Professional Documents
Culture Documents
nyoys1zhmne
http://www.mediafire.com/?l4oeemukdmy
Ditinjau dari aspek yang lebih sempit, amanah diartikan sebagai memelihara titipan yang akan
dikembalikan dalam bentuknya seperti sediakala. Dalam tinjauan yang diperluas, amanah
mempunyai cakupan yang lebih luas, seperti memelihara amanah orang lain, menjaga
kehormatan orang lain, atau menjaga kehormatannya.
Dalam konteks bernegara, amanah yang dibebankan kepada para pemegang amanah (pejabat
negara) harus dipikul dengan sebaik-baiknya karena memiiki dua perspektif
pertanggungjawaban: horizontal (habluminannas) dan vertikal (habluminallah). Setiap
pemimpin, baik di lingkup pemerintahan pusat maupun daerah, wajib menegakkan amanah
jabatannya sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah.
Dalam surah Al-Ahzab [33]: 21, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat serta dia banyak menyebut Allah."
Rasulullah pantaslah menjadi sosok panutan bagi para leader karena empat hal fundamental
yang melekat dalam dirinya, yaitu sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Meskipun susah untuk
mengikuti jejak keteladanan Nabi SAW secara komprehensif, paling tidak kita bisa mendekati
apa yang pernah Nabi Muhammad lakukan dalam menegakkan amanah sebagai pemimpin
agama dan negara ketika itu.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS
an-Nisaa [4]: 58).
Kemudian, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk
mengerjakan sesuatu dan kami beri upah yang semestinya, maka sesuatu yang diambilnya
sesudah itu (selain upah) namanya korupsi." (HR Abu Dawud).
Rasulullah pernah menegur Ibnu Luthbiyah dengan keras karena mengambil hadiah ketika
sedang menjalankan tugasnya sebagai pengumpul zakat. Rasulullah menegurnya dengan
bersabda, "Dengan wewenang yang diberikan Allah kepadaku, aku mengangkat seseorang di
antara kalian untuk melaksanakan tugas, (tetapi) dia datang melapor. Jika ia duduk saja di
rumah bapak dan ibunya, apakah hadiah itu datang sendiri kepadanya kalau barang itu memang
sebagai hadiah?
Demi Allah, seseorang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, melainkan ia menghadap
Allah nanti pada hari kiamat dengan membawa beban yang berat dari benda itu." (HR
Mutafaqun 'Alaihi).Semoga para pemimpin kita bisa menunaikan amanah jabatannya dengan
baik sehingga bangsa ini bisa maju dalam berbagai bidang.
-------
Doa Agar Dikabulkan Maksudnya:
Artinya: “Ya Allah, Engkau mengetahui apa yang aku sembunyikan dan yang aku lahirkan
maka terimalah uzurku (niatku).”
Allahummahdini liahsanil akhlaqi fa innahu la yahdi liahsaniha illa anta, wasrif ‘anni sayyiaha
fa innahu la yasrifu sayyiaha illa anta.
Artinya: “Ya Allah, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena sesungguhnya
tidak ada yang bisa menunjukkan kepadanya selain Engkau, dan jauhkanlah aku dari keburukan
akhlak karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menjauhkannya melainkan Engkau.”
Artinya: “Wahai Tuhanku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari perbuatan mereka.”
Rabbis sijni ahabbu ilayya mimma yad’unani ilaihi wa illa tasrif ‘anni kaidahunna asabu
ilaihinna wa akum minal jahilina.
Artinya: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka
kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan aku dari tipu-daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh.”
Mati bukan hanya ketika seseorang telah mengembuskan napas terakhir, matanya terpejam,
detak jantung terhenti, dan jasad tak bergerak. Itu semua hanya mati biologis. Kematiannya
masih bermanfaat karena menjadi pelajaran bagi yang hidup. Rasulullah SAW bersabda,
"Cukuplah kematian menjadi pelajaran, dan cukuplah keyakinan sebagai kekayaan." (HR At-
Thabrani dari Ammar RA).
Alangkah banyak manusia sudah mati, tapi masih memberikan manfaat bagi yang hidup, yakni
masjid atau madrasah yang mereka bangun, buku yang mereka tulis, anak saleh yang
ditinggalkan, dan ilmu bermanfaat yang telah diajarkan. Meraka mati jasad, tapi pahala terus
hidup (lihat QS al-Baqarah [2]: 154).
Sesungguhnya yang perlu diwaspadai adalah mati hakiki, yakni matinya hati pada orang yang
masih hidup. Tak ada yang bisa diharapkan dari manusia yang hatinya telah mati. Boleh jadi dia
hanya menambah jumlah bilangan penduduk dalam sensus. Hanya ikut membuat macet jalanan
dan mengurangi jatah hidup manusia lain. Itu pun kalau tak merugikan orang lain. Bagaimana
halnya dengan koruptor, orang yang merusak, dan menebar kejahatan di muka bumi?
Tanda manusia yang hatinya telah mati, antara lain, kurang berinteraksi dengan kebaikan,
kurang kasih sayang kepada orang lain, mendahulukan dunia daripada akhirat, tak mengingkari
kemungkaran, menuruti syahwat, lalai, dan senang berbuat maksiat.
Ada tiga hal yang bila kita tinggalkan akan menyebabkan kematian hati. Pertama, bila shalat
ditinggalkan, itu akan membuat jiwa kalut. Kita akan terjerumus ke dalam perbuatan keji,
terseret ke lembah kemungkaran dan kesesatan (QS al-Ankabut [29]: 45 dan QS Maryam [19]:
59), dan bisa menyusahkan serta merugikan orang lain.
Kedua, meninggalkan sedekah. Itu berarti kita egois, individualis, dan enggan berbuat baik.
Kepedulian sosial seperti sedekah adalah bukti keimanan. Orang yang suka bersedekah hatinya
lapang dan dijauhkan dari penyakit, khususnya kekikiran, sedangkan para dermawan selalu
menebar kebajikan sehingga dekat dengan manusia, Allah, dan surga.
Ketiga, meninggalkan zikrullah adalah awal kematian hati. Hatinya akan membatu sehingga tak
bisa menerima nasihat dan ajaran agama. Zikir akan menimbulkan ketenangan hati (QS Ar-Ra'd
[13]: 28). Orang yang tenang hatinya akan berperilaku positif dan tak mau berbuat jahat.
Mukmin yang selalu shalat, senang bersedekah, dan memperbanyak zikrullah akan menjadi
orang yang paling baik, memiliki hati yang hidup, dan menebar kebaikan kepada sesama. Bila
kita merasa rajin shalat, sedekah, dan zikir, tetapi hatinya mati, kemungkinan besar shalat,
sedekah, dan zikirnya cenderung formalitas tanpa jiwa.
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar dan
menyeru dengan suara yang tinggi, "Janganlah kalian menyakiti kaum Muslim, janganlah
menjelekkan mereka, janganlah mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-
cari aurat saudara sesama Muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan, siapa yang dicari-
cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walaupun ia berada di tengah
tempat tinggalnya." (dari Abdullah bin 'Umar)
Namun, kita sering melalaikan peringatan ini. Kita kerap kali bermain-main dengan aib. Kita
lupa kalau suatu saat Allah SWT pun akan membukakan aib kita tanpa bisa ditolak.
Sesungguhnya, ketika membuka aib orang lain, sama dengan memberitahukan aib kita sendiri.
Padahal, dengan menutup aib orang lain, Allah akan menutup aib kita, baik di dunia maupun
akhirat. Rasulullah bersabda, "Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia, melainkan
nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya".
Aib merupakan sesuatu yang diasosiasikan buruk, tidak terpuji, dan negatif. Manusia tidak bisa
lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Manusia harus berintrospeksi dan
menghisab diri sendiri untuk memperbaikinya. Umar bin Khattab berpesan, "Hisablah dirimu
sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu
ditimbang."
Dalam hidup, kita terkadang terlupakan dengan aib-aib sendiri yang begitu menggunung karena
begitu seringnya memikirkan aib orang lain. Kita juga sering lupa untuk bersyukur bahwa
Allah telah menjaga aib-aib kita. Sesungguhnya, manusia bukanlah apa-apa jika semua aibnya
dibukakan di depan mata orang lain.
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--"Katakanlah, 'Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah (argumentasi) yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik'". (QS Yusuf [12]: 108).
Ayat di atas merupakan ajakan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan berbasis hujah,
atau argumentasi. Sebuah ayat untuk menegaskan bahwa kehidupan keberagamaan seseorang
harus dibangun berdasarkan argumentasi yang kuat, melalui ketajaman mata hati, atau basirah.
Semakin luas dan tajam basirah seseorang, semakin serius pula amaliah dan praktik
keberagamaannya. Keikhlasan dan keistikamahan akan lahir dengan sendirinya. Dalam ayat di
atas, Allah mendampingkan proses kewajiban dakwah dengan basirah sebagai sebuah
kewajiban syari yang dituntut oleh Islam.
Ibnu Katsir mengidentifikasi basirah sebagai sebuah keyakinan yang berlandaskan argumentasi
syari dan aqli yang kokoh, serta tidak taklid buta. Menurut Syaukani, basirah adalah
pengetahuan yang mampu memilah yang hak dari yang batil, benar dari salah, dan begitu
seterusnya.
Untuk mendapati ketajaman basirah, banyak amaliah yang harus dipenuhi. Pertama, adanya
sebuah kesadaran niat yang benar. Karena, niat yang salah akan turut mempengaruhi kinerja
dan mengakibatkan kerja yang asal-asalan. Terlebih, ibadah dan amaliah ketaatan cenderung
naik turun. Inilah rahasianya mengapa setiap amal dalam Islam harus didasari niat yang benar
dan tulus karena Allah.
Kedua, untuk menajamkan basirah, mutlak seseorang harus tobat secara sungguh-sungguh.
(QS At-Tahrim [66]: 8). Ketiga, menyisihkan hasrat dunia dengan tak tebersit untuk menabung
banyak dosa dan maksiat. (QS Al-Hujurat [49]: 11). Keempat, serius menjaga amalan wajib
dan menghidupkan yang sunah (QS Thoha [20]: 90).
Kelima, menghidupkan waktu terutama di malam hari dengan banyak berzikir dan
bermuhasabah. Siang banyak berbuat kebajikan dan malam tidak dihabiskan dengan tidur.
"Sesungguhnya, mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat dengan ihsan.
Di dunia, mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. Dan, selalu memohonkan ampunan di
waktu pagi sebelum fajar". (QS Adz-Dzariyat [51]: 16-18).
Hal lain adalah menumbuhkan rasa takut terhadap hisab akhirat. Selain itu, perlu melatih
ketekunan, kesabaran, dan kokoh terhadap gempuran godaan. Dari titik inilah, seseorang secara
perlahan akan memiliki ketajaman mata hati (basirah) sehingga amaliah dakwahnya akan
senantiasa dinamis dan cerdas mencari kreativitas baru dalam berdakwah.
Contoh sosok yang memiliki basirah mengagumkan adalah Nabi Nuh AS. Di tengah penolakan
kaumnya, ia tetap mencari terobosan baru dalam berdakwah. Ia tetap komit dan tegar, bahkan
mencari alternatif sarana dakwah yang beragam sesuai dengan kondisi dan tuntutan kaumnya.
Beliau dengan istrinya, Siti Hajar, dan anaknya (Ismail)-di samping istri yang kedua Siti Sarah
dan anaknya Ishaq-adalah contoh keluarga yang berhasil membangun kehidupan atas dasar
keyakinan kepada Allah SWT. Mereka juga dapat membangun idealisme dan cita-cita yang
sangat tinggi disertai dengan pengorbanan yang tanpa mengenal pamrih, kecuali hanya
mengharap ridha Allah SWT.
Pilar-pilar yang dibangun oleh keluarga teladan ini diungkapkan oleh Allah SWT secara perinci
pada QS ash-Shaffat [37]: 99-112. Pertama, memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu saling
menjaga dan saling memelihara dalam ketaatan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim sebagai sang
ayah pergi berdakwah ke berbagai pelosok untuk menyebarkan risalah Allah SWT. Siti Hajar,
sang istri, dengan ikhlas mendukung kegiatan ini sekaligus memberikan dorongan dan doa
restunya agar perjalanan suaminya mendapatkan keberkahan Allah SWT.
Kedua, selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar mendapatkan anak dan keturunan
yang saleh dan salehah sebagai pewaris dan penerus perjuangan orang tuanya. Tentu, mereka
diharapkan juga mampu mendirikan shalat dengan sebaik-baiknya.
Ketiga, membangun keyakinan terhadap turunnya pertolongan Allah SWT yang dilandasi
dengan kegigihan berusaha dan berikhtiar. Sebagai contoh, ketika mencari air untuk memenuhi
kebutuhan anaknya yang masih kecil (Ismail), Siti Hajar berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan
Bukit Marwah. Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga
sebelumnya, yaitu air zamzam.
Keempat, membudayakan diskusi dan musyawarah antara sesama anggota keluarga sehingga
timbul pemahaman dan pengertian yang baik. Sebagai contoh, ketika bermimpi untuk
menyembelih anaknya (yang diyakininya sebagai perintah Allah SWT), Nabi Ibrahim dalam
implementasinya tetap berdialog dan berkomunikasi dengan anaknya. Lalu, keduanya
melaksanakan ketentuan Allah SWT ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Kelima, membangun semangat berkorban untuk menumbuhkan kecintaan kepada Allah SWT
dan kecintaan kepada sesama manusia. Inilah beberapa pilar utama dalam membangun keluarga
yang kuat yang telah dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim AS untuk dijadikan pelajaran dan
suri teladan orang-orang yang beriman yang menginginkan keluarganya bahagia dan sejahtera
atas dasar ketundukan dan kepatuhan kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam QS al-Mumtahanah [60]: 4, "Sesungguhnya telah ada suri teladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia." Wallahu a'lam.
Masjidil Haram
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rasulullah bersabda, "Barang siapa berhaji di Baitullah,
kemudian dia tidak berkata-kata kotor atau berbuat dosa, ia kembali dari haji seperti bayi yang
baru dilahirkan oleh ibunya." (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Rangkaian ibadah haji di Tanah Suci sudah usai. Para jamaah akan pulang dari Tanah Suci ke
negara masing-masing dengan membawa label 'telah berhaji'. Kaum Muslim Indonesia
biasanya mencantumkan label 'haji', yang disingkat dengan 'H' (bagi laki-laki), atau 'hajah', yang
disingkat 'Hj' (bagi wanita), di depan namanya.
Sebuah bukti sekaligus kebanggaan dan rasa syukur bahwa ia telah menyempurnakan rukun
Islam yang kelima. Bagi yang pertama kali berhaji tentu saja.
Secara formal, rangkaian-rangkaian ibadah haji mulai dari ihram sampai tahalul sudah
sempurna dilakukan. Tapi, sesungguhnya ibadah haji tidak hanya pemenuhan formal saja. Pada
hadis di atas, Rasulullah mengisyaratkan sisi informal haji yang juga harus dipenuhi, yakni
larangan untuk tidak berkata-kata kotor atau berbuat dosa.
Sisi informal ini berlaku, atau hal yang mesti disertakan pada setiap rangkaian ibadah formal
haji. Jika dua sisi ini dilakukan, seperti disebutkan oleh beliau, orang tersebut akan kembali
tanpa dosa, seperti bayi baru terlahir. Itulah yang disebut dengan haji mabrur, yang balasannya
adalah surga. "Haji mabrur itu tidak ada balasan lain, kecuali surga." (HR Nasai dari Abu
Hurairah).
Tidak ada oleh-oleh yang paling berharga dari Tanah Suci, selain haji mabrur. Inilah aset yang
akan ditukar dengan surga, sekaligus investasi paling berharga di akhirat. Dan, memang hanya
surgalah yang disiapkan oleh Allah bagi orang-orang yang hajinya mabrur.
Sebagai sebuah aset, orang-orang yang hajinya mabrur berkewajiban untuk menjaganya baik-
baik agar tidak kotor, apalagi sampai rusak. Tidak sedikit orang yang berhaji dan pulang
membawa haji mabrur. Tapi setelah haji, ia kembali berkata-kata kotor dan berbuat dosa.
Label haji atau hajah yang disematkan di depan nama orang yang pulang dari haji sebenarnya
adalah label pengingat bahwa ia sudah berhaji dan dituntut untuk menjaga kehajian atau
kehajahannya sampai akhir hayat dengan menjaga lisan atau menjaga diri dari perbuatan dosa.
Secara formal, ibadah haji waktunya terbatas, bentuk-bentuk manasiknya juga sudah
ditentukan. Tapi, secara informal, nilai-nilai ibadah haji akan terus menyertai orang yang
berhaji, bahkan hingga ketika haji formal itu sudah usai.
Tidak ada haji di bulan selain Dzulhijah, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalam seluruh
rangkaian ibadah haji itu akan terus bersama orang yang telah berhaji, kapan pun dan di
manapun. Orang yang telah berhaji dituntut untuk mengimplementasikan nilai-nilai itu
sepanjang hayat. Wallahu a'lam.
Setelah dibagi rata, Umar kebagian sehelai pakaian. Karena kekecilan, pakaian itu hanya sampai
menutupi pahanya. Ia kemudian meminta putranya, Abdullah, untuk memberikan pakaian
jatahnya. Umar pun memermak kedua pakaian itu, hingga menutup di atas mata kakinya.
Ia lalu naik mimbar, "Wahai kalian semua, dengarlah apa yang akan kusampaikan .…" Tiba-
tiba, Salman al-Farisi menginterupsi, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan mendengar dan
mematuhi kata-katamu!" Umar bertanya, "Mengapa begitu?"
"Engkau mengenakan dua helai pakaian, sementara kami hanya satu pakaian; di mana letak
keadilan? Anda telah berlaku zalim kepada rakyatmu?" ujar Salman protes. Mendengar kritik
Salman, Umar tak marah. Ia hanya tersenyum simpul. "Hai Abdullah, berdirilah dan jelaskan
duduk persoalannya kepada mereka," ungkap Umar.
Abdullah lalu berkata, "Postur tubuh ayahku itu tinggi. Pakaian jatahnya tidak cukup, lalu
jatahku kuberikan kepadanya. Ia lalu menyambungkannya agar bisa menutupi auratnya."
Semua sahabat terdiam. Salman kembali berkata, "Kalau begitu, sampaikanlah pesan-pesanmu
wahai Amirul Mukminin, kami akan mendengarnya. Instruksimu akan kami laksanakan."
Kisah tentang keteladanan seorang pemimpin juga pernah dicontohkan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz berada di suatu majelis. Ketika tiba siang hari,
ia gelisah dan merasa bosan. Ia lalu berkata kepada yang hadir, "Kalian tetap di tempat sampai
saya kembali."
Putranya kemudian bertanya lagi, "Yakinkah engkau bahwa setiap kematian akan datang,
sedangkan rakyatmu menunggu di depan pintumu, sementara engkau tidak melayani mereka?"
Sang Khalifah pun terkejut. "Engkau benar, wahai anakku." Ia lalu bangun dan menemui rakyat
yang sedang menunggunya.
Kisah kepemimpinan dua Umar di atas telah membuktikan kepada sejarah bahwa pemimpin
yang dicintai rakyatnya adalah yang mampu mengesampingkan egoisme pribadi serta
kelompoknya. Hati nurani rakyat dan nurani dirilah yang menjadi "pengawal"
kepemimpinannya.
Hanya pemimpin berhati nurani yang mau "mewakafkan" jiwa dan raganya untuk berdedikasi
demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan umat serta bangsanya. Pemimpin berhati nurani
dan tulus akan selalu memberi layanan prima bagi rakyatnya. Nabi SAW pernah bersabda,
"Mintalah fatwa kepada hati nuranimu." (HR Muslim). Termasuk, dalam memimpin dan
mengambil kebijakan.
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Agama Islam sangat menekankan kebersihan, baik
kebersihan fisik maupun batin. Cinta Allah, antara lain, dialamatkan kepada orang yang bersih
dan menyucikan diri. (QS Al-Baqarah [2]: 222). Setiap Muslim tentu sudah sangat maklum,
hadis Nabi yang menyatakan, "Al-Thuhur-u syathr-u al-Iman." (Kebersihan adalah separuh
dari iman). (HR Muslim dari Abi Malik al-Anshari).
Untuk bisa hidup bersih dan sehat, kita harus membuang dan membersihkan apa yang
dinamakan 'sampah kehidupan' (life garbage). Sampah kehidupan itu banyak sekali, baik dalam
diri maupun lingkungan kita. Namun, ada empat yang terpenting.
Pertama, sampah berupa kolesterol atau lemak-lemak tak berguna dalam tubuh kita. Sampah ini
timbul karena pola makan yang kurang baik, dan bisa berkembang menjadi toksin (racun) yang
dapat mengganggu kesehatan kita. Sampah ini bisa dibersihkan, antara lain, melalui puasa
sunah, puasa Senin-Kamis, atau puasa hari-hari terang (Ayyam al-Baydh).
Kedua, sampah pikiran, yaitu pikiran negatif (negative thinking) yang dapat mengganggu
kesehatan dan kemajuan kita. Pikiran kumuh, pesimistis, dan pandangan atau kepercayaan yang
cenderung melemahkan diri sendiri (limiting believe) tergolong sampah pikiran.
Sampah yang satu ini sangat berbahaya, karena tak ada sesuatu yang paling membelenggu
manusia selain pikirannya sendiri. Sampah ini harus dibersihkan, antara lain, dengan cara
membangun pikiran baru (mindset) yang positif dan optimistis (husn al-zhann), serta fokus
pada kemajuan, bukan pada kemunduran.
Ketiga, sampah relasi sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berkomunikasi dengan
orang lain. Namun, dalam berkomunikasi, manusia memerlukan keterampilan tersendiri agar
terhindar dari akibat buruk. Ingat, dalam komunikasi itu timbul saling memengaruhi. Emosi
negatif bisa memancarkan emosi dan energi negatif pula melalui apa yang disebut 'vibrasi
emosi'.
Itu sebabnya, Islam menyuruh agar kita bergaul dan berteman dengan orang-orang baik
(shuhbat al-shalihin). Bahkan, sufi terkemuka, Ibnu Athaillah al-Sakandari, dalam bukunya
yang sangat kesohor, al-Hikam, melarang kita berteman dengan orang-orang yang tidak
inspiratif. Katanya, "La tashhah man la yunhidhuka qauluh-u wa fi`luh-u."
Kempat, sampah berupa dosa-dosa kita. Dosa dan maksiat adalah sampah yang mengotori jiwa
dan hati kita. Para sufi sudah sejak lama memandang dosa ibarat polusi atau awan tebal yang
menutupi hati-nurani kita. Sampah ini harus dibersihkan dengan tobat, yaitu meninggalkan
dosa-dosa, baik besar maupun kecil, dan kembali ke jalan Tuhan. "Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS.
Al-Baqarah [2]: 222). Wallahu a`lam.
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Allah SWT telah memilih empat hari yang istimewa.
Pertama, Jumat karena di dalamnya ada waktu dikabulkannya doa. Siapa saja yang berdoa
kepada Allah, baik mengenai urusan dunia maupun akhirat, Allah pasti akan mengabulkannya.
Kedua, hari Arafah. Allah berfirman kepada malaikat, "Lihatlah hamba-hamba-Ku yang datang
dari berbagai penjuru dunia dengan berlumuran debu. Mereka telah menafkahkan hartanya dan
melelahkan badannya. Saksikanlah bahwa Aku telah mengampuni mereka."
Ketiga, hari Idul Fitri. Ketika kaum Muslimin berpuasa pada bulan Ramadhan, mereka
mengakhirinya dengan merayakan hari raya Idul Fitri dan melaksanakan salat Id. Keempat, hari
Idul Adha. Inilah hari keempat yang dipilih Sang Khalik. Pada hari itu, seorang hamba
berkurban kepada Allah SWT.
Setiap tetes darah dari hewan kurban yang disembelihnya adalah penghapus dosa-dosanya.
Allah berfirman kepada para malaikat, "Setiap orang yang beramal pasti mengharapkan balasan.
Oleh karena itu, saksikanlah bahwa Aku telah mengampuni mereka semua." Para malaikat
berseru, "Wahai umat Muhammad, pulanglah karena Allah telah mengganti keburukan kalian
dengan kebaikan."
Riwayat yang disarikan dari buku Menyingkap hati, Menghampiri Ilahi: Ziarah Ruhani
Bersama Imam al-Ghazali itu menjelaskan bahwa Idul Kurban adalah hari yang istimewa di sisi
Allah. Setiap Muslim yang memiliki keluasan rezeki disunahkan untuk menyembelih hewan
kurban sebagai upaya untuk mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta.
Sesungguhnya, ada dua tipe manusia yang berkurban. Dalam Alquran dijelaskan, ada
seseorang yang berkurban dengan tulus sehingga kurbannya diterima Allah SWT. Ada pula
yang berkurban dengan setengah hati sehingga kurbannya sia-sia, tanpa mendapatkan ridha
Allah.
Tipe pertama diwakili oleh Habil anak Nabi Adam yang mengorbankan harta miliknya yang
paling berharga, yaitu kambing yang gemuk dan besar. Ia mempersembahkannya kepada Allah
dengan tulus ikhlas untuk mendapatkan ridha Sang Khalik.
Tipe kedua adalah Qobil anak Nabi Adam yang lain. Meski ia seorang petani kaya, Qabil
berkurban dengan segenggam gandum yang kering dengan niat setengah-setengah.
Hasilnya, Allah menerima kurban Habil dan menolak persembahan Qabil. Kisahnya dijelaskan
dalam surah al-Maidah [5] ayat 27. Mudah-mudahan ibadah kurban kita pada Idul Kurban
1431 H ini, termasuk pada tipe Habil yang berkurban dengan ikhlas dan tulus untuk
mendapatkan ridha Allah SWT. Semoga.
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Seperti dikisahkan Alquran, peristiwa kurban bermula dari
drama kenabian yang sangat tak masuk akal. Seorang Ibrahim diminta menyembelih anaknya
sendiri, Ismail. Sebuah dialog yang sangat humanis-edukatif pun berlangsung antara ayah dan
anak untuk memastikan kebenaran perintah itu.
Setelah diyakini bahwa itu merupakan perintah Tuhan, meskipun sangat irasional, Ibrahim pun
melakukannya dengan diiringi sikap pasrah Ismail. Inilah jejak kenabian yang terus kita warisi
dengan kesanggupan yang tulus untuk bekurban dengan melepaskan semua yang kita cintai
sekalipun.
Kisah yang sarat hikmah itu terus dilakukan setiap kali datang Idul Adha. Setiap Muslim ikut
merayakannya. Di tengah gemuruh takbir menjelang Idul Adha itu tumbuh rasa keadilan untuk
saling menyapa kebersamaan sambil menelusuri jejak hikmah dari perjalanan sejarah Ibrahim
dan Ismail. Takbir inilah yang kemudian membuka pintu kurban.
Dalam konteks pelaksanaan rukun Islam yang kelima, Idul Adha merupakan haflah umat untuk
mengapresiasi saudara-saudaranya yang tengah berkumpul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Pertemuan raksasa di Padang Arafah itu memancarkan semangat kebersamaan yang hakiki.
Itu kebersamaan yang senantiasa dirindukan. Wujud kebersamaan yang mungkin sudah sangat
sulit ditemukan dalam perjalanan hidup sehari-hari. Kebersamaan yang kini telah terikat pada
ukuran-ukuran pragmatisme dalam kalkulasi untung dan rugi.
Untuk mewujudkan spirit Idul Adha, hal terpenting adalah menumbuhkan kembali semangat
Arafah. Semangat itu hendaknya tetap mengikat kebersamaan umat. Di tengah cobaan
kebersamaan yang saat ini tengah melilit bangsa, pada momentum Idul Kurban kali ini kita
berharap dapat jujur mengakui kekeliruan serta mengikatkan kembali tali solidaritas.
Terlebih, saat ini saudara kita tengah menangis di bawah guyuran debu Merapi, sisa guncangan
gempa dan tsunami Mentawai, atau kelelahan menghadapi banjir bandang. Karena itu, pada
Idul Kurban ini kita perlu bermuhasabah dengan tulus dan penuh kejujuran.
Mengapa kepekaan dan kesantunan sikap terasa semakin pudar, padahal kita telah merintis dan
membinanya selama berabad-abad. Dan, mengapa jarak antara kaum kaya dan kaum papa kian
lebar menganga.
Rasulullah pernah bersabda, "Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan
menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam menimbun harta, sungguh mereka
akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang
khianat, dan musuh yang mengancam," (HR Al-Dailami).
Kita sesungguhnya hendak menjawab, "Tidak!" Tapi, sudahkah perjalanan ibadah kurban itu
berdampak dalam membentuk karakter pribadi dan masyarakat? Jika bekurban mengisyaratkan
sikap peduli melalui simbolisasi pembagian daging hewan, apakah kepedulian itu juga telah
menjadi watak yang berperan fungsional, bukan saja pada saat kurban dilaksanakan, tapi juga
dalam keseluruhan perjalanan hidup?
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nabi Ibrahim AS, selain dikenal sebagai bapak nabi-nabi,
ia juga dikenal sebagai bapak monoteisme. Keagamaan Ibrahim dicapai tak melulu melalui
iman, tetapi juga melalui penyelidikan ilmiah terhadap fenomena alam yang mengantarnya
sampai kepada kesimpulan tauhid (QS al-An'am [6]: 79).
Berkali-kali Allah SWT menguji Ibrahim dengan cobaan yang berat. Hebatnya, ia selalu lulus
dan mampu melewati berbagai ujian itu dengan sukses. Karena itu, ia layak dan pantas
dinobatkan sebagai imam dan pemimpin umat. "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikan dengan sebaik-baiknya." (QS al-Baqarah
[2]: 124).
Ada banyak tafsir tentang makna pada ayat di atas. Pakar tafsir Ibnu Katsir memahaminya
sebagai syariat dari Allah berupa sejumlah perintah (al-awamir) dan sejumlah larangan (al-
nawahi). Selain bermakna syariat, kalimat itu, menurut al-Alusi, juga bermakna ujian dan
cobaan. Al-Alusi mengungkapkan, ada tujuh macam cobaan yang dihadapi Ibrahim. Namun,
ada yang menyebut 13 hingga 30 cobaan.
Dari semua ujian dan cobaan yang dihadapinya, ada empat ujian yang sungguh berat. Pertama,
ia pernah dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud. Kedua, ia diminta melakukan khitan pada
usia tua. Ketiga, ia tidak diberi keturunan sampai usia senja, tetapi ia tidak berhenti berdoa. "Ya,
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh." (QS al-
Shaffat [37]: 100).
Keempat, setelah mendapat anak (Ismail), ia diminta menyembelihnya. Ujian yang mahaberat
itu pun ditunaikan Ibrahim dengan penuh ketaatan. Ia memenuhi semua perintah Allah (QS al-
Najm [53]: 37) dan membuktikan kebenaran mimpinya. "Sungguh, engkau telah membenarkan
mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik." (QS al-Shaffat [37]: 105).
Sebagai muwahid sejati dan bapak monoteisme, Ibrahim memberikan apa saja yang diminta
oleh Allah, termasuk Ismail, "aset" paling berharga yang dimilikinya. Menurut Doktor Ali
Syari'ati, Ismail adalah simbol dari sesuatu yang paling dicintai oleh manusia. Setiap orang
tentu memiliki "Ismail"-nya dalam bentuk dan rupa yang berbeda-beda.
Tauhid pada hakikatnya mengandung makna ketundukan manusia secara total kepada Allah
SWT. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan cintanya hanya kepada Allah SWT. Nabi
Ibrahim adalah contoh par-excellent dalam soal ini. Itu sebabnya namanya disebut dan
diabadikan oleh Allah dalam semua kitab suci dan terutama dalam kitab suci Alquran.
Nabi Muhammad SAW dan seluruh kaum beriman disuruh mengikuti agama (millah) Ibrahim.
Dikatakan, hanya orang-orang "dungu" yang membenci dan menolak agama bapak monoteisme
ini. "Dan, tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh
dirinya sendiri."(QS al-Baqarah [2]: 130). Wallahu a'lam.
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Merupakan kehendak Allah SWT, semua bentuk ibadah
dalam Islam memiliki hikmah dan landasan filosofis. Hari raya senantiasa tiba seusai umat
Islam melaksanakan ibadah cukup berat.
Idul Fitri datang setelah ibadah puasa Ramadhan. Idul Kurban tiba setelah umat Islam beramal
saleh selama 10 pertama Dzulhijjah dan puasa Arafah. Esensi hari raya hanyalah peristirahatan
sebentar setelah perjalanan ibadah yang berat atau hadiah kemenangan dari Allah untuk kaum
Mukminin yang telah sukses melawan godaan setan.
Hari raya bukanlah peristiwa tahunan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan ketaatan
sebagaimana yang sering disalahpahami sejumlah orang. Setiap insan hanyalah sebagai hamba
Allah dalam segala ucapan dan perbuatannya. Agama tidak menginginkan seorang hamba
kehilangan hubungannya dengan Allah walau sekejap.
Kehidupan Muslim bagaikan perjalanan panjang yang ditempuhnya, sekali-sekali istirahat
sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan perjuangan spiritual dan kehidupannya yang
lurus dan bersih. Istirahat sebentar itu adalah hari raya, yang di dalamnya diperbolehkan
bergembira ria dengan berbagai hiburan yang mubah (dibolehkan).
Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab disebut dengan 'id' yang artinya senantiasa kembali dengan
membawa kebahagiaan, kegembiraan, dan kelapangan.
Hari raya dalam perspektif Islam harus diisi dengan berbagai nasihat, syiar, dan ibadah yang
mengandung nilai-nilai sosial, di samping merupakan kesempatan untuk membahagiakan
setiap insan di muka bumi. Allah SWT telah mengaitkan Idul Adha ini dengan nilai sosial yang
abadi dalam bentuk pengorbanan.
Dalam syariat kurban terkandung makna pengokohan ikatan sosial yang dilandasi kasih
sayang, pengorbanan untuk kebahagiaan orang lain, ketulusikhlasan, dan amalan baik lainnya
yang mencerminkan ketakwaan.
Kilasan esensi ini diungkap Allah dalam surah al-Hajj ayat 37, "Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada
kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu
supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
Di antara nilai sosial yang harus menghiasi setiap Muslim pada hari raya adalah menghilangkan
berbagai bentuk kedengkian dan iri hati dalam diri, melupakan macam-macam permusuhan dan
pertentangan, serta kita tingkatkan kepedulian kepada saudara-saudara kita yang tertimpa
musibah.
Mari bersama mengorbankan hawa nafsu, membuang sikap individualistis dan fanatis
mekelompok, demi ukhuwah insaniyah. Dengan Idul Kurban, kita teladani Ibrahim dan Ismail
AS, serta bersama menebar kasih sayang.
Laki-laki
Ma'amar Kemakmuran
Ma'arif Kecantikan, pengetahuan
Mabruk Yang diberkati
Ma'asyir Pandai bergaul
Mabrur Membuat kebajikan
Majad Kemuliaan
Makmun Beramanah
Mahasin Kebaikan
Majid Dihormati
Majdi Kemulianku
Mahamid Pujian, terpuji
Mahdi Yang mendapat hidayah
Mahbub Yang dikasihi
Mahadhir Menulis kebaikan
Mahfuz Terpelihara
Madani Kemajuan
Makhluf Maju ke hadapan
Mahmud Terpuji
Makhlad Yang kekal
Mahzuz Bernasib baik
Maisur Yang senang
Makarim Kemulian
Mahran Kebijaksanaan
Malazi Tempat perlindungan
Mamduh Terpuji
Mahir Pakar
Manaf Ketinggian, kenaikan
Manan Pemurah
Mansur Pemenang (yang mendapat pertolongan)
Manzur Yang boleh diterima, dipersetujui
Maqbul Diterima, dipersetujui
Marjan Batu karang
Marzuq Yang mendapat rezeki
Marzuqi Rezekiku
Marwan Bermaruah
Masrur Yang riang, suka
Masykur Yang bersyukur
Mas'ud Bertuah
Masyhad kesaksian
Masyahadi Persaksianku, tuntutanku
Masyruh Lapang dada
Masun Yang terpelihara
Mathlub Cita-cita
Maula Tuan besar
Maulawi Yang berzuhud (Maulana)
Mawardi Nisbah, bunga mawarku
Mazhud Yang zuhud
Maziz Mulia
Mikyad Yang bertaubat
Miftah Pembuka, perintis
Mirza Anak yang baik
Minhaj Acara, biasa
Mikbad Ibadah
Mifzal Teramat mulia
Mikdam Berani
Misbah Pelita, cahaya
Mizwar Rajin berkunjung
Muammar Panjang umur
Muawiyah Nama sahabat nabi Muhammad SAW
Muadz Nama sahabat nabi Muhammad SAW
Muayyad Kuat, menang
Muazhzham Dihormati, disanjungi
Mubarrak Yang diberkati
Mubin Lut sinar, jernih
Mubasyir Pembawa petanda yang baik
Mughis Penolong
Muhaimin Yang memelihara dan mengawal
Muqtadir Yang berkemampuan
Muhammad Yang terpuji, dirahmati
Muharram Bulan Muharram
Muhazzab Yang terdidik
Muhajir Yang berhijrah
Muhsin Yang membuat kebaikan
Muhib Kekasih, peminat
Muqri Ahli ibadat
Muhibbuddin Pengasih agama
Muhtadi Beroleh hidayah
Mujahid Pejuang Islam
Mujib Penyahut
Mujibuddin Penyahut agama
Mujibur Rahman Penyahut seruan Allah Yang Maha Pengasih
Mulhim Pemberi inspirasi
Mu'inuddin Pembela agama
Muntasir Yang menang
Muizzuddin Penyokong agama
Mu'tasim Terjaga
Mukhtar Yang terpilih
Mukthi Pemberani
Munawwar Berkilau
Munawwir Bersinar
Munir Yang menerangi
Munabbih Pemberi peringatan
Mundzir Yang memberi amaran
Muntazhar Yang diawasi
Murad Keinginan, cita
Mursyid Pemimbing, guru
Mursil Wakil
Muradi Harapanku
Mus'ab Nama sahabat nabi Muhammad SAW
Musa Nama nabi
Mus'ad Yang bahagia
Musaid Penolong
Musawi Yang adil
Muslih Yang membaiki
Muslihin Yang memulihkan
Muslihuddin Pemulih agama
Muslim Yang menyerah diri kepada Allah
Musayyad Nama sahabat nabi Muhammad SAW
Mushthafa Yang terpilih
Mustaqim Yang lurus
Musyrif Tinggi, pengawas
Muthalib Yang menuntut dari masa ke semasa
Muzaffar Kemenangan
Wanita
Maghfirah Pengampunan
Mahbubah Disenangi - dicintai
Mahdiyah Yang mendapat hidayah
Mahfudzah Terpelihara
Mahirah Pandai - cakap
Maimanah Keberkahan
Maimunah Yang diberkahi Allah
Maisaroh Ketenangan
Maisun Berwajah dan bertubuh cantik
Majidah Mulia
Maknunah Menutup muka karena malu
Malihah Cantik
Mani'ah Mulia - Kuat
Maqbulah Diterima permintaannya
Mardhiyah Mendapat keridhoan Allah
Mariah Istri Rasulullah Saw
Marwa Berhati-hati dalam memikirkan
Marwah Bukit Marwah di Masjidilharam
Maryam Ibunda nabi Isa As
Maryana Nama Orang
Masarrah Kesenangan
Ma'shumah Bebas dari dosa
Masikah Nama wanita sahabat Nabi SAW
Masyithoh (1) Penyisir rambut (2) Yang mati syahid oleh Firaun
Mawaddah Cinta kasih
Muazarah Bantuan, Pertolongan
Mudhiah Menyinari
Mudrikah Dapat memahami
Mufidah Memberi manfaat
Muhajirah Yang berhijrah
Mukhbitah Tunduk patuh
Mu'minah Beriman
Mumtazah Istimewa
Muna Cita-cita
Munibah Berinabah (Taubat)
Munifah Kedudukan yang tinggi - menonjol
Muniroh Bercahaya
Mu'nisah Teman yang menyenangkan
Muqsithoh Yang berbuat adil
Muslimah Beragama Islam
Mustajabah Terkabul Do'anya
Muthi'ah Yang taat
Muthmainnah Tenang - Tentram
Muznah Berdandan bagus
Republika OnLine » Ensiklopedia Islam » Nama Islami
Nama-nama Islami dengan Awalan Huruf 'U'
Rabu, 04 Februari 2009, 20:06 WIB
Nama Arti
Laki-laki
Wanita
Lelaki-laki
Wanita
Laki-laki
Wanita
Laki-laki
Wanita
Laki-laki
Wanita
Laki-laki
Wanita
Laki-laki
wanita
Laki-laki
Wanita
Laki-laki
Wazir Mentri
Wa'adi Janjiku
Wabil Pemurah
Wadud Penyayang
Wadihan Cantik, lawa
Wadi Aman, tenteram
Wafid Tamu
Wafiy Setia, jujur
Wafiuddin Setia pada agama
Wafri Kekayaanku, keluasanku
Wafiq Berjaya
Wahib Pemberi
Wahab Pemberian
Wahid Tunggal
Wahiduddin Terulung pada agamanya
Wahiduz Zaman Terulung pada zamannya
Wahnan Mudah, senang
Wail Perteduhan, perlindungan
Waiz Penasihat, mubaligh
Wajdi Kesayanganku
Wajihuddin Yang terkemuka dalam agama
Wali Kekasih, pelindung
Walid Kelahiran, yang dilahirkan
Waliuddin Pembela dan pemelihara agama
Waqar Ketenangan dan sopan santun
Waqur Ketenangan dan kesopanan
Waqqas Nama sahabat nabi Muhammad SAW
Waqiuddin Pemelihara agama
Wardi Bunga mawarku
Warid Berani
Warits Pewaris
Wasim Rupawan
Wasil Penghubung silatur rahim
Wazif Yang tekun, gigih
Wathiq Yang berkeyakinan
Wazin Pendapat yang kukuh
Wazni Yang menimbang secara adil
Waldan Anak baik
Wazir Menteri, yang berkuasa
Widad Cinta, cita-cita
Wijdan Sanubari, hati
Wisam Petanda
Wanita