You are on page 1of 45

1.

1 Anemia
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Anemia merupakan kondisi klinis akibat kurangnya suplai sel darah
merah sehat, volume sel darah merah, dan atau jumlah hemoglobin.
Hipoksia terjadi karena tubuh kekurangan oksigen. Terlepas dari penyakit
itu tersendiri, anemia mencerminkan beberapa kondisi patogenik yang
mengarah pada abnormalitas jumlah, struktur, dan fungsi sel darah merah.
Ketika diketahui terdapat anemia, pemeriksaan lanjutan perlu
dilaksanakan untuk mengetahui penyebabnya (Black, Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Hal: 817)
Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar
hemoglobin atau hematokrit di bawah normal (Brunner & Suddarth,
2000:22). Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin lebih
rendah dari nilai normal (Emma, 1999).
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit
lebih rendah dari harga normal yaitu bila Hb < 14 g/dL dan Ht < 41%
pada pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht < 37% pada wanita.
(https://eprints.ums.ac.id/16666/2/BAB_I.pdf)

2. Etiologi
Secara umum anemia dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan
zat besi dalam darah. Pengobatan anemia zat besi dilakukan dengan
cara pemberian asupan Fe yang cukup. Untuk menegakkan diagnosis
anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesa
Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata
berkunang-kunang dan keluhan mual dan muntah pada hamil muda.

1
Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan minimal 2 kali
selama kehamilan yaitu trimester I dan III. Hasil pemeriksaan Hb
dengan sahli dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Hb 11 g% : tidak anemia
2) Hb 9-10 g% : anemia ringan
3) Hb 7-8 g% : anemia sedang
4) Hb < 7 g% : anemia berat (Proverawati dan Asfuah, 2009).
b. Anemia megaloblastik
Anemia ini disebabkan karena defisiensi asam folat (ptery glutamic
acid) dan defisiensi vitamin B12 (cyanocobalamin) walaupun jarang
(Proverawati dan Asfuah, 2009).
c. Anemia hipoplastik dan aplastik
Anemia disebabkan karena sumsum tulang belakang kurang mampu
membuat sel-sel darah baru (Proverawati dan Asfuah, 2009).
d. Anemia hemolitik
Disebabkan oleh karena penghancuran sel darah merah berlangsung
lebih cepat daripada pembuatannya. Menurut penelitian, ibu hamil
dengan anemia paling banyak disebabkan oleh kekurangan zat besi
(Fe) serta asam folat dan vitamin B12. Pemberian makanan atau diet
pada ibu hamil dengan anemia pada dasarnya ialah memberikan
makanan yang banyak mengandung protein, zat besi (Fe), asam folat,
dan vitamin B12 (Proverawati dan Asfuah, 2009).

Penyebab utama anemia pada wanita adalah kurang memadainya


asupan makanan sumber Fe, meningkatnya kebutuhan Fe saat hamil dan
kehilangan banyak darah. Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu
kelompok resiko tinggi terpapar anemia karena mereka tidak memiliki
asupan atau cadangan Fe yang cukup terhadap kebutuhan dan kehilangan
Fe (Fatmah, 2007).

2
Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab anemia:
a. Asupan Fe yang tidak memadai
Hanya sekitar 25% WUS memenuhi kebutuhan Fe sesuai Angka
Kecukupan Gizi (AKG) adalah 26μg/hari. Secara rata-rata, wanita
mengkonsumsi 6,5 μg Fe perhari melalui diet makanan.
Ketidakcukupan Fe tidak hanya dipenuhi dari konsumsi makanan
sumber Fe seperti daging sapi, ayam, ikan, telur, dan lain-lain, tetapi
dipengaruhi oleh variasi penyerapan Fe. Variasi ini disebabkan oleh
perubahan fisiologis tubuh ibu hamil, menyusui sehingga
meningkatkan kebutuhan Fe bagi tubuh, tipe Fe yang dikonsumsi, dan
faktor diet yang mempercepat (enhancer) dan menghambat (inhibitor)
penyerapan Fe, jenis yang dimakan. Heme iron dari Hb dan mioglobin
hewan lebih mudah dicerna dan tidak dipengaruhi oleh inhibitor Fe.
Non-heme iron yang membentuk 90% Fe dari makanan non-daging
seperti biji-bijian, sayuran, buah dan telur (Fatmah, 2007).
Bioavabilitas non-heme iron dipengaruhi oleh beberapa faktor inhibitor
dan enhancer. Inhibitor utama penyerapan Fe adalah fitat dan polifenol.
Fitat terutama ditemukan pada biji-bijian sereal, kacang dan beberapa
sayuran seperti bayam. Polifenol dijumpai dalam minuman kopi, teh,
sayuran dan kacang-kacangan. Enhancer penyerapan Fe antara lain
asam askorbat atau vitamin C dan protein hewani dalam daging sapi,
ayam, ikan karena mengandung asam amino pengikat Fe untuk
meningkatkan absorpsi Fe. Alkohol dan asam laktat kurang mampu
meningkatkan penyerapan Fe (Fatmah, 2007).
b. Peningkatan kebutuhan fisiologi
Kebutuhan Fe meningkat selama kehamilan untuk memenuhi
kebutuhan Fe akibat peningkatan volume darah, untuk menyediakan Fe
bagi janin dan plasenta, dan untuk menggantikan kehilangan darah saat
persalinan. Peningkatan absorpsi Fe selama trimester II kehamilan

3
membantu peningkatan kebutuhan. Beberapa studi menggambarkan
pengaruh antara suplementasi Fe selama kehamilan dan peningkatan
konsentrasi Hb pada trimester III kehamilan dapat meningkatkan berat
lahir bayi dan usia kehamilan (Fatmah, 2007).
c. Malabsorpsi
Episode diare yang berulang akibat kebiasaan yang tidak higienis
dapat mengakibatkan malabsorpsi. Insiden diare yang cukup tinggi,
terjadi terutama pada kebanyakan negara berkembang. Infestasi cacing,
khusunya cacing tambang dan askaris menyebabkan kehilangan besi
dan malabsorpsi besi. Di daerah endemik malaria, serangan malaria
yang berulang dapat menimbulkan anemia karena defisiensi zat besi
(Gibney, 2009).
d. Simpanan Zat Besi yang buruk
Simpanan zat besi dalam tubuh orang-orang Asia memiliki jumlah
yang tidak besar, terbukti dari rendahnya hemosiderin dalam sumsum
tulang dan rendahnya simpanan zat besi di dalam hati. Jika bayi
dilahirkan dengan simpanan zat besi yang buruk, maka defisiensi ini
akan semakin parah pada bayi yang hanya mendapatkan Air Susu Ibu
(ASI) saja dalam periode waktu yang lama (Gibney, 2009).
e. Kehilangan banyak darah
Kehilangan darah terjadi melalui operasi, penyakit dan donor darah.
Pada wanita, kehilangan darah terjadi melalui menstruasi. Wanita hamil
juga mengalami pendarahan saat dan setelah melahirkan. Efek samping
atau akibat kehilangan darah ini tergantung pada jumlah darah yang
keluar dan cadangan Fe dalam tubuh.Rata-rata seorang wanita
mengeluarkan darah 27 ml setiap siklus menstruasi 28 hari. Diduga
10% wanita kehilangan darah lebih dari 80 ml per bulan. Banyaknya
darah yang keluar berperan pada kejadian anemia karena wanita tidak
mempunyai persedian Fe yang cukup dan absorpsi Fe ke dalam tubuh

4
tidak dapat menggantikan hilangnya Fe saat menstruasi (Fatmah,
2007).
Jumlah Fe yang hilang/keluar saat menstruasi juga bervariasi
dengantipe alat kontrasepsi yang dipakai. Intrauterine Device (IUD)
dan spiral dapat meningkatkan pengeluaran darah 2 kali saat menstruasi
dan pil mengurangi kehilangan darah sebesar 1,5 kali ketika menstruasi
berlangsung (Fatmah, 2007).
Komplikasi kehamilan yang mengarah pada pendarahan saat dan
pasca persalinan dihubungkan juga dengan peningkatan resiko anemia.
Plasenta previa dan plasenta abrupsi beresiko terhadap timbulnya
anemia setelah melahirkan. Dalam persalinan normal seorang wanita
hamil akan mengeluarkan darah rata-rata 500 ml atau setara dengan 200
mg Fe. Pendarahan juga meningkat saat proses melahirkan secara
caesar/operasi (Fatmah, 2007).
f. Ketidakcukupan gizi
Penyebab utama anemia karena defisiensi zat besi, khususnya
negara berkembang, adalah konsumsi gizi yang tidak memadai. Banyak
orang bergantung hanya pada makanan nabati yang memiliki absorpsi
zat besi yang buruk dan terdapat beberapa zat dalam makanan tersebut
yang mempengaruhi absorpsi besi (Gibney, 2009).
g. Hemoglobinopati
Pembentukan hemoglobin yang abnormal, seperti pada thalasemia
dan anemia sel sabit merupakan faktor non gizi yang penting (Gibney,
2009).
h. Obat dan faktor lainnya
Diantara orang-orang dewasa, anemia defisiensi besi berkaitan
dengan keadaan inflamasi yang kronis seperti arthritis, kehilangan
darah melalui saluran pencernaan akibat pemakaian obat, seperti
aspirin, dalam jangka waktu lama, dan tumor (Gibney, 2009).

5
(http://digilib.unila.ac.id/20876/28/BAB%20II.pdf)
3. Patofisiologi
Transpor oksigen akan terganggu oleh anemia. Kurangnya hemoglobin
atau rendahnya jumlah sel darah merah, menyebabkan kurangnya pasokan
oksigen ke jaringan dan menyebabkan hipoksia. Tubuh berusaha
mengompensasi hipoksi jaringan dengan meningkatkan kecepatan
produksi sel darah merah, meningkatkan curah jantung denyut jantung,
distribusi ulang darah dari jaringan yang membutuhkan sedikit oksigen,
serta menggeser kurva disosiasi hemoglobin – oksigen ke arah kanan
untuk mempermudah pelepasan oksigen ke jaringan pada tekanan parsial
oksigen yang sama. (Black, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Hal: 818)
Anemia terjadi jika produksi hemoglobin sangat berkurang sehingga
kadarnya di dalam darah menurun. World Health Organization (WHO)
merekomendasikan sejumlah nilai cut off untuk menentukan anemia
karena defisiensi zat besi pada berbagai kelompok usia, jenis kelamin, dan
kelompok fisiologis. Meskipun sebagian besar anemia disebabkan oleh
defisiensi zat besi, namun peranan penyebab lainnya (seperti anemia
karena defisiensi folat serta vitamin B12 atau anemia pada penyakit
kronis) harus dibedakan (WHO, 2010).
Menurut Gibney (2009), deplesi zat besi dapat dipilah menjadi tiga
tahap dengan derajat keparahan yang berbeda dan berkisar dari ringan
hingga berat.
a. Tahap pertama meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai
berdasarkan penurunan feritin serum. Meskipun tidak disertai
konsekuensi fisiologis yang buruk, namun keadaan ini
menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dan keseimbangan
besi yang marginal untuk jangka waktu lama sehingga dapat terjadi
defisiensi zat besi yang berat ( Gibney, 2009).

6
b. Tahap kedua ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan
kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada
keadaan ini terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan
protoporfirin eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin
serum (Gibney, 2009).
c. Tahap ketiga defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia defisiensi
zat besi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl (Gibney,
2009).

Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut


Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang
dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran
darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel
darah 18% dan hemoglobin 19% Bertambahnya darah dalam kehamilan
sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya
dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Secara fisiologis, pengenceran
darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat
dengan adanya kehamilan. Perubahan hematologi sehubungan dengan
kehamilan adalah oleh karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat
terhadap plasenta dan pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat
45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi
pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit
menjelang aterm serta kembali normal 3 bulan setelah partus (Setiawan,
2005). (https://eprints.ums.ac.id/16666/2/BAB_I.pdf)

7
4. Manifestasi Klinik
Tanda – tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah
pucat, takikardia, sakit dada, dyspnea, nafas pendek, cepat lelah, pusing,
kelemahan, tinitus, penderita defisiensi yang berat mempunyai rambut
rapuh dan halus, kuku tipis rata mudah patah, atropi papila lidah
mengakibatkan lidah tampak pucat, lucin, mengkilat, merah daging
meradang dan sakit. Manifestasi klinis anemia besi adalah pusing, cepat
lelah, takikardia, sakit kepala, edema mata kaki dan dispnea waktu
bekerja. (https://eprints.ums.ac.id/16666/2/BAB_I.pdf)

5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostic pokok dalam
diagnosis anemia. pemeriksaan ini terdiri dari:
a. Pemeriksaan penyaring (screening test)
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran
kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan apusan darah tepi. Dari sini
dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia
tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
b. Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,
hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak
dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi
hasil yang lebih baik.
c. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini memberi informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitive pada beberapa jenis anemia.

8
d. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:
1) Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding
capacity), saturasi ferin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum,
reseptor transferrin dan pengecatan besi pada sumsum tulang
(Perl’s stain)
2) Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin, dan tes Schiling.
3) Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin, dan lain-lain.
4) Anemia aplastik: biopsy sumsumtulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hemolitik tertentu seperti misalnya


pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau faal tiroid.

(https://respository.umy.ac.id/bitsrteam/handle/123456789/12151/
6.%20BAB%20II.pdf?sequen)

6. Prognosis
Prognosis anemia umumnya baik. Prognosis juga bergantung pada
penyakit penyerta dan komplikasi yang timbul. Dengan terapi yang
adekuat dan tepat, prognosis pasien anemia umumnya baik dan prognosis
akan menjadi buruk apabila terjadi komplikasi seperti penyakit gangguan
ginjal, tumor, dan lainnya.

9
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Keletihan, kelemahan, malaise umum. Kehilgangan produktifitas,
penurunan semangat untuk bekerja, tolerasnsi terhadap latihan rendah.
Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak
b. Sirkulasi
Riwayat kehilangan darah kronis, riwayat endokarditis infektif kronis,
palpitasi
c. Integritas ego
Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pemilihan pengobatan,
misalnya penolakan transfusi darah
d. Eliminasi
Gagal ginjal, gematemesi, diare atau konstipasi
e. Makanan/cairan
Nafsu makan menurun, mual/muntah, berat badan menurun
f. Nyeri/kenyamanan
Lokasi nyeri terutama di daerah abdomen dan kepala
g. Pernapasan
Napas pendek pada saat istirahat maupun aktivitas
h. Seksualitas
Perubahan menstruasi misalnya menoragia, amenore. Menurunnya
fungsi seksual

10
2. Penyimpangan KDM

3. Diagnosa Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin dibuktikan dengan nadi perifer menurun atau
tidak teraba, warna kulit pucat, turgor kulit menurun
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan dispnea saat/setelah
beraktivitas, mengeluh lelah, merasa lemah

11
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme dibuktikan dengan
penurunan berat badan min. 10% di bawah rentang ideal

4. Intervensi

No Diagnosa SLKI SIKI


1 Perfusi perifer Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
tidak efektif intervensi keperawatan 1. Observasi
berhubungan selama 3x24 jam maka a. Periksa sirkulasi perifer
dengan penurunan perfusi perifer (mis. Nadi perifer, edema,
konsentrasi meningkat dengan pengisian kapiler, warna,
hemoglobin kriteria hasil: suhu, anklebranchial index)
dibuktikan dengan 1. Denyut nadi perifer b. Identifikasi faktor risiko
nadi perifer meningkat gangguan sirkulasi (mis.
menurun atau tidak 2. Warna kulit pucat Diabetes, perokok, orang
teraba, warna kulit menurun tua, hipertensi dan kadar
pucat, turgor kulit 3. Pengisian kapiler kolesterol tinggi)
menurun membaik c. Monitor panas, kemerahan,
4. Akral membaik nyeri atau bengkak pada
5. Turgor kulit ekstremitas
membaik 2. Terapeutik
a. Hindari pemasangan infus
atau pengambilan darah di
area keterbatasan perfusi
b. Hindari pengukuran tekanan
darah pada ekstremitas
dengan keterbatasan perfusi
c. Hindari penekanan dan

12
pemasangan toutniquet pada
area yang cedera
d. Lakukan pencegahan infeksi
e. Lakukan perawatan kaki dan
kuku
f. Lakukan hidrasi
3. Edukasi
a. Anjurkan berhenti merokok
b. Anjurkan berolahraga rutin
c. Anjurkan mengecek air
mandi untuk menghindari
kulit terbakar
d. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang tepat
(mis. Melebabkan kulit
kering pada kaki)
e. Anjurkan program
rehabilitasi vaskuler
f. Ajarkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (mis.
Rendah lemah jenuh,
minyak ikan omega 3)
g. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan (mis. Rasa sakit
yang tidak hilang saat
istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)

13
Manajemen sensasi perifer
1. Obaservasi
a. Identifikasi penyebab
perubahan sensasi
b. Identifikasi penggunaan alat
pengikat, prostesis, sepatu,
dan pakaian
c. Periksa perbedaan sensasi
tajam dan tumpul
d. Periksa perbedaan sensai
panas dan dingin
e. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi dan
tekstur benda
f. Monitor terjadinya
parestesia, jika perlu
g. Monitor perubahan kulit
h. Monitor adanya
tromboflebitis dan
tromboemboli vena
2. Terapeutik
a. Hindari pemakaian benda-
benda yang berlebihan
suhunya (terlalu panas atau
dingin)
3. Edukasi
a. Anjurkan penggunaan
termometer untuk menguji

14
suhu air
b. Anjurkan penggunaan
sarung tangan termal saat
memasak
c. Anjurkan memakai sepatu
lembut dan bertumit rendah
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu
b. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu

2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Manajemen energi


berhubungan intervensi selama 2x24 1. Observasi
dengan jam toleransi aktivitas a. Identifikasi gangguan fungsi
ketidakseimbangan membaik dengan tubuh yang mengakibatkan
antara suplai dan kriteria hasil: kelelahan
kebutuhan oksigen 1. Frekuensi nadi b. Monitor kelelahan fisik dan
dibuktikan dengan meningkat emosional
dispnea saat/setelah 2. Keluhan lelah c. Monitor pola dan jam tidur
beraktivitas, menurun d. Monitor lokasi dan
mengeluh lelah, 3. Dispnea saat ketidaknyamanan selama
merasa lemah aktivitas menurun melakukan aktivitas
4. Dispnea setelah 2. Terapeutik
aktivitas menurun a. Sediakan lingkungan nyaman
dan rendah stimulus (mis,
cahaya, suara, kunjungan)
b. Lakukan latihan rentang

15
gerak pasif dan/atau aktif
c. Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
d. Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
3. Edukasi
a. Anjurkan tirah barik
b. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
c. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
d. Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan
3 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
berhubungan intervensi keperawatan 1. Observasi
dengan selama 2x24 jam maka a. Identifikasi status nutrisi
ketidakmampuan status nutrisi membaik b. Identifikasi alergi dan
mencerna dengan kriteria hasil: intoleran makanan
makanan, 1. Porsi makan yang c. Identifikasi makanan yang
peningkatan dihabiskan disukai
kebutuhan meningkat d. Identifikasi kebutuhan kalori
metabolisme 2. Berat badan dan jenis nutrien

16
dibuktikan dengan membaik e. Identifikasi perlunya
penurunan berat 3. Indeks massa tubuh penggunaan selang
badan min. 10% di (IMT) membaik nasogastrik
bawah rentang 4. Frekuensi makan f. Monitor asupan makanan
ideal membaik g. Monitor berat badan
5. Nafsu makan h. Monitor hasil pemeriksaan
membaik laboratorium
6. Membran mukosa 2. Terapeutik
membaik a. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika perlu
b. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis, piramida
makanan)
c. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
d. Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
e. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan,
jika perlu
g. Hentikan pemberian makan
melalui selang nasogastrik
jika asupan oral dapat
ditoleransi

17
3. Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
b. Ajarkan diet yang
diprogramkan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis, pereda nyeri,
antilemetik), jika perlu
b. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu

18
1.2 Leukimia
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Leukimia adalah penyakit keganasan organ pembentuk darah.
Leukimia adalah keganasan paling umum pada anak-anak dan dewasa
muda. Separus dari keseluruhan leukimia diklasifikasikan sebagai akut,
dengan onset cepat dan progresif penyakit mengakibatkan 100% kematian
dalam beberapa hari sampai beberapa bulan tanpa terapi yang tepat.
Sisanya diklasifikasikan sebagai kronis, memiliki perjalanan lebih lambat.
Pada anak-anak, 80% leukimia adalah limfositik dan 20% adalah
nonlimfositik. Pada orang dewasa, persentasenya terbalik, dengan 80%
nonlimfositik. (Black, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Hal:
945)
Leukimia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di
sumsum tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah
putih dengan menyingkirkan jenis sel lain.
Leukimia tampak merupakan penyakit klonal, yang berarti satu sel kanker
abnormal berproliferasi tanpa terkendali, menghasilkan sekelompok sel
anak yang abnormal. Sel-sel ini menghambat semua sel darah lain di
sumsum tulang untuk berkembang secara normal, sehingga mereka
tertimbun di sumsum tulang. (Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi.
Hal:430)

2. Etiologi
Meskipun pada sebagian besar penderita leukimia faktor-faktor
penyebabnya tidak dapat diidentifikasi, tetapi ada beberapa faktor yang
terbukti dapat menyebabkan leukimia, yaitu faktor genetik, sinar
radioaktif, dan virus.

19
a. Faktor genetik
Insiden leukimia akut pada anak-anak penderita sindrom Down
adalah 20 kali lebih banyak daripada normal. Kelainan pada
kromosom 21 dapat menyebabkan leukimia akut. Insidensi leukimia
akut juga meningkat pada penderita kelainan kongenital dengan
aneuloidi, misalnya agranulositosis kongenital, sindrom Ellis van
Greveld, penyakit seliak, sindrom Bloom, anemia fancomi, sindrom
klenefelter, dan sindrom trisomi D
b. Sinar radioaktif
Sinar radiokatif merupakan faktor eksternal yang paling jelas
dapat menyebabkan leukimia pada binatang maupun pada manusia.
Angka kejadian leukimia mioblastik akut (AML) dan leukimia
granulositik kronis (LGK) jelas sekali meningkat sesudah sinar
radioaktif. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa penderita yang diobati
dengan sinar radioaktif akan menderita leukimia pada 6% klien, dan
baru terjadi sesudah 5 tahun
c. Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan
leukimia pada binatang. Sampai sekarang belum dapat dibuktikan
bahwa penyebab leukimia pada manusia adalah virus. Meskipun
demikian, ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus
sebagai penyabab leukimia, yaitu enzyme reverse transcriptase
ditemukan dalam darah manusia. Seperti diketahui enzim ini
ditemukan di dalam virus onkogenik seperti retovirus tipe C, yaitu
jenis virus RNA yang menyebabkan leukimia pada binatang. Enzim
tersebut menyebabkan virus yang bersangkutan dapat membentuk
bahan genetik yang kemudian bergabung dengan genom yang
terinfeksi (Wiwik Handayani, Buku Ajar Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Hal: 88-89)

20
3. Patofisiologi
Leukemia terjadi dari proses mutasi tunggal dari sel progenitor pada
sistem hematopoiesis yang meneyebabkan sel mampu untuk berproliferasi
secara tidak terkontrol yang dapat menjadi suatu keganasan dan sel
prekursor yang tidak mampu berdiferensiasi pada sistem hematopoiesis
(American Cancer Society,2012).
Pada leukemia, terjadi keganasan sel darah pada fase limphoid,
mieloid, ataupun pluripoten. Penyebab dari hal ini belum sepenuhnya
diketahui. Namun diduga berhubungan dengan perubahan susunan dari
rantai DNA. Faktor eksternal juga dinilai mempengaruhi seperti bahan-
bahan obat bergugus alkil, radiasi, dan bahan-bahan kimia. Sedangkan
faktor internal, yaitu kromosom yang abnormal dan perubahan dari
susunan DNA(Wu,2010).
Perubahan susunan dari kromosom mungkin dapat mempengaruhi
struktur atau pengaturan dari sel-sel onkogen. Leukemia pada sel limfosit
B terjadi translokasi dari kromosom pada gen yang normal berproliferasi
menjadi gen yang aktif untuk berproliferasi. Hal ini menyebabkan
limfoblas memenuhi tubuh dan menyebabkan sumsum tulang gagal untuk
berproduksi dan akhirnya menjadi pansitopenia(Wu,2010).
Seiring sumsum tulang gagal, sel-sel yang abnormal bersirkulasi
dalam tubuh dan masuk ke organ-organ lain, seperti hati, limpa, dan mata.
Gangguan pada sistemik ini menyebabkan perubahan pada kadar
hematologi tubuh, terjadi infeksi oportunistik, iatrogenik karena
komplikasi dari kemoterapi(Wu,2010).
(https://repository.usu.ac.id/bitsteam/handle/123456789/64855/Chapte
r%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y)

21
Di dalam sumsum tulang normal, pengaturan efisien menjamin bahwa
proliferasi sel dan maturasi tergolong adekuat untuk memenuhi kebutuhan
seseorang. Sel induk (stem cell) pluripoten melakukan diferensiasi
sepanjang jalur mieloid, eritroid, atau limfoid saat terdapat faktor
pertumbuhan. Pada leukimia, pengendalian hilang atau abnormal.
Leukimia adalah proliferasi leukosit tidak terkontrol. Kekurangan kontrol
ini menyebabkan sumsum tulang normal digantkan oleh leukosit tidak
matang dan leukosit tidak terdiferensiasi, atau sel blast. Leukosit tidak
matang yang abnormal kemudian bersirkulasi di dalam darah dan
menginfiltrasi organ pembentuk darah (hati, limpa, dan nodus limfe) serta
tempat lainnya di seluruh tubuh.
French – American – British (FAB) Cooperative Group
mengembangkan sistem klasifikasi yang diterima secara universal.
Dibawah sistem ini, leukimia akut diklasifikasikan berdasarkan
karakteristik morfologi dan histokimia yang mewarnai sel blast, yang
mengindikasikan persentase sel imatur/ tidak matang pada sumsum tulang.

Leukimia Akut
Leukimia akut disebabkan oleh hambatan di dalam diferensiasi sel
dalam lapisan sel hematopoietik. Akibatnya adalah akumulasi masif sel
imatur, sel non-fungsional atau blast di dalam sumsum tulang atau di
dalam organ lainnya. Leukimia limfoblastik akut (LLA) paling sering
terjadi pada anak (rata-rata 10 tahun). Leukimia nonlimfositik akut
(LNLA), juga disebut sebagai leukimia mieloid akut (LMA), lebih sering
pada orang dewasa (rata-rata 65 tahun).
Leukimia merupakan gangguan klonal berat pada sel tunggal yang
mengalami transformasi, dan sel leukemik selanjutnya berproliferasi.
Paradoks yang menarik adalah bahwa sel leukimia tampak membelah
lebih lambat dan lebih lama untuk menyintetis DNA dibanding melakukan

22
prekursor darah lainnya. Leukimia akut tidak disebabkan oleh proliferasi
seluler yang cepat tetapi cenderung disebabkan oleh penyumbatan
prekursor sel darah. Sel leukemik terakumulasi hebat pada kebanyakan
individu penderita, dan sel leukemik bersaing dengan proliferasi sel
normal. Leukmia akut juga disebut gangguan akumulasi dan gangguan
proliferasi.
Perkembangan leukimia terjadi pada kebanyakan prekursor darah
primitf, sel induk pluripoten, yang menyebabkan peningkatan semua sel
darah lainnya. Blast leukimia, atau sel prekursor, secara harfiah
“memadati” sumsum dan menyebabkan proliferasi seluler dari jalur sel
lainnya untuk berhenti. Sel granulositik, monositik, limfositik, eritrositik,
dan sel induk megakarositik yang normal berhenti berfungsi, yang
menyebabkan pansitopenia (penurunan semua komponen seluler darah).
Transformasi juga mungkin terjadi, paling sering pada rangkaian
granulosit – monosit, tetapi transformasi dapat juga terjadi pada rangkaian
eritrosit.

Leukimia Kronis
Leukimia kronis disebabkan oleh proliferasi tak beraturan sel
hematopoietik atau gangguan kematian sel (apoptosis). Leukimia kronis
diklasifikasikan sebagai LMK atau LLK. LMK berasal ari sel induk
pluripoten. Pada awalnya, sumsum adalah huperseluler dengan banyak sel
normal. Secara khas, apusan darah perifer menunjukkan leukositosis dan
trombositosis dengan peningkatan produksi granulosit
Pada 90% kasus, pemeriksaan sel sumsum tulang selama metafase
menunjukkan translokasi sepanjang lengan kromosom 9 dan 22, yang
disebut kromosom Philadelphia. Setelah perjalanan klinis relatif lambat
selama periode rata-rata 3 – 4 tahun, klien dengan LMK tanpa kecuali
memasuki krisis blast yang menyerupai leukiia akut.

23
Krisis blast mengakibatkan kematian lebih ari 70% klien dengan LMK.
Selama fase ini peningkatan jumlah blast (sel prekursor mieloid tidang
matang, khususnya mieloblast, prekursor granulosit paling primitif)
berproliferasi di dalam darah dan sumsum tulang. Di dalam krisis blast,
blast dan promielosit (tipe sel prekursor mieloid lainnya) melampaui 20%
dalam darah dan 30% dalam sumsum. Peningkatan jaringan fibrotik di
dalam sumsum adalah gejala lain krisis blast. Leukopenia,
trombositopenia dan anemia juga terbukti. Tanpa pengobatan, kematian
biasanya terjadi di dalam 6 bulan setelah onset krisis blast.
Leukimia limfositik kronis, yang ditandai dengan proliferasi limfosit B
dini, adalah leukimia lambat yang sering dijumpai pada pria berusia lebih
dari 50 tahun. Hal ini biasanya terungkap ketika hitung darah lengkap
dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik rutin. Apusan darah
perifer menunjukkan sedikit peningkatan jumlah limfosit yang agak tidak
matang dan matang. Seiring perkembangan penyakit, limfosit
menginfiltrasi nodus limfe, hati, limpa dan akhirnya sumsum tulang.
Sistem stadium didasarkan pada luasnya infiltrasi limfosit. Perkembangan
penyakit mungkin berjalan sampai 15 tahun, dan selama itu klien mungkin
tidak memerlukan terapi. (Black, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Hal: 945-947)

4. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang terjadi pada leukemia pada anak disebabkan
kurangnya sel darah yang normal, karena berlebihannya sel darah normal
yang membentuk sel darah baru pada sumsum tulang belakang. Akibatnya
anak tidak memiliki sel darah merah, sel darah putih, dan platelet yang
cukup. Hal-hal tersebut dapat diketahui pada pemeriksaan darah, namun
dapat juga menyebabkan suatu gejala.

24
Adapun beberapa tanda dan gejala yang ditimbulkan pada anak dengan
leukemia adalah: (American Cancer Society, 2012)
a. Lemah dan kulit yang pucat
Tanda-tanda ini merupakan tanda anemia(kurangnya sel darah merah).
Hal ini menyebabkan anak merasa lemah, lelah, pusing, dan nafas
yang pendek. Hal ini juga dapat menyebabkan kulit menjadi
pucat(American Cancer Society, 2012).
b. Infeksi dan demam
Gejala yang sering ditimbulkan leukemia pada anak adalah demam.
Hal ini sering disebabkan infeksi, bahkan hal ini tidak berpengaruh
setelah diberikan antibiotik sekalipun(American Cancer Society,
2012).
c. Mudah berdarah
Pada penderita leukemia sering terjadi mimisan,gusi berdarah, dan
bahkan perdarahan besar pada luka gores yang kecil. Pada kulit terlihat
bercak-bercak kemerahan yang disebabkan perdarahan pada pembuluh
darah yang kecil. Hal ini disebabkan karena kurangnya platelet normal
yang berfungsi memberhentikan perdarahan(American Cancer
Society, 2012).
d. Nyeri pada tulang atau sendi
Nyeri pada tulang dan sendi disebabkan penumpukan sel-sel darah
muda pada tulang ataupun sendi(American Cancer Society, 2012).
e. Perut yang membesar
Gejala yang jelas terlihat adalah hepatomegali dan spleenomegali. Hal
ini terjadi karena penumpukan sel-sel leukemia menumpuk pada limpa
dan hati(American Cancer Society, 2012).
f. Penurunan selera makan, penurunan berat badan
Gejala penurunan selera makan dan penurunan berat badan disebabkan
pembesaran dari organ pada abdomen penderita. Sehingga banyaknya

25
makanan yang bisa masukpun juga berkurang(American Cancer
Society, 2012).
g. Kelenjar limph yang membengkak
Sel-sel leukemia dapat menyebar pada kelenjar limph. Hal ini
menyebabkan terlihat pembengkakan pada leher, ketiak, atau tempat
lainnya. Untuk mengetahui penyebab pasti biasanya dilakukan
biopsi(American Cancer Society, 2012).
h. Batuk atau gangguan bernafas
Sel T limfosit pada leukemia juga melibatkan kelenjat timus yang
berada di belakang sternum dan di depan trakea. Pembesaran dari
kelenjar limph dapat menyebabkan batuk(American Cancer Society,
2012).
i. Pembesaran pada wajah dan tangan
Pada leukemia, terjadi Superior Vena Cava (SVC) syndrome. Hal ini
disebabkan karena pembesaran kelenjar timus yang dilalui oleh vena
cava superior sehingga menyebabkan pembengkakan wajah dan
tangan penderita(American Cancer Society, 2012).
j. Nyeri kepala, kejang, muntah
Pada leukemia, terjadi penyebaran ke seluruh tubuh. Nyeri kepala
yang di timbulkan karena sel-sel leukemia telah menyebar hingga
otak. Selain itu pandangan kabur juga menjadi gejala leukemia yang
menyebar hingga sistem saraf pusat(American Cancer Society, 2012).
k. Ruam, masalah gusi
Pada penderita leukemia mieloblastik akut terjadi pembesaran gusi
karena sel-sel leukemia menyebar pada gusi(American Cancer
Society, 2012).

26
l. Kelemahan pada alat gerak
Gangguan ini jarang ditemukan. Namun hal ini terjadi karena
penumpukan sel-sel leukemia yang sangat banyak pada
exxtremitas(American Cancer Society, 2012).
(https://repository.usu.ac.id/bitsteam/handle/123456789/64855/Chapte
r%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y)

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes darah
Tes darah yang dilakukan diambil dari vena pada lengan atau dari jari
tangan perifer. Pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat kadar
hematologi pasien. Pemeriksaan apusan darah tepi juga dilakukan
untuk melihat morfologi dari sel darah. Pada pasien dengan leukemia,
akan ditemukan sel darah putih yang sangat banyak dibandingnkan sel
darah merah dan platelet yang sedikit(American Cancer Society,
2012).
b. Aspirasi sumsum tulang dan biopsi
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi dilakukan secara bersamaan.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi ini dilakukan untuk mendiagnosa
leukemia dan diulangi kembali untuk melihat respon dari
pengobatan(American Cancer Society, 2012).
Aspirasi sumsum tulang merupakan “gold standard” dari diagnosa
leukemia. Tidak hanya indikasi diagnosa, namun indikasi menentukan
jenis sel dan monitoring pengobatan seperti gangguan
limfoblastik.(Wise-Draper T, 2012)
c. Lumbal pungsi
Lumbal pungsi dilakukan untuk melihat apakah ada sel leukemia pada
CSF. Pada anak dengan leukemia, lumbal pungsi dilakukan sebagai
terapi metastasis ke CNS untuk kemoterapi. Melalui lumbal pungsi

27
diberikan bahan kemoterapi menuju cairan serebrospinal sehingga
mencegah sel-sel leukemia ada di sistem saraf pusat(American Cancer
Society, 2012).
d. Biopsi kelenjar limph
Biopsi kelenjar limph penting untuk mendiagnosa limphoma. Pada
anak dengan leukemia hal ini jarang dilakukan. Biopsi kelenjar limph
dilakukan bersamaan dengan proses pembedahan untuk pengobatan
atas indikasi tertentu(American Cancer Society, 2012).
(https://repository.usu.ac.id/bitsteam/handle/123456789/64855/Chapte
r%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y)

6. Prognosis
Dalam pengobatan modern, angka remisinya 50-75%, tetapi angka
rata-rata hidup masih dua tahun dan yang dapat hidup lebih dari lima
tahun hanya 10%. Prognosis LLA pada anak-anak pada umumnya baik,
lebih dari 95% terjadi remisi sempurna. Kira-kira 70-80% dari klien bebas
gejala selama 5 tahun. Apabila terjadi relaps, remisi sempurna kedua dapat
terjadi pada sebagian besar kasus. Para klien merupakan kandidat untuk
implantasi sumsum tulang dengan 35-65% kemungkinan hidup lebih
lama.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
Kaji keseluruhan riwayat kesehatan dari klien dan anggota keluarga
untuk membantu diagnosis dan pngobatan. Riwayat dan pemeriksaan awal
memberikan data dasar untuk memfasilitasi pengkajian komplikasi
kemoterapi ablatif dan terapi radiasi. Keparahan dan lamanya gejala
leukimia adalah fakta penting untuk mengkaji dan mendokumentasikan.

28
Tanyakan klien mengenai faktor risiko dan faktor penyebab. Usia penting
untuk dicatat karena insiden leukimia meningkat dengan usia. Riwayat
pekerjaan klien dan hobi juga memberikan petunjuk mengenai paparan
lingkungan. Sakit sebelumnya dan riwayat medis mungkin
mengindikasikan faktor risiko.
Oleh karena leukimia meningkatkan risiko infeksi akibat dari
kehilangan fungsi sel darah putih, tanyakan mengenai frekuensi dan
keparahan infeksi, seperti flu, pneumonia, bronkitis, dan demam yang
tidak diketahui sebabnya selama 6 bulan terakhir. Leukimia mengurangi
produksi sel darah merah. Klien mungkin melaporkan intoleransi aktivitas,
sesak napas, sakit kepala akibat dari hipoksia serebral, peningkatan rasa
kantuk, penurunan jangka perhatian, anoreksia dan penurunan berat badan.
Kehilangan fungsi trombosit meningkatkan risiko perdarahan. Klien
mungkin melaporkan kecenderungan perdarahan atau mudah memar
(misalnya mimisan), ketidakmampuan untuk menghentikan perdarahan
akibat sayatan kecil, perdarahan gusi ketika menggosok gigi, peningkatan
aliran menstruasi, atau darah di dalam urine atau feses.
Pengkajian lengkap dari kepala sampai ujung kaki dilakukan. Klien
dengan leukimia atau krisis blast mengalami takikardia, hipotensi,
takipnea, murmur atau bising, dan peningkatan waktu pengisian kembali
kapiler akibat hitung sel darah merah rendah. Kulit dan membran mukosa
menunjukkan bukti memar dan perdarahan. Petekie (muncul bercak merah
kecil) mungkin ada. Pembesaran limfonodi mungkin ada. Jika sel leukimia
telah menginfiltrasi limpa atau hati, nyeri tekan perut mungkin tercatat.
Jika sel leukimia telah menginfiltrasi otak, klien dapat mengalami
kebingungan, kejang atau menjadi koma.
Hubungan terapeutik yang dibina selama pengkajian digunakan untuk
mendukung kebutuhan psikososial klien dan keluarganya. Leukimia
adalah penyakit yang mengancam jiwa, dan bekerja dengan klien dan

29
keluarganya sebagai tim adalah hal yang bermanfaat. Mengedukasi klien
adalah proses terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman penyakit
dan membantu mendapatkan kepatuhan terhadap pengobatan.
Peran keperawatan selama fase akut leukimia sangat menantang
karena klien mempunyai banyak kebutuhan fisik dan psikososial. Terapi
modern menawarkan harapan remisi dan kemungkinan sembuh untuk
beberapa klien, tetapi leukimia masih sebuah diagnosis yang setara dengan
nyeri, terapi jangka panjang yang mahal, dan potensial kematian.
2. Penyimpangan KDM

30
3. Diagnosa Keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan suplai oksigen ke
jaringan menurun dibuktikan dengan warna kulit pucat, turgor kulit
menurun
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
dibuktikan dengan penggunaan otot bantu pernapasan, pola napas
abnormal
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (infeksi) dibuktikan
dengan suhu diatas nilai normal
d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder
e. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi dibuktikan dengan
frekuensi nadi meningkat, mengeluh nyeri, sulit tidur
f. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
metabolisme dibuktikan dengan berat badan menurun

4. Intervensi

No Diagnosa SLKI SIKI


1 Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
efektif berhubungan intervensi keperawatan 4. Observasi
dengan suplai selama 3x24 jam maka d. Periksa sirkulasi perifer
oksigen ke jaringan perfusi perifer meningkat (mis. Nadi perifer,
menurun dibuktikan dengan kriteria hasil: edema, pengisian kapiler,
dengan warna kulit 6. Denyut nadi perifer warna, suhu,
pucat, turgor kulit meningkat anklebranchial index)
menurun 7. Warna kulit pucat e. Identifikasi faktor risiko
menurun gangguan sirkulasi (mis.
8. Pengisian kapiler Diabetes, perokok, orang

31
membaik tua, hipertensi dan kadar
9. Akral membaik kolesterol tinggi)
10. Turgor kulit membaik f. Monitor panas,
kemerahan, nyeri atau
bengkak pada ekstremitas
5. Terapeutik
g. Hindari pemasangan
infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan
perfusi
h. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
i. Hindari penekanan dan
pemasangan toutniquet
pada area yang cedera
j. Lakukan pencegahan
infeksi
k. Lakukan perawatan kaki
dan kuku
l. Lakukan hidrasi
6. Edukasi
h. Anjurkan berhenti
merokok
i. Anjurkan berolahraga
rutin
j. Anjurkan mengecek air

32
mandi untuk menghindari
kulit terbakar
k. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat (mis. Melebabkan
kulit kering pada kaki)
l. Anjurkan program
rehabilitasi vaskuler
m. Ajarkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi (mis. Rendah
lemah jenuh, minyak ikan
omega 3)
n. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan (mis. Rasa
sakit yang tidak hilang
saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa)
Manajemen sensasi perifer
5. Obaservasi
i. Identifikasi penyebab
perubahan sensasi
j. Identifikasi penggunaan
alat pengikat, prostesis,
sepatu, dan pakaian
k. Periksa perbedaan sensasi
tajam dan tumpul

33
l. Periksa perbedaan sensai
panas dan dingin
m. Periksa kemampuan
mengidentifikasi lokasi
dan tekstur benda
n. Monitor terjadinya
parestesia, jika perlu
o. Monitor perubahan kulit
p. Monitor adanya
tromboflebitis dan
tromboemboli vena
6. Terapeutik
b. Hindari pemakaian
benda-benda yang
berlebihan suhunya
(terlalu panas atau
dingin)
7. Edukasi
d. Anjurkan penggunaan
termometer untuk
menguji suhu air
e. Anjurkan penggunaan
sarung tangan termal saat
memasak
f. Anjurkan memakai
sepatu lembut dan
bertumit rendah
8. Kolaborasi

34
c. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu
d. Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu

2 Pola napas tidak Setelah dilakukan Manajemen jalan napas


efektif berhubungan intervensi keperawatan 1. Observasi
dengan hambatan selama 2x24 jam maka a. Monitor pola napas
upaya napas pola napas membaik (frekuensi, kedalaman,
dibuktikan dengan dengan kriteria hasil: usaha napas)
penggunaan otot 1. Ventilasi semenit b. Monitor bunyi napas
bantu pernapasan, meningkat tambahan (mis, gurgling,
pola napas abnormal 2. Kapasitas vital mengi, wheezing, ronkhi
meningkat kering)
3. Tekanan ekspirasi c. Monitor sputum (jumlah,
meningkat warna, aroma)
4. Tekanan ekspirasi 2. Terapeutik
meningkat a. Pertahankan kepatenan
5. Dispnea menurun jalan napas dengan head-
6. Pengguanaan otot lit dan chin-lift (jaw-
bantu napas menurun thrust jika curiga trauma
7. Pemanjangan fase servikal)
ekspirasi menurun b. Posisikan semi-fowler
8. Frekuensi napas atau fowler
membaik c. Berikan minum hangat
9. Kedalaman napas d. Lakukan fisioterapi dada,
membaik jika perlu
e. Lakukan penghisapan

35
lendir kurang dari 15
detik
f. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
g. Keluarkan sumabatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b. Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

Pemantauan respirasi
1. Observasi
a. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya
napas
b. Monitor pola napas

36
(seperti bradinea,
takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-Stokes,
Biot, ataksik)
c. Monitor kemampuan
batuk efektif
d. Monitor adanya produksi
sputum
e. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
f. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi oksigen
i. Monitor nilai AGD
j. Monitor hasil x-ray
toraks
2. Terapeutik
a. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.

37
3 Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen hipertermia
berhubungan dengan intervensi selama 2x24 1. Bbservasi
proses penyakit jam termoregulasi a. Identifikasi penyebab
(infeksi) dibuktikan membaik dengan kriteria hipertermia (mis.
dengan suhu diatas hasil: Dehidrasi, terpapar
nilai normal 1. Menggigil menurun lingkungan panas,
2. Kejang menurun penggunaan inkubator)
3. Takikardia menurun b. Monitor suhu tubuh
4. Takipnea menurun c. Monitor kadar elektrolit
5. Bradikardi menurun d. Monitor haluaran urine
6. Hipoksia menurun e. Monitor komplikasi akibat
7. Suhu tubuh membaik hipertermia
8. Suhu kulit membaik 2. Terapeutik
9. Tekanan darah a. Sediakan lingkungan yang
membaik dingin
b. Longgarkan atau lepaskan
pakaian
c. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
d. Berikan cairan oral
e. Ganti linen setiap hari atau
lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
f. Lakukan pandingan
eksternal (mis, selimut
hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher,

38
dada, abdomen, aksila)
g. Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
h. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
4 Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
berhubungan dengan intervensi keperawatan 1. Observasi
ketidakadekuatan selama 2x24 jam tingkat a. Monitor tanda dan gejala
pertahanan tubuh infeksi menurun dengan infeksi lokal dan sistemik
sekunder kriteria hasil: 2. Terapeutik
1. Demam menurun a. Batasi jumlah
2. Kemerahan menurun pengunjung
3. Nyeri menurun b. Berikan perawatan kulit
4. Bengkak menurun pada area edema
5. Kadar sel darah putih c. Cuci tangan sebelum dan
membaik sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
pasien
d. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien
beresiko tinggi

39
3. Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
b. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
c. Ajarkan etika batuk
d. Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
e. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
f. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

5 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


berhubungan dengan intervensi selama 2x24 1. Observasi
proses inflamasi jam tingkat nyeri a. Identifikasi lokasi,
dibuktikan dengan menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
frekuensi nadi hasil: frekuensi, kualitas,
meningkat, 1. Keluhan nyeri intensitas nyeri
mengeluh nyeri, sulit menurun b. Identifikasi skala nyeri
tidur 2. Meringis menurun c. Identifikasi respons nyeri
3. Sikap protektif non verbal
menurun d. Identifikasi faktor yang

40
4. Gelisah menurun memperberat dan
5. Kesulitan tidur memperingan nyeri
menurun e. Identifikasi pengetahuan
6. Frekuensi nadi dan keyakinan tentang
membaik nyeri
7. pola tidur membaik f. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
g. Identifikasi pengaruh
nyeri terhadap kualitas
hidup
h. Monitor keberhasialan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
i. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
b. Kontrol lingkungan yang

41
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
c. Fasilitasi istrahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
6 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
berhubungan dengan intervensi keperawatan 5. Observasi
peningkatan selama 2x24 jam maka i. Identifikasi status nutrisi
kebutuhan status nutrisi membaik j. Identifikasi alergi dan
metabolisme dengan kriteria hasil: intoleran makanan

42
dibuktikan dengan 7. Porsi makan yang k. Identifikasi makanan
berat badan menurun dihabiskan meningkat yang disukai
8. Berat badan membaik l. Identifikasi kebutuhan
9. Indeks massa tubuh kalori dan jenis nutrien
(IMT) membaik m. Identifikasi perlunya
10. Frekuensi makan penggunaan selang
membaik nasogastrik
11. Nafsu makan n. Monitor asupan makanan
membaik o. Monitor berat badan
12. Membran mukosa p. Monitor hasil
membaik pemeriksaan
laboratorium
6. Terapeutik
h. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu
i. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis,
piramida makanan)
j. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
k. Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
l. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
m. Berikan suplemen

43
makanan, jika perlu
n. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi

7. Edukasi
c. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
d. Ajarkan diet yang
diprogramkan
8. Kolaborasi
c. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
(mis, pereda nyeri,
antilemetik), jika perlu
d. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu

44
Daftar Pustaka

Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan, Volume 2, Singapore: Elsevier

Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik, Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Jakarta: DPP PPNI

Wiwik Handayani. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi, Jakarta: Salemba Medika

https://eprints.ums.ac.id/16666/2/BAB_I.pdf

http://digilib.unila.ac.id/20876/28/BAB%20II.pdf

https://eprints.ums.ac.id/16666/2/BAB_I.pdf

https://respository.umy.ac.id/bitsrteam/handle/123456789/12151/6.%20BAB%20II.p
df?sequen

https://repository.usu.ac.id/bitsteam/handle/123456789/64855/Chapter%20II.pdf?seq
uence=3&isAllowed=y

45

You might also like