You are on page 1of 56

1.

1 Pneumonia
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru, dengan
beberapa atau seluruh alveoli terisi cairan dan sel-sel darah. Jenias
pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterial, yang paling sering
disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam
alveoli; membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang
sehingga cairan dan bahkan sek darah merah dan sel darah putih keluar
dari darah masuk ke dalam alveoli. (Guyton & Hall, Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. 2014. Hal: 554-555)
Pneumonia, infeksi akut pada jaringan napas bagian bawah. Sebagian
besar pneumonia disebabkan oleh bakteri, yang terjadi secara primer atau
sekunder setelah infeksi virus. (Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi.
2009. Hal: 541)
Pneumonia (pneumonitis) merupakan proses inflamasi pada parenkim
paru yang biasanya berhubungan dengan peningkatan cairan alveolar dan
interstisial. Diantara semua infeksi nosokomial (didapat di rumah sakit),
pneumonia adalah yang tersering kedua, tetapi memiliki angka kematian
paling tinggi. (Black, Keperawatan Medikal Bedah. 2014. Hal: 313)

2. Etiologi
Terdapat banyak penyebab pneumonia, termasuk bakteri, virus,
mikoplasma, agen jamur, dan protozoa. Pneumonia dapat juga berasal dari
aspirasi makanan, cairan, atau muntahan atau dari asap beracun atau bahan
kimia berbahaya, asap, debu, atau gas. Pneumonia dapat menyebabkan
komplikasi pada orang dengan imobilitas atau penyakit kronis. Pneumonia
sering kali mengikuti influenza dan menjadi penyebab kematian nomor
tujuh di Amerika Serikat, dan merupakan penyebab kematian kelima pada

1
orang tua di atas 65 tahun. (Black, Keperawatan Medikal Bedah. 2014.
Hal: 313)
Sebagian besar penyebab Pneumonia adalah mikroorganisme (virus,
bakteri), dan sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon
(minyak tanah, bensin, atau sejenisnya) dan masuknya makanan,
minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran pernapasan (aspirasi).
Berbagai penyebab pneumonia tersebut dikelompokkan berdasarkan
golongan umur, berat ringannya penyakit dan penyulit yang menyertainya
(komplikasi).
Mikroorganisme tersering sebagai penyebab Pneumonia adalah virus,
terutama Respiratory Syncial Virus (RSV) yang mencapai 40%;
sedangkan golongan bakteri yang ikut berperan terutama Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae typer b (Hib).
Awalnya mikroorganisme masuk melalui percikan ludah (droplet),
kemudian terjadi penyebaran mikroorganisme dari saluran napas bagian
atas ke jaringan (parenkim) paru dan sebagian kecil karena penyebaran
melalui aliran darah. (Misnadiarly, Penyakit Infeksi Saluran Napas
Pneumonia pada Anak, Dewasa, dan Usia Lanjut. 2009. Hal: 29)

3. Patofisiologi
Streptococcus pneumoniae, penyebab utama pneumonia bakterial,
biasanya berdiam diri pada nasofaring dan muncul tanpa gejala pada 20-
50% orang sehat. Merupakan kasus pneumonia yang paling sering terjadi.
Infeksi virus meningkatkan pengikatan S. pneumoniae pada reseptor di
epitelium pernapasan. Sekali terhirup ke dalam alveolus, pneumokokus
menginfeksi sel alveolus tipe II. Mereka berkembang biak dalam alveolus
dan menginvasi epitel alveolus. Pneumokokus menyebar dari alveolus ke
alveolus lainnya melalui pori-pori Kohn, sehingga menyebabkan inflamasi
dan konsolidasi lobus. Kantong alveolus yang mengalami inflamasi dan

2
terisi cairan tidak dapat menukar oksigen dengan karbondioksida dengan
efektif. Eksudasi alveolus cenderung kental, sehingga sangat sulit
dikeluarkan dengan cara batuk. Pneumonia bakterial dapat berhubungan
dengan gangguan ventilasi perfusi yang signifikan saat infeksi makin
parah. (Black, Keperawatan Medikal Bedah. 2014. Hal: 313-314)
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan
lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.3 Dalam keadaan sehat, pada
paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri
di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi
langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4)
Kolonosiasi di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang
terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria
dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur
(50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi
bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia. Basil yang masuk bersama sekret bronkus

3
ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh
alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel
PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi
perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak empat zona pada
daerah pasitik parasitik terset yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang
tersisi dengan bakteri dan cairan edema; 2) Zona permulaan konsolidasi
(red hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat
terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak; 4) Zona
resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag.
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f331a8a1e413
579027127d4509a339e5.pdf)

4. Manifestasi Kinis
Pneumonia awal ditandai dengan salah satu manifestasi berikut;
demam, menggil, berkeringat, ras lelah, batuk, produksi sputu, dan
dispnea. Gejala yang lebih jarang antara lain hemoptosis, nyeri dada
pleuritik, dan sakit kepala. Klien lansia mungkin tidak mengalami demam
atau gejala pernapasan, tetapi mengalami gangguan status kesadaran dan
dehidrasi.
Auskultasi dada akan menunjukkan suara napas bronkial pada bagian
yang mengalami konsolidasi (tampak sebagai area putih pekat pada
rontgen dada). Jaringan paru yang mengalami konsolidasi menghantarkan
gelombang suara bronkial ke bagian paru-paru luar. Suara bising (dari
cairan di interstisial dan area alveolus) dan bisikan pectoriloquy

4
(penghantaran suara seperti bisikan kata-kata di sepanjang dinding dada)
dapat didengar di atas area yang terserang. Taktil fremitus biasanya
meningkat pada area dengan pneumonia, sementara suara perkusi menjadi
tumpul. Jika sebagian besar jaringan paru terserang, ekspansi dinding dada
yang tidak sama dapat terjadi saat inspirasi. Hal ini terjadi karena
penurunan distensibilitas pada bagian yang terserang.
Rontgen dada memberikan informasi mengenai lokasi dan luasnya
konsolidasi pneumonia. Diagnosis pasti biasnaya ditentukan
menggunakan analisis kultur sputum dan uji sensitivitas atau serologi.
Bronkoskopi serat-optik atau aspirasi/biopsi jarum transkutan dapat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan tambahan antara
lain (1) analisis kadar oksigen transkutan atau gas darah arteri (AGD)
untuk menentukan perlu tidaknya tambahan oksigen, (2) uji kulit, jika
diduga ada tuberkulosis atau kokidioidomikosis, serta (3) kultur darah dan
urine untuk mengkaji penyebaran sistemik. (Black, Keperawatan
Medikal Bedah. 2014. Hal: 314)

Gejala pneumonia hampir sama untuk semua jenis pneumonia, tetapi


terutama mencolok pada pneumonia yang disebabkan bakteri.
a. Peningkatan frekuensi napas yang bermakna. Frekuensi pernapasan
normal dan abnormal bervariasi sesuai usia, pada bayi dan anak-anak
yang masih kecil memiliki frekuensi napas normal yang lebih cepat
dibandingkan anak-anak yang sudah besar dan orang dewasa
b. Demam dan menggigil akibat proses inflamasi dan batuk yang sering
kali produktif, purulen, dan terjadi sepanjang hari; bayi mungkin
terdengar mendengkur sebagai upaya untuk memperbaiki aliran udara
c. Nyeri dada akibat iritasi pleura. Nyeri mungkin meluas atau menjalar
ke area abdomen

5
d. Sputum berwarna merah karat (untuk Streptococcus pneumoniae),
merah muda (untuk Staphylococcus aureus), atau kehijauan dengan
bau khas (untuk Pseudomonas aeruginosa)
e. Bunyi crackle, bunyi paru tambahan ketika jalan napas terbuka tiba-
tiba, merupakan indikasi adanya infeksi jalan napas bawah
f. Terdengar mengi, yaitu bunyi bernada tinggi yang terdengar ketika
udara masuk ke orifium atau lubang yang sempit, sehingga
menyumbat aliran udara
g. Keletihan akibat reaksi inflamasi dan hipoksia, apabila infeksinya
serius
h. Nyeri pleura akibat proses inflamasi dan edema
i. Biasanya sering terjadi respons subjektif dispnua. Dispnea adalah
perasaan sesak atau kesulitan bernapas, yang dapat disebabkan
penurunan pertukaran gas
Hemoptisis, yaitu batuk darah dapat terjadi akibat cedera toksin
langsung pada kapiler, atau akibat reaksi inflamasi yang menyebabkan
kerusakan kapiler. (Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi. 2009. Hal:
543-544)

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Chest X-ray. Teridentifikasi adanya penyebaran (misal; lobus dan
bronkhial); dapat juga menunjukkan multipel abses/infiltrat, empiema
(Staphylococcus); penyebaran atau lokasi infiltrasi (bakterial); atau
penyebaran/extensive nodul infiltrat (sering kali viral), pada
pneumonia mycoplasma chest x-ray mungkin bersih.
b. Analisis gas darah (Analysis Blood Gasses- ABGs) dan Pulse
Oximetry: abnormalitas mungkin timbul tergantung dari luasnya
kerusakan paru-paru.

6
c. Pewarnaan Gram/Culture Sputum dan Darah: didapatkan dengan
needle biopsy, aspirasi transtrakheal, fiberoptic bronchoscopy, atau
biopsi paru-paru terbuka untuk mengeluarkan organisme penyebab.
Lebih dari satu organisme yang dapat ditemukan, seperti Diplococcus
pneumoniae. Staphylococcus aureus, A. hemolytic streptococcus, dan
Hemophilus influenza.
d. Periksa Darah Lengkap (Complete Blood Count – CBC):
leukositosis biasanya timbl, meskipun nilai pemeriksaan darah putih
(white blood count – WBC) rendah pada infeksi virus.
e. Tes Serologi: membantu dalam membedakan diagnosis pada
organisme secara spesifik
f. LED: meningkat
g. Pemeriksaan Fungsi Paru-paru: volume mungkin menurun
(kongesti dan kolaps alveolar); tekanan saluran udara meningkat dan
kapasitas pemenuhan udara menurun, hipoksemia
h. Elektrolit: sodium dan klorida mungkin rendah
i. Bilirubin mungkin meningkat.
(Somantri, Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. 2007. Hal: 70)

6. Prognosis
Kejadian PK di Amerika Serikat adalah 3,4-4 juta kasus per tahun, dan
20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum, angka kematian
pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun dapat
meningkat pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia
dengan influenza di Amerika Serikat merupakan penyebab kematian
terbesar ke-6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut
usia, yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien PK yang dirawat di ICU adalah

7
sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor
modifikasi yang ada pada pasien.
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f331a8a1e413
579027127d4509a339e5.pdf)

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a) Identitas
b) Fokus Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji :
1) Riwayat penyakit
Demam, batuk, pilek, anoreksia, badan lemah/tidak bergairah,
riwayat penyakit pernapasan, pengobatan yang dilakukan di
rumah dan penyakit yang menyertai.
2) Tanda fisik
Demam, dyspneu, tachipneu, menggunakan otot pernafasan
tambahan, faring hiperemis, pembesaran tonsil, sakit menelan.
3) Faktor perkembangan : umum, tingkat perkembangan, kebiasaan
sehari-hari, mekanisme koping, kemampuan mengerti tindakan
yang dilakukan.
4) Pengetahuan pasien/ keluarga: pengalaman terkena penyakit
pernafasan, pengetahuan tentang penyakit pernafasan dan tindakan
yang dilakukan
c) Pemeriksaan Fisik
1) Status penampilan kesehatan : lemah
2) Tingkat kesadaran kesehatan : kesadaran normal, letargi, strupor,
koma, apatis tergantung tingkat penyebaran penyakit
3) Tanda-tanda vital
i. Frekuensi nadi dan tekanan darah : Takikardi, hipertensi

8
ii. Frekuensi pernapasan : takipnea, dispnea progresif,
pernapasan dangkal, penggunaan otot bantu pernapasan,
pelebaran nasal.
iii. Suhu tubuh : Hipertermi akibat penyebaran toksik
mikroorganisme yang direspon oleh hipotalamus.
4) Berat badan dan tinggi badan
Kecenderungan berat badan anak mengalami penurunan.
5) Integumen
Kulit
i. Warna : pucat sampai sianosis
ii. Suhu : pada hipertermi kulit terbakar panas akan tetapi
setelah hipertermi teratasi kulit anak akan teraba dingin.
iii. Turgor : menurun ketika dehidrasi
6) Kepala dan mata
Kepala
i. Perhatikan bentuk dan kesimetrisan
ii. Palpasi tengkorak akan adanya nodus atau pembengkakan
yang nyata
iii. Periksa higine kulit kepala, ada tidaknya lesi, kehilangan
rambut, perubahan warna.
7) Sistem Pulmonal
i. Inspeksi : Adanya PCH - Adanya sesak napas, dyspnea,
sianosis sirkumoral, distensi abdomen. Batuk : Non
produktif Sampai produktif dan nyeri dada.
ii. Palpasi : Fremitus raba meningkat disisi yang sakit, hati
kemungkin membesar.
iii. Perkusi : Suara redup pada paru yang sakit.
iv. Auskultasi : Rankhi halus, Rankhi basah, Tachicardia.

9
8) Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala.
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah
vasokontriksi, kualitas darah menurun.
9) Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang.
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi.
10) Sistem Genitourinaria
Subyektif : mual, kadang muntah.
Obyektif : konsistensi feses normal/diare.
11) Sistem Digestif
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
12) Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah.
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru
dan penggunaan otot aksesoris pernafasan.

10
2. Penyimpangan KDM

11
3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi sputum dibuktikan dengan batuk tidak efektif
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan tekanan
kapiler alveolus dibuktikan dengan takikardia
c. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan parenkim paru dibuktikan
dengan frekuensi nadi meningkat
d. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi dibuktikan dengan
suhu tubuh diatas nilai normal
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen dibuktikan dengan mengeluh lelah.
(DPP PPNI, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 2016. Hal:
18, 22, 172, 284, 128)

4. Intervensi
No Diagnosa SLKI SIKI
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
napas tidak efektif intervensi keperawatan 1. Observasi
berhubungan selama 2x24 jam maka a. Identifikasi kemampuan
dengan bersihan jalan napas batuk
peningkatan meningkat dengan b. Monitor adanya retensi
produksi sputum kriteria hasil: sputum
dibuktikan dengan 1. Batuk efektif c. Monitor tanda dan gejala
batuk tidak efektif meningkat infeksi saluran napas
2. Produksi sputum d. Monitor input dan output
menurun cairan (mis, jumlah dan
3. Mengi menurun karakteristik)
4. Wheezing menurun

12
5. Dispnea menurun 2. Terapeutik
6. Ortopnea menurun a. Atur posisi semi-fowler atau
7. Gelisah menurun fowler
8. Frekuensi napas b. Buang sekret pada tempat
membaik sputum
9. Pola napas 3. Edukasi
membaik a. Jelaskan tujuan dan prosedur
batuk efektif
b. Anjurkan tarik napas dalam
melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
c. Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik napas
dalam yang ke – 3
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu.

Manajemen Jalan Napas


1. Observasi
a. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman, usaha
napas)
b. Monitor bunyi napas
tambahan (mis, gurgling,

13
mengi, wheezing, ronkhi
kering)
c. Monitor sputum (jumlah,
warna, aroma)
2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan jalan
napas dengan head-lit dan
chin-lift (jaw-thrust jika
curiga trauma servikal)
b. Posisikan semi-fowler atau
fowler
c. Berikan minum air hangat
d. Lakukan fisioterapi dada,
jika perlu
e. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
f. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
g. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b. Ajarkan teknik batuk efektif

14
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

Pemantauan Respirasi
1. Observasi
a. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya napas
b. Monitor pola napas (seperti
bradinea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul,
Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
c. Monitor kemampuan batuk
efektif
d. Monitor adanya produksi
sputum
e. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
f. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi oksigen
i. Monitor nilai AGD
j. Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
a. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi

15
pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
2 Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
pertukaran gas intervensi selama 2x24 1. Observasi
berhubungan jam pertukaran gas a. Monitor frekuensi, irama,
dengan meningkat dengan kedalaman dan upaya napas
peningkatan kriteria hasil: b. Monitor pola napas (seperti
tekanan kapiler 1. Tingkat kesadaran bradibnea, takipnea,
alveolus meningkat hiperventilasi, Kussmaul,
dibuktikan dengan 2. Dispnea menurun Cheyne-Stokes, biot, ataksik)
takikardia 3. Bunyi napas c. Monitor kemampuan batuk
tambahan menurun efektif
4. PCO2 membaik d. Monitor adanya produksi
5. PO2 membaik sputum
6. Takikardia e. Monitor adanya sumbatan
membaik jalan napas
7. pH arteri membaik f. Palpasi kesimetrisan ekspansi
8. pola napas paru
membaik g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi oksigen

16
2. Terapeutik
a. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

Terapi Oksigen
1. Observasi
a. Monitor kecepatan aliran
oksigen
b. Monitor posisi alat terapi
oksigen
c. Monitor aliran oksigen secara
periodik dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
d. Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis, oksimetri,
analisa gas darah), jika perlu
e. Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
f. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi

17
g. Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
atelektasis
h. Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen
i. Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
2. Terapeutik
a. Bersihkan sekret pada mulut,
hidung dan trakea, jika perlu
b. Pertahankan kepatenan jalan
napas
c. Siapkan dan atur peralatan
pemberian oksigen
d. Berikan oksigen tambahan,
jika perlu
e. Tetap berikan oksigen saat
pasien ditransportasi
f. Gunakan perangkat oksigen
yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
3. Edukasi
a. Ajarkan pasien dan keluarga
cara menggunakan oksigen
dirumah

18
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
b. Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas dan/
atau tidur
3 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan intervensi selama 2x24 1. Observasi
dengan kerusakan jam tingkat nyeri a. Identifikasi lokasi,
parenkim paru menurun dengan karakteristik, durasi,
dibuktikan dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas, intensitas
frekuensi nadi 1. Keluhan nyeri nyeri
meningkat menurun b. Identifikasi skala nyeri
2. Meringis menurun c. Identifikasi respons nyeri non
3. Sikap protektif verbal
menurun d. Identifikasi faktor yang
4. Gelisah menurun memperberat dan
5. Kesulitan tidur memperingan nyeri
menurun e. Identifikasi pengetahuan dan
6. Frekuensi nadi keyakinan tentang nyeri
membaik f. Identifikasi pengaruh budaya
7. pola tidur membaik terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri
terhadap kualitas hidup
h. Monitor keberhasialan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
i. Monitor efek samping

19
penggunaan analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
c. Fasilitasi istrahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat

20
e. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
4 Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen hipertermia
berhubungan intervensi selama 2x24 1. Bbservasi
dengan proses jam termoregulasi a. Identifikasi penyebab
infeksi dibuktikan membaik dengan hipertermia (mis. Dehidrasi,
dengan suhu tubuh kriteria hasil: terpapar lingkungan panas,
diatas nilai normal 1. Menggigil menurun penggunaan inkubator)
2. Kejang menurun b. Monitor suhu tubuh
3. Takikardia menurun c. Monitor kadar elektrolit
4. Takipnea menurun d. Monitor haluaran urine
5. Bradikardi menurun e. Monitor komplikasi akibat
6. Hipoksia menurun hipertermia
7. Suhu tubuh 2. Terapeutik
membaik a. Sediakan lingkungan yang
8. Suhu kulit membaik dingin
9. Tekanan darah b. Longgarkan atau lepaskan
membaik pakaian
c. Basahi dan kipasi permukaan
tubuh
d. Berikan cairan oral
e. Ganti linen setiap hari atau
lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat

21
berlebih)
f. Lakukan pandingan eksternal
(mis, selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi,
leher, dada, abdomen, aksila)
g. Hindari pemberian antipiretik
atau aspirin
h. Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena, jika
perlu
5 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen energi
aktivitas intervensi selama 2x24 1. observasi
berhubungan jam toleransi aktivitas a. Identifikasi gangguan fungsi
dengan membaik dengan tubuh yang mengakibatkan
ketidakseimbangan kriteria hasil: kelelahan
antara suplai dan 1. Frekuensi nadi b. Monitor kelelahan fisik dan
kebutuhan oksigen meningkat emosional
dibuktikan dengan 2. Keluhan lelah c. Monitor pola dan jam tidur
mengeluh lelah. menurun d. Monitor lokasi dan
3. Dispnea saat ketidaknyamanan selama
aktivitas menurun melakukan aktivitas
4. Dispnea setelah 2. Terapeutik
aktivitas menurun a. Sediakan lingkungan nyaman
dan rendah stimulus (mis,

22
cahaya, suara, kunjungan)
b. Lakukan latihan rentang gerak
pasif dan/atau aktif
c. Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan
d. Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
3. Edukasi
a. Anjurkan tirah barik
b. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
c. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
d. Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan

23
1.2 Efusi Pleura
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Efusi Pleura adalah istilah yang digunakan untuk penimbunan cairan
dalam rongga pleura. Efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat.
Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya
pada gagal jantung kongestif. Pada kasus ini kesimbangan kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. (Price, Sylvia
Anderson. 2015. Patofisiologi. Hal: 799)
Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada rongga pleura. Cairan
pleura normalnya merembes secara terus-menerus ke dalam rongga dada
dari kapiler-kapiler yang membatasi pleura parietalis dan diserap ulang
oleh kapiler dan sistem limfatik pleura viseralis. Kondisi apapun yang
mengganggu sekresi atau drainase dari cairan ini akan menyebabkan efusi
pleura. (Black, Keperawatan Medikal Bedah. 2014. Hal: 353)

2. Etiologi
Efusi pleura disebabkan oleh:
a. Eksudat, disebabkan oleh :
1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,
Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit
antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit
kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala
perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi
antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat
ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru
dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat
merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus

24
paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus,
E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain).
Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang
terinfeksi keluar dari rongga pleura.
3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas
lambat terhadap organisme fungi.
4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak
terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran
getah bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi
pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga
tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri
dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan
nyeri dada pleuritik.
5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada
paru-paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura
terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar.
Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :
a) Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan
terjadi kebocoran kapiler.
b) Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe
pleura, bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum,
menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.

25
c) Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan
negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan
pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa
dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban
tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat
melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan
blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6) Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai
pneumonia bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari
penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada
beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema).
Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat
diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan
pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light,
terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada
pasien dengan efusi para pneumonik:
a) Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum
pleura
b) Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan
pleura
c) Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
d) Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya
dalam waktu beberapa jam saja.
7) Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.

26
8) Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.
b. Transudat, disebabkan oleh :
1) Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan
penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma
vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding
dada sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di
samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan
aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi
cairan ke rongg pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada
dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang
agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering
terjadi pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan
jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi
pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis
diperlukan juga bila penderita amat sesak.
2) Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan
pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang
terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi
pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan
memberikan infus albumin.

27
3) Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura
melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga
pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar
untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan
medis tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif
yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah
pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt,
torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah,
atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan
skelorasis.
4) Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada
penderita-penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor
lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium
kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang
berderajat rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena
sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya
terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di
diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5) Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi
terjadi unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari
rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma.
Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisat.
6) Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut
hemothoraks. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25%

28
kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi
tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor
koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh
permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
(http://repository.unimus.ac.id/467/3/5.BAB%20II.pdf)

3. Patofisiologi
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura
parietalis dan pleura viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat
cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu
bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua
pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui
bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi
tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura
parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan
kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil
diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan
penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak
mikrovili disekitar sel – sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura
tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi.
Keadaan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm
H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm H2o. Keseimbangan
tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi
tuberkulosa paru .
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium
tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah infeksi
primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan

29
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas
membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat
menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan
terjadinya effusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat
juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran getah bening yang menuju
rongga pleura, iga atau columna vetebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan
eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut
karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous,
kadang – kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias
mengandung leukosit antara 500 – 2000. Mula – mula yang dominan
adalah sel – sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi
sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan effusi
bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya
effusi pleura dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain :
Irama pernapasan tidak teratur, frekuensi pernapasan meningkat ,
pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih cembung, fremitus raba
melemah, perkusi redup. Selain hal – hal diatas ada perubahan lain yang
ditimbulkan oleh efusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru
yaitu peningkatan suhu, batuk dan berat badan menurun.
(http://repository.unimus.ac.id/467/3/5.BAB%20II.pdf)
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura
parietalis yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal
juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler
pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura

30
viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan
pembentukannya.
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan
penimbunan cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme
yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu:
a. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada
sirkulasi kapiler
b. Penurunan tekanan kavum pleura
c. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari
rongga pleura.

4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika
mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak ,
berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi
yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya
gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi),
banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat
yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang
signifikan.
Menurut sumber lain, manifestasi klinis dari efusi pleura antara lain:
a. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena
pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit akan hilang. Bila
cairan banyak, penderita akan sesak napas.
b. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil,
dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak sekret.

31
c. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi, jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
d. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit
akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan
vokal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis
Damoiseu).
e. Didapati segitiga Garland yaitu daerah yang pada perkusi redup,
timpani di bagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-
Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum
ke sisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah
dengan ronki.
f. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
(http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-
kurniasafi-5149-2-bab2.pdf)

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang
dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya
menunjukkan adanya cairan.
b. CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan
dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
c. USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan
cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran
cairan.

32
d. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh
melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang
dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh
pembiusan lokal).
e. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan
penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura
sebelah luar diambil untuk dianalisa. Pada sekitar 20% penderita,
meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari
efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
f. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan
sumber cairan yang terkumpul.
g. Analisa cairan pleura
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks
posisi lateral dekubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga
pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP
atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml.
Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya
sudut costophreicus yang tidak tajam. Bila efusi pleura telah
didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura
diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah
didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti :
1) Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH),
albumin, amylase, pH, dan glukosa.

33
2) Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk
mengetahui kemungkinan terjadi infeksi bakteri.
3) Pemeriksaan hitung sel
h. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk
membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau
eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang
mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan
pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis
hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal
yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi
pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru,
pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan.
(http://eprints.ums.ac.id/16669/2/BAB_I.pdf)

6. Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang
mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan
pengobatan lebih dini akan lebih jauh terhidar dari komplikasi daripada
pasien yang tidak mendapatkan pengobatan dini.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Fokus Pengkajian
1) Keluhan utama
2) Keluhan saat ini
3) Riwayat penyakit
4) Pemeriksaan fisik

34
a) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan
dan ketegangan pasien.
b) Sistem Respirasi
i. Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang
sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan
mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang
diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. Pernapasan
cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
ii. Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang
jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi
juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal
pada dada yang sakit.
iii. Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah
cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga
pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis
lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita
dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-
Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada,
kurang jelas di punggung.
iv. Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada
posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan
dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru,
mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari
atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.

35
c) Sistem Cardiovasculer
i. Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis,
normal berada pada ICS – 5 pada linea medio klavikula
kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
ii. Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health
rate) harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya
denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill
yaitu getaran ictuscordis.
iii. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk
menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel
kiri.
iv. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II
tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur
yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi
darah.
d) Sistem Pencernaan
i. Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen
membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di
inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
ii. Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus
dimana nilai normalnya 5 – 35 kali per menit.
iii. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri
tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor
kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien,
apakah hepar teraba.

36
iv. Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat
atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar,
asites, vesikaurinarta, tumor).
e) Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau
somnolen atau comma.Pemeriksaan refleks patologis dan
refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga
perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan dan pengecapan.
f) Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial.
Selain itu, palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui
tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary
refiltime. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan
kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
g) Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada
tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya
akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem
transport oksigen. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai
kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian tekstur
kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui
derajat hidrasi seseorang,

37
2. Penyimpangan KDM

38
3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
penumpukan cairan dalam rongga pleura dibuktikan dengan tidak
mampu batuk, sputum berlebih
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam pleura
dibuktikan dengan sesak napas
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi dibuktikan dengan PO2 menurun, PCO2
meningkat
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi terhadap efusi pleura
dibuktikan dengan frekuensi nadi meningkat
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan mual, nyeri lambung,
anoreksia dibuktikan dengan penurunan berat badan 10% di bawah
rentang ideal
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan sesak, intake nutrisi
kurang dibuktikan dengan mengeluh lelah. (DPP PPNI, Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia. 2016. Hal: 18, 26, 22, 172,
128, 56)

4. Intervensi

No Diagnosa SLKI SIKI


1 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
tidak efektif intervensi keperawatan 1. Observasi
berhubungan dengan selama 2x24 jam maka a. Identifikasi kemampuan
penumpukan cairan bersihan jalan napas batuk
dalam rongga pleura meningkat dengan b. Monitor adanya retensi
dibuktikan dengan kriteria hasil: sputum

39
tidak mampu batuk, 1. Batuk efektif c. Monitor tanda dan
sputum berlebih meningkat gejala infeksi saluran
2. Produksi sputum napas
menurun d. Monitor input dan
3. Mengi menurun output cairan (mis,
4. Wheezing menurun jumlah dan
5. Dispnea menurun karakteristik)
6. Ortopnea menurun 2. Terapeutik
7. Gelisah menurun a. Atur posisi semi-fowler
8. Frekuensi napas atau fowler
membaik b. Buang sekret pada
9. Pola napas membaik tempat sputum
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
b. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik,
kemudian keluarkan
dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik
c. Anjurkan batuk dengan
kuat langsung setelah
tarik napas dalam yang
ke – 3

40
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu.

Manajemen Jalan Napas


1. Observasi
a. Monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
b. Monitor bunyi napas
tambahan (mis,
gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi
kering)
c. Monitor sputum
(jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head-lit dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga
trauma servikal)
b. Posisikan semi-fowler
atau fowler
c. Berikan minum air
hangat
d. Lakukan fisioterapi

41
dada, jika perlu
e. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
f. Lakukan
hiperoksigenasi sebelum
penghisapan
endotrakeal
g. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b. Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu.

Pemantauan Respirasi
4. Observasi
a. Monitor frekuensi,

42
irama, kedalaman dan
upaya napas
b. Monitor pola napas
(seperti bradinea,
takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, ataksik)
c. Monitor kemampuan
batuk efektif
d. Monitor adanya
produksi sputum
e. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
f. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi
oksigen
i. Monitor nilai AGD
j. Monitor hasil x-ray
toraks
5. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan

43
6. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
2 Pola napas tidak Setelah dilakukan Manajemen jalan napas
efektif berhubungan intervensi keperawatan 1. Observasi
dengan menurunnya selama 2x24 jam maka a. Monitor pola napas
ekspansi paru pola napas membaik (frekuensi, kedalaman,
sekunder terhadap dengan kriteria hasil: usaha napas)
penumpukan cairan 1. Ventilasi semenit b. Monitor bunyi napas
dalam pleura meningkat tambahan (mis,
dibuktikan dengan 2. Kapasitas vital gurgling, mengi,
sesak napas meningkat wheezing, ronkhi
3. Tekanan ekspirasi kering)
meningkat c. Monitor sputum
4. Tekanan ekspirasi (jumlah, warna, aroma)
meningkat 2. Terapeutik
5. Dispnea menurun a. Pertahankan kepatenan
6. Pengguanaan otot jalan napas dengan
bantu napas head-lit dan chin-lift
menurun (jaw-thrust jika curiga
7. Pemanjangan fase trauma servikal)
ekspirasi menurun b. Posisikan semi-fowler
8. Frekuensi napas atau fowler
membaik c. Berikan minum hangat
9. Kedalaman napas d. Lakukan fisioterapi
membaik dada, jika perlu

44
e. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
f. Lakukan
hiperoksigenasi sebelum
penghisapan
endotrakeal
g. Keluarkan sumabatan
benda padat dengan
forsep McGill
h. Berikan oksigen, jika
perlu
3. Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b. Ajarkan teknik batuk
efektif
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

Pemantauan respirasi
1. Observasi
a. Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan

45
upaya napas
b. Monitor pola napas
(seperti bradinea,
takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-
Stokes, Biot, ataksik)
c. Monitor kemampuan
batuk efektif
d. Monitor adanya
produksi sputum
e. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
f. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi
oksigen
i. Monitor nilai AGD
j. Monitor hasil x-ray
toraks
2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan

46
prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.
3 Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
pertukaran gas intervensi selama 2x24 1. Observasi
berhubungan dengan jam pertukaran gas a. Monitor frekuensi,
ketidakseimbangan meningkat dengan irama, kedalaman dan
ventilasi-perfusi kriteria hasil: upaya napas
dibuktikan dengan 1. Tingkat kesadaran b. Monitor pola napas
PO2 menurun, PCO2 meningkat (seperti bradibnea,
meningkat 2. Dispnea menurun takipnea, hiperventilasi,
3. Bunyi napas Kussmaul, Cheyne-
tambahan menurun Stokes, biot, ataksik)
4. PCO2 membaik c. Monitor kemampuan
5. PO2 membaik batuk efektif
6. Takikardia membaik d. Monitor adanya produksi
7. pH arteri membaik sputum
8. pola napas membaik e. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
f. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi oksigen
2. Terapeutik
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien

47
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
c. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
d. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.

Terapi Oksigen
1. Observasi
a. Monitor kecepatan aliran
oksigen
b. Monitor posisi alat terapi
oksigen
c. Monitor aliran oksigen
secara periodik dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
d. Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis, oksimetri,
analisa gas darah), jika
perlu
e. Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
f. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
g. Monitor tanda dan gejala

48
toksikasi oksigen dan
atelektasis
h. Monitor tingkat
kecemasan akibat terapi
oksigen
i. Monitor integritas
mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
2. Terapeutik
a. Bersihkan sekret pada
mulut, hidung dan
trakea, jika perlu
b. Pertahankan kepatenan
jalan napas
c. Siapkan dan atur
peralatan pemberian
oksigen
d. Berikan oksigen
tambahan, jika perlu
e. Tetap berikan oksigen
saat pasien ditransportasi
f. Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai
dengan tingkat mobilitas
pasien
3. Edukasi
a. Ajarkan pasien dan
keluarga cara

49
menggunakan oksigen
dirumah
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
b. Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas
dan/ atau tidur
4 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan intervensi selama 2x24 1. Observasi
inflamasi terhadap jam tingkat nyeri a. Identifikasi lokasi,
efusi pleura menurun dengan karakteristik, durasi,
dibuktikan dengan kriteria hasil: frekuensi, kualitas,
frekuensi nadi 1. Keluhan nyeri intensitas nyeri
meningkat menurun b. Identifikasi skala nyeri
2. Meringis menurun c. Identifikasi respons nyeri
3. Sikap protektif non verbal
menurun d. Identifikasi faktor yang
4. Gelisah menurun memperberat dan
5. Kesulitan tidur memperingan nyeri
menurun e. Identifikasi pengetahuan
6. Frekuensi nadi dan keyakinan tentang
membaik nyeri
7. pola tidur membaik f. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
g. Identifikasi pengaruh
nyeri terhadap kualitas

50
hidup
h. Monitor keberhasialan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping
penggunaan analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
c. Fasilitasi istrahat dan
tidur
d. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

51
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
5 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen nutrisi
berhubungan dengan intervensi keperawatan 1. Observasi
mual, nyeri selama 2x24 jam maka a. Identifikasi status
lambung, anoreksia status nutrisi membaik nutrisi
dibuktikan dengan dengan kriteria hasil: b. Identifikasi alergi dan
penurunan berat 1. Porsi makan yang intoleran makanan
badan 10% di bawah dihabiskan c. Identifikasi makanan
rentang ideal meningkat yang disukai
2. Berat badan d. Identifikasi kebutuhan
membaik kalori dan jenis nutrien
3. Indeks massa tubuh e. Identifikasi perlunya
(IMT) membaik penggunaan selang
4. Frekuensi makan nasogastrik

52
membaik f. Monitor asupan
5. Nafsu makan makanan
membaik g. Monitor berat badan
6. Membran mukosa h. Monitor hasil
membaik pemeriksaan
laboratorium
2. Terapeutik
a. Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu
b. Fasilitasi menentukan
pedoman diet (mis,
piramida makanan)
c. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
d. Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
e. Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi

53
3. Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
b. Ajarkan diet yang
diprogramkan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis, pereda
nyeri, antilemetik), jika
perlu
b. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu

54
Daftar Pustaka

Guyton & Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Singapore: Elsevier
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC
Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan, Volume 2, Singapore: Elsevier

Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atypik dan Pneumonia Atipik Mycobacterium,
Jakarta: Pustaka Obor Populer

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Jakarta: Salemba Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik, Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, Jakarta: DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Jakarta: DPP PPNI

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f331a8a1e413579027127d45
09a339e5.pdf

http://repository.unimus.ac.id/467/3/5.BAB%20II.pdf

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-kurniasafi-5149-2-bab2.pdf

http://eprints.ums.ac.id/16669/2/BAB_I.pdf

55
56

You might also like