu oleh fluktuasi kualitas air akan dapat menyababkan udang rentan terhadap
serangan penyakit. Dari hasil sampling mingguan pada kegiatan ini dilakukan sejak
umur 35 diperoleh gambaran bahwa tingkat kengsungan hidup udang cenderung
diatas standart kelangsungan .
Keyakinan terhadap tingkat kelangsungan hidup udang peliharaan lebih
diyakini setelah udang mencapai berat rerata 5 gram, dimana udang sudah pasti
terjerat oleh mata jala (tidak lolos). Anonim (2004) menyatakan bahwa sintasan (SR)
pada budidaya udang vaname pola intensif dapat mencapai > 85% dengan kondisi
pertumbuhan normal dan parameter kualitas lingkungan yang optimal. Hasil akhir
kelangsungan hidup yang dicapai pada kegiatan ini berkisar antara 80,0 – 82,5%
setelah terjadi kematian akibat serangan penyakit WSSV.

Kualitas Lingkungan
Salinitas
Parameter air yang penting bagi udang diantaranya adalah salinitas. Hal ini,
berkaitan dengan proses osmoregulasi dalam tubuh udang. Meskipun udang windu
maupun udang vaname mempunyai toleransi yang tinggi terhadap salinitas yaitu
antara 0 – 50 ppt (Anonim, 1985), namun untuk tumbuh dan berkembangnya udang
memerlukan salinitas yang optimal, yaitu antara 15 – 25 ppt (Anonim, 2004 dan
Anonim, 2007).
Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa, selama pemeliharaan (interval waktu 1
bulan) terjadi kenaikan salinitas antara 30 – 31 ppt pada udang vaname. Hal ini
diduga sebagai salah satu rendahnya laju pertumbuhan udang, karena salinitas di atas
salinitas optimal. Meskipun udang merupakan biota euryhaline namun untuk
pertumbuhannya akan terlambat apabila dipelihara pada salinitas lebih rendah atau
lebih tinggi dari kadar optimal dalam waktu yang lama (Anonim, 1985).

67
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 3. Kisaran parameter kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname
Bulan ke Bulan ke
No Parameter Bulan ke I Bulan ke II
III IV
1 Salinitas (ppt) 30 – 31 27 – 30 27 – 29 26 – 27
o
2 Suhu ( C) 29,6 – 30,5 29,4 – 30,3 29 – 30,5 28,5 – 30
3 Oksigen (ppm) 3,5 – 4,1 5,12 – 5,30 4,95- 5,92 4,88 – 5,8
4 pH Air 7,8 – 8,11 8,0 – 8,0 7,7 – 8,2 7.89 – 8.0
5 BO Air (mg/L) 90 - 120 128,74 – 102 - 140 100 - 110
133,83
6 BO Tanah (%) 8,0 – 8,4 8,0 – 9,22 5,86 – 8,63 8,1 – 9,3
7 NH 3 (ppm) tt tt-0,029 0,006-0,028 tt-0,094
8 NO 2 (ppm) 0,072 0,005-0,102 0,19-0,35 0,027-0,087
1 1 2
9 Tot.Vibrio 1,2.10 - 7.10 -3,5.10 1,0.101- 1,0.102-
(CFU/mL) 3,4.102 5,5.102 8,6.105
10 Tot. Bakteri 5,3.102 1,9.102- 1,0.103- 9.102-9.103
(CFU/mL) ,1.103 5,6.104
11 Plankton 7.564-9.684 8.968- 9.568- 10.468-
(sel/cc) 10.236 11.224 12.424
12 Redoks - 85s/d-102 -147s/d-234 -132s/d - -150s/d -
Potensial (m.V) 282 275

Tabel 4. Kisaran parameter kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname
No Parameter Bulan ke I Bulan ke Bulan ke Bulan ke
II III IV
1 Salinitas (ppt) 30 – 31 27 – 30 27 – 30 25 – 27
o
2 Suhu ( C) 29,6 – 30,5 29,4 – 30,3 29 – 30,5 28,5 – 30
3 Oksigen (ppm) 3,5 – 4,1 3,51 – 4,11 3,4 – 4,3 4,2 – 5,65
4 pH Air 7,68 – 8,21 8,1 – 8,1 7,7 – 8,2 7.86 – 8,0
5 BO Air (mg/l) 90–120 128,74– 105,99– 100 –
133,83 146,83 112,22
6 BO Tanah (%) 7,9 – 8,3 6,19 – 9,30 8,0 – 8,34 8,0 – 9,2
7 NH 3 (ppm) tt tt-0,029 0,006-0,028 tt-0,094
8 NO 2 (ppm) 0,072 0,005- 0,19-0,35 0,027-0,087
0,102
2
9 Tot.Vibrio 5,7.10 8.101- 4.101- 2,3.102-
(CFU/mL) 3,9.102 5,6.102 3.104
10 Tot. Bakteri 5,8.105 1,9.105- 3.103- 2,3.102-
(CFU/mL) 2,1.10 3,3.104 2,4.102
11 Plankton 7.664-9.784 9.428- 9.488- 10.762-
(sel/cc) 10.834 11.326 12.524
12 Redoks - 80 s/d 95 -109s/d- -141 s/d - -150 s/d -
Potensial (m.V) 151 233 214

68
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor pembatas yang nyata dalam kehidupan
udang di tambak. Suhu air berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya reaksi
kimiawi air. Peran yang ditimbulkan diantaranya adalah dalam hal proses
metabolisme udang dan nafsu makan. Pada suhu rendah, maka metabolisme udang
juga rendah dan nafsu makan menurun. Suhu optimum bagi udang adalah berkisar
antara 26 – 32oC (Boyd, 1989). Fluktuasi suhu harian yang cukup tajam selama masa
pemeliharaan akan berpengaruh pula terhadap daya konsumsi pakan yang tinggi,
akan tetapi tidak memberikan nilai tambah terhadap pertumbuhan udang (Anonim,
2004 dan Anonim, 2007). Salah satunya cara untuk menjaga kestabilan suhu adalah
dengan menjaga ketinggian air yang optimal dan kemelimpahan plankton (kecerahan
air) yang standar (Adiwidjaya et al, 2003).
Dari Table 3 dan 4 terlihat bahwa temperatur air berkisar antara 29 – 30oC
(vaname). Suhu hingga 28,5oC dicapai pada akhir bulan menjelang musim
penghujan. Dalam kegiatan ini dapat dikatakan suhu masih dalam kisaran yang layak
untuk mendukung pertumbuhan maupun kelangsungan hidup udang.

Oksigen Terlarut
Parameter utama kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan kelangsungan hidup udang adalah oksigen. Pasokan oksigen dalam budidaya
udang vaname intensif didapat salah satunya dari penggunaan kincir sebagai alat
pensuplai oksigen. Pengaruh langsung oksigen adalah efektivitas penggunaan pakan
serta proses-proses metabolisme udang dan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap kondisi kualitas air. Konsentrasi maksimum oksigen air media sangat
tergantung pada tekanan atmosfir, konsentrasi garam dan temperatur. Konsentrasi
oksigen yang rendah yaitu dibawah 1,5 mg/L (ppm) bersifat lethal bagi ikan maupun
udang. Sedangkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ikan dan udang adalah pada
konsentrasi di atas 3,5 mg/l hingga konsentrasi saturasi (Ahmad, 1991).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hingga udang berumur 119 hari
kondisi oksigen masih di atas normal (4,2 – 5,8 ppm) untuk mendukung
pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Kandungan oksigen semakin meningkat
seiring dengan penambahan jumlah kincir hingga 6 buah/petak/0,5 ha dapat menjaga
optimasi oksigen.

pH
Nilai pH air menunjukkan derajad keasaman air. Dinamika pH air
berpengaruh nyata terhadap nafsu makan udang dan pelarutan unsur-unsur hara. pH
air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari pH optimum akan mempersulit
pelarutan beberapa unsur hara penting untuk phytoplankton (Anonim, 1992).
Beberapa dampak pH air pada pemeliharaan organisme air adalah sebagai berikut : a)
pH 4 menyebabkan kematian udang dan ikan (disebut death point); b) pH 4 – 6
memperlambat pertumbuhan udang; c) pH 6 – 9 adalah nilai pH optimal bagi udang;

69
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

d) pH 9 – 11 memperlambat pertumbuhan udang dan e) pH di atas 11 mematikan


udang (alkaline death point).
Menurut Ahmad (1991) dan Boyd (1989) bahwa untuk dapat hidup dan
tumbuh dengan baik organisme air (ikan dan udang) memerlukan medium dengan
kisaran pH antara 6,8 – 8,5. Pada pH dibawah 4,5 atau diatas 9,0 ikan dan udang
akan mudah sakit dan lemah, nafsu makan menurun dan bahkan udang cenderung
keropos dan berlumut. Fluktuasi pH harian tidak melebihi dari 0,5 poin. Fluktuasi
yang terjadi di atas ambang batas toleransi akan memicu udang terjadi abnormalitas.
Hasil pengamatan terhadap nilai pH air (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa
pH masih layak untuk kehidupan udang, yaitu berkisar antara pH 7,68 – 8,2, namun
fluktuasi harian akan cukup berarti terhadap kondisi udang. Antisipasi yang
dilakukan adalah dengan melakukan pengapuran untuk menstabilkan daya sangga
(buffer) nilai pH dan aplikasi molase untuk menahan lonjakan pH.

Ammonia (NH3)
Ammonia merupakan salah satu senyawa hasil sampingan dari proses
perombakan bahan organik di dalam air dan bersifat racun bagi udang dan ikan.
Tingkat keracunan ammonia semakin meningkat apabila pH > 9. Kehadiran senyawa
ini berkaitan erat dengan tingkat oksidasi air. Semakin tinggi kadar oksigen air, maka
semakin rendah kadar ammonianya karena teroksidasi menjadi ammonium (NH4)
yang tidak beracun dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk proses
fotosintesis.
Hasil pengukuran ammonia (NH3) hingga umur 4 bulan masih dapat
dikatakan normal yaitu pada nilai tertinggi < 0,1 ppm (Tabel 3 dan 4). Hal ini
dimungkinkan karena dengan penambahan alat pensuplai oksigen berupa kincir air
hingga 6 buah/petak mampu menghasilkan oksigen untuk mencukupi kebutuhan
oksigen bagi pertumbuhan dan kel;angsungan hidup udang serta kebutuhan oksigen
bagi bakteri perombak senyawa beracun.

Nitrit (NO2)
Nitrit merupakan senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan
organik. Dalam kondisi normal, konsentrasi nitrit sangat jarang mencapai konsentrasi
mematikan udang. Bila kadar oksigen dalam air tinggi, senyawa ini akan teroksidasi
menjadi nitrat (NO3) yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai nutrien.
Senyawa ini diukur sebagai salah satu indikator kesuburan tambak.
Hasil pengamatan terhadap nitrit selama pemelihraan terlihat bahwa nilai
nitrit pada kisaran 0,004 – 0,19 ppm, ini menunjukan kerja dari bakteri heterotropik
di dalam merombak bahan organik oleh kerja bakteri nitrifikasi cukup efektif.

Plankton
Jenis plankton beberapa diantaranya ada;ah dari jenis diatom,
Chlorophyceaea sp, crustacea kecil dan zoobenthos merupakan makanan (alami)

70
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

yang baik bagi udang (Anonim, 1985). Namun demikian, banyak jenis
Cyanophyceae Sp, Dinophyceae Sp. serta protozoa tidak baik bahkan merugikan bagi
udang. Kondisi kemelimpahan plankton yang optimal berkisar antara 8.000 – 15.000
sel/cc (Anonim, 1992).
Dari hasil pengamatan rutin yang dilakukan setiap minggu menunjukkan hasil
yang cukup baik, yaitu berkisara antara 7.564 s/d 12.500 sel/mL.

Redoks Potensial
Redoks potensial pada sedimen dasar tambak menggambarkan intensitas
oksidasi reduksi yang terjadi pada lapisan tanah dasar tambak. Limbah organik yang
mengalami transformasi secara biokimiawi oleh bakteri selalu melibatkan proses
oksidasi dan reduksi. Bahan organik di dasar tambak dapat dioksidasi melalui
pengeringan yang cukup selama persiapan tambak, sedangkan oksidasi bahan
organik selama masa pemelihraan dapat dilakukan antra lain dengan pemanfaatan
kerja bakteri pengurai limbah, diantaranya adalah bakteri Bacillus Spp. Potensial
redoks tanah dasar tambak untuk budidaya udang tidak lebih dari – 150 m.V (Boyd,
1998), sementara yang masih dapat ditoleransi maksimal – 250 m.V (Anonim, 2007).
Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa kandungan redok potensial tertinggi terjadi
pada petak A-5 yaitu hingga mencapai – 285 m.V yang sudah diatas batas ambang
toleransi bagi udang dan dapat menyebabkan stress. Sedangkan pada petak A-6
tertinggi dicapai hingga – 233 mV pada saat udang berumur kurang lebih 3 bulan.
Dengan data redoks potensial selama pemeliharaan berlangsung pada kegiatan ini
terjadi fluktuatif, namun secara mendasar tidak langsung mematikan udang.

Bahan Organik Tanah


Persiapan tanah dasar tambak yang baik hingga dicapai bahan organik < 12%,
ini dapat dicapai dengan melakukan persiapan tanah dasar/sedimen yang baik. Bahan
organik yang ideal adalah berkisar antara 6 – 9% (Anonim, 1985 dan Boyd, 1998).
Kandungan bahan organik tanah adalah merupakan bahan sumber polutan di
lingkungan perairan, khususnya lingkungan tambak yang dapat bersifat racun bagi
organisme peliharaan.
Dari data pengamatan pada (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa pada awal
pemeliharaan kandungan bahan organik tanah yang tersisa layak untuk dilakukan
kegiatan budidaya (< 12%). Seiring dengan bertambahnya umur udang, menunjukan
bahwa semakin tinggi pula beban bahan organik pada tanah dasar. Penekanan bahan
organik tanah agar tidak melampaui ambang batas kelayakan dapat dilakukan dengan
aplikasi probiotik dan dengan peningkatan oksigen yang dipasok dengan
penambahan kincir air.

Total Vibrio dan Total Bakteri


Salah satu indikator penting terhadap keberhasilan budidaya udang di tambak
adalah adanya kemelimpahan bakteri vibrio air media peliharaan Bukan saja untuk

71
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mendeteksi dini serangan penyakit, tetapi juga sekaligus dapat menunjukkan adanya
penurunan kualitas lingkungan tambak (Prastowo, 2007). Lebih lanjut dikatakan
bahwa kemelimpahan vibrio 102 – 103 CFU/mL merupakan level aman, 103 – 104
CFU/ml merupakan level stress dan > 104 CFU/mL merupakan level kritis, dengan
dominasi vibrio bakteri adalah < 5% level aman, 6 – 10% adalah level stress dan >
10 % adalah level kritis.
Hasil pengamatan kemelimpahan total vibrio dalam air selama pemeliharaan
90 hari berkisar antara 1,0.102 - 5,5.102 (petak A-5) dan 4.101 – 5,6.102 (petak A-6).
Peningkatan total vibrio terjadi menjelang umur 117 hari hingga 104 – 105 telah
secara nyata mampu menyebabkan virus WSSV menginfeksi udang vaname dan
pada akhirnya menyebabkan kematian. Prastowo, 2007 menyatakan bahwa akan
terjadinya serangan penyakit lebih ditekankan pada fluktuasi bakteri vibrio dalam
tambak. Lebih lanjut dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa fluktuasi kemelimpahan
bakteri Vibrio terjadi pada akhir pemeliharaan, yaitu terdeteksi pada kisaran level
stress dan level kritis yang menyababkan udang terjangkit penyakit sehingga
menyebabkan kematian cukup banyak.

Produksi
Hasil akhir kegiatan “Peningkatan produksi udang vaname melalui optimasi
oksigen pada teknologi intensif” tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Produksi udang vaname (petak I) dan (petak II)
No. Keterangan Petak I Petak II
1 Jenis udang Vaname Vaname
3 Jumlah tebar 350.000 ekor 350.000 ekor
4 Sintasan ( SR ) 80,0% 82,5 %
5 Udang layak jual 1.657 kg 1.715 kg
6 Under size terjual 23 kg 17 kg
7 BS (tidak layak jual) 102 kg 25 kg

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Dari hasil kajian pada kegiatan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Diketahui nilai optimasi oksigen untuk mendukung kelangsungan hidup
udang vaname di atas 3,5 ppm,
- Diketahui effek optimasi oksigen terhadap peningkatan beberapa
parameter kualitas air dan tanah,
- Belum mampu menghasilkan berat udang size 60 (16,6 gram), namun
target kelangsungan hidup (SR) sebesar > 75% dalam masa pemeliharaan
120 hari, yaitu dapat dicapai dengan kisaran SR sebesar 80,0% s/d 82,5%.

Saran
Adapun saran yang perlu disampaikan dari hasil kegiatan ini adalah sebagai
berikut :

72
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

- Perlu kajian lanjutan untuk mengetahui pengaruh optimasi oksigen yang


mampu mendukung pertumbuhan dan SR dengan hewan uji yang tidak
terserang penyakit IHHNV.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi.
selaku Kepala BBPBAP Jepara, Bapak Ir. Abidin Nur, M.Sc. selaku Penanggung
Jawab Kegiatan NSBC Bapak Bayu Romadhona, S.Pi, M.Si dan teman teman yang
terkait.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D., Erik, Sutikno. dan Dwi Sulistinarto. 2003. Produktifitas Pada
Budidaya Udang Windu Sistim Tertutup: Peluang Usaha Untuk Mencari
Nilai Tambah Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara. Pertemuan Pra Lintas UPT Budidaya Air Payau dan Laut,
Ditjen. Perikanan Budidaya, Jepara September 2003. 39 halaman.
Adiwidjaya, D., Triyono, Herman, Aris Supramono, dan Hadi Prayitno, 2004.
Makalah. Peningkatan produktivitas tambak melalui penerapan probiotik
secara terkendali pada budidaya udang sistim tertutup. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 26 hal.
Ahmad, T., 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak
Udang Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros.
Anonim, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai
Budidaya Air Payau. Jepara. 225 hal.
Anonim, 1992. Plankton Management and Shrimp Culture. Pub. By The Asian
Shrimp Culture Council. Asian Shrimp News. No. 9.
Anonim, 2004. Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 39 hal.
Anonim, 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP pada Budidaya Udang
Windu (P. monodon Fab.) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 68 hal.
Byod, C. E., 1989. Water Quality Management for Fish Science. Vol. 9. Elselver
Scientify. Pub. Comp. 318 p.
Latif, M.S. 2007. Manjemen fisika kimia lingkungan budidaya. Makalah pelatihan
Tenaga pendamping Teknis. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau.
Jepara. 18 hal.
Prastowo, BW. 2007. Fluktuasi dan kemelimpahan bakteri vibrio di tambak sebagai
indikator serangan penyakit bintik putih (white spot) di tambak udang Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.
Sutanto Iwan., 2002. Aplikasi sistim heterotrof sebagai upaya dalam pengendalian
penyakit pada budidaya udang windu dan Vaname. Makalah pada Seminar
nasional crystacea ke 2. IPB-Bogor. 16 hal.

73
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PENGELOLAAN LUMPUR SEDIMEN PADA PEMELIHARAAN


CALON INDUK UDANG WINDU G9

Oleh : Jumana dan Subiyanto

ABSTRAK
Usaha udang windu mengalami perkembangan yang sangat pesat, sejalan dengan
perkembangan dan tingkat produktivitas udang windu yang tinggi di masyarakat,
maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama pada usaha budidaya
udang windu, karena dengan tingkat kepadatan tebar yang tinggi pada budidaya
udang vaname ini sudah terlihat dampak terhadap tambak secara internal dan
eksternal. Sebagai contoh dampak intenal adalah kandungan bahan organik tanah
melebihi batas ambang yang berasal dari limbah kotoran udang (feces) dan sisa
pakan udang serta akibat organisme perairan lainnya yang mati. Salah satu metoda
untuk menjaga dan mengeliminir kandungan bahan organik adalah dengan teknik
penyiponan lumpur dasar (sedimen organik) dengan sistem pompa hisap jenis
portable.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produktivitas tambak pada
pemeliharaan calon induk udang windu G9 dan untuk mencari teknik penyiponan
yang efektif pada lumpur organik sedimen dasar tambak.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah terlihat nyata antara petak yang
disipon (perlakuan) dan petak tidak disipon (kontrol). Tingkat produktivitas pada
petak yang disipon mempunyai nilai tambah yang cukup signifikan dibandingkan
dengan petak yang tidak disipon.

Kata Kunci : penyiponan, sedimen, calon induk udang windu G9, bahan organik

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Komoditas udang merupakan salah satu pangsa pasar yang menjanjikan untuk
terus ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas produksinya. Namun
sejalan dengan perkembangan kondisi lingkungan yang semakin menurun dari segi
beberapa parameter lingkunagn media pemeliharaan, seperti bahan organik air dan
tanah yang tinggi serta parameter kualitas lingkungan lainnya yang kurang optimal.
Sealin itu, dominansi dan fluktuasi bakteri Vibrio Sp. sangat dipengaruhi oleh
kosentrasi bahan organik air dan sedimen (Gunarto at al, 2006). Penurunan kualitas
lingkungan, kualitas perairan yang buruk, juga berpengaruh terhadap tingkat
intensitas serangan penyakit tersebut (Holm, 1999). Dengan kondisi mulai terjadinya
degradasi parameter kualitas lingkungan budidaya, maka tidak sedikit pembudidaya
banyak yang mengalami gagal panen secara maksimal.
Kasus menurunnya kualitas lingkungan dan serangan penyakit pada
budidaya udang windu (Penaeus monodon) hingga saat ini belum sepenuhnya dapat

74
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

diatasi. Oleh karena itu, ada kecenderungan udang introduksi, seperti L. vannamei
menjadi komoditas alternatif pada budidaya udang di tambak. Hal ini dapat
dimengerti karena sejak dirilisnya udang vaname yang berasal dari Amerika Latin
(Meksiko) pada tahun 2001 perkembangannya di Indonesia cukup pesat. Demikian
pula dengan teknologi dan tingkat produktivitas di tambak sangat signifikan
menggantikan posisi usaha budidaya udang windu yang sering mengalami kegagalan
panen yang optimal. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh udang vaname, antara
lain responsif terhadap pakan yang diberikan atau nafsu makan yang tinggi, cukup
tahan terhadap serangan penyakit dan adaptif terhadap kondisi lingkungan yang
kurang baik. Selain itu udang vaname juga memiliki pangsa pasaran yang pesat
ditingkat internasional dan dapat diproduksi dengan padat tebar tinggi. Udang
vaname juga mempunyai kebiasaan (life style) yang agak berbeda dengan jenis udang
windu, yaitu mempunyai gerakan yang sangat lincah dan hampir menempati seluruh
kolom air media pemeliharaan (sekitar 70%). Sehingga tingkat kepadatan tebar yang
akan dilaknakan hampir identik dengan seberapa jumlah volume air pada tambak
tersebut.
Usaha udang windu mengalami perjalanan yang lesut, sejalan dengan
perkembangan dan tingkat produktivitas udang windu yang tinggi di masyarakat,
maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama pada usaha budidaya
udang windu, karena dengan tingkat kepadatan tebar yang tinggi pada budidaya
udang windu ini sudah terlihat dampak terhadap tambak secara internal dan
eksternal. Salah satu parameter kualitas lingkungan yang sudah melebihi batas
ambang adalah bahan organik tanah yang berasal dari limbah kotoran udang (feces)
dan sisa pakan udang dan parameter kualitas lingkungan media lainnya.
Dengan melihat kenyataan di lapangan dan banyak kasus budidaya udang
windu yang mengalami kegagalan panen yang maksimal akibat beberapa atau salah
satu faktor parameter kualitas lingkungan media pemeliharaan yang kurang dan atau
tidak optimal, maka BBPBAP–Jepara berkewajiban untuk ikut memberikan solusi
penanggulangannya. Salah satunya adalah dengan adanya rekayasa teknik
pengelolaan lumpur dasar pada budidaya udang windu

Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah :
 Untuk meningkatkan produktivitas tambak pada pemliharaan calon induk
udang windu.
 Untuk mencari teknik penyiponan yang efektif pada lumpur organik
sedimen dasar tambak.

Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai dari teknik pengelolaan lumpur dasar ini adalah
sebagai berikut :

75
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

 Perbaikan parameter kualitas media pemeliharaan calon induk udang


(bahan organik air dan tanah, ammonia, nitrit dan redoks potensial),
 Untuk menigkatkan produkstivitas tambak dalam pemeliharaan calon
induk udang windu

BAHAN DAN ALAT

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan teknik pengelolaan lumpur
dasar pada padapemeliharaan calon induk udang windu. Tabel 1 dan 2 sebagai
berikut.
Tabel 1. Sarana dan peralatan yang digunakan pada kegiatan ujicoba
No. Komponen Alat/Sarana Volume Satuan
1 Wadah ujicoba 2 Petak
2 Pompa submersible 6 dan 8 inchi 2 Unit
3 Kincir air 1 PK 2 Unit
5 Peralatan lapangan 1 Paket
6 Sarana dan alat penyiponan 1 Unit
7 Alat pengamatan kualitas air, tanah dan plankton 1 Paket
8 Sarana pendukung lainnya (Lab. analisa) 1 Paket

Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan


No. Komponen Bahan Volume Satuan
1 Calon induk udang windu G 9 2.000 Ekor
2 Pakan udang 4.750 Kg
4 Desinfektan 300 Kg
7 Kapur (Dolomit) 1.000 Kg
9 Molase/Tetes Tebu 300 Liter
10 Pupuk anorganik (Urea, TSP/SP-36, NPK) 200 Kg
11 Probiotik 40 Liter
12 Feed additive 1 Paket
13 Biofilter 1 Paket

Tata Kerja

Persiapan Tambak
Kegiatan persiapan tambak yang dilakukan adalah pengeringan,
pemberantasan hama, pengolahan dasar dan perbaikan pH tanah dasar. Pengeringan
dilakukan hingga tanah retak-retak untuk untuk mempercepat proses penguraian
bahan organik. Pembalikan tanah dasar tambak tidak dilakukan karena hingga pada
kedalaman 10 – 15 cm kualitas tanah masih menunjukan nilai yang layak dengan
nilai parameter diantaranya : bahan organik < 12%; redoks potensial > -50 m.V dan
pH tanah > 6,5.

76
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Penyiapan Air Media


Penyiapan air media pada petak pemeliharaan berasal petak tandon biofilter.
Pemasukan air dari petak tandon ke petak pemeliharaan calon induk udang windu
dengan menggunakan pompa. Untuk mencegah masuknya crustecea liar dan ikan
lainya, maka dilakukan penyaringan air dengan saringan kassa mesh size 1 mm atau
plankton net ukuran T-45 dengan mesh size 300-400 μm. Pengisian air tahap awal
mencapai di atas 100 cm.
Sebelum pemupukan dan penumbuhan plankton air diseterilkan dengan
kaporit 60% dosis 20 ppm. Setelah netral sekitar 2 hari maka dilanjutkan dengan
penumbuhan plankton dengan aplikasi pupuk anorganik (Urea : 5 – 10 ppm, TSP/SP-
36 : 3 – 5 ppm) dan pupuk mikro seperti lodan dengan dosis 0,5 ppm. Untuk
mempercepat kemelimpahan plankton ditambah bibit plankton Chlorella sp sebagai
starter. Plankton akan tumbuh setelah 4 – 7 hari. Bila plankton belum tumbuh, maka
dilakukan pemupukan susulan dengan dosis pupuk yang sama sampai plankton
tumbuh dengan indikator diukur dengan kescerahan air mencapai minimal 50 cm.
Penebaran probiotik komersial jenis Bacillus Sp. dilakukan dengan dosis 10 liter/Ha
sebagai starter dalam petak pembesaran.

Pemilihan dan Penebaran calon induk udang windu G9


Calon induk udang windu yang digunakan adalah calon induk udang windu
G9 dengan berat 60 gr/ induk – 70 gr/induk. calon induk udang windu diangkut
untuk ditebar dan diadaptasikan pada parameter : salinitas, suhu dan pH air tambak
untuk mengurangi stres pada saat penebaran.

Pengelolaan Pakan
Pengelolaan pakan meliputi dosis, ukuran, jumlah, waktu dan frekuensi
pemberian disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Pemberian pakan tambahan
mulai diberikan sejak awal penebaran hingga ukuran yangb ditentukan dengan
ukuran dan jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran udang. Pengamatan nafsu
makan dilakukan setiap pemberian pakan melalui kontrol pada anco (feeding tray).
Jumlah pakan pada masing-masing anco adalah 0,8 – 1% dari jumlah setiap
pemberian. Jumlah anco minimal 2 buah per petak. Pemberian pakan segar juga
dilakukan bila nafsu makan menurun dan diimbangi dengan pengelolaan air yang
baik.

Pengelolaan air
Pengelolaan air yang dilakukan selama pemeliharaan adalah pergantian air;
pengukuran kualitas air serta aplikasi pupuk anroganik (Urea, TSP dan pupuk
lainnya). Pengamatan kualitas air harian meliputi : salinitas, pH, suhu, kecerahan.
Pengamatan kualitas air secara periodik (mingguan) meliputi : bahan organik, nitrit,
ammonia dan alkalinitas. Sedangkan pengamatan kualitas tanah secara periodik (2
minggu sekali) meliputi : redoks potensial, pH dan bahan organik. Untuk menjaga

77
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

pH agar stabil diaplikasikan dolomit dengan dosis 5 – 15 ppm dan untuk menyerap
gasp-gas beracun digunakan zeolit dosis 5 – 10 ppm.
Pengamatan kondisi kesehatan udang dilakukan setiap hari yang meliputi
gerakan, warna, kondisi usus dan nafsu makan melalui mengamati pada anco
(feeding tray). Pengamatan dan pengukuran laju pertumbuhan udang dan perhitungan
pakan dilakukan setiap 7 hari sekali. Pengambilan contoh sampel udang
menggunakan jala tebar dengan teknik diambil beberapa titik sample yang dianggap
mewakili.

Pengelolaan Lumpur Dasar


Rancangan teknik pengelolaan sedimen dasar tambak dimulai pada saat
tahapan persiapan tambak dengan parameter tanah dasar tambak yang siap tebar.
Sementara selama pemeliharaan akan dilakukan pada petak perlakuan (yang disipon)
dengan teknik penyiponan berdasarkan hasil pengamatan pada parameter bahan
organik, pH, dan redoks potensial, sedangkan petak kontrol (tidak disipon) selama
pemeliharaan tidak dilakukan teknik penyiponan. Alat yang digunakan adalah berupa
pompa sedot model alkon ukuran diameter 2,5 inchi. Teknik penyiponan dilakukan
secara bertahap dan perlahan-lahan agar kondisi dasar tambak tidak teraduk-aduk
dan udang tidak stres. Limbah lumpur organik dibuang ke kanal pembuangan.
Rancangan perlakuan dengan teknik penyiponan lumpur pada sedimen dasar tambak
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rancangan teknik penyiponan sedimen dasar pada ”petak perlakuan”
selama pemeliharaan calon induk udang windu
Umur Frekuensi Indikator Parameter Lumpur Sedimen
No.
(Bulan ke) (kali) Tambak yang Optimal (Anonim, 2007)
1 I 1 1. Bahan organik : < 12%
2 II 2 2. pH : 6,5 – 8,0
3 III 3 3. Redoks Potensial : positif s/d – 150 m.V

Panen
Pemanenan hasil dapat dilakukan apabila target umur pemeliharaan sudah
cukup dan ukuran udang sudah mencapai yang ditentukan yaitu setelah mencapai
ukuran berat rata-rata individu minimal >80 gram

Data yang diamati :


 Parameter kualitas tanah dasar (BO, pH, redoks potensial)
 Produktivitas tambak (pertumbuhan )
 Parameter kualitas air media lainnya

78
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Kualitas Dasar Tambak (Sedimen)


Parameter kualitas media dasar tambak pada pemeliharaan calon induk udan
windu merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat keberhasilan dan
produkstivitas tambak itu sendiri. Hampir semua jenis udang menempati dan hidup
dibagian dasar (bottom) kolam/tambak, bagian dasar tambak berpengaruh langsung
dan berinteraksi terhadap hampir semua parameter kualitas lingkungan media
pemeliharaan udang. Untuk itu, dalam proses pemeliharaan calon induk udang windu
di tambak diperlukan pengendalian dan pengelolaan sedimen dasar tambak secara
optimal agar udang dapat tumbuh dan tingkat kelangsungan hidup yang optimal.
Beberapa partameter kualitas dasar tambak yang perlu diperhatikan pada
pemeliharaan calon induk udang windu, diantaranya : bahan organik, pH, dan redoks
potensial. Adapun hasil dari rekayasa teknik pengelolaan sedimen dasar tambak
selama pemeliharaan calon induk udang windu G9 di tambak NSBC BBPBAP –
Jepara, adalah sebagai berikut :

Bahan Organik
Kandungan bahan oganik tanah adalah merupakan sumber pollutan di
lingkungan perairan, khususnya lingkungan tambak. Limbah kotoran udang dan sisa
pakan serta organisme yang mati akan mengalami akumulasi di dasar tambak,
sehingga dalam proses dekomposisinya akan menghasilkan senyawa-senyawa yang
bersifat gas-gas beracun yang berdampak negatif seperti H2S, NH3 dan gas lainnya.
Gas-gas beracun yang ditimbulkan akibat proses dekomposisi bahan organik pada
sedimen dasar tambak dapat menyebabkan udang/ikan keracunan dan menjadi stres
bahkan kematian (Ahmad,, 1991 dan Boyd, 1992). Secara umum bahan organik
tanah dapat dikendalikan dengan cara mengoptimal pada saat proses persiapan awal.
Untuk mengeliminir bahan organik tanah dapat dilakukan beberapa cara, yaitu
lakukan proses pengeringan, pembuangan sisa kotoran (pengupasan), pencucian,
pembalikan/pengolahan dan pengupasan tanah dasar, serta pengapuran secukupnya
(Adiwidjaya, et al, 2002).
Hasil pengamatan sejak bulan pertama pada petak yang disipon sedimen
dasar tambaknya terukur kandungan bahan organiknya antara 9,6 – 12,4%. Hal ini
dapat dikatakan kondisi kandungan bahan organik pada petak perlakuan lebih baik
bila dibandingkan dengan petak tanpa perlakuan penyiponan (Tabel 5). Tetapi pada
awal bulan kandungan bahan organik hampir relatif sama, ini disebabkan dasar
tambak pada bulan pertama masih dalam kondisi baik akibat pengaruh pada tahap
persiapan dan bahan organik dari kotoran calon induk udang windu masih sedikit.
Dengan kisaran bahan organik pada petak perlakuan (yang disipon) hampir
mendekati kondisi optimal, yakni masih berada dalam kondisi yang layak bagi
kehidupan udang (Anonim, 2007). Bahan organik sedimen dasar tambak

79
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(penumpukan lumpur) secara tidak langsung dapat mempengaruhi pula kandungan


bahan organik air yang tersuspensi (TOM – total organic matter) (Boyd, 1992).

pH
Derajat kesaman (pH) tanah banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor
pembentuknya, antara lain bahan organik dan berbagai jenis organisme air yang
mengalami pembusukan, logam berat (besi, timah dan bouksit, dll). Biasanya pH
tanah dasar tambak yang rendah diikuti tingginya kandungan bahan organik tanah
yang terakumulasi dan tidak terjadi oksidasi yang sempurna (Anonim, 1985).
Sedangkan pH tanah yang rendah cenderung dipengaruhi oleh kandungan logam
berat seperti besi, timah dan logam lainnya. pH tanah yang optimal untuk kegiatan
budidaya udang dan ikan berkisar antara 6,5 – 8,0 (Boyd, 1992).
Hasil pengukuran nilai pH pada pemeliharaan calon induk udang windu baik
yang dilakukan pada petak yang disipon maupun pada petak tidak disipon masih
dalam kondisi yang cukup optimal. Namun pada bulan ketiga pada petak tidak
disipon nilai pH tanahnya cenderung menurun, hal ini terkait erat dengan kandungan
bahan organik yang cenderung meningkat (Tabel 4).
Tabel 4. Kisaran parameter kualitas sedimen dasar selama pemeliharaan calon induk
udang windu
N Bulan Petak Perlakuan Penyiponan Petak Tanpa Penyiponan
o. ke BO pH Redoks BO pH Redoks
(%) (m.V) (%) (m.V)
1 I 9,6 - 11,1 6,7 - -14s/d - 9,5 - 6,6 - -18 s/d -68
7,5 71 11,7 7,4
2 II 10,0 - 6,8 - -68s/d - 11,3 - 6,5 - -85s/d -102
11,6 7,6 98 12,2 7,4
3 III 10,8 - 7,0 - -75s/d - 13,8 - 6,6 - -112s/d -
11,9 7,7 115 14,3 7,1 171

Redoks Potensial
Potensial redoks pada sedimen dasar tambak adalah menggambarkan
intensitas oksidasi dan reduksi yang terjadi (Boyd, 1992). Suatu substansi
terakumulasi dan tidak teroksidasi oleh oksigen karena keterbatasan cadangan
oksigen. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan substansi tersebut melepaskan
elektron yang selanjutnya mengakibatkan senyawa lain tereduksi. Limbah organik
yang mengalami transformasi secara biokimiawi oleh bakteri selalu melibatkan
proses oksidasi dan reduksi. Bahan organik yang ada di dasar harus dioksidasi
melalui proses pengeringan yang cukup (bila perlu dengan pembalikan tanah dasar).
Cukup tidaknya proses oksidasi dapat dilihat dari nilai pengukuran Potensial redoks
(Reduksi-Oksidasi). Bila bahan-bahan tereduksi sudah teroksidasi (termasuk bahan
organik) maka nilai Potensial Redoks (ORP = Oxydation-Reduction Potential)
positif. Potensial redoks tanah dasar tambak untuk budidaya udang tidak lebih dari
minus 150 m.V (Boyd, 1992). Redoks potensial dapat dijadikan parameter kualitas

80
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

sedimen, mengingat potensi redoks menggambarkan sejumlah senyawa yang


potensial teroksidasi atau tereduksi.
Potensial redoks pada petak yang disipon terlihat cukup optimal selama masa
pemeliharaan, sedangkan pada petak tidak disipon mulai bulan ketiga hingga
keempat terlihat meningkat melebihi batas ambang (Tabel 4). Meningkatnya kondisi
potensial redoks pada petak tidak disipon karena tidak terjadi proses oksidasi dan
reduksi pada akumulasi bahan organik sedimen lumpur dasar tambak. Proses
oksidasi dan reduksi pada sedimen dasar tambak dipengaruhi oleh adanya bakteri
pengurai dan adanya oksigenasi yang cukup pada tanah dasar tambak. Dengan
kondisi redoks potensial pada petak yang disipon cukup optimal ini dikarenakan
adanya penyedotan bahan organik (lumpur dasar) tambak secara periodik dengan
frekuensi sesuai umur pemeliharaan.

Produktivitas Tambak ( Pertumbuhan )


Dalam kegiatan pemeliharaan calon induk udang windu G9 ini diperlukan
beberapa faktor untuk mencapai target produksi yang optimal, diantaranya
pertambahan berat rata-rata individu harian. Dengan adanya data pertumbuhan dan
tingkat kelangsungan yang optimal pada pemeliharaan calon induk udang windu,
maka akan terlihat produktivitas tambak secara optimal pula (Anonim, 2007).
Dari hasil pengamatan dan pengambilan contoh sample calon induk udang
windu yang dilakukan secara berkala pada kegiatan ini, bahwa pertumbuhan
meningkat. Membaiknya pertumbuhan pada petak yang disipon dimungkinkan
karena dengan kondisi parameter kualitas media dasar juga relatif lebih baik.
Sehingga petak yang disipon dapat menunjukkan hasil yang optimal dari segi
produktivitas tambak .
Kurang optimalnya pertumbuhan calon induk udang windu dipengaruhi pula
oleh beberapa parameter kualitas air media pemeliharaan (Anonim, 2004).

Parameter Kualitas Air Media


Dari hasil pengamatan dan analisa baik langsung di lapangan maupun di
laboratorium pada kegiatan pemeliharaan calon induk udang windu G9 ini diperoleh
beberapa data parameter kualitas air yang penting selama masa pemeliharaan calon
induk udang windu G9 (Tabel 5 dan 6), data-data tersebut adalah sebagai berikut :

Salinitas
Salinitas air media pemeliharaan pada umumnya cukup berpengaruh tehadap
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup udang (Anonim, 1985). Dari hasil
pengamatan pada kedua petak pemeliharaan terukur mulai bulan pertama hongga
bulan tiga terjadi peningkatan hingga mencapai salinitas 32 ppt. Dengan kondisi
salinitas seperti ini masih cukup mendukung untuk kegiatan budidaya udang secara
umum, karena udang dapat tumbuh dan berkembangan pada kisaran salinatas antara
5 – 30 ppt (Anonim, 1985 dan Ahmad, 1991), karena jenis udang vaname

81
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mempunyai toleransi cukup luas yaitu antara 0 – 50 ppt. Namun apabila salinitas di
bawah 5 ppt dan di atas 30 ppt biasanya pertumbuhan calon induk udang windu G9
relatif lambat, hal ini terkait dengan proses osmoregulasi dimana akan mengalami
gangguan, terutama pada saat udang sedang ganti kulit dan proses metabolisme
(Anonim, 2007).

Temperatur
Temperatur air merupakan salah satu faktor pembatas yang nyata dalam
kehidupan udang ditambak. Seringkali didapatkan udang mengalami stres dan
bahkan mati disebabkan oleh perubahan suhu yang fluktuatif (Ahmad, 1991).
Keadaan seperti ini sering terjadi pada tambak dengan kedalaman kurang dari satu
meter atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Sebagai contoh musim kemarau
(musim bediding) dan perbedaan suhu yang sangat mencolok antara siang dan malam
hari (Adiwidjaya et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian para ahli, terbukti
bahwa pada suhu rendah metabolisme udang menjadi rendah dan secara nyata
berpengaruh terhadap nafsu makan udang menurun (Byod, 1989).
Sementara dari hasil pengamatan pada kedua petak yaitu sejak bulan pertama
hingga bulan tiga terukur antara 24,5 – 31,00C. Rendahnya suhu pada pagi hari dan
terjadinya fluktuasi yang tajam pada sore hari dikarenakan pada musim kemarau
sering terjadi pengaruh angin selatan (bediding). Rendahnya suhu air pada pagi
hingga siang hari dapat menyebabkan nafsu makan udang rendah dan proses
metabolisme tidak optimal, sehingga dapat menghambat petumbuhan bahkan dapat
menyebabkan kematian. Sedangkan nilai temperatur optimal bagi pertumbuhan dan
perkembangan udang berkisar antara 28,0 – 31,5 0C (Anonim, 1985 dan Anonim,
2007).

pH (Derajat Keasaman) Air


Untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik bagi organisme air (ikan dan
udang) memerlukan medium dengan kisaran pH antara 6.8 – 8.5 (Ahmad, 1991 dan
Boyd, 1991). Pada pH dibawah 4,5 atau diatas 9,0 ikan atau udang akan mudah
sakit dan lemah, dan nafsu makan menurun bahkan udang cenderung keropos dan
berlumut. Apabila nila pH yang lebih besar dari 10 akan bersifat lethal bagi ikan
maupun udang.
Dari data pengamatan pada kedua petak ujicoba ini diperoleh kondisi pH air
yang relatif optimal, namun dari segi fluktuasi antara pagi dan sore hari cukup tajam
yaitu pada poin > 0,5. Pengendalian nilai pH yang optimal diperlukan aplikasi kapur
pada saat masa pemeliharaan udang di tambak (Adwidjaya, et al 2002).

DO (Oksigen Terlarut)
Kelarutan oksigen dalam air media pemeliharaan merupakan parameter kunci
dalam setiap kehidupan organisme air (Boyd, 1989). Konsentrasi maksimum oksigen
di air sangat tergantung pada tekanan atmosfir, konsentrasi garam, dan temperatur.

82
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Konsentrasi oksigen yang rendah, dibawah 1,5 mg/l bersifat lethal bagi ikan maupun
udang. Sedangkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ikan dan udang adalah pada
konsentrasi diatas 3.5 mg/l hingga konsentrasi saturasi (Anonim, 1991).
Hasil pengamatan pada kedua petak ada perbedaan nilai konsentrasi oksigen
terlarut yang cukup mencolok. Petak perlakuan (yang disipon) secara keseluruhan
hampir dikatakan dalam kondisi optimal (3,4 – 5,5 ppm) dan petak kontrol (tidak
disipon) terjadi penurunan mulai bulan ketiga hingga keempat, yaitu antara 2,7 – 4,8
ppm. Secara tidak langsung dampak dari teknik penyiponan pada sedimen dasar
tambak dapat menstabilkan dan meningkatkan nilai konsentrasi oksigen terlarut dan
sebaliknya pada petak kontrol terjadi defisit oksigen mulai bulan kedua akibat
penyerapan oksigen oleh akumulasi bahan organik. Sedimen dasar tambak
(akumulasi lumpur/bahan organik) dapat menyerap oksigen sebesar hamir 20%
(Boyd, 1992).

Alkalinitas
Alkalinitas adalah kumpulan seluruh anion di dalam badan air. Alkalinitas
menggambarkan kapasitas buffer air yang dinyatakan dalam mg/l dari CaCO3.
Semakin sadah air, semakin baik bagi usaha budidaya ikan/udang dengan nilai
optimalnya 120 mg/l dan nilai maksimumnya 200 mg/l. Kesadahan total
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proporsi ion magnesium
dan kalsium (Anonim., 1985 dan Ahmad., 1991). Parameter ini diukur untuk
menyediakan tambak udang dengan kondisi yang identik dengan lingkungan
alaminya. Perairan dengan alkalinitas rendah mempunyai daya penyangga (buffer
capacity) yang rendah terhadap perubahan pH. Alkalinitas air sangat erat kaitannya
dengan tersediannya karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesis tumbuhan air
terutama fitoplankton.
Kondisi alkalinitas yang didapat dari hasil pengamatan pada kedua petak baik
perlakuan maupun kontrol tidak jauh berbeda kandungannya. Namun pada awal
pemeliharaan kandungan alkalinitas masih dibawah optimal, yaitu antara 79,4 – 98,9
ppm, sedangkan mulai bulan kedua terjadi peningkatan kearah yang optimal (Tabel 7
dan 8). Dengan data dari akhir bulan pertama hingga akhir pemeliharaan, bahwa
untuk kegiatan budidaya ikan maupun udang cukup optimal, sementara alkalinitas
yang optimal untuk kegiatan budidaya udang berkisar antara 90 – 150 ppm
(Anonim., 1985 dan Ahmad., 1991).

Bahan Organik
Keberadaan kandungan bahan organik pada air media, baik pada perairan
umum maupun petakan tambak pada jumlah yang tinggi merupakan hambatan bagi
kehidupan organisme yang dipelihara. Hal ini akan mengalami pengendapan dan
terdekomposisi menjadi senyawa yang bersifat racun bagi udang dan organisme
lainnya, seperti halnya ammonia (NH3), dan Nitrit (NO2). Kisaran optimal
kandungan bahan organik air untuk pemeliharaan udang adalah antara < 90 ppm

83
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(Anonim, 2002 dan Anonim, 2007). Bahan organik yang diukur ini merupakan
akumulasi dari berbagai macam sumber bahan yaitu bahan organik yang berasal dari
limbah biota air yang mati maupun tanaman berupa fitoplankton dan tanaman lain,
atau sisa pakan serta organisme yang masih hidup lainnya.
Data kandungan bahan organik air pada petak perlakuan terlihat jauh lebih
baik dan mendekati kepada kondisi yang optimal (68,4 – 88,5 ppm) dibandingkan
dengan petak kontrol (95,3 – 165,9 ppm). Meningkatnya kandungan bahan organik
air pada kedua petak tambak disebabkan oleh semakin bertambahnya biomass udang
dan semakin banyaknya jumlah pakan yang diberikan, sehingga sisa kotoran dan
pakan yang tidak terserap semakin besar.
Tabel 5. Kisaran parameter kualitas air pada petak yang disipon
Parameter Kualitas Air
Bulan Tempe BO
No Salinitas Oksigen Alkalinitas NH3
ke ratur pH (ppm
(ppt) (ppm) (ppm) (ppm)
(oC) )
27,5- 7,7 – 68,4- 0,02-
1 I 26 – 30 3,4 – 5,4 79,4–97,6
30,0 8,0 73,8 0,04
27,0- 7,5 – 71,2- 0,03-
2 II 31 – 34 3,4 – 5,3 98,4–102,5
30,5 7,9 88,2 0,05
25,5- 7,6 – 74,8- 0,05-
3 II 35 – 38 3,5 – 5,5 105,2–115,5
30,5 8,3 87,6 0,08

Tabel 6. Kisaran parameter kualitas air pada petak tidak disipon


Parameter Kualitas Air
Bulan Tempe Oksige
No Salinitas Alkalinit BO NH3
ke ratur pH n
(ppt) as (ppm) (ppm) (ppm)
(oC) (ppm)
27,0- 7,6 – 3,1 – 86,5– 95,3- 0,02-
1 I 26 – 30
30,0 8,0 5,5 98,9 101,2 0,03
26,5- 7,4 – 3,2 – 99,1– 96,5- 0,04-
2 II 31 – 34
31,0 7,8 4,9 101,9 108,8 0,06
24,5- 7,5 – 2,9 – 103,4– 98,7- 0,09-
3 III 35 – 38
30,0 8,2 4,5 107,8 134,6 0,16

Ammonia (NH3-N)
Kandungan ammonia dalam air merupakan hasil perombakan dari senyawa-
senyawa nitrogen organik oleh bakteri pengurai secara alami dan atau dampak dari
penambahan pupuk. Senyawa ini sangat beracun bagi organisme perairan walaupun
dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi amonia pada air media yang mampu
ditolerir untuk kehidupan udang dewasa < 0,3 ppm (Ahmad, 1991 dan Boyd, 1989),
dan ukuran benih < 0,1 ppm.
Secara umum keberadaan kandungan ammonia dari kedua petak
pemeliharaan udang vaname ini hanya mempunyai perbedaan yang tipis. Kisaran
kandungan ammonia ini masih dalam batas yang aman bagi kehidupan udang (Tabel

84
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

8 dan 9), ini terbukti dari sintasan kedua petak tidak terlalu signifikan dan secara
umum kandungan ammonia air ini termasuk kedalam kategori yang optimal, yaitu
masih < 0,3 ppm. Namun pada petak kontrol (tidak disipon) ada sedkit kenaikan
mulai bulan ketiga dan keempat (0,09 – 0,21 ppm), hal ini dapat dipahami karena
pada petak ini tidak dilakukan penyedotan/penyiponan sedimen lumpur dasar secara
rutin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil kegiatan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai beitut :
 Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah terlihat nyata antara
petak yang disipon (perlakuan) dan petak tidak disipon (kontrol),
 Tingkat produktivitas pada petak perlakuan mempunyai nilai tambah
yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan petak kontrol
 Secara teknis aplikasi penyiponan pada petak tambak pemeliharaan
calon induk udang windu G9 yang terkendali dapat diterapkan dan
mudah diprogram sesuai dengan kondisi lapangan.

Saran
Namun dari hasil kegiatan ini tetap masih diperlukan beberapa saran,
diantaranya :
 Pertumbuhan masih dapat ditingkatkan melalui aplikasi teknik
penyiponan yang lebih efektif dan efeisien,
 Tambak perlu menerapkan teknik penyiponan pada lahan/petak yang
terkendali dan tingkat kepadatan yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.


selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Ir. Abidin
Nur, M.Sc. selaku Penanggung Jawab Kegiatan NSBC Bapak Bayu Romadhona,
S.Pi, M.Si dan teman yang terkait.

85
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D dan M. Murdjani, 2005. Strategi Musim Tanam Komoditas Budidaya
di Tambak Yang Berkelnjutan. Materi Pelatihan Budidaya Udang Sistem
Tertutup Bagi Petambak dan Teknisi, 27 Juni s/d 4 Juli 2005. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 10 p.
Adiwidjaya D., I Kade A., Dwi S., Warih H., Erik S., Puspito DCL, Herman, dan
Triyono. 2004. Lieflet. Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Udang
Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau. Jepara.
Adiwidjaya, D. Dkk, 2002. Budidaya Udang Berwawasan Lingkungan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 33 p.
Adiwidjaya D., Erik, S. dan DWI, S. 2003. Produktivitas Pada Budidaya Udang
Windu Sistem Tertutup: Peluang Usaha Untuk Memperoleh Nilai Tambah
Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Pertemuan Pra Lintas UPT

86
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PEMIJAHAN INDUK IKAN BANDENG DI BAK INDOOR


SISTEM AIR DANGKAL

Oleh : Sahlan dan Abdul Rohman

ABSTRAK
Kebutuhan induk bandeng dalam produksi telur diperoleh dari hasil pembesaran atau
budidaya , bangunan bak dilubangi untuk aliran telur ke wadah fibreglass yang
keluar dari dalam bak lewat aliran air yang mengalir selama 24 jam per harinya.
Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik. Oleh
karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya
melalui pakan yang berprotein, penambahan vitamin pakannya maupun secara
hormonal. Penurunan keragaman genetic akibat hilangnya alel-alel ikan dari hasil
perbenihan dapat mengakibatkan terhambatnya laju pertumbuhan dan rendahnya
ketahanan ikan terhadap serangan penyakit serta perubahan lingkungan Untuk
memperbaiki mutu induk bandeng akibat dari menurunnya keanekaragaman genetik,
dilakukan kegiatan pemuliaaan induk bandeng dengan cara seleksi individu.
Kebutuhan oksigen dipenuhi dari sistim aerasi optimal yang letaknya dapat diatur
sesuai kebutuhan. Aerasi diatur dengan gelembung halus untuk mengurangi faktor
stress dari induk ikan. Air mengalir masuk ke bak induk dari tandon air secara
grafitasi atau dengan pompa melalui pipa diameter 2 inchi yang letaknya
berseberangan dengan pipa pengeluaran air. Pakan diperkaya : 1 butir telur bebek/kg
pakan, 1 ml madu/10 kg pakan, 16 kapsul vit. E/30 kg pakan, 0,5 g vit. C/kg pakan .
Mulai produksi telur pada tahun 2016, dalam 1 tahun bertelur dalam 6 bulan,
produksi hingga bulan Oktober

Kata Kunci : Induk bandeng, wadah pemijahan, pakan pelet

PENDAHULUAN

Kebutuhan benih untuk benih bandeng di tambak sangat besar dan tidak bisa
lagi hanya menggantung supplay dari benih alam dikarenakan jumlahnya terbatas,
Untuk memenuhi kebutuhan benih yang semakin meningkat tidak lain harus
diperoleh dari kegiatan pembenihan. Produksi nener ini membutuhkan telur yang
berkualitas dalam jumlah yang cukup. Produksi telur yang berkualitas haruslah
diperoleh dari induk yang diketahui kualitasnya yang lebih diutamakan dari hasil
pemuliaan.
Selama ini kegiatan pemijahan induk bandeng lebih banyak dilakukan dalam
wadah bentuk bulat, volume besar, kedalaman tiga meter dan di ruangan terbuka.
Memperhatikan fasilitas pemijahan konvensional tersebut dianggap kurang efektif
dan efisien. Pada dasarnya induk udang memijah membutuhkan suasana yang
nyaman dan intensitas cahaya rendah. Untuk mencapai kondisi ini salah satu cara

87
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

adalah menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan antara lain wadah pemijahan sistem
indoor.
Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik.
Perbaikan mutu induk dapat diperoleh dari program pemuliaan induk bandeng.
Selain itu peningkatan mutu induk dapat pula diperoleh dengan pemberian pakan
yang diperkaya. Penurunan keragaman genetik dapat menghambat laju pertumbuhan
dan rendahnya daya tahan ikan terhadap serangan penyakit dan perubahan
lingkungan (Leary et al, 1985 dalam Moria et al., 2005). Penyediaan induk bermutu
melalui program breeding, dengan domestikasi nener alam dari berbagai sumber dan
dipelihara hingga menjadi induk.

Tujuan
Kegiatan ini bertujuan : melakukan pemijahan induk bandeng di bak sistim
indoor dengan air dangkal hingga menghasilkan telur.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Adapun bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan pemijahan induk ikan
bandeng dibak indoor dengan sistem air dangkal ini meliputi :
Bahan
• Induk ikan bandeng asal Gondol (G-2), 54 ekor dengan berat 4-6 kg
• Pakan pellet komersial yang diperkaya dengan campuran telur, madu dan
vitamin
Alat
 Bak pemeliharaan induk berbentuk persegi dengan atap lengkung , ukuran
12x6x1,5 m sebanyak 2 buah .
 Wadah pemijahan berupa bak concrete, sistem indoor,
 Waring penutup , sarana aerasi dan peralatan lapangan ( ember dan gayung )

Tata Kerja
Bak pemijahan induk berbentuk segi empat di bagian tengah bak dipisahkan
oleh dingding. Bak dilengkapi dengan sistem aerasi dan sumber air masuk melalui
pipa pvc diameter dua inci dan dilengkapai dengan kran pengatur debit air. Sumber
aerasi diperoleh dari blwower sentral dengan sebanyak 40 titik. Aerasi diatur dengan
gelembung halus untuk mengurangi faktor stress dari induk ikan. Air diisi hingga
ketinggian 0,75 m dan mengalir selama 24 jam. Pipa pemasukan air dimasukkan ke
kolom air sehingga terjadi perputaran arus air. Rasio induk yang ditebar adalah 1
jantan : 2 betina. Pengeluaran kotoran di dasar bak dilakukan secara periodik.

88
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Dosis pakan induk : 3% dari biomas dan frekwensi pemberian pakan 2


kali/hari (pagi-sore) , kualitas air yang diukur pagi dan sore Do 4,22 – 4,41 , Ph 7,6 –
8,5 , salinitas 25 – 30 ppt , suhu 24,4 - 30,08 CO .

HASIL DAN BAHASAN

Kegiatan pemijahan induk ikan bandeng dibak indoor sistem air dangkal
dengan menggunakan wadah pemijahan berupa bak concrete, sistem indoor, ukuran
12x6x1,5 m sebanyak 2 buah , hasilnya adalah : Induk ikan bandeng mulai memijah
pada tahun 2016, dalam 1 tahun bertelur dalam 6 bulan, produksi hingga bulan
Oktober sebanyak 3.237x1000 butir dengan 14 kali pemijahan dengan diameter telur
1-2 mm , adapun data produksi telur bandeng dalam kegiatan pemijahan induk
bandeng dengan sistem air dangkal dapat dilihat dalam tabel dibawah ini .
Tabel. 1. Produksi telur bandeng di bak dangkal (x 1.000 butir)
Frek Tidak Rerata
Terbuahi Total
Bertelur Terbuahi HCR Keterangan
Bulan (butir) (butir)
(kali) (butir) (%)

Pebr. 5 1.345 70 1.415 95,4 Musim hujan


Mei 2 550 550 > 95 Musim Kemarau
Juni 1 87 87 87 100 Musim Kemarau
Sept 3 355 355 > 95 Musim Kemarau
Okt 4 900 900 > 96 Musim Kemarau
Total 14 3.237 157

Tabel.2 .Kualitas air selama kegiatan pemijahan iduk bandeng


Parameter Kisaran nilai
Oksigen (ppm) 4,22 – 4,41
pH 7,6 – 8,5
o
Suhu ( C ) 24,4 - 30,08
Salinitas (ppt) 25 – 30
Alkalinitas (ppm) 92,0 – 125,0
Ammonia (ppm) tt – 0,14

Pada kegiatan ini berhasil memijahkan induk ikan bandeng selama satu
dengan pematangan gonad dan rangsang pemijahan dengan penggunaan pakan pelet
yang dicampur dengan telur bebek dan madu sehingga mpeningkatan nutrisi pada
pakan pellet yang di berikan. Induk dalam satu tahun bisa mijah / bertelur sebanyak
14 kali dengan jumlah telur mencapai 3.237 juta butir.
Bila dibandingkan dengan induk bandeng yang dipelahara dengan
menggunakan bak out door tidah jauh berbeda ini dikarenakan induk bandeng yang
dipelihara didalam bak out door induk sudah produktif sedangkan induk indu
bandeng yang dipelihara dibak indoor merumakan induk baru yang berasal dari

89
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gondol Bali sehingga jika dibandingkan produksi telur atau tingkat pemijahan masih
bagus induk yang dipelihara diout door. Data pemijahan dan produksi telur dari
induk bandeng yang dipelihara di out door adalah selama satu tahun 18 kali
pemijahan dengan jumlah telur 4176.000 butir

KESIMPULAN

Perbaikan mutu induk dapat diperoleh dari program pemuliaan induk


bandeng. Selain itu peningkatan mutu induk dapat pula diperoleh dengan pemberian
pakan yang berprotien.
Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik.
Oleh karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya
melalui pakan yang berprotein, penambahan vitamin pakannya maupun secara
hormonal. Pemijahan induk bandeng strain Gondol yang dipelihara dibak indoor
tidak tergantung pada perputaran bulan baik gelap maupun terang karena pada bak
indoor dikondisikan selalu gelap .

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.
selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Beni
Supriyanto,S.St.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Ikan Bandeng dan teman
teman yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R.,Subandiyono dan Arini,E. 2013. Pengaruh Penggunaan Papain terhadap


tingkat Pemanfaatan Protein Pakan dan Pertumbuhan Lele Dumbo Clarias
gariepinus. Journal of Aquaculture Management and Technology Volume 2,
Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 136-143
Anonim. 1995. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Balai Buddaya Air
Payau Jepara. 15 hal.
Boyd, C. E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond aquaculture. Chapman & Hall.
Effendie, M.I., 1997. Metode Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor.
112 hal.
Emata,A.C.,C.L.Marte dan L.Ma.B.Garcia. 1992. Management of Milkfish
Broodstock. Aquaculture Extension Manual No.20 Desember 1992.
Aquaculture Departemen. Southeast Asian Fisheries Development Center.
Tigbauan,Iloilo,Philippines. 32 hal.
Hasan, O.D.S. 2000. Pengaruh Pemberian Enzim Papain dalam Pakan Buatan
terhadap Pemanfaatan Protein dan Pertumbuhan Benih Ikan Gurame
(Osphronemus gouramy Lac.). Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 57
hlm.

90
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI GELONDONGAN BANDENG DI TAMBAK


MELALUI PENGGUNAAN FERMENTASI PUPUK ORGANIK

Oleh : Puspito Dwi Cipto Leksono dan Poniran

ABSTRAK
Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna
lahan tambak pasca serangan penyakit serta menurunnya daya dukung lahan adalah
memfungsikan lahan tersebut melalui budidaya berbagai macam komoditas. Salah
satunya adalah ikan bandeng. Komponen penentu keberhasilan budidaya bandeng
adalah benih sampai ukuran gelondongan. Permasalahan pembudidaya yang dihadapi
saat ini adalah rendahnya hasil penggelondongan bandeng. Berdasarkan
permasalahan tersebut, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
pada Tahun Anggaran 2016 memfokuskan produksi gelondongan bandeng di tambak
dengan manajemen penumbuhan pakan alami (klekap) menggunakan fermentasi
pupuk organik. Kegiatan dilaksanakan pada tambak dasar tanah berukuran 2000 m2.
Hasil kegiatan didapatkan pertumbuhan gelondongan bandeng sampai umur 60 hari,
menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik yaitu dengan sintasan > 80%, panjang 3
– 9 cm dan berat 10 - 12.5 gr.

Kata Kunci : Glondongan Bandeng, Fermentasi, Pupuk Organik, Pakan Alami


(Klekap)

PENDAHULUAN

Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna
lahan tambak adalah dengan memfungsikan tambak melalui budidaya berbagai
macam komoditas. Ikan bandeng adalah salah satu sumber protein hewani yang
harganya lumayan dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Selain di konsumsi
dalam bentuk ikan segar, juga dalam bentuk olahan diantaranya pindang dan
bandeng presto (Tristian, 2011). Kelebihan lain selain sumber protein adalah tahan
terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, kecerahan air, mudah beradaptasi
dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kisaran kadar garam, tahan terhadap
penyakit serta tidak mempunyai sifat kanibal sehingga ikan ini mempunyai
kecenderungan untuk dibudidayakan dengan kepadatan tinggi terutama
penggelondongan. Dalam usaha budidaya, benih sampai ukuran gelondongan
merupakan komponen penentu menuju keberhasilan budidaya. Permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki
pembudidaya tambak, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan
manajemen air, sehingga tingkat pertumbuhan dan kelulusan hidup yang didapatkan
dalam penggelondongan bandeng masih rendah. Untuk itu diperlukan adanya
informasi yang akurat menyangkut teknologi penggelondongan bandeng sebagai
acuan yang dapat dimanfaatkan oleh pembudidaya tambak. Berdasarkan
permasalahan tersebut, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara

91
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

pada Tahun Anggaran 2016 memfokuskan produksi gelondongan bandeng di tambak


pada manajemen pakan alami (klekap) menggunakan fermentasi pupuk organik.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produksi gelondongan bandeng di
tambak dengan menggunakan fermentasi pupuk organik.

BAHAN DAN TATA KERJA

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi gelondongan bandeng
antara lain adalah nener, pakan komersial, pupuk organik, kascing (bekas kotoran
cacing), saponin, bambu, waring hitam, waring hijau, timbangan digital.

Tata Kerja
Persiapan Tambak
Tambak yang digunakan untuk kegiatan ini berukuran 2.000 m2. Persiapan
tambak meliputi pengolahan tanah dasar dengan cara pengeringan, pemupukan
dengan pupuk organik dan kascing, untuk penumbuhan klekap sebagai pakan
gelondongan.

Pemberantasan Hama
Untuk menjamin tambak penggelondongan bandeng terbebas dari hama
tambak seperti trisipan dan ikan-ikan liar, maka diaplikasi saponin dengan dosis 10
ppm.

Pemupukan dan Pengisian Air


Pemupukan dasar bertujuan untuk menumbuhkan klekap sebagai makanan
utama ikan bandeng. Pupuk yang diaplikasikan adalah pupuk organik yang telah di
fermentasi, dosis 4 kg/m2. Pupuk organik yang telah di fermentasi ditebar secara
merata pada pelataran tambak yang telah di isi air macak-macak. Proses fermentasi
pupuk organik dengan cara kotoran sapi (50 kg) dan probiotik (1 ltr) dimasukkan
kedalam wadah yang kedap udara, kemudian diisi air macak-macak dan ditutup rapat
selama 15 hari. Pengisian air selanjutnya dilakukan setelah klekap tumbuh subur
(ketebalan ± 3 cm) dan dilakukan secara perlahan-lahan hingga mencapai kedalaman
± 50 cm. Pemupukan susulan dilakukan setelah populasi kelekap menipis. Hal ini
tergantung dari nilai kesuburan tambak penebaran benih. Pupuk susulan yang
digunakan dengan dosis 50% dari pemupukan awal.

Penebaran Benih
Nener yang ditebar berumur 25 hari (D-25) berasal dari pembenihan
BBPBAP Jepara sejumlah 100.000 ekor. Penebaran nener dilakukan pagi hari dan
diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi lingkungan media yaitu suhu dan
salinitas.

92
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengelolaan Air
Selama proses penggelondongan, salinitas air tambak dijaga agar stabil dan
ketinggian air dipertahankan ± 50 cm. Laju penguapan dan curah hujan yang tinggi
dapat menyebabkan salinitas berubah dan kondisi seperti ini memungkinkan dapat
menghambat pertumbuhan alga dasar dan sebaliknya dapat menyuburkan
pertumbuhan jenis plankton lain yang tidak diinginkan. Warna air tambak
dipertahankan agar tetap jernih agar klekap dapat tumbuh dengan subur. Apabila
warna air tambak berubah menjadi kuning atau coklat, artinya jenis plankton yang
tumbuh subur adalah jenis protozoa, flagellata, fitoflagellata dan rotifera yang
semuanya merupakan kompetitor oksigen. Perlu adanya penambahan/penggantian air
baru (25%) apabila terjadi perubahan kualitas yang drastis. Penggantian air dilakukan
secara gravitasi dari petakan pengendapan yang berisi kekerangan (kerang hijau) dan
rumput laut Gracillaria sp.

Pemeliharaan
Penggelondongan benih bandeng biasanya sudah mencapai standar ukuran 5-
7 cm setelah masa pemeliharaan 60 hari. Selama pemeliharaan, meskipun pakan
alami (klekap) tumbuh subur tetap diberikan pakan komersial. Jumlah pemberian
pakan sudah terprogram dan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Program pakan produksi glondongan bandeng di tambak
Umur (hari) Berat (gr) SR (%) Dosis pakan (%)
1 - 10 0.2 - 5.0 100 5.0
11 - 20 2.5 - 5.0 95 4.0
21 - 30 5.0 - 7.5 90 3.0
31 - 40 7.5 - 10 85 2.0
51 - 60 10 - 12.5 80 2.0

Panen
Pemanenan dapat dilakukan pada pagi, sore atau malam hari (suhu rendah
untuk mengurangi tingkat stress). Pemanenan pada waktu air pasang dapat dilakukan
dengan cara memasukkan air baru ke dalam tambak. Hal ini menyebabkan
gelondongan bandeng bergerak menuju arah masuknya air dan berkumpul di dekat
pintu air. Dengan menggunakan jaring (krikit) glondongan bandeng digiring menuju
pintu air, kemudian secara perlahanlahan lingkaran jaring (krikit) diperkecil
sehinggga gelondongan bandeng terkurung di dekat pintu. Penangkapan pada waktu
air surut dilakukan terlebih dahulu dengan mengurangi air tambak sehingga air
tersisa di dalam caren sekitar 20 cm. Gelondongan bandeng digiring perlahan-lahan
dan lingkaran diperkecil sehingga gelondongan bandeng dapat berkumpul dekat
pintu. Gelondongan bandeng yang sudah di panen diberokan menggunakan hapa
(waring) dalam petakan tambak terpisah selama 1-2 hari sebelum dipanen untuk
dipindahkan. Penangkapan gelondongan bandeng harus dilakukan sangat hati-hati

93
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

untuk mencegah kemungkinan luka pada tubuh gelondongan bandeng dan


kehilangan sisik akibat gesekan.

Pengamatan
Data utama yang diamati adalah pertumbuhan (panjang, berat) setiap 15 hari
sekali. Parameter kualitas air sebagai data pendukungnya yang diamati adalah
kualitas air (suhu, salinitas, pH, oksigen, bahan organik) yang juga diamati setiap 15
hari sekali.

HASIL DAN BAHASAN

Pertumbuhan
Salah satu faktor pendukung pertumbuhan adalah lingkungan, disamping
nutrisi dan genetik. Hasil pengamatan pertumbuhan gelondongan bandeng
didapatkan bahwa, pada umur 45 hari ADG yang dihasilkan terlihat menurun. Mulai
berkurangnya pakan alami (klekap) serta menurunnya oksigen terlarut serta
meningkatnya kandungan bahan organik air adalah faktor utama menurunnya ADG
gelondongan bandeng yang dihasilkan. Pada umur pemeliharaan 60 hari, terlihat
ADG gelondongan bandeng kembali meningkat setelah dilakukan pemupukan
susulan.

Kualitas Air
Salah satu indikator keberhasilan dalam budidaya baik ikan maupun udang
adalah keberhasilan dalam menjaga kualitas air. Begitu juga dengan produksi
glondongan bandeng. Dari Tabel 2 terlihat bahwa semua parameter air yang diamati
berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan glondongan bandeng. Meskipun
bahan organik yang diamati semakin meningkat, namun parameter kunci
keberhasilan budidaya yaitu oksigen masih di atas 3 ppm. Oksigen yang tinggi akan
merombak bahan organik “N” melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi menjadi
amoniak, nitrit dan nitrat. Hasil perombakan nyata yang terlihat akibat kandungan
oksigen yang tinggi adalah semakin meningkatnya nitrat yang merupakan nutrient
bagi phytoplankton.
Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air selama kegiatan produksi gelondongan
bandeng
Umur Temperatur pH Salinitas Oksigen Bahan Organik
(hari) (oC) (ppt) (ppm) (ppm)
1 27.2 7.6 16 3.4 12.75
15 27.4 7.6 16 3.4
30 27.6 7.6 16 3.3 12.95
45 28,2 7.7 18 3.3
60 28,2 7.7 18 3.3 13.15

94
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Produksi
Salah satu penyebab rerata ADG glondongan bandeng yang dihasilkan < 0.3
g/hari adalah padat tebar yang tinggi yaitu di atas > 100 ekor/m2 atau 130-135
ekor/m2. Meskipun demikian, dengan keberhasilan menjaga kualitas air dan pakan
alami (klekap) tingkat kelangsungan hidup (SR, %) yang dihasilkan 80%, berat 10 –
12,5 gr, panjang 3 – 9 cm.

KESIMPULAN

Keberhasilan budidaya gelondongan bandeng sangat ditentukan dengan


keberhasilan menumbuhkan klekap dan menjaga kualitas air.
Tingkat kelangsungan hidup (SR) gelondongan bandeng yang dihasilkan dengan
menggunakan fermentasi pupuk organik adalah > 80%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.


selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Ir.Kade
Ariawan. selaku Penanggung Jawab Kegiatan ikan bandeng dan teman teman yang
terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., E. Ratnawati dan M.J.R. Yakob, 1998. Budidaya Bandeng Secara
Intensif. Penebar Swadaya.
Anggoro, S., 1984. Pengaruh Salinitas Terhadap Kuantitas dan Kualitas Makanan
Alami Serta Produksi Biomassa Nener Bandeng. Fakultas Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim, 2010. Budidaya Bandeng. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta.
Effendi, I., 1978. Biologi Perikanan (Bag. I Study Natural History). Fakultas
Perikanan IPB. Bogor.
Hariyanti dan Djayadireja, R., 1983. Pemeliharaan Nener Bandeng (Chanos chanos,
Forskal) dalam Bak dalam Sistem Resirkulasi Air. Buletin Penelitian
Perikanan Darat Bogor.
Nontji, A, 1988. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta
Tristian, 2011. Budidaya Ikan Bandeng. Pusat Penyuluhan. Kementerian Kelautan
Perikanan. Jakarta.

95
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA RAJUNGAN


(Portunus pelagicus) DI BALAI BESAR PERIKANAN
BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA

Oleh : Jasmo dan Subiyarto

ABSTRAK
Produksi rajungan masih mengandalkan tangkapan alam, maka perlu adanya proses
pembenihan rajungan untuk kegiatan budidaya. Salah satu kegiatan pada pembenihan
rajungan adalah pemeliharaan larva rajungan. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui proses/tahapan pengelolaan larva rajungan di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara. Pelaksanaan teknik pemeliharaan larva rajungan di
hatchery pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi/habitat aslinya. Pemeliharaan
larva dilakukan dari stadia zoea sampai dengan stadia megalopa dengan
menggunakan kriteria kualitas air dan penggunaan pakan yang relevan. Tahapan
dalam teknik pemeliharaan larva rajungan meliputi persiapan, pemeliharaan larva
stadia zoea, pemeliharaan larva stadia megalopa, pengelolaan pakan larva,
pengelolaan kualitas air.

Kata kunci : larva rajungan, kualitas air, pengelolaan pakan

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk dalam klas Crustacea, family
Portunidae, penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik. Rajungan banyak
ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama seperti Rajungan Bakau
(Scylla serrata). Rajungan dikenal dengan nama blue swimming crab atau Rajungan
Pasir dan merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang surut di Asia
(Cowan, 1992 dalam Susanto dkk., 2003).
Rajungan merupakan komoditas perikanan yang banyak diminati, memiliki
nilai ekonomis tinggi dan mulai dikembangkan pembudidayanya. Rajungan telah
banyak diekspor diberbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan,
dimana rajungan segar banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku
ke negara Jepang dan Amerika. Komoditas rajungan merupakan komoditas ekspor
urutan ketiga dalam arti jumlah, setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh
kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan hasil tangkapan dari laut, sehingga
akan mempengaruhi populasi di alam.
Selain rajungan ukuran konsumsi sebagai komoditas ekspor unggulan.
Dewasa ini rajungan ukuran kecil (berat ± 1,8 gram/ekor) telah menjadi jenis
makanan baru yang banyak diminati oleh orang Jepang sebagai camilan ketika

96
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

minum sake. Hal ini menjadi peluang baru dalam usaha budidaya rajungan. Namun
peluang ini, belum missal. Salah satu kendala dalam pengembangan teknologi untuk
memproduksi baby crab rajungan tersebut dalam skala massal. Salah satu kendala
dalam pengembangan teknologi pemeliharaan baby crab rajungan adalah rendahnya
tingkat kelangsungan hidup.
Sampai saat ini rajungan (Portunus pelagicus) masih merupakan komoditas
laut yang mempunyai nilai ekonomis yang penting. Penangkapan rajungan yang
semakin intensif dapat mengakibatkan populasi alami rajungan
mengalami penurunan. Akibat penangkapan di alam yang kurang terkendali, maka
terjadi kelangkaan populasi rajungan di perairan Indonesia (Juwana, 1997). Oleh
karena perlu adanya sistem pembenihan rajungan yang salah satunya adalah kegiatan
pemeliharaan larva

Tujuan
Adapun tujuannya adalah mengetahui proses pemeliharaan larva rajungan di
BBPBAP Jepara

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Rajungan
Menurut Moosa (1980) dan Juwana (1996) dalam Susanto dkk., (2005),
sistematika rajungan adalah sebagai berikut
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustaceae
Klas : Malacostraca
Subklas : Eumalacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Reptantia
Family : Portunidae
Subfamily : Portuninae
Genus : Portunus
Spesies : Pelagicus

Teknik Pemeliharaan Larva Rajungan


Pemeliharaan Larva
Teknik Pemeliharaan
Setelah telur rajungan menetas menjadi larva, semua larva dipindahkan ke bak-
bak pemeliharaan larva pada kepadatan 100 ekor/liter. Larva rajungan berkembang
melalui empat fase dan satu fase megalopa. Zoea 1 akan berkembang ke zoea 2
dalam waktu 2 – 3 hari. Sedangkan zoea 2, zoea 3, dan zoea 4 berturut-turut
berkembang dalam selang waktu 2 hari. Pada saat semua zoea telah mencapai

97
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

megalopa, maka dalam bak-bak pemeliharaan digantungkan untaian serabut


plastik yang berfungsi untuk memperluas tempat permukaan tempat berlindung
megalopa yang bersifat kanibal. Larva yang menetas diseleksi dimana larva yang
kurang baik dengan tanda-tanda antara lain gerakannya lemah dan berenang di dasar
bak, kurang tertarik pada cahaya, serta ukuran panjang karapas larva kecil (< 0,50
mm), dalam keadaan seperti ini sebaiknya dibuang. Induk rajungan setelah
menetaskan telurnya dapat digunakan lagi untuk penetasan berikutnya, dengan
pemberian pakan yang berkualitas dan pemeliharaan yang optimal. Induk masih
dapat menghasilkan telur sampai 2-3 kali, tetapi telur yang dihasilkan pada
pemijahan kedua dan seterusnya umumnya memiliki jumlah larva yang lebih rendah
(Susanto dkk., 2005).
Langkah awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu
menyiapkan bak dengan melengkapi system aerasi, dan mengisi air laut sebanyak
tiga perempat dari volume bak.

Pengelolaan pakan
Benih rajungan selama masa pemeliharaan diberikan pakan alami
berupa phytoplankton dan zooplankton, pakan tambahan dan udang halus. Pemberian
pakan tambahan dan udang halus untuk memenuhi nutrisi yang tidak terdapat pada
pakan alami. makanan yang komposisinya dilengkapi dengan makanan tambahan
dapat lebih sempurna dalam penyediaan vitamin dan mineral, selain efisiensi dalam
penggunaan makanan. Makanan alami yang digunakan adalah Rotifer,
Chlorella dan Artemia, sedangkan pakan buatan yang diberikan adalah pakan buatan
merek Frippak dan udang yang dihaluskan dengan waktu pemberian dan jenis
pakan.. Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan pula
pakan buatan. Pemberian pakan buatan dimaksudkan untuk melengkapi nutrisi yang
tidak terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu
pakan buatan mudah diperoleh.
Pakan alami merupakan jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua
kegiatan pembenihan. Pakan alami termasuk fitoplankton, zooplankton ukuran kecil
dan larva hewan invertebrata yang telah diketahui sebagai makanan dalam
pemeliharaan larva. Jenis pakan yang diberikan bervariasi sesuai bukaan mulut larva.
Frekuensi pemberian pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan
sore hari. Penyiponan dan pergantian air media pemeliharaan larva dilakukan
sebanyak 30-50% setiap hari pada waktu pagi sebelum pemberian pakan, untuk
menghindari penumpukan sisa pakan dan kotoran larva rajungan di dasar wadah
pemeliharaan. Selama pemeliharaan berlangsung.

98
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

METODE

Waktu dan Tempat


Lokasi pemeliharaan larva rajungan dilakukan pada bulan Februari s/d
Maret 2017 di BBPBAP Jepara

Metode pengumpulan data


Pengumpulan data diperoleh langsung dari pengamatan yang dilakukan
di lapangan dengan cara mengikuti dan mencatat seluruh rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan di lokasi, meliputi persiapan pemeliharaan induk, pengamatan
kematangn telur, penetasan telur, pemanenan larva, pemeliharaan larva, pengelolaan
pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian hama dan penyakit, hingga pemanenan
krablet.
Selain pengamatan langsung dilapangan, data juga diperoleh dari dokumen
terkait dengan kegiatan pembenihan rajungan di hatchery, serta studi
pustaka/literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Produksi
Persiapan Media Pemeliharaan
Penyediaan Air laut
Persiapan media pembenihan merupakan faktor yang sangat penting sebagai
tempat hidup bagi rajungan selama pemeliharaan dan merupakan indikasi
menentukan kesehatan rajungan. Oleh karena itu, air yang digunakan harus
berkualitas dan bebas pathogen. Berdasarkan pengamatan asil praktek air laut yang
digunakan untuk pemeliharaan induk diambil dari laut di belakang lokasi
pembenihan rajungan. Jarak antara air laut yang dipompa dengan lokasi pembenihan
yaitu 10 m. Air laut dipompa dengan menggunakan pompa air laut dialirkan dengan
menggunakan pipa PVC.
Air yang tersaring kemudian ditampung dalam tandon air laut. Air laut yang
telah tersaring dalam kondisi jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak
membawa endapan. Air laut ini diendapkan di tandon kemudian dialirkan ke tower
air laut. Tower ini didirikan lebih tinggi dari bak penyaringan dan tandon dengan
tujuan untuk mempermudah pendistribusian air laut dengan sistem gravitasi.
Air laut dari tower air laut dialirkan ke bak – bak pemeliharaan
secara gravitasi melalui pipa hisap dengan menggunakan filter bag sebelum dialiri ke
bak pembenihan.

Pelaksanaan Pemeliharaan Larva


Pelaksanaan teknik pemeliharaan larva rajungan di hatchery pada dasarnya
disesuaikan dengan kondisi/habitat aslinya. Pemeliharaan larva dilakukan dari stadia

99
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

zoea sampai dengan stadia megalopa dengan menggunakan kriteria kualitas air dan
penggunaan pakan yang relevan. Proses kegiatan tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut :

Pengelolaan Larva Rajungan


Persiapan wadah
Bak yang digunakan dalam pemeliharaan benih rajungan adalah bak fiber.
Bak fiber berbentuk bulat dengan volume 500 liter dan kedalaman 1 m, bak fiber
dipilih untuk pemeliharaan larva karena memiliki keuntungan terutama untuk
memudahkan pengamatan secara visual. Bak ditempatkan diruangan hatchery dengan
atap transparan agar mendapatkan cahaya yang cukup. Bak pemeliharaan benih
dilengkapi dengan sistem aerasi.
Bak yang digunakan harus melalui proses sterilisasi dalam waktu 2 hari
sebelum digunakan, dengan menyiramkan air pada dinding bak kemudian dicuci
dengan menggunakan sikat/spon dengan tujuan agar bak bersih dan bebas dari bibit
penyakit. Bak kemudian dibilas kembali dengan air tawar. Bak pemeliharaan
dikeringkan selama 1 hari dan siap untuk digunakan.
Instalasi aerasi seperti selang, serta batu aerasi dan pemberat direndam
dengan larutan chlorin dan dicuci lalu dikeringkan. Selang aerasi dipasang dengan
cara digantung.

Persiapan Air Media


Air yang digunakan dalam pemeliharaan larva yaitu air laut dengan
menggunakan filter bag. Satu hari sebelum penebaran zoea bak diisi dengan air laut.
Air yang digunakan pada bak pemeliharaan larva adalah air laut yang telah melalui
proses filtrasi.

Penebaran zoea
Benih baru yang telah menetas (zoea 1), dipindahkan ke dalam bak
pemeliharaan benih yang telah disiapkan dengan hati-hati agar tidak mudah stres.
Pengambilan benih rajungan dari bak penetasan dilakukan dengan cara
memanfaatkan sifat benih yang tertarik pada sinar. Benih akan berkumpul ditempat
yang terkena sinar, kemudian diambil dengan saringan selanjutnya dilakukan
penghitungan larva secara manual. Larva yang telah dihitung kemudian langsung
dimasukan ke dalam bak pemeliharaan larva secara perlahan agar larva tidak stres.

Pengamatan perkembangan larva


Benih rajungan hidup dengan menempel dan tidak melayang-layang di dalam air
bak fiber pada saat stadia megalopa dipindahkan ke dalam bak beton yang
sebelumnya diberi shelter. Pemasangan shelter berupa waring hitam dan biru ini
berfungsi untuk memperluas permukaan sehingga dapat mengurangi kanibalisme.
Pemasangan shelter ini di urai pada dasar bak.

100
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan perkembangan larva dilakuan secara visual dan mikroskopis, yaitu


dengan cara mengambil sampel dengan menggunakan beaker glass, kemudian
diambil dengan menggunakan pipet tetes, selanjutnya diletakkan di objek glass untuk
diamati dengan menggunakan mikroskop.
a. Zoea
Secara visual stadia zoea terlihat transparan dengan gerakan renang yang
tersendat-sendat. Zoea bergerak naik dan turun pada badan air, bila berenang sudah
sampai pada permukaan, zoea akan turun perlahan-lahan dan sebelum mencapai
dasar berenang kembali seperti semula. Zoea terdiri atas 4 substadia yang dalam
perkembangannya membutuhkan waktu selama 12 hari, sedangkan dari stadia zoea-1
ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu sekitar 2-3 hari.
b. Megalopa
Secara visual stadia megalopa sudah aktif berenang dan mulai menempel pada
substrat. Hal ini ditunjang dengan pleopod yang sudah cukup panjang, dan pleopod
mulai ada. Megalopa telah mampu memangsa pakan dan mampu memangsa pakan.
Bentuk megalopa sudah mirip rajungan dewasa kecuali abdomennya yang masih
berbentuk seperti ekor yang relatif panjang.

Pongelolaan Pakan Larva


1. Pakan Alami
a. Rotifer
Pakan alami yang diberikan berupa rotifer dan artemia. Pada awal menetas
sampai dengan larva masuk pada stadia megalopa, larva diberi pakan alami berupa
rotifer. Rotifera dipilih pada tahap awal karena ukurannya relatif kecil dan sangat
cocok dengan bukaan mulut larva, serta kandungan nutrisinya sangat dibutuhkan
oleh larva. Hal ini sependapat dengan Susanto (2003), bahwa rotifer dipilih menjadi
pakan benih rajungan karena organisme ini memliki beberapa sifat yang mendukung
diantaranya, (1) ukuran relatif kecil, (2) gerakan tidak terlalu cepat, sehingga mudah
ditangkap oleh benih rajungan

b. Artemia
Artemia mulai diberikan pada stadia megalopa sampai dengan panen. Wadah
penetasan kista artemia adalah corong artemia. Air yang sudah steril dari tandon
dimasukkan ke dalam corong artemia kemudian memasukkan kista artemia yang
sudah di timbang dan diberi aerasi. Penetasan kista dilakukan selama 18 jam
kemudian dipanen dan diberikan pada larva rajungan.
Pemanenan naupli artemia dilakukan dengan cara mengangkat selang aerasi dan
didiamkan selama 5 menit agar kista yang tidak menetas naik ke permukaan.
Selanjutnya naupli artemia disipon menggunakan selang plastik dan ditampung
dalam ember berlubang pinggirnya. Ember dilapisi dengan saringan 100 mikron.
Naupli artemia yang sudah disaring kemudian dicuci menggunakan air laut, lalu

101
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

kemudian ditempatkan di dalam ember baru yang berisi air laut dan diaerasi hingga
siap intuk diberikan pada larva rajungan

2. Pakan buatan
Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan pula pakan
buatan. Pemberian pakan buatan dimasukkan untuk melengkapi nutrisi yang tidak
terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu pakan
buatan mudah diperoleh. Juwana (1997) menyatakan bahwa makanan buatan sangat
penting untuk disediakan agar dapat tersedia dalam jumlah yang cukup, tepat waktu,
berkesinambungan, memenuhi syarat gizi.
Pakan buatan yang diberikan pada larva stadia zoea berupa fripak. Pakan buatan
berupa flake sebaiknya diberikan ketika larva memasuki stadia megalopa hingga
crablet. Meskipun ada beberapa hasil penelitian yang merekomendasikan bahwa
pemberian pakan buatan dapat dilakukan mulai stadia zoea-1.

Pengelolaan Kualitas Air Pada Larva


Pengamatan kualitas air harian dan berkala meliputi pengukuran suhu,
salinitas dan pH (derajat keasaman).

a. Temperatur
Pengamatan temperetur dilakukan setiap hari secara rutin dengan
menggunakan termometer yang sudah tergantung pada bak pemeliharaan larva. Suhu
sangat berperan dalam mempercepat metabolisme dan aktifitas organisme. Suhu
tinggi akan menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut karena terjadi
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akibat meningkatnya metabolisme.
Pada pemeliharaan stadia megalopa digunakan terpal agar suhu dalam bak
pemeliharaan larva tetap terjaga.

b. Salinitas
Pengukuran salinitas ini dilakukan pada pagi hari saat pergantian air dengan
menggunakan refraktometer. Hal ini bertujuan agar salinitas air yang baru tidak
terlalu jauh dengan salinitas air yang lama. Salinitas yang terdapat pada bak larva
cenderung stabil pada 30 ppt, kecuali pada akhir pemeliharaan salinitas diturunkan
sesuai dengan permintaan konsumen.

KESIMPULAN
Teknik pemeliharaan larva rajungan di BBPBAP Jepara meliputi tahapan
persiapan, pemeliharaan larva stadia zoea, pemeliharaan larva stadia megalopa,
pengelolaan pakan larva, pengelolaan kualitas air larva.

102
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul " Teknik Pemeliharaan Larva Rajungan (portunus
pelagicus) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara ". Atas dukungan
moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi, selaku kepala Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara, yang memberikan arahan dan kesempatan
untuk menggunakan fasilitas di Unit Pembenihan Kepiting dan
Rajungan.
2. Bapak Eddy Nurcahyono, S.Pi, selaku Koordinator Pembenihan
Kepiting dan Rajungan, yang memberikan bimbingan kepada penulis.
3. Seluruh rekan kerja, yang banyak memberikan materi pendukung,
masukan, kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan


(Portunus pelagicus). Jurnal Oseanografi LIPI
Kanna, I. 2002. Pembenihan dan Pembesaran Rajungan. Kanisius. Yogyakarta
Liviawaty, E. dan Afrianto. 1992. Pemeliharaan Rajungan. Kanisius. Yogyakarta.
Soim, A. 1994. Pembenihan Rajungan di Hatchery. Penebar Swadaya. Jakarta.
Susanto, B., dkk. 2005. Pedoman Teknis Teknologi Perbenihan Rajungan (Portunus
pelagicus).Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta.
Susanto, I. Syahidah, D Setiadi., 2003. Percobaan Pemeliharaan Megalopa
Rajungan, Portunus pelagicus Sampai Menjadi Rajungan Muda (Crablet 1)
Dengan Kisaran Salinitas Berbeda. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
Gondol

103
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI BANDENG DENGAN SISTEM POLIKULTUR

Oleh : Martijo dan Puspito Dwi cipto.L

ABSTRAK
Polikultur adalah salah satu sistem budidaya yang menghasilkan lebih dari satu
Polikultur adalah salah satu sistem budidaya yang menghasilkan lebih dari satu
produk dalam satu lahan. Kegiatan polikultur udang windu (Penaeus monodon,
Fabricius) dan ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) secara terpadu dapat
diintegrasikan dengan rumput laut (Gracilaria sp.). Udang windu, ikan bandeng dan
rumput laut secara biologis memiliki sifat-sifat yang dapat bersinergi, sehingga
budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena merupakan salah satu
bentuk budidaya polikultur yang ramah terhadap lingkungannya. Tujuan dari
kegiatan ini adalah meningkatkan produksi bandeng dengan teknologi polikultur
dengan ukuran150-200 g dan udang windu 15-20 g. Hasil kegiatan diperoleh sintasan
bandeng sebesar 65% dengan berat rerata 150 g. Sintasan udang windu yang
dihasilkan adalah 23 % dengan berat rerata 15 g.

Kata kunci : polikultur, udang windu, gelondongan bandeng, rumput laut,


pengendali kualitas lingkungan

PENDAHULUAN

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal


Perikanan Budidaya (DJPB) menetapkan beberapa komoditas utama untuk
mendukung kebijakan industrialisasi perikanan, diantaranya adalah udang, rumput
laut dan bandeng. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan produktivitas perikanan
budidaya meningkat, nilai tambah dan daya saing juga meningkat, sekaligus
membangun sistem produksi yang modern dan terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.
Polikultur adalah cara budidaya dengan menebar lebih dari satu komoditas dalam
satu media pemeliharaan. Sistem polikultur saat ini banyak diterapkan untuk
peningkatan produktifitas lahan. Umumnya budidaya ini dilakukan secara tradisional
dengan mengandalkan pasang surut dan pakan alami (tanpa pemberian pakan
tambahan). Kegiatan polikultur menggunakan tiga jenis komoditas yaitu udang
windu (Penaeus monodon, Fabricius), ikan bandeng (Chanos-chanos, Forskal) dan
rumput laut (Gracilaria Sp.) Ketiga komoditas tersebut memiliki sifat-sifat yang
dapat bersinergi, sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan
karena merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang ramah lingkungan.
Rumput laut dapat mensuplai oksigen melalui proses fotosintesis di siang hari dan
memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi dan cemaran yang bersifat
toksik di dalam perairan. Ikan bandeng sebagai herbivor pemakan plankton
merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton dalam perairan. Feses udang dan

104
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

bandeng serta bahan organik lainnya merupakan sumber hara yang dapat
dimanfaatkan oleh rumput laut dan fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hubungan
yang seperti ini dapat menyeimbangkan ekosistem perairan. Sehingga merupakan
model pengelolaan budidaya system polikultur udang windu, ikan bandeng dan
rumput laut. Ketiga komoditas tersebut memiliki sifat eurythermal yaitu tahan
terhadap suhu yang tinggi, rentan terhadap pH dan salinitas. Hubungan antara udang
windu, bandeng dan rumput laut adalah simbiosis mutualisme (hubungan yang saling
menguntungkan satu sama lainnya). Bagian thalus atau batang semua rumput laut
yang mati dan mengakibatkan timbulnya klekap. Pemanfaatan material klekap oleh
ikan bandeng dan udang menjadikan pakan alami yang sangat baik. Begitu besarnya
manfaat rumput laut sebagai pengendali lingkungan budidaya polykultur, maka Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara pada Tahun Anggaran 2016
mengupayakan dan memaksimalkan manfaat rumput laut tersebut sebagai pengendali
lingkungan dalam produksi bandeng sistim polikultur. Tujuan kegiatan ini adalah
untuk meningkatkan produksi bandeng dengan teknologi polikultur.

BAHAN DAN TATA KERJA

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi bandeng sistim
polikultur di tambak antara lain adalah gelondongan bandeng (3-5 cm), pakan, benih
udang, bibit rumput laut Gracillaria, kascing, saponin, desinfektan, bambu, pompa
air, pipa PVC 8”, elbow PVC 8”, tali tambang, benang nylon, gayung, ember, tali
ijuk.

Tata Kerja
Persiapan Tambak
Tahap awal dalam persiapan tambak adalah perbaikan konstruksi seperti
penataan caren tengah, kemiringan tambak serta pemadatan pematang. Tujuan dari
perbaikan konstruksi adalah supaya tambak memenuhi kriteria untuk budidaya
diantaranya dapat mempertahankan ketinggian air, kemudahan penumbuhan pakan
alami dan kemudahan dalam melakukan pemanenan.

Pemberantasan Hama
Untuk menjamin tambak terbebas dari hama diaplikasikan saponin. Dosis
saponin dengan target ikan-ikan liar adalah 10 ppm.
.Persiapan Air Media
 Pengisian air petak tandon dilakukan melalui saluran utama menggunakan
pompa submersible 6” sampai ketinggian air maksimal. Selanjutnya
dilakukan pemupukan yang digantung di sepanjang pematang sampai tumbuh
plankton.

105
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

 Pengisian air tahap pertama sampai ketinggian 5-10 cm dengan tujuan untuk
menumbuhkan pakan alami (klekap). Pengisian air selanjutnya sampai
kedalamam 50-60 cm dilakukan secara bertahap. Ketinggian air media
pemeliharaan dipertahankan sekitar 70-80 cm.
 Pemupukan bertujuan untuk membantu menjaga kestabilan keberadaan
plankton agar seimbang sesuai persyaratan kebutuhan kehidupan udang
windu dan ikan bandeng. Pupuk yang diaplikasi dalam pemupukan adalah
kascing. Kascing diaplikasikan sesaat sebelum pengisian air tahap pertama
(ketinggian air 5-10 cm) dengan dosis 200 kg/Ha.
Penebaran
Penebaran dilakukan apabila air media sudah siap dan layak tebar. Untuk
mengurangi gejala stress, penebaran dilakukan pada kondisi suhu rendah, yaitu pada
pagi hari dan dilakukan secara perlahan-lahan dengan cara aklimatisasi terhadap
suhu dan salinitas. Penebaran untuk masing komoditas (polikultur) dilakukan secara
bertahap, yaitu :
 Penebaran gelondongan bandeng dilakukan 14 hari setelah pemupukan awal
atau pakan alami (klekap) tumbuh. Padat tebar 10.000 ekor/ha (ukuran 3-5
cm)
 Penebaran rumput laut sebagai pengendali lingkungan dilakukan 70 hari
setelah penebaran gelondongan bandeng (ketinggian air 40 cm). Selanjutnya
air dinaikkan sampai ketinggian 60 cm. Padat tebar rumput laut Gracillaria
sp.1.000 kg/ha.
 Penebaran tokolan udang windu dilakukan setelah panen rumput laut pertama
(40 hari) atau 110 hari sejak penebaran gelondongan bandeng. Padat tebar
tokolan udang windu adalah 1 ekor/m2 (ukuran ± 1,5 cm).
Pemeliharan rutin setelah penebaran gelondongan bandeng selain pemberian pakan
(Tabel 1) juga pemupukan susulan untuk mempertahankan kualitas air sehingga
tersedianya organisme pakan yang cukup di dalam tambak. Selama pemeliharaan,
ketinggian air media dipertahankan 70-80 cm.
Tabel 1. Program pakan produksi bandeng sistim polikultur
Umur (hari) Berat (gr) SR (%) Dosis pakan (%)
1-10 2-5 100 3.0
11-20 10-20 98 3.0
21-30 20-30 97 2.5
31-40 30-40 96 2.5
41-50 40-50 95 2.0
51-60 50-60 94 2.0
61-70 60-80 93 1.5
71-80 80-100 92 1.5
81-90 100-120 91 1.5
91-100 120-140 90 1.0
101-110 140-180 90 1.0
111-120 180-220 90 1.0

106
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan
Data utama yang diamati adalah pertumbuhan (panjang, berat) bandeng dan
udang windu yang diamati setiap 10 hari sekali. Data pendukungnya adalah kualitas
air (suhu, salinitas, pH, oksigen, bahan organik, fitoplankton) yang diamati setiap 10
hari sekali.

HASIL DAN BAHASAN

Pengamatan Kualitas Air


Kualitas air yang optimum bagi budidaya ikan bandeng antara lain salinitas 15
– 30 ppt, suhu 27oC – 31oC, pH 7 – 8,5 (Ismail 1992), oksigen terlarut 3 – 7 ppm,
alkalinitas 150 ppm, kecerahan 20 - 40 cm. Sedangkan kegiatan produksi bandeng
polikultur di tambak berlangsung pada masa pemeliharaan ikan bandeng bulan ke III
dan bulan ke IV terjadi peningkatan kadar garam/salinitas yaitu mencapai 50 – 53
ppt, sehingga berdampak pada kondisi ikan bandeng mengalami penurunan nafsu
makan dan pertumbuhan ikan bandeng tidak merata atau terjadi variasi ukuran.
Hasil pengamatan kualitas air didapatkan suhu dan oksigen terlarut selama
pemeliharaan berlangsung masih dalam kondisi normal. Suhu berkisar antara 28 oC -
32 oC. Menurut Zakaria (2010) suhu yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan
ikan bandeng berkiasar antara 24-31 oC. Kordi dan Tancung (2005) juga menyatakan
bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar antara 23-32°C.
Sedangkan untuk kelarutan oksigen (DO) nilai kisaran mencapai 3,5 ppm – 4,9 ppm.
Menurut Zakaria (2010), kandungan oksigen yang sesuai untuk pemeliharaan ikan
bandeng tidak kurang dari 3 ppm

Pengamatan Pertumbuhan Ikan


Pertumbuhan untuk pembesaran bandeng Polikultur menunjukan rerata berat
150 gr/ekor. Untuk pertumbuhan berat bandeng pada hari ke 30, 40, hingga hari ke
90, kondisi salinitas terlalu tinggi hingga mencapai 52 – 53 ppt. Untuk pertumbuhan
panjang bandeng pada pembesaran menunjukan bahwa, pertumbuhan panjang
bandeng pada hari ke 40 mencapai 14,30 cm. Hal ini menunjukan bahwa bandeng
pada umur 40 hari relatif tidak telalu tampak.

Panen
Hasil dari kegiatan ini diperoleh ikan bandeng sebanyak 750 kg, udang windu
325 kg dan rumput laut 100 kg.

KESIMPULAN
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa ikan bandeng dapat
dibudidayakan secara campuran atau sistem polikultur dengan pencapaian berat 150
gr/ekor dan angka kelulusan hidup 65 %.

107
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.
selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Ir.Kade
Ariawan. selaku Penanggung Jawab Kegiatan ikan bandeng dan teman teman yang
terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. T, Ratnawati. E dan Yakob M.J.R, 1998. Budidaya Bandeng Secara


Intensif. Penebar Swadaya.Anonimous, 1985. Pedoman Budidaya Tambak.
Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.
Bagarinao T.U, 1991. Biology of Milkfish (Chanos chanos. Forsskall). SEAFDEC
Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines.
Ismail, A., A.Poernomo, P.Sunyoto Wedjatmiko, Dharmadi dan R.A.I. Budiman.
1994. Pedoman Teknis Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Seri
Pengembangan Hasil Perikanan No. PHP/KAN/26/1994. Departemen
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan. 73 hal.
Supito, Kokarkin, C., Haryanto, T,. (2001). Pemanfaatan Air Buangan Tambak
Udang Untuk Pembesaran Bandeng (Chanos chanos Forsk.) Intensif.
Departemen Kelautan dan Prikanan, Dirtjend. Perikanan Budidaya, Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara
Supito dan Daryono. (2001). Pembesaran Bandeng Komsumsi dengan Pakan Buatan,
Laporan Tahunan, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara.
Ismail A dan A. Sudrajat, 1992. Budidaya Ikan Bandeng (Chanos-chanos P) Sistem
Penggelondongan dan Pembesaran di Tambak.

108
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU TELUR


IKAN BANDENG

Oleh: Agus Haryono dan Poniran

ABSTRAK

Hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi ikan bandeng


diantaranya adalah penyediaan benih berkualitas. Induk dengan berat antara 3,5-5 kg/
ekor dipelihara dengan kepadatan satu ekor per 4m3 pada bak berbentuk silinder
dengan kedalaman air 2,5 m dengan sistem sentral drain. Pergantian air dilakukan >
200% per hari sistem air mengalir. Pakan induk yang diberikan perkaya dengan
silase cumi-cumi sebanyak 5% dari tiap kg pakan, multivitamin, vitamin C , vitamin
E dan telur bebek sebagai perekat. Perbaikan kualitas air dilakukan dengan cara
penyaringan air dengan menggunakan filter pasir bertekanan. Pakan diberikan
sebanyak 3% dari total berat induk dengan frekuensi 2 kali sehari. Hasil dari
kegiatan peningkatan nutrisi pakan induk diperoleh produksi telur dan frekuensi
pemijahan induk meningkat, induk rata-rata memijah 6-9 kali dalam satu bulan, dan
derajat pembuahan telur meningkat berkisar 60,0%-98,5%, diameter telur dari 1,100
mm menjadi 1,250mm, dan daya tetas telur dari 60,0% menjadi 98,5%.

Kata Kunci : Nutrisi, Mutu benih, Ikan bandeng

PENDAHULUAN

Pembenihan menjadi salah satu faktor yang penting di dalam budidaya ikan.
Agar produksi benih yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik maka perlu
perbaikan kualitas pakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi induk. Dengan
memperbaiki nutrisi pakan diharapkan akan dihasilkan telur yang berkualitas baik.
Pengujian dilakukan dengan pemberian protein dan asam lemak tak jenuh.
Penambahan vitamin E dan silase cumi-cumi misalnya, diduga berpengaruh positif
terhadap percepatan pematangan gonad dan peningkatan kualitas telur yang
dihasilkan.
Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan nutrisi (protein dan asam lemak)
pakan induk ikan bandeng sehingga menghasilkan telur bandeng yang berkulitas.
Sasaran meningkatkan produksi dan kualitas telur induk bandeng ,dan benih
bandeng yang berkualitas.

109
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

BAHAN DAN TATA CARA

Bahan dan Alat.


Bahan yang diperlukan : Induk bandeng, telur ikan bandeng , pelet induk ikan
bandeng, minyak cumi-cumi, silase cumi-cumi, harmon pemtangan gonad, iodin,
pakan larva, vitamin E, multivitamin, bahan pengkaya Rotifera
Peralatan yang digunakan : Bak pemeliharaan induk kapasitas 200m3 , hapa
penampung telur dengan mes size 500µm, aquarium volume 60 liter, ember, gayung
bak pemeliharaan larva, bak kultur masal Rotifera, blender, hapa panen , seser halus,
baskom, mangkok putih, dan bak kultur masal Chlorella dan peralatan aerasi.

Tata Kerja
Peningkatan Nutrisi Pakan Induk Bandeng
Induk dengan berat antara 3,5-5 kg/ ekor dipelihara dengan kepadatan satu
ekor per 4m3 pada bak berbentuk silinder dengan kedalaman air 2,5 dengan sistem
sentral drain. Pergantian air > 200% per hari dengan sisitem air mengalir . Sisa
kotoran dan pakan yang tersedimentasi didasar bak dibersihkan setiap bulan dengan
cara di dorong ke arah saluran buang. Rangsangan pemijahan dilakukan dengan
teknik pengaturan ketinggian air, dimana pada pagi hari dilakukan pembuangan air ,
dan kedalaman air di dalam bak pemeliharaan induk di pertahankan 30-50 cm
sampai siang hari samapi jam 14.00.dengan tujuan agar terjadi peningkatan suhu
air. Ketinggian air dinaikan kembali setelah jam 14.00 hingga mencapai ketinggian
air semula dengan teknik ini akan terjadi peningkatan suhu dan tekanan air pada
media pemeliharaan induk.
Pemberian pakan diberikan 3 % dari berat biomas perhari diberikan 2 kali per
hari yaitu pagi dan sore. Pakan induk di perkaya dengan mengunakan silase cumi-
cumi sebanyak 5% tiap kilogram pakan , multivitamin, vitamin C , vitamin E dan
telur bebek sebagai binder. Semua bahan pengkaya tersebut di blender sampai
homogen. Pengkayaan pelet dengan campuran bahan pengkaya dilakukan dengan
menggunakan mesin sangrai pelet sehingga dapat tercampur secara merata.

Perawatan Induk Bandeng.


Faktor penurunan kualitas benih dapat terjadi karena kualitas induk yang
digunakan kurang baik, terjadinya proses inbreeding .Penyediaan induk dengan
sifat-sifat genetik yang baik dan unggul menjadi kebutuhan yang mendesak untuk
menjamin ketersediaan benih yang berkualitas. Pematangan gonad Induk asal Aceh
dilakukan dengan meningkatkan kandungan nutrisi terutama protein dan asam lemak
tak jenuh pakan induk .
Penambahan vitamin E dan minyak cumi-cumi (Silase cumi-cumi) misalnya,
diduga berpengaruh positip terhadap percepatan pematangan gonad dan peningkatan
kualitas telur yang dihasilkan. Pematangan gonad Induk bandeng dilakukan pada bak
berbentuk bulat dengan kedalaman air 2,5 meter dan diameter bak 8 meter (volume

110
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

200 m3). Selama pemeliharaan dilakukan pergantian air > 300 % dengan cara
pergantian air mengalir selama 24 jam. Perbaikan kualitas air dilakukan dengan cara
penyaringan air dengan menggunakan send presur filter. Pakan diberikan sebanyak 3
% dari total berat induk dengan frekuensi 2 kali sehari. Pada pakan yang akan
digunakan sebelumnya di tambahkan minyak cumi-cumi/ (silase cumi-cumi) 10
ml/kg pakan dan Penambahan vitamin E dan Vitamin C. Untuk memacu pematangan
gonad dilakukan dengan rangsangan hormonal dengan menggunakan hormon
LHRH-a dengan frekuensi 2 kali setahun.
Rangsangan pemijahan dilakukan dengan teknik pengaturan ketinggian air,
dimana pada pagi hari dilakukan pembuangan air , dan kedalaman air di dalam bak
pemeliharaan induk di pertahankan 30-50 cm sampai siang hari samapi jam
14.00.dengan tujuan agar terjadi peningkatan suhu air. Ketinggian air dinaikan
kembali setelah jam 14.00 hingga mencapai ketinggian air semula dengan teknik ini
akan terjadi peningkatan suhu dan tekanan air pada media pemeliharaan induk.

HASIL DAN BAHASAN

Perawatan Induk Bandeng


Penimbangan berat induk dilakukan dua kali dengan tujuan untuk
mengurangi setres pada induk. Penimbangan berat dilakukan pada bulan Januari
2016 dan Juni 2015 (Tabel 1).
Tabel 1. Berat rata-rata dan biomas induk bandeng
Bulan Jumlah ekor Rerata Biomas (kg) Kisaran berat
berat(kg) (kg)
Januari 2016 60 3,5-5 275 4-5
Juli 2016 60 4,5-6,0 325 5-6
Dari hasil sampling terjadi penambahan biomas induk dari bulan Januari
hingga Juli 2016. Penambahan biomas memberikan pengaruh terhadap jumlah pakan
yang diberikan setiap harinya.
Pengkayaan pakan induk dengan silase cumi-cum, Vitamin C,telur bebek
dan Vitamin E mampu meningkatkan kandungan nutrisi pakan , terutama protein
pakan , lemak pakan dan asam lemak . Pemberian pakan pelet yang diberikan secara
terus menerus secara teratur dapat meningkatkan kulitas dan produksi telur ikan
bandeng. Dari hasil analisa proksimat dan analisa kandungan asam lemak dengan
metode Gas Cromatografi di Laberatorium Lingkungan BBPBAP jepara terhadap
pelet induk bandeng yang diperkaya campuran silase cumi-cumi, Vitamin C, Vitamin
E, dan telur bebek msecara nyata meningkatkan kandungan protein, lemak dan asam
lemak DHA dan EPA (Tabel 2)
Tabel 2. Hasil analisa proksimat dan asam lemak pelet induk ikan bandeng
No Perlakuan EPA DHA Protein Lemak
1 Tanpa pengkayaan 0 0 30 3
2 Dengan pengkaya 75,79 180,75 35 6

111
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Selain kebutuhan protein, asam lemak berperan sebagai sumber energi dan
suber asam lemak esensiel bagi pembetukan gonad dan kulaitas telur bagi ikan. Telah
dibuktikan bahwa asam lemak tidak jenuh berantai panjang (HUFA) terutama
kelompok n-3 HUFA (EPA;20 5n3 dan DHA: 22-6n30 ) merupakan nutrien esensial
bagi larva ikan laut dalam menyediakan energi metabolisme bagi perkembngan telur
dan larva (Watanabe, 1993; Rainuzo et al, 1995 dalam Gapasin et al.,1998).

Produksi Telur, Telur fertil, Telur non Fertil, dan Derajat Penetasan Telur
Hasil pengamatan terhadap produksi telur, telur fertil, dan derajat
pembuahan setiap bulanya menunjukan hasil yang meningkat pada semua parameter
kualitas telur. Prosentase telur fertil meningkat secara signifikan dari 50%-95%,
demikian halnya pada derajat penetasan telur juga menunjukan hasil yang
meningkat/bagus yaitu antara 60%-97,5%. Peningkatan kualitas telur sangat
signifikan dengan bertambahnya waktu pengujian. Pembuahan telur (jumlah telur
fertil) dan derajat penetasan telur meningkat mulai pada bulan April atau tiga bulan
setelah pengujian. Hasil yang didapatkan menjukan tren yang meningkat, pada
beberapa laporan ( Lam,T.C., 1985; lee,C.S et.al., 1986; Priyono et al 1990., )
melaporkan derajat pembuahan telur ikan bandeng antara 50%-90%.
Tabel 3 Produksi telur , kualitas telur dan daya tetas telur induk ikan bandeng
Telur non
Produksi Telur Ukuran Derajat
No Bulan fertile
telur (btr) fertile (%) telur(mm) penetasan(%)
(%)
1 Januari 0 0 0 0 0
2 Pebruai 1.500.000 50 50 1,1 60
3 Maret 2.500.000 60 40 1,1 70
4 April 3.000.000 70 30 1,2 80
5 Mei 3.200.000 85 15 1,2 90
6 Juni 3.250.000 90 10 1,2 90
7 Juli 1.500.000 90 10 1,25 90
8 Agustus 1.700.000 95 5 1,25 90
9 September 2.750.000 95 5 1,2 97,5
10 Aktober 3.000.000 90 10 1,25 97,5
11 Nopember 3.000.000 90 10 1,25 97
12 Desember 1.500.000 85 15 1,25 90

Pada beberapa penelitian tentang penggunaan vitamin C untuk reproduksi


ikan telah dicoba terutama pada ikan trout (Sandnes et al.,1984). Hasilnya
memperlihatkan bahwa ikan yang mendapatkan pakan dengan penambahan vitamin
C sebanyak 1 gr/kg pakan dapat memproduksi telur lebih banyak di bandingkan
tanpa penambahan vitamin C. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pentingnya
vitamin C dalam pakan terutama untuk meningkatkan ketahanan terhadap setres
karena secara alami hewan terutama ikan tidak mampu mensintesa vitamin C di
dalam tubuhnya. Sehingga kebutuhan vitamin C mutlak diperlukan sehubungan

112
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

dengan sistem metabolisme ikan (Subiyakto dkk., 2001). Peningkatan kualitas telur
juga ditandai dengan meningkatnya diameter telur. Diameter telur meningkat dari 1,1
mm pada awal pengujian menjadi 1,2mm-1,25 mm setelah pengujian berjalan tiga
bulan. Diameter telur ada hubunganya dengan fekunditas dan umur induk, makin
banyak telur yang dipijahkan (fekunditas), maka ukuran diameter telurnya semakin
kecil (Tang dan Afandi, 2001).Semakin besar ukuran diameter telur akan semakin
baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan
akan dapat bertahan lebih lama.

Gambar 1. Telur ikan bandeng yang dibuahi tampak jelas bakal embrio yang
berkembang.
Ukuran diameter telur dapat menentukan kulitas yang berhubungan dengan
kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar juga menghasilkan larva
yang berukuran besar. Efendi (1997) menyatakan bahwa semakin berkembang
gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil
pengendapan kuning telur , hidrasi, dan pembentukan oil globule.

KESIMPULAN

Dalam kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa Pengkayaan pakan induk


dengan silase cumi-cumi dapat meningkatkan produksi dan kualitas telur induk
bandeng, terbukti dengan pengkayaan jumlah telur fertil dan daya tetas telur terus
meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengujian.

113
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Sugeng Rahajo A.Pi Kepala
BBPBAP Jepara, Beni Suprianto, S.Pi POKJA pembenihan ikan bandeng,Siswanto
pembenihan ikan bandeng, Sardi, Bambang Untiyo, Sahlan, Abang Prastiyo dan
rekan-rekan di pembenihan ikan bandeng yang telah membantu terlaksananya
kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang
Intensif. Balai Penelitian Budidaya Pantai Maros.
Anonim. 1995. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Bandeng . Balai Budidaya Air
Payau Jepara.15 hal.
Boyd,C.E., 1995. Botom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture . Chapman & hall.
Effendie,M.I.,1997. Metode Biologi Perikanan . Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor
.112 hal.
Emata,A.C.C.,L.Marte dan L.Ma.B.Garcia.1992. Management of Milkfish
Broodstock Aquaculture Extension Manual No.20 Desember 1992.
Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center.
Tigbauan, Iloilo, Philippines.32 hal.
Priyono,A.G.Sumiarsa.,Azwar,Z.I.1990. Implantasi Hormon LHRH-a dan 17α
Methyltestosterone untuk Pematangan Gonad Calon Induk Baneng ( Chanos
chanos Forskal). J. Penelitian Budidaya Pantai 6(1):20-30.

114
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PENGGUNAAN PAKAN KOMERSIAL INDUK


IKAN NILA SALIN YANG DIPERKAYA DENGAN MENGKUDU
DAN UBI UNGU

Oleh : Poniran dan Dwi Joko Sulistiyono

ABSTRAK
Ikan Nila salin merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek
yang cerah dan layak dikembangkan sebagai ikan budidaya karena mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi.Kebutuhan benih ikan nila salin untuk kegiatan budidaya
semakin meningkat sedangkan hasil tangkapan benih dari alam jumlahnya terbatas
sehingga dibutuhkan suatu upaya yang dapat dilakukan terutama untuk
meningkatkan jumlah dan mutu telur yang dihasilkan dari induk nila adalah dengan
pemberian nutrisi yang lebih lengkap. Mengkudu mengandung zascopoletin yang
berguna dalam peningkatan kegiatan kelenjar peneal di dalam otak, yang merupakan
tempat dimana serotonin diproduksi dan kemudian digunakan untuk menghasilkan
hormon melatonin. Ubi jalar merupakan jenis tanaman merambat yang menyimpan
makanan pada akarnya. Wadah yang digunakan adalah bak semen dengan ukuran
bak 5 x 8 m yang dilengkapi dengan sarana aerasi yang dipasang di dasar bak dan
terbuka tanpa atap. Pematangan gonad dilakukan dengan cara memisahkan induk
jantan maupun betina. Pematangan gonad atau matang telur memerlukan waktu
selama 15 hari atau 2 minggu. Air yang digunakan adalh air stagnan yang diganti
setiap selang 2 hari sekali sebanyak 30-50 %. Ubi ungu di formulakan pada pakan
yang diberikan pada induk ikan nila dengan komposisi 30 %. Pemijahan dilakukan
dalam bak dengan cara mencampur jantan dan betina. Selama masa pemijahan
pakan tetap diberikan dan jumlah pakan dikurangi hingga 1 % perhari disesuaikan
dengan nafsu makan. Hasil produksi benih atau larva diliput dengan cara
mengumpulkan larva atau benih yang terkumpul selama proses pemijahan. Pada
hari ke30 semua induk dipindah tempat yang baru dan dipisah lagi antara jantan dan
betinannya. Lama pemeliharaan dari proses pematangan gonad hingga proses
pemijahan selesai adalah 45 hari. Hasil terbaik pemeliharaan induk ikan nila
ternyata diperoleh dengan menggunakan mengkudu yang dicampur atau sebagai
pengkaya pakan induk, sedangkan produksi terendah diperoleh pada pemeliharaan
induk dengan menggunakan pakan standar atau pakan tan pa pengkayaan.

Kata Kunci : kualitas telur, induk nila salin, mengkudu dan ubi ungu

PENDAHULUAN

Perkembangan budidaya ikan Nila salin baik di tambak maupun keramba


jaring apung membutuhkan benih dalam jumlah yang terus meningkat. Selain
jumlahnya terbatas kontinyuitas ketersediaanya juga tidak menentu. Karenanya
upaya produksi benih dari pembenihan ikan merupakan solusi yang sangat mendesak

115
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

sekali. Ikan Nila salin merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek
yang cerah dan layak dikembangkan sebagai ikan budidaya karena mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi. Selain itu ikan nila salin mempunyai pertumbuhan yang relatif
cepat, mudah dipelihara, mempunyai toleransi salinitas yang baik terhadap
perubahan lingkungan.
Masalah terbesar dalam produksi benih nila salin masih berkisar seputar
proses pemeliharaan larva. Mortalitas yang relatif tinggi selama stadia larva
merupakan kendala yang sering dijumpai dalam produksi massal benih. Ada 3 faktor
yang berperan dalam pemeliharaan larva, yakni jumlah dan mutu telur, ketersediaan
pakan alami dan kondisi lingkungan. Untuk memperoleh keberhasilan dalam
produksi benih, ketiga faktor tersebut harus dikondisikan secara ideal.
Mengkudu mengandung zat scopoletin yang berguna dalam peningkatan
kegiatan kelenjar peneal di dalam otak, yang merupakan tempat dimana serotonin
diproduksi dan kemudian digunakan untuk menghasilkan hormon yang berperan di
dalam sistem reproduksi.
Ubi ungu merupakan jenis ubi yang memiliki rasa manis dan enak rasanya,
disamping memiliki manfaat bagi kesehatan. Ubi ungu juga mempunyai kandungan
vitamin A lebih kurang 7.700 mg/100 g ubi lebih tinggi dari buah bit atau tomat.
Vitamin C dan antioksidan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan terutama untuk meningkatkan jumlah
dan mutu telur yang dihasilkan dari induk nila adalah dengan pemberian nutrisi yang
lebih lengkap. Selama ini berbagai jenis vitamin telah diberikan untuk memacu
proses peneluran, namun begitu ketersediaan telur masih tergantung pada kondisi
alam. Perbaikan kualitas telur yakni dengan menggunakan mengkudu dan ubi jalar
ungu diharapkan dapat memeberikan nilai tambah dalam hal frekuensi memijah dan
kualitas telur yang dihasilkan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan
produksi telur dan larva ikan nila salin.

BAHAN DAN TATA KERJA

Waktu dan Tempat


Kegiatan Produksi dan kerekayasaan benih ikan nila salin dilaksanakan mulai
bulan Januari s/d Desember 2016 di unit pembenihan ikan nila salin BBPBAP
Jepara, Jawa Tengah.

Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan untuk pengujian adalah induk ikan nila, pakan
induk (pakan komersial 30 %), mengkudu, ubi ungu , bak pematangan gonad, bak
pemeliharaan larva , bak perkawinan /pemijahan , pompa air, blender rumah tangga,
peralatan kerja lain.

116
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tata Kerja
Penyiapan Wadah
Wadah yang digunakan adalah bak semen 5x8 m sebanyak tiga buah dengan
ketinggian air 60-80 cm yang dilengkapi dengan sarana aerasi yang dipasang di dasar
bak dan terbuka tanpa atap. Sebelum bak digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari
kotoran yang menempel dan disterilkan dengan kaporit dosis 50 ppm. Bak dibiarkan
kering selama 1-2 hari. Bak yang sudah kering dibilas sampai bersih dengan air
bersih dan dibiarkan kering,kemudian dilanjutkan dengan pengisian air payau
salinitas 5 ppt sedalam 0,7-1 meter aerasi dihidupkan dibiarkan selama 1-2 hari agar
air tercampur merata salinitasnya.
Stok induk dilakukan dengan kepadatan 1kg per m2 dan dengan
perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 3. Sebelum induk dipijahkan terlebih
dahulu dilakukan proses pematangan gonad baik pada induk betina maupun jantan.
Pematangan gonad dilakukan dengan cara memisahkan induk jantan maupun betina.
Pematangan gonad atau matang telur memerlukan waktu selama 15 hari atau 2
minggu. Air yang digunakan adalh air stagnan yang diganti setiap selang 2 hari
sekali sebanyak 30-50%. Ubi ungu di formulakan pada pakan yang diberikan pada
induk ikan nila dengan komposisi 30%. Didiberikan setiap hari sebanyak 3% per
hari dari berat biomass Pakan formula berbentuk pelet dengan kadar protein 30%
diberikan dua kali sehari pada pagi maksimal jam 08.30 dan sore hari pada jam
16.00. dengan dosis 3% per hari.
Induk yang telah dimatangkan gonadnya kemudian dilakukan pemijahan
dilakukan dengan cara memilih induk betina yang matang telur dan jantan yang
matang sperma yang berasal dari proses pematangan gonad. Pemijahan dilakukan
dalam bak dengan cara mencampur jantan dan betina. Selama masa pemijahan
pakan tetap diberikan dan jumlah pakan dikurangi hingga 1% perhari disesuaikan
dengan nafsu makan. Waktu pemijahan selama 15 sampai 30 hari. Wadah
pemijahan dipersiapkan seperti pada persiapan wadah pada proses pematangan
gonad. Pengamatan terhadap induk yang memijah mulai hari ke 4 dan seterusnya
hingga selesai selma 30 hari. Hasil produksi benih atau larva diliput dengan cara
mengumpulkan larva atau benih yang terkumpul selama proses pemijahan.
Pengelompokan benih diatur setiap 5 hari sekali menjadi satu kelompok, hal ini
dilakukan untuk menghindari ketidak seragaman dan kanibalisme pada benih. Pada
hari ke30 semua induk dipindah tempat yang baru dan dipisah lagi antara jantan dan
betinannya sedangkan larva atau telur yang tersisa dalam bak pemijahan
dikumpulkan dan disortir, hasil sortir dicampurkan dengan benih yang terdahulu
pada ukuran yang sama.
Menejemen air dilakukan dengan cara mengganti air pemeliharaan induk
setiap selang 2 hari sekali sebanyak 50% dari volume air media selama proses
pengujian. Pengukuran kualitas air meliputi , suhu, pH , DO setiap hari dan amoniak
setiap 3 hari sekali.

117
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan produksi larva dengan cara mengumpulkan atau dikelompokkan larva


berdasar umur 1-5 hari menjadi satu kelompok atau kelompok per 5 hari. Lama
pemeliharaan dari proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai adalah
45 hari.

Penyiapan mengkudu
Buah mengkudu matang diblender dicampur air secukupnya dengan
perbandingan 1 : 1. Hasil blender mengkudu di adukkan ke pakan komersil lalu
diangin-anginkan sampai kering.

Penyiapan ubi ungu


Ubi ungu mentah dikupas,dicincang,dirajang diblender dicampur air dengan
perbandingan 1 : 1. Hasil blender ubi ungu di adukkan ke pakan komersil lalu
diangin-anginkan sampai kering.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil kegiatan yang dilakukan disajikan pada tabel 1.


Tabel 1.Produksi larva ikan nila menggunakan mengkudu dan ubi ungu pada
pemeliharaan induk.
Jumlah Larva (ekor)
Reproduksi ke Hari ke Mengkudu Ubi Ungu Pakan Komersial
1 15 2.955 2.674 987
2 30 10.588 3.080 1.507
3 45 4.588 4.693 1.256
Hasil yang dicapai dengan pakan yang diperkaya menggunakan mengkudu
dan ubi ungu untuk produksi larva ikan nila lebih tinggi dibanding dengan pakan
komersial tanpa bahan pengkaya.
Sedangkan data kualitas air media pemeliharaan selama kegiatan berlangsung
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2.Data Kualitas air media pemeliharaan
No Parameter Pengkayaan Pakan
Mengkudu Ubi ungu Pakan Komersial
1 DO (ppm) 3.1 - 4,8 4.0 - 5.6 3.3 - 4-5
2 pH 7,7 - 8,2 8.5 - 8.7 7,5 - 8,3
3 NH3 (ppm) 0,25 - 027 - 0,24 - 0,27
4 NO2 (ppm) 0,004 - 0,007 - 0,001
5 Salinitas (ppt) 5,0 5,0 5.0
o
6 Temperatur ( C) 27,8-28,2 26,7-28,2 27,5 - 28,2
Data kualitas air selama kegiatan berlangsung sesuai dengan kebutuhan untuk
kehidupan larva ikan nila

118
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN.

Pengkayaan pakan komersial untuk ikan nila dengan menggunakan


mengkudu menghasilkan larva sebanyak 18.131 ekor selama tiga kali reproduksi,
pengkayaan dengan ubi ungu menghasilkan 10.447 ekor dibandingkan pakan
komersial menghasilkan 3.750 ekor

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.
selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Ibu Lisa
Ruliaty.S.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Pakan Alami dan teman teman
yang terlibat.

DAFTAR PUSTAKA

Azim M.E., Little D.C., 2008 The biofloctechnology(BFT) in indoor tanks: water
quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia
(O.niloticus).Aquaculture 283:29-35.
Azim M.E., Little D.C., Bron J.E., 2008 Microbial protein production in activated
suspension tanks manipulating C:N ratio in feed and the implications
for fish culture. Bioresource Technology 99:3590-3599
Han X.Choo, Christopher Marlowe A. Caipang 2015. Biofloc technology (BFT)
and its application towards improved production in freshwater tilapia
culture . AACL Bioflux, 2015, Vol. 8, Issue 3.
http://www.bioflux.com.ro/aacl
James E. Rakocy, Jason J. Danaher, Donald S. Bailey and R. Charlie Shultz . 2006
Development of a Biofloc System for the Production of Tilapia
jrakocy@uvi.edu
Rode, R. 2014. Marine Shrimp Biofloc Systems: Basic Management Practice
Aquaculture Research Lab Manager, Department of Forestry and
Natural Resources, Purdue University.
Revandi, Reva, D. 2004. Pemeliharaan Induk dan Larva Ikan Nila
BerbasisTeknologi URL unpad.ac.id/archives/131175/#) URL
Honson2008.en.alibaba.com
SNI : 01-6141-1999 Produksi benih ikan nila hitam kelas benih sebar
Cecillia J. Jaspe, and Christopher M.Acaipang 2011. Smal scale hatchery and larval
rearing techniques for local strains of saline toleranttilapia Oreochromis
niloticus spp

119
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

POMPA RAKITAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGHEMAT DI


DALAM OPERASIONAL PENYIPONAN
DI DASAR TAMBAK UDANG

Oleh : Budi Santoso dan Heru Kurniawan

ABSTRAK
Lithopenaeus vannamei adalah jenis udang introduksi dari Amerika Selatan
yang mulai dibudidayakan di Indonesia sejak akhir dekade 90-an untuk
menggantikan udang windu (Penaeus monodon) yang sudah sulit dibudidayakan
karena serangan virus White spot. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam budidaya
udang dikatagorikan menjadi dua yaitu faktor internal berupa kualitas bibit, dan
faktor eksternal berupa pengelolaan dan lingkungan. Faktor internal merupakan
persoalan di tingkat pembibitan, dimana petambak hanya bisa menentukan dengan
cara memilih kualitas bibit yang baik. Pengelolaan pakan merupakan faktor yang
sangat penting, karena menentukan pertumbuhan udang. Berdasarkan faktor inilah
maka, perlu dilakukan pengendalian lingkungan, salah satunya dengan cara
melakukan proses penyiponan pada dasar petakan. Teknik penyiponan ini bertujuan
untuk mengurangi kandungan bahan organik yang ada di dasar perairan sebagai
akumulasi dari sisa kotoran dan pakan. Penyiponan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, bisa dengan memanfaatkan gravitasi ( untuk tambak dengan konstruksi ideal),
maupun dengan pompa air. Pompa air yang banyak digunakan oleh pembudidaya
adalah jenis pompa air tenaga bensin untuk operasionalnya. Penggunaan pompa air
ini akan menambah biaya operasional produksi udang. Untuk itu perlu dilakukan
inovasi alat penyedot kotoran yang lebih hemat sehingga akan mengurangi biaya
produksi. Dari kegiatan ini dapat dilihat bahwa penggunaan pompa rakitan terbukti
lebih menghemat biaya produksi untuk penggunaan energi hanya sebesar 12,5%
dibandingkan dengan menggunakan pompa alkon. Penggunaan pompa rakitan lebih
efektif dalam pemakaian dan lebih fleksibel dalam pemanfaatanya.

Kata Kunci : Litopenaeus vanamei, pakan, penyiponan, pompa air rakitan

PENDAHULUAN

Lithopenaeus vannamei adalah jenis udang introduksi dari Amerika Selatan


yang mulai dibudidayakan di Indonesia sejak akhir dekade 90-an untuk
menggantikan udang windu (Penaeus monodon) yang sudah sulit dibudidayakan
karena serangan virus White spot. Bila dibandingkan dengan jenis udang lainnya,
udang vaname memiliki keunggulan yaitu :
• responsif terhadap pakan dengan kadar protein 25 - 30% (lebih rendah dari
udang windu)
• kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan suhu rendah,
• adaptasi terhadap perubahan salinitas (khususnya pada salinitas tinggi)

120
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

• laju pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan I dan II


• angka kehidupan (survival rate/SR) hidup tinggi.
• dapat ditebar dengan kepadatan tinggi karena hidupnya mengisi kolom air
bukan di dasar saja.
• serapan pasar luas, mulai dari ukuran 10 hingga 25 gram per ekor.
Dengan keunggulan yang dimiliki tersebut, sangat potensi dan prospektif
pengembangannya. Udang vanamei saat ini banyak dibudidayakan di Sumater
Utara, Lampung, Bengkulu, Banten, Pantai Utara Jawa Barat, Pantai utara dan
selatan Jawa Timur, Pantai Utara dan selatan Jawa Tengah, DIY, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur. Jenis tambak yang digunakan juga
bervariasi, ada yang masih berupa tanah, kolam semen dan kolam bak dan tambak
ditutup dengan mulsa.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam budidaya udang dikatagorikan menjadi
dua yaitu faktor internal berupa kualitas bibit, dan faktor eksternal berupa
pengelolaan dan lingkungan. Faktor internal merupakan persoalan di tingkat
pembibitan, dimana petambak hanya bisa menentukan dengan cara memilih kualitas
bibit yang baik. Namun dalam kenyataannya, petambak belum bisa menentukan
sehingga sifatnya hanya berdasarkan rekam jejak (track record) suatu pembibitan
bukan kualitas dari tiap benur yang dihasilkan. Oleh karena itu, petambak hendaknya
memperhatikan faktor yang memang bisa dikendalikan, yaitu faktor pengelolaan,
baik pengelolaan pakan, pengelolaan tambak.
Pengelolaan pakan merupakan faktor yang sangat penting, karena
menentukan pertumbuhan udang. Dua hal yang termasuk dalam faktor pakan, yaitu
jumlah dan kualitas pakan. Jumlah pakan secara teknis adalah 3% dari berat biomass
udang di tambak pada saat itu, namun dalam prakteknya ditentukan oleh kuat
tidaknya kondumsi udang yang diukur dengan cek ancho. Kualitas pakan ditentukan
oleh kandungan nutrisi yang ada di pakan. Untuk kehidupannya, udang memerlukan
kandungan nutrisi tertentu dalam pakannya, khususnya dalam hal kandungan
Proteinnya. Kualitas pakan ini ditentukan oleh bahan baku, proses produksi dan
kualitas fisik pakan. Pengelolaan lingkungan juga menentukan pertumbuhan udang,
dengan kondisi dasar tambak dan air yang selalu bagus, udang akan hidup sehat
dengan nafsu makan yang tinggi.
Berdasarkan faktor inilah maka, perlu dilakukan pengendalian lingkungan,
salah satunya dengan cara melakukan proses penyiponan pada dasar petakan. Teknik
penyiponan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik yang ada di
dasar perairan sebagai akumulasi dari sisa kotoran dan pakan. Penyiponan dapat
dilakukan dengan beberapa cara, bisa dengan memanfaatkan gravitasi ( untuk tambak
dengan konstruksi ideal), maupun dengan pompa air.
Pompa air yang banyak digunakan oleh pembudidaya adalah jenis pompa air
tenaga bensin untuk operasionalnya. Penggunaan pompa air ini akan menambah
biaya operasional produksi udang. Untuk itu perlu dilakukan inovasi alat penyedot
kotoran yang lebih hemat sehingga akan mengurangi biaya produksi.

121
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas dari penggunaan
pompa air rakitan dalam proses produksi udang vannamei di Tambak

Tata Kerja
Alat dan bahan
Alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan ini adalah pompa air rakitan,
pompa alkon, selang spiral, bensin, kabel, listrik, saklar.
Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di kawasan tambak Blok H
BBPBAP Jepara dengan jumlah 4 petak. Waktu pelaksanaan mulai Maret - Agustus
2016 . Pengamatan efektifitas pompa dilakukan dengan membandingkan konsumsi
bahan bakar untuk pompa alkon dibandingkan dengan konsumsi listrik pada pompa
rakitan.
Untuk perlakuan pemeliharaan udang dilakukan sesuai standar operasional yang
ada di BBPBAP Jepara meliputi perbaikan kualitas air dengan menjaga kestabilan
kualitas air selama pemeliharaan sebagai berikut:

a. Pengelolaan air.
Pengelolaan air pada tambak udang dilakukan untuk menjaga kesetabilan
plankaton. Kelimpahan plankton selama pemeliharaan diarahkan pada dominasi
plankton jenis Chloropiceae Sp. sehingga warna air cenderung kehijauan.
Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk ZA, probiotik, molase (tetes tebu)
dengan dosis pupuk 1-2 ppm, probiotik 100 – 200 gr, molase (tetes tebu) 4 liter.
Aplikasi susulan dilakukan setiap seminggu 2 kali. Aplikasi dihentikan bila air
berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan kurang dari 30 (Supito et.al., 2014)
Pengaturan jumlah dan arah kincir dilakukan dengan prinsip seluruh kolom
air bisa bergerak dan dapat melokalisir kotoran (sisa pakan, kotoran udang dan
plankton/bakteri yang mati) pada bagian yang mudah dibuang. Penyiponan kotoran
yang terkumpul di bagian tengah tambak di lakukan untuk mengurangi kotoran
(Total bahan organik).
Pergantian air sebanyak 5-10% perhari dari petak tandon yang telah disiapkan
diperlukan untuk pengenceran air tambak yang sudah pekat bila kecerahan kurang
dari 20 cm serta warna air cenderung mengarah ke hijau gelap atau hijau kebiruan.
.
b. Aplikasi probiotik dan bawang putih (alycin).
Aplikasi probiotik dan bawang putih (alycin) dilakukan melalui pakan yang
diberikan tiap hari yaitu pagi dan sore hari. Sedangkan aplikasi probiotik pada media
pemeliharaan dengan tujuan untuk mempercepat penguraian bahan organik sehingga
tidak terbentuk senyawa beracun seperti amonia dan nitrit. Aplikasi bakteri probiotik
juga untuk mendesak dominasi bakteri vibrio Sp. yang cenderung bersifat patogen.
Perlakuan aplikasi probiotik mulai dilakukan 3 hari, setelah sterilisasi, selanjutnya
aplikasi secara rutin dilakukan 2 kali tiap minggu.

122
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan. Salah satu jenis
sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase),
reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan di awal pembentukan. Jumlah atau
dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air
sebagai indikator adalah nilia pH air.
Teknik aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan menebar langsung
probiotik dengan cara persiapan wadah aktivasi berupa ember (volume 20 L) dan
diisi air tambak yang akan di tebar probiotik. Masukan probiotik 200 gr dan di
tambahkan sumber karbon (molase) sekitar 4 liter dan diaduk merata. Tambahkan
pupuk ZA sebanyak 4 Kg dan aduk merata. Biarkan spora bakteri berkembang
selama 0,5 - 1 jam dan kemudian ditebar pada tambak (Supito et.al, 2014)
Aplikasi probiotik pada pakan bertujuan untuk mendesak dominasi bakteri
vibrio pada usus. Cara pengkayaan pada pakan adalah dengan mencapur 20 g
probiotik; 3 g ekstrak bawang putih, 2,5 mL multivitmin per kg pakan dan molase
secukupnya. Bahan-bahan tersebut di campur dan diencerkan dengan air secukupnya.
Campuran bahan tersebut selanjutnya di campurkan pada pakan pellet dan
dikeringkan dengan cara diangin angikan. Pencampuran ini bisasanya dilakukan 1
jam sebelum pemberian.

c. Manajemen pemberian pakan


Udang memiliki cara makan dengan dikerikiti sedikit demi sedikit yang
berbeda dengan cara makan ikan yang langsung di telan setiap butiran pakan.
Pengkayaan pakan pelet dengan beberapa bahan tambahan (feed additive) diduga
akan banyak yang lepas dan larut dalam air bila butiran pakan tersebut terendam
dalam air. Kondisi ini terutama pada bahan tambahan yang mudah larut dalam air
seperti vitamin C. Oleh karena itu diperlukan teknik pemberian pakan pada udang
yang tepat dengan memperhatikan tingkah laku kebiasaan pakan udang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya udang, baik udang windu maupun vaname khususnya yang


berskala semi intensif dan intensif memerlukan penggunaan faktor produksi yang
lengkap, termasuk di dalamnya adalah pemberian pakan yang cukup. Dalam
prakteknya, karena harus menggunakan pakan tenggelam, seringkali kita tidak bisa
tepat memberikan pakan sesuai kebutuhan aktual udang. Baik kekurangan atau
kelebihan pakan. Jika terjadi kelebihan, Pakan yang tidak bisa termakan udang, ini
merupakan salah satu sumber masukan bahan organik di tambak.
Sumber-sumber lain adalah dari kotoran udang, udang yang mati, plankton
yang mati dan mahluk hidup lain yang mati di tambak. Bahan organik tersebut akan
menimbulkan sampah organik dalam bentuk lumpur organik yang ditambah dengan
lumpur an-organik (lumpur dari tanah) akan menjadi bahan kotoran di tambak.
Lumpur tersebut harus dikeluarkan dari tambak karena bisa menjadi bahan beracun

123
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

yang membahayakan kehidupan udang. Pengeluaran yang paling efektif adalah


dengan teknik Siphon, yaitu mengeluarkan lumpur dengan cara disedot melalui
selang dan saluran pembuangan di bawah tanah dasar tambak menggunakan energi
gravitasi dan tekanan air. Oleh karena itu tambak semi dan intensif harus mempunyai
kontstruksi saluran tersebut baik yang berawal dari tengah tambak (central drain)
atau pinggir tambak (side draine). Contoh konstruksi tersebut seperti gambar 1. di
bawah ini :

Gambar 1. kontstruksi saluran tengah tambak (central drain) atau pinggir tambak
(side draine)
Tepat dibagian tengah adalah buis beton yang dipasang vertikal, sebagai
tempat pemasangan paralon di semua penjuru. Pada paralon tersebut dilubangi kecil-
kecil yang tidak muat dimasuki udang yang sudah berukuran menengah. Selain itu
juga terpasang selang yang bisa menjangkau lumpur lebih luas lagi.
Cara kerjanya adalah diluar tambak terpasang saluran pembuangan dari
central drine itu, jika penutupnya dibuka, maka air yang membawa lumpur akan
mengalir keluar tambak. Oleh karena itu, penempatan kincir dan arahnya harus bisa
menempatkan lumpur mengumpul di sekitar central drine ini, sehingga pengeluaran
bisa lebih efektif. Jika lumpur tidak semua terjangkau paralon, maka bisa dikeluarkan
dengan selang yang bisa fleksibel digunakan untuk menjangkau lumpur. Kegiatan
siphon ini waktunya fleksibel, yang penting tambak harus bersih selama proses
budidaya berlangsung. Perlakuan Siphon akan meningkatkan peluang
keberhasilan budidaya udang.

124
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gambar 2. Pompa alkon Gambar 3. Pompa rakitan


(bensin)

Spesifikasi Pompa alkon (bensin) Pompa rakitan 1 Hp


Penggunaan energi 1,5 L/ jam Rp. 1.250 / jam
= 1,5 x Rp 7000
= Rp. 10.000/ jam
Perhitungan nilai energi Memerlukan biaya yang Biaya tidak terlalu besar
lebih besar untuk nilai karena putaran mesin tetap
energi bila digunakan
secara rutin dan dalam
waktu yang lama untuk
fungsi yang sama
Kelebihan dan kelemahan Kelebihannya, untuk Kelebihannya, karena
menentukan besar kecil putaran mesin tetap maka
debit dapat dilakukan konsumsi biaya tidak
seting tenaga (gas). terlalu besar.
Kelemahannya, Untuk Kelemahannya, debit tidak
memperbesar debit dapat diperbesar.
diperlukan tenaga (gas)
yang lebih besar maka
akan semakin tinggi
konsumsi bahan bakar
Tabel 1. Perbandingan pompa alkon dan pompa rakitan

Hasil pengukuran suhu terhadap peubah kualitas air yang di peroleh selama
pemeliharaan rata-rata 29 – 31 oC. Suhu sangat berpengaruh terhadap komsumsi
oksigen, pertumbuhan, sintasan udang dalam lingkungan budidaya perairan (Pan-Lu-
Qing et al., 2007). Keberhasilan dalam budidaya udang suhu berkisar antara 20 - 30
°C.

125
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Hasil pengamatan pH selama pemeliharaan 6,9 – 7,7. Hasil pengukurann ini


menunjukkan bahwa pH air ditambak dalam budidaya udang vaname tersebut cukup
optimal. Untuk standar budidaya udang vaname berkisar 7,5-8,5 (Anonim, 2003).
Untuk menaikkan nilai pH di tambak biasanya deberikan kapur dolomit pada bagian
dalam pematang tambak.

Petakan Tambak
Parameter
H.3 H.4 H.5 H.6
pH 6,9 – 7,7 6,9 - 7 6,9 -7,4 6,9 - 7,3
T 29 – 31 29 - 31 29 - 31 30– 31
Salinitas 29 -30 30 -31 30- 31 29-30

Oksigen merupakan parameter kualitas air yang berperang langsung dalam


proses metabolisme biota air khususnya udang. Ketersediaan oksigen terlarut dalam
badan air sebagai faktor dalam mendukung pertumbuhan, perkembanagan dan
kehidupan udang. Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada budidaya
udang vaname selama penelitian 4 – 5,8 mg/L.

Petakan Tambak
Parameter H.3 H.4 H.5 H.6
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Nittrit (NO2) 0,633 0,415 0,672 0,479 0,684 0,628 0,119 0,038
Nitrat (NO3) 1,035 0,365 1,011 0,658 1,189 1,012 0,303 0,12
TOM 105,16 80,01 116,09 84,87 149.26 83,95 96,65 34,79
NH3 87,10 0,175 89,19 0 85,49 0,199 80,24 0,015
Tabel 3. Parameter Kimia Budidaya Udang Vannamei

Sumber utama amonia dalam tambak merupakan timbunan bahan organik


dari sisa pakan dan plankton yang mati. Kadar protein pada pakan sangat mendukung
akumulasi organik-N di tambak dan selanjutnya menjadi amonia setelah mengalami
proses amonifikasi. Selama masa pemeliharaan didapati kandungan amonia yang
tertinggi yaitu 89,19 mg/L dan mengalami penurunan sampai akhir kajian.
Kandungan amonia yang terendah pada hari ke 75. Amonia merupakan anorganik-N
terpenting yang harus diketahui kadarnya di lingkungan perairan. Sumber utama
amonia dalam tambak adalah ekskresi dari udang atau ikan maupun timbunan bahan
organik dari sisa pakan dan plankton yang mati. Udang yang menggunakan protein
sebagai sumber energi menghasilkan amonia dalam metabolisme. Kadar protein pada
pakan sangat mendukung akumulasi organik-N di tambak dan selanjutnya menjadi
amonia setelah mengalami proses amonifikasi.
Kandungan nitrit selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel
tersebut kandungan nitrit sebelum dilakukan penyiponan penelitian berkisar 0,672 -

126
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

0,119 mg/L. Setelah dilakukan penyiponan kandungan nitrit turun berkisar 0,038 -
0,628 mg/L.
Kandungan nitrat disajikan pada Tabel 3. Pada tebel tersebut terlihat
kandungan nitrat selama pemeliharaan 0,303 – 1,189 mg/L dan menurun setelah
dilakukan penyiponan pada kisaran 0,12 – 1,012 mg/L. Hasil pengamatan kandungan
nitrat dalam petak tambak cenderung meningkat seiring dengan waktu pemeliharaan.
Menurut Effendi (2003) nitrat adalah nutrien utama bagi pertumbuhan. Konsentrasi
nitrat yang tinggi dalam perairan akan menstimulasikan pertumbuhan serta
perkembangan organisme di perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien
(Alaerst & Sartika, 1987).

KESIMPULAN

1. Penggunaan pompa rakitan terbukti lebih menghemat biaya produksi


untuk penggunaan energi hanya sebesar 12,5% dibandingkan dengan
menggunakan pompa alkon.
2. Penggunaan pompa rakitan lebih efektif dalam pemakaian dan lebih
fleksibel dalam pemanfaatanya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.


selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Supito, S.Pi,
M.Si. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Pembesaran dan teman teman yang
terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternative budidaya udang saat ini.
PT. Central Proteinaprima (Charoen Pokphand Group) Surabaya. 16
hal.
Andrianto, T. T. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Nila. Absolut. Yogyakarta
Alaerst G dan Sartika S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya
Effendi, H., 2003. Telahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan
Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Periran.Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. . 259 hal
Pan-Lu-Qing,Fang bo,Jiang Ling-Xu, and Liu-Jing. 2007.The effect of temperature
on selected immuneparameters of white shrimp,Litopenaeus
vannamei. Journal of the World Aquaculture Saciety. 38 (2),326-332
Soemardjati W, Suriawan A. 2007. Petunjuk teknis budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) ditambak. Departemen Kelautan dan
Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya
Air Payau Situbondo. 30 hal.

127
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI RUMPUT LAUT Gracilaria sp

Oleh : R. Haryanto dan Martijo

ABSTRAK
Budidaya rumput laut Gracillaria Sp. sangat potensial untuk dikembangkan
diperairan payau, khususnya pada tambak-tambak yang berada di wilayah pasang-
surut dengan kadar garam > 5 ppt. Hal tersebut akan tumbuh dan berkembang
gracilaria Sp. secara baik. Dengan substart tanah lumpur berpasir, maka akan lebih
memberikan tingkat produksi yang optimal.
Di Indonesia umumnya yang dibudidayakan di tambak adalah jenis Gracilaria. Jenis
ini berkembang di perairan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai,
Bulukumba, Wajo, Paloppo, Bone, Maros); Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang,
Bekasi, Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan); Lombok Barat.
Gracilaria sp selain dipanen dari hasil budidaya juga dipanen dari alam.
Gracilaria sp dapat tumbuh di berbagai kedalaman, namun pada umumnya
pertumbuhan jenis ini lebih baik di tempat dangkal dari pada di tempat yang dalam.
Sebagiam besar Gracilariasp lebih menyukai intensitas cahaya dan temperatur yang
tinggi. Temperatur merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan Gracilariasp,
sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan Gracilaria sp berkisarantara 20 -
28 °C. Gracilariaspjuga tersebar luas di sepanjang pantai daerah tropis.
Dengan berkembangnya budidaya Gracilaria sp, maka BBPBAP melaksanakan
kegiatan tahun 2015 dengan demfarm budidaya Gracilaria Sp. di tambak Mlonggo,
Jepara. Hasil produksi Demfarm budiadaya rumput laut Gracilaria Sp. yaitu sebagai
berikut : Bibit awal 2.500 kg; Metoda penanaman sebar dasar; jumlah panen total
adalah 7.000 kg (dalam bentuk basah).

Kata Kunci : Iklim tropis, Rumput laut gracilaria sp

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar ( macroalgae ) yang
meupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk dalam divisi thallophyta. Gambaran
umum rumput laut adalah macrobenthic (besar dan melekat), organisme autotrof,
membutuhkan cahaya untuk keberlangsungan hidupnya sehingga rumput laut tidak
dapat hidup pada kedalaman laut yang tidak ada penetrasi cahaya. Ukuran, bentuk
dan warna rumput laut bervariasi
Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan
antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi
yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Proses metabolisme alga memerlukan
kesesuaian faktor - faktor fisika dan kimia seperti perairan, gerakan air, temperatur,
kadar garam, nutrisi atau zat hara seperti nitrat dan fosfat, dan pencahayaan sinar
matahari.

128
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gracillaria Sp. merupakan salah satu jenis rumput laut yang mempunyai
batang daun semu sehingga dimasukkan dalam golongan Thallophyta. Tallus dari
Gracillaria Sp.. tersusun oleh jaringan yang kuat, warna merah ungu kehijau -
hijauan, bercabang - cabang mencapai tinggi 1-3 dm dengan garis tengah cabang
antara 0,5 - 2,0 mm. Percabangan “alternate”, hampir dikotom dengan perulangan
lateral. Bentuk cabang silindris dan meruncing di ujung cabang
Gracilaria Sp.. merupakan makroalga yang tumbuh melekat pada subtrat.
Bentuk thallus menyerupai silinder, licin, berwarna coklat atau kuning hijau,
percabangan tidak beraturan, memusat di bagian pangkal, cabang - cabang lateral
memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar 15 - 30 cm
(Ditjenkanbud, 2005). Warna talus bervariasi merah, ungu, coklat, dan hijau
Ciri - ciri khusus dari Gracilaria Sp.. adalah thallus berbentuk silindris dan
permukaannya licin. Thallus tersusun oleh jaringan yang kuat, bercabang - cabang
dengan sepanjang kurang lebih 250 mm, garis tengah cabang antara 0,5 - 2,0 mm.
Percabangan alternate yaitu posisi tegak percabangan berbeda tingginya,
bersebelahan atau pada jarak tertentu berbeda satu dengan yang lain, kadang -
kadang hampir dichotomous dengan pertulangan lateral yang memanjang
menyerupai rumput.
Dalam produksi rumput laut Gracilaria Sp.. dilakukan dengan vegetatif
melalui pemotongan thallus yang nantinya digunakan sebagai bibit untuk
dikembangbiakan secara produktif. Rumpunan thallus alga dipotong dengan ukuran
30 - 150 gr, untuk dijadikan bibit.
Budidaya rumput laut di Indonesia mempunyai potensi yang sangat tinggi
karena didukung oleh perairan laut yang sesuai untuk budidaya. Hal tersebut
diharapkan dapat menunjang hasil produksi rumput laut sebagai salah satu komoditas
usaha perikanan. Pada umumnya rumput laut dijumpai tumbuh di daerah perairan
yang dangkal dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran
keduanya.
Rumput laut termasuk dalam kategori tanaman tingkat rendah, umumnya
tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun
sejati tetapi hanya meyerupai batang thallus. Di alam, rumput laut tumbuh dan
melekat pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya. Selain benda mati,
rumput laut dapat melekat pula pada tumbuhan lain secara epifitik.
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka BBPBAP Jepara
melakukan produksi budidaya rumput laut (Gracilaria Sp.) di tambak dengan
perbaikan kualitas dan peningkatan produksi.

Tujuan
Tujuan kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak, adalah :
Peningkatan produksi rumput laut Gracilaria Sp.. di tambak Teknik budidaya rumput
laut Gracilaria Sp. di tambak.

129
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Sasaran
Sasaran kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak, adalah:
1. Penyediaan bibit rumput laut Gracilaria Sp. secara kontinyu
2. Bahan penyusunan standar budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di
tambak

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan untuk proses budidaya rumput laut Gracilaria Sp.
yaitu :
1. Gunting
2. Ember
3. Baskom
4. Lux meter
5. Refraktometer
6. Thermometer
7. pH meter

Bahan-bahan yang digunakan yaitu :


1. Bibit Gracilaria Sp.
2. Pupuk organik
3. Pupuk anorganik
4. Kapur pertanian / kaptan
5. Saponin
6. Desinfektan bentan

Tata Kerja
Metoda awal dilakukan dengan penentuan lokasi untuk budidaya rumput laut
yang memenuhi kriteria kelayakan teknis berdasarkan kualitas air maupun
aksesibilitas, dan akses ke kawasan budidaya, yaitu :
 Dasar tambak pasir berlumpur.
 Lokasi budidaya dekat dengan sumber air tawar untuk memudahkan
menurunkan salinitas sesuai dengan kebutuhan.
 Lokasi budidaya bebas dari limbah pencemaran
 Perairan cukup jernih. Tingkat kecerahan 40-60 cm
 Kadar garam (salinitas) antara 1-40 ppt dan optimal pada salinitas 5 - 43 ppt,
 Temperatur air berkisar antara 20-32 oC
 pH berkisar antara 6–9

Persiapan Tambak
Setiap petakan tambak budidaya sebaiknya memiliki pintu pemasukan dan
pengeluaran air yang berfungsi untuk sirkulasi air secara gravitasi sehingga akan

130
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

menjaga kualitas air dalam tambak.Apabila tidak dapat dilakukan pergantian air
dengan mengandalkan pasang surut, maka pergantian air dapat dibantu dengan
pompa air.
Pematang tambak harus kuat, tidak bocor dan rapi. Bangunan pematang
tambak sebaiknya dapat digunakan sebagai jalan sehingga memudahkan pengelolaan
tambak serta bisa difungsikan sebagai tempat penjemuran hasil panen Gracilaria Sp.
Ketinggian pematang tambak dibuat dengan posisi lebih tinggi dari pasang tertinggi
air laut dan tidak tenggelam jika terjadi hujan deras ataupun tidak tenggelam ketika
terjadi banjir di sekitar lokasi tambak.

Persiapan Tambak
Pastikan lahan (konstruksi sarana budidaya) sudah siap untuk dilakukan
penanaman.Tambak dikeringkan dan diangkat bahan organik/lumpurnya minimal 10
cm.Tambak selanjutnya dibiarkan kering matahari selama 3 - 5 hari sampai tanah
retak – retak. Tambahkan kapur pada dasar tambak untuk mendapatkan derajat
keasaman (pH) tambak berkisar antara 6 -9 atau sekitar 6- 8 untuk pertumbuhan
optimal Gracilaria Sp. Apabila tanah tambak memiliki pH 5, maka jumlah kapur
pertanian yang ditambahkan adalah sebanyak 500 kg/ha.Masukkan air ke dalam
tambak melalui saringan yang dipasang pada pintu pemasukan air. Kedalaman air
tambak yang optimal untuk budidaya Gracilaria Sp. adalah 50 cm, namun jika
dipolikulturkan dengan ikan bandeng atau udang, kedalaman tambak dapat
mencapai 100 cm. Jika masih terdapat hama pada tambak maka gunakan saponin
sebanyak 20 ppm

Pengaturan Kedalaman Tambak


Kedalaman tambak berpengaruh terhadap intensitas matahari yang diperlukan
oleh Gracilaria Sp. untuk pertumbuhan dan pembentukan agar-agar. Pada masa
pertumbuhan vegetatif yang terjadi pada minggu I-III diperlukan cahaya yang cukup
untuk perkembangan sehingga thallus kedalaman 0,5 m sangat optimal sedangkan
pada proses pembentukan agar-agar bisa ditambahkan air tambak sampai mencapai
1,0 m untuk mengurangi intensitas cahaya matahari sehingga Gracilaria Sp. dapat
membentuk agar secara optimal pada minggu ke IV - VI.
Pada saat panen, air atau kedalaman tambak bisa dikurangi sampai mencapai
0,5 m untuk memudahkan panen. Namun perlu ditekankan agar tidak terlalu dangkal
karena akan terjadi peningkatan suhu air tambak yang akan mengakibatkan
Gracilaria Sp. berwarna pucat bahkan sampai putih karena intensitas cahaya
matahari terlalu kuat.

131
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Bibit Rumput Laut


Karakteristik
Bibit rumput laut yang bagus antara lain memiliki ciri- ciri sebagai berikut:
a. thallus elastis,
b. mempunyai banyak cabang
c. pangkalnya lebih besar dari bagian ujung cabangnya,
d. ujung thallus berbentuk lurus,
e. warna cerah dan berbau segar,
f. bersih dari hama, tanaman pengganggu (epifit) dan kotoran
g. bila bagian tengah thallus dipotong, terasa getas thallus
h. tidak terdapat bercak
i. bentuk bibit seragam

Kebun Bibit
Pembuatan kebun bibit sebaiknya dilakukan untuk menjamin ketersediaan bibit
di setiap daerah. Pembuatan kebun bibit rumput laut diawali dengan melakukan
seleksi varietas. Seleksi varietas dapat dilakukan dengan menggunakan metode
penanaman long line.

Pembuatan Kebun Bibit dan Seleksi Varietas


Pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas sangat penting dalam menjamin
ketersediaan dan kualitas bibit Gracilaria Sp. Tahapan yang dilakukan dalam
pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas adalah sebagai berikut ini.

Persiapan dan Penanaman Bibit


Perawatan dan Seleksi Bibit
Tancapkan balok kayu atau bambu diameter 3 - 5 cm sepanjang 2,0 m pada
setiap sudut sebagai patok untuk membentangkan tali bentang bibit Gracilaria.
Ukuran luas petak untuk pembibitan rumput laut sangat bergantung kepada
kemampuan penanganan dan ketersediaan luasan tambak. Petak tali bentang
berukuran luas 50 m x 30 m yang dapat memuat 50 tali bentangan. Jarak antar tali
rumpun yang dipasang pada tali bentang antara 15 - 25 cm, dengan panjang tali
bentang sekitar 30 - 50 m. Setiap tali bentangan memuat 200 - 330 titik rumpun bibit
untuk diseleksi.
Jarak antar tali rumpun harus sama sehingga rumpun bibit memiliki
ketersediaan ruang yang sama untuk pertumbuhan, termasuk kesempatan dalam
memperoleh nutrisi dari perairan. Ikat bibit rumput laut pada simpul-simpul tali
kemudian dibentangkan di bawah permukaan air tambak pada kedalaman 10 - 20
cm.Jarak antar rumpun bibit 10 - 20 cm dengan bobot awal 10 - 25 g/rumpun.Bibit
yang sudah terikat pada tali dibentangkan memanjang dari satu sisi tambak dengan
mengikatkan pada patok-patok kayu/bambu.

132
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Lakukan pembersihan kotoran dan amati pertumbuhan Gracilaria Sp. setiap


minggu.Ganti air 75% setiap minggu untuk mendapatkan kondisi optimum tambak
dan jaga kedalaman air tambak minimal 80 cm.Tandai 10% rumpun Gracilaria sp.
dalam satu tali panjang (bentangan) yang paling bagus pertumbuhannya yang secara
kuantitatif paling besar atau berat hasil timbangan rumpun setiap minggunya .
Ambil rumpun yang telah ditandai tersebut pada akhir minggu ke III – IV.
Hasilnya dijumpai penambahan berat rumpun hingga 4 - 5 kali lipat dari berat
rumpun Gracilaria Sp. ketika awal penanaman.

Pengangkutan dan Penanganan Bibit


Usahakan menggunakan bibit dari budidaya sendiri atau bibit yang berasal dari
lokasi terdekat karena bibit sudah cocok dengan lokasi tersebut dan waktu
dibutuhkan untuk pengangkutan tidak lama (kurang dari 4 jam).Pada saat
mengangkut bibit, hindarkan bibit dari panas (sinar matahari langsung) dan usahakan
bibit selalu dalam keadaan basah. Gunakan penutup jika sinar matahari terik. Buatlah
lubang pada penutup sehingga terjadi sirkulasi udara.
Bibit tidak boleh terkena air tawar. Hindari mengangkut bibit pada saat hujan
atau gunakan terpal untuk melindungi rumput laut dari hujan.Jika mengangkut bibit
dari tambak tetangga, maka pengangkutan dapat dilakukan dengan memasukkan
bibit ke dalam karung atau ditaruh di atas sampan dan dibawa ke tambak melalui
saluran air/kanal. Usahakan rumput laut dalam karung selalu dalam kondisi
lembab/basah dan terdapat sirkulasi udara dengan membuat lubang pada karung.
Jangan menekan rumput laut di dalam karung.

Perawatan dan Pemeliharaan


Kebersihan Tambak
Jaga kebersihan tambak dari hama dan tanaman pengganggu serta kotoran
sehingga Gracilaria Sp. tumbuh optimal. Kebersihan pada saluran dan pintu air juga
perlu dijaga untuk memudahkan pergantian air.

Resirkulasi Air
Lakukan pergantian air minimal setiap tiga hari sekali pada saat pasang.Pada
saat musim kemarau, perlu dilakukan pergantian air yang lebih sering untuk
menghindari salinitas air tinggi akibat penguapan air tambak sedangkan pada musim
penghujan salinitas air tambak dijaga agar tidak terlalu rendah. Salah satu caranya
dengan menggunakan metode resirkulasi.

Parameter Lingkungan
Lakukan pemantauan salinitas, pH, temperatur dan kekeruhan tambak secara
teratur setiap tiga hari sekali untuk memastikan kualitas air terjaga untuk
pertumbuhan Gracilaria Sp. yang optimal.

133
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pastikan kedalaman air tambak pada saat pemeliharaan dengan


mempertahankan kedalaman air antara 30-50 cm selama 4 minggu pertama
pemeliharaan agar pertumbuhan cabang lebih cepat. Pada minggu kelima sampai
ketujuh pemeliharaan, atur ketinggian air pada kedalaman 50 – 80 cm untuk
memperlambat pertumbuhan cabang dan meningkatkan pembentukan kandungan
agar yang lebih tinggi.

Pertumbuhan
Amati perkembangan Gracilaria Sp. dengan melihat laju pertumbuhan harian.
Jika laju pertumbuhan harian dibawah 3% atau hasil panen basah sekitar 3,8 kali
berat bibit awal yang ditanam maka pada penanaman kedua dapat ditambahkan bibit
menjadi 2 ton/ha. Namun jika pertumbuhan harian lebih besar dari 4% atau hasil
panen basah sekitar 6 kali berat bibit awal yang ditanam maka penanaman berikutnya
dapat ditebar 3-4 ton/ha.
Jika terjadi penumpukan Gracilaria Sp. maka dilakukan perataan rumpun
rumput laut agar tidak terjadi pembusukan atau pembentukan gas H2S di tambak.
Pemupukan diperlukan pada kondisi tertentu seperti yang tercantum di bawah.
Pengujian kadar phosphat dan nitrogen dalam tambak juga diperlukan sebelum
dilakukan pemupukan.
Pada saat umur pemeliharaan 1-30 hari, apabila air terlalu jernih sampai pada
dasar perairan, gunakan pupuk NPK sebanyak 15 kg/ha atau pupuk phosphat
(misalnya SP36) untuk menumbuhkan plankton sehingga mengurangi penetrasi
cahaya.Penggunaan pupuk phospat harus memperhatikan pH tanah. Pada kondisi pH
rendah (<5) maka penggunaan phosphat kurang efektif.
Lakukan pemupukan jika pertumbuhan harian Gracilaria Sp. kurang dari 3%
dengan menambahkan pupuk yang mempunyai kandungan nitrogen tinggi pada
minggu pertama sampai keempat dan pupuk yang banyak mengandung phospat pada
minggu kelima sampai ketujuh. Dosis pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan,
misalnya 10 kg/ha untuk pupuk yang mengadung nitrogen dan 5 kg/ha untuk pupuk
yang mengandung phosphat.
Pemupukan dilakukan dengan cara melarutkan pupuk terlebih dahulu, dan
kemudian menyebarkannya secara merata di tambak.Selain pupuk anorganik, pupuk
organik seperti kompos dan kotoran ternak juga dapat digunakan.

Pengelolaan Kualitas Air


Pengelolaan kualitas air tambak dapat dilakukan dengan memperhatikan
pasang surut air laut dan membuat konstruksi tambak dan saluran yang lancar untuk
proses keluar masuknya air laut ke tambak Gracilaria Sp. Kualitas air tambak yang
optimal untuk pertumbuhan Gracilaria Sp. dikelola dengan tahapan berikut ini:
- Salinitas air terjaga pada kisaran 5-43 ppt dengan melakukan pergantian air
seminggu sekali.

134
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

- Perawatan saluran serta pintu masuk dan keluar air tambak sehingga terjadi
pergantian air dengan baik.
- pH air tambak pada kisaran 6,2-8,2 dan pH optimal untuk pertumbuhan
Gracilaria Sp. antara 6-9
- Temperatur suhu tambak pada kisaran 18-30oC dan suhu optimal untuk
pertumbuhan Gracilaria Sp. antara 20-32oC,
- Tingkat kekeruhan tambak dibawah air turbidity / TOM (50 ppm) sehingga
Gracilaria Sp. yang berada di dasar tambak masih bisa mendapatkan sinar
matahari untuk fotosintesis dan pertumbuhan yang optimal.

Hama dan Penyakit


Hama Gejala/Akibat Penanggulangan
- Gunakan saringan pada air masuk
Ikan: baronang, dan pastikan tidak ada lubang
kiper, mujahir Rumput laut patah kebocoran pada saringan
- Gunakansaponin pada saat
persiapan tambak
Lumut menempel pada
Lumut: Lumut - Penebaran ikan bandeng
rumput laut dan
sutra - Menambah kedalaman air
berkompetisi dalam
(Chaetomorpha) - Pergantian/sirkulasi air
menyerap nutrisi
- Lakukan pengambilan secara
Menempel pada thallus manual pada saat persiapan tambak
Kerang atau
dan kemudian rumput laut - Gunakan saringan pada air masuk
teritip (Limnea
menjadi putih. Biasanya . dan pastikan tidak ada lubang
glabra) dansiput
disebabkan karena kebocoran pada saringan
atau gastropoda
sirkulasi air tidak lancar. - Menjaga kualitas air dan mengatur
keluarmasuknya air ke dalam
tambak secara berkala
Rumput laut memutih dan
patah-patah disebabkan - Pergantian/sirkulasi air
Ice-ice
karena perubahan
lingkungan yang ekstrim

Panen dan Pasca Panen


Panen dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur 45 - 60 hari untuk
mendapatkan kadar agar dan kekuatan gel yang optimal.
2) Pemanenan dilakukan dengan mengangkat rumput laut dari dasar
tambak kemudian rumput laut dicuci dengan air tambak sebelum
dimasukkan ke perahu untuk selanjutnya diangkut ke darat.
3) Panen rumput laut sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar
penjemuran langsung bisa dilakukan.

135
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

4) Hindari panen pada saat hujan karena akan menurunkan kualitas


rumput laut.

HASIL dan PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh Budidaya Rumput Laut Gracilaria Sp. adalah sebagai
berikut :
Kegiatan ini dilakukan dengan perolehan seleksi dan pemilihan bibit adalah
dengan sistem bibit berkala yaitu bibit pertama diperoleh dari rumpun rumput laut
Gracilaria Sp. di tambak, selanjutnya bibit diseleksi dengan teknik pemanenan
rumput laut secara bertahap baik mingguan bahkan harian.
Untuk pemilihan bibit yang baik untuk budidaya rumput laut sendiri memiliki
ciri-ciri dan syarat di antaranya ciri-ciri bibit yang baik adalah diambil dari tanaman
yang relatif masih muda (usia 3-4 minggu) dan sehat, yang didapat dengan
memotong/memetik dari rumpun tanaman yang sehat pula dengan panjang sekitar 5-
10 cm sehingga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Thallus yang dipilih masih segar dan cukup elastis
2. Thallus memiliki banyak cabang dan pangkalnya relatif lebih besar dari
cabangnya.
3. Ujung thallus warnanya lebih cerah.
4. Bila thallus digigit/dipotong terasa britel (getas)
5. Akan lebih baik apabila bibit rumput laut didapatkan dari pembudidayaan dengan
kadar garam 5 ‰.
Penyediaan dan pemilihan bibit merupakan faktor penting yang dapat
menentukan keberhasilan dari suatu budidaya rumput laut. Kualitas dan kuantitas
produk budidaya rumput laut ditentukan oleh bibit rumput laut, maka kegiatan
penyediaan bibit harus direncanakan dengan memperhatikan sumber perolehan bibit,
cara pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan sehingga diperoleh bibit dalam
jumlah yang cukup dengan mutu yang dapat memberikan pertumbuhan optimal.
Hasil produksi budiadaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak BBPBAP
Jepara yaitu sebagai berikut :
- Bibit awal 2.500 kg
- Metoda penanaman sebar dasar
- Panen 5 x,
- jumlah panen total adalah 7.000 kg (dalam bentuk basah)
Produksi Gracilaria Sp. yang dihasilkan dari budidaya di tambak
menunjukkan bahwa ukuran thallus yang lebih besar. Hal ini karena adanya
penyerapan unsur Nitrogen yang siap (dalam bentuk nitrat) untuk pertumbuhan.
Adapun rata -rata laju pertumbuhan harian mampu di capai ± 2-3 % pada minggu
pertama dan 5-6% pada minggu kedua.
Hasil pengamatan parameter lingkungan selama 1 periode budidaya adalah
sebagai berikut :

136
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pertumbuhan ( Total Laju


Berat T Akhir dari Pertumbuhan
Berat d Awal bibit) Harian (%)
(kali)
2,1 2
2,7 2,4
3,5 3
6,4 4
6,8 4,5
8 5,2
10 5,5
14 5,8
18 6,2
20 6,5

Pengamatan Parameter Kualitas Air


Cuaca
WaktuPengamatan Temperatur ( C) Salinitas (0/00)
0
pH
pagi sore pagi sore pagi Sore
Harike - 1 27.0 30,1 32 31 7.9 8.0 Cerah
Harike - 10 27.1 30.0 33 32 8,1 8.3 Cerah
Harike - 20 28.4 32.2 33 33 8.1 8.4 Cerah
Harike - 30 26.0 30.2 32 31 8.2 8.3 Cerah
Harike - 40 28.2 31.8 33 32 7.8 8.1 Cerah
Berdasarkan data di atas, tampak bahwa temperatur tambak terendah baik
saat pagi maupun sore hari dijumpai pada hari pertama sedangkan temperatur
tertinggi baik saat pagi maupun sore hari dijumpai pada hari ke-20. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor suhu berbanding lurus dengan peningkatan kerapatan
rumpun rumput laut di tambak.Kisaran suhu berdasarkan data di atas yaitu antara
26.6 –32.20C. Kisaran suhu ini merupakan kisaran suhu yang optimal untuk
pertumbuhan rumput laut.
Kadar garam / salinitas terendah baik saat pagi maupun sore hari dijumpai pada
hari pertama sedangkan salinitas tertinggi baik saat pagi maupun sore hari dijumpai
pada hari ke-40. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan salinitas berbanding lurus
dengan kerapatan rumpun rumput laut sedangkan salah satu faktor yang
mempengaruhi peningkatan rumpun rumput laut yaitu kepadatan plankton di tambak
tersebut. Plankton dibutuhkan oleh rumpun rumput laut sebagai naungan. Jadi jelas
bahwa semakin tinggi kepadatan plankton di tambak, semakin tinggi salinitasnya dan
semakin bagus untuk meningkatkan kerapatan rumpun rumput laut. Berdasarkan data
di atas, salinitas untuk 1 periode budidaya yaitu berkisar antara 31 – 32 0/00. Kisaran
salinitas ini merupakan kisaran salinitas yang optimal untuk pertumbuhan rumput
laut.

137
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Derajat keasaman / pH terendah saat pagi hari dijumpai pada hari ke-40 dan pH
tertinggi saat pagi hari dijumpai pada hari ke-30 sedangkan pH terendah saat sore
hari dijumpai pada hari ke 1 dan pH tertinggi saat sore hari dijumpai pada hari ke-30.
Hal ini kemungkinan terjadi karena fluktuasi kandungan bahan organik maupun
bahan anorganik yang terbawa oleh sumber air laut. Kisaran pH berdasarkan data di
atas yaitu antara 7.9 – 8.4. Kisaran pH ini merupakan kisaran pH yang optimal untuk
pertumbuhan rumput laut.

KESIMPULAN
1. Tahapan teknik budidaya rumput laut di tambak yaitu : penentuan lokasi untuk
budidaya rumput laut, persiapan tambak (termasuk pengaturan kedalaman
tambak), seleksi bibit, pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas,
pengangkutan bibit, persiapan dan penanaman bibit, pemeliharaan dan
pemantauan budidaya (termasuk pengelolaan kualitas air, hama dan penyakit
serta panen dan pasca panen.
2. Hasil Demfarm budidaya rumput laut Gracilaria Sp. menunjukkan ukuran
thallus berkisar antara 0,1-0,2 mm dan laju pertumbuhan harian sampai
dengan 2.% pada minggu pertama dan 6.5% pada minggu kedua.
3. Hasil Produksi Demfarm dengan panen 5 x adalah 7.000 kg. Hal ini
menunjukan bahwa budidaya rumput laut Gracilaria Sp. yang dilakukan
dapat tersenggara dengan baik.

SARAN
1. Diperlukan teknik budidaya rumput laut yang lebih mudah dan dalam waktu
lebih singkat.
2. Pengamatan berat dan laju pertumbuhan sebaiknya dilakukan pada saat yang
bersamaan dengan waktu pengambilan data parameter lingkungan sehingga
dapat diketahui pengaruh faktor lingkungan terhadap laju pertumbuhan
rumput laut yang dihasilkan.
3. Perlu dipastikan kalibrasi alat secara periodik untuk memastikan keakuratan
data yang diperoleh.
4. Perlu peningkatan pengelolaan kualitas air di tambak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi.
selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Ibu Endah
Soesanti, A.Pi,S.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Rumput Laut dan teman
yang terkait.

138
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Alam, A.A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma Spinosum Di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar
Alifuddin, M. 1993. Penyakit Protozoa pada Ikan. Lab Kesehatan Ikan Jurusan
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. 342 hal
Arini, Endang. 2011. Pemberian Kapur (Caco3) Untuk Perbaikan Kualitas Tanah
Tambak Dan Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp Program Studi
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro, Semarang. Jurnal Saintek Perikanan.6(2) : 23 – 30
Armita, D. 2011.Analisis Perbandingan Kualitas Air Di Daerah Budidaya Rumput
Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun Malelaya,
Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skripsi.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan PerikananFakultas
Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar
Aslan, M.I. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta. 95 hal
Black, J.A, dan D.J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT.
Refika Aditama : Bandung
Cambridge University Press, United States of America, 366 pp
Direktorat pembinaan sekolah menengah kejuruan. 2013. Teknik penanaman rumput
laut. Kementerian pendidikan dan kebudayaan
Jana, T. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta
Kabata. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in the Tropics. Taylor and
Francis. London page 109-114
Khasanah, U. 2013. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput
Laut euchemas cottoni di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar
Komarawidjaja, W dan D, A.Kurniawan. 2008. Tingkat Filtrasi Rumput Laut
(Gracillaria Sp.) terhadap Kandungan Orthofosfat (P3O5). Jurnal Teknik
Lingkungan. Vol. 9, No.2, Hal: 180-183. Mei 2008. ISSN 1441-318X. Penerbit
Penelitian Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT
Kordi, K dan Andi T. 2010. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta : Rineka Cipta
Kordi, M., G., 2011. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut & Tambak.
Penerbit Andi. Yogyakarta. 134 hlm
KSEP. 2002. Kelompok Studi Ekologi Perairan. Senat Mahasiswa Fakultas Biologi.
Universitas Nasional. Jakarta
Lanuru, Mahatma dan Suwarni. 2011. Pengantar Oseanografi. Program Studi Ilmu
KelautanJurusan Ilmu KelautanFakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin. Makasar
Lobban, C. S., dan P. J. Harrison. 1997. Seaweed Ecology and Physiology
Mamang, Nurfadly. 2008. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma Cattonii
Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit Di Perairan Lakeba,
Kota Bau-Bau,

139
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DINAMIKA KEPADATAN SEL Thalassiosira sp pada SKALA


LABORATORIUM DAN SKALA SEMI MASSAL

Oleh : Nur Cholifah, Ery Sutanti, Poniran dan Dwi Joko Sulistyono

ABSTRAK
Pakan alami yang bisa digunakan sebagai sumber makanan tergantung pada
beberapa karakteristik seperti ukuran sel dan komposisi biokimia (Becker, 2004).
Salah satu fitoplankton yang dapat dikultur guna penyedia pakan bagi larva udang
adalah Thalassiosira Sp. Perbedaan yang terjadi antara skala laboratorium dan
skala semi massal adalah pada lokasi kultur, yaitu pada sistem indoor dan outdoor
serta sistem pencahayaannya. Pada skala laboratorium sistem pencahayaan
berasal dari lampu yang dinyalakan selama 24 jam (kontinyu), sedangkan pada
skala massal sistem pencahayaannya berasal dari sinar matahari. Tujuan dari
kegiatan ini adalah mengamati pertumbuhan Thalassiosira Sp. pada kultur skala
laboratorium dan skala semi massal. Hasil kegiatan ini didapatkan pertumbuhan
Thalassiosira Sp. pada skala laboratorium lebih cepat dibandingkan pada sistem
outdoor, dimana puncak pertumbuhannya terjadi pada hari ke tiga dengan jumlah
populasi 913.000 sel/ml.

Kata Kunci : Thalassiosira sp, skala laboratorium, skala semi massal

PENDAHULUAN
Tersedianya pakan hidup merupakan salah satu faktor pendukung dalam
keberhasilan usaha budidaya ikan. Pemberian pakan dengan kualitas yang baik serta
dalam jumlah yang cukup akan meningkatkan kelulushidupan larva ikan. Pakan
alami dapat dijadikan sebagai alternatif guna memenuhi kebutuhan pakan ikan. Hal
tersebut disebabkan karena pakan hidup mudah didapat dalam jumlah yang banyak
sehingga dapat menunjang kelulushidupan larva ikan. Disamping itu karena pakan
hidup memiliki kandungan nutrisi tinggi dan memiliki ukuran yang sesuai bagi
bukaan mulut larva. Pakan hidup yang bisa digunakan sebagai sumber makanan
tergantung pada beberapa karakteristik, seperti ukuran sel dan komposisi biokimia
(Becker, 2004). Salah satu jenis fitoplankton yang dapat dikultur sebagai pakan bagi
larva udang adalah Thalassiosira Sp. Thalassiosira sp. mempunyai bentuk seperti
rantai dari sel. Thalassiosira sp termasuk dalam fitoplankton berwarna coklat, sel
membentuk untaian rantai, sel berbentuk silinder/tong, tidak bergerak, berukuran 4
μm, salinitas 26 hinga 32 ppt, dan untuk suhu optimum berkisar sekitar 22-29 C.
Untuk mendapatkan jumlah Thalassiosira sp. dengan kualitas dan
kuantitas yang baik, maka kultur Thalassiosira sp. di mulai dari kegiatan
pemurnian, kultur skala laboratorium dan skala semi massal dan dilanjutkan pada
skala massal. Perbedaan yang terjadi antara skala laboratorium dan skala semi

140
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

massal adalah pada lokasi kultur, yaitu pada sistem indoor dan outdoor dan sistem
pencahayannya. Pada skala laboratorium sistem pencahayaan berasal dari lampu
yang dinyalakan selama 24 jam (kontinyu), sedangkan pada skala massal sistem
pencahayaannya berasal dari sinar matahari. Tujuan dari kegiatan ini adalah
mengamati pertumbuhan Thalassiosira sp. pada kultur skala laboratorium dan
skala semi massal.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada kegiatan ini : Urea, Tsp/Sp-36, ZA, FeCl3, EDTA,
Vit.B12, Formaldehyde, Ethanol, Sodium thiosulfat,
Alat yang digunakan meliputi : refraktometer, mikroskop, haemacytometer,
timbangan digital dan peralatan lapangan.

Tata Kerja
Langkah-langkah untuk mengetahui dinamika pertumbuhan Thalassiosira
sp. pada skala laboratorium dan skala semi massal adalah sebagai berikut:

Dinamika pertumbuhan Thalassiosira sp pada skala laboratorium


Kegiatan kultur Thalassiosira sp. skala laboratorium adalah untuk
meningkatkan jumlah sel dan untuk menjaga kemurnian dari fitoplankton tersebut.
Kegiatan tahap ini dilakukan penumbuhan sel pada media agar. Setelah didapatkan
inokulan Thalassiosira sp. murni kemudian dilakukan pemindahan sel dari media
agar ke media cair, dilakukan dengan cara koloni yang tumbuh dan berkembang pada
media agar dipindahkan dengan menggunakan jarum ose ke dalam tabung reaksi
yang berisi air laut steril dan telah diberi pupuk. Tabung-tabung reaksi yang telah
berisi inokulum fitoplankton ditempatkan dalam rak tabung reaksi dan diletakkan
pada rak kultur yang dilengkapi dengan lampu neon 40 watt. Tahap selanjutnya
adalah kultur menggunakan tempat media berupa Erlenmeyer dengan volume 2.000
mL. Inkubasi dilakukan pada temperatur 23 – 25 oC dengan lampu TL 40 watt. Air
laut yang digunakan adalah bersalinitas 25 ppt dan telah melalui sterilisasi dengan
membran filter 0,02 µm. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Walne dengan
tingkatan “Pro Analyse”.
Tahapan yang dilakukan dalam kultur Erlenmeyer 2.000 mL adalah sebagai berikut;
1. Pengisian air media yang sudah steril ke dalam wadah kultur.
2. Penghitungan kepadatan Thalassiosira sp. yang sudah disiapkan sebagai bibit.
3. Pemberian pupuk pada media selanjutnya diinokulasi bibit fitoplankton.
4. Wadah di tutup dengan kassa dan kapas untuk menjaga agar tidak
terkontaminasi, dan diberi label.
5. Pengamatan kepadatan sel fitoplankton secara periodik.

141
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Dinamika pertumbuhan Thalassiosira sp pada skala semi massal dengan


metode seperti di bawah ini;
Kultur skala semi massal merupakan kultur lanjutan dari kegiatan laboratorium
bertujuan meningkatkan jumlah sel. Skala ini merupakan tahap proses adaptasi
perkembangan Thalassiosira sp. baik secara kimia maupun secara fisika. Tahapan
yang dilakukan dalam kultur Thalassiosira sp. pada skala semi massal memanfaatkan
sinar matahari langsung adalah sebagai berikut:
1. Wadah yang digunakan adalah Aquarium volume 100 liter yang telah dicuci
bersih. Sarana aerasi didesinfeksi kemudian air tawar. Selanjutnya aquarium
diisi air laut bersalinitas 25 ppt melalui filterbag ukuran 5 mikron. Kemudian air
media chlorin 60 ppm dan dialiri aerasi keras agar chlorin tersebar merata,
selanjutnya dibiarkan selama kurang lebih 24 jam, dan di netralkan dengan Na-
Thiosulfat dengan dosis 30 ppm.
2. Thalassiosira sp. sebagai bibit kultur disiapkan dengan kepadatan yang telah
ditentukan.
3. Selanjutnya media dalam wadah kultur diberikan pupuk pada wadah
pengamatan.
4. Stok bibit plankton.
5. Pengamatan kepadatan sel .
Kultur mikroalga skala laboratorium (indoor) memerlukan kondisi lingkungan
yang stabil, sehingga perlu dilengkapi dengan AC agar suhu ruangan selalu
terkendali dan ruangan terisolasi dengan lingkungan luar, selain itu ada beberapa
jenis mikroalga tumbuh lebih baik pada suhu yang relatif rendah. Sumber aerasi
(pengudaraan) digunakan Hi-blower tersendiri dan dilengkapi dengan saringan untuk
memperkecil terjadinya kontaminasi. Pupuk yang digunakan pada skala laboratorium
terbuat dari bahan kimia PA (pro analyse) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk
1 liter volume kultur. Jenis dan formula pupuk adalah yang sudah distandarkan dan
umum digunakan yaitu Walne, Conwy, Guilard, dan Rhyter modifikasi F. Hal ini
dimaksudkan agar pertumbuhan mikroalga optimal sehingga didapatkan bibit
(starter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya. Dalam kultur skala
laboratorium ada beberapa kegiatan yang umum dilakukan antara lain: sterilisasi alat;
bahan dan air media; isolasi mikroalga; kultur di media agar; kultur di media cair;
pembuatan pupuk; penghitungan mikroalga dan penyimpanan. Kultur skala semi
massal dimulai dari volume 30 liter hingga 100 liter dalam wadah aquarium. Air laut
salinitas 25 ppt dimasukkan ke dalam akuarium, selanjutnya dimasukkan inokulan
sekitar 1/10 bagian dari total volume budidaya. Inokulan berasal dari kultur skala
laboratorium. Pupuk yang digunakan sama dengan pupuk yang digunakan pada
kultur skala laboratorium dan diberikan sesuai dosis yang dibutuhan. Pencahayaan
hanya mengandalkan cahaya matahari pada siang hari. Pada keadaan tertentu di

142
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mana cahaya matahari kurang memadai, dapat menggunakan lampu TL atau sumber
cahaya lain yang sesuai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan dinamika pertumbuhan halassiosira sp. pada skala laboratorium


dapat terlihat dari peningkatan jumlah sel menggunakan mikroskop. Fase lag
Thalassiosira sp. diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Keadaan ini dapat
dilihat dari bentuk grafik yang menunjukan bahwa Thalassiosira sp. memiliki daya
adaptasi yang tinggi sehingga waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi terhadap
lingkungan terlihat singkat yaitu kurang dari 24 jam. Pada observasi ini
Thalassiosira sp. melewati fase lagnya hanya sebentar, bahkan cenderung menuju
fase eksponensial atau fase logaritmik yaitu fase dimana Thalassiosira sp.memiliki
laju pertumbuhan tetap. Sel bereproduksi dengan cepat sehingga pertumbuhan
populasi mencapai maksimal yaitu pada hari ketiga mencapai kepadatan sel 9.17 x
105 sel/ml dari populasi awal 4.93 x 105 sel/mL pertumbuhan Thalassiosira sp. ini
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Dinamika populasi Thalassiosira sp. pada skala laboratorium

Pada hari keempat hingga hari keenam terjadi fase kematian, dilanjutkan
dengan fase stationer pada hari kelima. Keberhasilan kultur ditandai dengan
pertumbuhan yang semakin meningkat dari kepadatan sel Thalassiosira sp. Hal
tersebut merupakan waktu generasi pertumbuhan Thalassiosira sp.
Berdasarkan pengamatan pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala semi
missal didapatkan fase pertumbuhan Thalassiosira sp. melewati fase adaptasi kurang
dari 1 hari, keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kemelimpahan awal (hari ke-0) yang
meningkat pada hari ke-1 namun jumlah kemelimpahan pada hari ke-1 tidak

143
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mencapai dua kali lipat pertumbuhan awalnya. Fase eksponensial dimulai pada hari
ke 2 sampai dengan hari ke delapan dengan puncak pertumbuhan sebesar 183.000
sel/mL ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan sel secara eksponensial. Fase
stasioner dan fase kematian tidak teramati karena dipindah ke skala massal. Grafik
pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala laboratorium dan skala semi massal dapat
dilihat pada gambar 2 dibawah ini
1000
Kepadatan sel (x103

800

600 L

400

200

0
1 2 3 4 5 6 7 8
Hari Ke-

Gambar 2. Fase pertumbuhan Thalassiosira sp. skala laboratorium dan skala semi
massal.

KESIMPULAN

Pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala semi massal menunjukkan hasil


yang cukup bagus, namun agak lambat dalam melewati proses eksponensialnya
apabila dibedakan dengan kondisi skala laboratorium.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak Sugeng Raharjo,
A.Pi. selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini,
kepada Koordinator Laboratorium pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi , Ibu Siska
Aprilliyanti, S.Pi, Bapak. Sugiono, dan Arif yang telah memberikan saran baik
dalam proses penelitian maupun dalam proses penyusunan laporan .

144
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Becker F, et al. (2004) A three-hybrid approach to scanning the proteome for targets
of small molecule kinase inhibitors. Chemical Biology 11(2):211-23.
Cahyaningsih, S. 2009. Standar Nasional Indonesia Pembenian Perikanan
(PakanAlami). Pelatihan MPM-CPIB Pembenihan Udang, 16-20 Juni
2009,Situbondo. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo
Costard,G.S., R. R. Machado., E. Barbarino., R. C. Martino., and S. O. Lourenço.
2012. Chemical composition of five marine microalgae that occur on the
Brazilian Coast.International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 4(9),
pp. 191-201
Isnansetyo, A. & Kurniastuty. (1995). Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme
Laut. Kanisius. Yogyakarta
Kiatmetha P., W. Siangdang, B. Bunnag, S. Senapin, and B. Withachumnarnkul.
2011. Enhancement of survival and metamorphosis of Penaeus monodon
larvae by feeding with the diatom Thalassiosira weissflogii. Aquaculture
International, Vol.19, Issue 4, pp 599-609.
Khojasteh, Z., R. Davoodi., R.G. Vaghei., H. Nooryazdan. 2017. Survival,
development and growth of whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei zoea fed
with microalgae (Chaetoceros and Tetracelmis) diets. World Journal of Fish
and Marine Sciences 5(5):553-555.
Lopez-Elias, G.A., F.Enriquez-Ocana., M.N. Pablos-Mitre., N. Huerta-Aldaz., S.
Leal., A. Miranda-Baeza., M. Nieves-Soto., and I. Vasquez-Salgado. 2008.
Growth and biomass production of Chaetoceros muelleri in mass outdoor
cultures: Effect of the hour of the inoculation, size of the inoculum and
culture medium. Rev.Invest.Mar.29(2):171-177.
Rodriguez, E.O., J.A. Lopez-Elias., E.A. Hinojosa., M.D.C. Garza-Aguirre., F. C.
Franco., A.K-Baeza and M. Nieves-Soto, 2012. Evaluation of the nutritional
quality of Chaetoceros muelleri and Isochrysis sp grown outdoors for the
larval development of Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Arch. Biol.Sci.,
Belgrade, 64(3), 963-970.
Setyaningsih, Iriani, Desniar, dan Purnamasari , Evi. 2012. Antimikroba dari
Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dengan penyinaran berbeda . Jurnal
Akuatika Volume III. No.2 IPB. Bogor.
Sorgeloos. P., Dhert P. & Candreva P. (2001). Use of Brine Shrimp, Artemia spp. in
Marine Fish Larviculture. Aquaculture.147-15

145
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PENGUMPULAN INOKULAN Thalassiosira sp.


DENGAN METODE PENGENDAPAN

Oleh: Ery Sutanti, Nur Cholifah, Dwi Joko Sulistyono

ABSTRAK

Thalassiosira sp sekarang ini menjadi pakan alami yang banyak dipergunakan pada
pembenihan udang putih vaname. Banyak keunggulan dari Thalassiosira sp bila
dibandingkan dengan pakan alami sebelumnya. Namun, ada kendala di dalam
pengangkutan bibit Thalassiosira sp pada skala masal. Karena pengangkutan
dilakukan dengan air media kulturnya. Hal ini yang kemudian mendorong untuk
dilakukan ujicoba pengumpulan sel untuk dapat mengifisienkan pengangkutan
Thalassiosira sp.
Sel Thalassiosira sp dikumpulkan dengan cara mematikan aerasi. Sel akan
mengendap sempurna di bagian dasar bak kultur selama 24 jam mematikan aerasinya
bila dibandingkan bila aerasi dimatikan selama 12 jam. Sel yang mengendap
kemudiannya di panen dengan cara membuang air media kultur di bagian atas. Sel
yang terkumpul selanjutnya dilakukan packing untuk pengangkutan. Kedalam
packing sel Thalassiosira sp tersebut kemudiannya ada yang di beri pupuk dan tanpa
diberi pupuk. Selanjutnya dilakukan pengangkutan selama 6 jam, 12 jam dan 24
jam. Sel dengan jam pengangkutan berbeda tersebut, dikultur ulang di skala lab
dengan volume 2 liter dan dipupuk dengan pupuk komposisi Walne. Pertumbuhan
sel dilakukan pengamatan secara harian hingga pada fase kematian.
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pengumpulan sel Thalassiosira sp dengan cara
mematikan aerasinya selama 24 jam memberikan jumlah sel yang terkumpul lebih
banyak. Sel Thalassiosira sp. yang terkumpul dapat dilakukan pengangkutan selama
6 – 12 jam dengan penambahan pupuk pada sel yang terkumpul dapat dikultur
kembali dengan pertumbuhan sel hingga puncak pertumbuhan pada hari ke-4.

Kata Kunci : Pengangkutan, Thalassiosira sp. pertumbuhan sel, benih vaname.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketersediaan pakan alami berupa fitoplankton dan zooplankton pada
berbagai stadia larva sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap kualitas benih
yang dihasilkan(Khojasteh, et al., 2013). Rodriguez et al., (2012) membuktikan
bahwa laju pertumbuhan dan komposisi proximat dari benih tergantung pada
komposisi biokimia dari pakan alami yang diberikan. Jenis pakan alami yang
digunakan disesuaikan dengan ukuran, kandungan nutrisi serta penyediaan kultur
massal. Hasil studi Preston et al., (1992) dengan mengamati hubungan
keberadaan larva dan kemelimpahan plankton di teluk Carpentaria, Australia
diketahui bahwa kemelipahan benih seiring dengan ketersediaan diatom di

146
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

perairan tersebut. Tiga jenis pakan alami dari kelompok diatom telah diujikan
pada larva merguiensis yaitu : Skeletonema, Chaetoceros dan Thalassiosira.
Skeletonema dan Chaetoceros sudah umum digunakan pada pemeliharaan
larva udang windu. Pada udang putih pakan alami uniceluler seperti Chaetoceros
umum digunakan (Hoang et al.,2002). Chaetoceros banyak digunakan oleh
karena laju pertumbuhan cepat dan dapat dikultur pada kondisi outdoor dengan
interval suhu dan cahaya yang lebar (Lopez-Elias et al., 2008). Dari segi nutrisi,
pakan alami Thalassiosira memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti jumlah
asam lemak tak jenuh (PUFA) hampir dua kali lipat dibandingkan dengan
Chaetoceros pada fase exponensial (Costard et al., 2012). Kiatmetha et al.,
(2011) melakukan kajian penggunaan pakan alami Chaetoceros dan Thalassiosira
pada pemeliharaan larva udang windu. Hasil kajian menunjukkan bahwa
penggunaan Thalassiosira atau kombinasi keduanya dihasilkan sintasan yang
singnifikan lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan Chaetoceros.
Penggunaan pakan alami, terutama Thalassiosira pada pemeliharaan larva
udang di berikan sekaligus dengan air media kulturnya sehingga dapat mengganggu
kestabilan lingkungan pemeliharaan larva. Demikian juga dengan pengangkutan
bibit Thalassiosira sp. dilakukan dengan air media kulturnya. Sehingga perlu
dilakukan kegiatan untuk dapat melakukan efisiensi di dalam pengangkutan
Thalassiosira sp.

Tujuan
Mendapatkan teknik pengangkutan Thalassiosira sp yang lebih efisien dengan
melakukan pengumpulan selnya.

METODE

Alat dan Bahan


Bahan yang dipergunakan antara lain : KNO3, Na2H2PO4, NaSiO3, FeCl3,
EDTA, Vitamin B-12, Bibit Thalassiosira sp, Chlorin, Air Laut.
Peralatan yang dipergunakan : Aquarium volume 80 liter, Bak fiber 1 m3,
sarana aerasi, kantong plastik panen, mikroskop, Sedgwick rafter cell, hand
refraktometer.

Tata Kerja
 Disiapkan air media di dalam wadah 1 m3 dengan cara air laut disterilkan dengan
chlorine konsentrasi 60 ppm dan diaerasi selama 24 jam. Selanjutnya dinetralisir
dengan natrium thiosulfat konsentrasi 30 ppm. Pemupukan dilakukan dengan
penambahan : KNO3 50 ppm, Na2H2PO4 15 ppm, NaSiO3 10 ppm, FeCl3 1 ppm,
EDTA 5 ppm dan Vitamin B-12.

147
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

 Ke dalam media ditambahkan bibit Thalassiosira sp murni volume 80 liter,


dengan tingkat kepadatan sel 4x105 s/d 5x105 sel /mL yang diambil dari
laboratorium skala semi masal.
 Kondisi perlakuan adalah menggunakan air bersalinitas 25 ppt dan intensitas
cahaya matahari yang masuk berkisar 3.000 lux (12 jam terang:12 jam gelap).
Pengadukan terhadap kultur dilakukan dengan memberi aerasi.
 Setelah kultur Thalassiora sp. mencapai pertumbuhan puncak (4 hari), dilakukan
pengumpulan sel dengan cara mematikan aerasi selama 12 dan 24 jam.
 Sel yang mengendap di dasar bak kultur kemudian dipisahkan dari air dengan cara
membuang air bagian atas, selanjutnya bagian endapan dikeluarkan melalui pipa
pembuangan dan ditampung di dalam ember volume 5 liter. Yang selanjutnya
disebut sebagai sel bibit.
 Perlakuan pengangkutan dilakukan dengan tiga kantong masing-masing berisi 1,5
liter bibit, untuk pengujian selama 6 jam, 12 jam dan 24 jam.
 Setelah pengangkutan sesuai waktu tersebut selesai, sel Thalassiosira sp. di kultur
kembali pada skala laboratorium menggunakan wadah volume 2 liter, dengan
pupuk Walne dan pencahayaan 24 jam serta suhu ruangan 25o C. Kultur kembali
sel Thalassiosira sp. pada durasi pengangkutan berbeda dilakukan pada 2 ulangan.
Selama kultur dilakukan pengamatan terhadap kepadatan sel Thalassiosira sp.
yang dilakukan setiap hari hingga pada fase kematian. Penghitungan sel dilakukan
untuk mendapatkan data pertumbuhan sel pada saat puncak kepadatan sel dan
durasi kultur yang dapat dicapai oleh Thalassiosira sp. dengan pengumpulan sel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan sel
Pengumpulan sel Thalassiosira sp. pada kultur volume 1 m3 dengan mematikan
aerasi selama 24 jam memberikan jumlah sel yang terpanen lebih banyak bila
dibandingkan pada 12 jam. Dimana dengan mematikan aerasi selama 24 jam sel
Thalassiosira sp. akan terkumpul secara sempurna di dasar bak, tanpa ada sel yang
masih melayang di media air kultur.

Pengangkutan
Pada pengangkutan selama 6 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira dengan
teknik pengumpulan sel mampu bertumbuh selnya hingga puncak kepadatan dihari ke
3 pupuk. Kepadatan sel puncak dengan diberi pupuk adalah 655.000 ± 95.459
sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa dipupuk puncak di hari ke-3 sebesar 725.000
sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 6 jam pengangkutan memberikan
pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk dengan durasi
yang berbeda.

148
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pada pengangkutan selama 12 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira sp


dengan teknik pengumpulan sel mampu bertumbuh selnya hingga puncak kepadatan
dihari ke 3. Baik pengangkutan sel Thalassiosira sp dengan pemberian pupuk dan
tanpa pemberian pupuk. Dengan kepadatan sel puncak dengan pemberian pupuk
sebesar 665.000 sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa pemberian pupuk sebesar
607.500 sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 12 jam pengangkutan
memberikan pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk
dengan durasi pertumbuhan yang sama.
Pada pengangkutan selama 24 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira sp
dengan teknik pengumpulan sel hanya mampu bertumbuh selnya hingga puncak
kepadatan dihari ke 2 dengan pengangkutan dengan diberi pupuk dan tanpa diberi
pupuk hanya bertumbuh baik satu hari. Kepadatan sel puncak dengan diberi pupuk
sebesar 572.500 sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa diberi pupuk sebesar 547.500
sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 24 jam pengangkutan
memberikan pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk
dengan durasi pertumbuhan yang sama.

700
Kepadatan sel Thalassiosira sp (x 103) sel/ml

600

500
6 Jam
400 12 Jam

300 24 Jam

200

100

0
1 2 3 4 5 6 7
Hari Ke-

Grafik . Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada pengangkutan 6 jam,12


jam dan 24 jam.

KESIMPULAN
Sel Thalassiosira sp. yang terkumpul dengan cara mematikan aerasi selama
24 jam adalah yang terbaik karena jumlah pengendapan yang sempurna. Sel
Thalassiosira sp. yang terkumpul dan dilakukan pengangkutan selama 6 hingga
24 jam masih dapat ditumbuhkan dengan hasil pertumbuhan yang baik dan dapat
bertahan antara 3-4 hari.

149
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

SARAN
Pengangkutan bibit Thalassiosira sp dengan teknik pengumpulan sel dapat
dilakukan untuk lebih mengefisienkan pengangkutannya tanpa media kultur.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diberikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi. selaku Kepala


Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini, kepada Koordinator Laboratorium
pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi telah membantu didalam penyusunan makalah ini.
Juga kepada teman-teman perekayasa Siska Apriliyani yang telah membantu di dalam
kegiatan yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Costard,G.S., R. R. Machado., E. Barbarino., R. C. Martino., and S. O. Lourenço.


2012. Chemical composition of five marine microalgae that occur on the
Brazilian coast.International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 4(9),
pp. 191-201
Hoang, T., S.Y. Lee., C.P. Keenan., G.E. Marsden. 2002. Ovarian maturation of the
banana prawn, Penaeus merguiensis de Man under different light intensity.
Aquaculture 208, 159-168]
Lopez-Elias, G.A., F.Enriquez-Ocana., M.N. Pablos-Mitre., N. Huerta-Aldaz., S.
Leal., A. Miranda-Baeza., M. Nieves-Soto., and I. Vasquez-Salgado. 2008.
Growth and biomass production of Chaetoceros muelleri in mass outdoor
cultures: Effect of the hour of the inoculation, size of the inoculum and
culture medium. Rev.Invest.Mar.29(2):171-177.
Kiatmetha P., W. Siangdang, B. Bunnag, S. Senapin, and B. Withachumnarnkul.
2011. Enhancement of survival and metamorphosis of Penaeus monodon
larvae by feeding with the diatom Thalassiosira weissflogii. Aquaculture
International, Vol.19, Issue 4, pp 599-609.
Khojasteh, Z., R. Davoodi., R.G. Vaghei., H. Nooryazdan. 2013. Survival,
development and growth of whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei zoea fed
with microalgae (Chaetoceros and Tetracelmis) diets. World Journal of Fish
and Marine Sciences 5(5):553-555.
Preston, N.P., M.A. Burford., F.E. Coman and P.C. Rothlisberg. 1992. Natural diet
of larval Penaeus merguiensis (Decapode: Penaidae) and its effect on survival.
Marine Biology 113,181-191.
Rodriguez, E.O., J.A. Lopez-Elias., E.A. Hinojosa., M.D.C. Garza-Aguirre., F. C.
Franco., A.K-Baeza and M. Nieves-Soto, 2012. Evaluation of the nutritional
quality of Chaetoceros muelleri and Isochrysis sp grown outdoors for the larval
development of Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Arch. Biol.Sci.,
Belgrade, 64(3), 963-970.

150
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PEMELIHARAAN C. vulgaris SKALA MASAL DENGAN


PENAMBAHAN LAMPU HALOGEN

Oleh : Dwi Joko Sulistiyono, Nur cholifah dan Ery Sutanti

ABSTRAK

Kebutuhan Chlorella sp. sebagai pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan
dibutuhkan dalam jumlah yang besar, maka diperlukan suatu kultur masal dengan
kepadatan yang tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Salah satu pakan alami yang
digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan adalah C. Vulgaris. Laju pertumbuhan
maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan bila berada dalam kondisi
ketersediaan cahaya yang rendah. Penambahan lampu pada kultur masal C. vulgaris
diharapkan dapat meningkatkan kepadatan selnya. Metode kultur ini ditambahkan 2
unit lampu halogen masing-masing 150 watt selama 24 jam yang ditempatkan 50 cm
di atas permukaan air pada bak berukuran 2x8x1 m3. Pengukuran intensitas cahaya
dilakukan 2 kali sehari pada jam 11,00 dan 19.00 selama pemeliharaan dengan
menggunakan lux meter. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan
kepadatan populasi C.vulgaris dengan penambahan lampu selama 24
jam.Penambahan lampu pada kultur C. vulgaris meningkatkan kepadatan kultur
hingga 2 kali lipat, dan waktu kultur 2 hari lebih lama. Penambahan lampu.
kepadatan sel mencapai 5,63 x 106 sel/mL, sedangkan tanpa penambahan lampu
kepadatan selnya mencapai 3,09 x 106 sel/ml.

Kata Kunci : C. vulgaris, kultur masal, penambahan lampu

PENDAHULUAN

Kebutuhan Chlorella sebagai pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan


dibutuhkan dalam jumlah yang besar, maka diperlukan suatu kultur masal dengan
kepadatan yang tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Selain untuk mendapatkan
kemelimpahan sel yang tinggi, maka dalam kultur masal diharapkan pula
memperoleh kandungan nutrisi yang maksimal. Chlorella merupakan mikroalga yang
termasuk dalam kelas alga hijau atau Chlorophycea. Ukuran diameter selnya berkisar
antara 4 – 9 mikron.
Pertumbuhan suatu jenis fitoplanton atau mikroalga sangat erat kaitannya
dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga
terutama adalah cahaya dan kandungan CO2 bebas. Parameter lain yang juga
berperan adalah temperatur, pH, dan salinitas (Sylvester et al., 2002).
Edy (2003) menyatakan bahwa kemelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh
intensitas cahaya. Cahaya digunakan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. laju

151
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

fotosintesis akan meningkat bila intensitas cahaya meningkat dan menurun bila
intensitas cahaya berkurang, sehingga cahaya berperan sebagai faktor pembatas
utama dalam fotosintesis atau produktvitas primer (Facta, M dkk., 2003). Kepadatan
sel yang di capai dalam kultur masal C. vulgaris hanya mampu berkisar 6 x 104
sel/ml pada intensitas cahaya 33.000 lux selama kurang lebih 12 jam. Sedangkan
pada skala laboratorium C. vulgaris kepadatan selnya mencapai 200 x 106 sel/ml
dengan intensitas cahaya 4.000 lux selam 24 jam. Tujuan dari kegiatan ini adalah
untuk meningkatkan kepadatan populasi C.vulgaris dengan penambahan lampu
halogen selama 24 jam.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Langkah-langkah untuk kultur masal C.vulgaris dengan penambahan lampu
adalah sebagai berikut;

Persiapan Media Kultur


Wadah yang digunakan bak beton yang berukuran 8 x 2 x 1 meter diisi air
sebanyak 10 m3 . Pembersihan bak kultur di mulai dengan membasahi seluruh
permukaan bak (dasar dan dinding) menggunakan air tawar, kemudian menyikat bak
kultur, pipa aerasi dan pipa outlet hingga bersih. Pada saat menyikat bak kultur,
dengan air yang mengalir dari inlet agar kotoran langsung keluar.
Setelah bak selesai dicuci selanjutnya dilakukan strelisasi dengan cara melarutkan
500 mL chlorin (NaOCl2) dengan air tawar sebanyak 10 L. Larutan tersebut
disiramkan ke seluruh permukaan bak kultur, pipa aerasi, pemberat pipa aerasi serta
pipa outlet dan dibiarkan selama 24 jam hingga bak siap digunakan.
Bak yang sudah siap diisi air laut bersalinitas 35 ppt hingga ketinggian 0,65
meter, kemudian dilakukan treatment menggunakan chlorin 50 ppm dan di aerasi
selama 24 jam, dinetralkan menggunakan Natrium thiosulfat 10 ppm.

Persiapan lampu
Lampu yang digunakan adalah lampu halogen 150 watt sebanyak dua buah
yang diletakkan diatas bak dengan jarak 50 cm dari permukaan air. lampu
dinyalakan selama 24 jam.

Pemupukan
Jenis dan komposisi pupuk yang digunakan sesuai dengan Tabel 1. Pupuk
selain FeCl3 dilarutkan menggunakan air media kultur, kemudian dimasukkan ke
dalam bak kultur tepat diatas aerasi dengan cara disaring, selanjutnya FeCl3
disebarkan di media kultur.

152
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 1. Komposisi pupuk untuk kultur C. vulgaris setiap 1.000 L


No Jenis pupuk Jumlah (g)
1 Urea 70
2 ZA 40
3 TSP 40
4 EDTA 5
5 FeCl3 1

Pengukuran Intensitas Cahaya


Pengukuran ini digunakan alat lux meter type extech sehari dua kali pada jam
11.00 dan 19.00. Posisi pengukuran intensitas cahaya 10 cm di atas permukaan
air selama masa kultur.

Perhitungan Kepadatan Sel


Pengamatan terhadap kepadatan C. vulgaris dilakukan setiap hari pada saat
pagi hari jam 8. Perhitungan kemelimpahan sel dilakukan menggunakan
haemocytometer.Volume setiap kotak pada haemocytometer adalah 0,1 mm3
(0,00001 mL). Perhitungan kemelimpahan sel dilakukan dengan mengambil air
kultur menggunakan pipet tetes dan diletakkan pada haemocytometer yang sudah
ditutup menggunakan cover glass. Haemocytometer yang telah berisi sampel
tersebut diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali sebanyak 3 kali
pengamatan dan dilakukan perhitungan sel dengan bantuan hand tally counter.
Cara menghitung jumlah sel yang terdapat dalam sebuah kotak misalnya N
sel, yang berarti dalam 0,1 mm3 terdapat N sel. Jadi dalam 1 mL jumlah selnya
adalah 10.000 x N sel (Ekawati, 2005). Selanjutnya jumlah sel (N) C. vulgaris
dalam kotak-kotak haemocytometer dihitung kemelimpahannya dengan rumus:

Setelah dihitung kepadatan sel yang akan digunakan dan dikonversi ke dalam volume
media sesuai dengan yang diinginkan maka inokulan yang terbaik di tebar dengan
kisaran antara 1 – 2 juta sel/mL.

153
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran intensitas cahaya pada pengamatan kultur C. vulgaris seperti


pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan intensitas cahaya selama kultur
Perlakuan Hari Ke Siang hari Malam hari
Tanpa Lampu 1 10.145 0
2 15.310 0
3 11.495 0
4 10.140 0
5 9.450 0
6 9.460 0
Lampu 1 14.641 27.000
2 16.675 28.000
3 18.634 27.500
4 18.844 28.500
5 15.367 28.000
6 14.839 26.000

Cahaya mempunyai pengaruh terhadap proses fotosíntesis. Kurangnya


intensitas cahaya akan menyebabkan proses fotosíntesis tidak berlangsung normal
sehingga mengganggu biosíntesis sel selanjutnya. Energi yang diberikan oleh cahaya
bergantung pada intensitas cahaya, dan lamanya pencahayaan. (Agung, et al, 2014).
Kemampuan C. vulgaris melakukan fotosintesis seperti layaknya semua tumbuhan,
membutuhkan cahaya matahari sebagai sumber energi. Cahaya yang diperlukan
masing–masing alga berbeda. Penambahan lampu diperoleh hasil peningkatan
jumlah sel dan waktu pemeliharaan lebih lama (Gambar 1).
Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1986), kecepatan proses fotosintesa
mencapai maksimal pada intensitas penyinaran 16.140 - 86.000 lux. selain itu
intensitas cahaya yang dibutuhkan Chlorella sp. untuk tumbuh dan berkembang
memerlukan intensitas cahaya yang tinggi dengan suhu yang tinggi pula (Kawaroe,
dkk, 2010).

154
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

600

500
Kepadatan sel x 10 4(sel/ml)

400
Tanpa lampu

300

Penambahan
200 lampu

100

0
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hari ke-
Gambar 1. Grafik pertumbuhan C. vulgaris pada masing – masing perlakuan

Pada perlakuan tanpa lampu, sel bereproduksi dengan cepat sehingga


pertumbuhan populasi mencapai maksimal yaitu pada hari kedua mencapai
kepadatan sel 309 x 104 sel/mL dari populasi awal 100 x 106 sel/mL. Sedangkan pada
perlakuan dengan penambahan lampu, pertumbuhan populasi mencapai maksimal
pada hari ke 4 dengan jumlah populasi 563 x 104 sel/mL.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Penambahan lampu pada kultur C. vulgaris meningkatkan kepadatan kultur
hingga 2 kali lipat, dan waktu kultur 2 hari lebih lama.

Saran
Perlu dilakukan pengujian durasi pencahayaan dalam kultur C. vulgaris.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak Sugeng


Raharjo,A.Pi. selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini,
kepada Koordinator Laboratorium pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi , Ibu Siska
Aprilliyanti, Bp. Sugiono, dan Mas Arif yang telah memberikan saran baik dalam
proses penelitian maupun dalam proses penyusunan laporan .

155
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Agung, G.I., Lutfi, M., Nugroho, W.A., 2014. Pengaruh Penambahan Cahaya di
Malam Hari Terhadap Pertumbuhan Chlorella sp pada Instalasi
Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Prosiding Keteknikan Pertanian
Tropis dan Biosistem Volume 2 Halaman. 287–296.
Amini, S., Syamdidi, 2006. Konsentrasi Unsur Hara pada Media dan Pertumbuhan C.
vulgaris dengan Pupuk Anorganik Teknis dan Analis. Jurnal Perikanan
Volume VIII Nomor (2), Halaman. 201–206.
Boyd, C.E., 2003a. Bottom Soil and Water Quality Management in Shrimp Ponds.
Jurnal Application Aquatic Nomor 13,page. 11–33.
Edhy, W.A., P. Januar, dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT.Central
Pertiwi Bahari. Laboratorium Central Department, Aquaculture Division
PT. Central Pertiwi Bahari. Tulang Bawang.
Ekawati, A.W. 2005. Diktat Kuliah : Budidaya Makanan Alami. Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Malang. 101 hlm.
Facta. M, Zainuri.M, Sudjadi,M dan Sakti.E.P.2006. Pengaruh Pengaturan Intensitas
Cahaya yang Berbeda Terhadap Kelimpahan Dunaliella sp. dan Oksigen
Terlarut dengan Simulator TRIAC dan Mikrokontroller. Jurnal Ilmu
Kelautan Vol. 11 (2) :Hal 67 – 71
Kawaroe, M., Pratono, T., Sunuddin, A., Wulan.D., Agustine.D., 2010. Mikroalga
Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. IPB.Press
Sylvester et al. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton. Budidaya Fitoplankton dan
Zooplankton. Prosiding Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai
Budidaya Laut Lampung. 24-36 hlm.

156
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI PAKAN IKAN APUNG UNTUK


BUDIDAYA IKAN LELE

Oleh : Peni Dwi Soesanti, Puswati dan Aris Supramono

ABSTRAK
Minat masyarakat terhadap budidaya ikan lele semakin besar, terutama sejak
diperkenalkannya teknologi budidaya ikan lele dengan kepadatan tinggi sistem
bioflok. Meningkatnya minat dalam budidaya lele ini perlu diimbangi dengan
tersedianya pakan berkualiatas baik dalam jumlah yang mencukupi. Pada kegiatan ini
dilakukan pembuatan pakan ikan lele, berupa pelet dengan kadar protein 30% dari
bahan baku lokal dan mempunyai sifat terapung. Tujuan dari pembuatan pakan ini
adalah untuk menyediakan pakan berkualitas sesuai kebutuhan nutrisi lele dan
mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan, kelulushidupan serta FCR. Pengujian
pakan dilakukan pada beberapa pembudidaya di kawasan kabupaten Jepara, Jawa
Tengah dan Universitas Diponegoro, pada bulan Januari sampai Maret 2017. Hasil
pengujian didapatkan bahwa dari parameter fisik, pelet yang diproduksi mampu
mengapung selama ± 180 menit. Pengamatan terhadap parameter lain didapatkan
pertumbuhan selama masa pemeliharaan 60 hari diperoleh berat akhir sebesar 83-
100gr, SR 90% dan FCR 0,7-0,87.

Kata Kunci : pelet, apung, ikan lele

PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan potensi perikanan di Indonesia


terus dikembangkan dalam rangka untuk mendukung peningkatan ketahanan pangan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berusaha meningkatkan ketersediaan
pangan dalam negeri, melalui penyediaan ikan konsumsi masyarakat. Upaya untuk
mencapai peningkatan target tersebut salah satunya adalah pengembangan budidaya
perikanan air tawar.
Menurut KKP (2013) salah satu komoditas perikanan air tawar yang dipacu
untuk meningkat setiap tahunnya adalah produksi ikan lele dumbo (Clarias sp.).
Selama kurun waktu dari tahun 2010 sampai tahun 2014 target produksi ikan lele
yang ditetapkan KKP meningkat rata-rata 35,05% setiap tahunnya.
Kendala utama yang dihadapi dalam usaha produksi ikan lele adalah pada
biaya pakan. Menurut Mahyuddin (2008) lebih dari 50% biaya produksi pada
pembesaran ikan lele adalah biaya untuk pembelian pakan. Untuk memenuhi
kebutuhan pakan ikan, sebagian besar pembudidaya ikan mengandalkan pada pakan
pabrikan yang terus meningkat seiring meningkatnya harga bahan baku pakan.
Dengan meningkatnya harga pakan ikan pabrikan tanpa diimbangi kenaikan harga
ikan menyebabkan pembudidaya mengalami kerugian.

157
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara melalui


Laboratorium Pakan Buatan mencoba membuat pakan apung untuk ikan lele. Pakan
tersebut diujikan langsung kepada pembudidaya ikan lele di kawasan Kabupaten
Jepara Jawa Tengah dan Universitas Diponegoro.
Tujuan dari kegiatan ini adalah produksi pakan apung untuk pakan lele dan
mengetahui pengaruh pemberian pakan terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan,
FCR dan kualitas air media budidaya ikan lele.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan meliputi: tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung
tapioka, tepung pollard, minyak nabati, dan air.
Alat yang digunakan meliputi: timbangan, mesin penepung, mixer (pengaduk
pakan), mesin pencetak pelet (extruder), baskom, ember, gayung plastik, terpal,
plastic innert, dan sak kap 30 kg.

Tata Kerja
Adapun tata cara dalam pembuatan pakan adalah sebagai berikut:
01. Penepungan
Penepungan bertujuan untuk menghasilkan tepung dengan ukuran butiran
antara 250-500µm.
1. Penimbangan
Proses penimbangan dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku yang
akan digunakan dengan tepat.
2. Pencampuran
Pencampuran semua bahan baku dilakukan dengan menggunakan mixer
secara bertahap, setiap kali pencampuran sebanyak 40 kilogram sesuai
kapasitas mixer. Penambahan air pada bahan baku dilakukan dengan dua
tahap yaitu pada awal dan pertengahan proses pengadukan. Pencampuran
bahan berlangsung selama 3-5 menit.
3. Pencetakan
Pencetakan menggunakan mesin pencetak pelet extruder. Mesin ini
menghasilkan pakan apung langsung setengah kering dengan bentuk butiran
sesuai diet yang dikehendaki. Rangkaian mesin menjadi satu
berkesinambungan yaitu dari pengadukan bahan selanjutnya dimasukkan ke
mesin pencetak. Bentuk butiran yang keluar harus dipisahkan satu dengan
lainnya dengan cara diuyek dengan tangan, selanjutnya butiran pelet
mengikuti laju mesin berjalan menuju ke mesin pengering. Pelet yang keluar
dari mesin ini sudah dalam bentuk kering. Pelet yang terbentuk ditampung
dalam ember, kemudian dituang ke gelaran terpal untuk pendinginan,

158
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

selanjutnya setelah dingin baru dilakukan pengepakan. Pengeringan pakan


yang keluar dari mesin extruder sampai mencapai kadar air <10 persen.
4. Pelapisan/Couting
Pelapisan pakan dilakukan setelah proses pencetakan dan pendingan pelet.
Adapun cara pelapisan adalah sebagai berikut, pelet dituang dalam mesin
couting lalu disemprot dengan minyak nabati yang telah dipanaskan pada
temperatur 60°C.
5. Pengepakan
Pengepakan dilakukan pada tempat yang kering dan bersih serta tertutup
rapat, dengan tujuan agar pakan tidak mudah terkontaminasi yang akan
menyebabkan pakan cepat rusak. Pelet ditimbang dengan kapasitas 30 kg/sak
yang sebelumnya dilapisi plastic inner, kemudian dijahit.
6. Penyimpanan
Setelah dilakukan pengepakan, disimpan di tempat yang kering sejuk dan
tidak terkena sinar matahari secara langsung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pakan yang dibuat setelah dilakukan pengujian secara laboratoris mempunyai


kadar protein 31,65%, Lemak 3,08%, Abu 11,7%, Serat 1,5% dan BETN 45,76%
(Tabel 3). Kadar protein sebesar 31,65% tersebut cukup baik dalam mensuplai
kebutuhan nutrisi ikan lele. Hal ini sesuai dengan pendapat Lovell (1989) yang
menyatakan protein optimum bagi benih Channel catfish berkisar 25 - 36%. Hasil
penelitian Aryansyah et al., (2007), menyatakan bahwa ikan lele ukuran juvenil
dapat tumbuh baik dengan pemberian pakan buatan yang mengandung protein kasar
± 30%, lemak kasar ± 5%, BETN ± 48%, kromium 2,6 mg/kg pakan dan energi
dalam pakan sebesar ± 270 kkal/gram. Pengujian daya apung, dilakukan dengan cara
memasukkan pelet ke dalam air, waktu yang diperlukan mulai saat pelet menyentuh
permukaan air sampai tenggelam didasar, adalah merupakan ukuran daya apungnya.
Hasil tes menunjukkan bahwa pelet produksi BBPBAP mampu mengapung ± 180
menit. Pengujian daya tahan dalam air, dilakukan dengan merendam pelet dalam air.
Waktu yang diperlukan sampai saat pelet hancur merupakan ukuran daya tahan pelet.

Gambar 1. Uji fisik, daya apung dan ketahanan dalam air

159
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel.3. Analisa Proximat terhadap pelet yang diproduksi di BBPBAP Jepara


Bahan Protein Lemak Abu Serat BETN
Pelet ikan Lele 31,65 3,08 11,7 1,5 45,76

Gambar 2. Budidaya Lele di masyarakat yang menggunakn pelet produksi BBPBAP


Jepara
Hasil pengujian pada budidaya lele di masyarakat yang menggunakan pelet
produksi BBPBAP Jepara didapatkan sintasan sebesar 90,77% dan berat akhir
berkisar antara 83-100 g/ekor. Tingginya nilai sintasan ikan lele yang
dibudidayakan menandakan bahwa pakan yang diberikan memiliki kualitas yang
baik.
Tabel 4. Hasil produksi pakan dan pengujianya tertera pada tabel berikut ini:
Berat
Jumlah
Nama Kelulushidupan Pakan rata- Umur
tebar Biomas FCR
Pembudidaya (%) (kg) rata (hari)
(ekor)
(g)
83-
Undip A 3300 90 140 167 0,875 60
100
Undip B 3500 90,77 110 151 0,7 83 60

Hasil pengujian pakan, diperoleh FCR antara 0,7-0,87. Rendahnya nilai FCR,
menunjukkan pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan dan diserap tubuh dengan
baik untuk pertumbuhan. Nilai FCR yang baik disebabkan nutirsi yang terkandung
di dalam pakan dimanfaatkan secara optimal oleh tubuh dan tidak banyak yang
terbuang sebagai kotoran. Handajani dan Widodo (2010) menyatakan bahwa nilai
rasio konversi pakan pada budidaya dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas
pakan. Pengamatan kualitas air selama masa pemeliharaan pada pengujian pakan
diperoleh nilai cukup baik untuk mendukung pertumbuhan, meliputi; DO yang
berkisar 3,0-4,5 mg/L, pH berkisar antara 7-8, dan temperatur berkisar antara 27-31
°C.

160
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN
Pakan apung berupa pelet untuk ikan lele produksi BBPBAP Jepara memiliki
standar kualitas yang baik anatara lain daya apung ± 180 menit, dan memberikan
sintasan lebih besar dari 90% , dan FCR antara 0,7-0,87 dengan masa pemeliharaan
60 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Bapak Dr.Ir. Fairus
Maisoni M.Si selaku kepala Program Lab. Pakan Buatan; Bapak Iwan Sumantri, S.Pi
selaku Koordinator Kegiatan Lab. Pakan Buatan, Bapak Damang Suryanto,S.St.Pi
dan teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia R., Subandiono, dan E. Arini. 2013. Pengaruh Penggunaan Papain Terhadap
Tingkat Pemanfaatan Protein Pakan Dan Pertumbuhan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(1): 136-
143
Aryansyah H., I. Mokoginta, D. Jusadi. 2007. Kinerja Pertumbuhan Juvenil Ikan
Lele Dumbo (Clarias sp.) yang diberi Pakan Dengan Kandungan Kromium
Berbeda. J. Akuakultur Indonesia. 6(2): 171-176
Boyd, E.C. 2004. Farm Level IssuesinAquacultureCertification. The Haworth Press:
New York. 29 pp.
Chuapoehuk, W. 1987. Protein requirement of walking catfish, Clarias batrachus
(Linnaeus) fry. Aquaculture, 63 : 215-219.
Handajani. 2011. Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan
untuk meningkatkan produktifitas ikan nila gift. Jurnal Akuakltur Indonesia.12
(2) : 177-181.
Handajani, H dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press: Malang. 271 hlm.
Houlihan, D., T. Boujarddan M. Jobling. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell
Science, Oxford, UK, pp. 827 p.
Lovell, R.T. 1989. Nutrition and feeding of fish. New York Van Nostrand Reinhold,
260 p.
Mahyuddin, K. 2008. Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. 165 hlm.
Mulyadi., U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem resirkulasi dengan menggunakan
filter yang berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis sp.).
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2 (2) : 117-124.
NRC (National Reaseach Counsil). 1993. Nutrient Requirement of Fish. National
Academy Press: Washington D.C. 124pp.
KKP. 2013. Statistik Menakar Target Ikan Air Tawar Tahun 2013.
http://www.djpb.kkp.go.id. Diakses tanggal 22 Januari 2014.

161
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI PAKAN MANDIRI UNTUK BUDIDAYA IKAN NILA

Oleh : Aris Supramono, Suparjono dan Iwan Aris Setiawan

ABSTRAK

Minat masyarakat terhadap budidaya ikan Nila di Indonesia semakin besar yakni
sejak ikan Nila dapat dibudidayakan pada perairan payau atau yang sering disebut
dengan budidaya ikan nila salin. Banyaknya pembudidaya ikan nila salin tentunya
perlu disediakan pakan yang berkualitas. Pada kegiatan ini dibuat pakan dengan
kadar protein min 30%. Jenis pakan yang dibuat adalah pakan apung. Tujuan dari
pembuatan pakan ini adalah untuk menyediakan pakan berkualitas sesuai kebutuhan
nutrisi ikan nila. Pakan tersebut setelah jadi diujikan langsung pada beberapa
pembudidaya di kawasan kabupaten Pati Jawa Tengah. Kegiatan pengujian ini
dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2017. Hasil pengujian menunjukkan
pertumbuhan akhir sebesar 200-250gr, SR 60% dan FCR 0,9-1 dengan masa
pemeliharaan 90-120 hari. Sedangkan untuk kualitas air yang meliputi DO (2,1-3,5),
p H (7-8), Salinitas 15-25 ppt, dan suhu (27-31 C).

Kata Kunci : Pakan mandiri, nila

PENDAHULUAN

Ikan nila merupakan komoditas unggulan urutan ketiga dengan pencapaian


produksi dari tahun 2010 sebesar 464.191 ton meningkat menjadi 912,613 ton pada
tahun 2014 dengan persentase peningkatan sebesar 19,03% (KKP, 2014).
Peningkatan produksi di dalam usaha budidaya dapat dicapai dengan cara
mengoptimalkan kondisi lingkungan, penggunaan padat tebar yang sesuai dengan
daya dukung lahan, kualitas benih yang baik dan pemberian pakan yang berkualitas
yang sesuai dengan kebutuhan biota yang dibudidayakan (Houlihan et al., 2001).
Ikan nila (Oreochromis sp.) merupakan ikan air tawar yang termasuk ke dalam famili
Cichlidae dan merupakan ikan yang diintroduksi dari habitat asalnya yaitu Afrika.
Ikan nila memiliki sifat-sifat yang baik yaitu pertumbuhannya relatif cepat dan
efisiensi terhahadap pakan baik (Boyd, 2004). Ikan ini berasal dari Afrika bagian
timur di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya lalu dibawa ke
Eropa, Amerika, Negara-negara Timur Tengah dan Asia. Bibit ikan nila secara resmi
didatangkan ke Indonesia dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar
(sekarang: Balai Riset Perikanan Air Tawar) Bogor pada tahun 1969 (Suyanto,
2010).

162
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Peningkatan produksi ikan nila perlu didukung dengan ketersediaan pakan


yang berkualitas dan harga terjangkau. Ikan nila membutuhkan kandungan nutrisi
pakan yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya dengan kadar protein yang optimal
untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara 28-50% (Webster dan Lim, 2002).
Selain protein, kandungan energi pakan juga perlu diperhatikan. Energi untuk
pemeliharaan tubuh dan aktivitas lain harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum energi
untuk pertumbuhan. Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung
kepada kompleksitas karbohidrat (Furuichi, 1988).
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara melalui
Laboratorium Pakan Buatan mencoba membuat pakan mandiri untuk ikan Nila Salin.
Pakan tersebut diujikan langsung kepada pembudidaya ikan nila salin di kawasan
Kabupaten Jawa Tengah. Adapun tujuannya adalah menyediakan pakan berkualitas
dengan harga murah dan pengujian langsung pada pembudidaya untuk
mendapatkan data yang sebenarnya di lapangan

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan meliputi: tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung
tapioka, tepung pollard, minyak nabati, dan air.
Alat yang digunakan meliputi: timbangan digital, mesin penepung, mixer
(pengaduk pakan), mesin pencetak pellet (extruder), baskom, ember, gayung plastik,
terpal, plastik inner, dan karung sak 30 kg.

Tata Kerja
Proses pembuatan pakan mandiri sebagai berikut:
1. Penepungan
Penepungan dengan menggunakan mesin penepung untuk
menghasilkan tepung yang berkualitas dengan butiran yang sangat halus
(250-500 mikron).
2. Penimbangan
Proses penimbangan dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku
yang akan digunakan dengan tepat.
3. Pencampuran
Pencampuran dalam mixer dilakukan secara bertahap 40 kg sesuai
kapasitas mixer. Penambahan air pada bahan baku dilakukan dengan dua
tahap yaitu pada awal dan pertengahan proses pengadukan. Pencampuran
bahan ditempuh dalam waktu 3-5 menit.
4. Pencetakan
Pencetakan menggunakan mesin pencetak pellet extruder. Mesin ini
menghasilkan pakan apung langsung setengah kering dengan bentuk

163
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

butiran sesuai diet yang dikehendaki. Rangkaian mesin menjadi satu


berkesinambungan yaitu dari pengadukan bahan selanjutnya dimasukkan
ke mesin pencetak. Bentuk butiran yang keluar harus dipisahkan satu
dengan lainnya dengan cara diaduk dengan tangan selanjutnya butiran
pellet mengikuti laju mesin berjalan menuju ke mesin pengering. Pellet
yang keluar dari mesin pengering ditampung dalam ember kemudian
dituang ke hamparan karpet untuk pendinginan. Pengeringan pakan yang
keluar dari mesin extruder sampai mencapai kadar air <10 persen. Setelah
pellet dingin selanjutnya dilakukan pengepakan.
5. Pelapisan/couting
Pelapisan pada pakan dilakukan setelah proses pencetakan dan
pendingan pellet. Cara pelapisan pakan sebagai berikut, pellet di tuang
dalam mesin couting lalu disemprot dengan minyak nabati yang telah
dipanaskan dengan suhu 60 °C.
6. Pengepakan/Packing
Pengepakan dilakukan pada tempat yang kering dan bersih serta
tertutup rapat, dengan tujuan agar pakan tidak mudah terkontaminasi yang
akan menyebabkan kerusakan kualitas pakan. Pada proses pengepakan,
pellet ditimbang 30 kg/ sak yang dilapisi plastic inner kemudian dijahit.
7. Penyimpanan
Setelah dipaking, pakan disimpan di tempat yang kering dan sejuk
serta tidak terkena sinar matahari langsung.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil
Pakan yang dihasilkan telah dianalisis di laboratorium fisika kimia dan residu
BBPBAP Jepara dengan hasil seperti Tabel 1. Pakan ikan nila yang telah dibuat
sebanyak 2.590 kg selanjutnya di distribusikan ke pembudidaya di beberapa wilayah
pokdakan (Tabel 2).
Tabel.1. Kandungan Nutrisi pellet ikan Nila Salin
Bahan Protein Lemak Abu Serat BETN
Pellet ikan Nila 31,65 3,08 11,7 1,5 45,76

164
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gambar 1. Proses penimbangan bahan baku, pengadukan dan pencetakan pakan

Gambar 2. Proses pengotingan, penimbangan dan pengepakan pakan.

165
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Hasil produksi pakan dan pengujianya tertera pada tabel berikut ini:
Berat
Jumlah
Nama Pakan rata- Umur
tebar Kelulushidupan Biomas FCR
Petambak (kg) rata (hari)
(ekor)
(gr)
Suprianto 11.000 60 1.650 1.650 1 250 90
Jais 5.000 60 700 700 1 200 90
Taun 2.200 60 240 260 0,9 200 90

KESIMPULAN
Dari kegiatan ini diperoleh produksi pakan nila sebanyak 2.590 kg dan di
distribusikan beberapa kelompok pokdakan nila wilayah Pati, dan Jepara.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Dr. Ir. Fairus
Maisoni, M.Si selaku Satgas Lab. Pakan Buatan; Bapak Iwan Sumantri, S.Pi selaku
Koordinator Kegiatan Lab. Pakan Buatan dan teman-teman atas dukungan dan
bimbingannya yang diberikan dalam penulisan makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, E.C. 2004. Farm Level IssuesinAquacultureCertification. The Haworth Press:


New York. 29 pp.
Handajani. 2011. Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan
untuk meningkatkan produktifitas ikan nila gift. Jurnal Akuakltur
Indonesia.12 (2) : 177-181.
Handajani, H dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press: Malang. 271 hlm.
Houlihan, D., T. Boujarddan M. Jobling. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell
Science, Oxford, UK, pp. 827 p.
Mulyadi., U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem resirkulasi dengan menggunakan
filter yang berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis sp.).
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2 (2) : 117-124.
NRC (National Reaseach Counsil). 1993. Nutrient Requirement of Fish. National
Academy Press: Washington D.C. 124pp.
KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). 2014. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka 2014. Kementrian Kelautan dan Perikanan. DJPB: Jakarta. 212 hlm.
Webster, C.D. and Lim C. 2002. NutrientRequirementsandFeeding of Finfish for
Aquaculture.The Haworth Press: New York. 364pp.

166
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

You might also like