You are on page 1of 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang
mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau
sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).
Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi
atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok
sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat
kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi
orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan
diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak
bagi masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?

1
2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?
5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi
rentan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan
2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat dalam
komunitas populasi rentan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. Populasi Rentan

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit


dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5
ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah
orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa
yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran )
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.

3
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,
Penyandang cacat fisik dan mental.

2. Penyandang Cacat / Disabilitas

a. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan


dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan
disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata
serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti
cacat atau ketidakmampuan.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun


2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas
fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik
dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang
yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan
dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda
inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-
haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang
berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ

4
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan
sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami
gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1
(pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat
fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun


2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas
fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik
dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup


dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang
pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan
pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia
yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki
defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat
fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang
dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi
kognitifnya mengalami gangguan.

b. Jenis-jenis Disabilitas

Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan


khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas
memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan

5
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis
penyandang disabilitas 5 :

1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:


a) Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana
selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia
juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
b) Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi
2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90.
Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di
bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar
(achievment) yang diperoleh
2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak
yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur
tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan
(kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua
golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena

6
memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut tunawicara.
d. Kelainan Bicara (Tunawicara)
Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit
bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara
ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat
bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya
ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan
pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu
kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)

3. Tunawisma/ Gelandangan

a. Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak
memiliki tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja
dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam
golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.
Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan
masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak
memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial,
tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka
menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma
adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam
rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun

7
penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan
akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.

b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma


1) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan
banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan
dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak
memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis
sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis
kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik
dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma
untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin
menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan
karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali
kurang terlindung.
2) Rendah tingginya pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap
persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah
akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi
semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan
gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi
kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang
dan perlindungan yang lebih daripada lingkungan lain. Namun,
hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan keluarga
broken home membuat mereka merasa kurang

8
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka
cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari
orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang
menurun, membuat seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan.
Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhannya.
Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk
bertahan hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit
mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat
fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat bertahan hidup.
Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 )) kondisi
kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya
seperti kesehatan.
6) Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan
ketrampilan seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun,
ketrampilan perlu digali salah satunya melalui pendidikan serta
membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah
yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan
ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat
seseorang memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada
umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7) Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a. Rendahnya harga diri.

9
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang,
mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk
meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu
yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b. Sikap pasrah pada nasib.
Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka
sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga
tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.
8) Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika
bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja
sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang
untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan
mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan yang sama,
terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk
emmenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi


alamnya membuat masyarakat yang tinggal di daerah tersebut
mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus
meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih
memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia
untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam
garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh
karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan
hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta

10
10) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini
penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi
dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat
asalnya. Pada kenyataannnnya, penanganan ini tidak
menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat mereka
akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada
proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia
mereka dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang
sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial
sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan
terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga
ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang
membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni
menjadi gelandangan dan pengemis.

c. Faktor Perilaku Dan Psikososial Yang Menyebabkan Masalah


Kesehatan Pada Tunawisma
1) Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a) Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b) Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan
yang tidak layak.
c) Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2) Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan
jenis kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai
suatu kontruksi sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena
peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti tingkat
kesehatan wanita juga berbeda-beda.
3) Pendidikan yang rendah

11
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan. Kesempatan untuk sekolah tidak sama
untuk semua tetapi tergantung dari kemampuan membiayai. Dalam
situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih diutamakan
karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam
keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang
berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap
pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat
kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai
pengertian yang lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan
dan pencegahannya. Minimal dengan mempunyai pendidikan yang
memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri sendiri, dan
ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan
masyarakat.
4) Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada
wanita masih banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun).
Hal ini banyak kebudayaan yang menganggap kalau belum
menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga karena
faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya
agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut
kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko
tinggi pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian
dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan.
Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan
bergantung kepada suami baik dalam ekonomi dan pengambilan
keputusan.
5) Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang
mulai seks bebas yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14
tahun dan ada yang melakukan dengan saudaranya sendiri. Hal ini

12
menyebabkan anak jalanan rentan terhadap penyakit kelamin
misalnya HIV atau AIDS.
6) Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun (
merampas, mencuri, membeli, hubungan seks) yang penting bisa
mendapatkan uang untuk membeli minuman keras, pil dan zat
aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin
menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P.
Agus. A., 2015)
7) Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan
sangat rentan terhadap eksploitasi khususnya eksploitasi seksual
seperti pelecehan, penganiyaan secara seksual, pemerkosaan,
penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi
perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.

d. Masalah Kesehatan Pada Tunawisma

1. Gangguan Fisik Akut

Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut


seperti:

No Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik


1. ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Kecanduan alkohol dan zat lain
2. Trauma-cedera ringan hingga berat Hipertensi
3. Penyakit kulit Gangguan pencernaan
4. TBC Gangguan sistem saraf tepi
5. Terserng kutu dan tungau Masalah gigi
6. Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
7. - HIV/AIDS

13
2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak

Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul


seperti :

1) Kegelisahan
2) Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
3) Masalah bahasa dan berbicara
4) Penyakit pernafasan atas dan asma
5) Infeksi telinga
6) Gangguan pencernaan/mata
7) Trauma
8) Terserang kutu rambut

3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan

1) Perawatan pre-natal yang kurang baik


2) Kurang nutrisi
3) Komplikasi kehamilan

4. Masalah kesehatan mental

1) Skizofrenia
2) Gangguan bipolar
3) Depresi
4) Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
5) Kepribadian yang kacau

e. Peran Perawat Di Area Homeless (Tunawisma)


1) Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian
dari orang tua dan lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi
pada tunawisma baik dari segi kesehatan fisik, psikologis dan sosial.

14
Peran perawat disini adalah memberikan asuhan keperawatan
kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik
atau menyeluruh.
2) Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya
pendidikan mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh
karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka informasi seputar
kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para
tunawisma tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai
tingkat kesehatan yang maksimal.
3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada
tunawisma. Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan
rumah, pertemuan atau pengumpulan data.
4) Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang
kesehatan kepada masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang
dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5) Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran
perawat yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif,
memberikan pembuatan keputusan antara individu dan keluarga,
memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman
terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan
komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka terpenuhi.
6) Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke
tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang
menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali tunawisma
mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan

15
mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi
semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.

f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma)


1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar
tetap berada di rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya
bantuan publik, mengetahui tersedianya dana, dan
mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi
tunawisma yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar
tidak terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis
kepada tunawisma.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk
membayar rumah dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar
segala kebutuhan serta pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para
tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan kesehatan
karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap,
sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari
kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi
tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang
rendah dan menimbulkan persoalan umum bagi populasi

16
tunawisma adalah mereka menjalani medikasi dan regimen
terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan
ditempat penampungan agar tunawisma tetap mendapatkan
asupan makanan sesuai yang ada di tempat penampungan
tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk
mengompensasi defisit nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu
melakukan usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para
tunawisma agar tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003).
Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh
pihak dinas sosial kepada para PMKS. Bagian ini merupakan
bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya
diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis.
Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa
percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya.
Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana
penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi tersebut.
Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat
memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada
juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam

17
therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan
terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu
persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan
kesehatan, terlebih dahulu para penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan
kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang
sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan
dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan
badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya
mandi, gosok gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat
selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan serba
tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu
masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat
sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan
tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang
dilakukan 1 bulan sekali, dengan tujuan memberikan
pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di
jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak
lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di
jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu
lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak
dinas sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau
pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti pada
saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para
gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias.
Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena
pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng)

18
dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap
dan kemudian dipenjarakan.

d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh
pihak dinas sosial, guna untuk menguatkan kembali
spiritualitas para gelandangan dan pengemis.

g. Perspektif Homeless Atau Gelandangan Di Indonesia


1. UUD 1945

Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah
merumuskannya, sejak Bangsa Indonesia Merdeka dari jajahan para
kolonialisme. UUD 1945 adalah sebagai hukum dasar tertinggi
dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD
1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001,
dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang - Undang
Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga
negara dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, di Indonesia masih banyak terdapat gelandangan,
pengemis, masyarakat dalam keadaan fakir, miskin dan terlantar.
Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 berbunyi “Fakir Miskin dan anak
- anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.

2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan


homeless atau gelandangan di Indonesia
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980,
gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

19
karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.
Penanggulangan tersebut bertujuan untuk memberikan rehabilitasi
kepada gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu
mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak
sebagai seorang warna negara Republik Indonesia.Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa
usaha untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut :
1) Usaha preventif

Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi


penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian
bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai
pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan
pengemisan sehingga akan tercegah terjadinya :

a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau


keluarga-keluarga terutama yang sedang berada dalam
keadaan sulit penghidupannya

b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan


dan pengemisan di dalam masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya

c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para


gelandangan dan pengemis yang telah direhabilitir dan
telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru
ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.

Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan :

1. Penyuluhan dan bimbingan sosial

2. Pembinaan sosial

3. Bantuan sosial

20
4. Perluasan kesempatan kerja

5. Pemukiman lokal

6. Peningkatan derajat kesehatan

2) Usaha represif

adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui


lembaga maupun bukan dengan maksud menghilangkan
pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di
dalam masyarakat. Usaha represif yang di lakukan sesuai PP
No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan
sementara untuk di seleksi, dan pelimpahan. Dalam pasal 12
disebutkan bahwa setelah gelandangan di seleksi, tindakan
selanjutnya terdiri dari :

a. Dilepaskan dengan syarat

b. Dimasukkan dalam panti sosial

c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung


halamannya

d. Diserahkan ke pengadilan

e. Diberikan pelayanan kesehatan

3) Usaha Rehabilitatif

adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha


penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan
kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah
pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-
tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut,
sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis,
kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai

21
dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik
Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di


jelaskan bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di
atur lebih lanjut oleh Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas
masing-masing.

4. Gangguan Mental (Mental Disorder)

a. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder)


Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa
merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental
(mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III
adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa
adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang
secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di
adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai
tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam
segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak
semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”.
(Maslim, tth:7).
Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam
konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai
berikut:
1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa:
Sindrom atau pola perilaku

22
Sindrom atau pola psikologik
2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress),
antara lain berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram,
terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability)
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan
diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
(mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim,
tth:7).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan
fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan
mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan/mental terhadap
stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul
gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau
sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan
juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu:
“Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap
tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan
ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa
bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus reaksi
psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental
(mental disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak
berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun phsikis yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.

b. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).

23
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental
disorder), penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim,
tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:
1) Gangguan mental organik dan simtomatik;
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan
dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di
diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik
adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat
sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak
(extracerebral). (Maslim, tth:22).
2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat
psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter).
(Maslim, tth:36).
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya
ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46).
Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana
jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi
bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan.
(Sudarsono, 1993:272).

4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).


Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan
suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi
(dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi
(suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).
5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.

24
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan
satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor
psikologis. (Maslim, tth:72).
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat
badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita
(Maslim, tth:90).
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang
cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang
khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri
maupun orang lain (Maslim, tth:102).
8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti
atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya
keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh
pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9) Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan
fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis
dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus
tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud
“yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering
menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).

10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.


Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan
aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya

25
terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai.
Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang
berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang
relatif tenang (Maslim, tth:136).
Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja
(2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai
yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan
integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat)
dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan
untuk perilaku maladaptif pada anak-anak.
b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau
sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi
abnormal atau gangguan mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain
dari gangguan mental, namun penggunaannya saat ini
terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi
otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan
untuk nama gangguan-gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun
sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap
gangguan dan kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara
khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan belajar,
baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan
ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan
masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang
mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak

26
mampu untuk mengelolah masalah-masalahnya atau
melihat konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah
ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama
penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di
hukum atau tidak.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental


(Mental Disorder)
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder),
maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang
dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis
merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi
faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental
(mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:
1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak
dan proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis
dan reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan
lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan
rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari
pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat
orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul
beban tersebut.
3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi
menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi

27
sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat
sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik
terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam
gangguan psikis.

d. Pencegahan Gangguan Mental


Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing
mental yang sakit agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang
sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan
terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
1) Pengertian Pencegahan Gangguan Mental
Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan
sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan
bijaksana dari lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau
kerugian. (Prayitno, 1994:205).
Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan
mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan manusia
untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan
atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian
pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu
terhadap diri dan orang lain untuk menekan serendah mungkin agar
tidak terjadi gangguan mental sesuai dengan kemampuannya.
2) Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan
mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang
ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan
pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah:
a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri

28
Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik
dengan diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain,
hubungan dengan alam lingkungan, serta hubungan dengan
Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri,
keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya,
1993:83).
b) Keterpaduan atau integrasi diri
Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa
dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan
kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stres) (Yahya,
1993:84).
c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)
Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti
sebagai kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki
gambaran dan sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta
meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu,
agar terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik
dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya
pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi
untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya
pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti
menggembangkan bakat dan sebagainya.
d) Kemampuan menerima orang lain
Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan
lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai
faktor penyebab timbulnya gangguan mental, juga memiliki
peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan
mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya
kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan

29
persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13).
Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak
mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah
mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai
upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin
menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial
dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
e) Agama dan falsafah hidup.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang
gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai
alat pencegah (preventif) terhadap kemungkinan gangguan
mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi
kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan
beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan
serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud
kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup
merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai.
Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya.
Dengan demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup,
maka akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah
(Fahmi, 1982:92).
f) Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat
mukin melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau
berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum
orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan
keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan
kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatankelezatan
dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang
lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114).

30
Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan
seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencegahan gangguan
mental dimaksudkan untuk mewujudkan kesehatan mental
yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi
untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.

31
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
A. Data Inti Komunitas

1. Sejarah / Riwayat Daerah Komunitas

a. Desa huntu barat merupakan satu desa yang berada di kecamatan


bulango selatan kabupaten bone bolango provinsi gorontalo. Menurut
sejarah desa ini sudah melewati beberapa kali pemekaran, sejak
kemerdekaan indonesia desa ini yang awalnya dari desa huntu
kemudian dimekarkan menjadi huntu selatan dan huntu utara. Pada saat
provinsi gorontalo baru terbentuk dan kabupaten bone bolango dibentuk
oleh peraturan undang-undang nomor 19 tahun 2007 desa huntu utara di
mekarkan menjadi desa huntu utara dan desa mekar jaya, kemudian
desa mekar jaya di ubah nama menjadi desa huntu barat. Desa ini
memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa.
b. Riwayat :
1) Usia penderita:
Anak : 15 – 20 tahun
Orang tua : 32-49 tahun
2) Jenis mental disorder yang pernah diderita: gangguan konsep
diri: harga diri rendah, memandang dirinya tidak sebaik teman-
temannya di sekolah.
3) Riwayat trauma : takut yang berlebihan
4) Konflik : penganiayaan

2. Data Demografi

- Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia Dan Jenis Kelamin


Jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa terdiri dari:
 Pria 549

32
 Wanita 597

- Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan


No Pendidikan Frekuensi

1 Belum Sekolah 75

2 TidakSekolah 0

3 TK 34

4 SD 266

5 SMP 273

6 SMA 403

7 Perguruan Tinggi 95

Total 1.146

Distribusi penduduk berdasarkan pendidikan terdiri dari belum sekolah


yaitu bayi sampai balita 0-5 tahun sebanyak 75 anak, tidak sekolah tidak ada, TK
sebanyak 34 orang terdiri dari anak usia dini, SD terdiri dari anak usia sekolah
dan masyarakat yang hanya lulusan SD 266, SMP terdiri dari anak remaja dan
masyarakat yang lulusan SMP 273, SMA terdiri dari remaja dan masyarakat yang
lulusan SMA sebanyak 403 dan perguruan tinggi terdiri dari
mahasiswa/mahasiswi dan masyarakat yang menempuh perguruan tinggi
sebanyak 95.

- Distribusi Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Frekuensi

1 Pelajar/belum bekerja 447

33
2 Tidak Bekerja/IRT 94

3 PNS 52

4 TNI/POLRI 3

5 Pensiunan 59

6 Swasta 491

Total 1.146

Distribusi pekerjaan yakni pelajar/belum bekerja terdiri dari anak belum


sekolah dan pelajar SD, SMP, SMA, dan mahasiswa Universitas sebanyak 447,
tidak bekerja atau IRT sebanyak 94, 92 oleh IRT yang tidak bekerja, PNS
sebanyak 73, TNI/POLRI sebanyak 3 , pensiunan 59, swasta sebanyak 470.

- Distribusi Ras Dan Etnis


Penduduk desa huntu barat dihuni oleh sebagian besar suku gorontalo.

6. Nilai – Nilai, Keyakinan Dan Agama

No Agama Yang Dianut Frekuensi %

1 Islam 1.146 100%

2 Kristen 0

3 Hindu 0

4 Budha 0

5 Konghucu 0

Total 1.146

Agama yang dianut masyarakat desa 100% islam

34
B.Data Subsistem Komunitas

1. Lingkungan Fisik

No Kondisi Air Frekuensi

1 Berwarna 5

2 Berbau 0

3 Berasa 0

4 Tidak berasa/Tidak 565


berwarna
Jumlah

a. Kualitas Air

kualitas air yang terdapat dalam desa huntu barat sebagian besar tidak
berasa/tidak berwarna dan hanya terdapat 5 berwarna. Desa huntu barat
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada yang memakai air sumur dan
ada yang menggunakan PAM.

b. Pembuangan Limbah

No Tempat Pembuangan Frekuensi

1 Resapan 30

2 Selokan 54

3 Sembarang tempat 10

Jumlah 94

Pembuangan limbah di desa terdiri dari resapan sebanyak 55,


selokan 38, sembarang tempat 10. Untu serapan karena masih banyak

35
terdapat pepohonan di desa yang mampu menampung air, ketersediaan air
bersih akan terpenuhi.

c. Kualitas Udara

Kualitas udara di Kelurahan Patimuan cukup bersih tidak ada polusi udara,
karena Kelurahan tersebut masih banyak terdapat pohon-pohon rindang.

d. Perumahan

1. Tipe Perumahan

No Tipe Rumah Frekuensi

1 Pemanen 531

2 Semipermanen 45

3 Tidak permanen 0

Jumlah 576

Tipe rumah di desa huntu barat permanen sebanyak 531 rumah ,


semipermanen 45, tidak permanen tidak ada.

2. Status Kepemilikan rumah

No Kepemilikan Frekuensi

1 Milik Sendiri 534

2 Numpang 122

3 Sewa 30

Jumlah 686

36
Status kepemilikan rumah sebanyak 534 kepala keluarga mengatakan
rumah milik sendiri, 30 sewa, dan numpang terdiri dari 122.

3. Jenis Lantai

No Lantai Frekuensi

1 Tanah 3

2 Papan 4

3 Tegel 498

4 Semen 59

Jumlah 564

Jenis lantai di rumah masyarakat terdiri dari lantai tanah 3, papan 4, tegel
498, semen 59.

4. Sitem Ventilasi Rumah

No Jendela Frekuensi

1 Ada 564

2 Tidak Ada

Jumlah

Rata-rata rumah di desa memiliki ventilasi

37
5. Sistem Pencahayaan Rumah Pada Siang Hari

No Pencahayaan Frekuensi

1 Terang 511

2 Remang-Remang 43

3 Gelap 0

Jumlah 564

sebagian besar rumah terang, remang-remang 43.

6. Jarak Rumah Dengan Tetangga

No Jarak Rumah Frekuensi

1 Bersatu 0

2 Dekat 204

3 Terpisah 360

Jumlah 564

Jarak rumah antara rumah satu dengan yang lain terdiri dari yang bersatu
tidak ada, rumah yang berdekatan sekitar <1 M sebanyak 204, terpisah 360.

7. Halaman Di Sekitar Rumah

No Halaman Rumah Frekuensi

1 Ada 522

2 Tidak Ada 42

38
. Jumlah 564

Pemanfaatan Pekarangan Rumah

No Pemanfaatan Frekuensi %
Pekarangan
1 Kebun 209

2 Kolam 15

3 Kandang 23

4 Tidak di manfaatkan 104

Jumlah

Masyarakat paling banyak memanfaatkan pekarangan rumah menjadi


kebun untuk menanam berbagai tumbuh-tumbuhan, atau sayuran dan
buah-buahan yang bisa dijual kembali.

2. Pelayanan Kesehatan Dan Sosial

Pelayanan kesehatan tidak terdapat puskesmas, klinik, dan rumah sakit di


desa huntu barat. Untuk menjangkau akses pelayanan kesehatan seperti ke
puskesmas masyarakat harus ke desa lain yang bisa di tempuh 2,5 KM lagi.
Untuk ke RS terdekat bisa ditempuh jarak 4,3 KM. Klinik dokter terdapat di desa
ayula selatan yang jaraknya cukup dekat dengan desa huntu barat sekitar 500m
dari desa. Dahulu sempat ada posiyandu namun sudah tidak berfungsi dan
sekarang ditiadakan. Itupun dalam pelayanan klinik, puskesmas dan RS hanya
menyediakan pelayanan penyakit umum seperti flu, batuk, diare. Untuk gangguan
jiwa masih sangat kurang.

3. Ekonomi

a. Status Pekerja

39
masyarakat sebagian besar bekerja sebagai swasta, ada yang bertani, buruh dan
PNS

c. Pasar

tidak terdapat pasar.

d. Pusat bisnis

terdapat beberapa bisnis pertokoan dan usaha yang dibangun masyarakat.

4. Transportasi Dan Keamanan

a. Alat Transportasi Penduduk Keluar Masuk Wilayah

alat transportasi yang digunakan berupa mobil, motor, bentor dan sepeda.

b. Transportasi Umum

angkutan umum berupa bentor

c. Layanan Perlindungan Kebakaran

tidak terdapat layanan perlindungan kebakaran, jika terjadi kebakaran


biasanya pihak yang bersangkutan akan memanggil layanan kebakaran yang
berada di pusat kota.

d. Kantor Polisi

tidak terdapat kantor polisi.

5. Politik Dan Pemerintahan

a. Pemerintahan (RT, RW, Desa / Kelurahan, Kecamatan)

Desa ini memiliki karang taruna yang dianggotai remaja muda di desa huntu
barat.

Pemerintah daerah (Pemda) setempat kurang tanggap dengan kejadian


gangguan jiwa di masyarakat. Pemda masih fokus dengan masalah-masalah

40
yang sifatnya medis, misalnya demam berdarah, diare, kusta, terkait program
imunisasi lengkap. Gangguan jiwa pada masyarakat belum mendapatkan
perhatian khusus. Skrining warga dengan gangguan jiwa juga belum pernah
dilakukan. Aturan pemda tentang jiwa di masyarakat sudah ada, tetapi dalam
prakteknya keluarga pasien yang berinisiatif membawanya berobat ke
pelayanan pengobatan terkait. Perlindungan warga dari pasien jiwa juga
kurang optimal. Stigma negatif untuk orang dengan gangguan jiwa masih
melekat dalam kehidupan warga desa huntu barat.

Situasi politik di Desa Huntu Barat juga kurang terlihat. Pemerintah setempat
lebih tertarik membiayai pemenuhan sarana dan prasarana di Kelurahan
Patimuan, bukan tertarik di kesehatannya, lebih-lebih tertarik dengan
kesehatan jiwa masyarakat. Jadi pengaruhnya dengan jiwa masyarakat tidak
terdeteksi lebih dini. Banyak orang stress dengan semakin meningkatnya
kebutuhan, tetapi tingkat penghasilan minimal. Yang seperti itu kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat.

6. Komunikasi

a. Komunikasi Formal

informasi kesehatan melalui komunikasi formal seperti surat kabar, radio, dan
Tv namun seiring zaman penggunaan surat kabar sudah mulai berkurang, yang
mendengarkan melalui radio masih terdapat beberapa orang saja, dan televisi
sebagian besar.

b. Komunikasi Informal

masyarakat juga biasa memperoleh informasi kesehatan dari 1 papan


pengumuman di desa, beberapa mendapatkan leaflet dan brosur dari rumah sakit
dan seiring zaman sebagian besar masyarakat menerima informasi kesehatan
melalui smathphone.

41
7. Pendidikan

a. Sekolah yang ada dikomunitas

di desa huntu barat terdapat 1 SD dan 1 SMK.

b. Perpustakaan

perpustakaan hanya ada pada sekolah. Untuk umum belum terdapat


perpustakaan.

c. Pendidikan khusus

tidak terdapat pendidikan khusus

d. Pelayanan kesehatan disekolah

kunjungan puskesmas tapa untuk pelayanan kesehatan di sekolah berupa


imunisasi

8. Rekreasi

a. Taman

tidak terdapat taman di desa huntu barat

b. Area Bermain

tidak terdapat area bermain

c. Rekreasi Umum dan Privat

tidak terdapat rekreasi umum dan privat di desa. Masyarakat biasa


menghabiskan libur untuk rekreasi ke tempat rekreasi yang berada di desa
lain seperti puncak hutan pinus dulamayo, pemandian meranti, embung
dumati, pantai botutonuo, dan waterboom tiara park yang mungkin jaraknya
masih bisa ditempuh oleh kenderaan beberapa kilometer dari desa.

42
Selain itu warga juga bermain bersama di lapangan bola setiap sore, dan
sering berkumpul mengobrol di lingkungan rumah. Warga yang ada di
kelurahan Patimuan biasanya melakukan rekreasi di lapangan pada sore hari
dan berkumpul di lingkungan rumah pada saat malam sehabis magrib.

Dampak rekreasi terhdap kesehatan jiwa masyarakat rekreasi yang ada


cukup memberikan dampak positif pada warga, karena semakin terjalinnya
kebersamaan dan rasa peduli antar warga dan sering berdiskusi untuk
mengatasi masalah ekonomi yang sulit sehinga kondisi emosional sebagian
warga yang sering marah dapat di kurangi dengan saling berdiskusi pada saat
berkumpul di lingkungan rumah.

C. Pengkajian Berdasarkan Agregat

1. Ibu hamil dan menyusui


a. Jumlah pasangan usia subur
Pasangan usia subuh terdiri dari 221 pasasngan pria dan wanita dan tidak
subur terdiri dari 54 pasangan pria dan wanita

b. Pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB


Pasangan yang menggunakan KB seabnyak 220 dan yang tidak
menggunakan KB 1 orang
c. Jenis kontrasepsi yang digunakan
No Jenis Kontrasepsi Frekuensi

1 IUD 74

2 Suntik 45

3 Pil 82

4 Susuk 5

43
5 Tubektomi 0

6 Kalender 14

Jumlah 220

Jenis kontrasepsi yang digunakan IUD sebanyak 74, suntik 45, pil 82,
susuk 5, tubektomi tidak ada, kalender 14.

d. Jumlah Ibu Hamil

Jumlah ibu hamil sebanyak 23 orang

e. Usia Kehamilan
No Usia Kehamilan Frekuensi

1 Trimester I 4

2 Trimester II 11

3 Trmester III 8

Jumlah 23

Usia kehamilan pada trimester I sebanyak 3 orang, trimester II


sebanyak 6 orang dan trimester III sebanyak 8 orang

f. Frekuensi Kehamilan
No Kehamilan Frekuensi
Keberapa
1 I 9

2 II 6

3 III 2

4 Lebih III 6

44
Jumlah 23

Selanjutnya berikan uraian dari hasil yang saudara peroleh

g. Usia Ibu Hamil


No Usia Bumil Frekuensi

1 16-24 9

2 25-35 11

3 Lebih dari 35 3

Jumlah 23

Usia ibu hamil 11 orang untuk usia 25-35, 3 orang untuk usia lebih
dari 35, dan 9 orang untuk 16-24. Ibu hamil usia muda dibawah umur 2
orang di usia 16 dan 17 tahun dikarenakan nikah muda

h. Tempat periksa kehamilan


No Tempat periksa Frekuensi
kehamilan
1 Puskesmas 6

2 Bidan 13

3 Lainnya 4

Jumlah 23

Tempat periksa kehamilan ibu hamil di puskesmas terdiri dari 6


orang di bidan, 13 orang, lainnya seperti di klinik dokter 4 orang

i. Frekuensi periksa kehamilan


No Periksa Kehamilan Frekuensi

45
1 2 Kali 13

2 3 Kali 10

Jumlah

Frekuensi periksa kehamilan 2 kali sebanyak 13 orang, dan 3 kali


sebanyak 10 orang

j. Imunisasi Tetanus Toksoid


No Imunisasi TT Frekuensi

1 Lengkap 17

2 Tidak lengkap 6

Jumlah

Imunisasi Tetanus Toksoid lengkap sebanyak 17 orang dan tidak


lengkap 6 orang

k. Penyakit yang di derita ibu hamil


No Penyakit yang di Frekuensi
derita
1 Hipotensi 1

2 Anemia 1

3 Bengkak 5

4 Mual/Muntah 19

5 Varises 0

46
6 Tidak Ada Keluhan 3

Jumlah 19

Sebagian besar ibu hamil menderita mual/muntah, yang mengalami


hipotensi 1 orang, anemia 1 orang, bengkak 5 orang, varises tidak ada, dan
tidak ada keluhan 3 orang.

l. Jumlah Ibu Menyusui


No Jumlah Frekuensi Persentase

1 Ya Meneteki 36

2 Tidak Meneteki 23

Jumlah 59

Sebagian besar ibu menyusui meberikan asi pada bayinya sebanyak


23 orang. Dan tidak menetek sebanyak 23 orang, kabanyakan ibu yang
tidak menetek mengatakan berbagai alasan mereka tidak memberi asi
untuk bayinya dari mulai bayi yang tidak bisa menyusu, ASI tidak keluar,
ataupun sibuk bekerja sehingga susu formula menjadi alternatif.

m. Lama ibu menyusui


No Lama Menyusui Frekuensi

1 Kurang dari 1 bulan 0

2 1-4 Bulan 10

3 5-12 Bulan 33

4 Lebih Dari 12 Bulan 16

Jumlah 59

47
Lama ibu menyusui 1-4 bulan sebanyak 10 ibu, 5-12 bulan 33 ibu,
lebih dari 12 bulan 16 ibu dan kurang dari 1 bulan tidak ada.

2. Balita
a. Jumlah Balita
No Balita Frekuensi

1 Ya Tergolong balita 48

2 Tidak tergolong
balita
Jumlah 48

Balita di desa huntu barat terdapat 48 anak

b. Kebiasaan Ke Posyandu
No Kebiasaan Frekuensi

1 Ke Posyandu 0

2 Tidak Ke posyandu 0

Jumlah 0

Tidak terdapat posyandu di desa

c. Imunisasi Balita
No Imunisasi Frekuensi

1 Lengkap 40

2 Belum Lengkap 8

3 Tidak Lengkap 0

Jumlah 48

Balita di desa yang mendapatkan imunisasi lengkap sebanyak 40


anak dan 8 anak yang belum lengkap.

48
d. Kepemilikan kartu menuju sehat
No Imunisasi Frekuensi

1 Ya Memiliki 48

2 Tidak memiliki 0

Jumlah 48

Semua balita memiliki kartu menuju sehat

3. Remaja
a. Kegiatan remaja di luar sekolah
No Kegiatan di luar Frekuensi
sekolah
1 Keagamaan 15

2 Karang Taruna 47

3 Olah raga 26

4 Dan lain-lain 28

Jumlah 116

Kegiatan remaja diluar sekolah keagamaan 15 orang, karang taruna


47 orang, 26 olah raga dan lain-lain 28. Kebiasaan lain dari 28 anak yang
lain biasa jalan-jalan atau bermain bersama teman-teman sebaya, ada pun
sebagian dari mereka yang tidak mau bergaul dengan teman sebaya karena
memandang dirinya tidak sebaik teman disekolahnya.

b. Penggunaan waktu luang


No Penggunaan waktu Frekuensi
luang
1 Musik/Tv/Hp 50

49
2 Olahraga 26

3 Rekreasi 25

4 Keagamaan 15

Jumlah 116

Sebagian besar anak remaja menghabiskan waktu luangnya dengan


bermain musik/Tv/Hp, olah raga sebanyak 26, rekreasi sebanyak 25 orang,
dan ke agamaan 15.

4. Lansia
a. Keluhan Lansia
No Keluhan penyakit Frekuensi
lansia
1 Ya Mengeluh 59

2 Tidak ada keluhan 0

Jumlah 59

Semua lansia punya keluhan baik itu keluhan ringan, sedang maupun
berat.

b. Jenis penyakit yang di derita lansia


No Jenis Penyakit Frekuensi

1 Asma 2

2 TBC 2

3 Hipertensi 59

4 DM 4

5 Rematik 8

50
6 Katarak 0

7 Lain-Lain 0

Jumlah 75

Semua lansia memiliki riwayat hipertensi, 2 lainnya memiliki asma, 2


lainnya memiliki riwayat TBC namun sudah selesai pengobatan 6 bulan, 4
lainnya mengalami DM, dan rematik 8 orang.

c. Penanganan penyakit lansia


No Penanganan Frekuensi
Penyakit
1 Sarana Kesehatan 37

2 Non Medis 15

3 Diobati Sendiri 7

Jumlah 59

Penanganan penyakit lansia 27 orang pergi ke sarana kesehatan baik


itu puskesmas, rumah sakit ataupun klinik. Non medis seperti herbal 15
orang, diobati sendri 7 orang .

d. Penggunaan waktu senggang


No Waktu Senggang Frekuensi Persentase

1 Berkebun 38

2 Rekreasi 12

3 Senam 2

4 Lain-Lain 7

Jumlah 59

51
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Diagnosa Keperawatan
Harga diri rendah situasional pada remaja di kelurahan Patimuan
berhubungan dengan Gangguan gambaran diri yang
dimanifestasikan dengan Akibat dimarahi dan diperlakukan kasar
sama orang tua.
2. Perencanan
1. Tujuan jangka panjang
Koping komunitas di Desa Huntu Barat menjadi efektif dalam
menjalani masalah.

2. Tujuan jangka pendek


a. Orangtua di kelurahan patimuan dapat mengatasi stres.
b. Tidak terjadi kekerasan pada remaja di kelurahan patimuan.
c. Remaja di kelurahan patimuan tidak lagi takut dengan
orangtuanya.
d. Percaya diri paa remaja di kelurahan patimuan meningkat.
e. Kedekatan orang tua dan remaja menjadi lebih baik.

52
III. INTERVENSI KEPERAWATAN

Kriteri
Dx Tujuan Umum Tujuan Khusus Strategi Rencana Kegiatan Sumber Tempat Waktu Standar Evaluasi PJ
a

.I Setelah dilakukan Setelah dilakukan Proses 1. Pembentukan 1. Kader Aula Setiap Respon 1. Warga Mahasiswa
tind.keperawatan tind. keperawatan kelompok kelompok kerja kesehatan Kantor hari verbal mengikuti
selama 3 minggu selama 1 minggu: desa minggu, Kader
kesehatan jiwa di 2. Tokoh kelompok kerja kesehatan
diharapkan huntu dilakukan
orangtua bisa Warga Kelurahan desa masy. barat 2 kali/ kesehatan jiwa
melakukan Patimuan dapat minggu.
2. Pembentukan 3. Maha di desa
tindakan koping membentuk
kelompok kerja kelompok siswa 2. Warga
yang efektif.
kesehatan jiwa di pendukung seperti 4. Materi ttg mengikuti
desa dan
kelompok kesehatan kelompok
kelompok
pendukung . pengajian, jiwa pengajian
kelompok diskusi
kesehatan jiwa.

Setelah dilakukan Pedidikan 3. Latihan 1. kader Aula desa Setiap Respon 1. Warga Mahasiswa
tindakan kesehatan kepemimpinan kesehatan huntu hari verbal mengikuti
keperawatan sela Jiwa barat minggu, Kader
(mengadakan 2. Tokoh training motivasi kesehatan
ma 2 minggu melalui dilakukan
warga kelurahan Formasi training motivasi) masy. 2 kali/ 1 2. Warga bisa

53
patimuan dapat kepemimp 4. Edukasi 3. Tokoh minggu menyebut
melakukan inan (penyuluhan Agama bagaimana cara
demonstrasi ttg
tentang 4. mahasiswa memecahkan
bagaimana cara
menyelesaikan bagaimana cara 5. materi masalah
suatu masalah memecahkan tentang
yang baik.
masalah) kesehatan
jiwa

Setelah dilakukan Pemberda 1. Pembinaan 1. Kader Aula Setiap Respon 1. Warga aktif Mahasiswa
tind. keperawatan yaan dan keluarga sehat dan kesehatan kantor hari Psikom diskusi terkait
selama 3 minggu kemitraan desa minggu, otor Kader
anggota keluarga 2. Tokoh kasus yang ada kesehatan
warga kelurahan huntu dilakukan
patimuan dapat resiko gang. jiwa masy. barat 2 kali/ 1 2. Warga
melakukan studi membahas kasus 3. Maha minggu terkontrol
kasus tentang
terkait manajemen siswa emosinya
masalah yang
sering dihadapi stress dan di 4. Materi dengan
diskusikan. tentang kelompok
2. Pembinaan kesehatan diskusi tersebut
kelompok & jiwa Respon 3. Masyarakat
masy. melalui Afektif lebih mampu

54
kunjungan Perawa menghadapi
t Puskesmas/ kemungkinan
Komunitas masalah yg ada
3. Kerjasama LP warga terbuka
dengan Dinas wawasan dan
Kesehatan peluang usaha
Kabupaten berupa untuk perbaikan
pengadaan ekonominya.
kegiatan rutin Life
Skill Education
dan LS berupa
pelatihan
kewirausaan dari
Dinas Perikanan.

Setelah dilakukan Intervensi 1. Terapi modalitas 4. Perawat Aula Setiap 2 Respon 1. Warga merasa Mahasiswa
tind.keperawatan profesiona keperawatan 5. Tokoh kantor hari verbal lebih tenang dan kader
selama 4 minggu l desa sekali/min kesehatan
berupa pemberian masy. 2. Warga merasa
warga kelurahan huntu ggu
patimuan dapat teknik relaksasi 6. Tokoh barat lebih semangat
melakukan studi

55
kasus tentang nafas dalam. agama 3. Warga bisa
masalah yang 2. Terapi 7. Maha mengontrol
sering dihadapi
komplementer siswa emosinya
berupa
manajemen stress
3. Pemberian
bimbingan
keagamaan
(spiritual)

56
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Kelompok Rentan adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir
miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human
Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok
Rentan adalah:
h. Refugees (pengungsi)
i. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
j. National Minoritie (kelompok minoritas)
k. Migrant Workers (pekerja migran )
l. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
m. Children (anak)
n. Women (wanita)
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang
harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial
yang sedang mereka hadapi.
Kelompok rentan terbagi menjadi 3:
a. Penyandang cacat
b. Tunawisma
c. Gangguan mental/mental disorder

57

You might also like