You are on page 1of 32

Referat

Kehamilan Ektopik Terganggu

Oleh:

Annisa Fadhillah Nurdina (114170004)

Qurotul Aqyun (114170056)

Pembimbing

dr. Rosita Indriani Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK SMF OBSTETRI GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI / RSUD WALED

CIREBON

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan laporan refrat yang mengambil topik “Kehamilan Ektopik Terganggu.”
Kehamilan ektopik terganggu merupakan salah satu kasus di bidang obstetri dan ginekologi,
dipandang perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius, karena jika tidak mendapatkan
penanganan yang tepat akan dapat mengakibatkan efek yang fatal bagi penderitanya.

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan periode 2018 s/d 2019 di RSUD Waled Cirebon. Tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan
responsi kasus ini, terutama kepada dr. Rosita Indiriani Sp.OG, selaku dokter pendamping yang telah
memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan dan penyempurnaan Referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan
manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan.

Cirebon, Januari 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... vi
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Definisi .............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi ...................................................................................... 4
2.3 Etiologi .............................................................................................. 5
2.4 Patofisiologi ....................................................................................... 8
2.5 Patologi .............................................................................................. 10
2.6 Gambaran Klinis ................................................................................ 10
2.7 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 15
2.8 Diagnosis ........................................................................................... 23
2.9 Diagnosis Banding ............................................................................. 24
2.10 Penatalaksanaan ................................................................................. 25
2.11 Komplikasi ......................................................................................... 30
2.12 Prognosis ............................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 32
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Wanita ....................................................... 3


Gambar 2. Lokasi Kehamilan Ektopik ..................................................................... 4
Gambar 3. Kehamilan Ektopik ................................................................................ 6
Gambar 4. Kehamilan Ektopik Tuba ....................................................................... 9
Gambar 5. Ruptur Tuba pada Kehamilan Ektopik ................................................... 10
Gambar 6. Gambar USG Kehamilan Ektopik........................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Kehamilan ektopik terjadi apabila hasil konsepsi berimplantasi, tumbuh
dan berkembang di luar endometrium normal. Kehamilan ektopik ini
merupakan kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan
berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan gawat. Keadaan
gawat ini dapat terjadi apabila Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) dimana
terjadi abortus maupun ruptur tuba. Abortus dan ruptur tuba menimbulkan
perdarahan ke dalam kavum abdominalis yang bila cukup banyak dapat
menyebabkan hipotensi berat atau syok. Bila tidak atau terlambat mendapat
penanganan yang tepat penderita akan meninggal akibat kehilangan darah yang
sangat banyak.

Pada kehamilan normal, telur yang sudah dibuahi akan melalui tuba falopi
menuju ke uterus. Selama tiga sampai empat jam pertama setelah pembuahan,
zigot tetap berada di dalam ampula, karena penyempitan antara ampula dan
saluran tuba uterina sisanya menghambat pergerakan lebih lanjut zigot menuju
uterus. Sekitar tiga sampai empat hari setelah ovulasi, progesteron diproduksi
dalam jumlah memadai untuk melemaskan konstriksi tuba uterin sehingga
morula dapat dengan cepat terdorong ke dalam uterus oleh kontraksi peristaltik
tuba uterin dan aktivitas silia. Penundaan sementara mudigah yang baru
terbentuk masuk ke dalam uterus memungkinkan nutrien-nutrien terkumpul di
lumen uterus untuk menunjang mudigah sampai implantasi berlangsung. Jika
tiba terlalu cepat di uterus, morula akan mati. Dalam 3 hari terbentuk kelompok
sel yang sama besarnya dan disebut stadium morula. Dalam ukuran yang sama
ini hasil konsepsi disalurkan terus ke pars ismika dan pars interstitialis tuba
(bagian-bagian tuba yang sempit) dan terus ke arah kavum uteri oleh arus serta
getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba. Dalam kavum
uteri, hasil konsepsi mencapai stadium blastula. Blastula dilindungi oleh simpai
yang disebut trofoblas, yang mampu menghancurkan dan mencairkan jaringan.
Ketika blastula mencapai rongga rahim, jaringan endometrium dalam keadaan
sekresi. Jaringan endometrium ini banyak mengandung sel-sel desidua.

Blastula dengan bagian yang berisi massa sel dalam (inner-cell mass) akan
masuk ke dalam desidua, menyebabkan luka kecil yang kemudian sembuh dan
menutup lagi. Pada saat nidasi terkadang terjadi sedikit perdarahan akibat luka
desidua (tanda Hartman). Nidasi terjadi pada dinding depan atau belakang
uterus (korpus), dekat pada fundus uteri. Blastula yang berimplantasi pada
rahim akan mulai tumbuh menjadi janin.1

Pada kehamilan ektopik, telur yang sudah dibuahi berimplantasi dan


tumbuh di tempat yang tidak semestinya. Kehamilan ektopik paling sering
terjadi di daerah tuba falopi (98%), meskipun begitu kehamilan ektopik juga
dapat terjadi di ovarium, rongga abdomen, atau serviks.3

Menurut WHO (2007), kehamilan ektopik mengakibatkan sekitar 5%


kematian ibu pada negara-negara berkembang.2 Insiden rate Kehamilan
ektopik di Amerika Serikat mengalami peningkatan lebih dari 3 kali lipat
selama tahun 1970 dan 1987, dari 4,5/1000 kehamilan menjadi 16,8/1000
kehamilan. Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention,
insiden rate kehamilan ektopik di Amerika Serikat pada tahun 1990-1992
diperkirakan 19,7/1000 kehamilan. Dan pada tahun 1997-2000 mengalami
peningkatan lagi menjadi 20,7/1000 kehamilan. Di Logos, Nigeria, 8,6%
kematian ibu disebabkan oleh kehamilan ektopik dengan Case Fatality Rate
(CFR) 3,7 %.9 Di Norwegia, insiden rate kehamilan ektopik meningkat dari
4,3/10.000 kehamilan menjadi 16/10.000 kehamilan selama periode 1970-1974
sampai 1990-1994, dan menurun menjadi 8,4/10.000 kehamilan.

Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung


meningkat. Di Indonesia, laporan dari rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, angka kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara
4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi
kehamilan ektopik dilaporkan antara 1:28 sampai 1:329 tiap kehamilan. Resiko
kematian akibat akibat kematian di luar rahim 10 kali lebih besar daripada
persalinan pervaginam dan 50 kali lebih besar daripada abortus induksi.

Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba


sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-
turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat
juga terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum
peritonealis jarang ditemukan.

Gambaran klinis KET ditandai oleh trias klasik yaitu amenore, nyeri
abdomen akut dan perdarahan pervaginam. Namun kadang-kadang gambaran
klinis KET tidak khas, sehingga menyulitkan diagnosa. Yang perlu diingat
adalah bahwa setiap wanita dalam masa reproduksi dengan keluhan telat haid
yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah perlu dipikirkan kemungkinan
terjadinya KET.

Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik


menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan
yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan
penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini
tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif
pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang
didiagnosis dengan KE harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak
100% efektif. Para dokter harus memperhatikan dengan hati-hati indikasi,
kontraindikasi dan efek samping dari terapi medisinalis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar lokasi normal
endometrium. Blastokis normalnya akan berimplantasi pada endometrium kavum
uteri. Bila blastokis tidak berimplantasi pada tempat tersebut, maka disebut
kehamilan ektopik. Kehamilan Ektopik tergangu (KET) merupakan kehamilan
ektopik yang disertai dengan gejala akut abdomen, dengan trias gambaran klasik
yaitu amenore, nyeri abdomen akut dan perdarahan pervaginam. Implantasi hasil
konsepsi dapat terjadi pada tuba fallopii, ovarium, dan kavum abdomen atau pada
uterus namun dengan posisi yang abnormal (kornu, serviks).2,3

Bentuk-bentuk kehamilan ektopik yaitu kehamilan tuba, kehamilan kornu uteri,


kehamilan interstisial tuba, kehamilan servikal, kehamilan ovarial, kehamilan
abdominal, kehamilan uterus rudimenter dan kehamilan ektopik rudimenter.1,5

Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi pada tuba fallopi, di pars ampularis
80%, pars ismika 12%, fimbriae 5%, dan kornual 2%. Sangat jarang terjadi
implantasi pada ovarium (0,2%), rongga perut (1,4%), kanalis servikalis uteri
(0,2%), kornu uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus.3,6 Terbatasnya
kemampuan tuba fallopi untuk mengembang menyebabkan kehamilan ektopik
mengalami ruptur tuba sehingga dapat timbul perdarahan ke dalam kavum
abdomen, keadaan ini biasa dikenal dengan kehamilan ektopik terganggu.1
Gambar 1. Lokasi Kehamilan Ektopik

2.2. Epidemiologi
Kehamilan ektopik belum terganggu sulit diketahui, karena biasanya penderita
tidak menyampaikan keluhan yang khas, kehamilan ektopik baru memberikan
gejala bila kehamilan tersebut terganggu.12 Sehingga insidens kehamilan ektopik
yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat
KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung
meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangnya alat diagnostik canggih,
semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula
insidens dan prevalensinya.1

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1987 terdapat 153
kehamilan ektopik diantara 4.007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Di
Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241
kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.2
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan berkisar antara 0%-14,6%.1,2
Di Indonesia berdasarkan penelitian kehamilan ektopik di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo selama 3 tahun (1 Januari 1997- 31 Desember 1999) wanita yang
mengalami kehamilan ektopik terbanyak pada usia 26-30 tahun yaitu 44,59 %.
Sedangkan resiko untuk mengalami kehamilan ektopik yang berulang dikatakan 7-
13 kali lebih besar atau sekitar 10-25% dibandingkan wanita yang tidak pernah
mengalami kehamilan ektopik.

2.3. Faktor Resiko


Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan oleh segala hal yang menghambat
perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan
kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba
akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap
diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke
dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun
ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum
uteri. Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba
yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal2,5.

A. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum


yang telah dibuahi ke kavum uteri.
1. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan aglutinasi
lipatan arboresen mukosa tuba dengan penyempitan lumen atau
pembentukan kantong-kantong buntu. Berkurangnya siliasi mukosa tuba
akibat infeksi dapat turut menyebabkan implantasi zigot dalam tuba
fallopi. Pada laporan klasik Westrom, wanita dengan riwayat salpingitis
(yang dikonfirmasi dengan laparoskopi) mempunyai risiko 4 kali lipat
untuk menderita kehamilan ektopik. Bukti infeksi Klamidia (antibodi
dalam sirkulasi) berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko
kehamilan ektopik.
2. Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas,
apendisitis ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba
dan penyempitan lumennya.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikulum, ostium assesorius
dan hipoplasia. Kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya, dan sesudah sekali mengalami
kehamilan ektopik, insiden kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi
7 hingga 15 persen. Meningkatnya risiko ini kemungkinan disebabkan
oleh salpingitis yang terjadi sebelumnya.
5. Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk memperbaiki
patensi tuba atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan sterilisasi.
Wanita yang pernah mengalami pembedahan tuba mempunyai risiko
kehamilan ektopik yang lebih tinggi. Wanita dengan kehamilan ektopik
yang dilakukan pembedahan konservatif mempunyai risiko 10 kali lipat
untuk mengalami kehamilan ektopik berikutnya.
6. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar
risiko terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini tidak berubah setelah satu
kali menjalani abortus induksi, namun akan menjadi dua kali lipat setelah
menjalani abortus induksi sebanyak dua kali atau lebih, kenaikan risiko
ini kemungkinan akibat peningkatan insiden salpingitis.
7. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya
benjolan pada adneksa.
8. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir
ini telah meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat
bahwa penggunaan IUD modern seperti Copper T tidak meningkatkan
risiko kehamilan ektopik dan malahan merupakan proteksi terhadap
kehamilan. Studi yang lebih besar yang dilakukan oleh WHO
menyatakan bahwa pengguna IUD memiliki risiko kurang dari 50 %
untuk mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil
maka kehamilannya kemungkinan besar merupakan kehamilan ektopik.
Sekitar 3-4 % kehamilan pada pemakai IUD adalah ektopik.
B. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah
dibuahi ke dalam kavum uteri
1. Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti perubahan pada
kadar estrogen dan progesteron dalam serum. Perubahan jumlah dan
afinitas reseptor adrenergik dalam otot polos uterus serta tuba fallopi
kemungkinan benar menjadi penyebabnya. Segi praktisnya tampak pada
peningkatan insiden kehamilan ektopik yang dilaporkan setelah
penggunaan preparat kontrasepsi oral yang hanya mengandung
progestin. Juga dilaporkan peningkatan insiden kehamilan ektopik
sebesar 4 hingga 13 persen di antara para wanita yang pernah
mendapatkan preparat dietilstilbestrol (DES) intrauteri. Kejadian ini
mungkin lebih disebabkan oleh berubahnya motilitas tuba daripada oleh
abnormalitas strukturnya.
2.4. Patogenesis
Pada proses awal kehamilan, apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudia akan
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba
bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah,
maka pertumbuhan dapat mengalami perubahan dalam bentuk berikut ini.3

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi


Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dengan mudah terjadi resorpsi total. Dalam keadaan
ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya terlambat untuk beberapa
hari.
2. Abortus ke dalam lumen tuba
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah (Embrio) dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila
pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen
tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale.
Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan
kebiru-iruan (hematosalping) dan selanjutnya darah mengalir ke rongga
perut melalui ostium tuba berkumpul di kavum douglas dan akan
membentuk hematokel retrouterina.3

Gambar 2 Abortus Tuba

3. Ruptur dinding tuba


Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus
dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars
interstisialis terjadi pada kehamilan lebih lanjut. Faktor utama yang
menyebabkan ruptur adalah penembusan vili koriales ke dalam lapisan
muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi spontan atau
karena trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui
ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder
terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba telah menipis oleh invasi trofoblas,
pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang ruptur terjadi di arah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisa
ligamentum tersebut. Ika janin hidup terus dapat terjadi kehamilan
intraligamenter.3
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi
bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan
dari tuba. Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan kerusakan
yang diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi seluruhnya
dan bila besar dapat diubah menjadi litopedion. 3
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh
kantomg amnion dan dengan plassenta masih untuh kemungkinan tumbuh
terus dalam rongga peru, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau
kehamilan abdominal sekunder. 3

2.4.1. Jenis Kehamilan Ektopik


1. Kehamilan pars interstisialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstisialis
tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya satu persen dari semua kehamilan
tuba. Ruptur pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat
mencapi akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan
bila tidak segera dioperasi akan menyebabkan kematian. 3
Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparatomi untuk
membersihkan isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi
serta menutup sumber perdarahan dengan melakukan irisan baji (wedge
resection) pada kornu uteri dimana tuba pars interstisialis berada. 3

2. Kehamilan ektopik ganda


Sangat jarang kehamilan ektopik ini berlangsung bersamaan dengan
kehamilan intrauterine. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda
(combined ectopic pregnancy). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.00-
40.000 persalinan. Di Indonesia sudah dilaporkan beberapa kasus.3
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi
kehamilan ektopik yang terganggu. Pada laparatomi ditemukan uterus yang
membesar sesuai dengan tuanya kehamilan dan 2 korpora lutea. 3

3. Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan
tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg yaitu :

a. Tuba pada sis kehamilan harus normal


b. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
c. Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary
proprium.
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong
janin.3
Diagnosa yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh
jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan
ovarial biasanya terjadi rupture pada kehamilan muda dengan akibat
perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami kematian
sebelumnya sehingga tidak terjadi rupture, ditemukan benjolan dengan
berbagai ukuran yang terdiri atas ovarium yang mengandung darah, villi
korialis dan mungkin juga mudigah.3

4. Kehamilan servikal
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi
dalam kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada
kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar
dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan servikal jarang
melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif oleh karena
perdarahan. Pengeluaran konsepsi pervaginam yang menyebabkan banyak
perdarahan, sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan
histerektomi totalis.3

5. Kehamilan ektopik kronik


Umumnya terjadi setelah ruptur tuba atau abortus tuba dan selanjutnya
janin dapat tumbuh terus karena mendapat cukup zat-zat makanan dan
oksigen dari plasenta yang dapat meluaskan insersinya pada jaringan
sekitarnya. Bila janin cukup besar dapat terus hidup sebagai kehamilan
abdominal. Kehamilan ini merupakan komplikasi obstetrik yang
mempunyai morbiditas dan mortalitas janin yang tinggi dan sangat
membahayakan ibu sehingga tidak bijaksana bila kita menemukan
kehamilan abdominal masih berupaya untuk mempertahankan sampai
genap bulan. Dianjurkan bila diagnosis kehamilan abdominal sudah tegak
harus dilakukan laparotomi untuk penghentian kehamilan tersebut.3
2.5 Manifestasi Klinis
Kehamilan ektopik biasanya baru memberikan gejala-gejala yang jelas dan khas
jika sudah terganggu dan kehamilan ektopik yang masih utuh, gejala-gejalanya
sama dengan kehamilan muda intra uterina. Kisah yang khas dari kehamilan
ektopik terganggu adalah seorang wanita yang sudah terlambat haidnya, tiba-tiba
merasa nyeri perut, kadang-kadang nyeri lebih jelas sebelah kiri atau sebelah kanan.
Pada ruptur, nyeri dapat terjadi di daerah abdomen manapun. Nyeri dada pleuritik
dapat terjadi akibat iritasi diafragmatik yang disebabkan oleh perdarahan.
Selanjutnya pasien pusing dan kadang-kadang pingsan, sering keluar darah sedikit
pervaginam pada pemeriksaan didapatkan seorang wanita yang pucat dan gejala-
gejala syok. Sebelum ruptur, tanda-tanda vital umumnya normal. Tekanan darah
akan turun dan denyut nadi meningkat hanya jika perdarahan berlanjut dan
hipovoleminya menjadi nyata. Pada palpasi perut terasa tegang dan pemeriksaan
dalam sangat nyeri, terutama kalau serviks digerakkan (slinger pain) atau pada
perabaan kavum doglasi (fornix posterior) teraba lunak dan kenyal. Nyeri tekan
seperti itu mungkin tidak terasa sebelum ruptur.3,5,6

Gambaran klinis kehamilan ektopik tergantung dari dua bentuk, yaitu :

1. Apakah kehamilan ektopik masih utuh


2. Apakah kehamilan ektopik sudah ruptur sehingga terdapat timbunan darah
intraabdominal yang menimbulkan gejala klinis
A. Gejala Subjektif

Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan


perdarahan per vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi
dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat
abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada
awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga
abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh. Perdarahan per
vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba.
Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan
menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka
bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami
keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan
haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien
merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh
hemoperitoneum.5,6,7

B. Temuan objektif

Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan
umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat.
Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang peritoneum,
sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila perdarahan berlangsung lamban
dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien. Hematosalping akan teraba
sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum
Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di
samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.3,5,7
Kehamilan ektopik intak Kehamilan ektopik dengan rupture
- Amenore - Terdapat trias rupture kehamilan ektopik :
- Rasa tidak nyaman diabdomen  Amenore
- Perdarahan pervaginam  Nyeri abdomen mendadak
- Pemeriksaan vaginal :  Terdapat perdarahan
 Nyeri gerak serviks - Perdarahan pervaginam akibat :
 
Adneksa tegang atau teraba Deskuamasi endometrium
massa  Aliran darah melalui tuba fallopi
 Massa adneksa terasa nyeri saat
- Tanda perdarahan intraabdominal positif
palpasi  Tanda cairan intraabdomen
- Tanda perdarahan intra
 Palpasi abdomen nyeri akibat iritasi
abdominal negatif peritoneum
- Kesimpulan diagnosis sulit - Pemeriksaan dalam :
 Terdapat nyeri goyang serviks
 Kavum douglasi menonjol dan nyeri
 Perdarahan pervaginam
- Konfirmasi diagnosis :
- Kuldosintesis akan terdapat darah
Tabel 1 Perbedaan KE dan KET

2.6. Penegakan Diagnosis


2.6.1 Anamnesis
Terjadi amenorea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai
beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang-kadang dijumpai
keluhan hamil muda dan gejala hamil lainnya. Nyeri perut bagian bawah, nyeri
bahu, tenesmus dan perdarahan pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian
bawah.1 Kehamilan ektopik harus dipikirkan pada semua pasien dengan test
kehamilan positif, nyeri pada pelvis, dan perdarahan uterus abnormal.8
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan umum pada Kehamilan ektopik dapat tidak ditemukan
adanya kelainan namun pada kehamilan ektopik terganggu penderita tampak
kesakitan dan anemis, pada perdarahan dalam rongga perut dapat ditemukan
tanda-tanda syok.1

Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan. Pergerakan serviks


menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba maka akan terasa sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas
yang sukar ditentukan. Cavum douglasi yang menonjol dan nyeri raba
menunjukkan adanya hematocele retrouterina. Suhu kadang-kadang bisa naik
sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik. 1

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

1. Hemoglobin, hematokrit, dan hitung leukosit

Pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan jumlah sel darah merah berguna


menegakkan diagnosa kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-
tanda perdarahan dalam rongga perut. Perlu diingat, bahwa turunnya Hb
disebabkan darah diencerkan oleh air dari jaringan untuk mempertahankan
volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Mungkin pada pemeriksaan
Hb yang pertama-tama kadar Hb belum seberapa turunnya maka kesimpulan
adanya perdarahan didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan Hb
berturut-turut. Derajat leukositosis sangat bervariasi pada kehamilan ektopik
yang mengalami ruptur, nilainya bisa normal sampai 30.000/µl.3,6

2. Gonadotropin korionik (hCG Urin)

Tes urin paling sering menggunakan tes slide inhibisi aglutinasi dengan
sensitivitas untuk gonadotropin korionik dalam kisaran 500 sampai 800
mlU/ml. Kemungkinan bernilai positif pada kehamilan ektopik hanya sampai
50-60%. Kalaupun digunakan tes jenis tabung, dengan gonadotropin korionik
berkisar antara 150-250 mlU/ml, dan tes ini positif pada 80-85% kehamilan
ektopik. Tes yang menggunakan ELISA (Enzyme-Linked Immunoabsorbent
Assays) sensitif untuk kadar 10-50 mlU/ml dan positif pada 95% kehamilan
ektopik.3

3. β-hCG serum

Pengukuran kadar β-hCG secara kuantitatif adalah standar diagnostik untuk


mendiagnosa kehamilan ektopik. Pada kehamilan normal intrauterin, kadar β-
hCG serum naik 2 kali lipat tiap 2 hari selama kehamilan. Peningkatan kadar β-
hCG serum kurang dari 66% menandakan suatu kehamilan intrauterin abnormal
atau kehamilan ektopik. Pemeriksaan β-hCG serum secara berkala perlu
dilakukan untuk membedakan suatu kehamilan normal atau tidak dan
memantau resolusi kehamilan ektopik setelah terapi.5

Imaging

1. Ultrasonografi

Ultrasonografi abdomen berguna dalam diagnostik kehamilan ektopik.


Diagnosis pasti ialah apabila ditemukan kantung gestasi diluar uterus yang
didalamnya terdapat denyut jantung janin.1 Pada kehamilan ektopik terganggu
dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum terutama dalam kavum
douglasi.11 Ultrasonografi vagina dapat menghasilkan diagnosis kehamilan
ektopik dengan sensitifitas dan spesifitas 96%. Kriterianya antara lain adalah
identifikasi kantong gestasi berukuran 1-3 mm atau lebih besar, terletak
eksentrik di uterus, dan dikelilingi oleh reaksi desidua-korion.4,3,5,6
Gambar 3 Hasil USG pada Kehamilan Ektopik

Kuldosentesis

Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui ada


tidaknya darah dalam kavum douglasi atau mengidentifikasi
hematoperitoneum. Serviks ditarik kedepan kearah simfisis dengan tenakulum,
dan jarum ukuran 16 atau 18 dimasukkan melalui forniks posterior kedalam
kavum douglasi. Bila ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain
kasa dan perhatikan darah yang dikeluarkan merupakan :3,5

a. Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
b. Darah berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau yang berupa
bekuan kecil, darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.
Untuk mengataakan bahwa punksi kavum douglasi positif, artinya adanya
perdarahan dalam rongga perut dan darah yang diisap mempunyai sifat warna
merah tua, tidak membeku setelah diisap, dan biasnya di dalam terdapat
gumpalan-gumpalan darah yang kecil.

Laparoskopi

Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit


pada organ pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Sistem optis dan elektronik
yang disempurnakan telah mengatasi sebagian besar keberatan yang timbul
dalam upaya untuk menggunakan sonde transabdominal intraperitoneal yang
dilengkapi dengan cahaya untuk melihat organ-organ dalam panggul. Meskipun
demikian, laparoskopi yang aman dan berhasil memerlukan peralatan yang
sempurna, operator yang berpengalaman, ruang operasi dan biasanya tindakan
anestesi seperti pada pembedahan. Inspeksi lengkap rongga panggul mungkin
tidak dapat dilakukan bila terdapat inflamasi pelvik atau perdarahan yang baru
atau sudah lama terjadi. Kadang-kadang, pengenalan kehamilan tuba dini tanpa
terjadinya ruptur sulit dilakukan dengan laparoskopi, meskipun tuba bisa dilihat
seluruhnya. Laparoskopi merupakan diagnosis definitif pada kebanyakan kasus.
Selain itu laparoskopi operatif juga digunakan sebagai jalan untuk
memindahkan massa ektopik dan sekaligus sebagai saluran untuk
menyuntikkan kemoterapi 4.

Laparotomi

Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian


akibat kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh
lebih tragis daripada pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian yang
berkaitan dengan pembedahan yang terbatas pada insisi suprapubik yang
dilakukan secara hati-hati dan diperbaiki kembali, adalah sangat kecil. Di
samping itu, diagnosis sering dipermudah dengan inspeksi langsung dan palpasi
organ pelvis yang dimungkinkan lewat laparotomi. Hal yang mengesankan
adalah bahwa laparotomi jangan ditunda meskipun dilakukan laparoskopi pada
wanita dengan kelainan serius dalam panggul atau abdomen yang memerlukan
tindakan pasti dan segera. Laparotomi dikerjakan bila penderita secara
hemodinamik tidak stabil, dan membutuhkan terapi definitif secepatnya

2.7. Diagnosa Banding


Diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu ialah infeksi pelvis, abortus
iminens, kista folikel, korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran
tangkai, serta apendisitis. Penyakit-penyakit ini dapat memberikan gambaran klinis
yang hampir sama dengan KET. Perbedaan dari masing-masing penyakit tersebut
adalah sebagai berikut:4,5,6,7,8,10

1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvis biasanya timbul waktu haid dan
jarang setelah amenore. Gejala tersebut berupa nyeri perut bawah dan
tahanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vagina, yang pada umumnya
bilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan perbedaan suhu rektal dan
aksila melebihi 0,5 0C, sedangkan pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis yang lebih tinggi daripada KET serta tes kehamilan
negatif.
2. Abortus iminens atau insipiens
Pada abortus iminens maupun insipiens, perdarahan umumnya lebih
banyak dan lebih merah sesudah amenore. Rasa nyeri yang muncul
berlokasi di daerah median. Sedangkan pada pemeriksaan fisik tidak dapat
diraba tahanan di samping atau di belakang uterus serta gerakan servik uteri
tidak menimbulkan nyeri.
3. Ruptur korpus luteum
Terjadi pada pertengahan siklus haid dan biasanya tanpa disertai
perdarahan pervaginam, serta tes kehamilan (-).
4. Torsi kista ovarium dan apendisitis
Umumnya tidak ada gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan
perdarahan pervaginam. Torsi kista ovarii biasanya lebih besar dan lebih
bulat daripada kehamilan ektopik. Pada apendisitis tidak ditemukan tumor
dan nyeri pada gerakan serviks kurang nyata, serta lokasi nyeri perutnya di
titik McBurney
2.8. Tatalaksana

A. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba.
Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan
konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada
kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan
prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. Salpingotomi linier, atau 2. Reseksi
segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan
apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi
ruptur pada tuba. 4
1. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan
pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75%
kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai
dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier
kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar
melalui dinding antimesenterika hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba
yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang
berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati dari
dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang cukup
besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk
kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan
sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu,
hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang
ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan
menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih
jauh pada mukosa. 4
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena
kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang
akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen.4
Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus
diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan
otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa
jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa,
karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti
dengan terjadinya perlengketan. 4
2. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu
alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian
implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi
berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba.
Prosedur ini baik dilakukan dengan mengunaka loupe magnification atau
mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah
tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk
menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan
dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada
ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan
mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa
ditunjang dengan jahitan terputus tambahan. 4
3. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami
ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi.
Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis
kardiopulmunonal yang serius.4
Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan, dan tuba yang meregang
diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat mungkin
dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada
myometrium di daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke
myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang intrauteri
digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping
ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang absorbable.
Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom
pada ligamentum latum. 4
4. Salpingoooforektomi
Tidak jarang ovarium termasuk dalam gumpalan darah dan sukar dipisahkan
sehingga terpaksa dilakukan salpingooforektomi
B. Medikamentosa
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang intrauterin dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik
secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara
dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan.
Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang intrauterin,
menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi
fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan. 4
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate
(MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi
sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim
Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. 4
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan
panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis
yang diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan
perforasi usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen,
alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan
menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar, supresi sumsum
tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid
(leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat
namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic
acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada
sel-sel tersebut. 4
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX
2
50 mg/m luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar
hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah
pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15%
atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan
lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau
evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap
minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat
dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya,
2
maka diberikan MTX 50 mg/m kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993
melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis
tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi
dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.4
Kriteria untuk terapi Methotrexate adalah sebagai berikut:
a. Massa belum ruptur <3,5-4,0 cm (peningkatan ukuran dapat
meningkatkan risiko pecah atau memerlukan lebih dari satu dosis
metotreksat).
b. Tidak ada gerakan jantung janin (aktivitas jantung menunjukkan
kehamilan lanjut dan meningkatkan risiko rupture atau kegagalan
metotreksat dosis tunggal)
c. Tidak ada bukti ruptur atau hemoperitoneum.
d. hemodinamik stabil
e. Diagnosis kehamilan ektopik telah pasti dan tidak memerlukan
diagnosis laparoskopi.
f. Pasien menginginkan kesuburan di masa depan (jika fertilitas masa
depan tidak diinginkan, pertimbangkan laparoskopi dengan ligasi tuba
dari tuba kontra-lateral)
g. Anestesi umum menimbulkan risiko yang signifikan• Pasien dapat
diandalkan dan bersedia untuk kembali control
h. Pasien tidak memiliki kontra-indikasi untuk Methotrexate
i. + / - Serum β-hCG kurang dari 6.000 - 15.000 mIU / mL10
2.9. Komplikasi
Pada pasien ini ditemukan komplikasi berupa syok yang reversibel. Komplikasi
berupa perlengketan dengan usus tidak terjadi

2.10. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Pada umumnya, kelainan yang
menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril
setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi
pada tuba yang lain. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya
60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi,
walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik
yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Untuk wanita dengan anak
yang sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis.4,5,6,8
Setelah mengalami kehamilan ektopik, kemungkinan untuk mengandung dan
melahirkan anak sebesar 85% pada kehamilan berikutnya. Setelah 2 kali mengalami
kehamilan ektopik, risiko kehamilan ektopik berikutnya meningkat menjadi 10 kali
lipat, dan harus dipertimbangkan dalam memberikan IVF
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G, Leveno, K.J, et al. Ectopic Pregnancy in William’s


Obstetry 23rd Edition. Philadelphia : Mc-Graw-Hill. 2010.
2. Prawirohardjo, S. Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kebidanan. Jakarta Pusat:
Yayasan Bina Pustaka. 2009.
3. Universitas Sriwijaya. Kehamilan Ektopik. Diakses dari
http://digilib.unsri.ac.id/download/kehamilanEktopik.pdf pada tanggal 20
Januari 2019.
4. Seeber, B.E, Barnhart, K.T. Suspected Ectopic Pregnancy in Clinical Expert
Series in Obstetric and Gynecology Magazine vol 107 No. 2 Part 1.
American College of Obstetricians and Gynecologist. 2006
5. Turhan, N.O, Inegol, I Seckin, N.C. A Three-year Audit of the Management
of Ectopic Pregnancy in J Turkish German Gynecol Assoc Vol 5. Ankara:
Fatih University of Ankara. 2004
6. Saint-Louis, H. Management of Ectopic Pregnancies. 2005
7. Delfi L. Kehamilan Ektopik. Sinopsis Obstetri; jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1998; 226-37
8. Lipscomb GH. Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Principles
for Practice.In: Ling FW,Duff P editor. International edition;USA. Mc
Graw Hill; 2001;pp 1134-1147
9. Chapin DS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Friedman EA, Acker DB, Scachs
BP. Seri Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta; Binarupa
Aksara; 2000. Hal 54-56.
10. Berek JS. Ectopic Gestasion. In Novak’s Gynecology. 13thed.Philadelphia
Lippincot Williams & Wilkins, 2002, pp510-534
11. Pearson J, Rooyen JV. Ectopic Pregnancy. In: Bandowski BJ, Hearne AE,
Lambrou BJC, For HE, Wallase EE editor. The Jhons Hopkins Manual Of
Gynecology and Obstetric; 2nd ed. Philadelphia. Lippincott William &
Wilkins; 2002;pp 305-13.
12. Braun, RD. Surgical Management of Ectopic Pregnancy. Available in :
http://www.emedicine.com/med/topic3316.htm. Last Update : 26 Januari
2017. Accessed : 20 Januari 2019.

You might also like