You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asfiksia merupakan kegawatdaruratan bayi baru lahir berupa depresi
pernafasan yang berlanjut sehingga menimbulkan berbagai komplikasi.
Disamping itu, Asfiksia merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas,
dan paling sering terjadi pada periode segera setelah lahir dan
menimbulkan sebuah kebutuhan resusitasi dan intervensi segera untuk
meminimalkan mortalitas dan morbiditas.(Maryunani A,dkk, 2010).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000
Angka Kematian Bayi (AKB) didunia 54 per 1000 kelahiran hidup dan
tahun 2006 menjadi 49 per 1000 kelahiran hidup. (Wijaya, 2010). Setiap
tahunnya sekitar 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami asfiksia,
hampir 1 juta bayi ini kemungkinan meninggal.(Gulardi,2009).
Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2012, Angka Kematian Neonatus (neonatal mortality rate, NMR)
pada tahun 2012 sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup menurun dari 20 per
1000 kelahiran hidup di tahun 2007 dan 23 per 1000 kelahiran hidup
berdasarkan hasil SDKI 2002. Perhatian terhadap upaya penurunan
neonatal mortality rate (usia dibawah 28 hari) menjadi penting karena
kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 56% kematian bayi.
(Profil Kesehatan Indonesia, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan
penelitian bagaimana hubungan kompetensi bidan dengan penatalaksanaan
manajemen asfiksia bayi baru lahir

Page 1
1.3.Tujuan
a. Tujuan umum. Mendapatkan gambaran asuhan keperawatan pada
bayi dengan Asfiksia di ruang BBLR RS Roemani Semarang.
b. Tujuan khusus Setelah selesai menyelesaikan tugas membuat asuhan
keperawatan pada bayi dengan asfiksia, penulis mampu :
1. Memahami dasar pengkajian dari keperawatan asfiksia
diruang BBLR RS Roemani Semarang.
2. Memahami diagnosa keperawatan asfiksia diruang BBLR RS
Roemani Semarang.
3. Memahami perencanaan asuhan keperawatan asfiksia diruang
BBLR RS Roemani Semarang.
4. Memahami implementasi asuhan keperawatan asfiksia siruang
BBLR RS Roemani Semarang.
5. Memahami evaluasi keperawatan asfiksia diruang BBLR RS
Roemani Semarang.

Page 2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Asfiksia adalah kegagalan untuk bisa bernafas secara spontan dan adequat
segera setelah lahir.
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya
akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya
dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat atau masalah yang
mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan
(Prawirohardjo, 2005).
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat
asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut
yang mungkin timbul (Depkes RI, 2005)
2.2 Tanda dan gejala
Menurut JNPK-KR (2008), gejala dan tanda-tanda asfiksia adalah sebagai
berikut:
a. Tidak bernafas atau bernafas megap-megap
b. Warna kulit kebiruan
c. Kejang
Penurunan kesadaran
Pada saat dilahirkan, alveoli bayi diisi dengan “cairan paru-paru janin”. Cairan
paru-paru janin harus dibersihkan lebih dulu apabila udara masuk ke dalam
paru-paru bayi baru lahir. Dalam kondisi demikian, paru-paru memerlukan
tekanan yang cukup besar untuk mengeluarkan cairan tersebut agar alveoli

Page 3
dapat berkembang untuk pertama kalinya. Untuk mengembangkan paru-paru,
upaya pernafasan pertama memerlukan tekanan 2 sampai 3 kali lebih tinggi
daripada tekanan untuk pernafasan berikutnya agar berhasil. Masalah yang
dihadapi dalam mengeluarkan cairan dari paru-paru adalah:

a. Bayi sudah menderita apnu saat dilahirkan

b. Bayi dengan upaya pernafasan yang lemah dan tidak efektif seperti: pada
bayi kurang bulan, bayi yang dilahirkan dengan depresi karena asfiksia,
pengaruh obat-obat pada ibu, anestesia dan lain-lain.

Upaya pernafasan seperti pernafasan megap-megap atau tidak teratur tidak


cukup untuk mengembangkan paru-paru. Hal ini berarti bahwa kita tidak
bisa mengandalkan pada upaya pernafasan spontan sebagai indikasi
pernafasan efektif bayi baru lahir. Pergerakan dada tidak dapat dipakai
sebagai satu-satunya indikator untuk pernafasan yang efektif.

Pada kelahiran, peredaran darah di paru-paru harus meningkat untuk


memungkinkan proses oksigenasi yang cukup. Keadaan ini akan dicapai
dengan terbukanya arterioli dan diisi darah yang sebelumnya dialirkan dari
paru-paru melalui duktus arteriosus. Bayi dengan asfiksia, hipoksia dan
asidosis akan mempertahankan pola sirkulasi janin dengan peredaran
darah paru-paru.

Pada awal asfiksia, darah lebih banyak dialirkan ke otak dan jantung.
Dengan adanya hipoksia dan asidosis maka fungsi miokardium menurun,
curah jantung menurun dan aliran darah ke alat-alat vital juga berkurang.

2.3 Etiologi
Menurut JNPK-KR (2008), beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan
oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukan
dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.

Page 4
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut
ini:

a. Faktor ibu:

1.) Preeklamsia dan eklamsia

2.) Pendarahan abnormal (plasenta previa dan solusio plasenta)

3.) Partus lama atau partus macet

4.) Demam selama persalinan

5.) Infeksia berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)


6.) Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
7.) Penyakit ibu
b. Faktor tali pusat

1.) Lilitan tali pusat

2.) Tali pusat pendek

3.) Simpul tali pusat

4.) Prolapsus tali pusat

c. Faktor bayi

Adakalanya asfiksia terjadi tanpa didahului gejala dan tanda gawat janin,
umumnya hal ini disebabkan oleh faktor bayi berikut ini:

1.) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2.) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,


akstraksi vakum, ekstraksi forsep)

3.) Kelainan bawaan (kongenital)

4.) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

Page 5
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang
berpotensi untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor
resiko tersebut maka hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya
tentang kemungkinan perlunya resusitasi. Akan tetapi adakalanya faktor
resiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan penolong) tidak
dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus
selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan.

2.4 Klasifikasi

6.1 Nilai APGAR

Klinis 0 1 2

Detak Jantung Tidak ada <100 x/menit >100 x/menit

Pernafasan Tidak ada Tak teratur Tangis kuat


Refleks saat jalan Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin
nafas dibersihkan
Tonus otot Lunglai Fleksi ekstremitas Fleksi kuat gerak aktif
(lemah)
Warna kulit Biru pucat Tubuh merah Merah seluruh tubuh
Ekstremitas
biru

Klasifikasi Asfiksia berdasarkan nilai APGAR:

a. Nilai 0-3 Asfiksia berat

b. Nilai 4-6 :Asfiksia sedang

c. Nilai 7-10: Normal

Dilakukan pemantauan nilai APGAR pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai APGAR 5 menit masih kurang dari 7, penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor mencapai 7. Nilai APGAR berguna menilai keberhasilan resusitasi
bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena
resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit
seperti penilaian skor APGAR)

Page 6
2.5 Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Menurut Saifuddin (2006), aspek penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah
menilai bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan. Upaya resusitasi yang
efisien dan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan, yaitu penilaian,
pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.

Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau


bahwa pernafasan tidak adekuat, untuk tindakan berikutnya yaitu memberikan
ventilasi dengan tekanan positif (VTP). Sebaliknya apabila pernafasannya normal,
maka tindakan selanjutnya adalah denyut jantung bayi segera sesudah memulai
suatu tindakan anda harus menilai dampaknya pada bayi dan membuat
kesimpulan untuk tahap berikutnya.

Nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit


sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi
lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan,
denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini dilakukan segera. Intervensi
yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian
APGAR satu menit.Keterlambatan tindakan sangat membahayakan terutama pada
bayi yang mengalami depresi berat.

Walaupun nilai APGAR tidak penting dalam pengambilan keputusan pada


awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan
penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai APGAR perlu dinilai pada 1 menit
dan 5 menit. Apabila nilai APGAR kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih
diperlukan yaitu tiap menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian
menunjukkan nilai 8 dan lebih.

2.6 Komplikasi

Komplikasi asfiksia menurut Depkes

1.) Patofisiologi komplikasi pasca hipoksia

Page 7
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan
dapat pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada
keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ
vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran
yang lebih banyak dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan
muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan rongga toraks
lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.

Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi


vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi
vaskular di perifer.

2.) Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia

Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia. Pada asfiksia neonatus,
gangguan fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan
gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan failure).

a. Sistem Pernafasan

Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia


neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori
mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan
iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel
kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen ataupun
penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium.

b. Sistem kardiovaskuler

Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi


miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi
miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan
kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan otot
papilaris kedua bilik jantung.

Page 8
c. Sistem urogenital

Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan


perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah
yang kurang menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula.

d. Sistem gastrointestinal

Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen yang
terbentuk pada penderita hipoksia serta faktor lain seperti gangguan
koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus.
Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang
bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi
makanan atau adanya darah dalam residu lambung sampai kelainan
perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikams kolestasis dan
nekrosis hepar.

e. Sistem audiovisual

Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi


secara langsung karena proses hipoksia iskemia, ataupun tidak
langsung akibat hipoksia iskernia susunan pusat atau jaras-jaras yang
terkait yang menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan
penglihatan.

3.) Hipoglikemi

Salah satu penyebab penting hipoglikemia adalah asfiksia, di mana pada


kondisi asfiksia glukosa darah dimetabolisme secara anaerob untuk
meminimalkan kekurangan energi seluler pada seluruh jaringan tubuh
termasuk otak.

Metabolisme anaerob sangat tidak efektif karena 1 g glukosa hanya


menghasilkan 2 ATP, padahal pada keadaan aerob 1 g glukosa dapat
menghasilkan 38 ATP. Kejadian perinatal lain yang paling sering
diasosiasikan dengan hipoglikemia adalah adanya riwayat abnormalitas

Page 9
denyut jantung disertai dengan pengeluaran mekoneum. Hal ini
mengindikasikan adanya pengurangan cadangan glikogen akibat stress
intra uterin yang mengakibatkan bayi mengalami hipoglikemia.

2.7 Penatalaksanaan

Menurut Saifuddin (2006), bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola
pernafasan biasa, walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif,
tanpa intervensi khusus. Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak bernafas
sendiri. Pernafasan buatan atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP)
dan oksigen diperlukan untuk membantu bayi memulai pernafasan pada bayi baru
lahir dengan apnu sekunder.

Penyebab apapun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera


sesudah tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu memulai
pernafasan spontan yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat
dan secara menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif merangsang pernafasan awal
dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya.

Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang


dikenal sebagai ABC resusitasi.

 Memastikan saluran nafas terbuka.

o Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi: bahu


diganjal

o Menghisap mulut, hidung dan kadang-kadang trakhea.

o Bila perlu, masukkan pipa endotrakel (pipa ET)


memastikan saluran pernafasan terbuka.

 Memulai pernafasan.

Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.

Page 10
Memakai VTP, bila perlu seperti:

o Sungkup dan balon, atau

o Pipa ET dan balon,

o Mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).

 Mempertahankan sirkulasi (peredaran) darah.

Bagian-bagian dari tatalaksana resusitasi yang dikaitkan dengan


ABC resusitasi dapat dilihat dibawah ini. Rangsangan dan
pertahankan sirkulasi darah dengan cara:

 Kompresi dada

 Pengobatan

o Epinefrin 1: 10.000 dalam ampul 3 ml atau 10 ml.

o Nalokson hidroklorid 0,4 mg/ml dalam ampul 1 ml atau 1


mg/ml dalam ampul 2 ml.

o Volume expander, salah satu dari berikut ini:

 5% larutan Albumin Saline

 Larutan NaCl 0,9%

 Larutan Ringer Laktat

o Bikarbonat natrikus 4,2% (5 mEq/10 ml) dalam ampul 10


ml.

o Larutan dekstrose 5%, 10%, 250 ml,

o Aquadest steril 25 ml.

o Larutan NaCl 0,9%, 25 ml

Page 11
2.8. WOC

Page 12
2.9 Asuhan Keperawatan
2.9.1 Pengkajian
1. Biodata
Terdiri dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak
keberapa, jumlah saudara dan identitas orang tua. Yang lebih
ditekankan pada umur bayi karena berkaitan dengan diagnosa Asfiksia
Neonatorum.
2. Keluhan Utama
Pada klien dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak nafas
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan, apakah spontan, premature, aterm, letak
bayi belakang kaki atau sungsang
4. Kebutuhan dasar
a. Pola Nutrisi
Pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral, karena organ
tubuh terutama lambung belum sempurna, selain itu juga bertujuan
untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia
b. Pola Eliminasi
Umumnya klien mengalami gangguan b.a.b karena organ tubuh
terutama pencernaan belum sempurna
c. Kebersihan diri
Perawat dan keluarga pasien harus menjaga kebersihan pasien, terutama
saat b.a.b dan b.a.k, saat b.a.b dan b.a.k harus diganti popoknya
d. Pola tidur
Biasanya istirahat tidur kurang karena sesak nafas
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak
nafas, pergerakan tremor, reflek tendon hyperaktif dan ini terjadi
pada stadium pertama.
b. Tanda-tanda Vital
Pada umunya terjadi peningkatan respirasi

Page 13
c. Kulit
Pada kulit biasanya terdapat sianosis
d. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala bukit, fontanela mayor dan minor masih
cekung, sutura belum menutup dan kelihatan masih bergerak
e. Mata
Pada pupil terjadi miosis saat diberikan cahaya
f. Hidung
Yang paling sering didapatkan adalah didapatkan adanya
pernafasan cuping hidung.
g. Dada
Pada dada biasanya ditemukan pernafasan yang irregular dan
frekwensi pernafasan yang cepat
h. Neurology / reflek
Reflek Morrow : Kaget bila dikejutkan (tangan menggenggam)
6. Gejala dan tanda
a. Aktifitas; pergerakan hyperaktif
b. Pernafasan ; gejala sesak nafas Tanda : Sianosis
c. Tanda-tanda vital; Gejala hypertermi dan hipotermi Tanda :
ketidakefektifan termoregulasi
2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang
adekuat.
2. Hipertermi b.d transisi lingkungan ekstra uterin neonatus.
3. Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialami
dan proses pengobatan.
4. Resiko tinggi terjadi infeksi

Page 14
2.9.3 Perencanaan Keperawatan
Dx. I : Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang
adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam
kebutuhan O2 terpenuhi dengan kriteria tidak ada pernafasan cuping
hidung dan tidak sianosis.
Intervensi:

No. Intervensi Rasional


1. Beri penjelasan pada keluarga Agar keluarga tahu tentang
tentang penyebab sesak yang penyebab sesak yang dialami
dialami oleh pasien. oleh bayinya.
2. Atur kepala bayi dengan posisi Melonggarkan jalan nafas.
ekstensi.
3. Batasi intake per oral, bila Mencegah aspirasi.
perlu dipuasakan.
4. Longgarkan jalan nafas. Memudahkan untuk bernafas.
5. Observasi tanda-tanda Mengetahui tingkat
kekurangan O2. kekurangan O2.

Dx. II : Hipertermi b.d transisi lingkungan ekstra uterin neonatus.


Tujuan : lakukukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, suhu
tubuh kembali normal dengan kriteria suhu tubuh antara 36.5°C –
37.4°C, kelembaban cukup
Intervensi:

No. Intervensi Rasional


1. Beri penjelasan kepada Keluarga menjadi tahu
keluarga tentang penyebab tentang penyebab panas
panas yang dialami oleh yang dialami bayinya.
bayinya.
2. Berikan pakaian tipis yang Mencegah penguapan yang
mudah menyerap keringat. berlebihan.
3. Berikan kompres hangat. Menurunkan suhu tubuh.
4. Observasi tanda-tanda vital Menentukan tindakan
terutama suhu tubuh. keperawatan selanjutnya.
5. Kolaborasi medis untuk Mendukung perawatan dan
pemberian infuse dan obat- penatalaksanaan medis.
obatan antipiretik.

Page 15
Dx. VI : Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang kondisi yang dialami dan proses pengobatan.
Tujuan : Mendemonstrasikan hilangnya ansietas dan
memberikan informasi tentang proses penyakit, program
pengobatan.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Jelaskan tujuan pengobatan Mengorientasi program
pada keluarga. pengobatan.
2. Kaji ulang tanda / gejala yang Berulangnya memerlukan
memerlukan evaluasi medik intervensi medik untuk
cepat. mencegah / menurunkan
potensial komplikasi.
3. Kaji ulang praktik kesehatan Mempertahanan
yang baik, istirahat. kesehatan umum
meningkatkan
penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.
4. Dorong pasien / orang
terdekat untuk menyatakan
masalah / perasaan.
5. Beri penguatan informasi
pasien yang telah diberikan
sebelumnya.

Page 16
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat
menurunkan O2 dan mungkin meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat
buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Dari etiologinya,asfiksia neonatorum
bisa berasal dari banyak factor,diantaranya:

1.Faktor ibu: hipoksia ibu,gangguan aliran darah uterus

2.Faktor plasenta: gangguan mendadak pada plasenta

3.Faktor fetus: kompresi umbilicus

4.Faktor neonates: depresi pusat pernapasan bayi baru lahir

Sedangkan berdasarkn klasifikasinya,asfiksia neonatorum dibagi:

1.Vigorous Baby

2.Mild Moderate asphyksia / asphyksia sedang

3.Asphyksia berat

Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru


lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan
membatasi gejala sisa yang mungkin muncul.

3.2 SARAN

Setelah pembaca mengetahui apa pengertian dan etiologi dari asfiksia


neonatorum,diharapkan pembaca bias mengantisipasi terhadap terjadinya
asfiksia neonatorum dan dapat melakukan pencegahan serta memahami
tindakan pengobatan yang dapat dilakukan pada bayi dengan asfiksia
neonatorum.

Page 17
DAFTAR PUSTAKA

Afiana. 2016. Asuhan Neonatus Bayi Balita Dan Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta:Transmedika

Depkes RI. 2005. Pelatihan Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan.
Jakarta.

IBI. 2006. 50 Tahun IBI Menyongsong Masa Depan. Jakarta: Pengurus IBI Pusat..

Johnson, M., Meriden M.,Sue M. 2000. Nursing Outcome Classification (NOC).


St. Louis Baltimore: Mosby.

Kartiningsih. 2009. Hubungan antara Faktor Ibu dengan Kejadian Asfiksia


Neonatorum di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali. Solo: Stikes

Mc Closkey, JC., Gloria MB. 2000. Nursing Intervention Classification (NIC). St.
Louis Baltimore: Mosby.

NANDA. 2011. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia:


NANDA International

Prawirohardjo. S. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Page 18

You might also like