You are on page 1of 34

Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan / Lahan

di Kalimantan Selatan

Disusun Oleh:

Said Ahmad Zulfi Fathullah (1820112310006)

Susanti Susmindari (182011232008)

Edwin Rionaldy (1820112310011)

Sri Muliani (1820112320012)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana merupakan peristiwa disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau


keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan sarana, prasarana, dan utilitas umum serta
menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat
(Sudibyakto, 2011). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana menyebutkan bahwa “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada Undang-undang Nomor 24


Tahun 2007 diharapkan peran Pemerintah ke masyarakat menjadi penanggung jawab
dalam peneyelenggaraan penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana dilakukan
secara terarah mulai pra-bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana.
Penanggulangan ini termasuk dalam salah satu bentuk Mitigasi Bencana.

Penanggulangan bencana Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 pada Bab 1


Pasal 1 tentang ketentuan umum dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Mitigasi
Bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.

Pada beberapa tahun belakangan ini bencana kebakaran hutan merupakan salah
satu peristiwa yang banyak terjadi di wilayah Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia selalu terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus, September, dan
Oktober, atau pada masa peralihan (transisi). Wilayah hutan dan lahan di Indonesia
yang berpotensi terbakar antara lain di Pulau Sumatera dan di Pulau Kalimantan
(Kumalawati, 2016).

2
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 berdasarkan data dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) per tanggal 24 November 2015 diperkirakan
mencapai 2,6 juta hektar, dimana 1,74 juta hektar (67%) kejadian kebakaran terjadi di
tanah mineral dan 0,87 juta hektar (33%) di tanah gambut. Kebakaran besar yang
pernah terjadi di pulau Kalimantan adalah pada tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1994,
1997/1998, 2006, 2013, 2014, dan terakhir pada tahun 2015 mengalami kebakaran
hutan yang paling besar. Titik Hotspot yang berpotensi menjadi kebakaran hutan bisa
dilihat pada gambar berikut.

Gambar Peta Sebaran Titik Panas (BMKG, 2015)

Gambar diatas menunjukan titik hostpot di pulau Kalimantan pada tahun 2015
banyak terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur. Jumlah
titik hotspot dengan kepercayaan 81-100% banyak berada di Provinsi Kalimantan
Selatan. Haris 2017, mengemukakan bahwa kondisi eksisting wilayah yang sebagian
besar meliputi kawasan hutan dan lahan gambut yang sangat mudah terbakar, oleh
karenanya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Selatan termasuk cukup
besar.

Dibawah ini adalah data mengenai luas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
di Provinsi Kalimantan Selatan.

3
Tabel. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) Provinsi Kalimantan
Selatan 2014-2019
NO PROVINSI 2014 2015 2016 2017 2018 2019

1 Kalimantan
341,00 196.516,77 2.331,96 8.290,34 98.637,99 -
Selatan

# Indonesia 44.411,36 2.611.411,44 438.363,19 165.483,92 510.564,21 5.775,69

Sumber data : http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran

Berdasarkan data di atas luas kebakaran hutan dan lahan ditahun 2018 adalah
98.637,99 Ha atau 19.32 % dari total seluruh provinsi yang mengalami kebakaran hutan
dan lahan, Provinsi Kalimantan Selatan di tahun 2018 mengalami area kebakaran
terbanyak jika dilihat dari data statistik, kondisi eksisting wilayah yang sebagian besar
adalah kawasan hutan dan lahan gambut yang sangat mudah terbakar, oleh karenanya
kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Selatan termasuk besar.

Penyebab kebakaran tersebut disinyalir dilakukan secara sengaja oleh oknum


perusahaan perkebunan dan masyarakat. Menurut Nursyamsi et al. (Badan Restorasi
Gambut, 2016), sampai satu dasawarsa belakangan ini lahan gambut lebih banyak
dikelola oleh perusahaan skala besar yang melakukan kegiatan perkebunan kayu dan
kelapa sawit. Oknum perusahaan perkebunan dan masyarakat membuka lahan
perkebunan, pembersihan dan penyuburan lahan dengan cara membakar.

Cara yang salah ini didukung oleh cuaca panas dan angin kencang sehingga
membuat areal terdampak kebakaran semakin meluas pada daerah yang termasuk lahan
gambut sehingga membutuhkan waktu lama untuk penanggulangannya. Menurut Agus
dan Subiksa (2008), hutan dan lahan gambut dapat terbakar karena kesengajaan atau
ketidaksengajaan dan faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut adalah
kemarau yang ekstrim misalnya pada tahun El-Nino dan/ atau penggalian drainase
lahan gambut secara berlebihan.

Akibat kebakaran ini tidak hanya mengganggu kesehatan dan keamanan


masyarakat, kebakaran juga mengganggu aktivitas masyarakat. Selain itu, kebakaran
hutan dan lahan juga mengancam keberadaan flora dan fauna.

4
Berangkat dari permasalahan diatas, penyusun tertarik untuk melakukan sebuah
kajian literatur tentang “Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Di Provinsi
Kalimantan Selatan”

B. Tujuan

Tujuan dari makalah ini, yaitu :

a. Mengetahui apa itu bencana kebakaran hutan/lahan.


b. Mengetahui penyebab terjadinya kebakaran hutan/lahan secara umum dan
khusus di Kalimantan Selatan.
c. Mengetahui apa saja bentuk mitigasi bencana kebakaran hutan/lahan secara
umum dan khusus di Kalimantan Selatan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bencana

Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang


Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana yaitu “Bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non
alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut
juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

1. Bencana Alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
Bencana Alam adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa luar biasa
yang disebabkan oleh alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor) sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa, kerusakan lingkungan, kehilangan harta benda, dan dampak
psikologis.
Mengacu pada pengertian bencana alam, secara umum bencana alam
dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, (Arisanty, 2019):
a. Bencana Alam Geologi
Definisi bencana alam geologi adalah bencana alam yang terjadi
pada permukaan bumi. Beberapa contoh bencana alam geologi misalnya
gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, peristiwa tsunami.
Bencana alam Geologis, yaitu:

6
1) Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng
bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau runtuhan batuan.
2) Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik
yang dikenal dengan istilah "erupsi". Bahaya letusan gunung api
dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar), hujan abu
lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.
3) Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang
ombak lautan ("tsu" berarti lautan, "nami" berarti gelombang
ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak laut
raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat
gempa bumi.
4) Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau
keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng.
b. Bencana Alam Meteorologis
Pengertian bencana alam meteorologis atau klimatologis adalah
bencana alam yang terjadi karena perubahan iklim yang ekstrim.
Bencana alam meteorologi bisa terjadi di wilayah mana saja yang
memiliki potensi terjadinya bencana ini.
Contoh bencana alam meteorologi yang paling sering terjadi
adalah bencana kekeringan saat musim panas, dan bencana kebanjiran
saat musim hujan. Bencana ini dapat terjadi karena adanya campur
tangan manusia yang mengakibatkan terjadinya Global Warming.
Bencana alam meteorologis, yaitu:
1) Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu
daerah atau daratan karena volume air yang meningkat.
2) Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan
debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai
pada alur sungai.

7
3) Gelombang pasang atau badai adalah gelombang tinggi yang
ditimbulkan karena efek terjadinya siklon tropis di sekitar
wilayah Indonesia dan berpotensi kuat menimbulkan bencana
alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi
keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat
terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai hujan deras.
4) Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang
laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut
juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu
oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun
manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.
5) Kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah
kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Adapun yang dimaksud kekeringan di
bidang pertanian adalah kekeringan yang terjadi di lahan
pertanian yang ada tanaman (padi, jagung, kedelai dan lain-lain)
yang sedang dibudidayakan .
6) Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat
seperti rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain
dilanda api yang menimbulkan korban dan/atau kerugian.
7) Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan
dan lahan dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan
dan lahan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai
lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali menyebabkan
bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan
masyarakat sekitar.
8) Angin puting beliung adalah angin kencang yang datang secara
tiba-tiba, mempunyai pusat, bergerak melingkar menyerupai
spiral dengan kecepatan 40-50 km/jam hingga menyentuh
permukaan bumi dan akan hilang dalam waktu singkat (3-5
menit).

8
c. Bencana Alam Ekstra-Terestrial
Definisi bencana alam ekstra-terestrial adalah bencana alam yang
terjadi karena sesuatu yang terjadi di luar angkasa. Umumnya
masyarakat masih awam tentang hal ini, namun peristiwa di luar angkasa
juga dapat berpengaruh pada umat manusia.
Contoh bencana alam ekstra-terestrial diantaranya asteroid yang
dapat menghantam bumi, badai matahari, meteor, dan lain-lain.
2. Bencana Sosial
a. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
b. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
c. Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat
berdasarkan tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun
kerusakan. Jika terjadi bencana pada tanggal yang sama dan melanda
lebih dari satu wilayah, maka dihitung sebagai satu kejadian.
d. Kecelakaan transportasi adalah kecelakaan moda transportasi yang
terjadi di darat, laut dan udara.
e. Kecelakaan industri adalah kecelakaan yang disebabkan oleh dua faktor,
yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang
berbahaya (unsafe conditions). Adapun jenis kecelakaan yang terjadi
sangat bergantung pada macam industrinya, misalnya bahan dan
peralatan kerja yang dipergunakan, proses kerja, kondisi tempat kerja,
bahkan pekerja yang terlibat di dalamnya.
f. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
g. Konflik Sosial atau kerusuhan sosial atau huru hara adalah suatu gerakan
massal yang bersifat merusak tatanan dan tata tertib sosial yang ada,

9
yang dipicu oleh kecemburuan sosial, budaya dan ekonomi yang
biasanya dikemas sebagai pertentangan antar suku, agama, ras (SARA).
h. Aksi Teror adalah aksi yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas
kemerdekaan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda,
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik internasional.
i. Sabotase adalah tindakan yang dilakukan untuk melemahkan musuh
melalui subversi, penghambatan, pengacauan dan/ atau penghancuran.
Dalam perang, istilah ini digunakan untuk mendiskripsikan aktivitas
individu atau grup yang tidak berhubungan dengan militer, tetapi dengan
spionase. Sabotase dapat dilakukan terhadap beberapa struktur penting,
seperti infrastruktur, struktur ekonomi, dan lain-lain.

B. Mitigasi Bencana

Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 pada Bab 1 Pasal 1 tentang ketentuan


umum dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Mitigasi Bencana adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan


pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi
korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.

Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang kita harus
lakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap daerah tersebut. Dalam
menghitung resiko bencana sebuah daerah kita harus mengetahui Bahaya (hazard),
Kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah yang berdasarkan
pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya.

1. Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk


menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau kehilangan
harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun tidak. Bahaya

10
dianggap sebuah bencana (disaster) apabila telah menimbulkan korban dan
kerugian.
2. Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah
bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat
menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat
berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan
masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-
tanggap terhadap dampak bahaya.
Jenis-jenis kerentanan :
a. Kerentanan Fisik : Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang
lemah.
b. Kerentanan Sosial : Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat
pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
c. Kerentanan Mental : ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya
percaya diri, dan lainnya.

3. Kapasitas (capacity) adalah kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap


situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia (fisik, manusia, keuangan dan
lainnya). Kapasitas ini bisa merupakan kearifan lokal masyarakat yang
diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

C. Kebakaran Hutan/Lahan

Definisi Kebakaran Hutan menurut SK. Menhut. No. 195/Kpts-II/1996 yaitu


suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan
hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya.

Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dari semakin tingginya tingkat
tekanan terhadap sumber daya hutan. Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan
atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti
terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air. Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun frekwensi, intensitas, dan luas arealnya
berbeda (Kumalawati, 2016).

1. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan


Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan antara lain (Rasyid F, 2014):

11
a. Penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan
Masyarakat di sekitar kawasan hutan seringkali menggunakan api
untukcpersiapan lahan, baik untuk membuat lahan pertanian maupun
perkebunan seperti kopi dan coklat. Perbedaan biaya produksi yang
tinggi menjadi satu faktor pendorong penggunaan api dalam kegiatan
persiapan lahan. Metode penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan
dilakukan karena murah dari segi biaya dan efektif dari segi waktu dan
hasil yang dicapai cukup memuaskan.
b. Adanya kekecewaan terhadap sistem pengelolaan hutan
Berbagai konflik sosial sering kali muncul di tengah-tengah
masyarakat sekitar kawasan hutan. Konflik yang dialami terutama
masalah konflik atas sistem pengelolaan hutan yang tidak memberikan
manfaat ekonomi pada masyarakat. Adanya rasa tidak puas sebagian
masyarakat atas pengelolaan hutan bisa memicu masyarakat untuk
bertindak anarkis tanpa memperhitungkan kaidah konservasi maupun
hukum yang ada. Terbatasnya pendidikan masyarakat dan minimnya
pengetahuan masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan sangat
berpengaruh terhadap tindakan mereka dalam mengelola hutan yang
cenderung desdruktif.
c. Pembalakan liar atau illegal logging.
Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging lebih banyak
menghasilkan lahan-lahan kritis dengan tingkat kerawanan kebakaran
yang tinggi. Seringkali, api yang tidak terkendali secara mudah
merambat ke areal hutan-hutan kritis tersebut. Kegiatan pembalakan liar
atau illegal logging seringkali meninggalkan bahan bakar (daun, cabang,
dan ranting) yang semakin lama semakin bertambah dan menumpuk
dalam kawasan hutan yang dalam musim kemarau akan mengering dan
sangat bepotensi sebagai penyebab kebakaran hutan.
d. Kebutuhan akan Hijauan Makanan Ternak (HMT)
Kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan tidak lepas dari
ternak dan penggembalaan. Ternak (terutama sapi) menjadi salah satu
bentuk usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

12
Kebutuhan akan HMT dan areal penggembalaan merupakan salah satu
hal yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan rumput dengan kualitas
yang bagus dan mempunyai tingkat palatabilitas yang tinggi biasanya
masyarakat membakar kawasan padang rumput yang sudah tidak
produktif. Setelah areal padang rumput terbakar akan tumbuh rumput
baru yang kualitasnya lebih bagus dan kandungan gizinya tinggi.
e. Perambahan hutan
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya sebagai agen penyebab
kebakaran hutan adalah migrasi penduduk dalam kawasan hutan
(perambah hutan). Disadari atau tidak bahwa semakin lama, kebutuhan
hidup masyarakat akan semakin meningkat seiring semakin
bertambahnya jumlah keluarga dan semakin kompleknya kebutuhan
hidup. Hal tersebut menuntut penduduk untuk menambah luasan lahan
garapan mereka agar hasil pertanian mereka dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya.
f. Sebab lain
Sebab lain yang bisa menjadi pemicu terjadinya kebakaran adalah
faktor kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya api. Biasanya
bentuk kegiatan yang menjadi penyebab adalah ketidaksengajaan dari
pelaku. Misalnya masyarakat mempunyai interaksi yang tinggi dengan
hutan. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah kebiasaan penduduk
mengambil rotan yang biasanya sambil bekerja mereka menyalakan
rokok. Dengan tidak sadar mereka membuang puntung rokok dalam
kawasan hutan yang mempunyai potensi bahan bakar melimpah sehingga
memungkinkan terjadi kebakaran.
2. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan/lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh
manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%)
adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Penyebab kebakaran oleh
manusia dapat dirinci sebagai berikut :

13
a. Konversi lahan : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari
kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri,
pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain lain;
b. Pembakaran vegetasi : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal
dari pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali
sehingga terjadi api lompat, misalnya : pembukaan areal HTI dan
Perkebunan, penyiapan lahan oleh masyarakat;
c. Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam : kebakaran yang
disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas selama pemanfaatan
sumber daya alam. Pembakaran semak belukar yang menghalangi akses
mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam dan pembuatan api untuk
memasak oleh para penebang liar, pencari ikan di dalam hutan.
Keteledoran mereka dalam memadamkan api akan menimbulkan
kebakaran;
d. Pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut: saluran-saluran
ini umumnya digunakan untuk sarana transportasi kayu hasil tebangan
maupun irigasi. Saluran yang tidak dilengkapi pintu kontrol air yang
memadai menyebabkan lari/lepasnya air dari lapisan gambut sehingga
gambut menjadi kering dan mudah terbakar;
e. Penguasaan lahan, api sering digunakan masyarakat lokal untuk
memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan atau bahkan menjarah
lahan “tidak bertuan” yang terletak di dekatnya.

Saharjo (2000) menyatakan bahwa hutan alam dan perladangan berpindah dapat
dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah
manusia, sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat
penyiapan lahan. Tipe kebakaran bawah di daerah gambut dapat dilihat pada Gambar
berikut.

14
Gambar Tipe Kebakaran Bawah di Lahan Gambut

Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan


mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar
di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang
luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan
api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati.
(Saharjo, 2000).

3. Faktor kerentanan terhadap kebakartan hutan dan lahan berdasarkan teori yang
didapat yakni oleh ulah manusia dan faktor alami. (Latifah, 2013)
a. Faktor Alami
1) Iklim, kondisi iklim yang ekstrim seperti musim kemarau yang
panjang menyebabkan kerentanan terhadap bencana kebakaran
semakin meningka.
2) Vegetasi Gambut, faktor pemicu yang menjadi penyebab semakin
hebatnya kebakaran hutan dan lahan ialah lahan gambut yang
menyimpan panas.
3) Vegetasi Kayu, Vegetasi kayu menjadi pemicu meningkatnya
kerentanan kebakaran hutan dan lahan. Vegetasi kayu yang
mudah terbakar dapat menjadi pemicu terjadinya bencana
kebakaran hutan dan lahan.
4) Ketersediaan Pasokan Air, pembuatan kanal-kanal dan parit di
lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan dimusim kemarau dan mudah
terbakar.
5) Hasil Hutan, kurangnya insentif dan disinsentif terhadap
perusahaan perhutani menyebabkan kurang diperhatikannya

15
managemen kebakaran oleh dapat menjadi kerentanan bencana
kebakaran hutan dan lahan.
6) Hasil Pertanian, pembakaran hutan dan lahan secara sengaja
untum pertanian juga merupakan penyebab kebakaran yang
utama.
b. Faktor Manusia
1) Kegiatan penduduk, kegiatan-kegiatan penyiapan lahan untuk
berbagai macam bentuk usaha pertanian dan kehutanan dapat
menimbulkan bencana kebakaran. Kegiatan penduduk seperti
halnya membakar lahan, membuang punting rokok atau
membakar api unggun ketika berkemah sering kali menjadi
penyebab bencana kebakaran.
2) Mata Pencaharian, masyarakat yang menggantungkan mata
pencaharian dari hasil hutan sering kali lalai membakar vegetasi.
3) Jaringan Jalan, dengan jaringan jalan yang cukup memadai akan
memudahkan mobilisasi peralatan dan juga tenaga untuk
penanggulangan kebakaran yang terjadi, kondisi jaringan jalan
yang kurang memadai untuk menuju akses titik-titik rawan
terjadinya bencana kebakaran sering kali menghambat proses
pemadaman api secara cepat.
4) Pengadaan Prasarana Pemadam Kebakaran, pendayagunaan
sarana dan prasarana yang telah ada diperlukan inventarisasi
terhadap peralatan yang diperlukan berdasarkan skala
prioritas. Minimnya penyediaan prasarana pemadam
masyarakat menginisiasi dengan dana swadaya untuk
membeli peralatan pemadaman kebakaran.
5) Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh terhadap
pembukaan hutan dan lahan dimana api digunakan sebagai
teknik dalam persiapan lahan

16
BAB III

METODE

Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa latin yang terdiri dari kata meta dan

hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara,

arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk

memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat

berikutnya.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan

masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, serta

menganalisisnya.

Adapun data yang diperoleh bersumber dari buku, jurnal, majalah, artikel, laporan

penelitian, peraturan perundang-undangan, data online : BPS dan BMKG. Teknik yang

dilakukan untuk mengumpulkan data yaitu Studi Pustaka/Dokumen.

Penelitian Kepistakaan (Library research) ialah penelitian yang menggunakan cara

untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpus, seperti

buku, majalah, dokumen serta catatan sejarah. Studi kepustakaan merupakan suatu teknik

pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen

tertulis, gambar maupun elektronik: internet. Studi dokumen/pustaka yang di pakai dalam

makalah ini berupa dokumen tertulis dan elektronik seperti alur gambar berikut.

17
Studi Pustaka

Dokumen Tertulis Media Elektronik

Buku : Mitigasi
Jurnal, Artikel,
Bencana &
PPT Mata Kuliah Majalah, BPS, BMKG,
Penginderaan
Laporan BNPB,
Jauh Mitigasi Bencana
Penelitian Sipongi(Online)
(Online)

Data

Mitigasi Bencana

Pada tahap ini penulis mengumpulkan dan mempelajari buku-buku literatur yang

berhubungan dengan masalah. Melakukan pencarian data melalui media internet,

mengumpulkan teori-teori yang menunjang penelitian. Kemudian penulis menyusun dan

mengolah data diklasifikasikan dan dikaitkan dengan bentuk Mitigasi Bencana di daerah

kebakaran Hutan/lahan.

18
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi wilayah

Provinsi ini merupakan provinsi terkecil di pulau Kalimantan dengan


luaswilayah sekitar 36.985 km persegi dan kepadatan penduduk mencapai 88 jiwa per
km persegi. Provinsi ini dibagi menjadi 11 kabupaten dan 2 kota.

Dengan wilayah yang relatif kecil, terdapat banyak sungai yang mengaliri
wilayah ini, antara lain: Sungai Barito, Sungai Martapura, Sungai Riam, dan 8 sungai
lainnya sehingga aktifitas penduduk banyak yang memanfaatkan transportasi sungai.
Dari 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan, 3 diantaranya berada dalam
kelas risiko tinggi.

B. Hasil

Faktor-faktor yang mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah hostpot pada


setiap penggunaan lahan disetiap kecamatan antara lain pengaruh fenomena El Nino
dimana musim kering berkepanjangan melanda Indonesia. Akibatnya hutan yang
dieksploitasi dan tajuknya lebih terbuka karena terganggu mengalami kekeringan dan
mudah terbakar.

Hasil pengolahan data hotspot dari BMKG dari bulan Juni sampai
November dikombinasikan dengan penggunaan lahan menunjukkan bahwa hotspot
pada setiap penggunaan lahan di setiap kecamatan lebih banyak ditemukan di kawasan
non hutan/Areal penggunaan lain (APL) yang memang tidak berhutan yang didominasi
oleh tegalan, semak belukar, sawah dan areal relatif terbuka sehingga memungkinkan
untuk open akses (hampir 70 %), hanya 20% yang dijumpai di kawasan hutan.

Proses pembakaran (combustion) merupakan kebalikan dari reaksi


fotosintesis, dimana kebakaran hanya akan terjadi apabila unsur bahan bakar, oksigen
dan panas sebagai unsur-unsur segitiga api bersatu. Berdasarkan tipe bahan bakar dan
sifat pembakarannya, kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut dapat
dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:

19
1. Kebakaran bawah (ground fire) merupakan tipe kebakaran dimana api
membakar bahan organik di bawah permukaan;

2. Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu tipe kebakaran dimana api membakar
bahan bakar permukaan yang berupa serasah, semak belukar, anakan, pancang, dan
limbah pembalakan;

3. Kebakaran Tajuk (crown fire) merupakan tipe kebakaran yang membakar tajuk pohon
(bagian atas pohon).

Kebakaran di lahan gambut biasanya diawali dengan penyulutan api di atas


permukaan tanah. Api akan bergerak ke segala arah, bawah permukaan, atas
permukaan, kiri, kanan, depan dan belakang. Penjalaran api ke bawah permukaan yang
membakar lapisan gambut dipengaruhi oleh kadar air lapisan gambut dan tidak
dipengaruhi angin sebagai kebakaran bawah (ground fire). Api akan bergerak ke
atas permukaan dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin sebagai kebakaran
permukaan (surface fire) dan bila mencapai tajuk pohon akan menjadi kebakaran tajuk
(crown fire). Bagian pohon/ranting/semak yang terbakar dapat diterbangkan angin dan
jatuh ke tempat baru sehingga menyebabkan kebakaran baru sebagai api loncat (spot
fire/spotting). Sehingga kebakaran di lahan gambut (peatland fire) dapat terdiri dari

20
kebakaran bawah, kebakaran permukaan dan kebakaran tajuk Sedangkan kebakaran
gambut (peat fire) merupakan tipe kebakaran bawah yang membakar lapisan gambut.

Penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan


hotspot dibagi menjadi 2 bagian yaitu alami dan buatan (manusia). Penyebab alami
dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari penyimpangan iklim seperti El Nino maupun
osilasi atmosfer di atas Samudera Hindia yang menyebabkan kondisi cuaca yang
ekstrem di beberapa wilayah di Indonesia termasuk di Kalimantan Selatan. Iklim yang
ekstrem disini seperti terjadinya musim kemarau dalam waktu yang sangat panjang
sehingga cuaca menjadi sangat panas. Penyebab buatan kebanyakan dilakukan oleh
masyarakat dan pengelola HTI untuk pembukaan lahan. Selain itu juga karena adanya
illegal logging, degredasi lahan, pembukaan lahan untuk pemukiman dan pertanian serta
perkebunan oleh masyarakat setempat dengan jalan membakar hutan.

Tabel Penyebab Hotspot pada Setiap Penggunaan Lahan.

Penyebab hotspot pada setiap penggunaan lahan adalah faktor alam (50 %) dan
faktor manusia (50 %). Faktor alam dan faktor manusia mempunyai sumbangan yang
sama dalam munculnya hotspot di daerah penelitian. Selain itu, bencana kebakaran
hutan dan lahan memiliki metode khusus dalam penanganannya, terutama dalam proses
pencegahan. Oleh karena itu, metode yang digunakan tidak hanya memperhatikan aspek
pengurangan resiko bencana namun juga bersanding dengan aspek pemberdayaan
masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk menerapkan pencegahan
bencana yang berkelanjutan. Maka masyarakat menjadi komponen utama dalam proses
pencegahan ini. Mitigasi sebagai salah satu komponen pada sistem pencegahan
mengedepankan peran masyarakat. Mengutip istilah Carter (2008), masyarakat sebagai
“disaster front” dalam penanggulangan bencana karena masyarakat yang paling
mengetahui karakter tempat tinggal dan keadaan sosial yang ada. Upaya untuk
meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat untuk mencegah kebakaran hutan dan
lahan gambut merupakan salah satu bentuk dari mitigasi nonfisik. Pada upaya restorasi,
kegiatan pemetaan hutan dan lahan gambut, menentukan jenis, pelaku, dan rentang

21
waktu pelaksanaan restorasi serta pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat
diasumsikan sebagai upaya mitigasi nonfisik.

Berikut hasil tabel kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2018 di Kalimantan
Selatan.

Tabel Kebakaran Hutan/Lahan di Kalimantan Selatan tahun 2018

NO Kabupaten/Kota Luas
1 Banjarmasin 0,58 Ha
2 Banjarbaru 610,973 Ha
3 Banjar 812,9 Ha
4 Barito Kuala 193,8 Ha
5 Tapin 710,65 Ha
6 Hulu Sungai Selatan 215,975 Ha
7 Hulu Sungai Tengah 107,3 Ha
8 Hulu Sungai Utara 101 Ha
9 Balangan 302,3 Ha
10 Tabalong 57,92 Ha
11 Tanah Laut 334,62 Ha
12 Tanah Bumbu 72 Ha
13 Kotabaru 66,4 Ha
TOTAL 3.587, 418 Ha
Sumber, BPBD Prov. Kalimantan Selatan 2018

Wilayah paling besar terkena kebakaran hutan yaitu di kabupaten Banjar seluas
812,9 ha disusul Tapin seluas 710, 65 ha dan Banjarbaru seluas 610,973 ha. Tetapi
dampak yang paling dirasakan berada pada kab. Banjar dan Banjarbaru dikarenakan
sangat mempengaruhi Transportasi Udara di Prov. Kalimantan Selatan yang berdekatan
antara lokasi kebakaran dengan Bandara Syamsuddin Noor.

C. Pembahasan

1. Bencana Kebakaran Hutan/Lahan


Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dari semakin tingginya
tingkat tekanan terhadap sumber daya hutan. Dampak yang berkaitan dengan
kebakaran hutan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran
lingkungan hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun
frekwensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda (Kumalawati, 2016).
Menurut Puturuhu (2015) dalam bukunya Mitigasi Bencana &
Penginderaan Jauh menyatakan di Indonesia peristiwa kebakaran hutan pada

22
awalnya disebabkan adanya aktivitas penduduk yang melakukan pembersihan
ladang atau alang-alang untuk lahan pertanian dengan cara pembakaran.
Penduduk melakukan hal cara tersebut karena dipandang paling efisien. Namun
kondisi iklim yang kering serta tiupan angin kencang, pembakaran ladang
tersebut menjadi tidak terkendali. Api menjalar ke kawasan disertai kepulan
asap. Dan apabila hal tersebut terjadi sulit dikendalikan. Bahkan kebakaran
hutan di Pulau Kalimantan sulit diatasi karena lapisan gambut dan batubara
didalam tanah ikut terbakar.
Titik panas (Hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki
suhu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ambang yang ditentukan data digital
satelit. Titik panas (hotspot) yang dapat ditangkap sinyal akan
diproyeksikan menjadi suatu pixel pada suatu peta yang juga menunjukkan
koordinat geografisnya. Keberadaan suatu titik panas berarti telah terjadi suatu
kebakaran hutan di suatu lokasi. Namun berdasarkan verifikasi di lapangan,
kebanyakan dari titik panas yang dideteksi merupakan kebakaran. Sebagai suatu
indikasi awal, maka titik panas yang dideteksi perlu dilakukan pengecekan ke
lapangan (ground check) sehingga jika terjadi kebakaran dapat secara dini
diupayakan pemadamannya hingga tidak meluas.
Jumlah hotspot yang semakin banyak pada setiap penggunaan lahan
di pengaruhi oleh beberapa hal antara lain karena adanya pengaruh fenomena El
Nino dimana musim kering berkepanjangan melanda Indonesia. Akibatnya
hutan yang telah dieksploitasi dan tajuknya relatif lebih terbuka karena
terganggu mengalami kekeringan dan mudah terbakar, ditambah lagi adanya
kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran yang dilakukan oleh peladang
berpindah yang kemudian menjadi salah satu pemicunya. Sejak saat itu,
kebakaran terus berlanjut sampai terjadi kebakaran hutan dan lahan yang
lebih luas, seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan yang termasuk daerah
Gambut. Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut adalah kabut asap
yang tidak hanya menyelimuti Provinsi Kalimantan Selatan saja tetapi juga
menyelimuti kawasan regional ASEAN bahkan dunia sehingga kabut asap sudah
menjadi masalah dunia.

23
2. Penyebab terjadinya kebakaran hutan/lahan.
Kebakaran hutan sudah menjadi salah satu ancaman berbahaya bagi
masyarakat luas. Bencana alam sejenis ini relatif terprediksi karena hanya terjadi
pada saat musim kemarau, namun tidak diketahui secara pasti kapan akan
terjadi.
a. Penyebab terjadinya kebakaran hutan/lahan secara umum, yaitu:
1) Penyebab kebakaran yang terjadi karena faktor alam, terjadi
karena musim kemarau yang sangat panas sehingga membuat
hutan menjadi kering dan mudah terbakar karena gesekan kayu
secara alamiah walaupun secara umum jarang terjadi. Hampir
mayoritas kasus kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor
manusia, baik karena disengaja maupun tidak sengaja.
2) Kebakaran hutan yang disengaja, biasanya dilakukan untuk
membuka lahan pertanian yang biasanya terjadi dalam kawasan
yang luas dan cenderung sulit dikendalikan. Secara ekonomi bagi
pelaku, pembukaan lahan dengan cara membakar hutan adalah
cara yang hemat karena membutuhkan biaya dan tenaga yang
sedikit. Namun ditinjau dari sisi lainnya, sangat merugikan bagi
masyarakat luas baik dari sisi ekonomi, penerbangan terganggu,
merugikan kesehatan, dan sangat merugikan dibidang ekologi.
b. Penyebab terjadinya kebakaran hutan/lahan di Kalimantasn Selatan,
yaitu:
1) Faktor Manusia
Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Selatan sebagian besar dipengaruhi oleh :
a) Kebiasaan dan perilaku,
b) Pembukaan lahan untuk pertanian,
c) Pembukaan Lahan untuk HTI,
d) Ketidaksengajaan/kegiatan lain yang menimbulkan api
(membakar sampah),
e) Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya
kebakaran hutan dan lahan masih rendah,

24
f) Kemampuan aparatur pemerintah untuk koordinasi masih
rendah,
g) Kemampuan aparatur pemerintah dalam memberikan
penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
supaya tidak membakar hutan dan lahan masih rendah,
h) Belum efektifnya penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan disebabkan oleh faktor rendahnya kesadaran
masyarakat,
i) Belum efektifnya penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan disebabkan oleh faktor terbatasnya
kemampuan aparat,
j) Belum efektifnya penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan disebabkan oleh faktor minimnya fasilitas
untuk penanggulangan kebakaran.
2) Faktor Alam
Penyebab kebakaran hutan dan lahan akibat faktor
alam sebagian besar karena musim kemarau, lahan gambut, suhu
musim kemarau sangat panas, kebakaran dibawah tanah di lahan
gambut menyulut kebakaran di bagian atas, daerah alang-alang
dan daerah semak belukar. Musim kemarau panjang yang
terjadi tersebut karena efek dari penyimpangan iklim seperti
El Nino maupun osilasi atmosfer di atas Samudera Hindia
yang menyebabkan kondisi cuaca yang ekstrem di beberapa
wilayah di Indonesia termasuk di Kalimantan Selatan.
3. Bentuk Mitigasi Bencana
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 pada Bab 1 Pasal 1 tentang
ketentuan umum dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Mitigasi Bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.

25
Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai
tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk
megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang kita
harus lakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap daerah tersebut.
Dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah kita harus mengetahui Bahaya
(hazard), Kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah
yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya (Arisanty,
2019).
Menurut Puturuhu (2015) dalam bukunya Mitigasi Bencana &
Penginderaan Jauh menyatakan Penanggulangan bencana dilakukan secara
terarah mulai prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Tahap awal
dalam upaya ini adalah mengenali/mengidentifikasi terhadap sumber bahaya
atau ancaman bencana.Manajemen bencana terdiri dari dua fase yang terjadi
sebelum bencana yaitu: pencegahan bencana dan kesiapsiagaan bencana, dan
tiga fase yang terjadi setelah bencana yaitu bantuan bencana, rehabilitasi dan
rekonstruksi. Secara jelas tahapan ini digambarkan dalam Siklus Manajemen
Bencana.

Preparednes

Mitigation Disaster event

Reconstruction Relief

Rehabilitation

Gambar Siklus Manajemen Bencana (Puturuhu, 2015)

26
a. Mitigasi Bencana/Penanganan Kebakaran Hutan/Lahan secara umum.
Prosedur dalam penanganan kebakaran hutan/lahan adalah sebagai
berikut:
1) Pra Kebakaran Hutan :
a) Preventif: pelarangan pembukaan lahan melalui
pembakaran hutan.
b) Mitigasi: riset untuk menemukan metode pembukaan
lahan yang paling efektif selain pembakaran hutan.
c) Kesiapsiagaan: patroli hutan terutama pada musim
kemarau, di kawasan yang sudah keluar ijin peruntukan
lahannya dan di hutan lindung, sosialisasi metode
pembukaan lahan yang berdampak minimal.
2) Saat Kebakaran Hutan : menggunakan prosedur tanggap darurat
dan penyelamatan yang telah ditetapkan oleh Departemen
Kehutanan. Tidak dilakukan melalui pendekatan penataan ruang.
3) Paska Kebakaran Hutan:
a) Rehabilitasi: reinventarisasi kerugian.
b) Rekonstruksi: reboisasi hutan lindung.

b. Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan/Lahan di Kalimantan Selatan


Prosedur dalam penanganan kebakaran hutan/lahan melalui studi pustaka
diberbagai sumber sebagai berikut:
1) Pra kebakaran hutan:
 Melakukan survey/pemantauan lapangan
 Melakukan rapat koordinasi antara BPBD dengan instansi
terkait.
 Melakukan Apel Siaga Pengendalian Kebakaran Hutan
dan Lahan
 Didirikannya Posko Siaga Darurat di titik rawan bencana
Kebakaran Hutan lahan dan Kabut Asap
 Melakukan patroli di lapangan,

27
 Melakukan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat
tentang Bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan
lahan
 Melakukan koordinasi antar instansi dan kerjasama terkait
dalam hal penanganan bencana kebakaran hutan dan
lahan, seperti : Direktorat Penanggulangan Kebakaran
Hutan Kehutanan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) dan JICA (Japan International Co-operation
Agency) dalam program FFPMP (Forest Fire Project
Management Prevention).
2) Saat Kebakaran Hutan:
 Peringatan dini, seperti: deteksi, pelaporan, persiapan,
pemadaman dan mobilisasi.
 Pemanfaatan Data satelit pendeteksi titik panas (hotspot)
 Pembuatan Sekat Bakar
 Penyemprotan, bisa dilakukan masyarakat dengan alat
sederhana, petugas pemadam kebakaran serta helikopter
pembawa/pembom air.
 Hujan Buatan

3) Paska Kebakaran Hutan:


 Penerapan standar pengelolaan partisipasi masyarakat.
 Penerapan strategi pengelolaan profesional baik selama
dan setelah kegiatan rehabilitasi lahan.
 Strategi progresif untuk memperbaiki produktifitas lahan,
keuntungan sosial dan ekonomi, memberikan prioritas
kepada kebutuhan masyarakat lokal serta
mengembangkan ekonomi. Contoh: parit-parit yang
dibendung/disekat dan kolam, selain berfungsi sebagai
sekat bakar juga sebagai kolam ikan. Kondisi demikian
telah diterapkan oleh masyarakat dusun Muara Puning di
Kabupaten Barito Selatan melalui fasilitasi Proyek CCFPI

28
yang diselenggarakan oleh Wetlands International -
Indonesia Programme bekerjasama dengan pihak Yayasan
Komunitas Sungai/ Yakomsu.
 Menginventarisasi kerugian dan menganalisa progam
pemulihan akibat dampak kebakaran hutan/lahan
 Reboisasi kawasan.

Menurut Jenis pembagian Mitigasi Struktural dan Mitigasi Non


strukturalnya, sebagai berikut:

1) Mitigasi Struktural
 Restorasi lahan gambut
 Pembuatan sumur bor
 Peringatan dini, seperti: deteksi, pelaporan, persiapan,
pemadaman dan mobilisasi.
 Pemanfaatan Data satelit pendeteksi titik panas (hotspot)
 Pembuatan Sekat Bakar dan Kanal
 Penyemprotan, bisa dilakukan masyarakat dengan alat
sederhana, petugas pemadam kebakaran serta helikopter
pembawa/pembom air.
 Hujan Buatan
2) Mitigasi Non Struktural
 Upaya Peningkatan Kesadaran Masyarakat
 Pembuatan rambu-rambu himbauan dan peringatan
bahaya kebakaran
 Pembuatan berbagai jenis media cetak tentang kebakaran
hutan dan lahan
 Pembentukan tim pengendalian kebakaran hutan dan
lahan bagi masyarakat.
 Penegakan hukum bagi pelaku penyebab kebakaran hutan
dan lahan
 Membentuk forum masyarakat sadar kebakaran hutan dan
lahan

29
 Upaya pemerintah pada Badan Restorasi Gambut

c. Mitigasi Khusus Pada Badan Restorasi Gambut

BRG merupakan lembaga non-struktural di bawah Presiden.


Tugasnya mempercepat pemulihan fungsi hidrologis gambut. Ada dua
juta hektare lahan restorasi di tujuh provinsi prioritas hingga 2020.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seperti yang terjadi pada


2015 lalu di lahan gambut diharapkan mampu mengurangi dampak yang
besar dengan adanya upaya kebijakan dan adanya perubahan peraturan
dari pemerintah. Eksosistem gambut kedepan tidak boleh lagi digunakan
untuk penggunaan lahan yang mengganggu fungsi hidrologis kesatuan
hidrologi gambut (KHG).

Badan Restorasi Gambut (BRG) merilis rencana indikatif


restorasi gambut di Kalimantan Selatan pada 2018. Rencana indikatif
restorasi gambut terdiri dari pembuatan sumur bor, sekat kanal,
revegetasi, dan kegiatan revitalisasi. BRG terus mendukung aksi cepat
cegah kebakaran lahan gambut di Kalsel. BRG akan Membangun 354
sumur bor, 93 sekat kanal primer, dan 109 sekat kanal sekunder.

Ratusan sumur bor ini tersebar pada kesatuan hidrologis gambut


(KHG) Sungai Barito – Sungai Tapin, KHG Sungai Utar – Sungai
Serapat, dan KHG Sungai Balangan – Sungai Batangalai. Adapun
pembuatan sekat kanal primer dan sekunder di wilayah KHG Sungai
Barito – Sungai Tapin, KHG Sungai Utar – Sungai Serapat, KHG Sungai
Balangan – Sungai Batangalai, dan KHG Sungai Barito – Sungai Alalak.

Badan Restorasi Gambut (BRG) bersama Kementerian Pekerjaan


Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan membangun long storage
untuk pembasahan lahan gambut di Kalimantan Selatan.

30
Long storage adalah bangunan penahan air yang berfungsi
menyimpan air di dalam sungai, kanal, atau parit sehingga cadangan air
meningkat. long storage mengalirkan air ke lahan gambut untuk menjaga
kelembaban dan tinggi muka air tanah. Selain long storage, pemerintah
membangun infrastruktur sumur bor dan sekat kanal, bekerja sama
dengan petani di kawasan lahan gambut. Prasarana itu juga untuk
menjaga kelembaban lahan.

Di Kalimantan Selatan dan beberapa daerah kelembaban lahan


gambut bervariasi. Beberapa daerah kelembaban lahan gambut sangat
baik di atas 80%, tetapi tidak sedikit yang kurang dari 50% sehingga
dalam kategori waspada kebakaran.BRG merangkul warga desa untuk
merawat dan mengembangkan potensi berbasis lahan gambut, seperti
pertanian, perikanan, dan produk usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) berbahan tanaman lahan gambut.

Badan Restorasi Gambut terus merestorasi ekosistem gambut


lewat pembasahan kembali (rewetting), revegetasi, revitalisasi sosial
ekonomi masyarakat dan progran peduli desa Gambut di Kalimantan
Selatan. Pada 2018, BRG mengklaim telah melakukan pembasahan
7.918 hektare areal gambut yang rusak di Kalimantan Selatan.

Restorasi lahan gambut rusak ditarget seluas 38.762 hektare di


Kalsel. Dari angka ini, BRG merinci ada 27.609 hektare di area konsesi
dan 11.153 hektare di area penggunaan lain. Lewat restorasi maka fungsi
hidrologis ekosistem gambut yang terdegradasi dapat kembali normal
setelah karhutla. Pembasahan kembali atau rewetting dengan
pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (PIPG) jadi salah satu
program utama diikuti revegetasi dan revitalisasi sosial ekonomi
masyarakat agar upaya restorasi berkelanjutan.

Upaya ini pararel dengan menurunnya bencana karhutla di


Kalsel. Untuk Provinsi Kalsel, BRG mencatat ada 172 titik panas pada
area target restorasi gambut dengan 12.739 hektare luas area kebakaran

31
pada 2015. Angka ini menurun pada 2017, dengan realiasi 9 titik panas
dan 40 hektare luas area terbakar. Terhitung sejak tahun 2016-2019,
BRG mengklaim Kalsel saat ini sudah memiliki 479 sumur bor, 105 unit
sekat kanal, 42 lahan revegetasi, dan 22 paket revitalisasi ekonomi.

Menurut Badan Restorasi Gambut, Kalimantan Selatan harus


tetap waspada terhadap karhutla di tengah kecenderungan penurunan
hotspot. Sebab, kerusakan gambut yang parah perlu waktu panjang untuk
pemulihan karena gambut rusak belum sepenuhnya normal dalam waktu
cepat. Diharapkan semua pihak teknis harus bekerja sama menjaga
kebasahan ekosistem gambut lewat pemanfaatan air bersama.

32
BAB V

KESIMPULAN

Kebakaran Hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi
dan lingkungannya. Kebakaran hutan merupakan salah satu dampak dari semakin
tingginya tingkat tekanan terhadap sumber daya hutan. Dampak yang berkaitan dengan
kebakaran hutan atau lahan adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup, seperti terjadinya kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air.

Penyebab terjadinya kebakaran hutan/lahan secara umum disebabkan oleh faktor


manusia dan faktor alam. Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Selatan dari faktor
manusia dipengaruhi oleh: kebiasaan dan perilaku; pembukaan lahan untuk pertanian;
pembukaan lahan; ketidaksengajaan/kegiatan lain yang menimbulkan api (membakar
sampah); kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran hutan dan
lahan masih rendah; kemampuan aparatur pemerintah untuk koordinasi masih rendah;
kemampuan aparatur pemerintah dalam memberikan penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat supaya tidak membakar hutan dan lahan masih
rendah.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan akibat faktor alam di Kalimantan


Selatan sebagian besar karena musim kemarau, lahan gambut, suhu musim kemarau
sangat panas, kebakaran dibawah tanah di lahan gambut menyulut kebakaran di bagian
atas, daerah alang-alang dan daerah semak belukar.

Prosedur dalam penanganan kebakaran hutan/lahan secara umum yaitu: pra


kebakaran hutan yang terdiri dari preventif, mitigasi, kesiapsiagaan; saat kebakaran
hutan; paska kebakaran hutan yang terdiri dari rehabilitasi dak rekonstruksi.

Prosedur dalam penanganan kebakaran hutan/lahan di Kalimantan Selatan


berupa Mitigasi Struktural dan Nonstruktural, terkhusus pada Badan Restorasi Gambut
yang merupakan lembaga non-struktural di bawah Presiden. Tugasnya mempercepat
pemulihan fungsi hidrologis gambut.

33
DAFTAR REFERENSI

Adinugroho, W.C. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut.
Bogor: Wetlands International - Indonesia Programme.
Akbar, A. dkk. 2015. Bekantan Kebakaran Hutan di Rawa Gambut Bencana atau
Bahaya Laten?. ISBN: 2239-1936 Vol. 3/No.2/2015. Badan Penelitian
Kehutanan Banjarbaru.
Arisanty, D. 2019. Power Point Mata Kuliah Studi Keruangan & Mitigasi Bencana.
Program Studi Magister Pendidikan IPS. Universitas Lambung Mangkurat.
Djalil, A. dkk. 2015. Tugas Besar Epidemologi Studi Kasus Kebakaran Hutan Dan
Lahan Di Kabupaten Banjar. Prodi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Universitas Lambung Mangkurat.
Haris, M. A., Kumalawati, R., dan Arisanty, D. 2017. Identifikasi Faktor-Faktor
Kerentanan Terhadap Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Kecamatan Cintapuri
Darussalam Kabupaten Banjar. JPG (Jurnal Pendidikan Geografi) Volume 4 No
4 Juli 2017 Halaman 23-31 e-ISSN : 2356-5225. diakses 25 Maret 2018
(http://ppjp.unlam.ac.id/journal/index.php/jpg).
Kumalawati, R. dkk. 2016. Laporan Penelitian Strategi Penanganan Hotspot Pada Setiap
Penggunaan Lahan Akibat Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan. Pusat Studi Bencana Universitas Lambung Mangkurat.
Latifah, N. L. & Pamungkas, A. 2013. Identifikasi Faktor-Faktor Kerentanan Terhadap
Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Kecamatan Liang Anggang Kota
Banjarbaru. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). JURNAL TEKNIK
POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print).
Luas Kebakaran lahan Provinsi : http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran &
http://satelit.bmkg.go.id/di akses tanggal 28 Maret 2019
Pantau Gambut (n.d). http://www. pantaugambut.id/pelajari/pemulihkan-lahan
gambut/langkahlangkah-restorasi-gambut, diakses 22 Maret 2019.
Progres Restorasi Gambut, dan Jumalah Penduduk : https://brg.go.id &
https://kalsel.bps.go.id/quickMap.html diakses tanggal 27 Maret 2019.
Puturuhu, F. 2015. Mitigasi Bencana dan Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Graha Ilmu.

34

You might also like