You are on page 1of 6

Askariasis: Infeksi Ascaris Lumbricoides

Rizky Saputra Telaumbanua (FKUI 2014)

A. Pendahuluan

Infeksi cacing parasit (helminthic infection) merupakan salah satu beban kesehatan
dunia, seperti halnya malaria dan tuberkulosis.1 Diperkirakan 1/3 dari masyarakat dunia
mengalami infeksi cacing, dimana 300 juta diantaranya mengalami infeksi berat. Adapun
angka kematian akibat infeksi cacing, khususnya Soil Transmitted Helminth (STH) mencapai
150 ribu per tahunnya. Di Indonesia, prevalensi kejadian cacingan pada anak usia sekolah
dasar adalah 35,5% dengan infeksi terbanyak berturut-turut disebabkan oleh Tricuris triciura
(20,5%), Ascaris lumbricoides (17,4%), dan hookworm (2,3%).2 Meski merupakan masalah
kesehatan yang sangat besar, perhatian terhadap kecacingan masih rendah, sehingga infeksi
ini sering disebut sebagai Negleted Tropical Disease (NTD).1

Prevalensi kecacingan dipengaruhi oleh kondisi sosio-ekonomi serta mencerminkan


kualitas sanitasi dan kebersihan masyarakat. Kejadian kecacingan ini banyak terjadi di
negara-negara dengan pendapatan rendah hingga menengah. Adapun berbagai faktor yang
mempengaruhi kejadian cacingan ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Korelasi antara berbagai faktor resiko terhadap kejadian kecacingan

(Disadur dari: http://www.hindawi.com/journals/jpr/2015/641602/tab2/)


Secara umum, cacing parasit dapat diklasifikasikan atas Nematoda dan
Platyhelminthes. Nematoda atau yang dikenal sebagai cacing gelang meliputi intestinal worm
(dikenal pula sebagai STH) dan cacing filariasis. Sementara Platyhelminthes meliputi
trematoda seperti schistosomes dan cestoda seperti tape worm.1
B. Isi

Etiologi

Askariasis merupakan infeksi cacing yang


disebabkan oleh Ascaris lumbricoides (gambar 1), salah
satu dari 16 cacing STH (Tabel 2). .Ascaris
lumbricoides merupakan cacing golongan Nematoda
dengan ukuran terbesar yakni panjang 15-35 cm dan
diameter 0,5 cm. Cacing ini bersifat kosmopolitan,
tetapi jumlahnya lebih banyak didaerah tropis. Parasit
ini berbentuk silinder memanjang dan bewarna krem.
Ukuran tubuh betina umumnya lebih besar Gambar 1. Ascaris lumbricoides
dibandingkan tubuh jantan dan memiliki struktur yang (http://ascarislumbricoides.org/facts-
disebut sebagai cincin kopulasi. Selain itu, betina dari you-didnt-know-about-ascaris-
cacing ini memiliki ekor meruncing sedangkan jantan lumbricoides/)
memiliki ekor yang melingkar.3,4,5

Tabel 2. Cacing yang termasuk golongan Soil Transmitted Helminth (STH)

(Disadur dari: http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview)

Epidemiologi

Diperkirakan ada 1,4 miliar orang yang mengalami askariasis. Adapun distribusinya
sebagai berikut:

 Asia dan Oseania (75%)


 Afrika dan Timur Tengah (16,7%)
 Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Karibia (8,3%)
Jumlah kematian akibat askariasis berada direntang 10 ribu hingga 200 ribu. Namun
penelitian terakhir, menunjukkan bahwa angka tersebut hanyalah sekitar 10 ribu. Sementara
untuk morbiditas, askariasis juga sangat bervariasi, namun umumnya tidak menunjukkan
manifestasi klinis. Secara geografi, askariasis tersebar secara kosmopolitan, tapi lebih banyak
ditemukan didaerah tropis dan subtropis dengan sanitasi dan higienitas yang buruk.5,6

Siklus Hidup

Gambar 2. Siklus hidup Ascaris lumbricoides.


(Disadur dari: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html)

Siklus hidup Ascaris lumbricoides diawali dengan cacing dewasa yang hidup di usus
halus. Cacing betina dapat menghasilkan sekitar 200 ribu telur cacing perharinya dan
dikeluarkan melalui feses (tahap 1). Telur yang dikeluarkan dapat telah dibuahi atau belum.
Telur yang belum dibuahi tidak akan mengalami perkembangan, sehingga meskipun tertelan
tidak akan menimbulkan askariasis (tahap 2). Telur yang dibuahi akan mengalami proses
pematangan sebelum akhirnya bersifat infektif, tahapan ini berlangsung selama 18 hari
hingga beberapa minggu tergantung kondisi lingkungan (tahap 3). Telur infektif ini kemudian
tertelan (tahap 4) dan kemudian menetes menjadi larva di lambung (tahap 5). Larva kemudian
masuk ke intestinal, menembus mukosa usus, melalui hepatic portal vein, dan menuju paru
(tahap 6). Larva berkembang diparu selama 10-14 hari sebelum kemudian mempenetrasi
alveolus, naik ke bronkus, sampai ke kerongkongan dan akhirnya kembali tertelan (tahap 7).
Cacing ini kemudian sampai di usus halus dan telah mencadi cacing Ascaris lumbricoides
dewasa dan siap menghasilkan ribuan telur lainnya. Siklus ini berlangsung selama 2-3 bulan.6
Patofisiologi

Cacing dewasa dapat bermigrasi pada berbagai saluran atau celah pada jalur
gastrointestinal misalnya saluran empedu, pankreas, appendix, dan mackel divertikulum.
Keberadaan cacing ini pada saluran tersebut menyebabkan penyumbatan yang berujung pada
kerusakan. Jika cacing ini mati maka akan terjadi respon inflamasi, nekrosis, infeksi, dan
dapat membentuk abses. Keberadaan cacing juga dapat memicu terjadinya granulomatous
peritonitis. Selama proses migrasi, larva Ascaris lumbricoides dapat terdeposit pada otak,
ginjal, medulla spinalis, dan organ lainnya menyebabkan terbentuknya granuloma, inflamasi,
dan infeksi. Jalinan Ascaris lumbricoides juga dapat memperangkap bolus dan menyebabkan
sumbatan pada saluran gastrointestinal. Kondisi ini paling sering terjadi di ileum.4

Sebagai respon terhadap kehadiran Ascaris lumbricoides, tubuh akan menghasilkan


proinflammatory monokines seperti IL-1, IL-6, dan TNF α. Proinflammatory ini akan
menekan nafsu makan yang menyebabkan asupan kebutuhan nutrisi pasien berkurang. Selain
itu, cacing parasit ini juga akan bersaing dengan host dalam menyerap nutrisi yang
dikonsumsi oleh host. Ascaris lumbricoides juga akan menghasilkan protease inhibitor dan
anti-trypsin yang mengganggu proses metabolisme host.7

Manifestasi Klinis

Infeksi Ascaris lumbricoides pada


umumnya tidak menimbulkan gejala serius.
Hanya sedikit sekali kejadian infeksi cacing
ini yang menimbulkan dampak klinis yang
serius. Adapun dampak klinis yang
ditimbulkan berupa kerusakan usus halus
(63%), kerusakan saluran empedu (23%),
perforasi dan/atau peritonitis (3,2%), volvulus
(2,7%), abses hepar (2,1%), apendisitis
(2,1%), pankreatitis (1%), cerebral Gambar 2. Obstruksi intestinal yang
encephalitis (1%), dan intussuspection (0,5%). disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides
Sementara sisanya (<0,5%) berupa kerusakan (disadur dari:
pada kantung empedu, meckel diverticulum, http://www.isradiology.org/tropical_desease
telinga, mata, hidung, paru, ginjal, vagina, s/tmcr/chapter10/imaging2.htm)
uretra, jantung, plasenta, dan erythema
nodusum.4

Pengaruh infeksi Ascaris lumbricoides terhadap pertumbuhan

Infeksi Ascaris lumbricoides dan STH lainnya berpengaruh terhadap tumbuh


kembang anak. Hal ini dapat disimpulkan dari adanya perbedaan tinggi badan dan status
nutrisi yang cukup signifikan antara anak yang mengalami infeksi STH dengan yang tidak
seperti yang ditunjukkan pada tabel 3 berikut ini.7
Tabel 3. Perbandingan tinggi badan pasien dengan infeksi Ascaris lumbricoides dengan yang
tidak.

(Disadur dari: http://www.parasitesandvectors.com/content/3/1/97/table/T1)

Penutup

Ascaris lumbricoides merupakan cacing parasit golongan cacing intestinal atau yang
dikenal sebagai Soil Transmitted Helminth (STH). Cacing ini merupakan jenis STH yang
paling banyak menginfeksi populasi dunia dan merupakan cacing terbesar di golongan
tersebut. Fase infektif dari Ascaris lumbricoides adalah telur matang yang terdapat di tanah
terkontaminasi feses yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Umumnya, infeksi parasit
ini tidak menimbulkan efek serius, hanya sebagaan kecil saja yang berdampak fatal, berupa
kerusakan intestinal dan saluran empedu. Selain itu, infeksi Ascaris lumbricoides juga
berdampak negatif terhadap status gizi dan tinggi badan seorang anak.
Daftar Pustaka

1. Hotez PJ, Brindley PJ, Bethony JM, King CH, Pearce EJ, et al. Helminth infection:
the great neglected tropical disease. J Clin Invest. 2008;118(4):1311-21.
2. Rahayu N, Ramdani M. Faktor resiko terjadinya kecacingan di SDN Tebing Tinggi di
kabupaten Balangan, provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Epidemiologi dan Penyakit
Bersumber Binatang. 2013;4(3):150-4.
3. Subahar R. Penuntun Praktikum Parasitologi. Jakarta: Departemen Parasitologi FKUI.
2015.
4. Shoff WH, Pediatric Ascariasis [internet]. [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview
5. Chandra G. Ascaris: the round worm [internet]. [cited 2015 Oct 4]. Available from:
http://www.iaszoology.com/ascaris/.
6. Center for Disease Control and Prevention. Parasites: ascariasis [internet]. [cited 2015
Oct 4]. Available from: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/epi.html.
7. Yu S, Lin HT, Shui SZ, Ying DC, Yi CY, et al. stunting and soil transmitted helminth
infection among school age pupils in rural areas of southern China. Parasite and
Vector. 2010;3(97)

You might also like