You are on page 1of 7

MODUL 2

Gangguan berbagai sistem pada Bayi Baru Lahir

SKENARIO 2 :
Jaundice
Bayi Ny. Siska, usia 1 hari, berat badan 1600 gram dirujuk ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak nafas dan kejang. Setelah
dilakukan anamnesa pada bidan yang merujuk diketahui bayi Ny. Siska mengalami asfiksia berat saat lahir dengan usia kehamilan 32
minggu. Hasil pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan hyaline membrane disease grade 1(RDS) dan kemungkinan adanya patent
ductus arteriosus dan patent foramen ovale. Dokter kemudian menginstruksikan untuk memasang iv line dan orogastric tube untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi bayi Ny. Siska.
Selama beberapa hari perawatan di ruang NICU, bayi Ny. Siska mengalami jaundice. Dokter muda yang turut merawat bayi Ny.
Siska kemudian menelusuri referensi mengenai kemungkinan penyebab jaundice pada bayi Ny. SisKa apakah berkaitan dengan
kelainan hematologi atau kelainan pada sistem hepatobilier.

Bagaimana anda menjelaskan kasus pada skenario diatas?

Patent duktus arteriosus


Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah penyakit jantung bawaan yang asianotik yang dimana tetap terbukanya duktus arterious
setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi ) ke dalam arteri pulmoner
(tekanan lebih rendah)
Duktus arteriosus berasal dari lengkung aorta dorsal distal ke enam dan secara utuh dibentuk pada usia ke delapan kehamilan.
Perannya adalah untuk mengalirkan darah dari paru-paru fetus yang tidak berfungsi melalui hubungannya dengan arteri pulmonal
utama dan aorta desendens proksimal. Pengaliran kanan ke kiri tersebut menyebabkan darah dengan konsentrasi oksigen yang cukup
rendah untuk dibawa dari ventrikel kanan melalui aorta desendens dan menuju plasenta, dimana terjadi pertukaran udara. Sebelum
kelahiran, kira-kira 90% curahan ventrikel mengalir Universitas Sumatera Utara melalui duktus arteriosus. Penutupan duktus
arteriosus pada bayi kurang bulan berhubungan dengan angka morbiditas yang signifikan, termasuk gagal jantung kanan. Biasanya,
duktus arteriosus menutup dalam 24-72 jam dan akan menjadi ligamentum arteriosum setelah kelahiran cukup bulan (Dice et al,
2007). Konstriksi dari duktus arteriosus setelah kelahiran melibatkan interaksi kompleks dari peningkatan tekanan oksigen, penurunan
sirkulasi prostaglandin E2, penurunan respetor PGE2 duktus dan penurunan tekanan dalam duktus. Hipoksia dinding pembuluh dari
duktus menyebabkan penutupan melalui inhibisi dari prostaglandin dan nitrik oksida di dalam dinding duktus(Dice et al, 2007).
Patensi dari duktus arteriosus biasanya diatur oleh tekanan oksigen fetus yang rendah dan sirkulasi dari prostanoid yang dihasilkan
dari metabolisme asam arakidonat oleh COX dengan PGE2 yang menghasilkan relaksasi duktus yang paling hebat di antara
prostanoid lain. Relaksasi otot polos dari duktus arteriosus berasal dari aktivasi reseptor prostaglandin G berpasangan EP4 oleh PGE2.
Setelah aktivasi reseptor prostaglandin EP4, terjadi kaskade kejadian yang termasuk akumulasi siklik adenosine monofosfat,
peningkatan protein kinase A dan penurunan myosin rantai ringan kinase, yang menyebabkan vasodilatasi dan patensi duktus
arteriosus (Dice et al, 2007). Dalam 24-72 jam setelah kelahiran cukup bulan, duktus arteriosus menutup sebagai hasil dari
peningkatan tekanan oksigen dan penurunan sirkulasi PGE2 dan prostasiklin. Seiring terjadinya peningkatan tekanan oksigen, kanal
potassium dependen voltase pada otot polos terinhibisi. Melalui inhibisi tersebut, influx kalsium berkontribusi pada konstriksi duktus.
Konstriksi yang disebabkan oleh oksigen tersebut gagal terjadi pada bayi kurang bulan dikarenakan ketidakmatangan reseptor
perabaan oksigen. Kadar dari PGE2 dan PGI1 berkurang disebabkan oleh peningkatan metabolisme pada paru-paru yang baru
berfungsi dan juga oleh hilangnya sumber plasenta. Penurunan dari kadar vasodilator tersebut menyebabkan duktus arteriosus
Universitas Sumatera Utara berkontriksi. Faktor-faktor tersebut berperan dalam konstriksi otot polos yang menyebabkan hipoksia
iskemik dari dinding otot bagian dalam duktus arteriosus(Dice et al, 2007). Selagi duktus arteriosus berkonstriksi, area lumen
berkurang yang menghasilkan penebalan dinding pembuluh dan hambatan aliran melalui vasa vasorum yang merupakan jaringan
kapiler yang memperdarahi sel-sel luar pembuluh. Hal ini menyebabkan peningkatan jarak dari difusi untuk oksigen dan nutrisi,
termasuk glukosa, glikogen dan adenosine trifosfat yang menghasilkan sedikit nutrisi dan peningkatan kebutuhan oksigen yang
menghasilkan kematian sel. Konstriksi ductal pada bayi kurang bulan tidak cukup kuat. Oleh karena itu, bayi kurang bulan tidak bias
mendapatkan hipoksia otot polos, yang merupakan hal utama dalam merangsang kematian sel dan remodeling yang dibutuhkan untuk
penutupan permanen duktus arteriosus. Inhibisi dari prostaglandin dan nitrik oksida yang berasal dari hipoksia jaringan tidak sebesar
pada neonatus kurang bulan dibandingkan dengan yang cukup bulan, sehingga menyebabkan lebih lanjut terhadap resistensi
penutupan duktus arteriosus pada bayi kurang bulan (Dice et al, 2007). Pemberi nutrisi utama pada duktus arteriosus di bagian lumen,
namun vasa vasorum juga merupakan pemberi nutrisi penting pada dinding luar duktus. Vasa vasorum berkembang ke dalam lumen
dan memiliki panjang 400-500 μm dari dinding luar duktus. Jarak antara lumen dan vasa vasorum disebut sebagai zona avascular dan
melambangkan jarak maksimum yang mengizinkan terjadinya difusi nutrisi. Pada bayi cukup bulan, zona avascular tersebut
berkembang melebihi jarak difusi yang efektif sehingga menyebabkan kematian sel. Pada bayi kurang bulan, zona avaskuler tersebut
tidak mengembang secara utuh yang menyebabkan sel tetap hidup dan menyebabkan terjadinya patensi duktus. Apabila kadar PGE2
dan prostaglandin lain menurun melalui inhibisi COX, penutupan dapat terfasilitasi. Sebagai hasil dari deficit nutrisi dan hipoksia
iskemi, growth factor endotel vaskular dan kombinasinya dengan mediator peradangan lain menyebabkan remodeling dari Universitas
Sumatera Utara duktus arteriosus menjadi ligament non kontraktil yang disebut ligamentum arteriosum

Patofisiologi
Foramen ovale paten (PFO) adalah pembukaan seperti flaplike antara primum septum atrium dan sekundum di lokasi fossa ovalis
yang menetap setelah usia 1 tahun. Dalam uterus, foramen ovale berfungsi sebagai saluran fisiologis untuk shunting kanan-ke-kiri.
Setelah sirkulasi pulmonal terbentuk setelah lahir, tekanan atrium kiri meningkat, memungkinkan penutupan fungsional foramen
ovale. Ini diikuti dengan penutupan anatomi septum primum dan septum secundum pada usia 1 tahun.
Penelitian otopsi Mayo Clinic mengungkapkan bahwa ukuran PFO meningkat dari rata-rata 3,4 mm pada dekade pertama hingga 5,8
mm pada dekade ke 10 kehidupan, karena katup fossa ovalis membentang seiring bertambahnya usia. [10]
Dengan semakin banyak bukti bahwa PFO adalah penyebab dalam peristiwa-peristiwa emboli paradoksal, kepentingan relatif dari
anomali sedang dievaluasi kembali. James Lock, MD, mendalilkan bahwa anatomi PFO menghasilkan cul-de-sac antara septum
primum dan sekundum, mempengaruhi individu untuk pembentukan hemostasis dan bekuan darah. Setiap kondisi yang meningkatkan
tekanan atrium kanan lebih dari tekanan atrium kiri dapat menyebabkan aliran paradoks dan dapat menyebabkan kejadian embolik.
Alasan ini telah sangat mengubah konsepsi PFO sebelumnya dan mengubah pengelolaan kondisi saat ini.

 Pemasangan alat penutup. Tindakan medis ini dilakukan dengan cara menempatkan sebuah alat penutup di ujung kateter
(tabung elastis), yang dimasukkan melalui pembuluh darah selangkangan yang diarahkan langsung ke jantung. Metode ini
cukup efektif untuk menangani berbagai gangguan jantung.

 Bedah jantung. Umumnya metode ini dilakukan pada para penderita penyakit jantung, bukan pengobatan khusus untuk
PFO. Namun jika dalam operasi dokter menemukan adanya PFO, dokter akan menutupnya pada saat yang sama.

 Mengonsumsi aspirin atau warfarin. Metode menggunakan obat-obatan ini digunakan bukan untuk menutup PFO,
melainkan untuk mencegah sekaligus mengatasi gumpalan atau pembekuan darah di dalam jantung.

1. Ikterus Fisiologis
Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena berikut:4,5,6
a. Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya
umur eritrosit janin dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (kadar hemoglobin/ Hb neonatus cukup bulan sekitar 16,8
gr/dl).
b. Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya ambilan)
dan karena aktivitas yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonjugasikan bilirubin
dengan asam glukuronat sehingga bilirubin menjadi larut dalam air (konjugasi).
c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum
ada ambilan nutrisi.
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam,
dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar
5-6 mg/dL (86-103 μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik
ikterus fisiologis adalah sebagai berikut:4
a. Timbul pada hari kedua – ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus
kurang bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
e. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.
f. Tidak mempunyai dasar patologis.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup
bulan, tetapi jangka waktunya lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-
7.4,6

2. Ikterus Patologis
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan.
Beberapa keadaan berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:4,7
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Bilirubin indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
c. Peningkatan bilirubin total> 5 mg/dL/24 jam.
d. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
f. Ikterus yang disertai oleh: berat lahir <2000 gram, masa gestasi 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada
neonatus,infeksi, trauma lahir pada kepala, hipoglikemia
g. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada prematur).
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia
gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan
darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD. 8
2.1 Patofisiologi Ikterus
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila
terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.3
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila
kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis
neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik. 3
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada
bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik
pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah
otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf
pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.3
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. (Malloy & Freeman 2000).
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada,
sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik (Stark,1986).
RDS adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.RDS
dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi, 2001).
RDS adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala dispneu, pernafasan cepat lebih dari 60 kali
permenit, sianosis, merintih pada saat ekspirasi; terdapat retraksi pada suprasternal, interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini
terjadi perubahan paru yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru yang rusak.Kerusakan pada paru timbul akibat
kekurangan komponen surfaktan pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan pada ruang antar alveoli
sehingga dapat mencegah pergesekan dan timbulnya kerusakan pada alveoli yang selanjutnya akan mencegah terjadinya kolaps paru.
(Yuliani, 2001)

A. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai
sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting
penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, secsiocaesaria.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang
dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar
paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH),

B. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan
berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan
surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan
tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli
sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan
kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal
dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan
surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan
mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD).

C. Pathway
D. Manifestasi Klinis
Gejala utama Gawat napas / distress respirasi pada neonatus yaitu :
 Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per menit)
 Sianosis sentral pada suhu kamaryang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
 Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
 Grunting : suara merintih saat ekspirasi
 Pernapasan cuping hidung

Tabel 2. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes


Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang dengan Sianosis menetap
02 walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan udara Tidak ada udara masuk
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa
stetoskop alat bantu
Evaluasi: < 3 = gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang
> 6 = gawat napas berat

E. Penatalaksanaan
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC)
dengan cara meletakkan bayi dalam incubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat.
2. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks pada bayi
premature.pemberian oksigen yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti fobrosis paru,dan kerusakan retina.
Untuk mencegah timbulnya komplikasi pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila
fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada, maka oksigen diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 40%
sampai gejala sianosis menghilang.
3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan
diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis
metabolic yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena yang berguna untuk
mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3 dapat diberi
langsung melalui tetesan dengan menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3 1,5% dalam perbandinagn 4:1
4. Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin
dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan eksogen (surfaktan dari luar). Obat ini sangat
efektif tapi biayanya sangat mahal.

F. Komplikasi
1. Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
a. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ),
pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan
thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang
dihentikan terapi surfaktannya.
2. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu.BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
b. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi.

G. Pencegahan RDS
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya
kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat
terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
− Mencegah kelahiran < bulan (premature).
− Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
− Management yang tepat.
− Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
− Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
− Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.

You might also like