Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode paling
sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA hingga sekarang. Prinsip
kerja qPCR adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi berdasarkan keberadaan
Reporter Fluorescens. Sinyal Fluorescens akan meningkat seiring dengan
bertambahnya produk PCR (amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon
yang signifikan pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen
target. Makin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin
cepat terjadi. Tujuan dari kegiatan ini untuk menetukan ekspresi gen PmVRP15
melalui real time PCR. Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan melalui real time PCR
(qPCR) dengan metode comparative CT, yaitu dengan menggunakan rumus
matematis untuk menghitung perbedaan tingkat ekspresi pada gen target. Analisis
melt curve pada amplifikasi gen target dan β-aktin dari data yang digunakan
dalam perhitungan ekspresi gen melalui comparative CT juga menunjukkan single
peak dengan kisaran Tm 83-84 oC yang mengindikasikan bahwa amplifikasi target
telah spesifik. Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu
qPCR dapat digunakan untuk penentuan ekspresi gen
PENDAHULUAN
1
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
2
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
(Promega, USA), dan dNTP mix 10mM (Promega, USA), DNase I recombinant
RNase-free 1U/μl (Invitrogen, USA), KAPA SYBR FAST qPCR Kit Master Mix
(2X) ABI Prism (KAPA Biosystems, USA), primer PmVRP15-RTF/R (amplikon
231 bp), dan primer β-aktin F/R (amplikon 124 bp)
Alat yang digunakan meliputi : dissecting set, pellet pestle, mikrotube,
mikropipet dan tips, refrigerated centrifuge (Eppendorf), heating block, ice-block,
mikrosentrifus (Sansio), vortexer (Thermolyne), PCR tubes, thermal cycler (Applied
Biosystems), 96-well-plate (Applied Biosystems), optical strips, microwave, tangki
elektroforesis, UV transiluminator, power supply, syringe 1 ml 27G x 13 mm
(Terumo), spektrofotometer NanoDrop 2000 (Thermoscientific), 7500 Fast Real-
time PCR System (Applied Biosystems)
Tata Kerja
Pengambilan Hemolimfe
Pada kegiatan ini sampel berupa hemolimfe (200 µL) yang akan diambil
dari bagian sinus ventral pada segmen abdomen kedua pada P. monodon dengan
menggunakan syringe 1 ml yang berisi 0,2 ml larutan antikoagulan sodium sitrat
10%. Pengambilan hemolimfe dilakukan per individu kemudian disimpan dalam
mikrotube dalam ice-box.
3
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Sintesis cDNA
Proses transkripsi balik dilakukan dengan pembuatan reverse transcription
mix dengan komposisi pada Tabel 1:
Tabel 1. Reverse transcription mix (modifikasi Schmittgen & Livak, 2008; Farell,
2005)
4
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tabel 2. Komponen master mix untuk qPCR (modifikasi KAPA Biosystems, 2013)
Analisis data
Nilai CT dipindahkan dari software ABI 7500 ke Microsoft Excel untuk
menghitung tingkat ekspresi relatif dengan menggunakan rumus R (Schmittgen &
Livak, 2008; Pfaffl, 2004; Wong & Medrano, 2005). Nilai R adalah rasio dan CT
adalah siklus saat terjadi perpotongan antara garis threshold dan baseline:
5
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Data CT diubah ke dalam bentuk linear (2- CT) kemudian dianalisis secara
statistik melalui Minitab 16 dengan two-samples t-test dengan nilai P<0,05 dengan
rata-rata ± standar deviasi untuk menentukan apakah nilai CT berbeda signifikan.
Hubungan antar resistensi populasi dan tingkat ekspresi gen target dianalisis secara
deskriptif.
Gambar 1. Kurva melt curve pada saat amplifikasi gen PmVRP15 (kiri) dan reference
gene β-aktin (kanan) menunjukkan single peak sebagai penanda spesifitas produk
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu qPCR dapat
digunakan untuk penentuan ekspresi gen dalam hal ini gen PmVRP15.
6
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
7
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Melimpahnya keberadaan marine yeast (khamir laut) dapat dijadikan sebagai agen
probiotik melalui kombinasi dengan indigenous bakteri probiotik lainnya, sehingga
diharapkan mampu menunjang keberhasilan budidaya. Probiotik dalam bentuk cair
terkendala pada efisiensi dan pengangkutan sedangkan probiotik kering terkendala
pada harga yang masih relatif tinggi mengingat masih menggunakan teknologi tinggi
sehingga sangat diperlukan teknik produksi probiotik dengan cara yang sederhana.
Tujuan dari kegiatan ini adalah menghasilkan produk probiotik indigenous (asli)
padat dengan teknik produksi yang sederhana serta dapat diaplikasikan dalam
kegiatan budidaya. Pembuatan probiotik kering dilakukan dengan menggunakan
berbagai macam filler yang dihomogenkan dengan biakan cair bakteri probiotik
kemudian dilakukan pengeringan pada suhu 50 °C. Berdasarkan pengujian
penggunaaan berbagi macam filler sebagai pembawa bakteri dapat dilihat bahwa
penggunaan filler tepung rumput laut, tepung kanji dan zeolit memiliki waktu
pengeringan lebih singkat yaitu 5 jam dengan suhu 50 °C. Sedangkan penggunaan
filler susu skim dan tepung terigu membutuhkan waktu pengeringan 10 jam.
Kata Kunci: probiotik, marine yeast, khamir laut, filler dan viabilitas
PENDAHULUAN
8
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
sel ragi/L air sedangkan pada tempat yang kandungan bahan organik rendah seperti
wilayah samudera laut dalam mengandung < 10 sel/ L air (Navarrete, et al. 2014).
Selain bakteri sebagai kandidat probiotik, khamir laut juga banyak diteliti sebagai
immunostimulan namun masih sedikit yang menggunakan khamir laut ini sebagai
imunostimulan melalui aplikasi pakan atau sebagai agen yang mampu menekan
pertumbuhan bakteri vibrio di lingkungan budidaya. Melimpahnya keberadaan
khamir laut tersebut dapat dijadikan sebagai agen probiotik baik aplikasi pakan atau
air melalui kombinasi dengan bakteri probiotik indigenous lain, sehingga diharapkan
mampu menunjang keberhasilan budidaya.
Menurut Sukoso (2009) marine yeast merupakan khamir laut atau lebih
dikenal dengan ragi laut merupakan mikroorganisme yang diisolasi dari laut lalu
dikembangkan untuk menghasilkan massa sel. Dimana proses kultur khamir laut ini
dapat dimulai dengan mengisolasi mikroorganisme tersebut dari laut untuk kemudian
ditumbuhkan dalam media. Manfaat lain yang saat ini tengah dikembangkan adalah
sebagai immunostimulan, yaitu sebagai zat imunostimulator yang meningkatkan
daya resisten terhadap infeksi penyakit yaitu dengan meningkatkan respon imun non-
spesifik baik melalui mekanisme pertahanan hormonal maupun selular. Dengan
kandungan bheta-glucan yang dimiliki maka khamir laut sebagai immunostimulan
mampu meningkatkan aktivitas leukosit dan menjadi mediator imun. Saat ini khamir
laut juga telah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti bioremediasi
dalam bidang teknologi lingkungan; obat, vaksin, hormon dan probiotik dalam
industri kesehatan; penghasil enzim, penyedap rasa, pigmen dan pereduksi kimia
dalam industri makanan berbahan kimia. Selain itu, marine yeast ternyata memiliki
kelebihan mudah tumbuh dan berkembang dalam media fermentasi dengan
kepadatan > 108 sel/mL dalam waktu yang cepat serta sangat mudah dilakukan kultur
secara masal karena sifatnya yang mudah membentuk flokulan dan ukuran selnya
yang lebih besar daripada bakteri sehingga mudah untuk dibuat konsentrat dari kultur
cair (Chi et al; 2006).
Proses produksi perbanyakan strain mikroba probiotik ada yang
menggunakan teknik fermentasi cair pada fermentor dan pengeringan Broth
fermentasi serta teknik pengeringan dengan udara panas. Adapun sediaan probiotik
komersial yang ada di pasar saat ini tersedia dalam bentuk: probiotik kering dikemas
dalam bentuk bubuk, kapsul atau tablet dan probiotik cair. Namun probiotik cair
terkendala pada efisiensi dan pengangkutan sedangkan probiotik kering terkendala
pada harga yang masih relatif tinggi mengingat masih menggunakan teknologi tinggi
sehingga sangat diperlukan teknik produksi probiotik yang efisien dengan cara yang
sederhana.
Tujuan
Menghasilkan produk probiotik indigenous dalam bentuk tepung dengan
teknik produksi yang sederhana.
9
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Bahan
Bahan yang digunakan antara lain : nutrien agar, MgSO4, NaCl, KCl, MRS
agar, nutrien broth, filler dari zeolite bubuk, tepung kanji, tepung terigu, susu skim,
limbah tepung rumput laut, CaCO3, isolat probiotik Lactobacillus plantarum,
Bacillus subtilis, B. licheniformis, Nitrobacter, khamir laut dan incubator shaker.
Alat
Alat yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi; lemari pengering, mixer,
pemanas, bunsen, tabung reaksi, cawan petri dan sealer.
Tata Kerja
Kandidat probiotik diperbanyak pada media Nutrien Broth diinkubasi selama
24 jam pada suhu 35 °C, kemudian dilakukan penambahan berbagai jenis filler
berupa limbah tepung rumput laut, susu skim, tepung terigu, tepung kanji dan zeolit.
Campuran bahan selanjutnya dihomogenkan kemudian dilakukan pengeringan pada
suhu 50 °C selama 5-7 jam di dalam lemari pengering. Setelah kering selanjutnya
dilakukan pengemasan dan penyimpanan. Probiotik tepung selanjutnya disimpan
selama10 bulan, tiap bulan masing-masing jenis filler dilakukan penghitungan total
bakteri.
(a) (b)
10
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
(c) (d)
Gambar 2. Proses pembuatan probiotik tepung. (a) Menuangkan adonan probiotik ke
dalam Loyang, (b) Memasukkan loyang ke dalam lemari pengering, (c)
Pengaturan temperatur pengering (d) Produk probiotik tepung dalam
kemasan.
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan probiotik kering adalah jenis filler (pembawa) yang dipergunakan.
11
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
KESIMPULAN
Berdasarkan pengujian penggunaaan berbagi macam filler sebagai pembawa
bakteri dapat dilihat bahwa penggunaan filler tepung rumput laut, tepung kanji dan
zeolit memiliki waktu pengeringan lebih singkat yaitu 5 jam dengan suhu 50 °C.
Sedangkan penggunaan filler susu skim dan tepung terigu membutuhkan waktu
pengeringan 10 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Chi,Z., Liu, Z., Gao L., Gong,F., Ma, C., Wang,X., Li,H., 2006. Marine yeast and
their applications in mariculture. Joournal of Ocean University of China.
Vol 5. No3, pp.251-256.
Gama, L., F. Ascencio, and B. Ho, 2001. Probable application of marine yeasts
as probiotic supplements. Http:// www. np. edu. sg/.
Harmayani, E., Ngatirah., Rahayu, E.S., Utami, T. 2001. Ketahanan dan Viabilitas
Probiotik Bakteri Asam Laktat Selama Proses Pembuatan Kultur Kering
Dengan Metode Freeze dan Spray Drying. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan, Vol.XII, No. 2.
Muliani; Nurbaya; Muharijadi,A.2010. Penggunaan Probiotik Pada Pemeliharaan
udang Windu (Penaeus monodon ) Dengan Dosis Pakan Yang Berbeda.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. hal 249-250.
Navarrete, P., and Tovar, R.,2014.Use of yeast as probiotics in fish aquaculture.
Intech. 5: 135-156.
Soccol, C.R., de Souza Vandenberghe, L.P., Spier, M.R., Medeiros, A.B.P.,
Yamaguishi, C.T., De Dea Lindner, L., Pandey, A., and Thomaz-Soccol, V.
The Potential of Probiotics: A Review. Food Technol. Biotechnol. 48 (4)
413–434 (2010).
Sukoso, 2009. Khamir Laut sebagai Pengganti Kedelai dalam Industri Pangan.
https://prasetya.ub.ac.id/. Tanggal akses 5 Maret 2016.
12
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Sekuensing merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu gen. Identitas
suatu gen yang telah diketahui sekuennya dapat ditentukan dengan membandingkan
dengan data sekuen yang terdapat pada Genbank. Salah satu metode yang dapat
digunakan dengan menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk menelaah
profil DNA gen Cytocrome oxidase 1 dan 16S-rDNA. Penggunaan primer tersebut
telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan
praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Tujuan
dari kegiatan ini adalah mengidentifikasi gen cytochrome oxidase 1 dan 16S-rDNA
melalui proses sequensing pada beberapa komoditas udang. Proses Sequensing
dilakukan dengan mengamplifikasi gen cytochrome oxidase1 dan 16S rDNA dengan
metode PCR menggunakan primer universal 63f forward primer dan reverse primer
1387r, LCO dan HCO. hasil amplifikasi dielektroforesis dengan agarose 1,5% dan
selanjutnya dilakukan sekuensing terhadap gen cytochrome oxidase1dan 16SrRNA.
Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa analisis sequensing mampu
mengidentifikasi isolat dari beberapa komoditas udang secara genetik dari sekuens
gen 16S-rDNA dan Cytochrome Oxidase I dengan hasil yang lebih akurat dan waktu
lebih singkat. Selain itu dari isolat yang dianalisis menunjukkan urutan nukleotida
gen 16S rDNA dan Cytochrome Oxidase I mempunyai kesamaan 100% dengan
Fenneropenaeus merguiensis mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii
mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii voucher SIF-MR 14 16S ribosomal RNA
gene, voucher CIFE-MUM-PM3 cytochrome oxidase subunit I COI) gene, Penaeus
monodon cytochrome oxidase subunit I gene, Macrobrachium rosenbergii haplotype
Hap36 cytochrome oxidase subunit I (CO1) gene Macrobrachium rosenbergii
haplotype 37 cytochrome oxidase subunit I (COI) gene.
PENDAHULUAN
Sekuensing DNA atau pengurutan DNA adalah suatu proses atau teknik
penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut dikenal
sebagai sekuen DNA, yang merupakan informasi paling mendasar suatu gen atau
genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh
makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk menentukan identitas
13
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara membandingkan
sekuennya dengan sekuen DNA lain yang sudah diketahui.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis deteksi bakteri dengan
menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk menelaah profil DNA gen
Cytochrome oxidase1 (COI) dan 16S-rDNA. Penggunaan 16S-rDNA telah
digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan
praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Salah
satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas deteksi molekuler berbasis PCR
ialah pemilihan primer yang tepat (Rychlic 1995). Primer PCR merupakan
oligonukleotida yang berperan sebagai inisiasi amplifikasi molekul DNA.
Keberadaan primer PCR tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang
reaksi PCR berlangsung. Analisis PCR dengan primer spesifik merupakan langkah
terbaik untuk kepentingan deteksi bakteri patogen karena dapat menghasilkan
penentuan secara cepat keberadaan gen target, cukup sensitif dan mudah digunakan
dalam kegiatan rutin.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi gen cytochrome oxidase
1 dan 16S-rDNA melalui proses sequensing.
Tata Kerja
14
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
primer LCO (5’-GGT CAA CAA ATC ATA AAG ATA TTG G-3’) dan HCO (5’-
TAA ACT TCA GGG TGA CCA AAA AAT CA-3’). Semua komponen reaksi
dicampur ke dalam microtube dan dimasukkan ke dalam mesin PCR. Tahapan PCR
terdiri dari pre-denaturasi 94oC, 2 menit; tahap denaturasi 92oC, 30 detik; tahap
annealing 55oC, 30 detik, tahap elongasi 72oC selama 1 menit. Proses PCR terdiri
dari 30 siklus. Selanjutnya post PCR pada suhu 75oC selama 20 menit dan tahap stop
PCR pada suhu 4oC. Hasil PCR disimpan pada suhu -20oC atau langsung
dielektroforesis.
15
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
16
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
TTAAGGTATCCTTATGATGCAGCAGTTATAAAGGAAGGTCTGTTCG
ACCTTTAAATCCTT
ACATGATCTGAGTTCA
16-F-20 dan 16-R-20 (548 bp)
CGCCTGTTTAACAAAAACATGTCTGTGTGAATTAGTTATAAAGTCT
AGCCTGCCCACTG
ATTTATTTAAAGGGCCGCGGTAATTTGACCGTGCGAAGGTAGCATA
GTCAGTAGTCTTTT
AATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATAAACTGTCTCC
TTAGCGGCGTTTGA
ATTTAACTTTTGAGTGAAAAGGCTCAAATTGTTTAGGGGGACGATA
AGACCCTATAAAAC
TTGATATAATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTT
B
TGTCTGGTTTATAT
TTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATAAAATTT
TATAGCATTGACTA
GAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAGGAGAATAAGTTACTTTAGGG
ATAACAGCGTGATT
TTCTTTGAGAGTTCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTT
GAATTAAAATTTCA
GCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCTTTAAAAT
TTTACATGATCTGA
GTTCAGAC
16-F-21 dan 16-R-21 (545bp)
CGCCTGTTTAACAAAAACATGTCTGTGTGAATTAGTTATAAAGTCT
AGCCTGCCCACTG
ATTTATTTAAAGGGCCGCGGTAATTTGACCGTGCGAAGGTAGCATA
GTCAGTAGTCTTTT
AATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATAAACTGTCTCC
TTAGCGGCGTTTGA
ATTTAACTTTTGAGTGAAAAGGCTCAAATTGTTTAGGGGGACGATA
AGACCCTATAAAAC
C TTGATATAATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTT
TGTCTGGTTTATAT
TTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATAAAATTT
TATAGCATTGACTA
GAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAGGAGAATAAGTTACTTTAGGG
ATAACAGCGTGATT
TTCTTTGAGAGTTCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTT
GAATTAAAATTTCA
GCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCTTTAAAAT
TTTACATGATCTG
17
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
AGTTCA
16-F-22 (444bp)
GTAGTCTTTTAATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATA
AACTGTCTCCTTAGCGGCGTTTGAATTTAACTTTTGAGTGAAAAGG
CTCAAATTGTTTAGGGGGACGATAAGACCCTATAAAACTTGATATA
ATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTTTGTCTGGT
TTATATTTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATA
D
AAATTTTATAGCATTGACTAGAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAG
GAGAATAAGTTACTTTAGGGATAACAGCGTGATTTTCTTTGAGAGT
TCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTTGAATTAAAATTT
CAGCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCCTTTAA
AAATTTTACATGATCTGAGTTCAGACCGGA
18
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
AAAGGGACAAGTCAATTTCCAAAACCTCCAATCATAATAGGTATA
ACTATAAAAAAAATTATAACGAAAGCGTGAGCTGT
AACCACTACATTGTAAATTTGATCATCTCCAATAAGGCTTCCTGGTT
GACCTAATTCAGCACGAATAATAAGACTAAGAG
CTGT
M1 (Primer: HCO) (617 bp)
GATGTATTTAGGTTTCGATCAGTTAAGAGCATGGTAATGGCTCCGG
CTAAAACTGGTAGTGAGAGAAGAAGCAGGATGGCTGTTAGAAATA
CGGCCCATACGAATAGGGGCAGTCGATCTATAGTTATTCCTGGGGC
TCGTATGTTAATCACTGTGGTAATAAAGTTGACAGCTCCTAGGATT
GAAGAGACTCCTGCTAGGTGGAGGGAAAAGATACCTAGATCTACC
GATGCTCCGGCGTGGGCGGTACCAGCTGCTAGTGGTGGGTAAACA
GTTCATCCTGTGCCAACCCCTCTTTCTACTATTCCTCTGGATAGAAG
AAGTGTTAGAGATGGGGGTAGGAGTCAGAATCTTATGTTGTTTATG
CGTGGGAATGCTATGTCTGGGGCCCCTAATATTAGGGGTACTAGTC
AATTACCGAAACCACCAATTATGATCGGTATAACTATGAAAAAAAT
TATTACGAATGCGTGGGCAGTGACAATTACGTTGTAGATTTGGTCA
TTTCCGATCAGTCTGCCTGGCTGCCCTAATTCTGCTCGAATTAAGAG
F
TCTTAGTGACGTACCTACCATGCCTGCTCACGCTCCGAAGATAAAA
TATAGTGTTCCAATATCTTTM1 (primer: LCO) (496 bp)
GAATTAGGGCAGCCAGGCAGACTGATCGGAAATGACCAAATCTAC
AACGTAATTGTCACTGCCCACGCATTCGTAATAATTTTTTTCATAGT
TATACCGATCATAATTGGTGGTTTCGGTAATTGACTAGTACCCCTA
ATATTAGGGGCCCCAGACATAGCATTCCCACGCATAAACAACATA
AGATTCTGACTCCTACCCCCATCTCTAACACTTCTTCTATCCAGAGG
AATAGTAGAAAGAGGGGTTGGCACAGGATGAACTGTTTACCCACC
ACTAGCAGCTGGTACCGCCCACGCCGGAGCATCGGTAGATCTAGGT
ATCTTTTCCCTCCACCTAGCAGGAGTCTCTTCAATCCTAGGAGCTGT
CAACTTTATTACCACAGTGATTAACATACGAGCCCCAGGAATAACT
ATAGATCGACTGCCCCTATTCGTATGGGCCGTATTTCTAACAGCCA
TCCTGCTTCTTCTCTCACTACCAGTTTTAGCCGGAG
Hasil sekuensing ini menghasilkan urutan nukleotida gen COI dan 16SrDNA.
Terhadap urutan nukleotida gen COI dan 16SrDNA diBlast secara online melalui :
http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. Hasil blast menunjukkan kesamaan urutan
nukleotida gen COI dan 16S rDNA isolat yang diperoleh dengan urutan nukleotida
gen 16S rDNA yang ada pada GenBank. Hasil blast ditunjukkan pada tabel 1.
Selanjutnya untuk melihat hubungan kekerabatan tiap-tiap isolat yang mempunyai
kesamaan gen COI dan 16S rDNA, maka dilakukan pensejajaran secara on line
melalui http://expasy.org/tools/
19
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
KESIMPULAN
20
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna
Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan
teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan
makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
21
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Virus IHHNV dikenal sebagai virus penyebab penyakit kerdil udang windu Virus ini
umumnya menginfeksi benih udang windu secara tunggal. Deteksi virus pada satu
individu udang dapat dilakukan menggunakan metode PCR. Metode PCR sangat
efisien karena dapat mendeteksi secara dini dan cepat. Kegiatan ini bertujuan untuk
mendeteksi tingkat infeksi virus IHHNV selama musim hujan dan kemarau pada
pembenihan udang windu di BBPBAP Jepara. Ekstraksi DNA menggunakan Lysis
Buffer. DNA virus diamplifikasi menggunakan 1 pasang primer spesifik yang
ditandai oleh jumlah pita yang muncul. Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa
tingkat infeksi positif IHHNV benih udang windu pada musim hujan lebih tinggi
(43,33%) dibandingkan pada musin kemarau (16,00%).
Kata Kunci : IHHNV, Musim hujan, musim kemarau, infeksi, benih udang windu
PENDAHULUAN
22
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tujuan dari kegiatan ini untuk mengetahui tingkat infeksi IHHNV pada
musim hujan dan musim kemarau pada benih udang windu di Pembenihan BBPBAP
Jepara.
Sampel
Sampel berupa benih udang windu berukuran pasca larva PL 8-12 sebanyak
30 sampel dari pembenihan di BBPBAP Jepara.
Tata Kerja
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA menggunakan metode lysis buffer. Untuk mendapatkan
ekstrak DNA virus dari benih, organ yang dipakai adalah seluruh tubuh udang.
Prosedur ekstraksi DNA sebagai berikut :
a. Menghancurkan jaringan sampel (insang, otot, karapas) sampai rata atau
menghomogenkannya dengan gunting dan pinset.
b. Memasukkan jaringan 0,2 gram ke dalam microtube kemudian menumbuk
dengan pellet pestel.
c. Menambahkan 500 μL lysis buffer kemudian menghomogenkannya dengan
pellet pestel.
d. Diinkubasi pada suhu 95 0C selama 10 menit.
e. Mendinginkan sampel pada suhu ruang ± 5 menit.
f. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 g selama 10 menit.
g. Memindahkan 200 µL supernatan ke dalam microtube baru kemudian
menambahkan 400 µL etanol absolute.
h. Disentrifugasi pada kecepatan 12.000 g selama 5 menit.
i. Supernatan dibuang dan dikeringkan selama 10 menit.
23
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Amplifikasi PCR
a. Reaksi PCR untuk deteksi IHHNV
1) Komposisi larutan PCR untuk deteksi IHHNV (25μL/reaksi) dibuat dengan
mencampurkan bahan-bahan sebagai berikut :
DDW 10,5 µL
MM 12,5 µL
Primer 389F 0,5 µL
Primer 389R 0,5 µL
Sampel DNA 1 µL
Total volume 25 µL
2) Banyaknya bahan yang dipersiapkan adalah 1,1 x jumlah sampel
3) Setelah semua bahan dicampur, kecuali sampel DNA bagikan ke
dalam mikrotube 0,2 mL dengan volume masing-masing 24 L
4) Tambahkan sampel DNA, termasuk kontrol negatif dan kontrol
positif
5) Pengaturan suhu pada thermal cycler sebagai berikut :
Thermal cycler diatur dengan hot start 95 °C selama 5 menit, suhu
denaturasi 95 °C selama 30 detik, suhu annealing 55 °C selama 30
detik, suhu extention 72 °C selama 1 menit. Proses PCR dilakukan
sebanyak 35 siklus. Kemudian dilanjutkan dengan extra extention 72
°C selama 7 menit. Setelah proses selesai sampel disimpan pada suhu
4 °C.
Infeksi IHHNV
Prevalensi tipe infeksi adalah persentase jumlah benih udang windu yang
terinfeksi setiap tipe infeksi dalam setiap populasi udang pada musim kemarau dan
hujan. Prevalensi virus. Pengukuran prevalensi WSSV menggunakan rumus menurut
Fernando et .al (1972) diacu dalam Pratama (2011), adalah sebagai berikut :
Tingkat infeksi= Jumlah sampel udang terinfeksi x 100%
Jumlah sampel udang yang diamati
24
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
1 2 3 4 5 6 7 8 M
389 bp
Gambar 1. Hasil PCR benih udang windu, M adalah marker 100bp, lane 1 kontrol
positif (389 bp), lane 2 kontrol negatif, lane 3,4,5,6,7,8 positif IHHNV
Dari sampel yang dianalisa dapat dilihat tingkat infeksi IHHNV sebagaimana
pada Tabel 2.
25
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tabel 2. Tingkat infeksi IHHNV pada musim hujan dan musim kemarau
Tingkat Infeksi IHHNV
No Uraian
Musim Hujan Musim Kemarau
1 Positif IHHNV 13 (43,33 %) 5 (16,00 %)
2 Negatif IHHNV 6 (20,00 %) 11 (36,67 %)
Jumlah
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa tingkat infeksi IHHNV pada musim
hujan lebih tinggi dari pada tingkat infeksi pada musim Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perubahan kualitas media seperti suhu, salinitas dan pH yang pada
musim hujan relatif tidak stabil (fluktuatif) sehingga menyebabkan larva mudah
terinfeksi virus.
KESIMPULAN
Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa tingkat infeksi positif IHHNV
benih udang windu pada musim hujan lebih tinggi (43,33%) dibandingkan pada
musin kemarau (16,00%).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna
Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan
teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan
makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2011. Manual of diagnostic test for aquatic animal. Office International
Des Epizooties. Fourth edition. France. p.78-95
Flegel, T. W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for
aquaculture. Science Asia, 32: 215 – 221.
Lightner, D.V., Redman, R.M. and Bell, T.A. 1983. Infectious hypodermal and
hematopoietic
necrosis, a newly recognized virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr.
Pathol. 42, 62– 80.
Poulpanich, N., and Withyachumnarnkul, B. 2009. Fine structure of a septate
gregarine trophozoite in the black tiger shrimp Penaeus monodon. Dis Aquat
Org, 86: 57–63
Sriwulan, Tahir, A., Rantetondok, A., dan Baharuddin. 2012. Pengembangan
Multipleks PCR (MPCR) untuk mendeteksi virus penyakit kerdil udang
windu di tambak pada musim berbeda. e-jurnal Pascasarjana UNHAS. 14 hal.
Sriwulan dan Anshary, H. 2011. Deteksi virus penyebab penyakit kerdil pada benih
udang windu (Penaeus monodon) dengan multipleks PCR. J. Fish. Sci. XIII
(1): 1-7.
26
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Udang masih menjadi komoditas usaha perikanan budidaya yang sangat menarik
bagi pengusaha bidang akuakultur. Kelemahan dalam budidaya udang adalah adanya
serangan penyakit yang mengakibatkan turunnya produksi yang sangat drastis.
Kejadian WSSV (White spot syndrome virus) maupun IMNV (Infectious
myonecrosis virus) hampir setiap musim tanam terjadi di area pertambakan udang,
baik intensif maupun tradisional. Kasus penyakit berak putih (EHP : Enterocytozoon
hepatopenaeai) pertama kali dilaporkan oleh para pembudidaya udang vannamei
intensif di beberapa wilayah budidaya, antara lain Banyuwangi. Tujuan dari kegiatan
ini adalah untuk mengetahui tingkat infeksi WSSV, IMNV dan EHP pada sampel
udang asal Banyuwangi. Metode yang digunakan untuk analisis sampel adalah Real-
time qPCR. Sampel pertama diekstraksi DNA/RNAnya menggunakan metode silika
extraction kit. Kontrol standar, komposisi master mix dan protokol amplifikasi
mengacu pada Applied Biosystem. Hasil yang didapatkan dari kegiatan ini bahwa
tingkat infeksi IMNV dan WSSV mengalami penurunan pada bulan Desember
sedangkan tingkat infeksi EHP mengalami pkenaikan pada bulan Desember.
PENDAHULUAN
27
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Jepang (Chou et al., 1995 dalam Flegel,2006). Wabah WSSV ini pada tahun 1996
diketahui sudah menyebar di beberapa negara kawasan Asia Tenggara (Flegel,
2006). Serangan WSSV sangat merugikan pembudidaya di kawasan yang terserang,
dengan kerugian mencapai milyaran rupiah.
Kasus penyakit berak putih (EHP : Enterocytozoon hepatopenaeai) pertama
kali dilaporkan oleh para pembudidaya udang vannamei intensif di beberapa wilayah
budidaya, antara lain Banyuwangi (Pitoyo, Kom. Pri, 2014). Seiring perkembangan
waktu, penyakit berak putih telah secara sporadis menyerang udang di tambak di
wilayah Purworejo, dan Rembang. Pada saat ini penyakit berak putih telah menyebar
hampir di seluruh area pertambakan di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali,
Lombok dan Sumbawa. Hal ini menunjukkan bahwa baik faktor lingkungan, kondisi
tanah dan iklim sangat bervariasi terhadap terjadinya penyakit berak putih. Tujuan
dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui prevalensi IMNV, WSSV dan EHP pada
sampel udang asal Banyuwangi.
Tata Kerja
1. Ekstraksi DNA/RNA menggunakan metode silica extraction kit dari IQ Real
Taiwan
2. Menyiapkan kontrol standar DNA/RNA yang mengacu protokol dari Applied
Biosystem dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Larutan standar untuk mendukung kuantifikasi Real-time PCR
Konsentrasi Jumlah Jumlah Rt-PCR
Konsentrasi
Standar yang yang grade water yang Total
Akhir
diinginkan diambil ditambahkan
Standar 12.500 3 µL (dari 100.000
27 µL 30 µL
1 copies/µL (1) stok) copies/µL
Standar 1.250 3 µL (dari 10.000
27 µL 30 µL
2 copies/µL (2) 1) copies/µL
Standar 125 copies/µL 3 µL (dari 1.000
27 µL 30 µL
3 (3) 2) copies/µL
Standar 12,5 copies/µL 3 µL (dari 100
27 µL 30 µL
4 (4) 3) copies/µL
Standar 1,25 copies/µL 3 µL (dari 10
27 µL 30 µL
5 (5) 4) copies/µL
28
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
3. Membuat Master Mix qPCR untuk deteksi virus dan protocol amplifikasi
PCR yang mengacu pada kit dari Applied Biosystem dapat dilihat pada
Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi Master Mix qPCR untuk deteksi virus IMNV, WSSV dan EHP
WSSV/EHP IMNV
No Komponen Volume No Komponen Volume
1 RT-PCR Grade 3,5 μL 1 RT-PCR Grade Water 1
Water μL
2 2x qPCR Master 12,5 μL 2 2x Multiplex RT-PCR 12,5 μL
Mix Buffer
3 25x Primer Probe 1 μL 3 10x Multiplex RT-PCR 2,5 μL
Mix Enzym Mix
4 25x IMNV Probe Mix 1 μL
Total volume 17 μL
Total volume 17 μL
- Vortex tube master mixtube diatas selama 5 detik lalu spin selama 5 detik
- Pipet 17 μL master mix ke dalam tiap well
- Tambahkan 8 μL sampel DNA/RNA untuk sampel target
- Tambahkan 8 μL untuk setiap konsentrasi standar (minimal duplo)
- Tambahkan 8 μL nuclease free water untuk non template control (NTC)
- Sehingga total volume 25 μL
Tabel 3. Protokol amplifikasi PCR untuk deteksi IMNV, WSSV dan EHP
WSSV/EHP IMNV
o o
95 C selama 10 48 C selama 19 Reverse
menit menit transcriptase
95oC selama 10
Amplifikasi PCR
95oC selama 15 menit
dilakukan sebanyak Amplifikasi PCR
detik 95oC selama 15
40 siklus dilakukan sebanyak
detik
40 siklus
60oC selama 45 60oC selama 45
detik detik
Hasil
Hasil analisis IMNV, WSSV dan EHP pada udang sampel dari tambak
Banyuwangi dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis IMNV, WSSV dan EHP sampel asal Banyuwangi.
Jumlah % Positif
No Bulan
Sampel IMNV WSSV EHP
1 Juni 96 23 (23,9%) 7 (7,3%) 32 (33,3%)
2 Desember 111 8 (7,2%) 0% 44 (39,6%)
Total Sampel 207
29
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pembahasan
Sampel udang yang berasal dari Banyuwangi berjumlah 207 sampel dan
dianalisis menggunakan metode Real Time PCR (qPCR). Sebanyak 96 sampel yang
diambil dan dianalisis pada bulan Juni menunjukkan hasil positif IMNV sebanyak
23 sampel atau sebesar 23,94%, terdeteksi positif WSSV sebanyak 7 sampel atau
sebesar 7,29% dan terdeteksi positif EHP sebanyak 32 sampel atau sebesar 33,3%.
Sampel pada bulan Desember yang dianalisis sebanyak 111 sampel, terdeteksi positif
IMNV sebanyak 8 sampel atau sebesar 7,2%, terdeteksi positif EHP sebanyak 44
sampel atau sebesar 39,64%, sedangkan untuk WSSV tidak terdeteksi positif atau
0%.
Berdasarkan data diatas dapat dinyatakan bahwa kasus infeksi IMNV pada
bulan Desember mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 16,74%
dibandingkan kasus bulan Juni. Kasus infeksi WSSV pada bulan Desember juga
mengalami penurunan menjadi 0%. Berbeda dengan kasus IMNV dan WSSV, EHP
pada bulan Desember justru mengalami kenaikan sebesar 6 %. Meningkatnya kasus
EHP ini kemungkinan terkait dengan meningkatnya kasus WFS yang meningkat
terutama di musim hujan, dan juga perlu dikaji lebih lanjut hubungan antara wabah
WFS dengan infeksi EHP pada udang.
KESIMPULAN
Hasil dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi EHP pada bulan
Desember mengalami peningkatan dibandingkan bulan Juni, sedangkan prevalensi
IMNV dan WSSV mengalami penurunan.
30
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
BBPBL. 2009. Laporan Hasil Active Surveillance Penyakit Virus : TSV, WSSV,
PvNv Dan IMNV Pada Budidaya Udang Vanamei Di Kabupaten Pesawaran
Dan Kabupaten Lampung Selatan. Laporan Balai Besar Pengembagan
Budidaya Laut Lampung.
Desiliyarni, T. 2013. Training manual Applied Biosystem 7500 Fast Real-Time
PCR. 24 hal
Flegel, T.W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for
aquaculture. Sci. Asia 32, 215–231.
Lightner. 2005. Review of white spot disease of shrimp and other decapod
crustaceans.
Nunes AJP, Martins PCC, Gesteira TCV (2004) Produtores sofrem com as
mortalidades decorrentes do virus da mionecrose infeccisa (IMNV). Panorama
da AQUICULTURA, Maio/Junho, p 37–51
31
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Berdasarkan pada pengalaman terjadinya serangan WSSV pada kegiatan budidaya
pada hampir semua blok tambak BBPBAP pada tahun 2014, oleh karena itu semua
sumber air masuk dan keluar dari kegiatan budidaya dilakukan pengecekan WSSV
dan menunjukkan bahwa perairan baik pada saluran I, II dan tandon utama
terdeteksi adanya WSSV. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan
informasi mengenai fluktuasi kelimpahan total Vibrio sp serta dominasinya
diperairan dan keberadaan WSSV karena berkaitan dengan sumber air yang
digunakan dalam aktivitas budidaya udang dilingkungan BBPBAP Jepara selama
tahun 2016.
Monitoring kelimpahan total bakteri, total vibrio, dominasi vibrio serta deteksi
WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara pada tiga titik yaitu Saluran I, saluran
II dan tandon utama selama 1 tahun menunjukkan bahwa kelimpahan total bakteri
berkisar antara 3,0 x 103 CFU/ml – 4,27 x 105 CFU/ml, sedangkan kelimpahan total
Vibrio sp. berkisar 0,3 x 102 CFU/ml - 7,72 x 103 CFU/ml dengan tingkat dominasi
Vibrio sp. sebesar 0,88 % - 36,29% serta deteksi adanya virus bintik putih (WSSV)
hanya pada tandon utama yang terjadi pada bulan April, Juni dan September 2016.
Kata Kunci: Total bakteri, dominasi vibrio, WSSV dan vibrio sp.
PENDAHULUAN
32
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah media Nutrient
Agar, TCBSA, NaCl, KCl, MgSO4, Alkohol 96%, Alkohol 70%, Aquades.
Sedangkan alat yang digunakan adalah tabung reaksi, ember, kertas label, pensil,
plastik, cawan petri, mikro pipet, spatula, vortek, incubator, autoclave dan magnetik
stirrer.
Tata Kerja
1. Posisi pengambilan sampel air dilakukan pada 3 titik yaitu saluran I, saluran
II dan Tandon utama .
33
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
2. Pengambilan sampel air setiap seminggu sekali untuk analisa total bakteri
dan total vibrio setiap 1 minggu sekali, serta analisa PCR WSSV yang
dilakukan setiap 2 minggu sekali selama satu tahun. Sampel air diambil pada
jam 07.30-08.30.
3. Sampling air pada lingkungan terbuka adalah sebagai berikut: air diambil
menggunakan ember volume 2 liter pada masing-masing titik pengambilan
sampel yaitu saluran I, saluran II dan tandon utama, ember dicelupkan pada
permukaan air kemudian diangkat. Botol sampel steril yang telah diberi
label/kode lokasi dipegang bagian bawah dan dicelupkan ke dalam ember
yang berisi air sampel tersebut. Botol dibuka didalam air secara perlahan,
sampai air masuk tanpa ada gelembung udara dengan volume air ± 8 ml.
Kemudian botol ditutup didalam air, diangkat dan siap dibawa ke
laboratorium untuk dianalisa lebih lanjut.
34
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Sedangkan untuk kelimpahan total Vibrio Sp. selama tahun 2016 pada
saluran I,II dan tandon utama menunjukkan nilai tertinggi pada Maret, Agustus dan
Desember dengan nilai kepadatan tertinggi 7,72 x 103 CFU/mL. Menurut Prastowo
(2007) menyebutkan bahwa batas ambang kelimpahan total bakteri Vibrio pada
tambak budidaya tidak boleh melebihi 104 CFU/mL sehingga berdasarkan
pemaparan data diatas dapat disimpulkan bahwa kepadatan total bakteri vibrio pada
sumber air untuk kegiatan budidaya kurang dari 104 CFU/mL.
35
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Dominasi bakteri vibrio terhadap total bakteri pada ketiga titik pengambilan
sampel menunjukkan dominasi tertinggi pada bulan Juli dan September dengan nilai
dominasi 36,29%. Pada tambak budidaya, dominasi Vibrio yang tinggi (> 20-50%)
tidak menyebabkan terjadinya serangan penyakit bintik putih (WSSV) apabila terjadi
kestabilan pada kelimpahan vibrio sebesar 102-103 CFU/mL dengan fluktuasi sebesar
101 CFU/mL (Prastowo, 2008).
36
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
KESIMPULAN
Monitoring kelimpahan total bakteri dan total Vibrio, kelimpahan total Vibrio
serta deteksi WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara yang mana merupakan
aspek penting dalam kegiatan budidaya mengingat ketiga titik yaitu Saluran I,
saluran II dan tandon utama berkaitan langsung dengan sumber air utama kegiatan
budidaya maka data selama 1 tahun menunjukkan bahwa kelimpahan total bakteri
berkisar 3,0 x 103 CFU/ml – 4,27 x 105 CFU/mL, sedangkan kelimpahan total Vibrio
berkisar 0,3 x 102 CFU/ml - 7,72 x 103 CFU/mL dengan tingkat dominasi Vibrio
sebesar 0,88 % - 36,29% serta deteksi adanya WSSV hanya pada tandon utama yang
terjadi pada bulan April, Juni dan September 2016.
Ucapan terima kasih kami sampaikan Kepada Bapak Sugeng Raharjo selaku
Kepala BBPBAP Jepara, dan teman Lab MKHA yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
37
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
PENDAHULUAN
38
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
• Pembuatan Serbuk Daun Jambu Biji
Daun jambu biji segar 2 kg, dicuci dengan air tawar, kemudian digunting
kecil ukuran 0,5 cm, diletakkan pada nampan plastik untuk dikering anginkan dalam
ruangan ber AC selama tiga hari. Daun yang telah kering dihaluskan dengan
menggunakan blender, kemudian disaring dengan ukuran saringan 0,5 mm, dan
disimpan di dalam botol HDPE yang dilengkapi dengan penutup.
Hasil
Proses pembuatan serbuk di lakukan dengan blender sampai halus selama 5-
10 menit. Proses pembuatan disajikan seperti Gambar 1.
39
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Gambar 1. Pembuatan serbuk daun biji. (a) potongan daun jambu biji kering, (b)
pembuatan serbuk menggunakan blender, (c) serbuk daun jambu biji
yang siap diaplikasikan.
Tahap akhir dari proses pembuatan serbuk bahan nabati adalah dengan
melakukan penyimpanan di tempat tertutup dan kedap udara serta suhu kamar antara
25- 30 oC. Proses pengkayaan serbuk daun jambu biji pada pakan udang dengan
menggunakan bahan perekat didapatkan hasil seperti Gambar 2.
Gambar 2. Proses pengkayaan serbuk daun jambu biji pada pakan udang
KESIMPULAN
Dari kegiatan ini didapatkan teknik pembuatan serbuk daun jambu biji dan
pengkayaannya pada pakan udang vanamei untuk keperluan pengobatan .
SARAN
Perlu diuji bahan perekat dan teknik pembuatan serbuk agar didapatkan
serbuk yang lebih halus.
40
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
41
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Kitosan me
miliki sifat polielektrolitik yang dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair
industri karena dapat menyerap logam berat dan menjernihkan limbah cair industry.
Gugus amina dan hidroksil dalam senyawa kitosan yang dapat berfungsi sebagai
koagulan untuk mengikat logam berat dari limbah industri menjadi bentuk flok-flok
yang sangat mudah dipisahkan dari media asalnya. Metode pembuatan kitosan terdiri
dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Senyawa
kitin sebagai bahan baku pembuatan kiosan banyak diemukan dalam cangkang
kepiting dan rajungan merupakan limbah. Dari 25 Kg tepung kulit kepiting dan
rajungan yang diolah diperoleh sebanyak 5 Kg kitosan. Dengan kata lain produksi
kitosan dari tepung kulit kepiting dan rajungan yang dilakukan memiliki nilai
rendmen sebesar 20%.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer
N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (GlcN). Bentukan derivatif
deasetilasi dari polimer ini adalah kitin. Kitin adalah jenis polisakarida terbanyak ke
dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata dan
beberapa fungi pada dinding selnya. Kitosan memiliki bentuk yang unik dan
memiliki manfaat yang banyak bagi pangan, agrikultur, dan medis.
Metode pembuatan kitosan terdiri dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi,
demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar
protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses
demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan
menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan chitin, sedangkan proses
deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari chitin melalui pemanasan
dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Yunizal, dkk., 2001). Proses
deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan
terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul chitin. Gugus amida pada chitin
akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk
gugus amina bebas –NH2. (Mekawati, 2000).Gugus ini chitosan dapat mengadsorpsi
ion logam dengan membentuk senyawa kompleks (khelat). Tahap dekolorisasi dapat
ditambahkan agar kitosan yang dihasilkan mempunyai warna yang lebih putih.
42
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk memproduksi kitosan yang siap diaplikasikan
oleh pembudidaya.
Demineralisasi
Dalam ember Masukkan 10 L HCl 0,1 M
Masukkan Tepung Kulit Kepiting/ Rajungan
hasil deproteinasi
Rendam selama 2 jam, (sambil diaduk)
Dinginkan, Cuci hingga pH netral
Kitin Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam
Deaselatisasi
Dalam ember Masukkan 10 L NaOH 50%
Msukkan Tepung Kulit Kepiting/ Rajungan
hasil deproteinasi dan demineralisasi
Rendam selama 4 jam, (sambil diaduk)
Dinginkan, Cuci hingga pH netral
Kitin Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam
43
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Proses Deproteinasi
Proses deproteinasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/
cangkang udang setelah proses demineralisasi dalam larutan NaOH 0,1 M selama 2
Jam. Setelah itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven
pada 80oC selama 48 jam. Untuk pembuatan larutan NaOH 0,1 M adalah dengan cara
melarutkan 40.82 gr NaOH Teknis dalam 10L Air.
Proses Demineralisasi
Proses demineralisasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/
cangkang kepiting dalam larutan HCl 0,1 M pada suhu ruang selama dua Jam.
Setelah itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada
80oC selama 48 jam. Untul pembuatan larutan HCl 0,1 M adalah dengan cara
melarutkan 98,4 mL HCl teknis dalam 10L Air.
44
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Proses Deasetilasi
Proses deasetilasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/ cangkang
kepiting setelah proses deproteinasi dalam larutan NaOH 50% selama 4 Jam. Setelah
itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada 80oC
selama 48 jam.
KESIMPULAN
Dari kegiatan yang dilakukan telah behasil diperoleh kitosan dari kulit
kepiting/ rajungan dengan rendemen sebesar 20%.
45
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
46
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Penentuan kadar nitrat dalam air dengan metode reduksi asam askorbat
spektrofotometrik didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit oleh butiran
Kadmium yang dilapisin dengan tembaga dalam suatu kolom yang disebut dengan
Kolom Reduksi Nitrat. Hasil reduksi sangat tergantung pada aktivitas permukaan
logan Cd/Cu dalam kolom reduksi nitrat. Dalam analisis nitrat, kesalahan analisis
dapat terjadi, salah satunya disebabkan oleh efisiensi kolom reduksi yang tidak
optimal. Aktivasi kolom reduksi dilakukan melalui 2-3 kali pencucian butir
Kadmium yang berukuran 0.5-2.0 mm dengan larutan HCl 2 N, Kemudian dibilas
beberapa kali dengan akuades hingga pH > 5, dilanjutkan dengan perendaman dalam
larutan 2% CuSO4.5H2O sampai seluruh bitiran Kadmium terlapisi oleh Cu yang
ditandai dengan terbentuknya endapan koloid berwarna coklat. Uji efisiensi kolom
dilakukan dengan cara membandingkan absorbansi antara larutan standar nitrit dan
standar nitrat yang telah direduksi melewati kolom reduksi tentunya dengan
konsentrasi yang sama.
PENDAHULUAN
Upaya untuk meberikan jaminan mutu hasil analisis selalu dilakukan dengan
menjalankan Prosedur pengujian yang sesuai dengan standard Laboratorium Uji,
mengunakan bahan yang berkualitas (pa), menggunakan bahan acuan CRM,
mengunakan peralatan gelas yang bebas kontaminasi, menggunakan peralatan ukur
yang terkalibrasi dan hal hal lain yang disyaratkan dalam SNI. Selain itu hal penting
yang harus dilakukan adalah kontrol presisi dan akurasi dan mengeliminir hal-hal
yang menyebabkan terjadinya kesalahan hasil analisis.
Penentuan kadar nitrat dalam air dengan metode reduksi asam askorbat
spektrofotometrik didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit. Senyawa nitrat (NO3-
) direduksi menjadi nitrit (NO2-) oleh butiran Kadmium yang dilapisin dengan
tembaga dalam suatu kolom yang disebut dengan Kolom Reduksi Nitrat (kolom Cd-
Cu). Hasil reduksi sangat tergantung pada pH larutan dan aktivitas permukaan logan
Cd/Cu dalam kolom reduksi nitrat.
Dalam analisis nitrat, kesalahan analisis dapat terjadi disebabkan banyak hal
antara lain pada saat pengambilan dan pengawetan contoh air (Alat pengambil
contoh, wadah contoh, dan gangguan mikro organism), pembuatan larutan blanko
47
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
dan efisiensi kolom reduksi. Dalam makalah ini akan kita bahas masalah efisiensi
kolom reduksi, mulai dari aktivasi Kadmium-Tembaga(Cd-Cu), mengisi kolom
sampai uji efisiensi kolom.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk merawat dan mengaktipkan kolom reduksi
nitrat (kolom Cd-Cu) supaya tetap dalam kondisi optimal, Segingga didapatkan
kinerja kolom reduksi nitrat (kolom Cd-Cu) dengan tingkat efisiensi > 95%,
sehingga presisi dan akurasi hasil analisis NO3-N dapat dipertanggung jawabkan.
Bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan ini adalah Butir Kadmium (0.5 –
2.0mm), Glass wool, larutan HCl 2N, larutan CuSO4 2%, larutan NH4Cl-EDTA,
larutan sulfanilamide, larutan n-(naftil)-ethylendiamin dihidroklorida (NED
dihidroklorida) dan air suling bebes nitrat.
Peralatan yang digunakan adalah : kolom reduksi nitrat, beaker glass 500 mL,
batang pengaduk, timbangan analitik, spatula,spektrofotometer, kuvet disposibble,
erlenmeyer, gelas ukur, pipet, labu ukur
Tata Kerja :
Aktivasi serbuk Kadmium-Tembaga (Cd-Cu) :
Masukkan sebanyak 100 gram butir Kadmium yang berukuran 0.5-2.0 mm ke
dalam Erlenmeyer 500 mL yang telah berisi 300 mL HCl 2N, aduk dengan batang
pengaduk ± 2 menit, kemudian HCl dibuang. Proses diulangi hingga 2-3 kali dengan
pemberian HCl yang baru. Bilas beberapa kali dengan akuades hingga pH > 5.
Masukkan butir Kadmium tersebut ke dalam beaker plastic yang berisi larutan 2%
CuSO4.5H2O sampai seluruh butiran Kadmium terendam. Aduk sampai merata
hingga warna biru hilang dan meresap pada butir Kadmium. buang larutan 2%
CuSO4.5H2O, ulangi 2-3 kali lagi dengan larutan 2% CuSO4.5H2O yang baru sampai
seluruh butiran Kadmium terlapisi oleh Cu yang ditandai dengan terbentuknya
endapan koloid berwarna coklat. Bilas butir Kadmium tersebut paling sedikit 10 kali
dengan akuades. Rendam butir Kadmium dalam larutan NH4Cl-EDTA encer,
selanjtnya butir Cd-CuSO4 siap digunakan.
48
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Sebelum digunakan, efisiensi kolom reduksi diuji dengan larutan standar. Efisiensi
kolom reduksi harus melebihi 95%.
Tampilan hasil dari pembuatan kolom reduksi nitrat seperti terlihat pada
gambar 1 dibawah ini.
49
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Hasi uji efisiensi yang telah dilakukan didapatkan data sebagai berikut:
Absorbansi Standard
Ulangan Absorbansi Standard Nitrat
Nitrit
1 2,481 2,532
2 2,478 2,532
3 2,482 2,531
4 2,483 2,532
5 2,482 2,531
Rerata 2,481 2,532
50
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
KESIMPULAN
Dari kegiatan aktivasi dan uji efisiensi yang telah dilakukan dengan lima kali
ulangan didapatkan hasil perhitungan % efisiensi kolom reduksi nitrat rata-rata
sebesar 98.01 %, persyaratan efisiensi kolom raduksi nitrat minimum 95 %
terlampaui.
DAFTAR PUSTAKA
Hutagalung, HorasP., Dkk(Editor) 1997, Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan
Biota, Buku 2, Jakarta : P30-LIPI.
SNI 19-6964.7-2003, Kualitas air laut Bagian 7 : Cara uji nitrat(NO3-N) dengan
reduksi Kadmium secara spektrofotometri, BSNi.
51
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Dalam rangka menjamin mutu hasil analisis kadar protein dari contoh uji,
diperlukan suatu metoda pengujian yang akurat. Untuk mendapat metoda yang akurat
perlu dilakukan suatu validasi metoda.Parameter dalam validasi metoda adalah uji
akurasi, linearitas, presisi. Nilai koefisien korelasi (r) standar nitrogen dengan berat
penimbangan 10.5 mg sampai dengan 153.9 mg adalah sebesar 0.9996. Pengujian
repitabilitas mempunyai nilai KV/RSD sebesar 0.459 dengan KV Horwitz sebesar
3.426 dan reprodusibilitas, dihasilkan data yang mempunyai nilai KV/RSD sebesar
0.780 dengan KV Horwitz sebesar 3.431. Pengujian recovery dan akurasi
menunjukkan hasil yang memenuhi persyaratan untuk tiap sampel yang disyaratkan
pada validasi ini. Pada persen perolehan kembali (% recovery) pada sampel didapat
nilai berkisar antara 99.3% - 101.5%.
PENDAHULUAN
52
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
PARAMETER VALIDASI
1. Akurasi
Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukan derajat kedekatan
hasil analisa dengan kadar analit yang sebenarnya. Terkadang masalah dalam
menentukan akurasi adalah ketidaktahuan terhadap nilai yang sebenarnya. Dalam
beberapa tipe sampel kita dapat menggunakan sampel yang telah diketahui nilainya
dan mengecek metode pengukuran kita gunakan untuk menganalisis sampel itu
sehingga kita mengetahui akurasi dari prosedur yang diujikan, metode ini disebut
dengan CRM (Certified Reference Method). Pendekatan lain adalah dengan
membandingkan hasilnya dengan hasil yang dilakukan oleh laboratorium lain atau
dengan menggunakan metode referen. Akurasi juga dapat diketahui dengan
melakukan uji perolehan kembali (recovery). Hasil uji ini akurasi dapat dinyatakan
sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan pada
sampel. Rentang nilai penerimaan kecermatan suatu metode akan bervariasi sesuai
kebutuhannya. Adapun AOAC menetapkannya seperti dalam Tabel 1.
53
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tabel 1 Persentase recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
(%) analit Mass fraksi (C) Unit Rata-rata recovery (%)
100 1 100 % 98-102
-1
10 10 10 % 95-102
-2
1 10 1% 97-103
-3
0.1 10 0.10 % 95-105
-4
0.01 10 100 ppm 90-107
0.001 10-5 10 ppm 80-110
-6
0.0001 10 1 ppm 80-110
-7
0.00001 10 100 ppb 80-110
-8
0.000001 10 10 ppb 60-115
-9
0.0000001 10 1 ppb 40-120
(sumber: AOAC 2016)
2. Liniaritas
Liniaritas metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode untuk
memperoleh hasil uji, yang baik langsung maupun dengan definisi transformasi
matematis yang baik, proporsional dengan konsentrasi analat dalam sampel pada
range tertentu (Leyva, 2008). Liniaritas dapat diuji secara informal dengan membuat
plot residual yang dihasilkan oleh regresi linier pada respon konsentrasi dalam satu
seri kalibrasi (Thompson, 2002).
Liniaritas harus dievaluasi dengan pemeriksaan visual terhadap plot
absorbansi yang merupakan fungsi dari konsentrasi analat. Jika hubungannya linier,
hasil uji dievaluasi lebih lanjut secara statistik dengan perhitungan garis regresi.
Dalam penentuan linieritas, sebaiknya menggunakan minimum lima konsentrasi.
Rentang penerimaan linieritas tergantung dari tujuan pengujian. Pada kondisi yang
umum, nilai koefisien regresi (r2) ≥ 0,99 (EMA, 1995).
Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r
pada analisis regresi linier Y= aX+b. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai
a=0 dan r=+1 atau -1 bergantung pada arah garis. Koefisien b menunjukan kepekaan
analisis terutama instrumen yang digunakan. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi
persyaratan adalah sebesar ≥ 0,99970 (ICH, 1995), ≥ 97 (SNI) atau ≥
0,9980(AOAC).
3. Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji
individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur
diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang
54
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
homogen (Harmita, 2004). Presisi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu
keterulangan atau repitabilitas (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility).
Repitabilitas adalah nilai presisi yang diperoleh jika seluruh pengukuran
dihasilkan oleh satu orang analis dalam satu periode tertentu, menggunakan pereaksi
dan peralatan yang sama dalam laboratorium yang sama. Ketertiruan adalah nilai
presisi yang dihasilkan pada kondisi yang berbeda, termasuk analis yang berbeda,
atau periode dan laboratorium yang berbeda dengan analis yang sama. Karena
ketertiruan dapat memperbanyak sumber variasi, ketertiruan dari analisis tidak akan
lebih baik hasilnya dari nilai keterulangan.
Presisi dalam hal repitabilitas diukur dengan menghitung relative standard
deviation atau simpangan baku relatif (RSD) dari beberapa ulangan dan dari nilai
simpangan baku tersebut dapat dihitung nilai koefisien varian (KV). Dari nilai KV
yang diperoleh dibandingkan dengan KV Horwitz yaitu suatu kurva berbentuk
terompet yang menghubungkan reproducibilitas (presisi yang dinyatakan sebagai
%KV) dengan konsentrasi analit. Presisi metode analisis diekspresikan sebagai
fungsi dari konsentrasi melalui persamaan : KV Horwits = 2 1-0,5 log C.
Adapun AOAC menetapkan presisi dan konsentrasi analit seperti dalam
Tabel 2.
Tabel 2 Persentase presisi yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit
Analit, % Mass fraksi (C) Unit RSD, %
100 1 100% 1.3
10 10-1 10% 1.9
1 10-2 1% 2.7
-3
0.1 10 0.1% 3.7
0.01 10-4 100 ppm(mg/kg) 5.3
-5
0.001 10 10 ppm(mg/kg) 7.3
0.0001 10-6 1 ppm(mg/kg) 11
-7
0.00001 10 100 ppb (µg/kg) 15
0.000001 10-8 10 ppb (µg/kg) 21
-9
0.0000001 10 1 ppb (µg/kg) 30
(sumber: AOAC 2016)
A. Tata Kerja
Sampel ditimbang sebanyak 10.5-153.9 mg, selanjutnya dibungkus
menggunakan Tin foil, dan masukkan kedalam autosampler
B. Validasi
I. Uji Liniearitas
Ditimbang EDTA CRM 10.5mg, 20.5mg, 30.6mg, 40.2mg,
50.1mg, 60.1mg, 81mg, 125.6mg, 153.9mg dibungkus menggunakan
Tin foil
55
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
1. LINEARITAS
Menimbang EDTA CRM 10.5mg, 20.5mg, 30.6mg, 40.2mg,
50.1mg, 60.1mg, 81mg, 125.6mg, 153.9mg bungkus menggunakan Tin foil
Hasil linearitas penetapan nitrogen dapat dilihat pada tabel 1 dan 2
Tabel. 1. Data hasil pengujian Linearitas
Nitrogen (mg) Area (mV*s)
0.000 1.7321
1.0049 3936.4
1.9619 7680.6
2.9284 11521
3.8471 15135
4.7946 18936
5.7516 22846
7.7517 30750
12.0199 46575
14.7282 56369
56
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Nilai koefisien korelasi (r) standar nitrogen dengan berat penimbangan 10.5
mg sampai dengan 153.9 mg adalah sebesar 0.9996. Hal ini menunjukkan
bahwa analisis nitrogen pada kisaran tersebut bersifat linear.
2. PRESISI
Pengukuran presisi menggunakan sampel pakan. Untuk pengujian
repitabilitas dan reprodusibilitas dilakukan dilakukan sepuluh kali ulangan.
Hasil repitabilitas dan reprodusibilitas dapat dilihat pada tabel 3 dan 4.
Tabel.3.Data hasil pengujian repitabilitas
Protein
Jenis sampel ulangan sampel (mg) N (mg) N terkoreksi
(%)
PKN 1 50.010 2.80 5.69 35.55
2 50.090 2.79 5.68 35.49
3 50.070 2.79 5.67 35.41
4 50.060 2.80 5.69 35.53
5 50.090 2.81 5.70 35.65
6 50.070 2.79 5.67 35.44
7 50.070 2.81 5.71 35.71
8 50.000 2.79 5.67 35.44
9 50.040 2.80 5.70 35.62
10 50.100 2.83 5.74 35.88
Rata2 50.060 2.801 5.692 35.573
SD 0.01 0.14
KV/RSD 0.459 0.406
KV Horwitz 3.426 2.337
57
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
kecil dari nilai KV Horwitz dan lebih kecil dari AOAC 2016 yang menetapkan RSD
sebesar 1.3. Hal ini menunjukkan bahwa teknik dumas menggunakan Dumatherm
unit untuk penentuan nitrogen pada analisis protein dapat dilakukan secara berulang
kali karena metode tersebut dapat memberikan hasil yang sama pada contoh yang
sama atau dengan metode tersebut memiliki ketelitian yang valid.
58
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Data hasil pengujian recovery dan akurasi penetapan nitrogen dalam sampel
pakan dengan penambanhan spike EDTA menunjukkan hasil yang memenuhi
persyaratan untuk tiap sampel yang disyaratkan pada validasi ini. Pada persen
perolehan kembali (% recovery) pada sampel didapat nilai berkisar antara 99.3% -
101.5%. Hal ini telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan AOAC
2016.
KESIMPULAN
59
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
AH Simonne, EH Simonne, RR Eitenmiller, HA Mills and CP Cresman (1996).
Could the Dumas Method Replace the Kjedhal Digestion for Nitrogen and
Crude protein Determinations in Foods
AOAC (2016). Appendix F : Guidelines for Standart Method Performance
Requirements
Vladimir Kocourek, Prague (2012). Method Validation and Quality Control
Procedures
Carlos Rivera, Rosario Rodriguez. Horwitz Equation as Quality Benchmark in
ISO/IEC 17025 Testing Laboratory
60
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Produktifitas tambak tidak terlepas dari tingkat teknologi. Semakin tinggi padat
tebar (intensif) maka kebutuhan oksigen menjadi salah satu faktor pembatas
produksi. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya limbah dari hasil
feces/ekskresi udang, sisa pakan dan kematian plankton, yang pada akhirnya
membuat semakin memburuknya kondisi lingkungan tanah dan air yang
berimbas pada defisit oksigen didalam tambak pemeliharaan.
Kegiatan perekayasaan untuk mengetahui nilai optimasi oksigen > 3,5 ppm
yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang serta
efek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah dan air pada
budidaya udang vaname intensif dengan padat tebar sekitar 96 ekor/m2 telah
dilakukan di tambak selama 4 bulan pemeliharaan sebanyak 2 petak
pemeliharaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat mengetahui nilai optimasi
oksigen yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada
budidaya udang vaname dan efek optimasi oksigen terhadap peningkatan
kualitas tanah dan air media budidaya.
Hasil kajian menunjukkan bahwa optimasi oksigen dapat dilakukan dengan
penambahan jumlah kincir seiring dengan umur pemeliharaan dan biomassa
udang. Produksi akhir dari kegiatan ini adalah Petak A-5 sebanyak 1.680 kg
dengan SR 73,12% dan petak A-6 sebanyak 1.732 kg dengan SR 75%. Target
produksi dari kegiatan ini belum tercapai target karena pertumbuhan udang
tidak maksimal sehubungan udang terserang penyakit IHHNV yang
menyababkan pertumbuhan udang kerdil meskipun telah dipacu dengan
pemberian pakan yang berlebih.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan produksi Perikanan di Indonesia terus digalakkan dengan
mengintroduksi jenis udang vaname yang dibudidayakan tambak, hal ini sebagai
upaya untuk mengejar target produksi udang Nasional. Beberapa karakteristik yang
membuat pembudidaya tertarik pada udang vaname adalah kemampuan
recovery/pemulihan terhadap serangan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis udang windu dan dapat dilakukan dengan kepadatan tinggi (>100
ekor/m2) serta mempunyai pangsa pasar yang terbuka luas baik dalam maupun luar
negeri dengan variasi size yang lebar, yaitu antara 50 – 150 ekor/kg).
61
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tujuan
Tujuan yang diharapkan pada kegiatan ini adalah :
- Mengetahui nilai optimasi oksigen yang mampu mendukung
pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada budidaya udang vaname.
- Mengetahui effek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah
dan air media budidaya.
- Mampu menghasilkan berat udang size 60 (16,6 gram) dan tingkat
kelangsungan hidup (SR) sebesar 70%, dengan Rasio pakan (FCR) 1,487
: 1 selama masa peliharaan 120 hari.
Sasaran.
Sasaran yang hendak dicapai pada kegiatan ini adalah :
- Diperoleh Nilai oksigen ideal > 3,5 ppm, pada pagi hari sebelum matahari
terbit (05.30 WIB),
- Diperoleh Nilai kelayakan parameter kualitas tanah dan air selama masa
pemeliharaan,
62
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
METODE
Persiapan Lahan
a) Perbaikan pematang petak pemeliharaan dengan bahan pengkedapan
berupa waring/kasa halus untuk mengatasi bocoran/rembesan,
b) Perbaikan petak tandon biofilter dengan cara pendalaman dan peninggian
pematang menggunakan alat berat berupa exchavator dan penataannya
dengan tenaga manual,
63
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
64
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
c) Jumlah tebar benih vaname adalah 350.000 ekor/petak atau padat tebar
sekitar 75 ekor/m2. Dilakukukan pada 2 petak pemelihraan .
Pemeliharaan
a) Rancangan penerapan dan perlakuan optimasi oksigen dengan pengaturan
jumlah kincir:
Perlakuan Petak I
- Umur 1 – 30 hari sebanyak 6 unit kincir
- Umur 31 – 60 sebanyak 8 unit kincir
- Umur 61 – 120 sebanyak10 unit kincir
Perlakuan Petak II
- Umur 1 – 60 hari sebanyak 8 unit kincir
- Umur 60 – 120 hari sebanyak 10 unit kincir
Catatan : Perlakuan ini tergantung hasil pengukuran oksigen minimal pagi
hari > 3,5 ppm
b) Pengelolaan pakan (blind feeding programme dan Sampling mingguan),
c) Pembuangan limbah tambak 5 menit pd pagi dan sore hari selama
budidaya,
d) Penerapan sistim ganti air “Less Water Exchanges” :
- Umur 1 – 30 hari, sebanyak 0% tambahan air
- Umur 31–60 hari, sebanyak 2 – 3% tambah air/minggu
- Umur 61–90 hari, sebanyak 3 – 5% tambah air /minggu
- Umur > 91 hari, sebanyak 5% tambah air/minggu.
e) Pengamatan dan pengedalian penyakit (kesehatan udang) -- 7 hari sekali,
dengan aplikasi feed additive, multivitamin, bawang putih, dll.
Monitoring
Kegiatan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan pengamatan selama masa
pemeliharaan dengan data yang diamati sebagai berikut :
a) Kualitas air -- pengukuran kualitas air harian (pagi dan sore) yakni
parameter fisik : suhu, salinitas, DO, pH sedangkan parameter kimia
seminggu sekali meliputi ammonia, nitrit, C/N ratio, bahan organik,
vibrio dan total bakteri serta kelimpahan dan jenis plankton.
b) Kualitas tanah -- pengukuran parameter tanah seminggu sekali meliputi
redoks potensial, C/N ratio, bahan organik, vibrio dan total bakteri
(termasuk jumlah Bacillus sp).
c) Kesehatan Udang -- pengelolaan kesehatan udang dilakukan dengan
pemberian feed additive. Sampling dilakukan 7 hari sekali untuk
mengetahui populasi, berat udang dan biomasa udang, setelah umur
pemeliharaan 30 hari.
65
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Panen
Apabila umur pemeliharaan udang vaname telah mencapai 120 hari, maka
dilakukan pemanenan secara total dan atau dilakukan pada kondisi
emergensi/darurat.
66
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Kualitas Lingkungan
Salinitas
Parameter air yang penting bagi udang diantaranya adalah salinitas. Hal ini,
berkaitan dengan proses osmoregulasi dalam tubuh udang. Meskipun udang windu
maupun udang vaname mempunyai toleransi yang tinggi terhadap salinitas yaitu
antara 0 – 50 ppt (Anonim, 1985), namun untuk tumbuh dan berkembangnya udang
memerlukan salinitas yang optimal, yaitu antara 15 – 25 ppt (Anonim, 2004 dan
Anonim, 2007).
Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa, selama pemeliharaan (interval waktu 1
bulan) terjadi kenaikan salinitas antara 30 – 31 ppt pada udang vaname. Hal ini
diduga sebagai salah satu rendahnya laju pertumbuhan udang, karena salinitas di atas
salinitas optimal. Meskipun udang merupakan biota euryhaline namun untuk
pertumbuhannya akan terlambat apabila dipelihara pada salinitas lebih rendah atau
lebih tinggi dari kadar optimal dalam waktu yang lama (Anonim, 1985).
67
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tabel 3. Kisaran parameter kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname
Bulan ke Bulan ke
No Parameter Bulan ke I Bulan ke II
III IV
1 Salinitas (ppt) 30 – 31 27 – 30 27 – 29 26 – 27
o
2 Suhu ( C) 29,6 – 30,5 29,4 – 30,3 29 – 30,5 28,5 – 30
3 Oksigen (ppm) 3,5 – 4,1 5,12 – 5,30 4,95- 5,92 4,88 – 5,8
4 pH Air 7,8 – 8,11 8,0 – 8,0 7,7 – 8,2 7.89 – 8.0
5 BO Air (mg/L) 90 - 120 128,74 – 102 - 140 100 - 110
133,83
6 BO Tanah (%) 8,0 – 8,4 8,0 – 9,22 5,86 – 8,63 8,1 – 9,3
7 NH 3 (ppm) tt tt-0,029 0,006-0,028 tt-0,094
8 NO 2 (ppm) 0,072 0,005-0,102 0,19-0,35 0,027-0,087
1 1 2
9 Tot.Vibrio 1,2.10 - 7.10 -3,5.10 1,0.101- 1,0.102-
(CFU/mL) 3,4.102 5,5.102 8,6.105
10 Tot. Bakteri 5,3.102 1,9.102- 1,0.103- 9.102-9.103
(CFU/mL) ,1.103 5,6.104
11 Plankton 7.564-9.684 8.968- 9.568- 10.468-
(sel/cc) 10.236 11.224 12.424
12 Redoks - 85s/d-102 -147s/d-234 -132s/d - -150s/d -
Potensial (m.V) 282 275
Tabel 4. Kisaran parameter kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname
No Parameter Bulan ke I Bulan ke Bulan ke Bulan ke
II III IV
1 Salinitas (ppt) 30 – 31 27 – 30 27 – 30 25 – 27
o
2 Suhu ( C) 29,6 – 30,5 29,4 – 30,3 29 – 30,5 28,5 – 30
3 Oksigen (ppm) 3,5 – 4,1 3,51 – 4,11 3,4 – 4,3 4,2 – 5,65
4 pH Air 7,68 – 8,21 8,1 – 8,1 7,7 – 8,2 7.86 – 8,0
5 BO Air (mg/l) 90–120 128,74– 105,99– 100 –
133,83 146,83 112,22
6 BO Tanah (%) 7,9 – 8,3 6,19 – 9,30 8,0 – 8,34 8,0 – 9,2
7 NH 3 (ppm) tt tt-0,029 0,006-0,028 tt-0,094
8 NO 2 (ppm) 0,072 0,005- 0,19-0,35 0,027-0,087
0,102
2
9 Tot.Vibrio 5,7.10 8.101- 4.101- 2,3.102-
(CFU/mL) 3,9.102 5,6.102 3.104
10 Tot. Bakteri 5,8.105 1,9.105- 3.103- 2,3.102-
(CFU/mL) 2,1.10 3,3.104 2,4.102
11 Plankton 7.664-9.784 9.428- 9.488- 10.762-
(sel/cc) 10.834 11.326 12.524
12 Redoks - 80 s/d 95 -109s/d- -141 s/d - -150 s/d -
Potensial (m.V) 151 233 214
68
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor pembatas yang nyata dalam kehidupan
udang di tambak. Suhu air berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya reaksi
kimiawi air. Peran yang ditimbulkan diantaranya adalah dalam hal proses
metabolisme udang dan nafsu makan. Pada suhu rendah, maka metabolisme udang
juga rendah dan nafsu makan menurun. Suhu optimum bagi udang adalah berkisar
antara 26 – 32oC (Boyd, 1989). Fluktuasi suhu harian yang cukup tajam selama masa
pemeliharaan akan berpengaruh pula terhadap daya konsumsi pakan yang tinggi,
akan tetapi tidak memberikan nilai tambah terhadap pertumbuhan udang (Anonim,
2004 dan Anonim, 2007). Salah satunya cara untuk menjaga kestabilan suhu adalah
dengan menjaga ketinggian air yang optimal dan kemelimpahan plankton (kecerahan
air) yang standar (Adiwidjaya et al, 2003).
Dari Table 3 dan 4 terlihat bahwa temperatur air berkisar antara 29 – 30oC
(vaname). Suhu hingga 28,5oC dicapai pada akhir bulan menjelang musim
penghujan. Dalam kegiatan ini dapat dikatakan suhu masih dalam kisaran yang layak
untuk mendukung pertumbuhan maupun kelangsungan hidup udang.
Oksigen Terlarut
Parameter utama kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan kelangsungan hidup udang adalah oksigen. Pasokan oksigen dalam budidaya
udang vaname intensif didapat salah satunya dari penggunaan kincir sebagai alat
pensuplai oksigen. Pengaruh langsung oksigen adalah efektivitas penggunaan pakan
serta proses-proses metabolisme udang dan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap kondisi kualitas air. Konsentrasi maksimum oksigen air media sangat
tergantung pada tekanan atmosfir, konsentrasi garam dan temperatur. Konsentrasi
oksigen yang rendah yaitu dibawah 1,5 mg/L (ppm) bersifat lethal bagi ikan maupun
udang. Sedangkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ikan dan udang adalah pada
konsentrasi di atas 3,5 mg/l hingga konsentrasi saturasi (Ahmad, 1991).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hingga udang berumur 119 hari
kondisi oksigen masih di atas normal (4,2 – 5,8 ppm) untuk mendukung
pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Kandungan oksigen semakin meningkat
seiring dengan penambahan jumlah kincir hingga 6 buah/petak/0,5 ha dapat menjaga
optimasi oksigen.
pH
Nilai pH air menunjukkan derajad keasaman air. Dinamika pH air
berpengaruh nyata terhadap nafsu makan udang dan pelarutan unsur-unsur hara. pH
air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari pH optimum akan mempersulit
pelarutan beberapa unsur hara penting untuk phytoplankton (Anonim, 1992).
Beberapa dampak pH air pada pemeliharaan organisme air adalah sebagai berikut : a)
pH 4 menyebabkan kematian udang dan ikan (disebut death point); b) pH 4 – 6
memperlambat pertumbuhan udang; c) pH 6 – 9 adalah nilai pH optimal bagi udang;
69
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Ammonia (NH3)
Ammonia merupakan salah satu senyawa hasil sampingan dari proses
perombakan bahan organik di dalam air dan bersifat racun bagi udang dan ikan.
Tingkat keracunan ammonia semakin meningkat apabila pH > 9. Kehadiran senyawa
ini berkaitan erat dengan tingkat oksidasi air. Semakin tinggi kadar oksigen air, maka
semakin rendah kadar ammonianya karena teroksidasi menjadi ammonium (NH4)
yang tidak beracun dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk proses
fotosintesis.
Hasil pengukuran ammonia (NH3) hingga umur 4 bulan masih dapat
dikatakan normal yaitu pada nilai tertinggi < 0,1 ppm (Tabel 3 dan 4). Hal ini
dimungkinkan karena dengan penambahan alat pensuplai oksigen berupa kincir air
hingga 6 buah/petak mampu menghasilkan oksigen untuk mencukupi kebutuhan
oksigen bagi pertumbuhan dan kel;angsungan hidup udang serta kebutuhan oksigen
bagi bakteri perombak senyawa beracun.
Nitrit (NO2)
Nitrit merupakan senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan
organik. Dalam kondisi normal, konsentrasi nitrit sangat jarang mencapai konsentrasi
mematikan udang. Bila kadar oksigen dalam air tinggi, senyawa ini akan teroksidasi
menjadi nitrat (NO3) yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai nutrien.
Senyawa ini diukur sebagai salah satu indikator kesuburan tambak.
Hasil pengamatan terhadap nitrit selama pemelihraan terlihat bahwa nilai
nitrit pada kisaran 0,004 – 0,19 ppm, ini menunjukan kerja dari bakteri heterotropik
di dalam merombak bahan organik oleh kerja bakteri nitrifikasi cukup efektif.
Plankton
Jenis plankton beberapa diantaranya ada;ah dari jenis diatom,
Chlorophyceaea sp, crustacea kecil dan zoobenthos merupakan makanan (alami)
70
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
yang baik bagi udang (Anonim, 1985). Namun demikian, banyak jenis
Cyanophyceae Sp, Dinophyceae Sp. serta protozoa tidak baik bahkan merugikan bagi
udang. Kondisi kemelimpahan plankton yang optimal berkisar antara 8.000 – 15.000
sel/cc (Anonim, 1992).
Dari hasil pengamatan rutin yang dilakukan setiap minggu menunjukkan hasil
yang cukup baik, yaitu berkisara antara 7.564 s/d 12.500 sel/mL.
Redoks Potensial
Redoks potensial pada sedimen dasar tambak menggambarkan intensitas
oksidasi reduksi yang terjadi pada lapisan tanah dasar tambak. Limbah organik yang
mengalami transformasi secara biokimiawi oleh bakteri selalu melibatkan proses
oksidasi dan reduksi. Bahan organik di dasar tambak dapat dioksidasi melalui
pengeringan yang cukup selama persiapan tambak, sedangkan oksidasi bahan
organik selama masa pemelihraan dapat dilakukan antra lain dengan pemanfaatan
kerja bakteri pengurai limbah, diantaranya adalah bakteri Bacillus Spp. Potensial
redoks tanah dasar tambak untuk budidaya udang tidak lebih dari – 150 m.V (Boyd,
1998), sementara yang masih dapat ditoleransi maksimal – 250 m.V (Anonim, 2007).
Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa kandungan redok potensial tertinggi terjadi
pada petak A-5 yaitu hingga mencapai – 285 m.V yang sudah diatas batas ambang
toleransi bagi udang dan dapat menyebabkan stress. Sedangkan pada petak A-6
tertinggi dicapai hingga – 233 mV pada saat udang berumur kurang lebih 3 bulan.
Dengan data redoks potensial selama pemeliharaan berlangsung pada kegiatan ini
terjadi fluktuatif, namun secara mendasar tidak langsung mematikan udang.
71
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
mendeteksi dini serangan penyakit, tetapi juga sekaligus dapat menunjukkan adanya
penurunan kualitas lingkungan tambak (Prastowo, 2007). Lebih lanjut dikatakan
bahwa kemelimpahan vibrio 102 – 103 CFU/mL merupakan level aman, 103 – 104
CFU/ml merupakan level stress dan > 104 CFU/mL merupakan level kritis, dengan
dominasi vibrio bakteri adalah < 5% level aman, 6 – 10% adalah level stress dan >
10 % adalah level kritis.
Hasil pengamatan kemelimpahan total vibrio dalam air selama pemeliharaan
90 hari berkisar antara 1,0.102 - 5,5.102 (petak A-5) dan 4.101 – 5,6.102 (petak A-6).
Peningkatan total vibrio terjadi menjelang umur 117 hari hingga 104 – 105 telah
secara nyata mampu menyebabkan virus WSSV menginfeksi udang vaname dan
pada akhirnya menyebabkan kematian. Prastowo, 2007 menyatakan bahwa akan
terjadinya serangan penyakit lebih ditekankan pada fluktuasi bakteri vibrio dalam
tambak. Lebih lanjut dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa fluktuasi kemelimpahan
bakteri Vibrio terjadi pada akhir pemeliharaan, yaitu terdeteksi pada kisaran level
stress dan level kritis yang menyababkan udang terjangkit penyakit sehingga
menyebabkan kematian cukup banyak.
Produksi
Hasil akhir kegiatan “Peningkatan produksi udang vaname melalui optimasi
oksigen pada teknologi intensif” tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Produksi udang vaname (petak I) dan (petak II)
No. Keterangan Petak I Petak II
1 Jenis udang Vaname Vaname
3 Jumlah tebar 350.000 ekor 350.000 ekor
4 Sintasan ( SR ) 80,0% 82,5 %
5 Udang layak jual 1.657 kg 1.715 kg
6 Under size terjual 23 kg 17 kg
7 BS (tidak layak jual) 102 kg 25 kg
Saran
Adapun saran yang perlu disampaikan dari hasil kegiatan ini adalah sebagai
berikut :
72
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D., Erik, Sutikno. dan Dwi Sulistinarto. 2003. Produktifitas Pada
Budidaya Udang Windu Sistim Tertutup: Peluang Usaha Untuk Mencari
Nilai Tambah Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara. Pertemuan Pra Lintas UPT Budidaya Air Payau dan Laut,
Ditjen. Perikanan Budidaya, Jepara September 2003. 39 halaman.
Adiwidjaya, D., Triyono, Herman, Aris Supramono, dan Hadi Prayitno, 2004.
Makalah. Peningkatan produktivitas tambak melalui penerapan probiotik
secara terkendali pada budidaya udang sistim tertutup. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 26 hal.
Ahmad, T., 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak
Udang Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros.
Anonim, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai
Budidaya Air Payau. Jepara. 225 hal.
Anonim, 1992. Plankton Management and Shrimp Culture. Pub. By The Asian
Shrimp Culture Council. Asian Shrimp News. No. 9.
Anonim, 2004. Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 39 hal.
Anonim, 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP pada Budidaya Udang
Windu (P. monodon Fab.) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 68 hal.
Byod, C. E., 1989. Water Quality Management for Fish Science. Vol. 9. Elselver
Scientify. Pub. Comp. 318 p.
Latif, M.S. 2007. Manjemen fisika kimia lingkungan budidaya. Makalah pelatihan
Tenaga pendamping Teknis. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau.
Jepara. 18 hal.
Prastowo, BW. 2007. Fluktuasi dan kemelimpahan bakteri vibrio di tambak sebagai
indikator serangan penyakit bintik putih (white spot) di tambak udang Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.
Sutanto Iwan., 2002. Aplikasi sistim heterotrof sebagai upaya dalam pengendalian
penyakit pada budidaya udang windu dan Vaname. Makalah pada Seminar
nasional crystacea ke 2. IPB-Bogor. 16 hal.
73
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Usaha udang windu mengalami perkembangan yang sangat pesat, sejalan dengan
perkembangan dan tingkat produktivitas udang windu yang tinggi di masyarakat,
maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama pada usaha budidaya
udang windu, karena dengan tingkat kepadatan tebar yang tinggi pada budidaya
udang vaname ini sudah terlihat dampak terhadap tambak secara internal dan
eksternal. Sebagai contoh dampak intenal adalah kandungan bahan organik tanah
melebihi batas ambang yang berasal dari limbah kotoran udang (feces) dan sisa
pakan udang serta akibat organisme perairan lainnya yang mati. Salah satu metoda
untuk menjaga dan mengeliminir kandungan bahan organik adalah dengan teknik
penyiponan lumpur dasar (sedimen organik) dengan sistem pompa hisap jenis
portable.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produktivitas tambak pada
pemeliharaan calon induk udang windu G9 dan untuk mencari teknik penyiponan
yang efektif pada lumpur organik sedimen dasar tambak.
Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah terlihat nyata antara petak yang
disipon (perlakuan) dan petak tidak disipon (kontrol). Tingkat produktivitas pada
petak yang disipon mempunyai nilai tambah yang cukup signifikan dibandingkan
dengan petak yang tidak disipon.
Kata Kunci : penyiponan, sedimen, calon induk udang windu G9, bahan organik
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komoditas udang merupakan salah satu pangsa pasar yang menjanjikan untuk
terus ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas produksinya. Namun
sejalan dengan perkembangan kondisi lingkungan yang semakin menurun dari segi
beberapa parameter lingkunagn media pemeliharaan, seperti bahan organik air dan
tanah yang tinggi serta parameter kualitas lingkungan lainnya yang kurang optimal.
Sealin itu, dominansi dan fluktuasi bakteri Vibrio Sp. sangat dipengaruhi oleh
kosentrasi bahan organik air dan sedimen (Gunarto at al, 2006). Penurunan kualitas
lingkungan, kualitas perairan yang buruk, juga berpengaruh terhadap tingkat
intensitas serangan penyakit tersebut (Holm, 1999). Dengan kondisi mulai terjadinya
degradasi parameter kualitas lingkungan budidaya, maka tidak sedikit pembudidaya
banyak yang mengalami gagal panen secara maksimal.
Kasus menurunnya kualitas lingkungan dan serangan penyakit pada
budidaya udang windu (Penaeus monodon) hingga saat ini belum sepenuhnya dapat
74
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
diatasi. Oleh karena itu, ada kecenderungan udang introduksi, seperti L. vannamei
menjadi komoditas alternatif pada budidaya udang di tambak. Hal ini dapat
dimengerti karena sejak dirilisnya udang vaname yang berasal dari Amerika Latin
(Meksiko) pada tahun 2001 perkembangannya di Indonesia cukup pesat. Demikian
pula dengan teknologi dan tingkat produktivitas di tambak sangat signifikan
menggantikan posisi usaha budidaya udang windu yang sering mengalami kegagalan
panen yang optimal. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh udang vaname, antara
lain responsif terhadap pakan yang diberikan atau nafsu makan yang tinggi, cukup
tahan terhadap serangan penyakit dan adaptif terhadap kondisi lingkungan yang
kurang baik. Selain itu udang vaname juga memiliki pangsa pasaran yang pesat
ditingkat internasional dan dapat diproduksi dengan padat tebar tinggi. Udang
vaname juga mempunyai kebiasaan (life style) yang agak berbeda dengan jenis udang
windu, yaitu mempunyai gerakan yang sangat lincah dan hampir menempati seluruh
kolom air media pemeliharaan (sekitar 70%). Sehingga tingkat kepadatan tebar yang
akan dilaknakan hampir identik dengan seberapa jumlah volume air pada tambak
tersebut.
Usaha udang windu mengalami perjalanan yang lesut, sejalan dengan
perkembangan dan tingkat produktivitas udang windu yang tinggi di masyarakat,
maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama pada usaha budidaya
udang windu, karena dengan tingkat kepadatan tebar yang tinggi pada budidaya
udang windu ini sudah terlihat dampak terhadap tambak secara internal dan
eksternal. Salah satu parameter kualitas lingkungan yang sudah melebihi batas
ambang adalah bahan organik tanah yang berasal dari limbah kotoran udang (feces)
dan sisa pakan udang dan parameter kualitas lingkungan media lainnya.
Dengan melihat kenyataan di lapangan dan banyak kasus budidaya udang
windu yang mengalami kegagalan panen yang maksimal akibat beberapa atau salah
satu faktor parameter kualitas lingkungan media pemeliharaan yang kurang dan atau
tidak optimal, maka BBPBAP–Jepara berkewajiban untuk ikut memberikan solusi
penanggulangannya. Salah satunya adalah dengan adanya rekayasa teknik
pengelolaan lumpur dasar pada budidaya udang windu
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah :
Untuk meningkatkan produktivitas tambak pada pemliharaan calon induk
udang windu.
Untuk mencari teknik penyiponan yang efektif pada lumpur organik
sedimen dasar tambak.
Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai dari teknik pengelolaan lumpur dasar ini adalah
sebagai berikut :
75
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
Persiapan Tambak
Kegiatan persiapan tambak yang dilakukan adalah pengeringan,
pemberantasan hama, pengolahan dasar dan perbaikan pH tanah dasar. Pengeringan
dilakukan hingga tanah retak-retak untuk untuk mempercepat proses penguraian
bahan organik. Pembalikan tanah dasar tambak tidak dilakukan karena hingga pada
kedalaman 10 – 15 cm kualitas tanah masih menunjukan nilai yang layak dengan
nilai parameter diantaranya : bahan organik < 12%; redoks potensial > -50 m.V dan
pH tanah > 6,5.
76
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengelolaan Pakan
Pengelolaan pakan meliputi dosis, ukuran, jumlah, waktu dan frekuensi
pemberian disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Pemberian pakan tambahan
mulai diberikan sejak awal penebaran hingga ukuran yangb ditentukan dengan
ukuran dan jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran udang. Pengamatan nafsu
makan dilakukan setiap pemberian pakan melalui kontrol pada anco (feeding tray).
Jumlah pakan pada masing-masing anco adalah 0,8 – 1% dari jumlah setiap
pemberian. Jumlah anco minimal 2 buah per petak. Pemberian pakan segar juga
dilakukan bila nafsu makan menurun dan diimbangi dengan pengelolaan air yang
baik.
Pengelolaan air
Pengelolaan air yang dilakukan selama pemeliharaan adalah pergantian air;
pengukuran kualitas air serta aplikasi pupuk anroganik (Urea, TSP dan pupuk
lainnya). Pengamatan kualitas air harian meliputi : salinitas, pH, suhu, kecerahan.
Pengamatan kualitas air secara periodik (mingguan) meliputi : bahan organik, nitrit,
ammonia dan alkalinitas. Sedangkan pengamatan kualitas tanah secara periodik (2
minggu sekali) meliputi : redoks potensial, pH dan bahan organik. Untuk menjaga
77
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
pH agar stabil diaplikasikan dolomit dengan dosis 5 – 15 ppm dan untuk menyerap
gasp-gas beracun digunakan zeolit dosis 5 – 10 ppm.
Pengamatan kondisi kesehatan udang dilakukan setiap hari yang meliputi
gerakan, warna, kondisi usus dan nafsu makan melalui mengamati pada anco
(feeding tray). Pengamatan dan pengukuran laju pertumbuhan udang dan perhitungan
pakan dilakukan setiap 7 hari sekali. Pengambilan contoh sampel udang
menggunakan jala tebar dengan teknik diambil beberapa titik sample yang dianggap
mewakili.
Panen
Pemanenan hasil dapat dilakukan apabila target umur pemeliharaan sudah
cukup dan ukuran udang sudah mencapai yang ditentukan yaitu setelah mencapai
ukuran berat rata-rata individu minimal >80 gram
78
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Bahan Organik
Kandungan bahan oganik tanah adalah merupakan sumber pollutan di
lingkungan perairan, khususnya lingkungan tambak. Limbah kotoran udang dan sisa
pakan serta organisme yang mati akan mengalami akumulasi di dasar tambak,
sehingga dalam proses dekomposisinya akan menghasilkan senyawa-senyawa yang
bersifat gas-gas beracun yang berdampak negatif seperti H2S, NH3 dan gas lainnya.
Gas-gas beracun yang ditimbulkan akibat proses dekomposisi bahan organik pada
sedimen dasar tambak dapat menyebabkan udang/ikan keracunan dan menjadi stres
bahkan kematian (Ahmad,, 1991 dan Boyd, 1992). Secara umum bahan organik
tanah dapat dikendalikan dengan cara mengoptimal pada saat proses persiapan awal.
Untuk mengeliminir bahan organik tanah dapat dilakukan beberapa cara, yaitu
lakukan proses pengeringan, pembuangan sisa kotoran (pengupasan), pencucian,
pembalikan/pengolahan dan pengupasan tanah dasar, serta pengapuran secukupnya
(Adiwidjaya, et al, 2002).
Hasil pengamatan sejak bulan pertama pada petak yang disipon sedimen
dasar tambaknya terukur kandungan bahan organiknya antara 9,6 – 12,4%. Hal ini
dapat dikatakan kondisi kandungan bahan organik pada petak perlakuan lebih baik
bila dibandingkan dengan petak tanpa perlakuan penyiponan (Tabel 5). Tetapi pada
awal bulan kandungan bahan organik hampir relatif sama, ini disebabkan dasar
tambak pada bulan pertama masih dalam kondisi baik akibat pengaruh pada tahap
persiapan dan bahan organik dari kotoran calon induk udang windu masih sedikit.
Dengan kisaran bahan organik pada petak perlakuan (yang disipon) hampir
mendekati kondisi optimal, yakni masih berada dalam kondisi yang layak bagi
kehidupan udang (Anonim, 2007). Bahan organik sedimen dasar tambak
79
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
pH
Derajat kesaman (pH) tanah banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor
pembentuknya, antara lain bahan organik dan berbagai jenis organisme air yang
mengalami pembusukan, logam berat (besi, timah dan bouksit, dll). Biasanya pH
tanah dasar tambak yang rendah diikuti tingginya kandungan bahan organik tanah
yang terakumulasi dan tidak terjadi oksidasi yang sempurna (Anonim, 1985).
Sedangkan pH tanah yang rendah cenderung dipengaruhi oleh kandungan logam
berat seperti besi, timah dan logam lainnya. pH tanah yang optimal untuk kegiatan
budidaya udang dan ikan berkisar antara 6,5 – 8,0 (Boyd, 1992).
Hasil pengukuran nilai pH pada pemeliharaan calon induk udang windu baik
yang dilakukan pada petak yang disipon maupun pada petak tidak disipon masih
dalam kondisi yang cukup optimal. Namun pada bulan ketiga pada petak tidak
disipon nilai pH tanahnya cenderung menurun, hal ini terkait erat dengan kandungan
bahan organik yang cenderung meningkat (Tabel 4).
Tabel 4. Kisaran parameter kualitas sedimen dasar selama pemeliharaan calon induk
udang windu
N Bulan Petak Perlakuan Penyiponan Petak Tanpa Penyiponan
o. ke BO pH Redoks BO pH Redoks
(%) (m.V) (%) (m.V)
1 I 9,6 - 11,1 6,7 - -14s/d - 9,5 - 6,6 - -18 s/d -68
7,5 71 11,7 7,4
2 II 10,0 - 6,8 - -68s/d - 11,3 - 6,5 - -85s/d -102
11,6 7,6 98 12,2 7,4
3 III 10,8 - 7,0 - -75s/d - 13,8 - 6,6 - -112s/d -
11,9 7,7 115 14,3 7,1 171
Redoks Potensial
Potensial redoks pada sedimen dasar tambak adalah menggambarkan
intensitas oksidasi dan reduksi yang terjadi (Boyd, 1992). Suatu substansi
terakumulasi dan tidak teroksidasi oleh oksigen karena keterbatasan cadangan
oksigen. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan substansi tersebut melepaskan
elektron yang selanjutnya mengakibatkan senyawa lain tereduksi. Limbah organik
yang mengalami transformasi secara biokimiawi oleh bakteri selalu melibatkan
proses oksidasi dan reduksi. Bahan organik yang ada di dasar harus dioksidasi
melalui proses pengeringan yang cukup (bila perlu dengan pembalikan tanah dasar).
Cukup tidaknya proses oksidasi dapat dilihat dari nilai pengukuran Potensial redoks
(Reduksi-Oksidasi). Bila bahan-bahan tereduksi sudah teroksidasi (termasuk bahan
organik) maka nilai Potensial Redoks (ORP = Oxydation-Reduction Potential)
positif. Potensial redoks tanah dasar tambak untuk budidaya udang tidak lebih dari
minus 150 m.V (Boyd, 1992). Redoks potensial dapat dijadikan parameter kualitas
80
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Salinitas
Salinitas air media pemeliharaan pada umumnya cukup berpengaruh tehadap
pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup udang (Anonim, 1985). Dari hasil
pengamatan pada kedua petak pemeliharaan terukur mulai bulan pertama hongga
bulan tiga terjadi peningkatan hingga mencapai salinitas 32 ppt. Dengan kondisi
salinitas seperti ini masih cukup mendukung untuk kegiatan budidaya udang secara
umum, karena udang dapat tumbuh dan berkembangan pada kisaran salinatas antara
5 – 30 ppt (Anonim, 1985 dan Ahmad, 1991), karena jenis udang vaname
81
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
mempunyai toleransi cukup luas yaitu antara 0 – 50 ppt. Namun apabila salinitas di
bawah 5 ppt dan di atas 30 ppt biasanya pertumbuhan calon induk udang windu G9
relatif lambat, hal ini terkait dengan proses osmoregulasi dimana akan mengalami
gangguan, terutama pada saat udang sedang ganti kulit dan proses metabolisme
(Anonim, 2007).
Temperatur
Temperatur air merupakan salah satu faktor pembatas yang nyata dalam
kehidupan udang ditambak. Seringkali didapatkan udang mengalami stres dan
bahkan mati disebabkan oleh perubahan suhu yang fluktuatif (Ahmad, 1991).
Keadaan seperti ini sering terjadi pada tambak dengan kedalaman kurang dari satu
meter atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Sebagai contoh musim kemarau
(musim bediding) dan perbedaan suhu yang sangat mencolok antara siang dan malam
hari (Adiwidjaya et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian para ahli, terbukti
bahwa pada suhu rendah metabolisme udang menjadi rendah dan secara nyata
berpengaruh terhadap nafsu makan udang menurun (Byod, 1989).
Sementara dari hasil pengamatan pada kedua petak yaitu sejak bulan pertama
hingga bulan tiga terukur antara 24,5 – 31,00C. Rendahnya suhu pada pagi hari dan
terjadinya fluktuasi yang tajam pada sore hari dikarenakan pada musim kemarau
sering terjadi pengaruh angin selatan (bediding). Rendahnya suhu air pada pagi
hingga siang hari dapat menyebabkan nafsu makan udang rendah dan proses
metabolisme tidak optimal, sehingga dapat menghambat petumbuhan bahkan dapat
menyebabkan kematian. Sedangkan nilai temperatur optimal bagi pertumbuhan dan
perkembangan udang berkisar antara 28,0 – 31,5 0C (Anonim, 1985 dan Anonim,
2007).
DO (Oksigen Terlarut)
Kelarutan oksigen dalam air media pemeliharaan merupakan parameter kunci
dalam setiap kehidupan organisme air (Boyd, 1989). Konsentrasi maksimum oksigen
di air sangat tergantung pada tekanan atmosfir, konsentrasi garam, dan temperatur.
82
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Konsentrasi oksigen yang rendah, dibawah 1,5 mg/l bersifat lethal bagi ikan maupun
udang. Sedangkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ikan dan udang adalah pada
konsentrasi diatas 3.5 mg/l hingga konsentrasi saturasi (Anonim, 1991).
Hasil pengamatan pada kedua petak ada perbedaan nilai konsentrasi oksigen
terlarut yang cukup mencolok. Petak perlakuan (yang disipon) secara keseluruhan
hampir dikatakan dalam kondisi optimal (3,4 – 5,5 ppm) dan petak kontrol (tidak
disipon) terjadi penurunan mulai bulan ketiga hingga keempat, yaitu antara 2,7 – 4,8
ppm. Secara tidak langsung dampak dari teknik penyiponan pada sedimen dasar
tambak dapat menstabilkan dan meningkatkan nilai konsentrasi oksigen terlarut dan
sebaliknya pada petak kontrol terjadi defisit oksigen mulai bulan kedua akibat
penyerapan oksigen oleh akumulasi bahan organik. Sedimen dasar tambak
(akumulasi lumpur/bahan organik) dapat menyerap oksigen sebesar hamir 20%
(Boyd, 1992).
Alkalinitas
Alkalinitas adalah kumpulan seluruh anion di dalam badan air. Alkalinitas
menggambarkan kapasitas buffer air yang dinyatakan dalam mg/l dari CaCO3.
Semakin sadah air, semakin baik bagi usaha budidaya ikan/udang dengan nilai
optimalnya 120 mg/l dan nilai maksimumnya 200 mg/l. Kesadahan total
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proporsi ion magnesium
dan kalsium (Anonim., 1985 dan Ahmad., 1991). Parameter ini diukur untuk
menyediakan tambak udang dengan kondisi yang identik dengan lingkungan
alaminya. Perairan dengan alkalinitas rendah mempunyai daya penyangga (buffer
capacity) yang rendah terhadap perubahan pH. Alkalinitas air sangat erat kaitannya
dengan tersediannya karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesis tumbuhan air
terutama fitoplankton.
Kondisi alkalinitas yang didapat dari hasil pengamatan pada kedua petak baik
perlakuan maupun kontrol tidak jauh berbeda kandungannya. Namun pada awal
pemeliharaan kandungan alkalinitas masih dibawah optimal, yaitu antara 79,4 – 98,9
ppm, sedangkan mulai bulan kedua terjadi peningkatan kearah yang optimal (Tabel 7
dan 8). Dengan data dari akhir bulan pertama hingga akhir pemeliharaan, bahwa
untuk kegiatan budidaya ikan maupun udang cukup optimal, sementara alkalinitas
yang optimal untuk kegiatan budidaya udang berkisar antara 90 – 150 ppm
(Anonim., 1985 dan Ahmad., 1991).
Bahan Organik
Keberadaan kandungan bahan organik pada air media, baik pada perairan
umum maupun petakan tambak pada jumlah yang tinggi merupakan hambatan bagi
kehidupan organisme yang dipelihara. Hal ini akan mengalami pengendapan dan
terdekomposisi menjadi senyawa yang bersifat racun bagi udang dan organisme
lainnya, seperti halnya ammonia (NH3), dan Nitrit (NO2). Kisaran optimal
kandungan bahan organik air untuk pemeliharaan udang adalah antara < 90 ppm
83
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
(Anonim, 2002 dan Anonim, 2007). Bahan organik yang diukur ini merupakan
akumulasi dari berbagai macam sumber bahan yaitu bahan organik yang berasal dari
limbah biota air yang mati maupun tanaman berupa fitoplankton dan tanaman lain,
atau sisa pakan serta organisme yang masih hidup lainnya.
Data kandungan bahan organik air pada petak perlakuan terlihat jauh lebih
baik dan mendekati kepada kondisi yang optimal (68,4 – 88,5 ppm) dibandingkan
dengan petak kontrol (95,3 – 165,9 ppm). Meningkatnya kandungan bahan organik
air pada kedua petak tambak disebabkan oleh semakin bertambahnya biomass udang
dan semakin banyaknya jumlah pakan yang diberikan, sehingga sisa kotoran dan
pakan yang tidak terserap semakin besar.
Tabel 5. Kisaran parameter kualitas air pada petak yang disipon
Parameter Kualitas Air
Bulan Tempe BO
No Salinitas Oksigen Alkalinitas NH3
ke ratur pH (ppm
(ppt) (ppm) (ppm) (ppm)
(oC) )
27,5- 7,7 – 68,4- 0,02-
1 I 26 – 30 3,4 – 5,4 79,4–97,6
30,0 8,0 73,8 0,04
27,0- 7,5 – 71,2- 0,03-
2 II 31 – 34 3,4 – 5,3 98,4–102,5
30,5 7,9 88,2 0,05
25,5- 7,6 – 74,8- 0,05-
3 II 35 – 38 3,5 – 5,5 105,2–115,5
30,5 8,3 87,6 0,08
Ammonia (NH3-N)
Kandungan ammonia dalam air merupakan hasil perombakan dari senyawa-
senyawa nitrogen organik oleh bakteri pengurai secara alami dan atau dampak dari
penambahan pupuk. Senyawa ini sangat beracun bagi organisme perairan walaupun
dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi amonia pada air media yang mampu
ditolerir untuk kehidupan udang dewasa < 0,3 ppm (Ahmad, 1991 dan Boyd, 1989),
dan ukuran benih < 0,1 ppm.
Secara umum keberadaan kandungan ammonia dari kedua petak
pemeliharaan udang vaname ini hanya mempunyai perbedaan yang tipis. Kisaran
kandungan ammonia ini masih dalam batas yang aman bagi kehidupan udang (Tabel
84
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
8 dan 9), ini terbukti dari sintasan kedua petak tidak terlalu signifikan dan secara
umum kandungan ammonia air ini termasuk kedalam kategori yang optimal, yaitu
masih < 0,3 ppm. Namun pada petak kontrol (tidak disipon) ada sedkit kenaikan
mulai bulan ketiga dan keempat (0,09 – 0,21 ppm), hal ini dapat dipahami karena
pada petak ini tidak dilakukan penyedotan/penyiponan sedimen lumpur dasar secara
rutin.
Kesimpulan
Dari hasil kegiatan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai beitut :
Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah terlihat nyata antara
petak yang disipon (perlakuan) dan petak tidak disipon (kontrol),
Tingkat produktivitas pada petak perlakuan mempunyai nilai tambah
yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan petak kontrol
Secara teknis aplikasi penyiponan pada petak tambak pemeliharaan
calon induk udang windu G9 yang terkendali dapat diterapkan dan
mudah diprogram sesuai dengan kondisi lapangan.
Saran
Namun dari hasil kegiatan ini tetap masih diperlukan beberapa saran,
diantaranya :
Pertumbuhan masih dapat ditingkatkan melalui aplikasi teknik
penyiponan yang lebih efektif dan efeisien,
Tambak perlu menerapkan teknik penyiponan pada lahan/petak yang
terkendali dan tingkat kepadatan yang tinggi.
85
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D dan M. Murdjani, 2005. Strategi Musim Tanam Komoditas Budidaya
di Tambak Yang Berkelnjutan. Materi Pelatihan Budidaya Udang Sistem
Tertutup Bagi Petambak dan Teknisi, 27 Juni s/d 4 Juli 2005. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 10 p.
Adiwidjaya D., I Kade A., Dwi S., Warih H., Erik S., Puspito DCL, Herman, dan
Triyono. 2004. Lieflet. Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Udang
Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau. Jepara.
Adiwidjaya, D. Dkk, 2002. Budidaya Udang Berwawasan Lingkungan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 33 p.
Adiwidjaya D., Erik, S. dan DWI, S. 2003. Produktivitas Pada Budidaya Udang
Windu Sistem Tertutup: Peluang Usaha Untuk Memperoleh Nilai Tambah
Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Pertemuan Pra Lintas UPT
86
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Kebutuhan induk bandeng dalam produksi telur diperoleh dari hasil pembesaran atau
budidaya , bangunan bak dilubangi untuk aliran telur ke wadah fibreglass yang
keluar dari dalam bak lewat aliran air yang mengalir selama 24 jam per harinya.
Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik. Oleh
karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya
melalui pakan yang berprotein, penambahan vitamin pakannya maupun secara
hormonal. Penurunan keragaman genetic akibat hilangnya alel-alel ikan dari hasil
perbenihan dapat mengakibatkan terhambatnya laju pertumbuhan dan rendahnya
ketahanan ikan terhadap serangan penyakit serta perubahan lingkungan Untuk
memperbaiki mutu induk bandeng akibat dari menurunnya keanekaragaman genetik,
dilakukan kegiatan pemuliaaan induk bandeng dengan cara seleksi individu.
Kebutuhan oksigen dipenuhi dari sistim aerasi optimal yang letaknya dapat diatur
sesuai kebutuhan. Aerasi diatur dengan gelembung halus untuk mengurangi faktor
stress dari induk ikan. Air mengalir masuk ke bak induk dari tandon air secara
grafitasi atau dengan pompa melalui pipa diameter 2 inchi yang letaknya
berseberangan dengan pipa pengeluaran air. Pakan diperkaya : 1 butir telur bebek/kg
pakan, 1 ml madu/10 kg pakan, 16 kapsul vit. E/30 kg pakan, 0,5 g vit. C/kg pakan .
Mulai produksi telur pada tahun 2016, dalam 1 tahun bertelur dalam 6 bulan,
produksi hingga bulan Oktober
PENDAHULUAN
Kebutuhan benih untuk benih bandeng di tambak sangat besar dan tidak bisa
lagi hanya menggantung supplay dari benih alam dikarenakan jumlahnya terbatas,
Untuk memenuhi kebutuhan benih yang semakin meningkat tidak lain harus
diperoleh dari kegiatan pembenihan. Produksi nener ini membutuhkan telur yang
berkualitas dalam jumlah yang cukup. Produksi telur yang berkualitas haruslah
diperoleh dari induk yang diketahui kualitasnya yang lebih diutamakan dari hasil
pemuliaan.
Selama ini kegiatan pemijahan induk bandeng lebih banyak dilakukan dalam
wadah bentuk bulat, volume besar, kedalaman tiga meter dan di ruangan terbuka.
Memperhatikan fasilitas pemijahan konvensional tersebut dianggap kurang efektif
dan efisien. Pada dasarnya induk udang memijah membutuhkan suasana yang
nyaman dan intensitas cahaya rendah. Untuk mencapai kondisi ini salah satu cara
87
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
adalah menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan antara lain wadah pemijahan sistem
indoor.
Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik.
Perbaikan mutu induk dapat diperoleh dari program pemuliaan induk bandeng.
Selain itu peningkatan mutu induk dapat pula diperoleh dengan pemberian pakan
yang diperkaya. Penurunan keragaman genetik dapat menghambat laju pertumbuhan
dan rendahnya daya tahan ikan terhadap serangan penyakit dan perubahan
lingkungan (Leary et al, 1985 dalam Moria et al., 2005). Penyediaan induk bermutu
melalui program breeding, dengan domestikasi nener alam dari berbagai sumber dan
dipelihara hingga menjadi induk.
Tujuan
Kegiatan ini bertujuan : melakukan pemijahan induk bandeng di bak sistim
indoor dengan air dangkal hingga menghasilkan telur.
Tata Kerja
Bak pemijahan induk berbentuk segi empat di bagian tengah bak dipisahkan
oleh dingding. Bak dilengkapi dengan sistem aerasi dan sumber air masuk melalui
pipa pvc diameter dua inci dan dilengkapai dengan kran pengatur debit air. Sumber
aerasi diperoleh dari blwower sentral dengan sebanyak 40 titik. Aerasi diatur dengan
gelembung halus untuk mengurangi faktor stress dari induk ikan. Air diisi hingga
ketinggian 0,75 m dan mengalir selama 24 jam. Pipa pemasukan air dimasukkan ke
kolom air sehingga terjadi perputaran arus air. Rasio induk yang ditebar adalah 1
jantan : 2 betina. Pengeluaran kotoran di dasar bak dilakukan secara periodik.
88
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Kegiatan pemijahan induk ikan bandeng dibak indoor sistem air dangkal
dengan menggunakan wadah pemijahan berupa bak concrete, sistem indoor, ukuran
12x6x1,5 m sebanyak 2 buah , hasilnya adalah : Induk ikan bandeng mulai memijah
pada tahun 2016, dalam 1 tahun bertelur dalam 6 bulan, produksi hingga bulan
Oktober sebanyak 3.237x1000 butir dengan 14 kali pemijahan dengan diameter telur
1-2 mm , adapun data produksi telur bandeng dalam kegiatan pemijahan induk
bandeng dengan sistem air dangkal dapat dilihat dalam tabel dibawah ini .
Tabel. 1. Produksi telur bandeng di bak dangkal (x 1.000 butir)
Frek Tidak Rerata
Terbuahi Total
Bertelur Terbuahi HCR Keterangan
Bulan (butir) (butir)
(kali) (butir) (%)
Pada kegiatan ini berhasil memijahkan induk ikan bandeng selama satu
dengan pematangan gonad dan rangsang pemijahan dengan penggunaan pakan pelet
yang dicampur dengan telur bebek dan madu sehingga mpeningkatan nutrisi pada
pakan pellet yang di berikan. Induk dalam satu tahun bisa mijah / bertelur sebanyak
14 kali dengan jumlah telur mencapai 3.237 juta butir.
Bila dibandingkan dengan induk bandeng yang dipelahara dengan
menggunakan bak out door tidah jauh berbeda ini dikarenakan induk bandeng yang
dipelihara didalam bak out door induk sudah produktif sedangkan induk indu
bandeng yang dipelihara dibak indoor merumakan induk baru yang berasal dari
89
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Gondol Bali sehingga jika dibandingkan produksi telur atau tingkat pemijahan masih
bagus induk yang dipelihara diout door. Data pemijahan dan produksi telur dari
induk bandeng yang dipelihara di out door adalah selama satu tahun 18 kali
pemijahan dengan jumlah telur 4176.000 butir
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
90
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna
lahan tambak pasca serangan penyakit serta menurunnya daya dukung lahan adalah
memfungsikan lahan tersebut melalui budidaya berbagai macam komoditas. Salah
satunya adalah ikan bandeng. Komponen penentu keberhasilan budidaya bandeng
adalah benih sampai ukuran gelondongan. Permasalahan pembudidaya yang dihadapi
saat ini adalah rendahnya hasil penggelondongan bandeng. Berdasarkan
permasalahan tersebut, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
pada Tahun Anggaran 2016 memfokuskan produksi gelondongan bandeng di tambak
dengan manajemen penumbuhan pakan alami (klekap) menggunakan fermentasi
pupuk organik. Kegiatan dilaksanakan pada tambak dasar tanah berukuran 2000 m2.
Hasil kegiatan didapatkan pertumbuhan gelondongan bandeng sampai umur 60 hari,
menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik yaitu dengan sintasan > 80%, panjang 3
– 9 cm dan berat 10 - 12.5 gr.
PENDAHULUAN
Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna
lahan tambak adalah dengan memfungsikan tambak melalui budidaya berbagai
macam komoditas. Ikan bandeng adalah salah satu sumber protein hewani yang
harganya lumayan dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Selain di konsumsi
dalam bentuk ikan segar, juga dalam bentuk olahan diantaranya pindang dan
bandeng presto (Tristian, 2011). Kelebihan lain selain sumber protein adalah tahan
terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, kecerahan air, mudah beradaptasi
dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kisaran kadar garam, tahan terhadap
penyakit serta tidak mempunyai sifat kanibal sehingga ikan ini mempunyai
kecenderungan untuk dibudidayakan dengan kepadatan tinggi terutama
penggelondongan. Dalam usaha budidaya, benih sampai ukuran gelondongan
merupakan komponen penentu menuju keberhasilan budidaya. Permasalahan yang
dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki
pembudidaya tambak, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan
manajemen air, sehingga tingkat pertumbuhan dan kelulusan hidup yang didapatkan
dalam penggelondongan bandeng masih rendah. Untuk itu diperlukan adanya
informasi yang akurat menyangkut teknologi penggelondongan bandeng sebagai
acuan yang dapat dimanfaatkan oleh pembudidaya tambak. Berdasarkan
permasalahan tersebut, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
91
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
Persiapan Tambak
Tambak yang digunakan untuk kegiatan ini berukuran 2.000 m2. Persiapan
tambak meliputi pengolahan tanah dasar dengan cara pengeringan, pemupukan
dengan pupuk organik dan kascing, untuk penumbuhan klekap sebagai pakan
gelondongan.
Pemberantasan Hama
Untuk menjamin tambak penggelondongan bandeng terbebas dari hama
tambak seperti trisipan dan ikan-ikan liar, maka diaplikasi saponin dengan dosis 10
ppm.
Penebaran Benih
Nener yang ditebar berumur 25 hari (D-25) berasal dari pembenihan
BBPBAP Jepara sejumlah 100.000 ekor. Penebaran nener dilakukan pagi hari dan
diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi lingkungan media yaitu suhu dan
salinitas.
92
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengelolaan Air
Selama proses penggelondongan, salinitas air tambak dijaga agar stabil dan
ketinggian air dipertahankan ± 50 cm. Laju penguapan dan curah hujan yang tinggi
dapat menyebabkan salinitas berubah dan kondisi seperti ini memungkinkan dapat
menghambat pertumbuhan alga dasar dan sebaliknya dapat menyuburkan
pertumbuhan jenis plankton lain yang tidak diinginkan. Warna air tambak
dipertahankan agar tetap jernih agar klekap dapat tumbuh dengan subur. Apabila
warna air tambak berubah menjadi kuning atau coklat, artinya jenis plankton yang
tumbuh subur adalah jenis protozoa, flagellata, fitoflagellata dan rotifera yang
semuanya merupakan kompetitor oksigen. Perlu adanya penambahan/penggantian air
baru (25%) apabila terjadi perubahan kualitas yang drastis. Penggantian air dilakukan
secara gravitasi dari petakan pengendapan yang berisi kekerangan (kerang hijau) dan
rumput laut Gracillaria sp.
Pemeliharaan
Penggelondongan benih bandeng biasanya sudah mencapai standar ukuran 5-
7 cm setelah masa pemeliharaan 60 hari. Selama pemeliharaan, meskipun pakan
alami (klekap) tumbuh subur tetap diberikan pakan komersial. Jumlah pemberian
pakan sudah terprogram dan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Program pakan produksi glondongan bandeng di tambak
Umur (hari) Berat (gr) SR (%) Dosis pakan (%)
1 - 10 0.2 - 5.0 100 5.0
11 - 20 2.5 - 5.0 95 4.0
21 - 30 5.0 - 7.5 90 3.0
31 - 40 7.5 - 10 85 2.0
51 - 60 10 - 12.5 80 2.0
Panen
Pemanenan dapat dilakukan pada pagi, sore atau malam hari (suhu rendah
untuk mengurangi tingkat stress). Pemanenan pada waktu air pasang dapat dilakukan
dengan cara memasukkan air baru ke dalam tambak. Hal ini menyebabkan
gelondongan bandeng bergerak menuju arah masuknya air dan berkumpul di dekat
pintu air. Dengan menggunakan jaring (krikit) glondongan bandeng digiring menuju
pintu air, kemudian secara perlahanlahan lingkaran jaring (krikit) diperkecil
sehinggga gelondongan bandeng terkurung di dekat pintu. Penangkapan pada waktu
air surut dilakukan terlebih dahulu dengan mengurangi air tambak sehingga air
tersisa di dalam caren sekitar 20 cm. Gelondongan bandeng digiring perlahan-lahan
dan lingkaran diperkecil sehingga gelondongan bandeng dapat berkumpul dekat
pintu. Gelondongan bandeng yang sudah di panen diberokan menggunakan hapa
(waring) dalam petakan tambak terpisah selama 1-2 hari sebelum dipanen untuk
dipindahkan. Penangkapan gelondongan bandeng harus dilakukan sangat hati-hati
93
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengamatan
Data utama yang diamati adalah pertumbuhan (panjang, berat) setiap 15 hari
sekali. Parameter kualitas air sebagai data pendukungnya yang diamati adalah
kualitas air (suhu, salinitas, pH, oksigen, bahan organik) yang juga diamati setiap 15
hari sekali.
Pertumbuhan
Salah satu faktor pendukung pertumbuhan adalah lingkungan, disamping
nutrisi dan genetik. Hasil pengamatan pertumbuhan gelondongan bandeng
didapatkan bahwa, pada umur 45 hari ADG yang dihasilkan terlihat menurun. Mulai
berkurangnya pakan alami (klekap) serta menurunnya oksigen terlarut serta
meningkatnya kandungan bahan organik air adalah faktor utama menurunnya ADG
gelondongan bandeng yang dihasilkan. Pada umur pemeliharaan 60 hari, terlihat
ADG gelondongan bandeng kembali meningkat setelah dilakukan pemupukan
susulan.
Kualitas Air
Salah satu indikator keberhasilan dalam budidaya baik ikan maupun udang
adalah keberhasilan dalam menjaga kualitas air. Begitu juga dengan produksi
glondongan bandeng. Dari Tabel 2 terlihat bahwa semua parameter air yang diamati
berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan glondongan bandeng. Meskipun
bahan organik yang diamati semakin meningkat, namun parameter kunci
keberhasilan budidaya yaitu oksigen masih di atas 3 ppm. Oksigen yang tinggi akan
merombak bahan organik “N” melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi menjadi
amoniak, nitrit dan nitrat. Hasil perombakan nyata yang terlihat akibat kandungan
oksigen yang tinggi adalah semakin meningkatnya nitrat yang merupakan nutrient
bagi phytoplankton.
Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air selama kegiatan produksi gelondongan
bandeng
Umur Temperatur pH Salinitas Oksigen Bahan Organik
(hari) (oC) (ppt) (ppm) (ppm)
1 27.2 7.6 16 3.4 12.75
15 27.4 7.6 16 3.4
30 27.6 7.6 16 3.3 12.95
45 28,2 7.7 18 3.3
60 28,2 7.7 18 3.3 13.15
94
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Produksi
Salah satu penyebab rerata ADG glondongan bandeng yang dihasilkan < 0.3
g/hari adalah padat tebar yang tinggi yaitu di atas > 100 ekor/m2 atau 130-135
ekor/m2. Meskipun demikian, dengan keberhasilan menjaga kualitas air dan pakan
alami (klekap) tingkat kelangsungan hidup (SR, %) yang dihasilkan 80%, berat 10 –
12,5 gr, panjang 3 – 9 cm.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T., E. Ratnawati dan M.J.R. Yakob, 1998. Budidaya Bandeng Secara
Intensif. Penebar Swadaya.
Anggoro, S., 1984. Pengaruh Salinitas Terhadap Kuantitas dan Kualitas Makanan
Alami Serta Produksi Biomassa Nener Bandeng. Fakultas Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim, 2010. Budidaya Bandeng. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta.
Effendi, I., 1978. Biologi Perikanan (Bag. I Study Natural History). Fakultas
Perikanan IPB. Bogor.
Hariyanti dan Djayadireja, R., 1983. Pemeliharaan Nener Bandeng (Chanos chanos,
Forskal) dalam Bak dalam Sistem Resirkulasi Air. Buletin Penelitian
Perikanan Darat Bogor.
Nontji, A, 1988. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta
Tristian, 2011. Budidaya Ikan Bandeng. Pusat Penyuluhan. Kementerian Kelautan
Perikanan. Jakarta.
95
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Produksi rajungan masih mengandalkan tangkapan alam, maka perlu adanya proses
pembenihan rajungan untuk kegiatan budidaya. Salah satu kegiatan pada pembenihan
rajungan adalah pemeliharaan larva rajungan. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui proses/tahapan pengelolaan larva rajungan di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara. Pelaksanaan teknik pemeliharaan larva rajungan di
hatchery pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi/habitat aslinya. Pemeliharaan
larva dilakukan dari stadia zoea sampai dengan stadia megalopa dengan
menggunakan kriteria kualitas air dan penggunaan pakan yang relevan. Tahapan
dalam teknik pemeliharaan larva rajungan meliputi persiapan, pemeliharaan larva
stadia zoea, pemeliharaan larva stadia megalopa, pengelolaan pakan larva,
pengelolaan kualitas air.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk dalam klas Crustacea, family
Portunidae, penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik. Rajungan banyak
ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama seperti Rajungan Bakau
(Scylla serrata). Rajungan dikenal dengan nama blue swimming crab atau Rajungan
Pasir dan merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang surut di Asia
(Cowan, 1992 dalam Susanto dkk., 2003).
Rajungan merupakan komoditas perikanan yang banyak diminati, memiliki
nilai ekonomis tinggi dan mulai dikembangkan pembudidayanya. Rajungan telah
banyak diekspor diberbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan,
dimana rajungan segar banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku
ke negara Jepang dan Amerika. Komoditas rajungan merupakan komoditas ekspor
urutan ketiga dalam arti jumlah, setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh
kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan hasil tangkapan dari laut, sehingga
akan mempengaruhi populasi di alam.
Selain rajungan ukuran konsumsi sebagai komoditas ekspor unggulan.
Dewasa ini rajungan ukuran kecil (berat ± 1,8 gram/ekor) telah menjadi jenis
makanan baru yang banyak diminati oleh orang Jepang sebagai camilan ketika
96
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
minum sake. Hal ini menjadi peluang baru dalam usaha budidaya rajungan. Namun
peluang ini, belum missal. Salah satu kendala dalam pengembangan teknologi untuk
memproduksi baby crab rajungan tersebut dalam skala massal. Salah satu kendala
dalam pengembangan teknologi pemeliharaan baby crab rajungan adalah rendahnya
tingkat kelangsungan hidup.
Sampai saat ini rajungan (Portunus pelagicus) masih merupakan komoditas
laut yang mempunyai nilai ekonomis yang penting. Penangkapan rajungan yang
semakin intensif dapat mengakibatkan populasi alami rajungan
mengalami penurunan. Akibat penangkapan di alam yang kurang terkendali, maka
terjadi kelangkaan populasi rajungan di perairan Indonesia (Juwana, 1997). Oleh
karena perlu adanya sistem pembenihan rajungan yang salah satunya adalah kegiatan
pemeliharaan larva
Tujuan
Adapun tujuannya adalah mengetahui proses pemeliharaan larva rajungan di
BBPBAP Jepara
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Rajungan
Menurut Moosa (1980) dan Juwana (1996) dalam Susanto dkk., (2005),
sistematika rajungan adalah sebagai berikut
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustaceae
Klas : Malacostraca
Subklas : Eumalacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Reptantia
Family : Portunidae
Subfamily : Portuninae
Genus : Portunus
Spesies : Pelagicus
97
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengelolaan pakan
Benih rajungan selama masa pemeliharaan diberikan pakan alami
berupa phytoplankton dan zooplankton, pakan tambahan dan udang halus. Pemberian
pakan tambahan dan udang halus untuk memenuhi nutrisi yang tidak terdapat pada
pakan alami. makanan yang komposisinya dilengkapi dengan makanan tambahan
dapat lebih sempurna dalam penyediaan vitamin dan mineral, selain efisiensi dalam
penggunaan makanan. Makanan alami yang digunakan adalah Rotifer,
Chlorella dan Artemia, sedangkan pakan buatan yang diberikan adalah pakan buatan
merek Frippak dan udang yang dihaluskan dengan waktu pemberian dan jenis
pakan.. Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan pula
pakan buatan. Pemberian pakan buatan dimaksudkan untuk melengkapi nutrisi yang
tidak terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu
pakan buatan mudah diperoleh.
Pakan alami merupakan jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua
kegiatan pembenihan. Pakan alami termasuk fitoplankton, zooplankton ukuran kecil
dan larva hewan invertebrata yang telah diketahui sebagai makanan dalam
pemeliharaan larva. Jenis pakan yang diberikan bervariasi sesuai bukaan mulut larva.
Frekuensi pemberian pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan
sore hari. Penyiponan dan pergantian air media pemeliharaan larva dilakukan
sebanyak 30-50% setiap hari pada waktu pagi sebelum pemberian pakan, untuk
menghindari penumpukan sisa pakan dan kotoran larva rajungan di dasar wadah
pemeliharaan. Selama pemeliharaan berlangsung.
98
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
METODE
Teknik Produksi
Persiapan Media Pemeliharaan
Penyediaan Air laut
Persiapan media pembenihan merupakan faktor yang sangat penting sebagai
tempat hidup bagi rajungan selama pemeliharaan dan merupakan indikasi
menentukan kesehatan rajungan. Oleh karena itu, air yang digunakan harus
berkualitas dan bebas pathogen. Berdasarkan pengamatan asil praktek air laut yang
digunakan untuk pemeliharaan induk diambil dari laut di belakang lokasi
pembenihan rajungan. Jarak antara air laut yang dipompa dengan lokasi pembenihan
yaitu 10 m. Air laut dipompa dengan menggunakan pompa air laut dialirkan dengan
menggunakan pipa PVC.
Air yang tersaring kemudian ditampung dalam tandon air laut. Air laut yang
telah tersaring dalam kondisi jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak
membawa endapan. Air laut ini diendapkan di tandon kemudian dialirkan ke tower
air laut. Tower ini didirikan lebih tinggi dari bak penyaringan dan tandon dengan
tujuan untuk mempermudah pendistribusian air laut dengan sistem gravitasi.
Air laut dari tower air laut dialirkan ke bak – bak pemeliharaan
secara gravitasi melalui pipa hisap dengan menggunakan filter bag sebelum dialiri ke
bak pembenihan.
99
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
zoea sampai dengan stadia megalopa dengan menggunakan kriteria kualitas air dan
penggunaan pakan yang relevan. Proses kegiatan tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut :
Penebaran zoea
Benih baru yang telah menetas (zoea 1), dipindahkan ke dalam bak
pemeliharaan benih yang telah disiapkan dengan hati-hati agar tidak mudah stres.
Pengambilan benih rajungan dari bak penetasan dilakukan dengan cara
memanfaatkan sifat benih yang tertarik pada sinar. Benih akan berkumpul ditempat
yang terkena sinar, kemudian diambil dengan saringan selanjutnya dilakukan
penghitungan larva secara manual. Larva yang telah dihitung kemudian langsung
dimasukan ke dalam bak pemeliharaan larva secara perlahan agar larva tidak stres.
100
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
b. Artemia
Artemia mulai diberikan pada stadia megalopa sampai dengan panen. Wadah
penetasan kista artemia adalah corong artemia. Air yang sudah steril dari tandon
dimasukkan ke dalam corong artemia kemudian memasukkan kista artemia yang
sudah di timbang dan diberi aerasi. Penetasan kista dilakukan selama 18 jam
kemudian dipanen dan diberikan pada larva rajungan.
Pemanenan naupli artemia dilakukan dengan cara mengangkat selang aerasi dan
didiamkan selama 5 menit agar kista yang tidak menetas naik ke permukaan.
Selanjutnya naupli artemia disipon menggunakan selang plastik dan ditampung
dalam ember berlubang pinggirnya. Ember dilapisi dengan saringan 100 mikron.
Naupli artemia yang sudah disaring kemudian dicuci menggunakan air laut, lalu
101
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
kemudian ditempatkan di dalam ember baru yang berisi air laut dan diaerasi hingga
siap intuk diberikan pada larva rajungan
2. Pakan buatan
Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan pula pakan
buatan. Pemberian pakan buatan dimasukkan untuk melengkapi nutrisi yang tidak
terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu pakan
buatan mudah diperoleh. Juwana (1997) menyatakan bahwa makanan buatan sangat
penting untuk disediakan agar dapat tersedia dalam jumlah yang cukup, tepat waktu,
berkesinambungan, memenuhi syarat gizi.
Pakan buatan yang diberikan pada larva stadia zoea berupa fripak. Pakan buatan
berupa flake sebaiknya diberikan ketika larva memasuki stadia megalopa hingga
crablet. Meskipun ada beberapa hasil penelitian yang merekomendasikan bahwa
pemberian pakan buatan dapat dilakukan mulai stadia zoea-1.
a. Temperatur
Pengamatan temperetur dilakukan setiap hari secara rutin dengan
menggunakan termometer yang sudah tergantung pada bak pemeliharaan larva. Suhu
sangat berperan dalam mempercepat metabolisme dan aktifitas organisme. Suhu
tinggi akan menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut karena terjadi
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akibat meningkatnya metabolisme.
Pada pemeliharaan stadia megalopa digunakan terpal agar suhu dalam bak
pemeliharaan larva tetap terjaga.
b. Salinitas
Pengukuran salinitas ini dilakukan pada pagi hari saat pergantian air dengan
menggunakan refraktometer. Hal ini bertujuan agar salinitas air yang baru tidak
terlalu jauh dengan salinitas air yang lama. Salinitas yang terdapat pada bak larva
cenderung stabil pada 30 ppt, kecuali pada akhir pemeliharaan salinitas diturunkan
sesuai dengan permintaan konsumen.
KESIMPULAN
Teknik pemeliharaan larva rajungan di BBPBAP Jepara meliputi tahapan
persiapan, pemeliharaan larva stadia zoea, pemeliharaan larva stadia megalopa,
pengelolaan pakan larva, pengelolaan kualitas air larva.
102
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul " Teknik Pemeliharaan Larva Rajungan (portunus
pelagicus) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara ". Atas dukungan
moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi, selaku kepala Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara, yang memberikan arahan dan kesempatan
untuk menggunakan fasilitas di Unit Pembenihan Kepiting dan
Rajungan.
2. Bapak Eddy Nurcahyono, S.Pi, selaku Koordinator Pembenihan
Kepiting dan Rajungan, yang memberikan bimbingan kepada penulis.
3. Seluruh rekan kerja, yang banyak memberikan materi pendukung,
masukan, kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
103
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Polikultur adalah salah satu sistem budidaya yang menghasilkan lebih dari satu
Polikultur adalah salah satu sistem budidaya yang menghasilkan lebih dari satu
produk dalam satu lahan. Kegiatan polikultur udang windu (Penaeus monodon,
Fabricius) dan ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) secara terpadu dapat
diintegrasikan dengan rumput laut (Gracilaria sp.). Udang windu, ikan bandeng dan
rumput laut secara biologis memiliki sifat-sifat yang dapat bersinergi, sehingga
budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena merupakan salah satu
bentuk budidaya polikultur yang ramah terhadap lingkungannya. Tujuan dari
kegiatan ini adalah meningkatkan produksi bandeng dengan teknologi polikultur
dengan ukuran150-200 g dan udang windu 15-20 g. Hasil kegiatan diperoleh sintasan
bandeng sebesar 65% dengan berat rerata 150 g. Sintasan udang windu yang
dihasilkan adalah 23 % dengan berat rerata 15 g.
PENDAHULUAN
104
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
bandeng serta bahan organik lainnya merupakan sumber hara yang dapat
dimanfaatkan oleh rumput laut dan fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hubungan
yang seperti ini dapat menyeimbangkan ekosistem perairan. Sehingga merupakan
model pengelolaan budidaya system polikultur udang windu, ikan bandeng dan
rumput laut. Ketiga komoditas tersebut memiliki sifat eurythermal yaitu tahan
terhadap suhu yang tinggi, rentan terhadap pH dan salinitas. Hubungan antara udang
windu, bandeng dan rumput laut adalah simbiosis mutualisme (hubungan yang saling
menguntungkan satu sama lainnya). Bagian thalus atau batang semua rumput laut
yang mati dan mengakibatkan timbulnya klekap. Pemanfaatan material klekap oleh
ikan bandeng dan udang menjadikan pakan alami yang sangat baik. Begitu besarnya
manfaat rumput laut sebagai pengendali lingkungan budidaya polykultur, maka Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara pada Tahun Anggaran 2016
mengupayakan dan memaksimalkan manfaat rumput laut tersebut sebagai pengendali
lingkungan dalam produksi bandeng sistim polikultur. Tujuan kegiatan ini adalah
untuk meningkatkan produksi bandeng dengan teknologi polikultur.
Tata Kerja
Persiapan Tambak
Tahap awal dalam persiapan tambak adalah perbaikan konstruksi seperti
penataan caren tengah, kemiringan tambak serta pemadatan pematang. Tujuan dari
perbaikan konstruksi adalah supaya tambak memenuhi kriteria untuk budidaya
diantaranya dapat mempertahankan ketinggian air, kemudahan penumbuhan pakan
alami dan kemudahan dalam melakukan pemanenan.
Pemberantasan Hama
Untuk menjamin tambak terbebas dari hama diaplikasikan saponin. Dosis
saponin dengan target ikan-ikan liar adalah 10 ppm.
.Persiapan Air Media
Pengisian air petak tandon dilakukan melalui saluran utama menggunakan
pompa submersible 6” sampai ketinggian air maksimal. Selanjutnya
dilakukan pemupukan yang digantung di sepanjang pematang sampai tumbuh
plankton.
105
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengisian air tahap pertama sampai ketinggian 5-10 cm dengan tujuan untuk
menumbuhkan pakan alami (klekap). Pengisian air selanjutnya sampai
kedalamam 50-60 cm dilakukan secara bertahap. Ketinggian air media
pemeliharaan dipertahankan sekitar 70-80 cm.
Pemupukan bertujuan untuk membantu menjaga kestabilan keberadaan
plankton agar seimbang sesuai persyaratan kebutuhan kehidupan udang
windu dan ikan bandeng. Pupuk yang diaplikasi dalam pemupukan adalah
kascing. Kascing diaplikasikan sesaat sebelum pengisian air tahap pertama
(ketinggian air 5-10 cm) dengan dosis 200 kg/Ha.
Penebaran
Penebaran dilakukan apabila air media sudah siap dan layak tebar. Untuk
mengurangi gejala stress, penebaran dilakukan pada kondisi suhu rendah, yaitu pada
pagi hari dan dilakukan secara perlahan-lahan dengan cara aklimatisasi terhadap
suhu dan salinitas. Penebaran untuk masing komoditas (polikultur) dilakukan secara
bertahap, yaitu :
Penebaran gelondongan bandeng dilakukan 14 hari setelah pemupukan awal
atau pakan alami (klekap) tumbuh. Padat tebar 10.000 ekor/ha (ukuran 3-5
cm)
Penebaran rumput laut sebagai pengendali lingkungan dilakukan 70 hari
setelah penebaran gelondongan bandeng (ketinggian air 40 cm). Selanjutnya
air dinaikkan sampai ketinggian 60 cm. Padat tebar rumput laut Gracillaria
sp.1.000 kg/ha.
Penebaran tokolan udang windu dilakukan setelah panen rumput laut pertama
(40 hari) atau 110 hari sejak penebaran gelondongan bandeng. Padat tebar
tokolan udang windu adalah 1 ekor/m2 (ukuran ± 1,5 cm).
Pemeliharan rutin setelah penebaran gelondongan bandeng selain pemberian pakan
(Tabel 1) juga pemupukan susulan untuk mempertahankan kualitas air sehingga
tersedianya organisme pakan yang cukup di dalam tambak. Selama pemeliharaan,
ketinggian air media dipertahankan 70-80 cm.
Tabel 1. Program pakan produksi bandeng sistim polikultur
Umur (hari) Berat (gr) SR (%) Dosis pakan (%)
1-10 2-5 100 3.0
11-20 10-20 98 3.0
21-30 20-30 97 2.5
31-40 30-40 96 2.5
41-50 40-50 95 2.0
51-60 50-60 94 2.0
61-70 60-80 93 1.5
71-80 80-100 92 1.5
81-90 100-120 91 1.5
91-100 120-140 90 1.0
101-110 140-180 90 1.0
111-120 180-220 90 1.0
106
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengamatan
Data utama yang diamati adalah pertumbuhan (panjang, berat) bandeng dan
udang windu yang diamati setiap 10 hari sekali. Data pendukungnya adalah kualitas
air (suhu, salinitas, pH, oksigen, bahan organik, fitoplankton) yang diamati setiap 10
hari sekali.
Panen
Hasil dari kegiatan ini diperoleh ikan bandeng sebanyak 750 kg, udang windu
325 kg dan rumput laut 100 kg.
KESIMPULAN
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa ikan bandeng dapat
dibudidayakan secara campuran atau sistem polikultur dengan pencapaian berat 150
gr/ekor dan angka kelulusan hidup 65 %.
107
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
108
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pembenihan menjadi salah satu faktor yang penting di dalam budidaya ikan.
Agar produksi benih yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik maka perlu
perbaikan kualitas pakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi induk. Dengan
memperbaiki nutrisi pakan diharapkan akan dihasilkan telur yang berkualitas baik.
Pengujian dilakukan dengan pemberian protein dan asam lemak tak jenuh.
Penambahan vitamin E dan silase cumi-cumi misalnya, diduga berpengaruh positif
terhadap percepatan pematangan gonad dan peningkatan kualitas telur yang
dihasilkan.
Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan nutrisi (protein dan asam lemak)
pakan induk ikan bandeng sehingga menghasilkan telur bandeng yang berkulitas.
Sasaran meningkatkan produksi dan kualitas telur induk bandeng ,dan benih
bandeng yang berkualitas.
109
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
Peningkatan Nutrisi Pakan Induk Bandeng
Induk dengan berat antara 3,5-5 kg/ ekor dipelihara dengan kepadatan satu
ekor per 4m3 pada bak berbentuk silinder dengan kedalaman air 2,5 dengan sistem
sentral drain. Pergantian air > 200% per hari dengan sisitem air mengalir . Sisa
kotoran dan pakan yang tersedimentasi didasar bak dibersihkan setiap bulan dengan
cara di dorong ke arah saluran buang. Rangsangan pemijahan dilakukan dengan
teknik pengaturan ketinggian air, dimana pada pagi hari dilakukan pembuangan air ,
dan kedalaman air di dalam bak pemeliharaan induk di pertahankan 30-50 cm
sampai siang hari samapi jam 14.00.dengan tujuan agar terjadi peningkatan suhu
air. Ketinggian air dinaikan kembali setelah jam 14.00 hingga mencapai ketinggian
air semula dengan teknik ini akan terjadi peningkatan suhu dan tekanan air pada
media pemeliharaan induk.
Pemberian pakan diberikan 3 % dari berat biomas perhari diberikan 2 kali per
hari yaitu pagi dan sore. Pakan induk di perkaya dengan mengunakan silase cumi-
cumi sebanyak 5% tiap kilogram pakan , multivitamin, vitamin C , vitamin E dan
telur bebek sebagai binder. Semua bahan pengkaya tersebut di blender sampai
homogen. Pengkayaan pelet dengan campuran bahan pengkaya dilakukan dengan
menggunakan mesin sangrai pelet sehingga dapat tercampur secara merata.
110
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
200 m3). Selama pemeliharaan dilakukan pergantian air > 300 % dengan cara
pergantian air mengalir selama 24 jam. Perbaikan kualitas air dilakukan dengan cara
penyaringan air dengan menggunakan send presur filter. Pakan diberikan sebanyak 3
% dari total berat induk dengan frekuensi 2 kali sehari. Pada pakan yang akan
digunakan sebelumnya di tambahkan minyak cumi-cumi/ (silase cumi-cumi) 10
ml/kg pakan dan Penambahan vitamin E dan Vitamin C. Untuk memacu pematangan
gonad dilakukan dengan rangsangan hormonal dengan menggunakan hormon
LHRH-a dengan frekuensi 2 kali setahun.
Rangsangan pemijahan dilakukan dengan teknik pengaturan ketinggian air,
dimana pada pagi hari dilakukan pembuangan air , dan kedalaman air di dalam bak
pemeliharaan induk di pertahankan 30-50 cm sampai siang hari samapi jam
14.00.dengan tujuan agar terjadi peningkatan suhu air. Ketinggian air dinaikan
kembali setelah jam 14.00 hingga mencapai ketinggian air semula dengan teknik ini
akan terjadi peningkatan suhu dan tekanan air pada media pemeliharaan induk.
111
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Selain kebutuhan protein, asam lemak berperan sebagai sumber energi dan
suber asam lemak esensiel bagi pembetukan gonad dan kulaitas telur bagi ikan. Telah
dibuktikan bahwa asam lemak tidak jenuh berantai panjang (HUFA) terutama
kelompok n-3 HUFA (EPA;20 5n3 dan DHA: 22-6n30 ) merupakan nutrien esensial
bagi larva ikan laut dalam menyediakan energi metabolisme bagi perkembngan telur
dan larva (Watanabe, 1993; Rainuzo et al, 1995 dalam Gapasin et al.,1998).
Produksi Telur, Telur fertil, Telur non Fertil, dan Derajat Penetasan Telur
Hasil pengamatan terhadap produksi telur, telur fertil, dan derajat
pembuahan setiap bulanya menunjukan hasil yang meningkat pada semua parameter
kualitas telur. Prosentase telur fertil meningkat secara signifikan dari 50%-95%,
demikian halnya pada derajat penetasan telur juga menunjukan hasil yang
meningkat/bagus yaitu antara 60%-97,5%. Peningkatan kualitas telur sangat
signifikan dengan bertambahnya waktu pengujian. Pembuahan telur (jumlah telur
fertil) dan derajat penetasan telur meningkat mulai pada bulan April atau tiga bulan
setelah pengujian. Hasil yang didapatkan menjukan tren yang meningkat, pada
beberapa laporan ( Lam,T.C., 1985; lee,C.S et.al., 1986; Priyono et al 1990., )
melaporkan derajat pembuahan telur ikan bandeng antara 50%-90%.
Tabel 3 Produksi telur , kualitas telur dan daya tetas telur induk ikan bandeng
Telur non
Produksi Telur Ukuran Derajat
No Bulan fertile
telur (btr) fertile (%) telur(mm) penetasan(%)
(%)
1 Januari 0 0 0 0 0
2 Pebruai 1.500.000 50 50 1,1 60
3 Maret 2.500.000 60 40 1,1 70
4 April 3.000.000 70 30 1,2 80
5 Mei 3.200.000 85 15 1,2 90
6 Juni 3.250.000 90 10 1,2 90
7 Juli 1.500.000 90 10 1,25 90
8 Agustus 1.700.000 95 5 1,25 90
9 September 2.750.000 95 5 1,2 97,5
10 Aktober 3.000.000 90 10 1,25 97,5
11 Nopember 3.000.000 90 10 1,25 97
12 Desember 1.500.000 85 15 1,25 90
112
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
dengan sistem metabolisme ikan (Subiyakto dkk., 2001). Peningkatan kualitas telur
juga ditandai dengan meningkatnya diameter telur. Diameter telur meningkat dari 1,1
mm pada awal pengujian menjadi 1,2mm-1,25 mm setelah pengujian berjalan tiga
bulan. Diameter telur ada hubunganya dengan fekunditas dan umur induk, makin
banyak telur yang dipijahkan (fekunditas), maka ukuran diameter telurnya semakin
kecil (Tang dan Afandi, 2001).Semakin besar ukuran diameter telur akan semakin
baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan
akan dapat bertahan lebih lama.
Gambar 1. Telur ikan bandeng yang dibuahi tampak jelas bakal embrio yang
berkembang.
Ukuran diameter telur dapat menentukan kulitas yang berhubungan dengan
kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar juga menghasilkan larva
yang berukuran besar. Efendi (1997) menyatakan bahwa semakin berkembang
gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil
pengendapan kuning telur , hidrasi, dan pembentukan oil globule.
KESIMPULAN
113
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Sugeng Rahajo A.Pi Kepala
BBPBAP Jepara, Beni Suprianto, S.Pi POKJA pembenihan ikan bandeng,Siswanto
pembenihan ikan bandeng, Sardi, Bambang Untiyo, Sahlan, Abang Prastiyo dan
rekan-rekan di pembenihan ikan bandeng yang telah membantu terlaksananya
kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T., 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang
Intensif. Balai Penelitian Budidaya Pantai Maros.
Anonim. 1995. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Bandeng . Balai Budidaya Air
Payau Jepara.15 hal.
Boyd,C.E., 1995. Botom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture . Chapman & hall.
Effendie,M.I.,1997. Metode Biologi Perikanan . Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor
.112 hal.
Emata,A.C.C.,L.Marte dan L.Ma.B.Garcia.1992. Management of Milkfish
Broodstock Aquaculture Extension Manual No.20 Desember 1992.
Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center.
Tigbauan, Iloilo, Philippines.32 hal.
Priyono,A.G.Sumiarsa.,Azwar,Z.I.1990. Implantasi Hormon LHRH-a dan 17α
Methyltestosterone untuk Pematangan Gonad Calon Induk Baneng ( Chanos
chanos Forskal). J. Penelitian Budidaya Pantai 6(1):20-30.
114
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Ikan Nila salin merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek
yang cerah dan layak dikembangkan sebagai ikan budidaya karena mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi.Kebutuhan benih ikan nila salin untuk kegiatan budidaya
semakin meningkat sedangkan hasil tangkapan benih dari alam jumlahnya terbatas
sehingga dibutuhkan suatu upaya yang dapat dilakukan terutama untuk
meningkatkan jumlah dan mutu telur yang dihasilkan dari induk nila adalah dengan
pemberian nutrisi yang lebih lengkap. Mengkudu mengandung zascopoletin yang
berguna dalam peningkatan kegiatan kelenjar peneal di dalam otak, yang merupakan
tempat dimana serotonin diproduksi dan kemudian digunakan untuk menghasilkan
hormon melatonin. Ubi jalar merupakan jenis tanaman merambat yang menyimpan
makanan pada akarnya. Wadah yang digunakan adalah bak semen dengan ukuran
bak 5 x 8 m yang dilengkapi dengan sarana aerasi yang dipasang di dasar bak dan
terbuka tanpa atap. Pematangan gonad dilakukan dengan cara memisahkan induk
jantan maupun betina. Pematangan gonad atau matang telur memerlukan waktu
selama 15 hari atau 2 minggu. Air yang digunakan adalh air stagnan yang diganti
setiap selang 2 hari sekali sebanyak 30-50 %. Ubi ungu di formulakan pada pakan
yang diberikan pada induk ikan nila dengan komposisi 30 %. Pemijahan dilakukan
dalam bak dengan cara mencampur jantan dan betina. Selama masa pemijahan
pakan tetap diberikan dan jumlah pakan dikurangi hingga 1 % perhari disesuaikan
dengan nafsu makan. Hasil produksi benih atau larva diliput dengan cara
mengumpulkan larva atau benih yang terkumpul selama proses pemijahan. Pada
hari ke30 semua induk dipindah tempat yang baru dan dipisah lagi antara jantan dan
betinannya. Lama pemeliharaan dari proses pematangan gonad hingga proses
pemijahan selesai adalah 45 hari. Hasil terbaik pemeliharaan induk ikan nila
ternyata diperoleh dengan menggunakan mengkudu yang dicampur atau sebagai
pengkaya pakan induk, sedangkan produksi terendah diperoleh pada pemeliharaan
induk dengan menggunakan pakan standar atau pakan tan pa pengkayaan.
Kata Kunci : kualitas telur, induk nila salin, mengkudu dan ubi ungu
PENDAHULUAN
115
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
sekali. Ikan Nila salin merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek
yang cerah dan layak dikembangkan sebagai ikan budidaya karena mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi. Selain itu ikan nila salin mempunyai pertumbuhan yang relatif
cepat, mudah dipelihara, mempunyai toleransi salinitas yang baik terhadap
perubahan lingkungan.
Masalah terbesar dalam produksi benih nila salin masih berkisar seputar
proses pemeliharaan larva. Mortalitas yang relatif tinggi selama stadia larva
merupakan kendala yang sering dijumpai dalam produksi massal benih. Ada 3 faktor
yang berperan dalam pemeliharaan larva, yakni jumlah dan mutu telur, ketersediaan
pakan alami dan kondisi lingkungan. Untuk memperoleh keberhasilan dalam
produksi benih, ketiga faktor tersebut harus dikondisikan secara ideal.
Mengkudu mengandung zat scopoletin yang berguna dalam peningkatan
kegiatan kelenjar peneal di dalam otak, yang merupakan tempat dimana serotonin
diproduksi dan kemudian digunakan untuk menghasilkan hormon yang berperan di
dalam sistem reproduksi.
Ubi ungu merupakan jenis ubi yang memiliki rasa manis dan enak rasanya,
disamping memiliki manfaat bagi kesehatan. Ubi ungu juga mempunyai kandungan
vitamin A lebih kurang 7.700 mg/100 g ubi lebih tinggi dari buah bit atau tomat.
Vitamin C dan antioksidan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan terutama untuk meningkatkan jumlah
dan mutu telur yang dihasilkan dari induk nila adalah dengan pemberian nutrisi yang
lebih lengkap. Selama ini berbagai jenis vitamin telah diberikan untuk memacu
proses peneluran, namun begitu ketersediaan telur masih tergantung pada kondisi
alam. Perbaikan kualitas telur yakni dengan menggunakan mengkudu dan ubi jalar
ungu diharapkan dapat memeberikan nilai tambah dalam hal frekuensi memijah dan
kualitas telur yang dihasilkan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan
produksi telur dan larva ikan nila salin.
116
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
Penyiapan Wadah
Wadah yang digunakan adalah bak semen 5x8 m sebanyak tiga buah dengan
ketinggian air 60-80 cm yang dilengkapi dengan sarana aerasi yang dipasang di dasar
bak dan terbuka tanpa atap. Sebelum bak digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari
kotoran yang menempel dan disterilkan dengan kaporit dosis 50 ppm. Bak dibiarkan
kering selama 1-2 hari. Bak yang sudah kering dibilas sampai bersih dengan air
bersih dan dibiarkan kering,kemudian dilanjutkan dengan pengisian air payau
salinitas 5 ppt sedalam 0,7-1 meter aerasi dihidupkan dibiarkan selama 1-2 hari agar
air tercampur merata salinitasnya.
Stok induk dilakukan dengan kepadatan 1kg per m2 dan dengan
perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 3. Sebelum induk dipijahkan terlebih
dahulu dilakukan proses pematangan gonad baik pada induk betina maupun jantan.
Pematangan gonad dilakukan dengan cara memisahkan induk jantan maupun betina.
Pematangan gonad atau matang telur memerlukan waktu selama 15 hari atau 2
minggu. Air yang digunakan adalh air stagnan yang diganti setiap selang 2 hari
sekali sebanyak 30-50%. Ubi ungu di formulakan pada pakan yang diberikan pada
induk ikan nila dengan komposisi 30%. Didiberikan setiap hari sebanyak 3% per
hari dari berat biomass Pakan formula berbentuk pelet dengan kadar protein 30%
diberikan dua kali sehari pada pagi maksimal jam 08.30 dan sore hari pada jam
16.00. dengan dosis 3% per hari.
Induk yang telah dimatangkan gonadnya kemudian dilakukan pemijahan
dilakukan dengan cara memilih induk betina yang matang telur dan jantan yang
matang sperma yang berasal dari proses pematangan gonad. Pemijahan dilakukan
dalam bak dengan cara mencampur jantan dan betina. Selama masa pemijahan
pakan tetap diberikan dan jumlah pakan dikurangi hingga 1% perhari disesuaikan
dengan nafsu makan. Waktu pemijahan selama 15 sampai 30 hari. Wadah
pemijahan dipersiapkan seperti pada persiapan wadah pada proses pematangan
gonad. Pengamatan terhadap induk yang memijah mulai hari ke 4 dan seterusnya
hingga selesai selma 30 hari. Hasil produksi benih atau larva diliput dengan cara
mengumpulkan larva atau benih yang terkumpul selama proses pemijahan.
Pengelompokan benih diatur setiap 5 hari sekali menjadi satu kelompok, hal ini
dilakukan untuk menghindari ketidak seragaman dan kanibalisme pada benih. Pada
hari ke30 semua induk dipindah tempat yang baru dan dipisah lagi antara jantan dan
betinannya sedangkan larva atau telur yang tersisa dalam bak pemijahan
dikumpulkan dan disortir, hasil sortir dicampurkan dengan benih yang terdahulu
pada ukuran yang sama.
Menejemen air dilakukan dengan cara mengganti air pemeliharaan induk
setiap selang 2 hari sekali sebanyak 50% dari volume air media selama proses
pengujian. Pengukuran kualitas air meliputi , suhu, pH , DO setiap hari dan amoniak
setiap 3 hari sekali.
117
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Penyiapan mengkudu
Buah mengkudu matang diblender dicampur air secukupnya dengan
perbandingan 1 : 1. Hasil blender mengkudu di adukkan ke pakan komersil lalu
diangin-anginkan sampai kering.
118
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
KESIMPULAN.
DAFTAR PUSTAKA
Azim M.E., Little D.C., 2008 The biofloctechnology(BFT) in indoor tanks: water
quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia
(O.niloticus).Aquaculture 283:29-35.
Azim M.E., Little D.C., Bron J.E., 2008 Microbial protein production in activated
suspension tanks manipulating C:N ratio in feed and the implications
for fish culture. Bioresource Technology 99:3590-3599
Han X.Choo, Christopher Marlowe A. Caipang 2015. Biofloc technology (BFT)
and its application towards improved production in freshwater tilapia
culture . AACL Bioflux, 2015, Vol. 8, Issue 3.
http://www.bioflux.com.ro/aacl
James E. Rakocy, Jason J. Danaher, Donald S. Bailey and R. Charlie Shultz . 2006
Development of a Biofloc System for the Production of Tilapia
jrakocy@uvi.edu
Rode, R. 2014. Marine Shrimp Biofloc Systems: Basic Management Practice
Aquaculture Research Lab Manager, Department of Forestry and
Natural Resources, Purdue University.
Revandi, Reva, D. 2004. Pemeliharaan Induk dan Larva Ikan Nila
BerbasisTeknologi URL unpad.ac.id/archives/131175/#) URL
Honson2008.en.alibaba.com
SNI : 01-6141-1999 Produksi benih ikan nila hitam kelas benih sebar
Cecillia J. Jaspe, and Christopher M.Acaipang 2011. Smal scale hatchery and larval
rearing techniques for local strains of saline toleranttilapia Oreochromis
niloticus spp
119
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Lithopenaeus vannamei adalah jenis udang introduksi dari Amerika Selatan
yang mulai dibudidayakan di Indonesia sejak akhir dekade 90-an untuk
menggantikan udang windu (Penaeus monodon) yang sudah sulit dibudidayakan
karena serangan virus White spot. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam budidaya
udang dikatagorikan menjadi dua yaitu faktor internal berupa kualitas bibit, dan
faktor eksternal berupa pengelolaan dan lingkungan. Faktor internal merupakan
persoalan di tingkat pembibitan, dimana petambak hanya bisa menentukan dengan
cara memilih kualitas bibit yang baik. Pengelolaan pakan merupakan faktor yang
sangat penting, karena menentukan pertumbuhan udang. Berdasarkan faktor inilah
maka, perlu dilakukan pengendalian lingkungan, salah satunya dengan cara
melakukan proses penyiponan pada dasar petakan. Teknik penyiponan ini bertujuan
untuk mengurangi kandungan bahan organik yang ada di dasar perairan sebagai
akumulasi dari sisa kotoran dan pakan. Penyiponan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, bisa dengan memanfaatkan gravitasi ( untuk tambak dengan konstruksi ideal),
maupun dengan pompa air. Pompa air yang banyak digunakan oleh pembudidaya
adalah jenis pompa air tenaga bensin untuk operasionalnya. Penggunaan pompa air
ini akan menambah biaya operasional produksi udang. Untuk itu perlu dilakukan
inovasi alat penyedot kotoran yang lebih hemat sehingga akan mengurangi biaya
produksi. Dari kegiatan ini dapat dilihat bahwa penggunaan pompa rakitan terbukti
lebih menghemat biaya produksi untuk penggunaan energi hanya sebesar 12,5%
dibandingkan dengan menggunakan pompa alkon. Penggunaan pompa rakitan lebih
efektif dalam pemakaian dan lebih fleksibel dalam pemanfaatanya.
PENDAHULUAN
120
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
121
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas dari penggunaan
pompa air rakitan dalam proses produksi udang vannamei di Tambak
Tata Kerja
Alat dan bahan
Alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan ini adalah pompa air rakitan,
pompa alkon, selang spiral, bensin, kabel, listrik, saklar.
Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di kawasan tambak Blok H
BBPBAP Jepara dengan jumlah 4 petak. Waktu pelaksanaan mulai Maret - Agustus
2016 . Pengamatan efektifitas pompa dilakukan dengan membandingkan konsumsi
bahan bakar untuk pompa alkon dibandingkan dengan konsumsi listrik pada pompa
rakitan.
Untuk perlakuan pemeliharaan udang dilakukan sesuai standar operasional yang
ada di BBPBAP Jepara meliputi perbaikan kualitas air dengan menjaga kestabilan
kualitas air selama pemeliharaan sebagai berikut:
a. Pengelolaan air.
Pengelolaan air pada tambak udang dilakukan untuk menjaga kesetabilan
plankaton. Kelimpahan plankton selama pemeliharaan diarahkan pada dominasi
plankton jenis Chloropiceae Sp. sehingga warna air cenderung kehijauan.
Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk ZA, probiotik, molase (tetes tebu)
dengan dosis pupuk 1-2 ppm, probiotik 100 – 200 gr, molase (tetes tebu) 4 liter.
Aplikasi susulan dilakukan setiap seminggu 2 kali. Aplikasi dihentikan bila air
berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan kurang dari 30 (Supito et.al., 2014)
Pengaturan jumlah dan arah kincir dilakukan dengan prinsip seluruh kolom
air bisa bergerak dan dapat melokalisir kotoran (sisa pakan, kotoran udang dan
plankton/bakteri yang mati) pada bagian yang mudah dibuang. Penyiponan kotoran
yang terkumpul di bagian tengah tambak di lakukan untuk mengurangi kotoran
(Total bahan organik).
Pergantian air sebanyak 5-10% perhari dari petak tandon yang telah disiapkan
diperlukan untuk pengenceran air tambak yang sudah pekat bila kecerahan kurang
dari 20 cm serta warna air cenderung mengarah ke hijau gelap atau hijau kebiruan.
.
b. Aplikasi probiotik dan bawang putih (alycin).
Aplikasi probiotik dan bawang putih (alycin) dilakukan melalui pakan yang
diberikan tiap hari yaitu pagi dan sore hari. Sedangkan aplikasi probiotik pada media
pemeliharaan dengan tujuan untuk mempercepat penguraian bahan organik sehingga
tidak terbentuk senyawa beracun seperti amonia dan nitrit. Aplikasi bakteri probiotik
juga untuk mendesak dominasi bakteri vibrio Sp. yang cenderung bersifat patogen.
Perlakuan aplikasi probiotik mulai dilakukan 3 hari, setelah sterilisasi, selanjutnya
aplikasi secara rutin dilakukan 2 kali tiap minggu.
122
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan. Salah satu jenis
sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase),
reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan di awal pembentukan. Jumlah atau
dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air
sebagai indikator adalah nilia pH air.
Teknik aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan menebar langsung
probiotik dengan cara persiapan wadah aktivasi berupa ember (volume 20 L) dan
diisi air tambak yang akan di tebar probiotik. Masukan probiotik 200 gr dan di
tambahkan sumber karbon (molase) sekitar 4 liter dan diaduk merata. Tambahkan
pupuk ZA sebanyak 4 Kg dan aduk merata. Biarkan spora bakteri berkembang
selama 0,5 - 1 jam dan kemudian ditebar pada tambak (Supito et.al, 2014)
Aplikasi probiotik pada pakan bertujuan untuk mendesak dominasi bakteri
vibrio pada usus. Cara pengkayaan pada pakan adalah dengan mencapur 20 g
probiotik; 3 g ekstrak bawang putih, 2,5 mL multivitmin per kg pakan dan molase
secukupnya. Bahan-bahan tersebut di campur dan diencerkan dengan air secukupnya.
Campuran bahan tersebut selanjutnya di campurkan pada pakan pellet dan
dikeringkan dengan cara diangin angikan. Pencampuran ini bisasanya dilakukan 1
jam sebelum pemberian.
123
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Gambar 1. kontstruksi saluran tengah tambak (central drain) atau pinggir tambak
(side draine)
Tepat dibagian tengah adalah buis beton yang dipasang vertikal, sebagai
tempat pemasangan paralon di semua penjuru. Pada paralon tersebut dilubangi kecil-
kecil yang tidak muat dimasuki udang yang sudah berukuran menengah. Selain itu
juga terpasang selang yang bisa menjangkau lumpur lebih luas lagi.
Cara kerjanya adalah diluar tambak terpasang saluran pembuangan dari
central drine itu, jika penutupnya dibuka, maka air yang membawa lumpur akan
mengalir keluar tambak. Oleh karena itu, penempatan kincir dan arahnya harus bisa
menempatkan lumpur mengumpul di sekitar central drine ini, sehingga pengeluaran
bisa lebih efektif. Jika lumpur tidak semua terjangkau paralon, maka bisa dikeluarkan
dengan selang yang bisa fleksibel digunakan untuk menjangkau lumpur. Kegiatan
siphon ini waktunya fleksibel, yang penting tambak harus bersih selama proses
budidaya berlangsung. Perlakuan Siphon akan meningkatkan peluang
keberhasilan budidaya udang.
124
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Hasil pengukuran suhu terhadap peubah kualitas air yang di peroleh selama
pemeliharaan rata-rata 29 – 31 oC. Suhu sangat berpengaruh terhadap komsumsi
oksigen, pertumbuhan, sintasan udang dalam lingkungan budidaya perairan (Pan-Lu-
Qing et al., 2007). Keberhasilan dalam budidaya udang suhu berkisar antara 20 - 30
°C.
125
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Petakan Tambak
Parameter
H.3 H.4 H.5 H.6
pH 6,9 – 7,7 6,9 - 7 6,9 -7,4 6,9 - 7,3
T 29 – 31 29 - 31 29 - 31 30– 31
Salinitas 29 -30 30 -31 30- 31 29-30
Petakan Tambak
Parameter H.3 H.4 H.5 H.6
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Nittrit (NO2) 0,633 0,415 0,672 0,479 0,684 0,628 0,119 0,038
Nitrat (NO3) 1,035 0,365 1,011 0,658 1,189 1,012 0,303 0,12
TOM 105,16 80,01 116,09 84,87 149.26 83,95 96,65 34,79
NH3 87,10 0,175 89,19 0 85,49 0,199 80,24 0,015
Tabel 3. Parameter Kimia Budidaya Udang Vannamei
126
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
0,119 mg/L. Setelah dilakukan penyiponan kandungan nitrit turun berkisar 0,038 -
0,628 mg/L.
Kandungan nitrat disajikan pada Tabel 3. Pada tebel tersebut terlihat
kandungan nitrat selama pemeliharaan 0,303 – 1,189 mg/L dan menurun setelah
dilakukan penyiponan pada kisaran 0,12 – 1,012 mg/L. Hasil pengamatan kandungan
nitrat dalam petak tambak cenderung meningkat seiring dengan waktu pemeliharaan.
Menurut Effendi (2003) nitrat adalah nutrien utama bagi pertumbuhan. Konsentrasi
nitrat yang tinggi dalam perairan akan menstimulasikan pertumbuhan serta
perkembangan organisme di perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien
(Alaerst & Sartika, 1987).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternative budidaya udang saat ini.
PT. Central Proteinaprima (Charoen Pokphand Group) Surabaya. 16
hal.
Andrianto, T. T. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Nila. Absolut. Yogyakarta
Alaerst G dan Sartika S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya
Effendi, H., 2003. Telahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan
Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Periran.Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. . 259 hal
Pan-Lu-Qing,Fang bo,Jiang Ling-Xu, and Liu-Jing. 2007.The effect of temperature
on selected immuneparameters of white shrimp,Litopenaeus
vannamei. Journal of the World Aquaculture Saciety. 38 (2),326-332
Soemardjati W, Suriawan A. 2007. Petunjuk teknis budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) ditambak. Departemen Kelautan dan
Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya
Air Payau Situbondo. 30 hal.
127
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Budidaya rumput laut Gracillaria Sp. sangat potensial untuk dikembangkan
diperairan payau, khususnya pada tambak-tambak yang berada di wilayah pasang-
surut dengan kadar garam > 5 ppt. Hal tersebut akan tumbuh dan berkembang
gracilaria Sp. secara baik. Dengan substart tanah lumpur berpasir, maka akan lebih
memberikan tingkat produksi yang optimal.
Di Indonesia umumnya yang dibudidayakan di tambak adalah jenis Gracilaria. Jenis
ini berkembang di perairan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai,
Bulukumba, Wajo, Paloppo, Bone, Maros); Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang,
Bekasi, Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan); Lombok Barat.
Gracilaria sp selain dipanen dari hasil budidaya juga dipanen dari alam.
Gracilaria sp dapat tumbuh di berbagai kedalaman, namun pada umumnya
pertumbuhan jenis ini lebih baik di tempat dangkal dari pada di tempat yang dalam.
Sebagiam besar Gracilariasp lebih menyukai intensitas cahaya dan temperatur yang
tinggi. Temperatur merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan Gracilariasp,
sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan Gracilaria sp berkisarantara 20 -
28 °C. Gracilariaspjuga tersebar luas di sepanjang pantai daerah tropis.
Dengan berkembangnya budidaya Gracilaria sp, maka BBPBAP melaksanakan
kegiatan tahun 2015 dengan demfarm budidaya Gracilaria Sp. di tambak Mlonggo,
Jepara. Hasil produksi Demfarm budiadaya rumput laut Gracilaria Sp. yaitu sebagai
berikut : Bibit awal 2.500 kg; Metoda penanaman sebar dasar; jumlah panen total
adalah 7.000 kg (dalam bentuk basah).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar ( macroalgae ) yang
meupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk dalam divisi thallophyta. Gambaran
umum rumput laut adalah macrobenthic (besar dan melekat), organisme autotrof,
membutuhkan cahaya untuk keberlangsungan hidupnya sehingga rumput laut tidak
dapat hidup pada kedalaman laut yang tidak ada penetrasi cahaya. Ukuran, bentuk
dan warna rumput laut bervariasi
Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan
antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi
yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Proses metabolisme alga memerlukan
kesesuaian faktor - faktor fisika dan kimia seperti perairan, gerakan air, temperatur,
kadar garam, nutrisi atau zat hara seperti nitrat dan fosfat, dan pencahayaan sinar
matahari.
128
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Gracillaria Sp. merupakan salah satu jenis rumput laut yang mempunyai
batang daun semu sehingga dimasukkan dalam golongan Thallophyta. Tallus dari
Gracillaria Sp.. tersusun oleh jaringan yang kuat, warna merah ungu kehijau -
hijauan, bercabang - cabang mencapai tinggi 1-3 dm dengan garis tengah cabang
antara 0,5 - 2,0 mm. Percabangan “alternate”, hampir dikotom dengan perulangan
lateral. Bentuk cabang silindris dan meruncing di ujung cabang
Gracilaria Sp.. merupakan makroalga yang tumbuh melekat pada subtrat.
Bentuk thallus menyerupai silinder, licin, berwarna coklat atau kuning hijau,
percabangan tidak beraturan, memusat di bagian pangkal, cabang - cabang lateral
memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar 15 - 30 cm
(Ditjenkanbud, 2005). Warna talus bervariasi merah, ungu, coklat, dan hijau
Ciri - ciri khusus dari Gracilaria Sp.. adalah thallus berbentuk silindris dan
permukaannya licin. Thallus tersusun oleh jaringan yang kuat, bercabang - cabang
dengan sepanjang kurang lebih 250 mm, garis tengah cabang antara 0,5 - 2,0 mm.
Percabangan alternate yaitu posisi tegak percabangan berbeda tingginya,
bersebelahan atau pada jarak tertentu berbeda satu dengan yang lain, kadang -
kadang hampir dichotomous dengan pertulangan lateral yang memanjang
menyerupai rumput.
Dalam produksi rumput laut Gracilaria Sp.. dilakukan dengan vegetatif
melalui pemotongan thallus yang nantinya digunakan sebagai bibit untuk
dikembangbiakan secara produktif. Rumpunan thallus alga dipotong dengan ukuran
30 - 150 gr, untuk dijadikan bibit.
Budidaya rumput laut di Indonesia mempunyai potensi yang sangat tinggi
karena didukung oleh perairan laut yang sesuai untuk budidaya. Hal tersebut
diharapkan dapat menunjang hasil produksi rumput laut sebagai salah satu komoditas
usaha perikanan. Pada umumnya rumput laut dijumpai tumbuh di daerah perairan
yang dangkal dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran
keduanya.
Rumput laut termasuk dalam kategori tanaman tingkat rendah, umumnya
tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun
sejati tetapi hanya meyerupai batang thallus. Di alam, rumput laut tumbuh dan
melekat pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya. Selain benda mati,
rumput laut dapat melekat pula pada tumbuhan lain secara epifitik.
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka BBPBAP Jepara
melakukan produksi budidaya rumput laut (Gracilaria Sp.) di tambak dengan
perbaikan kualitas dan peningkatan produksi.
Tujuan
Tujuan kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak, adalah :
Peningkatan produksi rumput laut Gracilaria Sp.. di tambak Teknik budidaya rumput
laut Gracilaria Sp. di tambak.
129
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Sasaran
Sasaran kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak, adalah:
1. Penyediaan bibit rumput laut Gracilaria Sp. secara kontinyu
2. Bahan penyusunan standar budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di
tambak
Tata Kerja
Metoda awal dilakukan dengan penentuan lokasi untuk budidaya rumput laut
yang memenuhi kriteria kelayakan teknis berdasarkan kualitas air maupun
aksesibilitas, dan akses ke kawasan budidaya, yaitu :
Dasar tambak pasir berlumpur.
Lokasi budidaya dekat dengan sumber air tawar untuk memudahkan
menurunkan salinitas sesuai dengan kebutuhan.
Lokasi budidaya bebas dari limbah pencemaran
Perairan cukup jernih. Tingkat kecerahan 40-60 cm
Kadar garam (salinitas) antara 1-40 ppt dan optimal pada salinitas 5 - 43 ppt,
Temperatur air berkisar antara 20-32 oC
pH berkisar antara 6–9
Persiapan Tambak
Setiap petakan tambak budidaya sebaiknya memiliki pintu pemasukan dan
pengeluaran air yang berfungsi untuk sirkulasi air secara gravitasi sehingga akan
130
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
menjaga kualitas air dalam tambak.Apabila tidak dapat dilakukan pergantian air
dengan mengandalkan pasang surut, maka pergantian air dapat dibantu dengan
pompa air.
Pematang tambak harus kuat, tidak bocor dan rapi. Bangunan pematang
tambak sebaiknya dapat digunakan sebagai jalan sehingga memudahkan pengelolaan
tambak serta bisa difungsikan sebagai tempat penjemuran hasil panen Gracilaria Sp.
Ketinggian pematang tambak dibuat dengan posisi lebih tinggi dari pasang tertinggi
air laut dan tidak tenggelam jika terjadi hujan deras ataupun tidak tenggelam ketika
terjadi banjir di sekitar lokasi tambak.
Persiapan Tambak
Pastikan lahan (konstruksi sarana budidaya) sudah siap untuk dilakukan
penanaman.Tambak dikeringkan dan diangkat bahan organik/lumpurnya minimal 10
cm.Tambak selanjutnya dibiarkan kering matahari selama 3 - 5 hari sampai tanah
retak – retak. Tambahkan kapur pada dasar tambak untuk mendapatkan derajat
keasaman (pH) tambak berkisar antara 6 -9 atau sekitar 6- 8 untuk pertumbuhan
optimal Gracilaria Sp. Apabila tanah tambak memiliki pH 5, maka jumlah kapur
pertanian yang ditambahkan adalah sebanyak 500 kg/ha.Masukkan air ke dalam
tambak melalui saringan yang dipasang pada pintu pemasukan air. Kedalaman air
tambak yang optimal untuk budidaya Gracilaria Sp. adalah 50 cm, namun jika
dipolikulturkan dengan ikan bandeng atau udang, kedalaman tambak dapat
mencapai 100 cm. Jika masih terdapat hama pada tambak maka gunakan saponin
sebanyak 20 ppm
131
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Kebun Bibit
Pembuatan kebun bibit sebaiknya dilakukan untuk menjamin ketersediaan bibit
di setiap daerah. Pembuatan kebun bibit rumput laut diawali dengan melakukan
seleksi varietas. Seleksi varietas dapat dilakukan dengan menggunakan metode
penanaman long line.
132
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Resirkulasi Air
Lakukan pergantian air minimal setiap tiga hari sekali pada saat pasang.Pada
saat musim kemarau, perlu dilakukan pergantian air yang lebih sering untuk
menghindari salinitas air tinggi akibat penguapan air tambak sedangkan pada musim
penghujan salinitas air tambak dijaga agar tidak terlalu rendah. Salah satu caranya
dengan menggunakan metode resirkulasi.
Parameter Lingkungan
Lakukan pemantauan salinitas, pH, temperatur dan kekeruhan tambak secara
teratur setiap tiga hari sekali untuk memastikan kualitas air terjaga untuk
pertumbuhan Gracilaria Sp. yang optimal.
133
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pertumbuhan
Amati perkembangan Gracilaria Sp. dengan melihat laju pertumbuhan harian.
Jika laju pertumbuhan harian dibawah 3% atau hasil panen basah sekitar 3,8 kali
berat bibit awal yang ditanam maka pada penanaman kedua dapat ditambahkan bibit
menjadi 2 ton/ha. Namun jika pertumbuhan harian lebih besar dari 4% atau hasil
panen basah sekitar 6 kali berat bibit awal yang ditanam maka penanaman berikutnya
dapat ditebar 3-4 ton/ha.
Jika terjadi penumpukan Gracilaria Sp. maka dilakukan perataan rumpun
rumput laut agar tidak terjadi pembusukan atau pembentukan gas H2S di tambak.
Pemupukan diperlukan pada kondisi tertentu seperti yang tercantum di bawah.
Pengujian kadar phosphat dan nitrogen dalam tambak juga diperlukan sebelum
dilakukan pemupukan.
Pada saat umur pemeliharaan 1-30 hari, apabila air terlalu jernih sampai pada
dasar perairan, gunakan pupuk NPK sebanyak 15 kg/ha atau pupuk phosphat
(misalnya SP36) untuk menumbuhkan plankton sehingga mengurangi penetrasi
cahaya.Penggunaan pupuk phospat harus memperhatikan pH tanah. Pada kondisi pH
rendah (<5) maka penggunaan phosphat kurang efektif.
Lakukan pemupukan jika pertumbuhan harian Gracilaria Sp. kurang dari 3%
dengan menambahkan pupuk yang mempunyai kandungan nitrogen tinggi pada
minggu pertama sampai keempat dan pupuk yang banyak mengandung phospat pada
minggu kelima sampai ketujuh. Dosis pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan,
misalnya 10 kg/ha untuk pupuk yang mengadung nitrogen dan 5 kg/ha untuk pupuk
yang mengandung phosphat.
Pemupukan dilakukan dengan cara melarutkan pupuk terlebih dahulu, dan
kemudian menyebarkannya secara merata di tambak.Selain pupuk anorganik, pupuk
organik seperti kompos dan kotoran ternak juga dapat digunakan.
134
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
- Perawatan saluran serta pintu masuk dan keluar air tambak sehingga terjadi
pergantian air dengan baik.
- pH air tambak pada kisaran 6,2-8,2 dan pH optimal untuk pertumbuhan
Gracilaria Sp. antara 6-9
- Temperatur suhu tambak pada kisaran 18-30oC dan suhu optimal untuk
pertumbuhan Gracilaria Sp. antara 20-32oC,
- Tingkat kekeruhan tambak dibawah air turbidity / TOM (50 ppm) sehingga
Gracilaria Sp. yang berada di dasar tambak masih bisa mendapatkan sinar
matahari untuk fotosintesis dan pertumbuhan yang optimal.
135
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Hasil yang diperoleh Budidaya Rumput Laut Gracilaria Sp. adalah sebagai
berikut :
Kegiatan ini dilakukan dengan perolehan seleksi dan pemilihan bibit adalah
dengan sistem bibit berkala yaitu bibit pertama diperoleh dari rumpun rumput laut
Gracilaria Sp. di tambak, selanjutnya bibit diseleksi dengan teknik pemanenan
rumput laut secara bertahap baik mingguan bahkan harian.
Untuk pemilihan bibit yang baik untuk budidaya rumput laut sendiri memiliki
ciri-ciri dan syarat di antaranya ciri-ciri bibit yang baik adalah diambil dari tanaman
yang relatif masih muda (usia 3-4 minggu) dan sehat, yang didapat dengan
memotong/memetik dari rumpun tanaman yang sehat pula dengan panjang sekitar 5-
10 cm sehingga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Thallus yang dipilih masih segar dan cukup elastis
2. Thallus memiliki banyak cabang dan pangkalnya relatif lebih besar dari
cabangnya.
3. Ujung thallus warnanya lebih cerah.
4. Bila thallus digigit/dipotong terasa britel (getas)
5. Akan lebih baik apabila bibit rumput laut didapatkan dari pembudidayaan dengan
kadar garam 5 ‰.
Penyediaan dan pemilihan bibit merupakan faktor penting yang dapat
menentukan keberhasilan dari suatu budidaya rumput laut. Kualitas dan kuantitas
produk budidaya rumput laut ditentukan oleh bibit rumput laut, maka kegiatan
penyediaan bibit harus direncanakan dengan memperhatikan sumber perolehan bibit,
cara pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan sehingga diperoleh bibit dalam
jumlah yang cukup dengan mutu yang dapat memberikan pertumbuhan optimal.
Hasil produksi budiadaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak BBPBAP
Jepara yaitu sebagai berikut :
- Bibit awal 2.500 kg
- Metoda penanaman sebar dasar
- Panen 5 x,
- jumlah panen total adalah 7.000 kg (dalam bentuk basah)
Produksi Gracilaria Sp. yang dihasilkan dari budidaya di tambak
menunjukkan bahwa ukuran thallus yang lebih besar. Hal ini karena adanya
penyerapan unsur Nitrogen yang siap (dalam bentuk nitrat) untuk pertumbuhan.
Adapun rata -rata laju pertumbuhan harian mampu di capai ± 2-3 % pada minggu
pertama dan 5-6% pada minggu kedua.
Hasil pengamatan parameter lingkungan selama 1 periode budidaya adalah
sebagai berikut :
136
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
137
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Derajat keasaman / pH terendah saat pagi hari dijumpai pada hari ke-40 dan pH
tertinggi saat pagi hari dijumpai pada hari ke-30 sedangkan pH terendah saat sore
hari dijumpai pada hari ke 1 dan pH tertinggi saat sore hari dijumpai pada hari ke-30.
Hal ini kemungkinan terjadi karena fluktuasi kandungan bahan organik maupun
bahan anorganik yang terbawa oleh sumber air laut. Kisaran pH berdasarkan data di
atas yaitu antara 7.9 – 8.4. Kisaran pH ini merupakan kisaran pH yang optimal untuk
pertumbuhan rumput laut.
KESIMPULAN
1. Tahapan teknik budidaya rumput laut di tambak yaitu : penentuan lokasi untuk
budidaya rumput laut, persiapan tambak (termasuk pengaturan kedalaman
tambak), seleksi bibit, pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas,
pengangkutan bibit, persiapan dan penanaman bibit, pemeliharaan dan
pemantauan budidaya (termasuk pengelolaan kualitas air, hama dan penyakit
serta panen dan pasca panen.
2. Hasil Demfarm budidaya rumput laut Gracilaria Sp. menunjukkan ukuran
thallus berkisar antara 0,1-0,2 mm dan laju pertumbuhan harian sampai
dengan 2.% pada minggu pertama dan 6.5% pada minggu kedua.
3. Hasil Produksi Demfarm dengan panen 5 x adalah 7.000 kg. Hal ini
menunjukan bahwa budidaya rumput laut Gracilaria Sp. yang dilakukan
dapat tersenggara dengan baik.
SARAN
1. Diperlukan teknik budidaya rumput laut yang lebih mudah dan dalam waktu
lebih singkat.
2. Pengamatan berat dan laju pertumbuhan sebaiknya dilakukan pada saat yang
bersamaan dengan waktu pengambilan data parameter lingkungan sehingga
dapat diketahui pengaruh faktor lingkungan terhadap laju pertumbuhan
rumput laut yang dihasilkan.
3. Perlu dipastikan kalibrasi alat secara periodik untuk memastikan keakuratan
data yang diperoleh.
4. Perlu peningkatan pengelolaan kualitas air di tambak.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi.
selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Ibu Endah
Soesanti, A.Pi,S.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Rumput Laut dan teman
yang terkait.
138
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
Alam, A.A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma Spinosum Di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar
Alifuddin, M. 1993. Penyakit Protozoa pada Ikan. Lab Kesehatan Ikan Jurusan
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. 342 hal
Arini, Endang. 2011. Pemberian Kapur (Caco3) Untuk Perbaikan Kualitas Tanah
Tambak Dan Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp Program Studi
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Diponegoro, Semarang. Jurnal Saintek Perikanan.6(2) : 23 – 30
Armita, D. 2011.Analisis Perbandingan Kualitas Air Di Daerah Budidaya Rumput
Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun Malelaya,
Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skripsi.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan PerikananFakultas
Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar
Aslan, M.I. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta. 95 hal
Black, J.A, dan D.J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT.
Refika Aditama : Bandung
Cambridge University Press, United States of America, 366 pp
Direktorat pembinaan sekolah menengah kejuruan. 2013. Teknik penanaman rumput
laut. Kementerian pendidikan dan kebudayaan
Jana, T. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta
Kabata. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in the Tropics. Taylor and
Francis. London page 109-114
Khasanah, U. 2013. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput
Laut euchemas cottoni di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar
Komarawidjaja, W dan D, A.Kurniawan. 2008. Tingkat Filtrasi Rumput Laut
(Gracillaria Sp.) terhadap Kandungan Orthofosfat (P3O5). Jurnal Teknik
Lingkungan. Vol. 9, No.2, Hal: 180-183. Mei 2008. ISSN 1441-318X. Penerbit
Penelitian Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT
Kordi, K dan Andi T. 2010. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta : Rineka Cipta
Kordi, M., G., 2011. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut & Tambak.
Penerbit Andi. Yogyakarta. 134 hlm
KSEP. 2002. Kelompok Studi Ekologi Perairan. Senat Mahasiswa Fakultas Biologi.
Universitas Nasional. Jakarta
Lanuru, Mahatma dan Suwarni. 2011. Pengantar Oseanografi. Program Studi Ilmu
KelautanJurusan Ilmu KelautanFakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin. Makasar
Lobban, C. S., dan P. J. Harrison. 1997. Seaweed Ecology and Physiology
Mamang, Nurfadly. 2008. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma Cattonii
Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit Di Perairan Lakeba,
Kota Bau-Bau,
139
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Oleh : Nur Cholifah, Ery Sutanti, Poniran dan Dwi Joko Sulistyono
ABSTRAK
Pakan alami yang bisa digunakan sebagai sumber makanan tergantung pada
beberapa karakteristik seperti ukuran sel dan komposisi biokimia (Becker, 2004).
Salah satu fitoplankton yang dapat dikultur guna penyedia pakan bagi larva udang
adalah Thalassiosira Sp. Perbedaan yang terjadi antara skala laboratorium dan
skala semi massal adalah pada lokasi kultur, yaitu pada sistem indoor dan outdoor
serta sistem pencahayaannya. Pada skala laboratorium sistem pencahayaan
berasal dari lampu yang dinyalakan selama 24 jam (kontinyu), sedangkan pada
skala massal sistem pencahayaannya berasal dari sinar matahari. Tujuan dari
kegiatan ini adalah mengamati pertumbuhan Thalassiosira Sp. pada kultur skala
laboratorium dan skala semi massal. Hasil kegiatan ini didapatkan pertumbuhan
Thalassiosira Sp. pada skala laboratorium lebih cepat dibandingkan pada sistem
outdoor, dimana puncak pertumbuhannya terjadi pada hari ke tiga dengan jumlah
populasi 913.000 sel/ml.
PENDAHULUAN
Tersedianya pakan hidup merupakan salah satu faktor pendukung dalam
keberhasilan usaha budidaya ikan. Pemberian pakan dengan kualitas yang baik serta
dalam jumlah yang cukup akan meningkatkan kelulushidupan larva ikan. Pakan
alami dapat dijadikan sebagai alternatif guna memenuhi kebutuhan pakan ikan. Hal
tersebut disebabkan karena pakan hidup mudah didapat dalam jumlah yang banyak
sehingga dapat menunjang kelulushidupan larva ikan. Disamping itu karena pakan
hidup memiliki kandungan nutrisi tinggi dan memiliki ukuran yang sesuai bagi
bukaan mulut larva. Pakan hidup yang bisa digunakan sebagai sumber makanan
tergantung pada beberapa karakteristik, seperti ukuran sel dan komposisi biokimia
(Becker, 2004). Salah satu jenis fitoplankton yang dapat dikultur sebagai pakan bagi
larva udang adalah Thalassiosira Sp. Thalassiosira sp. mempunyai bentuk seperti
rantai dari sel. Thalassiosira sp termasuk dalam fitoplankton berwarna coklat, sel
membentuk untaian rantai, sel berbentuk silinder/tong, tidak bergerak, berukuran 4
μm, salinitas 26 hinga 32 ppt, dan untuk suhu optimum berkisar sekitar 22-29 C.
Untuk mendapatkan jumlah Thalassiosira sp. dengan kualitas dan
kuantitas yang baik, maka kultur Thalassiosira sp. di mulai dari kegiatan
pemurnian, kultur skala laboratorium dan skala semi massal dan dilanjutkan pada
skala massal. Perbedaan yang terjadi antara skala laboratorium dan skala semi
140
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
massal adalah pada lokasi kultur, yaitu pada sistem indoor dan outdoor dan sistem
pencahayannya. Pada skala laboratorium sistem pencahayaan berasal dari lampu
yang dinyalakan selama 24 jam (kontinyu), sedangkan pada skala massal sistem
pencahayaannya berasal dari sinar matahari. Tujuan dari kegiatan ini adalah
mengamati pertumbuhan Thalassiosira sp. pada kultur skala laboratorium dan
skala semi massal.
Tata Kerja
Langkah-langkah untuk mengetahui dinamika pertumbuhan Thalassiosira
sp. pada skala laboratorium dan skala semi massal adalah sebagai berikut:
141
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
142
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
mana cahaya matahari kurang memadai, dapat menggunakan lampu TL atau sumber
cahaya lain yang sesuai.
Pada hari keempat hingga hari keenam terjadi fase kematian, dilanjutkan
dengan fase stationer pada hari kelima. Keberhasilan kultur ditandai dengan
pertumbuhan yang semakin meningkat dari kepadatan sel Thalassiosira sp. Hal
tersebut merupakan waktu generasi pertumbuhan Thalassiosira sp.
Berdasarkan pengamatan pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala semi
missal didapatkan fase pertumbuhan Thalassiosira sp. melewati fase adaptasi kurang
dari 1 hari, keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kemelimpahan awal (hari ke-0) yang
meningkat pada hari ke-1 namun jumlah kemelimpahan pada hari ke-1 tidak
143
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
mencapai dua kali lipat pertumbuhan awalnya. Fase eksponensial dimulai pada hari
ke 2 sampai dengan hari ke delapan dengan puncak pertumbuhan sebesar 183.000
sel/mL ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan sel secara eksponensial. Fase
stasioner dan fase kematian tidak teramati karena dipindah ke skala massal. Grafik
pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala laboratorium dan skala semi massal dapat
dilihat pada gambar 2 dibawah ini
1000
Kepadatan sel (x103
800
600 L
400
200
0
1 2 3 4 5 6 7 8
Hari Ke-
Gambar 2. Fase pertumbuhan Thalassiosira sp. skala laboratorium dan skala semi
massal.
KESIMPULAN
Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak Sugeng Raharjo,
A.Pi. selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini,
kepada Koordinator Laboratorium pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi , Ibu Siska
Aprilliyanti, S.Pi, Bapak. Sugiono, dan Arif yang telah memberikan saran baik
dalam proses penelitian maupun dalam proses penyusunan laporan .
144
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
Becker F, et al. (2004) A three-hybrid approach to scanning the proteome for targets
of small molecule kinase inhibitors. Chemical Biology 11(2):211-23.
Cahyaningsih, S. 2009. Standar Nasional Indonesia Pembenian Perikanan
(PakanAlami). Pelatihan MPM-CPIB Pembenihan Udang, 16-20 Juni
2009,Situbondo. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo
Costard,G.S., R. R. Machado., E. Barbarino., R. C. Martino., and S. O. Lourenço.
2012. Chemical composition of five marine microalgae that occur on the
Brazilian Coast.International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 4(9),
pp. 191-201
Isnansetyo, A. & Kurniastuty. (1995). Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme
Laut. Kanisius. Yogyakarta
Kiatmetha P., W. Siangdang, B. Bunnag, S. Senapin, and B. Withachumnarnkul.
2011. Enhancement of survival and metamorphosis of Penaeus monodon
larvae by feeding with the diatom Thalassiosira weissflogii. Aquaculture
International, Vol.19, Issue 4, pp 599-609.
Khojasteh, Z., R. Davoodi., R.G. Vaghei., H. Nooryazdan. 2017. Survival,
development and growth of whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei zoea fed
with microalgae (Chaetoceros and Tetracelmis) diets. World Journal of Fish
and Marine Sciences 5(5):553-555.
Lopez-Elias, G.A., F.Enriquez-Ocana., M.N. Pablos-Mitre., N. Huerta-Aldaz., S.
Leal., A. Miranda-Baeza., M. Nieves-Soto., and I. Vasquez-Salgado. 2008.
Growth and biomass production of Chaetoceros muelleri in mass outdoor
cultures: Effect of the hour of the inoculation, size of the inoculum and
culture medium. Rev.Invest.Mar.29(2):171-177.
Rodriguez, E.O., J.A. Lopez-Elias., E.A. Hinojosa., M.D.C. Garza-Aguirre., F. C.
Franco., A.K-Baeza and M. Nieves-Soto, 2012. Evaluation of the nutritional
quality of Chaetoceros muelleri and Isochrysis sp grown outdoors for the
larval development of Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Arch. Biol.Sci.,
Belgrade, 64(3), 963-970.
Setyaningsih, Iriani, Desniar, dan Purnamasari , Evi. 2012. Antimikroba dari
Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dengan penyinaran berbeda . Jurnal
Akuatika Volume III. No.2 IPB. Bogor.
Sorgeloos. P., Dhert P. & Candreva P. (2001). Use of Brine Shrimp, Artemia spp. in
Marine Fish Larviculture. Aquaculture.147-15
145
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Thalassiosira sp sekarang ini menjadi pakan alami yang banyak dipergunakan pada
pembenihan udang putih vaname. Banyak keunggulan dari Thalassiosira sp bila
dibandingkan dengan pakan alami sebelumnya. Namun, ada kendala di dalam
pengangkutan bibit Thalassiosira sp pada skala masal. Karena pengangkutan
dilakukan dengan air media kulturnya. Hal ini yang kemudian mendorong untuk
dilakukan ujicoba pengumpulan sel untuk dapat mengifisienkan pengangkutan
Thalassiosira sp.
Sel Thalassiosira sp dikumpulkan dengan cara mematikan aerasi. Sel akan
mengendap sempurna di bagian dasar bak kultur selama 24 jam mematikan aerasinya
bila dibandingkan bila aerasi dimatikan selama 12 jam. Sel yang mengendap
kemudiannya di panen dengan cara membuang air media kultur di bagian atas. Sel
yang terkumpul selanjutnya dilakukan packing untuk pengangkutan. Kedalam
packing sel Thalassiosira sp tersebut kemudiannya ada yang di beri pupuk dan tanpa
diberi pupuk. Selanjutnya dilakukan pengangkutan selama 6 jam, 12 jam dan 24
jam. Sel dengan jam pengangkutan berbeda tersebut, dikultur ulang di skala lab
dengan volume 2 liter dan dipupuk dengan pupuk komposisi Walne. Pertumbuhan
sel dilakukan pengamatan secara harian hingga pada fase kematian.
Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pengumpulan sel Thalassiosira sp dengan cara
mematikan aerasinya selama 24 jam memberikan jumlah sel yang terkumpul lebih
banyak. Sel Thalassiosira sp. yang terkumpul dapat dilakukan pengangkutan selama
6 – 12 jam dengan penambahan pupuk pada sel yang terkumpul dapat dikultur
kembali dengan pertumbuhan sel hingga puncak pertumbuhan pada hari ke-4.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan pakan alami berupa fitoplankton dan zooplankton pada
berbagai stadia larva sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap kualitas benih
yang dihasilkan(Khojasteh, et al., 2013). Rodriguez et al., (2012) membuktikan
bahwa laju pertumbuhan dan komposisi proximat dari benih tergantung pada
komposisi biokimia dari pakan alami yang diberikan. Jenis pakan alami yang
digunakan disesuaikan dengan ukuran, kandungan nutrisi serta penyediaan kultur
massal. Hasil studi Preston et al., (1992) dengan mengamati hubungan
keberadaan larva dan kemelimpahan plankton di teluk Carpentaria, Australia
diketahui bahwa kemelipahan benih seiring dengan ketersediaan diatom di
146
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
perairan tersebut. Tiga jenis pakan alami dari kelompok diatom telah diujikan
pada larva merguiensis yaitu : Skeletonema, Chaetoceros dan Thalassiosira.
Skeletonema dan Chaetoceros sudah umum digunakan pada pemeliharaan
larva udang windu. Pada udang putih pakan alami uniceluler seperti Chaetoceros
umum digunakan (Hoang et al.,2002). Chaetoceros banyak digunakan oleh
karena laju pertumbuhan cepat dan dapat dikultur pada kondisi outdoor dengan
interval suhu dan cahaya yang lebar (Lopez-Elias et al., 2008). Dari segi nutrisi,
pakan alami Thalassiosira memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti jumlah
asam lemak tak jenuh (PUFA) hampir dua kali lipat dibandingkan dengan
Chaetoceros pada fase exponensial (Costard et al., 2012). Kiatmetha et al.,
(2011) melakukan kajian penggunaan pakan alami Chaetoceros dan Thalassiosira
pada pemeliharaan larva udang windu. Hasil kajian menunjukkan bahwa
penggunaan Thalassiosira atau kombinasi keduanya dihasilkan sintasan yang
singnifikan lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan Chaetoceros.
Penggunaan pakan alami, terutama Thalassiosira pada pemeliharaan larva
udang di berikan sekaligus dengan air media kulturnya sehingga dapat mengganggu
kestabilan lingkungan pemeliharaan larva. Demikian juga dengan pengangkutan
bibit Thalassiosira sp. dilakukan dengan air media kulturnya. Sehingga perlu
dilakukan kegiatan untuk dapat melakukan efisiensi di dalam pengangkutan
Thalassiosira sp.
Tujuan
Mendapatkan teknik pengangkutan Thalassiosira sp yang lebih efisien dengan
melakukan pengumpulan selnya.
METODE
Tata Kerja
Disiapkan air media di dalam wadah 1 m3 dengan cara air laut disterilkan dengan
chlorine konsentrasi 60 ppm dan diaerasi selama 24 jam. Selanjutnya dinetralisir
dengan natrium thiosulfat konsentrasi 30 ppm. Pemupukan dilakukan dengan
penambahan : KNO3 50 ppm, Na2H2PO4 15 ppm, NaSiO3 10 ppm, FeCl3 1 ppm,
EDTA 5 ppm dan Vitamin B-12.
147
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Pengumpulan sel
Pengumpulan sel Thalassiosira sp. pada kultur volume 1 m3 dengan mematikan
aerasi selama 24 jam memberikan jumlah sel yang terpanen lebih banyak bila
dibandingkan pada 12 jam. Dimana dengan mematikan aerasi selama 24 jam sel
Thalassiosira sp. akan terkumpul secara sempurna di dasar bak, tanpa ada sel yang
masih melayang di media air kultur.
Pengangkutan
Pada pengangkutan selama 6 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira dengan
teknik pengumpulan sel mampu bertumbuh selnya hingga puncak kepadatan dihari ke
3 pupuk. Kepadatan sel puncak dengan diberi pupuk adalah 655.000 ± 95.459
sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa dipupuk puncak di hari ke-3 sebesar 725.000
sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 6 jam pengangkutan memberikan
pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk dengan durasi
yang berbeda.
148
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
700
Kepadatan sel Thalassiosira sp (x 103) sel/ml
600
500
6 Jam
400 12 Jam
300 24 Jam
200
100
0
1 2 3 4 5 6 7
Hari Ke-
KESIMPULAN
Sel Thalassiosira sp. yang terkumpul dengan cara mematikan aerasi selama
24 jam adalah yang terbaik karena jumlah pengendapan yang sempurna. Sel
Thalassiosira sp. yang terkumpul dan dilakukan pengangkutan selama 6 hingga
24 jam masih dapat ditumbuhkan dengan hasil pertumbuhan yang baik dan dapat
bertahan antara 3-4 hari.
149
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
SARAN
Pengangkutan bibit Thalassiosira sp dengan teknik pengumpulan sel dapat
dilakukan untuk lebih mengefisienkan pengangkutannya tanpa media kultur.
DAFTAR PUSTAKA
150
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Kebutuhan Chlorella sp. sebagai pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan
dibutuhkan dalam jumlah yang besar, maka diperlukan suatu kultur masal dengan
kepadatan yang tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Salah satu pakan alami yang
digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan adalah C. Vulgaris. Laju pertumbuhan
maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan bila berada dalam kondisi
ketersediaan cahaya yang rendah. Penambahan lampu pada kultur masal C. vulgaris
diharapkan dapat meningkatkan kepadatan selnya. Metode kultur ini ditambahkan 2
unit lampu halogen masing-masing 150 watt selama 24 jam yang ditempatkan 50 cm
di atas permukaan air pada bak berukuran 2x8x1 m3. Pengukuran intensitas cahaya
dilakukan 2 kali sehari pada jam 11,00 dan 19.00 selama pemeliharaan dengan
menggunakan lux meter. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan
kepadatan populasi C.vulgaris dengan penambahan lampu selama 24
jam.Penambahan lampu pada kultur C. vulgaris meningkatkan kepadatan kultur
hingga 2 kali lipat, dan waktu kultur 2 hari lebih lama. Penambahan lampu.
kepadatan sel mencapai 5,63 x 106 sel/mL, sedangkan tanpa penambahan lampu
kepadatan selnya mencapai 3,09 x 106 sel/ml.
PENDAHULUAN
151
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
fotosintesis akan meningkat bila intensitas cahaya meningkat dan menurun bila
intensitas cahaya berkurang, sehingga cahaya berperan sebagai faktor pembatas
utama dalam fotosintesis atau produktvitas primer (Facta, M dkk., 2003). Kepadatan
sel yang di capai dalam kultur masal C. vulgaris hanya mampu berkisar 6 x 104
sel/ml pada intensitas cahaya 33.000 lux selama kurang lebih 12 jam. Sedangkan
pada skala laboratorium C. vulgaris kepadatan selnya mencapai 200 x 106 sel/ml
dengan intensitas cahaya 4.000 lux selam 24 jam. Tujuan dari kegiatan ini adalah
untuk meningkatkan kepadatan populasi C.vulgaris dengan penambahan lampu
halogen selama 24 jam.
Persiapan lampu
Lampu yang digunakan adalah lampu halogen 150 watt sebanyak dua buah
yang diletakkan diatas bak dengan jarak 50 cm dari permukaan air. lampu
dinyalakan selama 24 jam.
Pemupukan
Jenis dan komposisi pupuk yang digunakan sesuai dengan Tabel 1. Pupuk
selain FeCl3 dilarutkan menggunakan air media kultur, kemudian dimasukkan ke
dalam bak kultur tepat diatas aerasi dengan cara disaring, selanjutnya FeCl3
disebarkan di media kultur.
152
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Setelah dihitung kepadatan sel yang akan digunakan dan dikonversi ke dalam volume
media sesuai dengan yang diinginkan maka inokulan yang terbaik di tebar dengan
kisaran antara 1 – 2 juta sel/mL.
153
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
154
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
600
500
Kepadatan sel x 10 4(sel/ml)
400
Tanpa lampu
300
Penambahan
200 lampu
100
0
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hari ke-
Gambar 1. Grafik pertumbuhan C. vulgaris pada masing – masing perlakuan
Kesimpulan
Penambahan lampu pada kultur C. vulgaris meningkatkan kepadatan kultur
hingga 2 kali lipat, dan waktu kultur 2 hari lebih lama.
Saran
Perlu dilakukan pengujian durasi pencahayaan dalam kultur C. vulgaris.
155
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
DAFTAR PUSTAKA
Agung, G.I., Lutfi, M., Nugroho, W.A., 2014. Pengaruh Penambahan Cahaya di
Malam Hari Terhadap Pertumbuhan Chlorella sp pada Instalasi
Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Prosiding Keteknikan Pertanian
Tropis dan Biosistem Volume 2 Halaman. 287–296.
Amini, S., Syamdidi, 2006. Konsentrasi Unsur Hara pada Media dan Pertumbuhan C.
vulgaris dengan Pupuk Anorganik Teknis dan Analis. Jurnal Perikanan
Volume VIII Nomor (2), Halaman. 201–206.
Boyd, C.E., 2003a. Bottom Soil and Water Quality Management in Shrimp Ponds.
Jurnal Application Aquatic Nomor 13,page. 11–33.
Edhy, W.A., P. Januar, dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT.Central
Pertiwi Bahari. Laboratorium Central Department, Aquaculture Division
PT. Central Pertiwi Bahari. Tulang Bawang.
Ekawati, A.W. 2005. Diktat Kuliah : Budidaya Makanan Alami. Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Malang. 101 hlm.
Facta. M, Zainuri.M, Sudjadi,M dan Sakti.E.P.2006. Pengaruh Pengaturan Intensitas
Cahaya yang Berbeda Terhadap Kelimpahan Dunaliella sp. dan Oksigen
Terlarut dengan Simulator TRIAC dan Mikrokontroller. Jurnal Ilmu
Kelautan Vol. 11 (2) :Hal 67 – 71
Kawaroe, M., Pratono, T., Sunuddin, A., Wulan.D., Agustine.D., 2010. Mikroalga
Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. IPB.Press
Sylvester et al. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton. Budidaya Fitoplankton dan
Zooplankton. Prosiding Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai
Budidaya Laut Lampung. 24-36 hlm.
156
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Minat masyarakat terhadap budidaya ikan lele semakin besar, terutama sejak
diperkenalkannya teknologi budidaya ikan lele dengan kepadatan tinggi sistem
bioflok. Meningkatnya minat dalam budidaya lele ini perlu diimbangi dengan
tersedianya pakan berkualiatas baik dalam jumlah yang mencukupi. Pada kegiatan ini
dilakukan pembuatan pakan ikan lele, berupa pelet dengan kadar protein 30% dari
bahan baku lokal dan mempunyai sifat terapung. Tujuan dari pembuatan pakan ini
adalah untuk menyediakan pakan berkualitas sesuai kebutuhan nutrisi lele dan
mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan, kelulushidupan serta FCR. Pengujian
pakan dilakukan pada beberapa pembudidaya di kawasan kabupaten Jepara, Jawa
Tengah dan Universitas Diponegoro, pada bulan Januari sampai Maret 2017. Hasil
pengujian didapatkan bahwa dari parameter fisik, pelet yang diproduksi mampu
mengapung selama ± 180 menit. Pengamatan terhadap parameter lain didapatkan
pertumbuhan selama masa pemeliharaan 60 hari diperoleh berat akhir sebesar 83-
100gr, SR 90% dan FCR 0,7-0,87.
PENDAHULUAN
157
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
Adapun tata cara dalam pembuatan pakan adalah sebagai berikut:
01. Penepungan
Penepungan bertujuan untuk menghasilkan tepung dengan ukuran butiran
antara 250-500µm.
1. Penimbangan
Proses penimbangan dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku yang
akan digunakan dengan tepat.
2. Pencampuran
Pencampuran semua bahan baku dilakukan dengan menggunakan mixer
secara bertahap, setiap kali pencampuran sebanyak 40 kilogram sesuai
kapasitas mixer. Penambahan air pada bahan baku dilakukan dengan dua
tahap yaitu pada awal dan pertengahan proses pengadukan. Pencampuran
bahan berlangsung selama 3-5 menit.
3. Pencetakan
Pencetakan menggunakan mesin pencetak pelet extruder. Mesin ini
menghasilkan pakan apung langsung setengah kering dengan bentuk butiran
sesuai diet yang dikehendaki. Rangkaian mesin menjadi satu
berkesinambungan yaitu dari pengadukan bahan selanjutnya dimasukkan ke
mesin pencetak. Bentuk butiran yang keluar harus dipisahkan satu dengan
lainnya dengan cara diuyek dengan tangan, selanjutnya butiran pelet
mengikuti laju mesin berjalan menuju ke mesin pengering. Pelet yang keluar
dari mesin ini sudah dalam bentuk kering. Pelet yang terbentuk ditampung
dalam ember, kemudian dituang ke gelaran terpal untuk pendinginan,
158
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
159
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Hasil pengujian pakan, diperoleh FCR antara 0,7-0,87. Rendahnya nilai FCR,
menunjukkan pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan dan diserap tubuh dengan
baik untuk pertumbuhan. Nilai FCR yang baik disebabkan nutirsi yang terkandung
di dalam pakan dimanfaatkan secara optimal oleh tubuh dan tidak banyak yang
terbuang sebagai kotoran. Handajani dan Widodo (2010) menyatakan bahwa nilai
rasio konversi pakan pada budidaya dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas
pakan. Pengamatan kualitas air selama masa pemeliharaan pada pengujian pakan
diperoleh nilai cukup baik untuk mendukung pertumbuhan, meliputi; DO yang
berkisar 3,0-4,5 mg/L, pH berkisar antara 7-8, dan temperatur berkisar antara 27-31
°C.
160
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
KESIMPULAN
Pakan apung berupa pelet untuk ikan lele produksi BBPBAP Jepara memiliki
standar kualitas yang baik anatara lain daya apung ± 180 menit, dan memberikan
sintasan lebih besar dari 90% , dan FCR antara 0,7-0,87 dengan masa pemeliharaan
60 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia R., Subandiono, dan E. Arini. 2013. Pengaruh Penggunaan Papain Terhadap
Tingkat Pemanfaatan Protein Pakan Dan Pertumbuhan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(1): 136-
143
Aryansyah H., I. Mokoginta, D. Jusadi. 2007. Kinerja Pertumbuhan Juvenil Ikan
Lele Dumbo (Clarias sp.) yang diberi Pakan Dengan Kandungan Kromium
Berbeda. J. Akuakultur Indonesia. 6(2): 171-176
Boyd, E.C. 2004. Farm Level IssuesinAquacultureCertification. The Haworth Press:
New York. 29 pp.
Chuapoehuk, W. 1987. Protein requirement of walking catfish, Clarias batrachus
(Linnaeus) fry. Aquaculture, 63 : 215-219.
Handajani. 2011. Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan
untuk meningkatkan produktifitas ikan nila gift. Jurnal Akuakltur Indonesia.12
(2) : 177-181.
Handajani, H dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press: Malang. 271 hlm.
Houlihan, D., T. Boujarddan M. Jobling. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell
Science, Oxford, UK, pp. 827 p.
Lovell, R.T. 1989. Nutrition and feeding of fish. New York Van Nostrand Reinhold,
260 p.
Mahyuddin, K. 2008. Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. 165 hlm.
Mulyadi., U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem resirkulasi dengan menggunakan
filter yang berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis sp.).
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2 (2) : 117-124.
NRC (National Reaseach Counsil). 1993. Nutrient Requirement of Fish. National
Academy Press: Washington D.C. 124pp.
KKP. 2013. Statistik Menakar Target Ikan Air Tawar Tahun 2013.
http://www.djpb.kkp.go.id. Diakses tanggal 22 Januari 2014.
161
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
ABSTRAK
Minat masyarakat terhadap budidaya ikan Nila di Indonesia semakin besar yakni
sejak ikan Nila dapat dibudidayakan pada perairan payau atau yang sering disebut
dengan budidaya ikan nila salin. Banyaknya pembudidaya ikan nila salin tentunya
perlu disediakan pakan yang berkualitas. Pada kegiatan ini dibuat pakan dengan
kadar protein min 30%. Jenis pakan yang dibuat adalah pakan apung. Tujuan dari
pembuatan pakan ini adalah untuk menyediakan pakan berkualitas sesuai kebutuhan
nutrisi ikan nila. Pakan tersebut setelah jadi diujikan langsung pada beberapa
pembudidaya di kawasan kabupaten Pati Jawa Tengah. Kegiatan pengujian ini
dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2017. Hasil pengujian menunjukkan
pertumbuhan akhir sebesar 200-250gr, SR 60% dan FCR 0,9-1 dengan masa
pemeliharaan 90-120 hari. Sedangkan untuk kualitas air yang meliputi DO (2,1-3,5),
p H (7-8), Salinitas 15-25 ppt, dan suhu (27-31 C).
PENDAHULUAN
162
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tata Kerja
Proses pembuatan pakan mandiri sebagai berikut:
1. Penepungan
Penepungan dengan menggunakan mesin penepung untuk
menghasilkan tepung yang berkualitas dengan butiran yang sangat halus
(250-500 mikron).
2. Penimbangan
Proses penimbangan dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku
yang akan digunakan dengan tepat.
3. Pencampuran
Pencampuran dalam mixer dilakukan secara bertahap 40 kg sesuai
kapasitas mixer. Penambahan air pada bahan baku dilakukan dengan dua
tahap yaitu pada awal dan pertengahan proses pengadukan. Pencampuran
bahan ditempuh dalam waktu 3-5 menit.
4. Pencetakan
Pencetakan menggunakan mesin pencetak pellet extruder. Mesin ini
menghasilkan pakan apung langsung setengah kering dengan bentuk
163
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Hasil
Pakan yang dihasilkan telah dianalisis di laboratorium fisika kimia dan residu
BBPBAP Jepara dengan hasil seperti Tabel 1. Pakan ikan nila yang telah dibuat
sebanyak 2.590 kg selanjutnya di distribusikan ke pembudidaya di beberapa wilayah
pokdakan (Tabel 2).
Tabel.1. Kandungan Nutrisi pellet ikan Nila Salin
Bahan Protein Lemak Abu Serat BETN
Pellet ikan Nila 31,65 3,08 11,7 1,5 45,76
164
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
165
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017
Tabel 2. Hasil produksi pakan dan pengujianya tertera pada tabel berikut ini:
Berat
Jumlah
Nama Pakan rata- Umur
tebar Kelulushidupan Biomas FCR
Petambak (kg) rata (hari)
(ekor)
(gr)
Suprianto 11.000 60 1.650 1.650 1 250 90
Jais 5.000 60 700 700 1 200 90
Taun 2.200 60 240 260 0,9 200 90
KESIMPULAN
Dari kegiatan ini diperoleh produksi pakan nila sebanyak 2.590 kg dan di
distribusikan beberapa kelompok pokdakan nila wilayah Pati, dan Jepara.
DAFTAR PUSTAKA
166
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara