You are on page 1of 46

LAPORAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN MINIPROJECT

“Tingkat Pengetahuan Penyakit Tuberkulosis Dan Upaya Pencegahan


Peyakit Tuberkulosis Pada Ibu-Ibu Posyandu Dukuh Lodadi 1,
Umbulmartani, Ngemplak Sleman”

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menempuh

Program Dokter Internsip di Puskesmas Ngemplak 1 Slema

Disusun Oleh :

dr. Friska Jefani Putri


Dokter Internsip Periode 1 November 2015 – 29 Februari 2016

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


PUSKESMAS NGEMPLAK 1 KABUPATEN SLEMAN
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2016
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN MINIPROJECT

“Tingkat Pengetahuan Penyakit Tuberkulosis Dan Upaya Pencegahan


Peyakit Tuberkulosis Pada Ibu-Ibu Posyandu Dukuh Lodadi 1,
Umbulmartani, Ngemplak Sleman”

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menempuh

Program Dokter Internsip di Puskesmas Ngemplak 1 Sleman

Disusun Oleh :

dr. Friska Jefani Putri

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal Februari 2016

Oleh :

Pendamping Dokter Intersip

dr. Bheti Yuliana F


NIP 19840705 201001 2 022

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit menular saat ini masih menjadi permasalahan dalam dunia


kesehatan. Pada saat ini penyakit menular menjadi salah satu prioritas dinas
kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Penyakit
menular diantaranya adalah Tuberkulosis, Pneumonia, Infeksi saluran pernafasan
akut, Malaria, HIV/AIDS dan lain-lain. Penyakit yang menjadi salah satu isu
global adalah tuberkulosis yang merupakan penyakit menular kronis.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang menjadi prioritas nasional dalam
proses pengendalian penyakit sehingga tidak mempengaruhi kualitas hidup dan
ekonomi serta mencegah terjadinya kematian (Riskesda, 2007). Tuberkulosis
berpengaruh besar terhadap kualitas hidup dan ekonomi seseorang. WHO
menyebutkan bahwa seorang penderita tuberkulosis akan kehilangan pendapatan
rumah tangganya sekitar 3-4 bulan. Kematian akibat tuberkulosis dapat
mengakibatkan kehilangan pendapatan rumah tangga sekitar 15 tahun (Depkes,
2011). Sebagian besar tuberkulosis didapatkan di negara yang sedang berkembang
dengan sosioekonomi yang rendah (Alsagaff dan Mukty, 2009).

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat kronis yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada saat ini tuberkulosis
merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian dunia. Dalam bukunya
Alsagaff dan Mukty (2009) dituliskan berdasarkan WHO bahwa 10-20 juta
penduduk didunia mampu menularkan tuberkulosis. Menurut Depkes (2011) pada
tahun 2009 ditemukan 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya
perempuan) dan ditemukan 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya
perempuan).

Indonesia merupakan salah satu negara endemiktuberkulosis. Pada saat ini


tuberkulosis masih menjadi permasalahan di Indonesia. Berdasarkan WHO global
report tahun 2009, Indonesia masih termasuk dalam 10 besar negara dengan

3
permasalahan Tuberkulosis (TB) yaitu diperingkat kelima didunia setelah India,
China, Afrika Selatan dan Nigeria (Depkes, 2011). DiIndonesia setiap tahunnya
ditemukan sekitar 300.000 orang menderita tuberkulosis (Kompas, 2012). Pada
tahun 2009 ditemukan sebanyak 528.063 kasus tuberkulosis baru. Kematian yang
diakibatkan tuberkulosis sebanyak 91.369 pada tahun 2009 (Depkes, 2011).
Berdasarkan global report TB WHO tahun 2011 prevalensi tuberkulosis di
Indonesia sebesar 289 per 100.000 penduduk. Insidensi tuberkulosis diIndonesia
sebesar 189 per 100.000 penduduk dengan angka kematian sebesar 27 per
100.000 penduduk (Depkes, 2012). Sekitar 75% pasien tuberkulosis adalah usia
reproduktif (15-50 tahun) (Depkes, 2011).

Daerah Istimewa Yogyakarta juga tidak lepas dari kasus penyakit TB


dimana terdapat kasus TB suspek mencapai 3855 jiwa. Menurut data dari laporan
tahunan Balai Pengobatan Paru-Paru tahun 2011, kasus terbanyak terdapat di
kabupaten Minggiran dengan jumlah suspek 1312 jiwa, kabupaten Bantul dengan
jumlah suspek 768 jiwa, Wates 238 jiwa, Kota Gede 949 jiwa, dan terakhir
kabupaten Kalasan 588 jiwa. DIY merupakan salah satu dari enam provinsi yang
belum mencapai target keberhasilan pengobatan yang telah ditetapkan oleh
(WHO) dan MDG’s. Angka keberhasilan pengobatan TB di DIY baru mencapai
84,2%, sedangkan standar WHO sebesar 85% dan standar MDGs sebesar 95%
(Depkes, 2011).

Hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pencegahan Tuberkulosis


(TB) antara lain adalah kelalaian, sikap acuh tak acuh, kurangnya pengetahuan,
kekurangan fasilitas pengobatan dan transportasi yang sukar serta
hambatanhambatan keuangan. Diperlukan kerja sama yang erat antara lembaga-
lembaga kesehatan, tenaga kesehatan dan pasien. Pengertian yang salah tentang
Tuberkulosis (TB) sering terjadi karena kurangnya pengetahuan (Sidharta, 1996).
Dari data Dinas Kesehatan Propinsi Yogyakarta tahun 2008 tercatat 1140
penderita tuberkulosis dengan BTA (+), berturut-turut di Kota tercatat 428, Bantul
190, Kulonprogo 120, Gunung Kidul 143, Sleman 259 penderita tuberkulosis
dengan BTA (+), sedangkan jumlah keseluruhan penderita yang terdiagnosa

4
tuberkulosis sejumlah 2364 penderita yang ada diwilayah Yogyakarta. Kabupaten
Sleman menjadi salah satu kabupaten dengan penderita BTA (+) tertinggi di
Propinsi Yogyakarta.

Survey pendahuluan dilakukan peneliti di Puskesmas Ngemplak 1. Dari


data petugas kesehatan yang melakukan pencatatan kasus TB, jumlah kasus di
kecamatan Ngemplak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan salah
satu penderita yang berasal dari kelurahan Umbulmartani mengalami TB-MDR.

Penanggulangan terhadap infeksi TB sudah dilakukan sejak tahun 1990


dimana pada tahun ini WHO dan IUATLD mengembangkan strategi DOTS.
Strategi DOTS ini terbukti ekonomis dan efektif dalam penanggulangan TB dan
mencegah terjadinya MDR-TB. Pelaksanaan strategi DOTS dilakukan diseluruh
UPK ini bertujuan untuk program penanggulangan nasional yaitu angka
penemuan kasus 70 % dan angka kesembuhan sebanyak 80%.

Terapi tuberkulosis diberikan secara kombinasi. Pemberian terapi


dilakukan dengan dua tahap antara lain tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif penderita tuberkulosis mendapatkan pengobatan setiap hari. Pemberian
yang tepat pada tahap intensif ini dapat mencegah terjadinya penularan pada
pasien dalam kurun waktu 2 minggu. Pada tahap lanjutan pasien diberikan jenis
obat lebih sedikit akan tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama dibandingkan
dengan tahap intensif. Pada tahap ini untuk membunuh kuman yang persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Berdasarkan latar belakang diatas maka ingin diketahui bagaimana


tingkat pengetahuan dan upaya pencegahan terhadap penyakit tuberkulosis pada
masyarakat RW 04 dukuh Lodadi, desa Umbulmartani, kecamatan Ngemplak,
kabupaten Sleman.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat pengetahuan dan upaya pencegahan

5
terhadap penyakit tuberkulosis pada ibu-ibu posyandu dukuh Lodadi 1, desa
Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dan upaya pencegahan terhadap penyakit tuberkulosis pada ibu-ibu
posyandu dukuh Lodadi 1, desa Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten
Sleman.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Diketahuinya tingkat pengetahuan tentang upaya pencegahan penyakit


TBC pada ibu-ibu posyandu dukuh Lodadi 1, desa Umbulmartani,
kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman.
b. Diketahuinya upaya pencegahan penyakit TBC pada ibu-ibu posyandu
dukuh Lodadi 1, desa Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten
Sleman.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan masukan dan informasi sehingga dapat melakukan
peningkatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
2. Bagi Kader Kesehatan
Sebagai bahan informasi dan masukan untuk kader kesehatan
sehingga bisa memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik.
3. Bagi Penulis
Sebagai penerapan proses berfikir secara ilmiah dalam menganalisa
masalah, juga sebagai media untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang menyerang pada bagian parenkim paru.
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman batang tahan asam yang dapat
merupakan organisme patogen maupun saprofit. Terdapat banyak jenis
Mycobacterium patogen, namun hanya dua jenis saja yang patogen terhadap
manusia, yaitu strain bovin dan human (Price et al., 2006; Djojodibroto, 2009).

Menurut Depkes RI (2006) tuberkulosis adalah penyakit menular langsung


yang disebabkan kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), tuberkulosis dapat
menyerang organ paru maupun ekstra paru namun pada umumnya menyerang
paru.

2.1.2 Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sudah terjadi
sejak ribuan tahun sebelum masehi. Sejak zaman purba penyakit ini merupakan
penyakit menakutkan dengan angka kematian tinggi. Karena sangat menakutkan
TB dijuluki dengan “consumption”. Angka insidemsi TB mengalami penurunan
pada saat ditemukan kemoterapi. Namun pada tahun 1985-1992 jumlah kasus TB
mengalami peningkatan yang sangat tajam hingga 20%. Bahkan pada periode ini
grafik prevalensi TB menetap dan meningkat. Banyak faktor yang menjadi
pemicu peningatan kejadian TB ini, diantaranya faktor sosioekonomi dan masalah
kesehatan lain seperti tingginya angka infeksi HIV, AIDS, alkoholisme dan lain-
lain (Price et al., 2006; Djojodibroto, 2009; Widoyono, 2008).

Angka kesakitan TB biasanya terdapat pada kelompok masyarakat dengan


sosioekonomi rendah dan prevalensinya meningkat pada daerah perkotaan

7
daripada pedesaan. Dan angka kesakitan TB lebih banyak di negara berkembanag
dibanding dengan negara maju. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap
epidemi TB, terutama kepadatan penduduk. EpidemiTB pernah dilaporkan pada
tempat orang-orang berkumpul seperti rumah perawatan, penampungan tuna
wisma, rumah sakit, sekolah dan penjara. Riwayat penyakit menderita TB juga
menjadi pemicu tingginya prevalensi TB. Dimana anak yang pernah menderita
TB mempunyai risiko 10% menderita penyakit ini sepanjang hidupnya
(Djojodibroto, 2009; Widoyono, 2008).

Dari hasil studi SKRT (studi kesehatan rumah tangga) tahun 1986
menunjukkan penyakit TB di Indonesia menjadi penyebab kematian ke-3 dan
menduduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di masyarakat. Tahun 1992 hasil
studi SKRT penyakit TB mengalami peningkatan dan menyebabkan kematian
terbanyak yang menduduki urutan ke-2. TB kembali menduduki urutan ke-3
(9,4% dari total kematian) penyebab kematian pada tahun 2001, dari hasil studi
SURKENAS (survei kesehatan nasional). Khusus di daerah Jawa Tengah, SKRT
melaporkan angka kejadian TB pada tahun 1999 menempati urutan ke-6 dari 10
penyakit rawat jalan di rumah sakit (Djojodibroto, 2009; Widoyono, 2008).

WHO memperkirakan angka kejadian TB pada tahun 1999 sebanyak 9 juta


per tahun di seluruh dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per
tahun. Dari seluruh kematian tersebut, 25% terjadi di negara berkembang.
Menurut WHO, jumlah pasien TB di Indonesia menduduki urutan ke-5 setelah
India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Dengan jumlah pasien sekitar 5,8% dari
total jumlah pasein TB di dunia. Prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 289 per
100.000 penduduk pada tahun. Insidensi mencapai 189 per 100.000 penduduk
dengan angka kematian 27 per 100.000 penduduk (Widoyono, 2008; WHO, 2011).

Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, dan
penyakit ini mulai merambah tidak hanya menyerang golongan sosial ekonomi
rendah saja tetapi juga orang dengan status sosial tinggi. Menurut Simon (2004)
75% penderita TB di negara berkembang banyak terjadi pada kelompok

8
usiaproduktif (15-50 tahun). Widoyono (2008) menyebutkan berdasarkan profil
kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase penderita
tuberkulosis terbesar adalah usia 25-34 tahun(23,67%), 35-44 tahun (20,46%), 15-
24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun (12,32%), >65 tahun
(6,68%), dan yang terendah pada kelompok umur 0-14 tahun (1,31%). Jika dilihat
dari gambaran seluruh dunia, gambaran morbiditas dan mortalitas meningkat
sesuai dengan bertambahnya umur. Lebih lanjut Widoyono (2008), memaparkan
perbedaan jenis kelamin juga menyebabkan perbedaan angka angka kejadia TB.
Pada pasien usia lanjut, ditemukan pasien laki-laki lebih banyak daripada wanita.
Di Indonesia sendiri dari hasil laporan seluruh provinsi di Indonesia, pada tahun
2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TB BTA (+), 43.294 diantaranya
laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%).

2.1.3 Etiologi
Penyakit TB disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan anggota ordo
Actinomisetales dan genus mycobacterium. Mycobacterium merupakan kuman
berbentuk batang gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak dan tidak
membentuk spora.Dimensimycobacterium 1,4 μ × 0,2-0,5 . Mycobacterium
tumbuh paling baik pada suhu 37-41 , menghasilkan niasin dan tidak ada
pigmentasi. Bakteri ini merupakan kuman aerobik. Sifat ini menunjukkan kuman
lebih menyukai jaringan yang memiliki kandungan oksigen tinggi seperti pada
bagian apikal paru-paru. Kuman ini juga memiliki sifat tahan terhadap asam,
sehingga lebih dikenal dengan bakteri tahan asam (BTA). Sifat tahan asam ini
didapat dari kandungan lipid didalam dinding selnya. Dinding sel Mycobacterium
kaya akan lipid sehingga resisten terhadap efek bakterisid antibodi dan
komplemen. Selain lipid dinding sel bakteri juga terdiri dari peptidoglikan dan
arabinomannan (Soedarto, 2007; Sudoyo, et al., 2009).

2.1.4 Faktor Risiko


Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang
untuk menderita tuberkulosis. Diantaranya adalah tingkat pendidikan, tingkat

9
ekonomi, status gizi, kebiasaan merokok, kepadatan hunian, kelembaban rumah,
dan jenis lantai rumah. Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh pada tingkat
keberhasilan pengobatan TB. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan
semakin tinggi juga keberhasilan pengobatan yang akan dicapai. Tingkat
pendidikan berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai pengertian terhadap
penyakit dan bahayanya (Jelalu, 2008).

Tingkat kemiskinan juga menjadi salah satu faktor untuk berkembangnya


kuman TB. Hal ini disebabkan oleh faktor tidak langsung, dimana tingkat
ekonomi akan mempengaruhi tingkat kepenuhan gizi dan nutrisi serta keadaan
lingkungan sekitar rumah seperti sanitasi rumah. Makin rendah tingkat ekonomi
seseorang maka kepenuhan gizi dan nutrisi akan semakin rendah, juga
menyebabkan kurang baiknya sanitasi rumah. Yang berakibat pada mudahnya
perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis. Bahkan dari laporan WHO
(2009) 90% penderita tuberkulosis paru di dunia merupakan kelompok anggota
keluarga dengan sosial ekonomi rendah (Depkes, 2011).

MenurutAlsagaff dan Mukty (2009), kebiasaan merokok juga menjadi


salah satu faktor risiko untuk terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Lebih lanjut Wijaya (2012) menerangkan banyak zat yang terkandung dalam
rokok yang bersifat karsinogenok dan imunosupresif. Namun tar dan nikoktin
yang diketahui bersifat imunosupresif sehingga akanmempengaruhi sistem
imunrespirasi terutama bagian paru. Sehingga sistem respirasiakan sangat rentan
untuk terinfeksi penyakit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lin (2009)
di Taiwan, ternyata merokok meningkatkan risiko dua kali lipat untuk terinfeksi
TB.

10
Gambar 1. Sistem imun di Paru akibat merokok

Sumber. Wijaya, 2012

Selain merokok kepadatan hunian dan kelembaban rumah juga menjadi


faktor penting dalam infeksi TB. Pada penelitian yang dilakukan Jelalu (2008)
membuktikan bahwa, orang yang tinggal dalam rumah dengan kategori hunian
padat memiliki risiko 2,9 kali untuk terinfeksi TB. Sedangkan orang yang tinggal
dalam rumah dengan kelembaban rumah tidak memenuhi syarat, akan berisiko
terinfeksis 2,5 kali lebih sering bila dibandingkan dengan orang yang tinggal
dalam hunian dengan kelembaban yang memenuhi syarat.

2.1.5 Cara Penularan


Adanya risiko untuk terinfeksi, seperti kepadatan penduduk dan
lingkungan perkotaan akan mempermudah untuk terjadinya penularan. Ini juga
sangat berperan dalam peningkatan jumlah kasus TB. Penularan terjadi secara
langsung dari penderita TB kepada orang lain. Sangat jarang sekali terjadi
penularan melalui cairan ataupun melalui barang-barang yang terkontaminasi

11
kuman TB. Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini
ditularkan melalui udara, dengan cara inhalasi basil yang terkandung dalam
percikan dahak (droplet nuclei). Droplet nuclei dapat berasal dari seorang pasien
TB, yang berhambur ke udara saat mereka batuk, bersin, atau berbicara. Setiap
kali batuk seorang pasien akan menghasilkan 3000 droplet nuclei.
Sehinggadroplet nuclei yang infektif terutama dari seorang pasien yang
mengalami gejala batuk berdahak atau berdarah. Setelah basil TB tersembur
kemudian akan terhisap oleh orang lain (Sudoyo et al., 2009; Depkes, 2011;
Djojodibroto, 2009; Patel & Gwilt, 2008).

Menurut Depkes (2011), penularan umumnya terjadi dalam ruangan


dimana percikan dahak dapat bertahan lama di tempat tersebut. Percikan dapat
bertahan beberapa jam, umumnya 1-2 jam. Didalam ruangan yang gelap dan
lembab dapat bertahan berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan.Oleh
karenanya ventilasi yang baik dapat mengurangi jumlah percikan. Bahkan dengan
sinar matahari langsung, kuman TBakan mati. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh jumlah kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat kepositifan pada pemeriksaan dahak, makin menular. Faktor yang
memungkinkan orang untuk terpajan kuman TB tergantung jumlah percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Angka risiko penularan
infeksi TB di Indonesia 1-3%, yang berarti akan ada 1-3 orang yang terinfeksi TB
diatara 100 penduduk. Dan setengah (0,5%) dari mereka BTA-nya akan positif
(Sudoyo et al., 2009; Widoyono, 2008).

2.1.6 Patofisiologi
2.1.6.1 Infeksi Primer
Infeksi berawal dari seseorang menghirup droplet nuclei. Setelah droplet
nuclei terhirup, droplet (percikan)akan menempel pada dinding saluran
pernapasan. Droplet yang terhirup, mungkin akan menempel pada dinding saluran
pernapasan atas ataupun pada sistem pernapasan bawah tergantung dari ukuran
droplet yang terhirup. Jika ukuran droplet besar, ia akan menempel pada dinding
saluran nafas atas. Namun jika droplet berukuran kecil (<5 mikrometer) akan

12
masuk sampai ke alveolar dan menempel pada dinding alveolar. Kuman yang
terhirup biasanya dalam bentuk basil yang berbetuk unit, yang dalam satu unit
terdiri dari 1-3 basil. Jika seseorang baru pertama kalinya terinfeksi TB, maka
tubuh akan memberikan reaksi hanya berupa reaksi seperti adanya benda asing.
Hal ini disebabkan karena tubuh belum memiliki imunitas terhadap kuman
Mycobacterium tuberculosis. Pada awalnya basil tuberkulosis akan dilawan oleh
makrofag dengan cara fagositosis. Namun, pada saat ini makrofag belum
diaktifkan. Selama periode ini basil TB berkembang biak dengan bebas, baik
ekstraseluler maupun intraseluler didalam sel yang memfagositnya. Selama tiga
minggu pertama setelah infeksi, tubuh hanya merespon infeksi dengan peradangan
biasa.Pada fase ini leukosit polimorfonuklearlah yang berperan. Tetapi kemudian
tubuh juga mengupayakan pertahanan imunitas selular yang disebut dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (delayed hypersensitivity), yang melibatkan limfosit
(biasanya limfosit T) dan pengaktivan makrofag oleh limfosit dan limfokinnya.
Pembentukan imunitas selular akan lengkap dalam 10 minggu (Djojodibroto,
2009; Price & Wilson, 2005).

Djojodibroto (2009) menjelaskan setelah minggu ketiga, basil TBakan


dicerna oleh makrofag dan umumnya basil TB akan mati. Tetapi basil TB yang
virulen akan bertahan hidup. Basil yang kurang virulen juga akan tetap bertahan
jika sistem pertahan tubuh dan makrofag dalam keadaan lemah. Selama periode
ini tidak ada gejala yang muncul. Namun, jika dilakukan tes tuberkulin maka
hasilnya akan positif. Patogenesis TB tergantung dari umur penderita. Pada orang
dewasa, jika terinfeksi kuman TB, sebagian besar akan dapat mengatasinya
sehingga tidak sampai menimbulkan gejala. Namun sebagian lagi (3-4%) orang
tidak dapat mengatasinya sehingga akan muncul gejala yang berat (Sudoyo, 2009).

Jika infeksi terjadi pada bagian alveolus, biasanya mengenai alveolus


bagian bawah lobus atas atau di bagian atas lobus bawah. Seperti yang sudah
disebutkan diatas, saat awal infeksi, basil TB membelah diri dengan lambat
didalam alveolus. Tempat basil TB membelah ini kemudian menjadi lesi inisial
(intial lung lesion), tempat pembentukan granuloma yang kemudian mengalami

13
nekrosis dan perkijuan (kaseasi) di tengahnya. Agar infeksi tidak menyebar, akan
trbentuk fibrosis yang mengililingi granuloma. Stadium ini disebut infeksi primer
(primary infection). Nodus limfa yang menampung aliran limfa yang berasal dari
lesi inisial juga ikut terinfeksi sehingga juga mengalami peradangan. Lesi inisial
ketika meradanag disebut sebagai fokus inisial (fokus primer). Fokus primer
dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit dan sel datia langhans, sel limfoid dan
jaringan fibrosa. Lesi ini dinamakan lesi granulomatosa, dan pada TB disebut
dengan tuberkel. Fokus primer yang meradang bersama dengan kelenjar limfa
yang meradang disebut kompleks primer. Selanjutnya fokus primer yang
mengalami kalsifikasi bersama pembesaran nodus limfa disebut kompleks ghon
(Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005; Sudoyo et al., 2009).

Menurut Price dan Wilson (2005), selain reaksi peradangan yang sudah
disebutkan diatas, masih terdapat respon yang lain yaitu pencairan, dimana bahan
cair lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan
tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas dapat masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terjadi berulang kali di bagain lain dari paru, atau
basil dapat terbawa sampai laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil
dapat sembuh dan meningglakan jaringan parut walaupun tanpa pengobatan. Bila
peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan
parut. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat mengalir melalui saluran
penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan. Keadaan ini dapat
tidak menimbulkan gejala dalam waktu yang lama.

Ada kemungkinan pada stadium awal infeksi primer beberapa basil TB


menyebar ke tempat lain diluar lesi inisial. Penyebaran basil TB dapat melalui
kelenjar limfa atau pembuluh darah. Basil TB yang lolos dari kelenjar limfa akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal dengan
penyebaran limfohematogen. Penyebaran melalui pembuluh darah disebut dengan
penyebaran hematogen. Dengan penyebaran hematogen, basil TBakan
berkembang biak di tempat yang baru (secondary settlement). Secondary

14
settlement biasanya terbentuk dibagian apeks paru, ginjal, ujung tulang panjang,
dan otak. Setiap individu akan dapat mengatasinya walaupun banyak basil yang
tersebar, jika daya tahan tubuh prima sehingga tidak akan menderita TB.
Sebagaian kecil individu tidak dapat mengatasinya dan akan menderita TB.
Secondary settlement dapat terjadi diseluruh tubuh yang biasanya menyebabkan
TB miliar (Djojodibroto, 2009; Price & Wilson, 2005; Sudoyo et al., 2009).

2.1.6.2 Tuberkulosis Pascaprimer (Tuberkulosis Sekunder)


Setelah seorang indivdu dapat mengatasi fokus primer pada infeksi primer
dan orang tersebut tidak sakit, ternyata tidak semua basil TB tereliminasi dari
tubuh atau tidak dapat dibunuh. Basil tersebut dapat bertahan didalam tubuh
dalam waktu lama bahkan hingga puluhan tahun dalam keadaan dormant (tidur).
Menurut Kumar (2008), tuberkulosis sekunder merupakan penyakit yang terjadi
pada penjamu atau penderita yang telah tersensitisasi yaitu yang terjadi segera
setelah tuberkulosis primer, tetapi muncul karena reaktivitas lesi primer dormant
setelah infeksi awal, terutama jika daya tahan tubuh penderita melemah.
Reaktivasi biasanya terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer. Penurunan daya
tahan tubuh dapat dipicu oleh bertambanhya umur (proses menua), alkoholisme,
defisiensi nutrisi, sakit berat dan diabetes mellitus (Djojodibroto, 2009).

2.1.7 Gejala Klinis


Menurut Djojodibroto (2009) dan Sudoyo (2009), infeksi primer TB
biasanya tidak akan menimbulkan gejala yang berarti. Tetapi jika infeksi tersebut
menjadi progresif dan sakit (3-4% dari yang infeksi), akan terdapat gejala
respiratorik dan gejala umum.
2.1.7.1 Gejala Respiratorik
a. Batuk
Batuk sebagai gejala khas dari TB paru. Batuk terjadi karena adanya iritasi
bronkus. Batuk sebagai usaha untuk mengeluarkan produk-produk radang keluar.
Munculnya batuk biasanya terjadi setelah beberapa minggu atau bulan setelah
perdangan awal terjadi. Awalnya terjadi batuk kering kemudian diikuti batuk
produktif yang mengandung dahak. Apabila pembuluh darah pecah maka akan

15
terjadi batuk darah. Batuk sebagai indikator sensitif TB paru aktif. Batuk biasanya
berlangsung selama 2-3 minggu atau lebih.

b. Sesak Napas
Gejala sesak napas jarang dikeluhkan oleh penderita TB. Sesak napas
muncul bila penyakit sudah pada tahap lanjut. Gejala ini timbul apabila sudah
terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi
efusi pleura, atau ekstensi radang parenkim atau miliar. Secara umum sesak napas
ini muncul bila sudah mengenai setengan bagian paru-paru.

c. Nyeri Dada
Seperti pada sesak napas, nyeri dada juga jarang ditemukan. Nyeri dada ini
baru muncul apabila peradangan sudah melibatkan pleura sehingga terjadi
peradangan pada pleura (pleuritis). Karena adanya pleuritis ini,akan menimbukan
gesekan antara kedua pleura saat pasien inspirasi maupun ekspirasi sehingga akan
timbul nyeri.

2.1.7.2 Gejala Umum


a. Demam
Demam akan muncul pada petang dan malam hari yang biasanya disertai
dengan keringat dingin. Demam bersifat hilang timbul yang akan berlangsung
selama lebih dari 1 bulan. Suhu badan saat demam biasanya subfebril yang
meyerupai demam pada influenza. Namun demam kadang-kadang dapat mencapai
suhu badan 40-41℃. Gejala demam yang hilang timbul tersebut tergantung dari
daya tahan tubuh pasien dan dan berat ringannya infeksi.

b. Malaise
Karena sifat infeksi TB merupakan peradangan yang menahun, malaise
dapat mucul dalam waktu yang panjang pula. Gejala malaiseakan terjadi secara
hilang timbul. Pasien akan merasa mudah lelah, pegal-pegal, nafsu makan
menurun (anoreksia), berat badan menurun, sakit kepala dan khusus pada wanita
dapat timbul amenorea.

16
2.1.8 Pemeriksaan
2.1.8.1 Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi dapat terlihat pasien tampak pucat pada bagian konjungtiva
atau kulit, badan tampak kurus dan dibuktikan dengan penimbangan berat badan
akan menunjukkan penurunan berat badan. Kemudian dilakukan perkusi pada
bagian thoraks untuk mengetahui ada kelaianan pada paru atau tidak. Perkusi akan
menghasilkan pemeriksaan yang negatif jika penyakit yang dialami masih stadium
dini (asimptomatik). Hasil perkusi juga akan negatif jika sarang penyakit terletak
jauh didalam paru (>4cm). Lesi paling sering pada TB terjadi di apeks paru
sehingga pada perkusi akan terdengar redup pada bagian apkes paru. Bila lesi
sudah meluas maka redup tidak hanya pada bagian apeks, namun juga pada
bagian paru lain tempat lesi berada. Hasil perkusi akan menjadi hipersonor jika
kavitas yang ada sangat besar (Sudoyo et al., 2009; Alsagaff & Mukty, 2005).

Dengan auskultasi akan didapatkan suara bronkial jika lesi sudah meluas.
Juga terdapat suara napas tembahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring.
Namun hasil auskutasi akan berubah jika terdapat penebalan pleura dimana akan
terdengar vesikular yang melemah. Dan jika kavitas sangat besar akan terdengar
suara amforik (Sudoyo et al., 2009).

Tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas akan ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi ciut dan
menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Sebaliknya paru yang sehat menjadi
hiperinflasi. Jika fibrosis sudah mengenai separuh bagian paru akan
mengakibatakan penurunan daerah aliran darah paru dan akan mengakibatkan
peningkatan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti dengan kor
pulmonal dan gagal jantung kanan. Kor pulmonal dengan gagal jantung kanan
ditandai dengan takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial
gallop, murmur Graham-steel, bunyi P2 yang mengeras, peningkatan tekanan
vena jugularis, hepatomegali, asites, dan edema (Sudoyo et al., 2009).

17
2.1.8.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radilogis
Alsgaff dan Mukty (2009) memaparkan gambaran radiologis akan
memperkuat dugaan adanya penyakit TB paru lebih dini. Lokasi lesi TB
umumnya di daerah apeks paru, tetapi dapat juga terjadi di lobus bawah atau
bagian hilus. Saat awal penyakit, lesi masih berupa sarang-sarang pneumonia,
pada gambaran radiologis akan terlihat bercak-bercak seperti awan dengan batas
tidak jelas. Namun jika lesi sudah diliputi jaringan ikat maka akan terlihat lesi
yang dinamakan tuberkuloma yang memiliki batas tegas. Pada kavitas bayangan
berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama kelamaan dinding sklerotik
dan terlihat menebal. Jika terjadi fibrosis bayangan terlihat garis-garis. Pada
kalsifikasi bayangan tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan (Sudoyo et al.,
2009).

Akibat penyebaran hematogen, bersifat difus atau simetris kecil-kecil


(milier), pada gambaran rontgen akan terlihat bercak-bercak halus yang umunya
tersebar merata di seluruh lapang paru. Namun jika penyebaran terjadi secara
bronkogen bersifat tidak simetris dan setempat. Dengan pemeriksaan ini juga
dapat untuk melihat ada tidaknya efusi pleura dan pneumotoraks yang sering
menyertai TB paru (Ward, 2006; Alsagaaf & Mukty, 2005).

Menurut Djojodibroto (2009), konsodilasi parenkim bersifat unifokal


dengan melibatkan multilobar. Konsodilasi dapat terjadi di lobus manapun namun
pada orang dewasa lebih sering terjadi pada lobus bawah. Menurut American
Thoracic Society dalam Alsagaff dan Mukty (2009), luasnya proses peradangan
yang terlihat dari foto rontgen dapat dibagi menjadi :

1. Lesi minimal
Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga kedua dan prossesus spinosus dari

18
vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai
kavitas.

2. Lesi sedang
Dapat dikatakan lesi sedang jika luas proses lebih dari luas lesi minimal.
Tetapi maksimal proses TB tidak boleh lebih dari satu luas paru dengan
densitas sedang. Jika densitas yang ada lebih padat dan lebih tebal
(confluent), maka luas proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga luas
satu paru dengan atau tanpa kavitas. Bila proses disertai dengan kavitas
maka diameter kavitas maksimal 4 cm.

3. Lesi luas
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah hanya sebagai pemeriksaan pendukung untuk penegakkan
diagnosis TB paru karena hasil pemeriksaan darah tidak sensitif dan tidak
spesifik. Namun pemeriksaan darah dapat untuk membantu menentukan
aktivitas penyakit. Pada saat awal penyakit (aktif) lekosit dapat normal atau
sedikit meningkat dengan hitung jenis lekosist mengalami pergeseran ke kiri.
Jumlah limfosit di bawah normal.Laju enap darah (LED) dapat normal atau
meningkat. Ward et al. (2006) dan Sudoyo et al. (2009) menyatakan
pemeriksaan darah dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya anemia,
anemia yang terjadi biasanya normositik normokhromik. Juga terjadi penuruan
natrium dan peningkatan kalsium.

2. Pemeriksaan Serologis
Ada berbagai macam pemeriksaan serologis yang digunakan dalam diagnosis
TB yaitu reaksi Takahshi. Reaksi Takahashi dapat menunjukkan apakah proses
TB masih aktif atau tidak. Hasil dikatakan positif apabila titer menunjukkan
1/128. Namun pemeriksaan ini banyak menghasilkan positif palsu dan
negatifpalsu. Pemeriksaan serologis yang memiliki sensitifitas dan spseifisitas

19
tinggi (85-95%) adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB). Prinsip dari
pemeriksaan PAP-TB adalah menentukan ada tidaknya IgG yang spesifik
terhadap antigen Mycobacterium Tuberculosae. Pemeriksaan dinyatakan
patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif (Sudoyo
et al., 2009).

3. Pemeriksaan Sputum (dahak)


Pemeriksaan sputum ditetapkan sebagai pemeriksaan gold standard untuk
diagnosis TB paru. Dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan kuman BTA,
yang bisa memastikan adanya infeksi kuman TB. Selain itu menurut Depkes
(2011) dengan pemeriksaan dahak ini dapat juga digunakan untuk menilai
keberhasilan pengobatan dan potensi penularan. Sputum digunakan sebagai
spesimen dalam pemeriksaan ini. Ada beberpa cara yang digunakan untuk
mengeluarkan sputum (dahak) pada pasien. Cara ini digunakan untuk
mempermudah keluarnya sputum, karena beberapa pasien tidak mengalami
batuk atau hanya batuk kering yang tidak mengeluarkan dahak. Pengeluaran
dahak dapat dilakukan dengan cara pasien dianjurkan untuk minum 2 liter air
atau lebih sehari sebelum pemeriksaan, pasien juga diajarkan reflex batuk.
Atau pasien bisa diberikan obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila cara tersebut masih belum
berhasil dapat dilakukan dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing
atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage).

4. Tes Tuberkulin
Dasar dari pemeriksaan ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Cara yang
dilakukan adalah dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified
Protein Derivate) secara intrakutan berkekuatan 5 T.U. Dengan pemeriksaan
ini dapat diketahui apakah seserorang sedang atau pernah terinfeki kuman
tuberkulosis. Hasil positif bila didapatkan indurasi ≥10mm.

20
2.1.9 Diagnosis
Penegakkan diagnosis TB didasarkan pada anamnesis mengenai keluhan
yang dirasakan oleh pasien dan ditunjang dengan pemeriksaan lain. Dari
anamnesis pasien akan mengeluhkan gejala-gejala seperti batuk berdahak selama
2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala yang telah disebutkan
memiliki kemiripan dengan gejala pada penderita bronkitis kronis, bronkiektasis,
asma, dan lain-lain. Namun karena prevalensi TB di Indonesia tinggi, jika pasien
mengeluhkan keluhan tersebut dapat ditetapkan pasien tersebut sebagai tersangka
TB (suspek TB). Apabila pasien sudah ditetapkan sebagai tersangka TB, maka
pasien tersebut wajib untuk menjalani pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan
dahak untuk mencari BTA. Pemeriksaan dahak pada pasien suspek TB dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

 S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat pasien suspek TB datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
 P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (unit
pelayanan kesehatan).
 S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.

Pasien dengan dahak BTA positif bila pasien pada pemeriksaan dahaknya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan. Atau satu sediaan dahaknya positif disertai kelainan radiologis yang
sesuai dengan gambaran TB aktif. Atau satu sediaan positif disertai biakan yang
positif (Depkes, 2011; Sudoyo et al., 2009).

21
Gambar 2. Alur Diagnosis TB
Sumber. Depkes, 2011

Selain diagnosis pasti TB juga ditentukan aktifitas penyakit.Dengan


diketahuinya aktifitas penyakit dapat digunakan sebagai indikator untuk
kebrhasilan terapi. Menurut Alsagaff dan Mukty (2009) aktifitas penyakit TB
dibagi menjadi :

1. Aktif
a. Bila dahak mengandung basil tuberkulosis.

22
b. Bila ada kavitas (kecuali open case dengan basil tahan asam dalam dahak
negatif).
c. Gambaran radiologis berbeda pada foto tunggal maupun serial.

2. Tenang (quiescent)
a. Dahak tidak mengandung basil untuk jangka waktu paling sedikit 6
bulan.
b. Gambaran radiologis, tampak proses stabil atau hanya mengalami sedikit
perubahan.
c. Masih ada kavitas (tetapi open case dengan basil tahan asam negatif).

3. Tidak Aktif (Inactive)


a. Bakteriologis negatif pada pemeriksaan dahak setiap bulan untuk jangka
waktu paling sedikit 6 bulan.
b. Gambaan radilogis yang dibuat serial menunjukkan proses stabil atau
bertambah bersih sedikit atau bekerut.
c. Tidak tampak ada kavitas baik pada foto polos maupun pada tomogram.

2.1.10 Pengobatan
Pengobatan TB membutuhkan waktu minimal 6 bulan.Dan setiap negara
memiliki standar pengobatan TB sendiri. Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
obat anti tuberkulosis (OAT). Untuk tujuan pengobatan yang terkhir dilakukan
dengan prinsip pengobatan multidrugs regimen. Obat anti tuberkulosis dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua.

23
Tabel 1. Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat  Isoniasid (H)  Pyrazinamide(Z)
LiniPertama  Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Golongan-2 /Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
suntik/Suntikanlinikedu  Capreomycin (Cm)
a
Golongan-3  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
/Golongan  Levofloxacin (Lfx)
Floroquinolone
Golongan-4 /Obat  Ethionamide(Eto)  Para amino
bakteriostatik lini  Prothionamide(Pto) salisilat(PAS)
kedua  Cycloserine (Cs)  Terizidone (Trd)
Golongan-5 /Obat  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone(Thz)
yang  Linezolid(Lzd)  Clarithromycin(Clr)
belumterbuktiefikasi  Amoxilin-  Imipenem(Ipm).
nya dan tidak Clavulanate (Amx-
direkomendasikan Clv)
oleh WHO
Sumber. Depkes, 2011

Tabel 2. Jenis, sifat, dan dosis Obat


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3 seminggu
Isoniasid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (P) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambuthol (E) Bakteriostastik 15 (15-20) 30 (20-35)
Sumber. Depkes, 2011

Karena pengobatan untuk TB paru membutuhkan waktu yang lama, untuk


menjamin kepatuhan pasien dalam menelan obat dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat
(PMO). Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal (intensif) dan
tahap lanjutan (Depkes, 2011).

24
a. Tahap awal (intensif)

 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular akan menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

b. Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

Menurut Djojodibroto (2009), terdapat dua alternatif dalam pengobatan


TB paru, yaitu :

1. Terapi jangka panjang (terapi tanpa rifampisin)


Terapi ini menggunakan isoniasid, etambutol, streptomisisn, pirazinamid
dalam jangka waktu 24 bulan atau dua tahun.

2. Terapi jangka pendek


Kebalikan dari terapi jangka panjang, terapi jangka pendek menggunakan
regimen rifampisin. Waktu yang pengobatan hanya berlangsung 6 bulan dan
maksimal 9 bulan. Namun terapi ini memerlukan biaya yang lebih mahal
karena harga obat rifampisin tinggi. Sehingga tidak semua orang bisa
mendapatkan pengobatan ini.

Di Indonesia memiliki panduan pengobatan sendiri sebagai pedoman


pengobatan nasional Indonesia yang direkomendasikan oleh WHO :

a. Kategori-1 (2RHZE/ 4H3R3)


Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

25
 Pasien baru TB paru BTA (+)
 Pasien TB paru BTA (-) foto thorak positif
 Pasien TB ekstra paru

Pengobatan pada tahap intensif diberikan rifampisin (R), isoniasid (H),


pirazinamid (Z), dan etambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2RHZE). Kemudian dilanjutkan dengan pemberian isoniazid (H) dan
rifampisin (R) selama 4 bulan yang diminum 3 kali dalam seminggu
(4H3R3). Karena dalam konsumsi harus menelan 2 sampai 4 obat sekaligus
maka pengobatan TB disediakan dalam bentuk paket berupa obat anti
tuberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Jika pasien mengalami efek
samping, penggunaan OAT KDT digantikan dengan paket kombipak.
Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Tabel 3. Dosis OAT Kombinasi dosis tetap kategori-1


Tahap Lanjutan 3 kali
Tahap Intensif tiap hari selana
Berat Badan seminggu selama 16 mingggu
56 hari RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber. Depkes, 2011

26
Tabel 4. Dosis panduan OAT-Kombipak kategori-1

Dosis per hari/kali Jumlah


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Hari/kali
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Sumber. Depkes, 2011

b. Kategori-2 (2RHZES/RHZE/5H3R3E3)
Panduan ini digunakan untuk mengobati pasien TB BTA (+) yang telah
mendapat pengobatan sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Pengobatan dilakukan selama 6 bulan. Tahap intensif diberikan dalam waktu 3


bulan, yaitu 2 bulan pertama diberikan rifampisin (R), isoniasid (H),
pirazinamdi (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S) (2RHZES) yang ditelan
setiap hari. Satu bulan berikutnya tidak lagi digunakan streptomisin tetapi
hanya RHZE yang tetap ditelan setiap hari. Selesai menjalani pengobatan tahap
intensif dilanjutkan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan. Pada tahap lanjutan
ini pasien wajib menelan obat HRE 3 kali seminggu.

27
Tabel 5. Dosis untuk panduan OAT KDT kategori-2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari 3 kali seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari Selama 20 minggu
hari
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
30-37 kg
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
38-54 kg
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
55-70 kg
Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
≥71 kg
Streptomisin inj. Etambutol
Sumber. Depkes, 2011

Tabel 6. Dosis panduat OAT Kombipak kategori-2

Tablet Kaplet Tablet Etambutol Jumlah


Tahap Lama Strepto
Isoniaz Rifampi Pirazina Tablet Tablet hari/kali
Pengoba Pengo misin
id @ sin @ mid @ @ 250 @ 400 minum
tan batan injeksi
300 mg 450 mg 500 mg mg mg obat

Tahap 2 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
Intensif bulan
(dosis 1 1 1 3 3 - - 28
harian) bulan

Tahap 4 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan bulan
(dosis
3×semin
ggu)

Sumber. Depkes, 2011

28
2.2 Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari kata “tahu” dan ini akan terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Menurut Notoadmodjo (2002) pengetahuan yang cukup dalam dominan kognitif

melalui 6 tingkatan, yaitu

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai meningkat sesuatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, oleh karena itu “Tahu” ini adalah tingkat pengetahuan yang paling

rendah, kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

antara lain menyebutkan, menguraikan, mendifinisikan, menyatakan dan

sebagainya.

2. Memahami (Comprension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui dan dapat menginprestasikan materi tersebut dengan benar.

3.Penerapan (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk mengunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau sesuatu objek

kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi

tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain.

29
5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukan pada kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaia terhadap suatu materi atau objek.

30
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif analitik yang dilakukan dengan menggunakan kuisioner sebagai
alat untuk mengukur tingkat pengetahuan dan upaya pencegahan terhadap
penyakit tuberkulosis pada ibu-ibu posyandu dukuh Lodadi 1, desa
Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman.

3.2 Populasi Dan Sampel


3.2.1 Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh warga


masyarakat dukuh Lodadi, desa Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten
Sleman.

3.2.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang hadir

pada posyandu di dukuh Lodadai 1, desa Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.

Pengambilan sampel dilakukan secara convenience sampling, jadi sampel yang

diambil berdasarkan akses peneliti dalam melakukan sampel penelitian.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian


3.3.1 Tempat Penelitian
Lokasi penelitian akan dilakukan di posyandu dukuh Lodadi 1, desa
Umbulmartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman.

3.3.2 Waktu Penelitian


Waktu Penelitian ini dilaksanakan di pada tanggal 20 Februari 2016 sekitar pukul
09.30 sampai 12.00

31
3.4 Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini merupakan variabel tunggal yaitu tingkat pengetahuan dan
upaya pencegahan penyakit TBC

3.5 Definisi Operasional


a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengani
penyakit tuberkulosis paru meliputi pengertian, gajala, penyebab, cara
penularan, komplikasi, faktor risiko dan tindakan pencegahan.
b. Upaya pencegahan penyakit TBC
merupakan tindakan yang dilakukan responden dalam mencegah penyakit
tuberkulosis paru.

3.6 Instrumen Penelitian


Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
atau angket yang disesuakian dengan tujuan penilitian dan mengacu kepada
konsep teori yang telah dibuat. Pertanyaan terdiri dari dua bagian yaitu, bagian A
berisi tentang data demografi yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, status
pendidikan dan status pekerjaan. Bagian B berkaitan dengan tingkat pengetahuan
dalam bentuk pernyataan tertutup tentang penyakit uberkulosis dan
pencegahannya sebanyak 20 item.
Skala pengukuran pengetahuan tentang pencegahan penyakit tuberkulosis
menggunakan skala Guttman, skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan
memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari pernyataan : benar dan salah
atau ya dan tidak.
Penilaian upaya pencegahan penyakit tuberkulosis dilakukan dengan cara
membandingkan jumlah skor jawaban dengan skor yang diharapkan (tertinggi)
kemudian dikalikan 100% dan hasilnya berupa presentase. Selanjutnya presentase
jawaban diinterpresentasikan dalam kalimat kualitati dengan cara sebagai berikut :

32
Skor Penilaian Interpretasi Tingkat Upaya
Pencegahan
76-100% Baik
56-75% Cukup
0-55% Kurang

3.7 Langkah Pengumpulan Data


1. Tahapan persiapan
a. Melakukan skring awal untuk mengetahui prioritas masalah kesehatan
yang ada di puskesmas Ngemplak 1.
b. Menentukan prioritas masalah berdasarkan musyawarah dengan
Puskesmas dan dokter pembimbing.
c. Menyiapkan kuisioner

2.Tahap Pelaksanaan
a. Meminta ketersediaan responden untuk menjadi subjek penelitian
b. Melaksanakan pengumpulan identitas responden
c. Melaksanakan pengumpulan data pengetahuan tentang pengetahuan dan
upayan pencegan penyait tuberkulosis.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data


3.8.1 Tahapan Pengolahan Data
a. Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan
menggunakan kuisioner yang berisi pertanyaan tentang pengetahuan dan
upaya pencegahan penyakit tuberkulosis. Proses ini dilakukan untuk melihat
dan memastikan apakah semua data telah tersedia sehingga terhindar dari
kekurangan.
b. Pengelompokkan data
Pengelompokkan data yaitu data yang telah diperoleh dikelompokkan dan
disesuaikan dengan kategori untuk setiap variable.
c. Tabulasi data

33
Data nilai yang telah dikelompokkan kemudian dilakukan tabulasi data dalam
bentuk master table agar mudah dibaca dan dipahami.

3..8.2 Analisis Data


Dalam penelitian ini data dianalisa dengan menggunakan analisa univariat.
Analisa univariat yaitu analisa yang dilakukan dengan tujuan untuk
menggambarkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Dalam
menganalisa data dipergunakan analisa data statistik.

34
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Demografis

Puskesmas Ngemplak I terletak di wilayah Kabupaten Sleman,


termasuk dalam wilayah Pembantu Bupati Sleman Timur. Luas wilayah kerja
Puskesmas Ngemplak I  17,25 km atau 2,97 % luas Kabupaten Sleman.

1) Batas wilayah kerja :


 Sebelah Utara : Kecamatan Cangkringan.
 Sebelah Selatan : Kecamatan Kalasan.
 Sebelah Barat : Desa Widodomartani, Kec. Ngemplak.
 Sebelah Timur : Kabupaten Klaten, Jateng.
2) Wilayah kerja terdiri atas 3 desa, 38 Pedukuhan yaitu :
 Desa Bimomartani dengan 12 dusun.
 Desa Sindumartani dengan 11 dusun.
 Desa Umbulmartani dengan 15 dusun.
3) Jarak antara Puskesmas Ngemplak I dengan Pusat Pemerintahan
 Kecamatan kurang lebih : 3 km
 Kabupaten kurang lebih : 20 km
 Propinsi kurang lebih : 25 km
Transportasi termasuk mudah, karena semua jalan sudah diaspal dan
tersedia kendaraan umum.

35
Desa
Umbulmartan
i

Gambar 1. Peta wilayah Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

Jumlah penduduk sampai pertengahan tahun 2014 wilayah kerja UPT


Puskesmas Ngemplak I sebanyak 24.249 jiwa. Penduduk desa umbulmartani
terdiri dari 2295 KK dengan jumlah total jiwa sebanyak 8323 jiwa.

36
4.2 Hasil Penelitian

Tabel 1

Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Terhadap upaya Pencegahan


Penyakit Tuberkulosis

Persentase (%)
Pengetahuan Jumlah
42,86%
Baik 6
50%
Cukup 7
7,14%
Kurang 1
100.0
Total 14

Tabel diatas diperoleh hasil pengetahuan terhadap upaya pencegahan


penyakit tuberkulosis pada masyarakat. Dapat diketahui dari 14 responden yang
memiliki pengetahuan baik mengenai upaya pencegahan penyakit tuberkulosis
sebanyak 6 orang (42,86%), pengetahuan yang cukup mengenai upaya pencegaha
penyakit tuberkulosis sebanyak 7 orang (50%) dan pengetahuan yang kurang
mengani upaya pencegahn tuberkulosis sebanyak 1 orang (7,14%).

37
BAB V

PEMBAHASAN

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setalah seseorang
melakukan pengideraan terhadap suatu objek tertentu. Sebgaian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Penetahuan diperlukan
sebagai dukungan dalam menimbulkan rasa percaya diri maupun sikap dan
perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknyya tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan dalam penelitian ini adalah responden mampu
mengetahui tentang penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahan penyakit
tuberkulosis.

Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sumber informasi yang diperoleh


dari berbagai sumber maka seseorang enderung mempunyai pengetahuan yang
luas. Pengetahuan tenatng penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahannya yang
didapatkanoleh responden berasal dari berbagai sumber, seperti buku, media
massa, penyuluhan atu pendidikan dan melalui kerabat. Adanya informasi baru
mengenai suatu hal dari media massa memberikan landasan kognitif barubbagi
terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

Hasil penelitian pada 14 responden menunjukkan bahwa tingakt


pengetahuan responden tantnag penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahan
penyakit tuberkulosis yang baik sebesar 42,86%, pengetahuan yang cukup sebesar
50% dan pengetahuan yang kurang sebesar 7,14%. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar respondenmemiliki pengetahuan yang baik
terhadap penyakit tuberkulosis dan upaya pencegahannya. Pengetahuan yang baik
tersebut didapatkan melalui berbagai faktor, seperti buku, media massa,
penyuluhan dari puskesmas an dari kerabat terdekat yang memberitahukan
tentang penyakit TBC dan upaya pencegahannya.

38
Pengetahuan yang baik mengenai upaya pencegahan penyakit tuberkulosis
akan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam melakukan upaya
pencegahan penyakit tuberkulosis. Masyarakat dengan pengetahuan yang baik
diharapkan dapat melakukan upaya pencegahan penyakit tuberkulosis yang tepat.
Kesadaran akan tumbuh pada masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan
penyakit tuberkulosis jika warga mempunyai pengetahuan yang baik.

39
BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitisn dan pembahasan yang dilakukan mengenai


tingkat pengetahuan penyakit utberkulosis dan upaya pencegahan penyakit
tuberkulosis pada ibu-ibu posyandu dukuh Lodadi 1, desa Umbulmartani,
kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman, dapat disimpulkan bahwa pada ibu-ibu
posyandu dukuh Lodadi 1 Sebagain besar ibu-ibu memiliki pengetahuan yang
baik tentang upaya pencegahan penyakit tuberkulosis yaitu sebesar 42,86%.

5.2. Saran

1. Kepada pihak pelayanan kesehatan agar senantiasa meningkatkan


penyuluhan kepada masyarakat, sehingga pengetahuan mereka dapat terus
meningkat, karena dengan meningkatnya pengetahuan akan berpengaruh
kepada kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan
penyakit tuberkulosis.
2. Kepada masyarakat agar dapat menerapkan apa yang telah mereka
diketahui dan pahami tentang upaya pencegahan penyakit tuberkulosis.
3. Kepada peneliti selanjutnya dapat menggunakan jumlah sampel yang lebih
besar dan metode penelitian yang berkelanjutan.

40
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaaf, H., Mukty, A., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga
universitypress, Surabaya

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta, 1-24

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis (2𝑛d ed), Jakarta, 1-24

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Strategi Nasional Pengendalian


TB Di Indonesia 2010-2014, Kementerian Kesehatan RI Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta,
3-15

DepKes, 2011. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke 2.


Jakarta: DepKes RI.

Djojodibroto, D., 2009.Respirologi (Respiratory Medicine).EGC, Jakarta, 151-


155

Dye C, Watt CJ, Bleed DM, Hosseini SM, Raviglione MC, 2005. Evolution of
Tuberculosis Control and Prospects for Reducing Tuberculosis
Incidence, Prevalence, and Deaths Globally. JAMA, 293:2767-2775.

Jelalu, T., 2008, Faktor-Faktor Risisko Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Orang
Dewasa Di Kabupaten Kupang, Tesis, Jurusan Ilmu Kedokteran Tropis
Minat Utama Kesehatan Tropis Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah
Mada

Kumar V., et al., 2007. Robbins Basic Pathology (7th ed). Brahm U.P. 2007 (Alih
Bahasa), EGC, Jakarta, 544-551

Lin H., Ezzati M., Chang H., Murray M., 2009. Association between Tobacco

41
Smoking and Active Tuberculosis in Taiwan : Prospective Cohort
Study, Am J Respir Crit Care Med,180:475–480

Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.


2007

Pulmonologi RSUDZA Banda Aceh, J Respir Indo, 31:3:133-137

Patel, H., Gwilt, C., 2008. Respiratory System (3rd ed).Elsevier, London, 122-124

Price, S.A., Wilson, L.M., 2006. Pathophysiology : Clinical Concept Of Disease


Processes (6th ed). Brahm U.P. et al. 2006 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta,
852-860

Riset Kesehatan Dasar, 2007, Riset Kesehatan Dasar Laporan Jawa Tengah,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI, Jakarta, 165-172

Ward, J.P.T., et al., 2008. The Respiratory System at a Glance ( ed).


Huriawati H., 2008 (Alih Bahasa), Erlangga, Jakarta, 80-81

WHO 2009. WHO Report 2009: Global Tuberculosis Control Epidemiology,


Strategy, Financing. Geneva, Switzerland: WHO Press.
whqlibdoc.who.int/publications/ 2009/ 9789241563802_eng.pdf –
Diakses April 2013

World Health Organization, 2011.Global Tuberculosis Control, WHO Press,


Switzerland, 8-30

42
LAMPIRAN :

1. DOKUMENTASI PENYULUHAN
2. KUESIONER
3. LEAFLET
4. DAFTAR HADIR PESERTA

43
1. DOKUMENTASI PENYULUHAN

44
KUISIONER MINIPROJECT

TINGKAT PENGETAHUAN TUBERKULOSIS (TBC)

A. Karakteristik Responden

Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Status Pendidikan :
Status Pekerjaan :

B. Pengetahuan

Isilah pernyataan dibawah ini dengan memberi tanda chek list (√) pada kotak.
Benar atau Salah seseuia dengan jawaban anda.

Salah
No. Pernyataan Benar
TBC merupakan penyakit keturunan dari orang tua
1.
Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri TBC
2.
Penyebaran penyakit TBC dapat melalui pemakaian
3. sabun yang digunakan bersama-sama penderita penyakit
TBC
Batuk, nyeri dada, dan demam merupakan tanda dan
4.
gejala dari penyakit TBC
Angota keluarga yang tidak tinggal serumah dengan
5. penderita TBC memiliki resiko yang besar terserang
atau tertular penyakit TBC
Sering begadang dan kurang istirahat merupakan salah
6.
satu faktor penyebab terjangkit TBC
Pencegahan penularan TBC dengan menutup mulut saat
7.
bersin dan batuk
TBC bila tidak ditangani dengan baik akan
8. menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh
seperti otak, jantung, dan ginjal

45
Cahaya yang terang dan sinar matahari yang dapat
9.
masuk ke rumah dapat membunuh kuman TBC
TBC dapat disebut juga paru-paru basah
10.
Penderita TBC dapat mengalami kematian akibat kuman
11.
TBC yang ada di dalam tubuhnya
Supaya tidak tertular penyakit TBC, maka sebaiknya
12.
anak balita diberikan imunisasi BCG
Membersihkan lingkungan rumah setiap hari merupakan
13.
tindakan efektif dalam pencegahan TBC
Perumahan yang terlalu padat dan kumuh merupakan
14.
kondisi yang tidak dapat menyebabkan TBC
Lingkungan yang lembab merupakan kondisi yang dapat
15.
menyebabkan TBC
Membuka jendela pada siang hari merupakn salah satu
16.
tidakan pencegahan TBC
Upaya pencegahan yang lain yaitu dengan membuang
17.
dahak/ludah di sembarang tempat
Meminum obat secara teratur dan tekun bagi penderita
18. TBC merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah
penularan penyakit
Tidur dan istirahat yang cukup dapat mencegah
19.
tertularnya TBC
Pencegahan TBC dapat dilakukan dengan menyediakan
20. makanan dengan gizi seimbang seperti nasi, lauk, sayur,
dan buah

46

You might also like