You are on page 1of 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.

S DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSCULOSKELETAL : CIDERA MEDULLA SPINALIS
DI RUMAH SAKIT ORTHOPEDI SURAKARTA

Disusun Oleh :

PUJI TRI HASTUTI

20151050022

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
TAHUN 2017
VISI, MISI dan TUJUAN PROGRAM STUDI MAGISTER KEERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

A. Visi Program Magister Keperawatan


Menjadi program magister keperawatan yang unggul dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penelitian keperawatan berlandaskan nilai – nilai
keislaman untuk kemaslahatan umat di Indonesia pada 2020 dan di Asia pada 2025

B. Misi Program Magister Keperawatan


1. Menyelenggarakan pendidikan keperawatan di tingkat magister dengan standar
nasional dan internasional
2. Mengembangkan penelitian yang menghasilkan teknologi keperawatan
3. Menerapkan ilmu keperawatan sebagai bagian dari pengabdian masyarakat
untuk kemaslahatan umat
4. Menghasilkan magister keperawatan yang berakhlak mulia dan mampu
mengintegrasikan nilai – nilai Islam untuk meningkatkan pelayanan keperawatan
profesional

C. Tujuan Program Magister Keperawatan Medikal Bedah


1. Tujuan Umum
Mampu mewujudkan magister keperawatan yang unggul dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, berakhlak mulia sehingga mampu bersaing di
tingkat nasional dan internasional
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kualitas hasil pendidikan yang berstandar nasional dan
internasional
b. Meningkatkan budaya menneliti yang menghasilkan penelitian yang
berkualitas dan tepat guna
c. Meningkatkan pelayanan keperawatan profesional berbasis bukti dalam
upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat
d. Meningkatkan pelayanan keperawatan profesional yang dilandasi nilai –
nilai keislaman.
BAB I

PENDAHULUAN

Cidera medulla spinalis merupakan suatu kerusakan fungsi neurologis


yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Cidera medulla
spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik
volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).
Susunan tulang pada manusia terdiri dari berbagai macam tulang di
antaranya tulang vertebra (servikal, torakal, lumbal, sakral, koksigis). Tulang
servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5,
C6 dan C7. Apabila cidera pada bagain servikal akan mengakibatkan
terjadinya trauma servikal.di mana trauma servikal merupakan keadaan cidera
pada tulang bekalang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh
dislokasi, sublukasi atau frakutur vertebra servikalisdan di tandai kompresi
pada medulla spinal daerah servikal (Muttaqin, 2011).
Trauma medula spinalis terjadi pada 30.000 pasien setiap tahun di
Amerika serikat. Insidensi pada negera berkembang berkisar antara 11,5
hingga 53,4 kasus dalam 1.000.000 populasi. Umumnya terjadi pada remaja
dan dewasa muda.2 Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%),
jatuh (25%) dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya
akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla
spinalis mengakibatkan defisit neurologis, sering menimbulkan gejala yang
berat, dan terkadang menimbulkan kematian. Walaupun insidens pertahun
relatif rendah, tapi biaya perawatan dan rehabilitasi untuk cedera medulla
spinalis sangat besar, yaitu sekitar US$ 1.000.000 / pasien. Angka
mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih kurang 80%
meninggal di tempat kejadian (Emma, 2011).
Di Indonesia kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat,
setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, tercatat ±50 meningkat per
100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab kematian ini karena trauma
langsung medulla spinalis, 2% karena multiple trauma. Insiden trauma pada
laki-laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan
40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40%
luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi
cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia
dekade 3 (Emma, 2011).
Dampak trauma servikal mengakibatkan syok neurogenik, syok
spinal, hipoventilasi, hiperfleksia autonomic, gangguan pada pernafasan,
gangguan fungsi saraf pada jari-jari tangan, otot bisep, otot trisep, dan otot-
otot leher. Akibat atau dampak lebih lanjut dari trauma servikal yaitu
kematian.
Peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan keperawatan
guna mencengah komplikasi pada klien dan memberikan pendidikan
kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga tentang
trauma servikal.
BAB II

KONSEP TEORI

A. Anatomi Fisiologi
1. Servikal I-VII
Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya
berbeda dengan lainnya karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh
karena pada atlas dilukiskan adanya arcus anterior terdapat permukaan
sendi, fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus posterior untuk
lewatan arcus posterior untuk lewatnya arteri vertebralis. Vertebra
servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra servikal ke-3
sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid.
Pada permukaan cranial corpus aksis memiliki tonjolan
seperti gigi, dens yang ujungnya bulat, aspek dentis. Vertebra servikal
III-V processus spinosus bercabang dua. Foramen transversarium
membagi processus transversus menjadi tuberculum anterior dan
posterior. Lateral foramen transversarium terdapat sulcus nervi
spinalis, didahului oleh nervi spinalis. Vertebra servikal VI perbedaan
dengan vertebra servikal I sampai dengan servikal V adalah
tuberculum caroticum, karena dekat dengan arteri carotico. 9 Vertebra
servikal VII merupakan processus spinosus yang besar, yang biasanya
dapat diraba sebagai processus spinosus columna vertebralis yang
tertinggi, oleh karena itu dinamakan vertebra prominens (Syaifuddin,
2003).

Gambar 1 Vertebra Servikal I-V


2. Anatomi Fisiologi Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang
dimulai dari foramen magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua
pertiga seluruh panjang kanal vertebralis (dibentuk dari seluruh
foramen vertebralis), berkesinambungan dengan medulla oblongata di
otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di batas bawah
vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah vertebra
lumbar ketiga pada anak-anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3
lapisan meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia
mater. Selain itu, likuor cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam
rongga subaraknoid juga memberikan perlindungan tambahan bagi
medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen
servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1
segmen koksigeal. Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla
spinalis tersebut (berjumlah 31 pasang nervus spinalis) dan terdiri dari
motor atau anterior roots (radiks) dan sensory atau posterior root.
Penamaan nervus spinalis dilakukan berdasarkan daerah munculnya
nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus spinalis C1 sampai
C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan C8
diantara kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul
dari bawah kolumna vertebralis yang bersangkutan.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2
menginervasi otot-otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus
yang mempersarafi diafragma, C5-T1 mempersarafi otot-otot
ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi otot-otot
torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas
bawah. Beberapa dermatom penting yang memberikan gambaran
untuk fungsi sensorik dari nervus spinalis, antara lain C2-C3 untuk
bagian posterior kepala-leher, T4-5 untuk daerah areola mamae, T10
untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5 (bahu anterior), C6 (ibu
jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking), T1 (bagian
medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila),
bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari
femoralis), L2 (bagian anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial
malleolus), L5 (dorsum pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral
malleolus), S3/Co1 (anus).
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain
substansia kelabu (gray matter) yang terletak internal dan substansia
alba (white matter) yang terletak secara eksternal. Secara umum,
substansia alba terdiri dari traktus ascending (sensorik) dan
descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan
lateral) yang tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam
potensi aksi neuron-neuron.

Gambar 2. Anatomi Medulla Spinalis


Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 3. Gambar penampang melintang dari medulla spinalis setinggi
midservikal
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7 th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai
menuju ke pusat sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 4.
Traktus sensorik (ascending tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara
lain traktus spinotalamik lateral yang membawa sensorik untuk nyeri dan
temperatur (Gambar 5), anterior spinotalamik untuk perabaan (kasar/
crude touch) dan tekanan (Gambar 6), traktus kolumna dorsalis (posterior
white column) untuk raba halus (two-point discrimination), fungsi
proprioseptif dan getaran, dan traktus-traktus lainnya seperti,
spinocerebellar (posterior dan anterior), cuneocerebellar, spinotectal,
spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.

Gambar 4. Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem saraf perifer
sampai pusat sensorik di korteks serebral (First-order neuron sampai third-order
neuron).
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7 th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambar 5. Traktus spinotalamik lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7 th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambar 6. Traktus spinotalamik anterior


Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and
Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7 th Edition. Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84
Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus
motorik (descending tract) dari pusat motor di girus presentral ke
efektor (otot). Traktus motorik dari medulla spinalis mencakup, antara
lain traktus kortikospinal (anterior dan lateral) untuk gerakan otot
volunter dan yang membutuhkan ketepatan, rubrospinal untuk
fasilitasi aktivitas otot-otot fleksor dan menghambat otot ekstensor
(atau otot antigravitasi), vestibulospinal untuk fasilitasi otot-otot
ekstensor dan menghambat otot fleksor terutama untuk tujuan
menjaga postur dan keseimbangan, dan olivospinal (fungsi belum
diketahui).
Pengetahuan akan perjalanan traktus-traktus (terutama
mengenai pada level mana terjadi decusatio) yang ada dalam
substansia alba medulla spinalis akan memberikan pengertian yang
komprehensif mengenai manifestasi klinis pasien-pasien dengan
trauma medulla spinalis. Persepsi raba halus, proprioseptif, dan
getaran (dari traktus kolumna dorsalis) tidak mengalami penyilangan
(decusatio) sebelum rangsang tersebut mencapai medulla oblongata,
sedangkan traktus spinotalamik lateral dan anterior menyilang dalam 3
level segmen tempat rangsang tersebut masuk. Di sisi lain, traktus
motorik utama (kortikospinal) mengalami decusatio pada level
medulla oblongata. Hal ini menyebabkan adanya lesi pada traktus
kortikospinal atau kolumna dorsalis menyebabkan paralisis motor
ipsilateral (untuk kortikospinal) dan hilangnya persepsi raba halus,
proprioseptif, dan getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut.
Sebaliknya, lesi pada traktus yang membawa persepsi nyeri, suhu,
tekanan, dan raba kasar menyebabkan hilangnya persepsi tersebut
pada daerah kontralateral dari lesi.
Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla
spinalis juga berperan dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis
dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-L3 (torakolumbal), sedangkan
fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4. Lesi medulla spinalis pada
daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf otonom
sesuai dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi
saraf simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6
adalah neurogenic shock akibat hilangnya tonus simpatis pada
pembuluh darah arteri, sedangkan gangguan miksi dan disfungsi
ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis
anterior dan 2 arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior
memberikan suplai darah 2/3 bagian anterior dari medulla spinalis.
Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut menyebabkan disfungsi
dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur otonom
(paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi
otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai
darah untuk kolumna dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior.
Kedua arteri tersebut muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang
radikuler dari aorta torakalis dan abdominalis memberikan perdarahan
kolateral bagi medulla spinalis.

3. Pengertian
Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang
belakang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh
dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan ditandai
dengan kompresi pada medula spinalis daerah servikal. Dislokasi
servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang servikal.
Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal
lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang
vertebra servikalis (Muttaqin, 2011).
Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI)
didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis
yang menyebabkan perubahan fungsional, baik secara sementara
maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom.
4. Penyebab
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma
langsung yang mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut
melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi saraf-
saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut
dapat berupa :
1) Kecelakaan lalulintas
2) Kecelakaan olahraga
3) Kecelakaan industry
4) Jatuh dari pohon/bangunan
5) Luka tusuk
6) Luka tembak
7) Kejatuhan benda keras

5. Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma
servikal adalah sebagai berikut:
1) Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot
plastisma masih berfungsi. Otot diafragma dan otot interkostal
mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik secara fisik
maupun fungsional di bawah transeksi spinal tersebut.
Kehilangan sensori pada tingkat C1 malalui C3 meliputi daerah
oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori
diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3
membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan pada
semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi, dan
berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan
ventilator mekanis tetapi mungkin dapat dilepaskan dari
ventilator secara intermiten pasien biasanya tergantung pada
orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
meskipun dia mungkin dapat makan sendiri dengan alat khusus.
2) Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan,
fungsi diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma
akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai
dengan depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi
ke arah luar sebagai akibat kerusakan pada otot supraspinosus.
Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator
skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah
lesi menjadi berlebihan. Sensasi ada pada daerah leher dan
triagular anterior dari daerah lengan atas.
3) Lesi C6
Pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena
paralisis intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis.
Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah
fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan
otot brakhioradialis.
4) Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot
diafragma dan aksesori untuk mengkompensasi otot abdomen
dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis yang sama
seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika
kerja refleks kembali.

6. Patofisiologi
Adanya trauma pada medulla spinalis menyebabkan munculnya
gejala dan tanda klinis akibat dari cedera primer dan sekunder.
Terdapat 4 jenis mekanisme cedera primer pada medulla spinalis,
antara lain benturan dengan kompresi persisten, benturan dengan
kompresi sementara, distraksi, dan laserasi/transection.
Mekanisme cedera primer yang paling umum adalah benturan
disertai kompresi persisten, yang terutama terjadi pada burst fracture
dengan retropulsi dari fragmen tulang yang memberikan kompresi
pada medulla spinalis (tear drop fracture), fraktur-dislokasi, dan ruptur
diskus akut. Mekanisme kedua yaitu benturan dengan kompresi
sementara yang contohnya terjadi pada cedera hiperekstensi di
individu dengan penyakit degenerasi servikal.
Distraksi yaitu regangan kuat yang terjadi pada medulla spinalis
akibat gaya fleksi, ekstensi, rotasi atau dislokasi yang menyebabkan
(dapat menyebabkan gangguan perfusi) merupakan mekanisme ketiga.
Cedera distraksi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera
medulla spinalis tanpa ditemukan adanya kelainan pada pencitraan
radiologi.
Mekanisme cedera terakhir yaitu laserasi dapat disebabkan oleh
cedera karena roket, luka karena senapan api, dislokasi dari fragmen
tulang yang tajam, dan distraksi hebat. Laserasi dapat menyebabkan
transection total sampai cedera minor. Seluruh mekanisme cedera
primer menyebabkan kerusakan pada substansia kelabu bagian sentral,
tanpa kerusakan substansia alba (bagian perifer).
Adanya kecenderungan cedera pada bagian substansia kelabu
dispekulasikan merupakan akibat konsistensi yang lebih lunak dan
adanya pembuluh darah yang lebih banyak. Cedera tersebut
menyebabkan kerusakan pembuluh darah (microhemorrhage) dalam
hitungan menit awal pascatrauma sampai beberapa jam kedepan yang
berlanjut mengakibatkan iskemia dan hipoksia medulla spinalis.
Kerusakan terjadi akibat dari kebutuhan metabolisme yang
tinggi dari medulla spinalis. Selain pembuluh darah, neuron juga
mengalami kerusakan (ruptur akson dan membran sel neuron) dan
transmisinya terganggu akibat adanya edema pada daerah cedera.
Edema hebat medulla spinalis terjadi dalam hitungan menit awal dan
nantinya berlanjut menyebabkan iskemia cedera sekunder. Substansia
kelabu mengalami kerusakan ireversibel dalam 1 jam pertama setelah
cedera, sedangkan substansia alba dalam 72 jam setelah cedera.
Cedera primer merupakan penyebab dari kerusakan sekunder
dari cedera medulla spinalis. Mekanisme cedera sekunder , meliputi
shok neurogenik, gangguan vaskular berupa perdarahan dan iskemia-
reperfusi, eksitotoksisitas, kerusakan sekunder akibat kalsium,
gangguan cairan-elektrolit, cedera imunologis, apoptosis, gangguan
fungsi mitokondria, dan proses lainnya.

Gambar 7. Cedera primer dan sekunder dari Spinal Cord Injury


Gambar dikutip dari: Dumont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part I:
Pathophysiologic Mechanisms. Clin Neuropharmacol 2001;24(5):254-64

Cedera medulla spinalis menyebabkan terjadinya shok


neurogenik (Gambar 20). Terdapat beberapa interpretasi dari
definisi shok ini, namun dalam literatur umumnya didefinisikan
sebagai perfusi jaringan yang inadekuat akibat parese serius pada
vasomotor (yang berakibat gangguan keseimbangan dari vasodilasi
dan vasokontriksi pada arteriole dan venules). Neurogenik shok
merupakan akibat dari shok spinal yang merupakan manifestasi
dari cedera medulla spinalis.
Cedera primer menyebabkan peningkatan ion potassium
pada rongga ekstraselular sehingga mengakibatkan hilangnya
aktivitas somatik, refleks, dan autonomik dibawah level kerusakan
tersebut. Shok neurogenik disebabkan karena hilangnya tonus
simpatis yang berakibat munculnya bradikardia, hipotensi dengan
penurunan resistensi perifer dan cardiac output. Shok ini
umumnya bermanifestasi antara 4-6 jam setelah cedera diatas level
T6 terjadi. Shok spinal dan neurogenik merupakan kondisi
sementara yang dapat bertahan antara 48 jam sampai 6 minggu
pascacedera (sangat bervariasi).
Menurut American Spinal Injury Association (ASIA),
cedera medulla spinalis komplit didefinisikan sebagai cedera yang
melibatkan seluruh segmen sakral dari medulla spinalis yaitu S4
dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak ada sama sekali),
sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral
tersebut (fungsi S4-S5 masih ada antara fungsi motorik dan atau
sensorik) dan dapat masuk dalam salah satu dari 4 sindrom klasik
medulla spinalis (Anterior cord syndrome, posterior cord
syndrome, central cord syndrome, dan Brown-Sequard syndrome)
ataupun gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.
Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi
disrupsi dari traktus sensorik (termasuk traktus spinotalamik
anterior dan lateral), motorik (kortikospinal anterior dan lateral),
dan fungsi otonom dari level lesi kebawah. Pada complete cord
transection, terdapat dua fase, meliputi fase arefleksia (fase shok
spinal) dan fase hyperrefleksia.
Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan
lesi komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi
motorik dan atau sensorik pada segmen servikal dari medulla
spinalis karena adanya kerusakan elemen saraf dalam kanal
spinalis yang melibatkan kelemahan pada keempat ekstremitas, dan
organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi
motorik dan atau sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sakral
(tetapi tidak servikal) akibat dari kerusakan elemen saraf dalam
kanal spinalis (sebagaimana didefinisikan oleh International
Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury
revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia
pada level dibawah lesi, shok neurogenik (hipotensi dan hipotermia
tanpa takikardia kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal
atas), hilangnya tonus rektum dan buli-buli, retensio urin dan usus
menyebabkan ileus, dan priapism.
Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali
dan meningkat tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari),
refleks achilles, patellar, bulbocavernous, dan refleks lainnya akan
kembali dan meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan
meningkat dan tidak dapat dikendalikan.
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien
trauma servikal yaitu:
1) Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
2) Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway :
headtil, chin lip, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke
belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi
nasofaring.
3) Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan
servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di
bawah tulang belakang.
4) Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen
(C1 - C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi,
fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis
kemudian mengikatnya.
5) Menyediakan oksigen tambahan.
6) Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan
pulse oksimetri.
7) Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
8) Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan
pengaruh dari hipotensi dan bradikardi.
9) Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.
10) Berikan antiemboli.
11) Tinggikan ekstremitas bawah.
12) Gunakan baju antisyok.
13) Meningkatkan tekanan darah.
14) Monitor volume infus.
15) Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
16) Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi
jika terjadi gejala bradikardi.
17) Mengatur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari
poikilothermy.
18) Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19) Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan
memulihkan spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan
dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah
kejadian.
a) Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat
kesadaran pasien.
b) Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan
kemungkinan aspirasi jika ada indikasi.
c) Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
d) Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya
dekubitus.
e) Mempersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
f) Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang
teridentifikasi secara konsisten untuk menumbuhkan
kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.
g) Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses
penyembuhan.
20) Terapi reduksi operatif dan non operatif
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian
diarahkan pada stabilisasi dan alignment dari tulang belakang dan
medulla spinalis. Setiap SCI yang tidak stabil harus distabilkan
untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat pergerakan
dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan
SCI daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal
traction untuk mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada
medulla spinalis pada burst fracture, dan splint tulang belakang.
Skeletal traction untuk mengembalikan atau mempertahankan
alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan efektif.
Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia. Beban
yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada
fraktur tanpa dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg,
sedangkan pada dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap
30 menit (sampai total 25 kg) dalam posisi leher dalam keadaan
fleksi. Pasien harus diperiksa status neurologis nya setiap
peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya
bila terjadi perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction
dapat digunakan sebagai alat alternatif dari skeletal traction.
Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu
terjadinya trauma sehingga tidak mengherankan bahwa tidak
banyak bukti perubahan fungsi neurologis yang bermakna terjadi
setelah penanganan operatif dekompresi akut dari tulang belakang.
Indikasi umum dilakukan intervensi operatif, antara lain
perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut) yang
ditunjukan dari adanya lesi kompresi dengan menggunakan CT-
Scan atau MRI, pasien dengan SCI inkomplit yang tidak
mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan adanya lesi
kompresi (dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau
tusuk untuk mengeluarkan benda asing, dan untuk kepentingan
stabilisasi (terutama karena instabilitas hebat dengan lesi
inkomplit, tidak bisa dilakukannya closed reduction, dan agar tirah
baring tidak terlalu lama).

8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang
trauma servikal yaitu:
1) Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi)
untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau
operasi.
2) CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan
struktural.
3) MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan
kompresi.
4) Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika
faktor patologisnya tidak jelas atau di curigai adanya oklusi
pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
5) Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada
diagfragma, anterlektasis).
6) GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
9. Pengkajian
Teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan
ditujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan
keperawatan mandiri serta mengatur dalam kebutuhannya. Dalam
konsep praktik keperawatan Orem mengembangkan tiga bentuk teori
Self Care, di antaranya:
1) Teori self care
a) Self Care: merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu
serta dilaksananakan oleh individu itu sendiri dalam
memenuhi serta mempertahankan kehidupan, kesehatan serta
kesejahteraan.
b) Self Care Agency: merupakan suatu kemampuan individu
dalam melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat
dipengaruhi oeh usia, perkembangan, sosiokultural,
kesehatan dan lain-lain.
c) Theurapetic Self Care Demand: tuntutan atau permintaan
dalam perawatan diri sendiri yang merupakan tindakan
mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk
perawatan diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat
dalam tindakan yang tepat.
d) Self Care Requisites: kebutuhan self care merupakan suatu
tindakan yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri
sendiri yang bersifat universal dan berhubungan dengan
proses kehidupan manusia serta dalam upaya
mempertahankan fungsi tubuh. Self Care Reuisites terdiri
dari beberapa jenis, yaitu:
e) Universal Self Care Requisites (kebutuhan universal manusia
yang merupakan kebutuhan dasar).
2) Self Care Defisit
Self Care Defisit merupakan bagian penting dalam perawatan secara
umum dimana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat
perawatan dibutuhkan. Keperawatan dibutuhkan seseorang pada saat
tidak mampu atau terbatas untuk melakukan self carenya secara terus
menerus. Self care defisit dapat diterapkan pada anak yang belum
dewasa, atau kebutuhan yang melebihi kemampuan serta adanya
perkiraan penurunan kemampuan dalam perawatan dan tuntutan dalam
peningkatan self care, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam
pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses
penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut
diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai
pembimbing orang lain, memberi support, meningkatkan
pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta
mengajarkan atau mendidik pada orang lain.
3) System Keperawatan
Teori Sistem Keperawatan merupakan teori yang
menguraikan secara jelas bagaimana kebutuhan perawatan diri
pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien sendiri. Dalam
pandangan sistem ini, Orem memberikan identifikasi dalam
sistem pelayanan keperawatan diantaranya:
a) Sistem Bantuan Secara Penuh (Wholly Copensatory System ).
Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan
bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan
ketidamampuan pasien dalam memenuhi tindakan perawatan
secara mandiri yang memerlukan bantuan dalam pergerakan,
pngontrolan, dan ambulansi serta adanya manipulasi
gerakan. Contoh: pemberian bantuan pada pasien koma.
b) Sistem Bantuan Sebagian (Partially Compensatory System).
Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri sendiri
secara sebagian saja dan ditujukan kepada pasien yang
memerlukan bantuan secara minimal. Contoh: perawatan
pada pasien post operasi abdomen di mana pasien tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan perawatan luka.
c) Sistem Supportif dan Edukatif. Merupakan sistem bantuan
yang diberikan pada pasien yang membutuhkan dukungan
pendidikan dengan harapan pasien mampu memerlukan
perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar pasien
mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan
pembelajaran. Contoh: pemberian sistem ini dapat dilakukan
pada pasien yang memerlukan informasi pada pengaturan
kelahiran.

10. Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Gangguan
neurologi.
b. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan Gangguan
sensorik motorik
c. Hipertermia berhubungan dengan dehidrasi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan Kurang asupan makan.
e. Risiko syndrome disuse berhubungan dengan gangguan
neuromuscular

You might also like