You are on page 1of 19

TUGAS KELOMPOK

KEGAWATDARURATAN OBSTETRIK, PSIKIATRIK, & INTOKSIKASI


Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen: Ns. Rosmini, S.Kep., M.Kep.

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Kelas A2, Angkatan 2016

Herman (NH0116065) Milda Limatahu (NH0116090)


Ikhsan (NH0116073) Rizki Safitri (NH0116203)
Lisa (NH0116084)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
KEGAWATDARURATAN OBSTETRIK

Kedaruratan obstetrik adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang


terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat
sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan
ibu dan bayinya (Cunningham. et all, 2010). Jenis-jenis kedaruratan obstetri yang
dibahas yakni (Callaghan, 2012):
1. Pendarahan Pasca Salin (PPS)
2. Ruptur uteri
3. Distosia Bahu
4. Hipertensi Dalam Kehamilan

A. Perdarahan Pasca Persalinan


Perdarahan pasca salin merupakan penyebab penting kematian maternal
meliputi ¼ dari seluruh kematian di dunia (Sibai, 2011). Menurut WHO, perdarahan
pasca salin diklasifikasikan sebagai perdarahan pasca Salin dini (perdarahan dari
jalan lahir ≥ 500 ml dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir) dan perdarahan pasca
salin lanjut (perdarahan dari jalan lahir ≥ 500 ml setelah 24 jam pertama persalinan).
Berdasarkan jumlah perdarahan, dibagi menjadi perdarahan pasca salin minor
(jumlah perdarahan antara 500-1000 ml tanpa tanda syok secara klinis) dan
perdarahan pasca salin mayor (jumlah perdarahan > 1000 ml atau <1000 ml dengan
disertai tanda syok) (Bose&Rega, 2006). Penyebab PPS adalah satu atau lebih dari
4 faktor yakni tonus, tissue, trauma, dan thrombin (Anderson, 2007). Atonia Uteri
merupakan penyebab utama PPS dini. Penatalaksanaan PPS disingkat dengan istilah
HAEMOSTASIS (Anderson, 2007).
H – ask for Help
A – Assess (vital parameters, blood loss) and resuscitate
E – Establish the cause, ensure availability of blood
M – Massage uterus

2
O – Oxytocin infusion
S – Shift to theatre/anti-shock garment – bimanual compression
T – Tamponade test
A – Apply compression sutures
S – Systematic pelvic devascularisation
I – Interventional radiologist – if appropriate, uterine artery embolisation
S – Subtotal/total abdominal hysterectomy

B. Ruptura Uteri
Ruptura uteri terjadi jika terdapat robekan dinding uterus saat kehamilan atau
persalinan (Walfish, 2009). Kasus ini merupakan keadaan emergensi obstetri yang
mengancam nyawa ibu dan janin. Ruptura uteri dapat bersifat komplit atau
inkomplit. Disebut ruptura uteri komplit apabila robekan yang menghubungkan
rongga amnion dan rongga peritoneum sehingga semua lapisan dinding uterus
terpisah. Sedangkan ruptur uteri inkomplit terjadi jika rongga abdomen dan rongga
uterus masih dibatasi oleh peritoneum viserale. Bila terjadi ruptur uteri total maka
biasanya akan berakibat fatal bagi ibu dan janin (Sibai, 2011).
Faktor risiko terjadinya ruptura uteri adalah adanya riwayat ruptura uteri
sebelumnya, riwayat seksio sesarea atau histertektomi, riwayat reseksi kornu pada
kehamilan ektopik, riwayat perforasi uterus, kuretase, overdistensi uterus,
kehmailan multifetus, polihidramnion, persalinan dengan forceps atau vakum,
plasenta akreta, dan partus macet (Sibai, 2011).
Tanda dari ruptur uteri berupa kematian janin, syok hipovolemik, atau
perdarahan pervaginam. Secara umum diagnosis ruptur uteri ditegakkan dengan
ditemukannya Van Bandl Ring yang semakin tinggi, segmen bawah uterus menipis,
nyeri abdomen, his kuat terus menerus, dan tanda gawat janin. Manajemen yang
dilakukan setelah terjadi ruptura uteri adalah mengatasi syok dengan resusitasi
cairan/transfusi darah, tindakan operatif (histerorafi atau histerektomi), dan
pemberian antibiotika (Cunningham. et all, 2010).

3
C. Distosia Bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan gawat darurat yang tidak dapat diprediksi
dimana kepala janin sudah lahir tetapi bahu terjepit dan tidak dapat dilahirkan.
Diagnosa :
1. Kepala janin lahir tetapi bahu tetap terjepit kuat didalam vulva
2. Dagu mengalami retraksi dan menekan perineum
3. Traksi pada kepala gagal untuk melahirkan bahu yang terjepit dibelakang symphisis
pubis.
Penatalaksanaan (Callaghan, 2012) :
1. Ask for Help
2. Episiotomi
3. Posisikan ibu :
a. Lakukan Manuver McRobert
b. Perasat Masanti
c. Manuver Wood corkscrew
d. Manuver Rubine
e. Perasat dan tindakan lanjutan lain seperti pengeluaran lengan posterior,
kleidotomi bahkan simfisiolisis
Pengawasan harus dilakukan akibat trauma yang ditimbulkannya terhadap ibu & bayi.

D. Hipertensi Dalam Kehamilan (Cunningham. et all, 2010).


Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi kehamilan setelah kehamilan
20 minggu yang ditandai dengan timbulnya hipertensi, disertai salah satu dari :
edema, proteinuria, atau kedua-duanya. Yang merupakan kegawatdarutan adalah
preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi preeklampsia berat yang umumnya dapat
dijumpai pada kehamilan lebih dari 20 minggu yaitu bila dijumpai :
1. Tekanan darah sistolik > 160 mmhg, diastolik > 110 mmhg
2. Proteinuri lebih dari 5 gram /24 jam

4
3. Gangguan cerebral atau visual
4. Edema
5. Nyeri epigastrik atau kwadran atas kanan
6. Gangguan fungsi hati tanpa sebab yang jelas
7. Trombositopeni
8. Pertumbuhan janin terhambat
9. Peningkatan serum kreatinin
Permasalahan yang ditemukan terutama berkaitan dengan Preeklampsia Berat,
apalagi yang onset dini maupun Eklampsi. Kondisi lain yang sering menyulitkan
termasuk Sindroma HELLP, Edema Paru, Krisis Hipertensi dan IUGR.
Apabila ditemukan kejang pada keadaan ini (eklampsia), maka penanganan
yang diberikan berupa
1. Beri obat anti kejang (anti konvulsan)
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang
pada preeklampsia dan eklampsia. Alternatif lain adalah Diazepam, dengan
risiko terjadinya depresi neonatal.
2. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, penghisap lendir, masker
oksigen, oksigen)

5
3. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
4. Aspirasi mulut dan tenggorokan
5. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi
6. Berikan O2 4-6 liter/menit

Pengelolaan umum
1. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan diastolik
antara 90-100 mmHg
2. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih
3. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, enzim hati, dan profil metabolik
4. Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) dosis initial 4 gr diberikan dalam 20 menit,
dilanjutkan dosis maintenance 6 gr dalam cairan Ringer Laktat 500 ml.
5. Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria
6. Infus cairan dipertahankan 1.5 – 2 liter/24 jam
7. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin
8. Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap 1 jam
9. Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan
tanda adanya edema paru. Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan
berikan diuretik (mis. Furosemide 40 mg IV)
10. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi
setelah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati
Pasien yang diberi cairan perlu dievaluasi input dan outpus. Pulse oxymetry dan
auskultasi penting dilakukan khususnya pada pasien dengan hipertensi kronis, fungsi
ginjal abnorma, dan solutio plasenta. Pemberian MgSO4 dilanjutkan sedikitnya 24 jam
pascasalin atau setelah kejang terakhir atau keduanya. Jika terjadi insufisiensi ginjal,
kurangi MGSO4 dan rasio pemberian cairan. Setelah persalinan, obat antihipertensi
oral dapat diberikan untuk memelihara sistolik < 155 mmHg dan diastolik <105 mmHg.

6
Dapat diberikan setiap 6 jam atau nifedipine 10 mg setiap 6 jam. Nifedipine oral serta
diuretik diberikan pascasalin dan pemberiannya bersamaan dengan MgSO4 tidak
memberikan resiko efek samping. Diuretik oral diberikan jika ingin meningkatkan
diuresis (Callaghan, 2012).

7
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kegawatdaruratan psikiatri adalah setiap gangguan dalam pikiran, perasaan,


atau tindakan yang memerlukan intervensi segera. Kejadian gawat darurat psikiatri
semakin meningkat karena kekerasan, penggunaan narkoba, dan gangguan jiwa.
Sebagian gawat darurat psikiatri dapat ditemui diunit gawat darurat. Jenis
kegawatdaruratan psikiatri yang mungkin ditemukan adalah gaduh gelisah atau
kekerasan, percobaan bunuh diri, penelantaran diri, sindroma putus zat, perkosaan dan
bencana lain, dan sindroma neuroleptik maligna (Sadock, et.all, 2007).
Gawat darurat psikiatri memerlukan penilaian yang cepat dan tepat melalui
pendekatan pragmatis. Pendekatan ini memerlukan skill yang cukup karena
keterbatasan ruang dan waktu pelayanan. Target dari penanganan awal adalah initial
diagnosis, identifikasi faktor pencetus, dan keputusan untuk merujuk ke bagian yang
sesuai (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).

A. Gaduh Gelisah dan Ancaman Kekerasan


Gaduh gelisah adalah peningkatan aktivitas mental dan motorik seseorang
yang sulit dikendalikan. Gaduh gelisah dapat berujung pada agresi fisik yang
dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dalam taraf ekstrem dapat berupa
pembunuhan. Tindakan kekerasan ini mempunyai lingkup yang luas meliputi
tindakan kekerasan sebelumnya, ancaman verbal maupun fisik, ancaman
menggunakan benda tajam dan semacamnya, agitasi psikomotor, ancaman di
bawah pengaruh alkohol atau zat lainnya, psikotik paranoid, dan halusinasi dengar
dengan perintah kekerasan. Kekerasan bisa terjadi pada gangguan atau penyakit
otak (gangguan organik), skizofrenia katatonik gaduh gelisah, gangguan mania
bipolar, depresi agitasi, dan gangguan pengendalian impuls (Sadock, et.all, 2007).
Prinsip penanganan gawat darurat psikiatri pada pasien dengan agitasi dan
ancaman kekerasan adalah lindungi diri terlebih dahulu dan tetap waspada
terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Diperlukan jumlah staf yang cukup

8
untuk melakukan fiksasi. Fiksasi dapat dilakukan secara fisik maupun
farmakologis. Pasien harus ditenangkan, senjata yang dibawa harus dilucuti, dan
dilakukan fiksasi segera. Keluarga pasien yang mengantar juga harus ditenangkan.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan dalam waktu singkat
yang efisien. Fiksasi secara farmakologis dapat dilakukan dengan injeksi
Chlorpromazin 25 mg, Haloperidol 2-10 mg, atau Diazepam 10 mg intramuskular.
Pasien harus diawasi secara ketat dan perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan
pelayanan kesehatan jiwa (Sadock, et.all, 2007).

B. Penelantaran Diri
Tanda utama yang dapat dilihat dari pasien penelantaran diri adalah
cachexia, badan lemah yang dapat berada pada status dehidrasi, dan badan kotor
dan bau. Penelantaran diri dapat terjadi pada pasien dengan skizofrenia
katatonik stupor, episode depresi berat dengan gejala psikotik, skizofrenia
simpleks, dan gangguan afektif bipolar episode depresi (Elvira, Sylvia D &
Gitayanti H, 2010).
Penelantaran diri juga dapat terjadi pada pasien non-psikotik dengan
anoreksia nervosa, gangguan depresi berat, dan bulimia. Kadang, penelantaran
diri juga merupakan gejala adanya penyakit organik atau katatonic like
symptom. Penanganan penelantaran diri yang utama adalah stabilisasi keadaan
umum. Pasien mungkin saja memerlukan infus dan atau sonde. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari masalah
fisik. Gangguan jiwa juga harus diterapi untuk mencegah terjadinya
penelantaran diri kembali (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).

9
C. Percobaan Bunuh Diri
Bunuh diri adalah percobaan yang dilakukan seseorang untuk
mengakhiri emosi, perasaan, dan pikiran yang tidak dapat ditoleransi lagi.
Bunuh diri juga dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri psikologik dan
menurunkan ketegangan yang tak tertahankan. Seringkali, kematian bukan
tujuan utama dari bunuh diri, tetapi lebih pada berhenti atau keluar dari
kehidupan (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).
Keinginan untuk bunuh diri merupakan interaksi dari faktor biologi,
psikologi, sosiokultural, dan lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat
melatarbelakangi keinginan untuk bunuh diri di antaranya adalah kesulitan
sosial-ekonomi, tersedianya alat dan bahan untuk bunuh diri, dan pemberitaan
media massa pada kasus “copycat suicide”. Beberapa kelompok pasien yang
mempunyai risiko tinggi untuk bunuh diri adalah pasien dengan
penyalahgunaan zat, gangguan depresi, skizofrenia, gangguan bipolar episode
depresi, dan gangguan kepribadian (Sadock, et.all, 2007).
(Sadock, et.all, 2007) Faktor risiko bunuh diri lebih tinggi pada pasien dengan:
1. kelompok umur 15-35

2. laki-laki

3. penyalahgunaan alkohol dan obat

4. pernah mencoba bunuh diri sebelumnya

5. depresi

6. penyakit kronis yang berat

7. pengangguran

8. tidak menikah, janda atau duda, bercerai

9. masalah finansial

10
10. isolasi sosial

11. korban kekerasan


Hal pertama yang harus dilakukan ketika menerima pasien percobaan
bunuh diri adalah stabilisasi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan
mengarah dan tergantung gejala yang muncul. Sebagian besar bunuh diri dapat
dicegah, sebaiknya pasien dengan kondisi yang mengarah pada percobaan
bunuh diri dilakukan pendekatan.
Orang di sekitar pasien harus mulai waspada bila pasien mulai meberikan
wasiat, memberikan barang miliknya, melakukan perilaku merusak diri sendiri,
dan mengalami krisis suicidal. Krisis suicidal merupakan fase menjelang
perbuatan bunuh diri berupa perasaan sedih sekali yang tak tertahankan dan
ditandai oleh isyarat atau jeritan minta tolong, atau suicidal communication
misalnya surat atau catatan pribadi. Pasien kadang memerlukan opname,
tergantung pada diagnosis, keparahan depresi, gagasan bunuh diri, kemampuan
pasien dan keluarga mengatasi masalah, adanya faktor risiko, dan tersedianya
dukungan sosial. Medikamentosa dapat diberikan sesuai dengan penyebab.
Misalnya antipsikotik atau antidepresan (Sadock, et.all, 2007).

D. Sindroma Lepas Zat


Sindroma lepas zat adalah keadaan ketika seseorang menunjukkan
gejala-gejala ketergantungan secara fisik terhadap suatu zat pada saat zat
tersebut dihentikan. Ketergantungan yang muncul dapat berupa ketergantungan
mental maupun fisik. Gejala ketergantungan mental di antaranya adalah
bingung, gelisah, rasa kehilangan sesuatu, dan menunjukkan seeking
behaviour. Gejala ketergantungan fisik di antaranya adalah keringat dingin,
keluar air mata, keluar lendir dari hidung, nyeri hebat, kram usus, diare, dan
pupil midriasis (Sadock, et.all, 2007).

11
Terapi sindroma putus zat tergantung dari zat yang dipakai, jumlah dan
frekuensi pemakaian, cara memakai, kondisi pasien, komplikasi, metode yang
dipakai, dan kondisi keluarga. Kondisi umum harus dilakukan stabilisasi,
pasien yang sudah stabil harus dirujuk ke poli metadon untuk dilakukan
substitusi, analgesik kuat perlu diberikan sebagai terapi simptomatik (Sadock,
et.all, 2007).

E. Perkosaan
Perkosaan dapat didefinisikan sebagai tipuan, kekuatan, ancaman,
maupun kekerasan saat melakukan kontak seksual dengan orang lain.
Perkosaan dapat juga disebut sebagai sexual assault. Korban perkosaan anak di
bawah umur dapat disebut child molesting atau penganiayaan anak-anak
(Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010). Penanganan korban perkosaan harus
melalui izin tertulis dari pasien atau keluarga. Dilakukan pemeriksaan medis
menyeluruh, pasien harus tetap mendapat perlindungan terhadap penyakit dan
kehamilan, akan dilakukan intervensi krisis pada trauma psikiologi. Setelah
fase akut terlewati, pasien diusahakan mendapat dukungan sosial,
pendampingan, dan konseling hukum untuk kembali ke fungsi sosial semula.
Tidak semua kasus perkosaan dilaporkan, perkosaan dapat berujung pada
penurunan kepercayaan diri, post trauma stress disorder (PTSD), gangguan
makan, gangguan tidur, cemas, agorafobia, depresi, dan ketakutan akan
penyakit seksual dan kehamilan (Sadock, et.all, 2007).

F. Sindroma Neuroleptik Maligna


Sindroma neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang
berhubungan dengan penggunaan obat psikotik. Keadaan ini dapat terjadi
dalam hari pertama penggunaan antipsikotik pada saat dosis mulai
ditingkatkan. Gejala klinis yang dapat ditemukan yaitu demam tinggi, kekakuan
otot, instabilitas otonomik, dan gangguan kesadaran. Penanganan segera yang

12
dapat dilakukan adalah menghentikan obat antipsikotik, pemeriksaan
laboratorium, pemberian Bromocriptine 2.5mg-45mg/ hari. Termoregulasi
dapat dilakukan dengan pemberian obat dan kompres. Tanda vital harus
dimonitor secara berkala (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).

13
KEGAWATDARURATAN INTOKSIKASI

A. Pengertian
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam
tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang
masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti
paru-paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi
dalam organ tubuh, tergantung sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ
lainnya sehingga akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka
panjang.
Parasetamol (acetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik
dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf
Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam
bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan
obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas
(Faradhilla Farah, 2015).

B. Patofisiologi
Keracunan dapat di sebabkan oleh beberapa hal di antaranya yaitu factor
bahan kimia, mikroba, toksin dll. Dari penyebab tersebut dapat pempengaruhi
vaskuler sistemik sehingga terjadi penurunan fungsiorgan-organ dalam tubuh.
Biasanya akibat dari keracunan menimbulkan mual, muntah, diare, perut
kembung, ganguan pernapasan, ganguan sirkulasi darah dan kerusakan hati
(sebagai akibat keracunan obat dan bahan kimia).
Terjadi mual, mumta dikarenakan iritasi pada lambung sehingga HCL
dalam lambung meningkat. Makanan yang mengandung bahan kimia beracun
(IFO) dapat menghambat (inktivasi) enzim asrtikolinesterase tubuh (KHE).

14
Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arachnoid
(AKH) dengan jalan mengikat Akh-KhE yang bersifat inakttif. Bila konsentrasi
racun lebih tinggi dari ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi.
Akibtnya akan terjadi penurunan AKH ditempat-tempat tertentu, sehingga
timbul gejala-gejala rangsangan AKH yang berlebihan, yang akan menimbulkan
efek muscarinic, nikotinik, dan SSP (menimbulkan stimulasi kemunian depresi
SSP).
Penyebab terbanyak keracunan adalah pada system saraf pusat dengan
akibat penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernapasan. Fungsi kardio
faskuler mungkin juga terganggu, sebagian karena efek toksik langsung pada
miokard dan pembuluh darah perifer, dan sebagian lagi karena depresi pusat
kardiovaskular diotak. Hipotensi yang terjadi mungkin tidak tampak karena
adanya depresi system saraf pusat dan hipotermia, hipotermia yang terjadi akan
memperberat syok, asidemia, dan hipoksia (Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016).

C. Farmakologi
Dalam terapi, obat biasanya memberikan berbagai efek, damun biasanya
hanya 1 efek terapi yang diharapkan sedangkan efek-efek lain tidak diharapkan
dapat dianggap sebagai efek samping. Efek-efek samping ini biasanya
mengganggu namun tidak membahayakan. Efek yang tidak diinginkan dan
membahayakan dianggap sebagai efek toksik.
Reaksi –reaksi yang dipengaruhi Dosis. Efek toksik obat dapat
dikelompokan sebagai efek farmakologis, patologis dan genotoksik. Biasanya
keparahan toksisitas secara proposional terkait dengan konsentrasi obat dlam
tubuh dan durasi paparan. Overdosis obat adalah contoh toksisitas obat terkait
dosis (Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016).
Toksisitas Farmakologis
Depresi system saraf pusat terkait pengunaan barbiturate di pengaruhi
oleh dosis. Efek klinik berkembang mulai dari efek ansiolitik, sadar hingga koma.

15
Demikian pula tingkat hipotensi yang dihasilkan oleh nifedipin sangat
dipengaruhi oleh dosis yang di berikan. Tardive dyskinesia adalah ganguan
motoric ekstrapiramidal yang berhubungan dengan ganguan obat antipsikotik,
tampaknya tergantung pada durasi paparan. Toksisitas farmakologi juga dapat
terjadi ketika dosis yang diberikan tepat, misalnya pada kasus pasien yang di
obati dengan tetrasiklin, sulfonamide, klorpromazin dan asam nalidiksat yang di
sebabkan adanya efek fototoksisitas oleh sinar matahari terhadap pasien.
Toksisitas patologi
Parasetamol dimetabolisme menjadi glukoronida nontoksi dan sulfa
terkonjugasi, dan metabolism yang sangat reaktif N-acetyl-p-benzoquinoneimine
(HAPQI) melalui isoform CYP. NAPQI disebut sebagai senyawa biologis reaktif
menegah yang sering timbul dari hasil metabolism obat. Pada dosis terapi NAPQI
meningkat glutation nukleofilik tapi dalam kondisi overdosis penipisan glutation
dapat menyebabkan nekrosis hati patologis.
Pencegahan keracunan
Menguragi risiko keselahan pengobatan dan ROM terbukti akan mampu
menguragi resiko keracunan terkait pengunaan obat. Kesalahan pengobatan atau
medication errors (ME) dapat terjadi pada proses peresepan atau pun pada proses
pengunaan obat tersebut, sedangkan ROM adalah cederah yang berhubungan
dengan pengunaan obat. Secara umum pengunaan obat yang tepat atau rasional
harus memnuhi kriteria:
1. Tepat obat
2. Tepat pasien
3. Tempat rute pemberian dan
4. Tepat waktu pemberian

16
D. Terapi diet
1. Terapi Antidot. Terapi antidote melibatkan mekanisme antagonism atau
dengan menginaktivasi racun secara kimiawi. Farmakodinamika racun dapat
diubah dengan jalan memberikan kompetitornya pada reseptor, seperti pada
antagonism nalikson dalam mengobati overdosis herin. Antidot fisioligis
dapat ditempuh melalui mekanisme seluler yang berbeda, seperti pada
pengunaan glucagon untuk merangsang pemblokiran alternatif terhadap
reseptor adrenergic dan meningkatkan siklik AMP seluler pada terapi
overdosis propranolol.
2. Tindakan emergensi
 Airway : bebaskan jalan napas, kalau perlu lakukan intubasi.
 Breathing : berikan pernapasan buatan bila penderita tidak bernapas
spontan atau pernapasan tidak adekuat.
 Circulation : pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki
perfusi jaringan
3. Identifikasi penyebab keracunan
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya
usaha mencari penyebabkeracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha
penyelamatan penderita yang harus segera di lakukan.
4. Anti dotum (penawar racun)
Atropine sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKH pada
tempat penumpukan
a. Mual-mula diberikan blus IV 1-25 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5-1 mg setiap 5-10-15 menit sampai timbul
gejala-gejala atropinisasi. muka merah, mulut kering, midriasis, febris
dan psikosis (Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016).

17
E. Contoh kasus
Ny W datang ke UGD pada tgl 12 Desember 2018 jam 23:00 wib dengan keluhan
mual, muntah, pusing, diare, lemah, panas di sekitar mulut. Suami Ny W
mengatakan bahwa istrinya sebelumya tdak apa-apa, tapi setelah makan dengan
kepiting beliau mengalami hal tersebut. TTD: S : 37,9 OC, N : 60x/menit, TD :
130/90mmHg, RR : 26x/menit. Pada saat palpasi perut pasien mengeluh
kesakitan. Berdsarkan semua hasil pemeriksaan didapatkan diagnose medis
pasien mengalami keracunan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anderson JM. Prevention And Managemnet of Postpartum Hemorrhage. Am Fam


Physician. 2007 Mar 15;75(6):875-882.

Bose P, Regan F. Improving The Accuracy of Estimated Blood Loss at Obstetric


Haemorrhage Using Clinical Reconstruction. BJOG 2006;113:919-24.

Callaghan WM, Severe Maternal Morbidity Among Delivery and Postpartum


Hospitalizations in The United Stase. Obstet Gynecol. 2012;120:1029-36.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bool SL, et al. William Obstetric. Obstetrical
Hemorrhage. McGrawHill Company 23rd Ed. 2010;35:757-803.

Elvira, Sylvia D, Gitayanti, Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI

Faradhilla Farah, 2015, Askep Kegawatdaruratan Overdosisi


https://id.scribd.com/doc/288286051/Askep-Kegawatdaruratan-OVERDOSIS
Diakses pada tanggal 19 April 2019 di Makassar.

Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016. Patofisioligi.


https://www.academia.adu/34690823/PATOFISOLOGI Diakses pada tanggal
19 April 2019 di Makassar

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins.

Sibai, Baha M. Managemnet of Obstetrics Emergency, Elsevier Saunders.


Philadelphia, 2011. 41-60.

Sibai BM. Evaluation and Management of Antepartum and Intrapartum Hemorrhage.


In Management of Acute Obstetric Emergencies. Elsevier, Philadelpia. 2011;
3:15-40.

19

You might also like