Professional Documents
Culture Documents
PERTUSIS
1. Pengertian
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh berdetellah pertusis
(Nelson, 2000 : 960). Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh berdetella
pertusisa, nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk rejan. (Arif
Mansjoer, 2000 : 428) Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah
infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain penyakit
ini adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan
2. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram negatif,
tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi bertahan pada
suhu 0 – 10o C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan.
3. Gejala Klinis
Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah dan adakalanya
demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk, diikuti dengan
tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah setelah batuk. Pertusis
mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka mungkin menjadi biru atau berhenti
1
bernapas ketika serangan batuk dan mungkin perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar
dan orang dewasa mungkin menderita penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk
yang berlanjut selama berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan. Masa inkubasi
pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6-8
minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu
stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan
stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status
imunisasi. Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100% batuk
paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami
whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau
penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3
minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4
bulan setelah munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan
terlambat mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan
bahwa bila remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis
sekitar 13-20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop,
atau muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting pada
penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal
timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan
profilaksis.
2
melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja,
bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai
terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat
terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita
pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop.
4. Patofisiologi
Bordetella kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara
aerobik pada darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan pertumbuhan
nikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap
bahan-bahan berbahaya. Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang
tinggi pada gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Protein
virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil panas. Dari 14
aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis.Serotip bervariasi secara geografis dan
sesuai waktu.
Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase,
dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor
demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel
3
lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP
terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin,
disfungsi leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP
menyebabkan limfositisis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar
tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal
dalam patogenesis.
5. Stadium Penyebaran
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore
ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi,
batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis
belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan common cold . (Soedarmo,
2010). Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak
sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi (Soedarmo, 2010).
Batuk yang timbul mula - mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi
semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir
dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat
sakit berat dan iritabel (James, 2005).
Selama stadium ini frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5
sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop) akibat udara yang dihisap
melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda,
serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka
merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena
leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk
paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas menghilang.
Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda
kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak
4
menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres
emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik (Soedarmo, 2010). Pada bayi
kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi tersebut sering apnea
lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun.
Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan
lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala
yang lebih ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010). Batuk paroksimal dapat
berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat
menjadi lebih berat.
3.Stadium Konvalesen
5. Tatalaksana
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan
penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan
pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.
- Antibiotik
Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis
makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan
menurunkan periode infeksius.
- Oksigen
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk
paroksismal berat.Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal,
karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar
tidak menghambat aliran oksigen.
Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.
Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi yang
benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.
5
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi
telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran
sekret.
Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan
lembut dan hati-hati.Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan
manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.
- Perawatan penunjang
Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk,
seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan distres, berikan
parasetamol.
Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak.
Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko
terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan
pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri
makanan melalui NGT.
- Pemantauan
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat
dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnu, serangan sianotik,
atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat
dengan perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda
serangan apnu dan segera
6. Komplikasi
- Pneumonia.
6
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi sekunder
bakteri atau akibat aspirasi muntahan.Tanda yang menunjukkan pneumonia bila
didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan
secara cepat.
- Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik,
atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri
antikonvulsan
- Gizi kurang.
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya
asupan makanan dan sering muntah.Cegah gizi kurang dengan asupan makanan adekuat,
seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi
khusus.
Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu
dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak
untuk evaluasi bedah setelah fase akut.
- Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang
imunisasinya belum lengkap.
- Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk setiap
bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi
saluran pernapasan dalam keluarga.
II. DIFTERI
7
Difteria merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1.-7 hari yang
disebabkan oleh C. diphtberiae yang toksigenik.
1. EPIDEMIOLOGI
2. ETIOLOGI
• Corynebacterium Diphteria
• Nonmotil
• Basil garam +
• Non capsulated
• Eksotoksin
• Tidak berspora
3. PATOFISIOLOGI
• Pot de entry paling umum adalah saluran napas bagian atas, dimana organisme
paling baik berkembang di selaput lender
8
4. PEMERIKSAAN
5. TATA LAKSANA
9
• Difteri nasal/fausial ringan : 20.000-40.000 unit IV dlm 60 menit
• Sedang 40.000-60.000 U
• ANTIBIOTIK
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s
patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies Salmonella
enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam
paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita
yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
10
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh
dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid
merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak
merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih
ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi
pada anak usia 5-19 tahun.2
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tipoid ialah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran.1
1. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini
dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid
di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap
di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan
insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur
penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir).
Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran
nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada
diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu,
atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup
kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan
pasteurisasi (temp 63°C). Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).
11
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.
12
2. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi
demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai
flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella
typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.1
13
IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism,
yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung
karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah
kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa
saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila respon
imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel
(sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry
dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa.
14
Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang
mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal
ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa
mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi intra
makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis
organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch
yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan
dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem
vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.1,4
15
16
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid
V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila dibandingkan
dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih
muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari
dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang
timbul dapat dikelompokkan :
17
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya,
seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan
fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda
klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa,
perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda antara
lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di
bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi
epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua. Merupakan
suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta
hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung
kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
18
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm, sering
kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih,
tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10
dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu :
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga
karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
19
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the
right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler,
eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
20
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
21
pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada
kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
5. Riwayat vaksinasi.
22
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Positif Palsu
b) Tes TUBEX
23
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar
89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
24
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%,
nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%
dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar
79% dan spesifisitas sebesar 89%.
25
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
e) Pemeriksaan dipstik
26
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk
kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan
sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
27
rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang
cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi
terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.5,6
28
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian.
VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul
setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan
(3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi
demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri
dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu
ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
29
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat.
Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat.
Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan
pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi
dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis
dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,
limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1
IX. Penatalaksanaan
a) Tirah baring
30
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk
kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet
cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh
Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di
hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha
menurunkannya begitu juga sebaliknya.7
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol
31
dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan
saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang
masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau
Novalgin.
b) Antibiotik
32
· Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol
dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
X. Komplikasi
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
33
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat
timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi
adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
34
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :
sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme
memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia
dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal,
seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam
35
XI. Pencegahan
· Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.
Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah
mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun
untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk
menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak
ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
36
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
37
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2
tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak
6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval
4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang
ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
· Vaksin polisakarida
XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali.
Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier
kronis. Resiko menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier
kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
38
IV. MORBILI
Campak (Morbili) adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu
stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan
dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik.
Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala
utama ringan, ruam demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi.
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles. Nama lain dari penyakit ini
adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan penyakit yang sangat infeksius dan menular
lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk, atau bersin. Pada bayi dan balita, morbili dapat
menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti pneumonia dan ensefalitis.
Salah satu strategi menekan mortalitas dan morbiditas penyakit morbili adalah dengan
vaksinasi. Namun, berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007,
ternyata cakupan imunisasi campak pada anak-anak usia di bawah 6 tahun di Indonesia masih
relatif lebih rendah (72,8%) dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara yang sudah
mencapai 84%. Pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara dengan tingkat insiden tertinggi
ketiga di Asia Tenggara.
1. Gejala prodromal berupa demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
konjungtivitis.
2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem, yang
dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar
secara sentrifugal ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan mencapai kaki pada
hari ketiga.
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
4. Belum mendapat imunisasi campak
39
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Gambar Morbili
Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat ditemukan sel datia berinti
banyak pada sekret. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan serologi IgM
anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Komplikasi
Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk, anak yang belum mendapat
imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi dan leukemia. Komplikasi berupa otitis media,
pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada anak HIV yang tidak diimunisasi, pneumonia
yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi kulit.
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan yang
hilang dari diare dan emesis.
2. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. Jika terjadi infeksi
bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
3. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
o Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
o Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
o Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
o Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai usia, dilanjutkan dosis
ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4 minggu kemudian.
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang menular. Namun
demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan
bersifat suportif. Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis.
Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human
immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita. Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun, bayi usia 6
bulan - 1 tahun, bayi usia kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan
wanita hamil.
Kriteria Rujukan
41
Perawatan di rumah sakit untuk campak dengan komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia,
dehidrasi, croup, ensefalitis)
Peralatan
Prognosis
Prognosis pada umumnya baik karena penyakit ini merupakan penyakit self- limiting disease.
V. POLIOMIELITIS
Poliomielitis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus polio dan dapat
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan. 50%-70% dari kasus polio adalah umur 3-5 tahun
(Ranuh, I.G.N, 2008).
Poliomielitis adalah penyakit kelumpuhan akut yang menular disebabkan oleh virus
polio. Predileksi virus polio pada sel kornu anterior medulla spinalis, inti motorik batang
otak dan area motorik korteks otak menyebabkan kelumpuhan serta atrofi otot (Soedarmo,
2008).
Poliomielitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dengan
predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang
otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan
atrofi otot (IKA, FKUI, 2005).
Poliomielitis adalah penyakit infeksi akut yang pada keadaan serius menyerang
susunan saraf pusat. Kerusakan saraf motorik pada medulla spinalis menyebabkan paralisis
flaksid (Jawetz, dkk, 2005).
Virus polio yang masuk akan berkembangbiak di tenggorok dan usus, dan tanda-tanda
klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan anatomik yang terjadi. Biasanya
masa inkubasinya adalah 6-20 hari dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 3-35 hari. Replikasi
di motor neuron terutama terjadi di sumsum tulang belakang yang menimbulkan kerusakan
42
sel dan kelumpuhan serta atrofi otot, sedang virus yang berkembangbiak di batang otak akan
menyebabkan kelumpuhan bulbar dan kelumpuhan pernafasan.
Pada anak yang datang dengan panas disertai dengan tanda sakit kepala, sakit
pinggang, kesulitan menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan
tanda-tanda head-drop, tanda trippod saat duduk, tanda-tanda spinal, tanda Brudzinsky atau
Kernig harus dicurigai kemungkinan adanya poliomielitis (Soedarmo, 2008).
Gejala ini terjadi sebagai akibat proses inflamasi akibat berbiaknya virus polio.
Gejalanya sangat ringan atau bahkan tanpa gejala. Keluhan biasanya nyeri tenggorok dan
perasaan tidak enak diperut, gangguan gastroinstetinal, demam ringan, perasaan lemas,
dan nyeri kepala ringan. Gejala ini terjadi selama 1-4 hari, kemudian menghilang. Gejala
ini merupakan fase enterik dari infeksi virus polio. Masa inkubasi 1-3 hari dan jarang
lebih dari dari 6 hari. Selama waktu itu virus terus bereplikasi pada naso faring dan
saluran cerna bagian bawah. Gejala klinis yang tidak khas ini terdapat pada 90%-95%
kasus polio.
Major illness merupakan gejala klinik akibat penyebaran dan replikasi virus di
tempat lain serta kerusakan yang ditimbulkannya. Menurut Hostman, masa ini
berlangsung selama 3-35 hari termasuk gejala minor illness dengan ratarata 17 hari. Usia
penderita akan mempengaruhi gejala klinis. 1/3 dari kasus polio berusia 2-10 tahun, akan
memberikan gambaran bifasik atau dromedari yaitu terdapat 2 letupan kedua kelainanan
sistemik dan neurologik.
Gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan cepat dalam beberapa jam, nyeri
kepala dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan punggung.
Penderita terlihat mengantuk, irritable dan cemas. Pada kasus tanpa paralysis maka
keadaan ini sukar dibedakan dengan meningitis aseptik yang disebabkan oleh virus lain.
Bila terjadi paralisis biasanya dimulai dalam beberapa detik sampai 5 hari sesudah
keluhan nyeri kepala.
Pada anak stadium preparalisis lebih singkat dan kelemaham otot terjadi dalam
waktu penurunan suhu, pada saat penderita merasa lebih baik. Pada dewasa, stadium pre
paralitik berlangsung lebih hebat dan lebih lama, penderita terlihat sakit berat, tremor,
43
agitasi, kemerahan daerah muka, otot menjadi sensitive dan kaku,pada otot ekstensor
ditemukan refleks tendon meninggi dan fasikulasi. Poliomielitis merusak sel motorik,
yaitu neuron yang besar pada substansi griseria anteria pada medulla spinalis dan batang
otak (Soedarmo, 2008).
a. Poliomielitis Abortif
Merupakan bentuk yang paling sering dari penyakit ini. Pasien hanya menderita
gejala minor, yang di tandai oleh demam, malaise, mengantuk, nyeri kepala, mual,
muntah, konstipasi, dan nyeri tenggorokan dalam beberapa kombinasi. Pasien sembuh
dalam beberapa hari.
Selain gejala dan tanda di atas pasien dengan bentuk penyakit non paralitik
mengalami kekakuan dan nyeri punggung serta leher. Penyakit berlangsung 2-10 hari
dengan kesembuhan cepat dan sempurna. Dalam presentase kecil kasus, penyakit
berlanjut menjadi paralisis. Virus polio hanya satu dari banyak virus yang menimbulkan
meningitis aseptik.
c. Poliomielitis Paralitik
Penyakit mayor bisa mengikuti penyakit minor, tetapi biasanya terjadi tanpa fase
pertama dari kejadian sebelumnya. Keluhan utama berupa paralisis flaksid yang
disebabkan oleh kerusakan lower motor neuron. Tetapi bisa juga terjadi inkoordinasi
setelah invasi pada batang otak dan nyeri spasme dari otot yang tidak lumpuh. Luasnya
kerusakan sangat bervariasi. Kesembuhan maksimum biasanya terjadi dalam 6 bulan
dengan paralysis bertahan lebih lama.
Terlihat paralisis yang timbul berulang-ulang dan pengecilan otot pada individu
puluhan tahun setelah perjalanan mereka dengan virus poliomielitis paralitik. Walaupun
atrofi otot progresif pasca poliomielitis jarang terjadi, ini merupakan sindrome yang
spesifik. Banyak kasus yang belakangan ini dilaporkan di AS, dimana pada tahun 1993
ada sekitar 300.000 orang dengan riwayat poliomielitis (Jawetz, dkk, 2005).
44
Penularan Virus Poliomielitis
Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembangbiak di dalam tengorokan dan
saluran pencernaan, lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan
pembuluh getah bening (Jawetz, dkk, 2005).
Pencegahan Poliomielitis
2. Dalam daerah endemik jangan melakukan sters yang berat seperti tonsilektomi, suntikan
dan sebagainya.
4. Imunisasi_aktif_(IKA,FKUI,2005).
VI. VARICELLA
Varicella zoster virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas
genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh
glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella (chickenpox) dan
herpes zoster (shingles). Pada tahun 1767, Heberden dapat membedakan dengan jelas antara
chickenpox dan smallpox, yang diyakini kata “chickenpox” berasal dari bahasa Inggris yaitu
“gican” yang maksudnya penyakit gatal ataupun berasal dari bahasa Perancis yaitu
“chiche-pois”, yang menggambarkan ukuran dari vesikel. Pada tahun 1888, Von Bokay
menemukan hubungan antara varicella dan herpes zoster, ia menemukan bahwa varicella
dicurigai berkembang dari anak-anak yang terpapapar dengan seseorang yang menderita
herpes zoster akut. Pada tahun 1943, Garland mengetahui terjadinya herpes zoster akibat
reaktivasi virus yang laten. Pada tahun 1952, Weller dan Stoddard melakukan penelitian secara
invitro, mereka menemukan varicella dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama.
45
EPIDEMIOLOGI
Varicella terdapat diseluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varicella
terutama mengenai anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun terutama usia 3 - 6 tahun dan
hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Di Amerika, varicella sering terjadi pada
anak-anak dibawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di
Jepang, umumnya terjadi pada anak-anak dibawah usia 6 tahun sebanyak 81,4 %. Insiden
terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang
mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 /
1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 – 29 tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes
zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun,
kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15 tahun.
Walaupun herpes zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun
herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita herpes
zoster pada masa kehamilan. Dari hasil penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes zoster pada
anak, biasanya ditemukan pada anak - anak yang imunokompromis dan menderita penyakit
keganasan.
PATOGENESIS
Masa inkubasi varicella 10 - 21 hari pada anak imunokompeten (rata - rata 14 - 17 hari) dan
pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang dari 14 hari. VZV
masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet infection)
ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari sebelum
hingga 5 hari setelah timbul lesi dikulit.
VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring
ataupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2 - 4 yang berlokasi
pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui
darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada
hari ke 4 - 6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi
virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga
akan berlanjut dengan siklus replikasi virus ke dua yang terjadi di hepar dan limpa, yang
mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke
seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi
dikulit yang khas.
46
Seorang anak yang menderita varicella akan dapat menularkan kepada yang lain yaitu 2 hari
sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit. Pada herpes zoster, patogenesisnya belum
seluruhnya diketahui. Selama terjadinya varicella, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan
permukaan mukosa ke ujung syaraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal melalui
serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten
(dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap
mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus.
Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler
seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan immunosuppressive
termasuk kortikosteroid dan pada orang penerima organ transplantasi. Pada saat terjadi
reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak
ganglion sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan
melalui syaraf sensoris akan sampai kekulit dan kemudian akan timbul gejala klinis.
GAMBARAN KLINIS
Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya didahului dengan
gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual dan anoreksia, yang terjadi 1 - 2
hari sebelum timbulnya lesi dikulit sedangkan pada anak kecil (usia lebih muda) yang
imunokompeten, gejala prodormal jarang dijumpai hanya demam dan malaise ringan dan
timbul bersamaan dengan munculnya lesi dikulit. Lesi pada varicella, diawali pada daerah
wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada (penyebaran secara centripetal) dan kemudian
dapat meluas ke ekstremitas. Lesi juga dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi
pada varicella biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya
semua stadium lesi secara bersamaan pada satu saat. Pada awalnya timbul makula kecil yang
eritematosa pada daerah wajah dan dada, dan kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12
- 14 jam menjadi papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan
yang jernih dengan dasar eritematosa. Vesikel yang terbentuk dengan dasar yang eritematous
mempunyai gambaran klasik yaitu letaknya superfisial dan mempunyai dinding yang tipis
sehingga terlihat seperti kumpulan tetesan air diatas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm,
berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau tampak vesikel
seperti titik- titik embun diatas daun bunga mawar (dew drop on a rose petal). Cairan vesikel
cepat menjadi keruh disebabkan masuknya sel radang sehingga pada hari ke 2 akan berubah
menjadi pustula. Lesi kemudian akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga
terbentuk umbilikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu yang bervariasi
antara 2-12 hari, kemudian krusta ini akan lepas dalam waktu 1 - 3 minggu. Pada fase
47
penyembuhan varicella jarang terbentuk parut (scar), apabila tidak disertai dengan infeksi
sekunder bacterial. Varicella yang terjadi pada masa kehamilan, dapat menyebabkan terjadinya
varicella intrauterine ataupun varicella neonatal. Varicella intrauterine, terjadi pada 20 minggu
pertama kehamilan, yang dapat menimbulkan kelainan kongenital seperti ke dua lengan dan
tungkai mengalami atropi, kelainan neurologik maupun ocular dan mental retardation.
Sedangkan varicella neonatal terjadi apabila seorang ibu mendapat varicella (varicella
maternal) kurang dari 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan. Bayi akan terpapar
dengan viremia sekunder dari ibunya yang didapat dengan cara transplasental tetapi bayi
tersebut belum mendapat perlindungan antibodi disebabkan tidak cukupnya waktu untuk
terbentuknya antibodi pada tubuh si ibu yang disebut transplasental antibodi.
Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematous, kemudian dalam waktu 12 - 24 jam
akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari ke 3 - 4 dan
akhirnya pada hari ke 7 - 10 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali
terjadi infeksi sekunder bakterial. Pada pasien imunokompromais dapat terjadi herpes zoster
desiminata dan dapat mengenai alat visceral seperti paru, hati, otak dan disseminated
intravascular coagulophaty (DIC) sehingga dapat berakibat fatal. Lesi pada kulitnya biasanya
sembuh lebih lama dan dapat mengalami nekrosis, hemoragik dan dapat terbentuk parut.
KOMPLIKASI
Pada anak yang imunokompeten, biasanya dijumpai varicella yang ringan sehingga jarang
dijumpai komplikasi.
48
Sering dijumpai infeksi pada kulit dan timbul pada anak-anak yang berkisar antara 5 - 10%.
Lesi pada kulit tersebut menjadi tempat masuk organisme yang virulen dan apabila infeksi
meluas dapat menimbulkan impetigo, furunkel, cellulitis, dan erysepelas.
Organisme infeksius yang sering menjadi penyebabnya adalah streptococcus grup A dan
staphylococcus aureus.
2. Scar
Timbulnya scar yang berhubungan dengan infeksi staphylococcus atau streptococcus yang
berasal dari garukan.
3. Pneumonia
Dapat timbul pada anak - anak yang lebih tua dan pada orang dewasa, yang dapat menimbulkan
keadaan fatal. Pada orang dewasa insiden varicella pneumonia sekitar 1 : 400 kasus.
4. Neurologik
► Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2 - 3 minggu setelah timbulnya varicella.
Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan.
► Manisfestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi berdiri hingga tidak mampu
untuk berdiri dan tidak adanya koordinasi dan dysarthria.
Encephalitis
encephalitis yang cepat dapat menimbulkan koma yang dalam. ► Merupakan komplikasi yang
serius dimana angka kematian
berkisar 5 - 20 %.
5. Herpes zoster
49
Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster, timbul beberapa bulan
hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer.
6. Reye syndrome
Keadaan ini berhubungan dengan penggunaan aspirin, tetapi setelah digunakan acetaminophen
(antipiretik) secara luas, kasus reye sindrom mulai jarang ditemukan.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk pemeriksaan virus varicella zoster (VZV) dapat dilakukan beberapa test yaitu :
1. Tzanck smear
-Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai dengan
pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s, toluidine blue ataupun
Papanicolaou’s. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant
cells.
-Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks virus.
2. Directfluorescentassay(DFA)
-Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk krusta
pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
-Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster. Pemeriksaan ini dapat membedakan
antara VZV dengan herpes simpleks virus.
50
- Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping dasar vesikel dan
apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan sebagai preparat, dan CSF.
- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.
4. Biopsi kulit
3. Impetigo.
PENATALAKSANAAN
Pada anak imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik dan
pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis yaitu :
- Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah.
- Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salap antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder.
- Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan salisilat (aspirin) untuk
menghindari terjadinya terjadi sindroma Reye.
- Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat garukan.
Obat antivirus
famasiklovir.
- Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varicella dan herpes zoster :
PENCEGAHAN
Pada anak imunokompeten yang telah menderita varicella tidak diperlukan tindakan
pencegahan, tetapi tindakan pencegahan ditujukan pada kelompok yang beresiko tinggi untuk
menderita varicella yang fatal seperti neonatus, pubertas ataupun orang dewasa, dengan tujuan
mencegah ataupun mengurangi gejala varicella.
1. Imunisasipasif
varicellla sedangkan pada anak imunokompromais pemberian VZIG dapat meringankan gejala
varicella.
- Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita varicella atau herpes zoster dan tidak
mempunyai antibodi terhadap VZV.
52
- Bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varicella dalam kurun waktu 5 hari sebelum
atau 48 jam setelah melahirkan.
- Bayi premature dan bayi usia ≤ 14 hari yang ibunya belum pernah menderita varicella atau
herpes zoster.
- Anak - anak yang menderita leukaemia atau lymphoma yang belum pernah menderita
varicella.
2. Imunisasiaktif
● Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus (Oka strain) dan kekebalan yang didapat
dapat bertahan hingga 10 tahun.
lokal seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3- 5% anak - anak dan timbul 10 -
21 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan.
53
PROGNOSIS
Varicella dan herpes zoster pada anak imunokompeten tanpa disertai komplikasi prognosis
biasanya sangat baik sedangkan pada anak imunokompromais, angka morbiditas dan
mortalitasnya signifikan.
Sejarah STBM
STBM merupakan adopsi dari keberhasilan pembangunan sanitasi total dengan menerapkan
model CLTS (Community Led Total Sanitation). Pendekatan CLTS sendiri diperkenalkan
oleh Kamal Kar dari India pada tahun 2004. Di tahun yang sama, Pemerintah Indonesia
melakukan studi banding ke India dan Bangladesh. Penerapannya dimulai pertengahan
tahun 2005, ketika pemerintah meluncurkan penggunaan metode ini di 6 desa yang terletak
di 6 provinsi. Pada Juni 2006, Departemen Kesehatan mendeklarasikan pendekatan CLTS
sebagai strategi nasional untuk program Sanitasi (Percik, 2008).
Pada September 2006, program WSLIC ( Water and Sanitation for Low Income
Communities) memutuskan untuk menerapkan pendekatan CLTS sebagai pengganti
pendekatan dana bergulir di seluruh lokasi program (36 kabupaten). Pada saat yang sama,
beberapa LSM mulai mengadopsi pendekatan ini. Mulai Januari sampai Mei 2007,
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia merancang proyek PAMSIMAS di
115 kabupaten. Program ini mengadopsi pendekatan CLTS dalam rancangannya (Percik,
2008).
Bulan Juli 2007 menjadi periode yang sangat penting bagi perkembangan CLTS di
Indonesia, karena pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia mulai
mengimplementasikan sebuah proyek yang mengadopsi pendekatan sanitasi total bernama
Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) atau Sanitasi Total dan pemasaran
sanitasi (SToPS), dan pada tahun 2008 diluncurkannya sanitasi total berbasis masyarakat
(STBM) sebagai strategi nasional (Kepmenkes RI No. 852/MENKES/SK/IX/2008). STBM
54
yang tertuang dalam kepmenkes tersebut menekankan pada perubahan prilaku masyarakat
untuk membangunan sarana sanitasi dasar dengan melalui upaya sanitasi meliputi tidak
BAB sembarangan, mencuci tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan yang
aman, mengelola sampah dengan benar mengelola limbah air rumah tangga dengan aman
nasional. Ciri utama dari pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur
(jamban keluarga), dan tidak menetapkan jamban yang nantinya akan dibangun oleh
masyarakat. Pada dasarnya program STBM ini adalah “pemberdayaan” dan “tidak
membicarakan masalah subsidi”. Artinya, masyarakat yang dijadikan “guru” dengan tidak
memberikan subsidi sama sekali (Kepmenkes RI No.852/ MENKES/SK/IX/2008).
55
2.1.2 Definisi STBM
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disingkat STBM adalah pendekatan
untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan
cara pemicuan. (Permenkes RI No. 03 Tahun 2014 Tentang Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat).
Program STBM memiliki indikator outcome dan indikator output. Indikator outcome
STBM yaitu menurunnya kejadian penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan
lainnya yang berkaitan dengan sanitasi dan perilaku.
I. Setiap individu dan komunitas mempunyai akses terhadap sarana sanitasi dasar
sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari buang air di sembarang
tempat (Open Defecation Free).
J. Setiap rumah tangga telah menerapkan pengelolaan air minum dan makanan
yang aman di rumah tangga.
K. Setiap rumah tangga dan sarana pelayanan umum dalam suatu komunitas
(seperti sekolah, kantor, rumah makan, puskesmas, pasar, terminal) tersedia
fasilitas cuci tangan (air, sabun, sarana cuci tangan), sehingga semua orang
mencuci tangan dengan benar.
56
Untuk mencapai outcome tersebut, STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional yang pada bulan
September 2008 telah dikukuhkan melalui Kepmenkes No.852/Menkes/SK/IX/2008. Dengan
demikian, strategi ini menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan instansi yang terkait dalam
penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terkait dengan sanitasi total
berbasis masyarakat. Pada tahun 2014, naungan hukum pelaksanaan STBM diperkuat dengan
dikeluarkannya PERMENKES Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat. Dengan demikian, secara otomatis Kepmenkes No.852/Menkes/SK/IX/2008 telah
tidak berlaku lagi sejak terbitnya Permenkes Nomor 3 tahun 2014 (PERMENKES Nomor 3
Tahun 2014).
Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dengan lima pilar akan
mempermudah upaya meningkatkan akses sanitasi masyarakat yang lebih baik serta
mengubah dan mempertahankan keberlanjutan budaya hidup bersih dan sehat.
Pelaksanaan STBM dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian
yang diakibatkan oleh sanitasi yang kurang baik, dan dapat mendorong tewujudnya
masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan (Permenkes RI No.03 tahun 2014).
Suatu kondisi ketika setiap individu dalam suatu komunitas tidak lagi
melakukan perilaku buang air besar sembarangan yang berpotensi menyebarkan
penyakit dengan dapat mengakses jamban.
57
b. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
Perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun.
c. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT)
58
d. Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT)
Sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) dalam pelaksanaanya program ini mempunyai
beberapa prinsip utama, yaitu :
II. Tidak adanya subsidi yang diberikan kepada masyarakat, tidak terkecuali
untuk kelompok miskin untuk penyediaan fasilitas sanitasi dasar.
Untuk memfasilitasi masyarakat dalam menganalisa kondisinya, ada beberapa metode yang
dapat diterapkan dalam kegiatan STBM, seperti :
1. Pemetaan
AA. Kapur tulis berwarna untuk garis akses penduduk terhadap sarana
sanitasi.
60
1. Mengajak masyarakaat untuk membuat outline desa/ dusun/ kampung, seperti
batas desa/ dusun/ kampung, jalan, sungai dan lain-lain.
4. Tanyakan dimana tempat melakukan BAB dalam kondisi darurat seperti pada
malam hari, saat hujan atau saat sakit perut.
4. Transect Walk
3. Menanyakan siapa saja yang sering BAB di tempat tersebut atau siapa yang
BAB di tempat tersebut pada hari itu.
61
Gambar tinja dan gambar mulut
Potongan-potongan kertas
Spidol
Menanyakan kepada masyarakat apakah mereka yakin bahwa tinja bisa masuk
ke dalam mulut?
Menanyakan bagaimana tinja bisa ”dimakan oleh manusia?” Melalui apa saja?
c) Ember yang diisi air (air mentah/sungai atau air masak/ air minum)
62
d) Polutan air/ tinja
1. Ambil satu ember air sungai dan minta salah seorang untuk menggunakan air
tersebut untuk cuci muka, kumur-kumur dan lainnya.
2. Bubuhkan sedikit tinja ke dalam ember yang sama, kenudia minta salah seorang
peserta untuk melakukan hal yang sama sebelum ember tersebut diberikan tinja.
Apa bedanya dengan kebiasaan masayarakat yang sudah terjadi selama ini. Apa
yang akan dilakukan kemudian hari?
a. FGD untuk memicu rasa malu dan hal-hal yang bersifat pribadi
63
2. Menanyakan bagaimana perasaan mereka jika BAB di tempat terbuka
dapat dilihat oleh orang lain.
Gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat tidak meminta atau menyuruh masyarakat
untuk membuat sarana sanitasi tetapi hanya mengubah perilaku sanitasi mereka. Namun
pada tahap selanjutnya ketika masyarakat sudah mau merubah kebiasaan BAB nya, sarana
sanitasi menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari.
Sanitation Ladder atau tangga sanitasi merupakan tahap perkembangan sarana sanitasi yang
digunakan masyarakat, dari sarana yang sangat sederhana sampai sarana sanitasi yang
sangat layak dilihat dari aspek kesehatan, keamanan dan kenyamanan bagi penggunanya.
Seringkali pemikiran masyarakat akan sarana sanitasi adalah sebuah bangunan yang kokoh,
permanen, dan membutuhkan biaya yang besar untuk membuatnya. Pemikiran ini sedikit
banyak menghambat kemauan masyarakat untuk membangun jamban, karena alasan
ekonomi dan lainnya sehingga kebiasaan masyarakat untuk buang air besar pada tempat
yang tidak seharusnya tetap berlanjut.
Pada prinsipnya sebuah sarana sanitasi terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan letak
konstruksi dan kegunaannya. Pertama adalah bangunan bawah tanah yang berfungsi sebagai
tempat pembuangan tinja. Fungsi bangunan bawah tanah adalah untuk melokalisir tinja dan
mengubahnya menjadi lumpur stabil. Kedua adalah bangunan di permukaan tanah
(landasan). Bangunan di permukaan ini erat kaitannya dengan keamanan saat orang tersebut
membuang hajat. Ketiga adalah bangunan dinding. Bangunan atau dinding penghalang erat
kaitannya dengan faktor kenyamanan, psikologis dan estetika.
65
Dari lima kegiatan program STBM yang diperkenalkan, kegiatan untuk penghentian
kegiatan BAB di tempat terbuka merupakan pintu masuk pengenalan konsep sanitasi total
kepada masyarakat. Buang air besar sembarangan merupakan perilaku yang masih sering
dilakukan masyarakat pedesaan. Kebiasaan ini disebabkan tidak tersedianya sarana sanitasi
berupa jamban. Penyediaan sarana pembuangan kotoran manusia atau tinja (jamban) adalah
bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya, khususnya dalam usaha
pencegahan penularan penyakit saluran pencernaan. Ditinjau dari sudut kesehatan
lingkungan, maka pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari
lingkungan, terutama dalam mencemari tanah dan sumber air (Suparmin, 2002).
2.2 Jamban
Jamban adalah suatu fasilitas pembuangan tinja manusia. Jamban terdiri atas tempat
jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang
dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Abdullah,
2010). Jamban keluarga adalah suatu fasilitas pembuangan tinja bagi suatu keluarga
(Depkes RI, 2009).
Menurut Kusnoputranto (1997) Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan
untuk membuang dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam
suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori
permukaan.
Sementara itu menurut Soemardi (1999) pengertian jamban adalah pengumpulan kotoran
manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada pada kotoran
manusia dan mengganggu estetika.
66
Jamban keluarga sangat berguna bagi manusia dan merupakan bagian dari kehidupan
manusia, karena jamban dapat mencegah berkembangnya berbagai penyakit saluran
pencernaan yang disebabkan oleh kotoran manusia yang itdak dikelola dengan baik.
1. Rumah Kakus
2. Lantai Kakus
Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus
baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga
disesuaikan dengan bentuk rumah kakus.
67
Melihat fungsi tempat duduk kakus merupakan tempat penampungan tinja yang
kuat dan mudah dibersihkan juga bisa mengisolir rumah kakus jadi tempat
pembuangan tinja, serta berbentuk leher angsa atau memakai tutup yang mudah
diangkat (Simanjuntak P, 1999)
Alat pembersih adalah bahan yang ada di rumah kakus didekat jamban. Jenis
alat pembersih ini yaitu sikat, bros, sapu, tissu dan lainnya. Tujuan alat
pembersih ini agar jamban tetap bersih setelah jamban disiram air. Pembersihan
dilakukan minimal 2-3 hari sekali meliputi kebersihan lantai agar tidak berlumut
dan licin.
Adalah rangkaian dari sarana pembuangan tinja yang fungsinya sebagai tempat
mengumpulkan kotoran/tinja. Konstruksinya dapat berbentuk sederhan berupa
lobang tanah saja.
7. Saluran Peresapan
68
Adalah sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang lengkap untuk
mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur kotoran/tinja.
Jamban keluarga yang didirikan mempunyai beberapa pilihan. Pilihan yang terbaik ialah
jamban yang tidak menimbulkan bau, dan memiliki kebutuhan air yang tercukupi dan
berada di dalam rumah. Jamban/kakus dapat dibedakan atas beberapa macam ( Chayatin
,2009) :
e) Jamban Cemplung Bentuk jamban ini adalah yang paling sederhana. Jamban
cemplung ini hanya terdiri atas sebuah galian yang di atasnya diberi lantai dan
tempat jongkok. Lantai jamban ini dapat dibuat dari bambu atau kayu, tetapi
dapat juga terbuat dari batu bata atau beton. Jamban semacam ini masih
menimbulkan gangguan karena baunya.
· Angsa trine (Water Seal Latrine) Di bawah tempat jongkok jamban ini
ditempatkan atau dipasang suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang
disebut bowl. Bowl ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang berada
69
di tempat penampungan tidak tercium baunya, karena terhalang oleh air yang
selalu terdapat dalam bagian yang melengkung. Dengan demikian dapat
mencegah hubungan lalat dengan kotoran.
Letak jamban harus sedemikian rupa, sehingga kotoran selalu jatuh di air
Tidak terdapat sumber air minum yang terletak sejajar dengan jarak 15 meter
Jamban Septic Tank. Septic tank berasal dari kata septic, yang berarti
pembusukan secara anaerobik. Nama septic tank digunakan karena dalam
pembuangan kotoran terjadi proses pembusukan oleh kuman-kuman pembusuk
yang sifatnya anaerob. Septic tank dapat terdiri dari dua bak atau lebih serta
70
dapat pula terdiri atas satu bak saja dengan mengatur sedemikian rupa (misalnya
dengan memasang beberapa sekat atau tembok penghalang), sehingga dapat
memperlambat pengaliran air kotor di dalam bak tersebut. Dalam bak bagian
pertama akan terdapat proses penghancuran, pembusukan dan pengendapan.
Dalam bak terdapat tiga macam lapisan yaitu:
b. Lapisan cair
c. Lapisan endap
Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl langsung di
atas galian penampungan kotoran
71
Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl tidak berada
langsung di atas galian penampungan kotoran tetapi dibangun terpisah dan
dihubungkan oleh suatu saluran yang miring ke dalam lubang galian
penampungan kotoran (Warsito, 1996)
Jamban sehat harus dibangun, dimiliki, dan digunakan oleh keluarga dengan penempatan (di
dalam rumah atau di luar rumah) yang mudah dijangkau oleh penghuni rumah. (Permenkes
RI No.3 Thn 2014)
72
b) Bangunan tengah jamban
b. Lantai Jamban terbuat dari bahan kedap air, tidak licin, dan mempunyai saluran
untuk pembuangan air bekas ke Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL).
Y. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15
meter dari sumber air minum.
Z. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
AA. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak
mencemari tanah di sekitarnya.
73
CC. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna.
Menurut Arifin dalam Abdullah (2010) ada tujuh syarat-syarat jamban sehat
yaitu:
Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang
kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Dinding dan
dasar lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester
Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor
dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur
74
Jamban yang sudah penuh, segera disedot untuk dikuras kotorannya,
kemudian kotoran ditimbun di lubang galian
Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa
menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya
75
Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi
untuk membuang bau dari dalam lubang kotoran
Lantai jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan
harus dilakukan secara periodik
Untuk tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang
kotoran seperti: batu bata, selongsong anyaman bambu atau bahan penguat
lain
f. Bidang resapan
76
Adalah sarana terakhir dari suatu sistem pembuangan tinja yang
lengkap untuk mengalirkan dan meresapkan cairan yang bercampur
kotoran/tinja
Jarak aman antara lubang kakus dengan sumber air minum dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain : (Chandra, 2007)
2. Faktor hidrologi : yang termasuk dalam faktor hidrologi antara lain Kedalaman
air tanah, Arah dan kecepatan aliran tanah, Lapisan tanah yang berbatu dan
berpasir. Pada lapisan jenis ini diperlukan jarak yang
3. Faktor Meteorologi : di daerah yang curah hujannya tinggi, jarak sumur harus
lebih jauh dari kakus.
6. Frekuensi Pemompaan : Akibat makin banyaknya air sumur yang diambil untuk
keperluan orang banyak, laju aliran tanah menjadi lebih cepat untuk mengisi
kekosongan (Chandra, 2007).
77
2.2.5 Manfaat dan Fungsi Jamban Keluarga
Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Jamban yang baik dan
memenuhi syarat kesehatan akan menjamin beberapa hal, yaitu :
2. Melindungi dari gangguan estetika, bau dan penggunaan saran yang aman
Jamban hendaknya selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Adapun cara
pemeliharaan yang baik menurut Depkes RI 2004 adalah sebagai berikut:
78
5. Lantai selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat
b. Sehabis digunakan, lantai dan lubang jongkok harus disiram bersih agar
tidak bau dan mengundang lalat.
c. Lantai jamban diusahakan selalu bersih dan tidak licin, sehingga tidak
membahayakan pemakai.
e. Tidak ada aliran masuk kedalam lubang jamban selain untuk membilas
tinja.
79
Perilaku yaitu suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya suatu stimulus/ rangsangan
dari luar (Notoatmodjo, 2012).
Perilaku dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka
(overt behavior). Perilaku tertutup merupakan respon seseorang yang belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain. Sedangkan perilaku terbuka merupakan respon dari seseorang
dalam bentuk tindakan yang nyata sehingga dapat diamati lebih jelas dan mudah (Fitriani,
2011).
Perilaku kesehatan merupakan suatu respon dari seseorang berkaitan dengan masalah
kesehatan, penggunaan pelayanan kesehatan, pola hidup, maupun lingkungan sekitar yang
mempengaruhi (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Becker, 1979 yang dikutip dalam Notoatmodjo (2012), perilaku kesehatan
diklasifikasikan menjadi tiga :
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) Merupakan perilaku seseorang
ketika sakit. Perilaku ini mencakup upaya untuk menyembuhkan
penyakitnya.
80
2.4.3 Determinan perilaku kesehatan
81
d. Tempat kotoran tidak boleh terbuka
a. Rumah jamban
b. Lantai jamban
Berfungsi sebagai sarana penahan atau tempat pemakai yang sifatnya harus
baik, kuat dan mudah dibersihkan serta tidak menyerap air. Konstruksinya juga
disesuaikan dengan bentuk rumah jamban Faktor-faktor pemungkin merupakan
faktor-faktor yang merupakan sarana dan prasarana untuk berlangsungnya suatu
perilaku. Yang merupakan faktor pemungkin misalnya lingkungan fisik dan
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan setempat.
82
2.4.6 Macam Perilaku Buang Air Besar
Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokan buang air besar berdasarkan tempat yang
digunakan sebagai berikut:
1. Buang Air Besar di tangki septic, adalah buang air besar yang sehat dan
dianjurkan oleh ahli kesehatan yaitu dengan membuang tinja di tangki septic
yang digali di tanah dengan syarat-syarat tertentu. Buang air besar di tangki
septik juga digolongkan menjadi:
a. Buang Air Besar dengan jamban leher angsa, adalah buang air
besar menggunakan jamban model leher angsa yang aman dan
tidak menimbulkan penularan penyakit akibat tinja karena dengan
model leher angsa ini maka tinja akan dibuang secara tertutup dan
tidak kontak dengan manusia ataupun udara.
2. Buang Air Besar tidak di tangki septic atau tidak menggunakan jamban. Buang
Air Besar tidak di tangki septic atau tidak dijamban ini adalah perilaku buang
83
air besar yang tidak sehat. Karena dapat menimbulkan dampak yang berbahaya
bagi kesehatan manusia. Buang Air Besar tidak menggunakan jamban
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Buang Air Besar di sungai atau di laut : Buang Air Besar di sungai
atau di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan
teracuninya biota atau makhluk hidup yang berekosistem di daerah
tersebut. Buang air besar di sungai atau di laut dapat memicu
penyebaran wabah penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja.
c. Buang Air Besar di pantai atau tanah terbuka, buang air besar di
Pantai atau tanah terbuka dapat mengundang serangga seperti lalat,
kecoa, kaki seribu, dsb yang dapat menyebarkan penyakit akibat
tinja. Pembuangan tinja di tempat terbuka juga dapat menjadi
sebab pencemaran udara sekitar dan mengganggu estetika
lingkungan.
84
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketa
4. Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
6. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
7. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
85
9. Buku bahan ajar mikrobiologi fakultas kedokteran Indonesia
10. Kemenkes RI
11. Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th Ed.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2007. (Djuanda, et al., 2007)
12. James, W.D. Berger, T.G. Elston, D.M. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Saunders Elsevier. Canada. 2000. (James, et al., 2000)
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Pedoman Pelayanan Medik. 2011.
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, 2011)
14. library.usu.ac.id/download/fk/anak-syahril2.pdf
86
87