Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Kelas A2, Angkatan 2016
1
KEGAWATDARURATAN OBSTETRIK
2
O – Oxytocin infusion
S – Shift to theatre/anti-shock garment – bimanual compression
T – Tamponade test
A – Apply compression sutures
S – Systematic pelvic devascularisation
I – Interventional radiologist – if appropriate, uterine artery embolisation
S – Subtotal/total abdominal hysterectomy
B. Ruptura Uteri
Ruptura uteri terjadi jika terdapat robekan dinding uterus saat kehamilan atau
persalinan (Walfish, 2009). Kasus ini merupakan keadaan emergensi obstetri yang
mengancam nyawa ibu dan janin. Ruptura uteri dapat bersifat komplit atau
inkomplit. Disebut ruptura uteri komplit apabila robekan yang menghubungkan
rongga amnion dan rongga peritoneum sehingga semua lapisan dinding uterus
terpisah. Sedangkan ruptur uteri inkomplit terjadi jika rongga abdomen dan rongga
uterus masih dibatasi oleh peritoneum viserale. Bila terjadi ruptur uteri total maka
biasanya akan berakibat fatal bagi ibu dan janin (Sibai, 2011).
Faktor risiko terjadinya ruptura uteri adalah adanya riwayat ruptura uteri
sebelumnya, riwayat seksio sesarea atau histertektomi, riwayat reseksi kornu pada
kehamilan ektopik, riwayat perforasi uterus, kuretase, overdistensi uterus,
kehmailan multifetus, polihidramnion, persalinan dengan forceps atau vakum,
plasenta akreta, dan partus macet (Sibai, 2011).
Tanda dari ruptur uteri berupa kematian janin, syok hipovolemik, atau
perdarahan pervaginam. Secara umum diagnosis ruptur uteri ditegakkan dengan
ditemukannya Van Bandl Ring yang semakin tinggi, segmen bawah uterus menipis,
nyeri abdomen, his kuat terus menerus, dan tanda gawat janin. Manajemen yang
dilakukan setelah terjadi ruptura uteri adalah mengatasi syok dengan resusitasi
cairan/transfusi darah, tindakan operatif (histerorafi atau histerektomi), dan
pemberian antibiotika (Cunningham. et all, 2010).
3
C. Distosia Bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan gawat darurat yang tidak dapat diprediksi
dimana kepala janin sudah lahir tetapi bahu terjepit dan tidak dapat dilahirkan.
Diagnosa :
1. Kepala janin lahir tetapi bahu tetap terjepit kuat didalam vulva
2. Dagu mengalami retraksi dan menekan perineum
3. Traksi pada kepala gagal untuk melahirkan bahu yang terjepit dibelakang symphisis
pubis.
Penatalaksanaan (Callaghan, 2012) :
1. Ask for Help
2. Episiotomi
3. Posisikan ibu :
a. Lakukan Manuver McRobert
b. Perasat Masanti
c. Manuver Wood corkscrew
d. Manuver Rubine
e. Perasat dan tindakan lanjutan lain seperti pengeluaran lengan posterior,
kleidotomi bahkan simfisiolisis
Pengawasan harus dilakukan akibat trauma yang ditimbulkannya terhadap ibu & bayi.
4
3. Gangguan cerebral atau visual
4. Edema
5. Nyeri epigastrik atau kwadran atas kanan
6. Gangguan fungsi hati tanpa sebab yang jelas
7. Trombositopeni
8. Pertumbuhan janin terhambat
9. Peningkatan serum kreatinin
Permasalahan yang ditemukan terutama berkaitan dengan Preeklampsia Berat,
apalagi yang onset dini maupun Eklampsi. Kondisi lain yang sering menyulitkan
termasuk Sindroma HELLP, Edema Paru, Krisis Hipertensi dan IUGR.
Apabila ditemukan kejang pada keadaan ini (eklampsia), maka penanganan
yang diberikan berupa
1. Beri obat anti kejang (anti konvulsan)
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang
pada preeklampsia dan eklampsia. Alternatif lain adalah Diazepam, dengan
risiko terjadinya depresi neonatal.
2. Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, penghisap lendir, masker
oksigen, oksigen)
5
3. Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
4. Aspirasi mulut dan tenggorokan
5. Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko
aspirasi
6. Berikan O2 4-6 liter/menit
Pengelolaan umum
1. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan diastolik
antara 90-100 mmHg
2. Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih
3. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, enzim hati, dan profil metabolik
4. Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) dosis initial 4 gr diberikan dalam 20 menit,
dilanjutkan dosis maintenance 6 gr dalam cairan Ringer Laktat 500 ml.
5. Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria
6. Infus cairan dipertahankan 1.5 – 2 liter/24 jam
7. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin
8. Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap 1 jam
9. Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan
tanda adanya edema paru. Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan
berikan diuretik (mis. Furosemide 40 mg IV)
10. Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi
setelah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati
Pasien yang diberi cairan perlu dievaluasi input dan outpus. Pulse oxymetry dan
auskultasi penting dilakukan khususnya pada pasien dengan hipertensi kronis, fungsi
ginjal abnorma, dan solutio plasenta. Pemberian MgSO4 dilanjutkan sedikitnya 24 jam
pascasalin atau setelah kejang terakhir atau keduanya. Jika terjadi insufisiensi ginjal,
kurangi MGSO4 dan rasio pemberian cairan. Setelah persalinan, obat antihipertensi
oral dapat diberikan untuk memelihara sistolik < 155 mmHg dan diastolik <105 mmHg.
6
Dapat diberikan setiap 6 jam atau nifedipine 10 mg setiap 6 jam. Nifedipine oral serta
diuretik diberikan pascasalin dan pemberiannya bersamaan dengan MgSO4 tidak
memberikan resiko efek samping. Diuretik oral diberikan jika ingin meningkatkan
diuresis (Callaghan, 2012).
7
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
8
untuk melakukan fiksasi. Fiksasi dapat dilakukan secara fisik maupun
farmakologis. Pasien harus ditenangkan, senjata yang dibawa harus dilucuti, dan
dilakukan fiksasi segera. Keluarga pasien yang mengantar juga harus ditenangkan.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan dalam waktu singkat
yang efisien. Fiksasi secara farmakologis dapat dilakukan dengan injeksi
Chlorpromazin 25 mg, Haloperidol 2-10 mg, atau Diazepam 10 mg intramuskular.
Pasien harus diawasi secara ketat dan perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan
pelayanan kesehatan jiwa (Sadock, et.all, 2007).
B. Penelantaran Diri
Tanda utama yang dapat dilihat dari pasien penelantaran diri adalah
cachexia, badan lemah yang dapat berada pada status dehidrasi, dan badan kotor
dan bau. Penelantaran diri dapat terjadi pada pasien dengan skizofrenia
katatonik stupor, episode depresi berat dengan gejala psikotik, skizofrenia
simpleks, dan gangguan afektif bipolar episode depresi (Elvira, Sylvia D &
Gitayanti H, 2010).
Penelantaran diri juga dapat terjadi pada pasien non-psikotik dengan
anoreksia nervosa, gangguan depresi berat, dan bulimia. Kadang, penelantaran
diri juga merupakan gejala adanya penyakit organik atau katatonic like
symptom. Penanganan penelantaran diri yang utama adalah stabilisasi keadaan
umum. Pasien mungkin saja memerlukan infus dan atau sonde. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari masalah
fisik. Gangguan jiwa juga harus diterapi untuk mencegah terjadinya
penelantaran diri kembali (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).
9
C. Percobaan Bunuh Diri
Bunuh diri adalah percobaan yang dilakukan seseorang untuk
mengakhiri emosi, perasaan, dan pikiran yang tidak dapat ditoleransi lagi.
Bunuh diri juga dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri psikologik dan
menurunkan ketegangan yang tak tertahankan. Seringkali, kematian bukan
tujuan utama dari bunuh diri, tetapi lebih pada berhenti atau keluar dari
kehidupan (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).
Keinginan untuk bunuh diri merupakan interaksi dari faktor biologi,
psikologi, sosiokultural, dan lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat
melatarbelakangi keinginan untuk bunuh diri di antaranya adalah kesulitan
sosial-ekonomi, tersedianya alat dan bahan untuk bunuh diri, dan pemberitaan
media massa pada kasus “copycat suicide”. Beberapa kelompok pasien yang
mempunyai risiko tinggi untuk bunuh diri adalah pasien dengan
penyalahgunaan zat, gangguan depresi, skizofrenia, gangguan bipolar episode
depresi, dan gangguan kepribadian (Sadock, et.all, 2007).
(Sadock, et.all, 2007) Faktor risiko bunuh diri lebih tinggi pada pasien dengan:
1. kelompok umur 15-35
2. laki-laki
5. depresi
7. pengangguran
9. masalah finansial
10
10. isolasi sosial
11
Terapi sindroma putus zat tergantung dari zat yang dipakai, jumlah dan
frekuensi pemakaian, cara memakai, kondisi pasien, komplikasi, metode yang
dipakai, dan kondisi keluarga. Kondisi umum harus dilakukan stabilisasi,
pasien yang sudah stabil harus dirujuk ke poli metadon untuk dilakukan
substitusi, analgesik kuat perlu diberikan sebagai terapi simptomatik (Sadock,
et.all, 2007).
E. Perkosaan
Perkosaan dapat didefinisikan sebagai tipuan, kekuatan, ancaman,
maupun kekerasan saat melakukan kontak seksual dengan orang lain.
Perkosaan dapat juga disebut sebagai sexual assault. Korban perkosaan anak di
bawah umur dapat disebut child molesting atau penganiayaan anak-anak
(Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010). Penanganan korban perkosaan harus
melalui izin tertulis dari pasien atau keluarga. Dilakukan pemeriksaan medis
menyeluruh, pasien harus tetap mendapat perlindungan terhadap penyakit dan
kehamilan, akan dilakukan intervensi krisis pada trauma psikiologi. Setelah
fase akut terlewati, pasien diusahakan mendapat dukungan sosial,
pendampingan, dan konseling hukum untuk kembali ke fungsi sosial semula.
Tidak semua kasus perkosaan dilaporkan, perkosaan dapat berujung pada
penurunan kepercayaan diri, post trauma stress disorder (PTSD), gangguan
makan, gangguan tidur, cemas, agorafobia, depresi, dan ketakutan akan
penyakit seksual dan kehamilan (Sadock, et.all, 2007).
12
dapat dilakukan adalah menghentikan obat antipsikotik, pemeriksaan
laboratorium, pemberian Bromocriptine 2.5mg-45mg/ hari. Termoregulasi
dapat dilakukan dengan pemberian obat dan kompres. Tanda vital harus
dimonitor secara berkala (Elvira, Sylvia D & Gitayanti H, 2010).
13
KEGAWATDARURATAN INTOKSIKASI
A. Pengertian
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam
tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang
masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti
paru-paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi
dalam organ tubuh, tergantung sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ
lainnya sehingga akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka
panjang.
Parasetamol (acetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik
dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf
Pusat (SSP) . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam
bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan
obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas
(Faradhilla Farah, 2015).
B. Patofisiologi
Keracunan dapat di sebabkan oleh beberapa hal di antaranya yaitu factor
bahan kimia, mikroba, toksin dll. Dari penyebab tersebut dapat pempengaruhi
vaskuler sistemik sehingga terjadi penurunan fungsiorgan-organ dalam tubuh.
Biasanya akibat dari keracunan menimbulkan mual, muntah, diare, perut
kembung, ganguan pernapasan, ganguan sirkulasi darah dan kerusakan hati
(sebagai akibat keracunan obat dan bahan kimia).
Terjadi mual, mumta dikarenakan iritasi pada lambung sehingga HCL
dalam lambung meningkat. Makanan yang mengandung bahan kimia beracun
(IFO) dapat menghambat (inktivasi) enzim asrtikolinesterase tubuh (KHE).
14
Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arachnoid
(AKH) dengan jalan mengikat Akh-KhE yang bersifat inakttif. Bila konsentrasi
racun lebih tinggi dari ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi.
Akibtnya akan terjadi penurunan AKH ditempat-tempat tertentu, sehingga
timbul gejala-gejala rangsangan AKH yang berlebihan, yang akan menimbulkan
efek muscarinic, nikotinik, dan SSP (menimbulkan stimulasi kemunian depresi
SSP).
Penyebab terbanyak keracunan adalah pada system saraf pusat dengan
akibat penurunan tingkat kesadaran dan depresi pernapasan. Fungsi kardio
faskuler mungkin juga terganggu, sebagian karena efek toksik langsung pada
miokard dan pembuluh darah perifer, dan sebagian lagi karena depresi pusat
kardiovaskular diotak. Hipotensi yang terjadi mungkin tidak tampak karena
adanya depresi system saraf pusat dan hipotermia, hipotermia yang terjadi akan
memperberat syok, asidemia, dan hipoksia (Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016).
C. Farmakologi
Dalam terapi, obat biasanya memberikan berbagai efek, damun biasanya
hanya 1 efek terapi yang diharapkan sedangkan efek-efek lain tidak diharapkan
dapat dianggap sebagai efek samping. Efek-efek samping ini biasanya
mengganggu namun tidak membahayakan. Efek yang tidak diinginkan dan
membahayakan dianggap sebagai efek toksik.
Reaksi –reaksi yang dipengaruhi Dosis. Efek toksik obat dapat
dikelompokan sebagai efek farmakologis, patologis dan genotoksik. Biasanya
keparahan toksisitas secara proposional terkait dengan konsentrasi obat dlam
tubuh dan durasi paparan. Overdosis obat adalah contoh toksisitas obat terkait
dosis (Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016).
Toksisitas Farmakologis
Depresi system saraf pusat terkait pengunaan barbiturate di pengaruhi
oleh dosis. Efek klinik berkembang mulai dari efek ansiolitik, sadar hingga koma.
15
Demikian pula tingkat hipotensi yang dihasilkan oleh nifedipin sangat
dipengaruhi oleh dosis yang di berikan. Tardive dyskinesia adalah ganguan
motoric ekstrapiramidal yang berhubungan dengan ganguan obat antipsikotik,
tampaknya tergantung pada durasi paparan. Toksisitas farmakologi juga dapat
terjadi ketika dosis yang diberikan tepat, misalnya pada kasus pasien yang di
obati dengan tetrasiklin, sulfonamide, klorpromazin dan asam nalidiksat yang di
sebabkan adanya efek fototoksisitas oleh sinar matahari terhadap pasien.
Toksisitas patologi
Parasetamol dimetabolisme menjadi glukoronida nontoksi dan sulfa
terkonjugasi, dan metabolism yang sangat reaktif N-acetyl-p-benzoquinoneimine
(HAPQI) melalui isoform CYP. NAPQI disebut sebagai senyawa biologis reaktif
menegah yang sering timbul dari hasil metabolism obat. Pada dosis terapi NAPQI
meningkat glutation nukleofilik tapi dalam kondisi overdosis penipisan glutation
dapat menyebabkan nekrosis hati patologis.
Pencegahan keracunan
Menguragi risiko keselahan pengobatan dan ROM terbukti akan mampu
menguragi resiko keracunan terkait pengunaan obat. Kesalahan pengobatan atau
medication errors (ME) dapat terjadi pada proses peresepan atau pun pada proses
pengunaan obat tersebut, sedangkan ROM adalah cederah yang berhubungan
dengan pengunaan obat. Secara umum pengunaan obat yang tepat atau rasional
harus memnuhi kriteria:
1. Tepat obat
2. Tepat pasien
3. Tempat rute pemberian dan
4. Tepat waktu pemberian
16
D. Terapi diet
1. Terapi Antidot. Terapi antidote melibatkan mekanisme antagonism atau
dengan menginaktivasi racun secara kimiawi. Farmakodinamika racun dapat
diubah dengan jalan memberikan kompetitornya pada reseptor, seperti pada
antagonism nalikson dalam mengobati overdosis herin. Antidot fisioligis
dapat ditempuh melalui mekanisme seluler yang berbeda, seperti pada
pengunaan glucagon untuk merangsang pemblokiran alternatif terhadap
reseptor adrenergic dan meningkatkan siklik AMP seluler pada terapi
overdosis propranolol.
2. Tindakan emergensi
Airway : bebaskan jalan napas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : berikan pernapasan buatan bila penderita tidak bernapas
spontan atau pernapasan tidak adekuat.
Circulation : pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki
perfusi jaringan
3. Identifikasi penyebab keracunan
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya
usaha mencari penyebabkeracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha
penyelamatan penderita yang harus segera di lakukan.
4. Anti dotum (penawar racun)
Atropine sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKH pada
tempat penumpukan
a. Mual-mula diberikan blus IV 1-25 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5-1 mg setiap 5-10-15 menit sampai timbul
gejala-gejala atropinisasi. muka merah, mulut kering, midriasis, febris
dan psikosis (Patrouw Herclaudia Frenscha, 2016).
17
E. Contoh kasus
Ny W datang ke UGD pada tgl 12 Desember 2018 jam 23:00 wib dengan keluhan
mual, muntah, pusing, diare, lemah, panas di sekitar mulut. Suami Ny W
mengatakan bahwa istrinya sebelumya tdak apa-apa, tapi setelah makan dengan
kepiting beliau mengalami hal tersebut. TTD: S : 37,9 OC, N : 60x/menit, TD :
130/90mmHg, RR : 26x/menit. Pada saat palpasi perut pasien mengeluh
kesakitan. Berdsarkan semua hasil pemeriksaan didapatkan diagnose medis
pasien mengalami keracunan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Leveno KJ, Bool SL, et al. William Obstetric. Obstetrical
Hemorrhage. McGrawHill Company 23rd Ed. 2010;35:757-803.
Elvira, Sylvia D, Gitayanti, Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins.
19