Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34 provinsi di
Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia.
Untuk data kasus DHF pada tahun 2014 di Provinsi Sumatera Barat tercatat
sebanyak 2300 kasus, sedangkan untuk kasus DHF pada 3 bulan terakhir (
September - November 2015) di Dinas Kesehatan Kota Padang adalah
sebanyak 298 kasus dan untuk kasus DHF di RSUD Dr. Rasidin Padang di
Ruangan Interne pada 3 bulan terakhir ( September - November 2015 ) adalah
sebanyak 96 kasus.
2
yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang
dihadapi oleh penderita SLE.
B. Tujuan
1.Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
m diatas permukaan air laut. Demam berdarah dengue tidak menular
melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai
penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk
2. Etiologi
Pada umumnya masyarakat kita mengetahui penyebab dari Dengue
Haemoragic Fever adalah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.
Virus Dengue mempunyai 4 tipe, yaitu : DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan
DEN 4, yang ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk ini
biasanya hidup dikawasan tropis dan berkembang biak pada sumber air
yang tergenang. Keempatnya ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
serotipe terbanyak. Infeksi salah satu serotip akan menimbulkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe yang lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama
hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan diberbagai
daerah di Indonesia
Virus Dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif
terhadap inaktivitas oleh distiter dan natrium diaksikolat, stabil pada
suhu 700C. Keempat tipe tersebut telah ditemukan pula di Indonesia
dengan tipe DEN 3 yang paling banyak ditemukan
3. Patofisiologi
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan
terbentuklah kompleks virus -antibody. Dalam sirkulasi akan
mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan
dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan
histamine dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningkatnya
5
permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma
melalui endotel dinding itu.
Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan
menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan
faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan
saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemorrhagic,
renjatan terjadi secara akut.
Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya
plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi
anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
6
7
4. Manifestasi Klinik
a. Demam : demam tinggi timbul mendadak, terus menerus,
berlangsung dua sampai tujuh hari turun secara cepat menuju suhu
normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam,
gejala – gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri
punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa
lemah dapat menyetainya.
b. Perdarahan : perdarahan disini terjadi akibat berkurangnya
trombosit (trombositopeni) serta gangguan fungsi dari trombosit
sendiri akibat metamorfosis trombosit. Perdarahan dapat terjadi di
semua organ yang berupa:
1) Uji torniquet positif
2) Ptekie, purpura, echymosis dan perdarahan konjungtiva
3) Epistaksis dan perdarahan gusi
4) Hematemesis, melena
5) Hematuri
c. Hepatomegali :
1) Biasanya dijumpai pada awal penyakit
2) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
3) Nyeri tekan pada daerah ulu hati
4) Tanpa diikuti dengan icterus
5) Pembesaran ini diduga berkaitan dengan strain serotipe virus
dengue
d. Syok yang dikenal dengan Sindrom Renjatan Dengue (SRD/DSS) ,
disebabkan oleh karena : Perdarahan dan kebocoran plasma
didaerah intravaskuler melalui kapiler yang rusak. Sedangkan
tanda-tanda syok adalah:
1) Kulit dingin, lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki
2) Gelisah dan Sianosis disekitar mulut
3) Nadi cepat, lemah , kecil sampai tidak teraba
8
4) Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau kurang dari 80 mmHg)
5) Tekanan nadi menurun (sampai 20mmHg atau kurang)
e. Trombositopeni: Jumlah trombosit dibawah 150.000 /mm3 yang
biasanya terjadi pada hari ke tiga sampai ke tujuh.
f. Hemokonsentrasi : Meningkatnya nilai hematokrit merupakan
indikator kemungkinan terjadinya syok.
g. Gejala - gejala lain :
5. Pemeriksaan Diagnostik
1. Darah
a. Pada kasus DHF yang dijadikann pemeriksaan penunjang yaitu
menggunakan darah atau disebut lab serial yang terdiri dari
hemoglobin, PCV, dan trombosit. Pemeriksaan menunjukkan
adanya tropositopenia (100.000 / ml atau kurang) dan
hemotoksit sebanyak 20% atau lebih dibandingkan dengan
nilai hematoksit pada masa konvaselen.
b. Hematokrit meningkat > 20 %, merupakan indikator akan
timbulnya renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat
menjadi diagnosis pasti pada DHF dengan dua kriteria tersebut
ditambah terjadinya trombositopenia, hemokonsentrasi serta
dikonfirmasi secara uji serologi hemaglutnasi (Brasier dkk
2012).
c. Leukosit menurun pada hari kedua atau ketiga
d. Hemoglobin meningkat lebih dari 20 %
e. Protein rendah
f. Natrium rendah (hiponatremi)
g. SGOT/SGPT bisa meningkat
h. Asidosis metabolic
9
i. Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan
2. Urine
Kadar albumin urine positif (albuminuria) (Vasanwala, 2012)
Sumsum tulang pada awal sakit biasanya hiposeluler, kemudian
menjadi hiperseluler pada hari ke 5 dengan gangguan maturasi dan
pada hari ke 10 sudah kembali normal untuk semua system
3. Foto Thorax
Pada pemeriksaan foto torax dapat ditemukan efusi pleura.
Umumnya posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi kanan)
lebih baik dalam mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi
berdiri apalagi berbaring.
4. Diagnosis Serologis
a. Uji Hemaglutinasi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standart pada pemeriksaan serologis,
sifatnya sensitif namun tidak spesifik. Artinya tidak dapat
menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibodi HI bertahan
dalam tubuh lama sekali (<48 tahun) sehingga uji ini baik
digunakan pada studi serologi epidemiologi. Untuk diagnosis
pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut
atau tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen
dianggap sebagai pesumtif (+) atau diduga keras positif infeksi
dengue yang baru terjadi
b. Uji komplemen Fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya
rumit dan butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen
fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
c. Uji Neutralisasi Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus
dengue. Dan biasanya memakai cara Plaque Reduction
Neutralization Test (PNRT)
d. IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
10
Banyak sekali dipakai, uji ini dilakukan pada hari ke 4-5 infeksi
virus dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti
IgG. Bila IgM negatif maka uji harus diulang. Apabila sakit ke-6
IgM masih negatif maka dilaporkan sebagai negatif. IgM dapat
bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi
e. Identifikasi Virus
Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerase
chain reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitif dan spesifik
terhadap serotype tertentu, hasil cepat dan dapat diulang dengan
mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen
yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk
6. Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya
antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD,
kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan
penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus.
Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan
awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak
yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial
a. Identitas Klien
11
1) Nama, umur, jenis kelamin, alamat, tanggal lahir, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, agama, status perkawinan, nomor
medical record, alamat dan diagnosa medis
2) Identitas Penanggung Jawab
Nama, umur, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan
alamat
b. Riwayat Kesehatan Klien
1) Keluhan utama
Biasanya pasien datang dengan keluhan demam tinggi
mendadak dan terus menerus selama 2 - 7 hari, terdapat petechie
pada seluruh kulit, perdarahan gusi, neyri epigastrium,
epistaksis, nyeri pada sendi-sendi, sakit kepala, lemah, nyeri ulu
hati, mual dan nafsu makan menurun
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot,
pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas,
mual, dan nafsu makan menurun.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Ada kemungkinan klien yang telah terinfeksi penyakit DHF bisa
terulang terjangkit DHF lagi, tetapi penyakit ini tak ada
hubungan dengan penyakit yang pernah diderita dahulu
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain
sangat menentukan, Penyakit DHF dibawah oleh nyamuk jadi
bila terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit ini
dalam satu rumah.
c. Pemeriksaan Fisik :
1) Status Present :
a. Penampilan atau kesan umum
i. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
ii. Kesadaran : Compos mentis
12
b. Pemeriksaan tanda - tanda vital ( TD, S, N, Rr )
c. Pengkajian persistem
a) Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal,
epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada
auskultasi terdengar ronchi, krakles.
b) Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan
kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi DSS
c) Sistem Kardiovaskuler
Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet
positif, trombositipeni, pada grade III dapat terjadi
kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi,
cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade
IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
d) Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan
pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati,
abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
e) Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam,
akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing
berwarna merah.
f) Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade
I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi pethike,
pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada
kulit.
13
2. Diagnosa Keperawatan
1) Hipovolemia berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler ditandai dengan frekuensi nadi meningkat dan terasa lemah
2) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan
suhu tubuh diatas normal
3) Resiko pendarahan ditandai dengan gangguan koagulasi
(trombositopenia)
4) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi
5) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan
14
3. Intervensi
15
mendadak
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (NaCL,
RL)
b. Kolaborasi pemberian produk darah
16
d. Berikan cairan oral
e. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis (keringat berlebih)
f. Lakukan pandingan eksternal (mis, selimut
hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
g. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
h. Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
3. Resiko pendarahan ditandai Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Perdarahan
dengan gangguan koagulasi keperawatan selama 2x24 jam 1. Observasi
(trombositopenia) maka tingkat perdarahan menurun a. Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum
dengan kriteria hasil: dan setelah kehilangan darah
1. Kelembapan membran mukosa b. Monitor koagulasi PTT (Partial Tromboplastin)
meningkat 2. Terapeutik
17
2. Kelembapan kulit meningkat a. Pertahankan bed rest selama perdarahan
3. Hematuria menurun b. Batasi tindakan invasif, jika perlu
4. Hemoglobin membaik 3. Edukasi
5. Tekanan darah membaik a. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
6. Suhu tubuh membaik b. Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk
menghindari konstipasi
d. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan
vitamin K
e. Segera melapor jika terjadi perdarahan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
4. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri
dengan inflamasi keperawatan selama 2x24 jam 1. Observasi
maka tingkat nyeri berkurang a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuens
dengan kriteria hasil: nadi
1. Keluhan nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
2. Gelisah menurun c. Monitor efek samping pernggunaan analgetik
3. Sulit tidur menurun 2. Terapeutik
18
4. Muntah menurun a. Berikan teknih non farmakologis untuk rasa
5. Mual menurun nyeri.
6. Frekuensi nadi membaik b. Fasilitasi istirhat tidur
3. Edukasi
a. Anjurkan menggunakan analgetik secara mandiri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik
5. Defisit nutrisi berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen nutrisi
dengan ketidakmampuan keperawatan selama 2x24 jam 1. Observasi
menelan makanan maka status nutrisi membaik a. Identifikasi status nutrisi
dengan kriteria hasil: b. Identifikasi alergi dan intoleran makanan
1. Porsi makan yang dihabiskan c. Identifikasi makanan yang disukai
meningkat d. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
2. Berat badan membaik e. Identifikasi perlunya penggunaan selang
3. Indeks massa tubuh (IMT) nasogastrik
membaik f. Monitor asupan makanan
4. Frekuensi makan membaik g. Monitor berat badan
5. Nafsu makan membaik h. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
19
6. Membran mukosa membaik 2. Terapeutik
a. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
b. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis,
piramida makanan)
c. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
sesuai
d. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
3. Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
b. Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
(mis, pereda nyeri, antilemetik), jika perlu
20
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu
21
2.2 Asuhan Keperawatan Sistemik Lupus Eritematosus
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
22
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi
kerusakan pada beberapa organ tubuh.
2. Etiologi
A. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa
kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya
SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang
menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala
muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
B. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC
(Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen
kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada
struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi
normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B
adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif
yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
23
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi
pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak,
idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T
untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks
imun lebih mudah mengendap di jaringan.
C. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya
LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga
menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon
estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi
resiko ini.
D. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan
kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen
infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
24
pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun
sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh
atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh
darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya
tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan
SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus
Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan
DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
3. Patofisiologi
SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut
25
terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi
ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks
imun maupun
4. Manifestasi Klinik
a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain
yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
26
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit
LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum
yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES
dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya
nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointesti
27
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10%
kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Miositis
timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terap
28
vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan
endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung
koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada
wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai
50%.17
f. Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita
: pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi
antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau
sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus
dilakukan dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk
melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin,
proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik,
WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan
hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan
GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
g. Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita
LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ
pada penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia
merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak
didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali
gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita
LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai
glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.
29
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai
dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali
dan LDH.
h. Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia
akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan
perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
i. Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan
karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini
dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan
menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan
hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat
berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis.
Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat
merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada
LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada
10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari
anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
30
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang- kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
31
5. Pemeriksaan Diagnostik
A. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
1) Batas normal : 70 – 200 IU/mL
2) Negatif : < 70 IU/mL
3) Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan
SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain.
Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita
dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat
pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang
(dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi
antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu
yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan
yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-
DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk
penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi
merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit
tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem
komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik
lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
1) Harga normal : nol
32
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit
autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi
protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA
cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang
positif terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak
spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan
dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang
tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka
penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien
belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium
yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya
dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang
diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA
dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-
ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La)
(Pagana and Pagana, 2002).
B. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang
diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain
adalah antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs
test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation
Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan
C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes
fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
C. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
33
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan
adanya gesekan pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih
dari 0,5 mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa
jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.
6. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang
terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi.
Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun
terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5
tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat
kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar
80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di
Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%.
Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat
dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan
dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan
dalam perawatan medis umum.
Prognosis lupus lebih baik hari ini daripada sebelumnya. Dengan
tindak lanjut dan pengobatan yang ketat, 80-90% orang dengan lupus
dapat berharap untuk hidup normal. Memang benar bahwa ilmu
kedokteran belum mengembangkan metode untuk menyembuhkan
lupus, dan beberapa orang memang meninggal karena penyakit itu.
Namun, bagi sebagian besar orang bisa hidup dengan penyakit ini, itu
tidak akan berakibat fatal.
34
Lupus bervariasi dalam intensitas dan derajat. Beberapa orang
memiliki kasus yang ringan, yang lain sedang dan beberapa parah,
yang cenderung lebih sulit untuk diobati dan dikendalikan. Bagi orang-
orang yang memiliki gejolak parah, ada kemungkinan lebih besar
bahwa lupus mereka dapat mengancam jiwa.
35
G. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
H. Sistem renal
Edema dan hematuria.
I. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang,
korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
inflamasi
2) Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis anemia
3) Resiko infeksi ditandai dengan imununosupresi
4) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna
makanan ditandai dengan berat badan menurun
36
3. Intervensi
37
rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
c. Fasilitasi istrahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2 Keletihan berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen jalan napas
38
dengan kondisi keperawatan selama 2x24 jam Manajemen Energi
fisiologis anemia maka tingkat keletihan menurun 1. Observasi
dengan kriteria hasil: a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
1. Verbalasi kepulihan energi mengakibatkan kelelahan
meningkat b. Monitor kelelahan fiisk dan emosional
2. Tenaga meningkat c. Monitor pola dan jam tidur
3. Kemampuan melakukan 2. Terapeutik
aktivitas rutin a. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
4. Verbalasi lelah lesu menurun stimulus
5. Selera makan membaik b. Berikan aktifitas distraksi yang menenangkan
6. Pola istirahat membaik 3. Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
b. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
4. Kolaborasi
a. Kolaboras dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
39
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
berhubungan dengan keperawatan selama 2x24 jam 1. Observasi
ketidakadekuatan tingkat infeksi menurun dengan a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
pertahanan tubuh kriteria hasil: 2. Terapeutik
sekunder 1. Demam menurun a. Batasi jumlah pengunjung
2. Kemerahan menurun b. Berikan perawatan kulit pada area edema
3. Nyeri menurun c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
4. Bengkak menurun pasien dan lingkungan pasien
5. Kadar sel darah putih d. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko
membaik tinggi
3. Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
c. Ajarkan etika batuk
d. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
operasi
e. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
f. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
40
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
41
d. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi
3. Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
b. Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
(mis, pereda nyeri, antilemetik), jika perlu
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika
perlu
42
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang menyerang anak dan
orang dewasa yang disebabkan oleh virus dengan manifestasi berupa demam
akut, perdarahan, nyeri otot dan sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus
(Artropod Born Virus) yang akut ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty atau
oleh Aedes Albopictus
Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan
kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem
imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan
nama autoimunitas.
Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang
menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor
genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan
lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan
hormon estrogen.
Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap
sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari
penyebarannya sampai ke organ-organ.
43
Daftar Pustaka
Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan, Volume 2, Singapore: Elsevier
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik, Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Jakarta: DPP PPNI
Wiwik Handayani. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi, Jakarta: Salemba Medika
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41834/4/Chapter%20II.pdf
44
45