You are on page 1of 91

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani :An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harafiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri.Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan.Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan.1
Anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, dan analgesia
regional.Anestesi umum terdiri dari induksi intravena dan induksi inhalasi.
Sedangkan analgesia regional terdiri dari :
1. Blok sentral (blok neuroaksial), misalnya blok spinal, epidural dan kaudal;
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia
regional intravena, dan lain-lain.
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada
sebagian atau beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran
dan bersifat sementara. Analgesia regional sering digunakan karena sederhana,
murah, obatnya mudah disuntikkan, alatnya sederhana dan perawatan pasca bedah
tidak rumit. Tahun-tahun terakhir ini analgesia regional berkembang dengan pesat di
Indonesia, dari sekian banyak teknik analgesia regional, blok subarakhnoid (SAB)
termasuk di antaranya. Blok subarakhnoid atau lebih populer disebut anestesi spinal
adalah suatu tindakan atau usaha menghentikan transmisi impuls syaraf yang melintas
medulla spinalis anterior dan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarachnoid melalui interspace L2-3, L3-4, L4-5.1,4

1
Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satu tehnik
anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada
tindakan anestesi sehari-hari. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam
tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah,
menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan
menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang
minimal.Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan anestesi spinal
dapat menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan pada operasi
dengan indikasi anestesi spinal.1

Setiap pembedahan akan menjalani prosedur anestesi.Diperkirakan bahwa


sekitar 2% wanita hamil menjalani anestesi selama kehamilan, untuk operasi yang
tidak terkait dengan persalinan.Angka ini mungkin jauh lebih tinggi pada trimester
pertama dimana kehamilan mungkin tidak terdeteksi pada saat operasi. Sekitar 42%
dari prosedur terjadi pada trimester pertama, 35% selama trimester kedua dan 23%
selama trimester ketiga.3 Usus buntu, torsi ovarium dan trauma adalah indikasi yang
lebih umum untuk intervensi bedah. Untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu
dan janin, perlu pertimbangan mengenai perubahan fisiologis dan farmakologis yang
terjadi selama kehamilan, karena perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi
mereka berdua.2
Seperti yang diuraikan diatas bahwa tindakan anestesi selama kehamilan,
diperlukan pertimbangan yang baik untuk keselamatan ibu dan janin. Oleh karena itu
diperlukan manejemen dalam melakukan anestesi terhadap ibu hamil selama
preoperatif, durante operatif serta post operatif.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


JENIS TRIMESTER I TRIMESTER II TRIMESTER
PERUBAHAN III
SISTEM 1. Uterus 1. Uterus 1. Uterus
REPRODUKSI Selama kehamilan Pada trimester II Pada akhir
ini uterus mulai kehamilan
uterus akan
memasuki rongga dinding uterus
beradaptasi untuk peritoneum. pada akan menipis dan
menerima dan umur kehamilan 4 lebih lembut.
melindungi hasil bulan kehamilan Pada akhir
rahim berada kehamilan
konsepsi.
dalam rongga biasanya
Pertumbuhan uterus pelvis dan kontraksi sangat
dimulai setelah setelahnya jarang dan
implantasi dengan memasuki rongga meningkat pada
perut. satu dan dua
proses hiperplasia dan
Minggu 16: minggu sebelum
hipertrofi sel. pertengahan antara persalinan. Pada
Penyebab simfisis pusat. trimester ini
pembesaran uterusanta Minggu 20: istmus lebih nyata
3 jari bawah pusat. menjadi bagian
ra lain:
Minggu 24: korpus uteri dan
 -Peningkatan Setinggi pusat. berkembang
vaskularisasi Uterus akan menjadi SBR.
dan dilatasi pembuluh bertambah besar Setelah minggu
pada rongga pelvis ke 28 kontraksi
darah;
dan menyentuh braxton hicks
 -Hiperplasia dan dinding abdomen semakin jelas.
hipertrofi, dan dan mendesak usus Pada kehamilan
 - kedua sisi cukup bulan
abdomen. ukuran uterus
Perkembangan desidu
30x25x20cm dg
a. Uterus mengalami kapasitas
 perkembangan >4000cc.
 Uterus bertambah desidua. 28 minggu:
Fundus uteri
berat sekitar 70 – 1100
terletak kira kira
gram tiga jari diatas
selama kehamilan. pusat atau 1/3

3
 Selama kehamilan, jarak antara pusat
ke prosesus
dinding-dinding otot
xifoideus (25cm)
rahim menjadi kuat 32 minggu:
dan elastis. Fundus Fundus uteri
pada servik mudah terletak kira kira
antara 102 jarak
fleksi disebut tanda
pusat dan
Mc Donald. Korpus prosesus
uteri dan servik xifoideus (27cm)
melunak dan 36 minggu:
Fundus uteri kira
membesar pasca umur
kira 1 jari
kehailan minggu ke 8 dibawah prosesus
yang disebut tanda xifoideus (30cm)
Hegar. Posisi rahim 40 minggu:
Fundus uteri
pada awal kehamilan
terletak kira kira
adalah antefleksi atau antara 3 jari
retrofleksi. dibawah prosesus
 Pada minggu xifoideus (33cm).
pertama
kehamilan
uterus
berbentuk
seperti buah
alvokad.
 Pada usia 12
minggu kira
kira sebesar
telur angsa.
Pada saat ini
fundus uteri
telah dapat
diraba dari luar
diatas simfisis.
 Terjadi
perubahan
pada istmus

4
uteri yang
menyebabkan
istmus uteri
menjadi lebih
lunak dan
panjang.
2. Vagina 2. Vagina 3. Vagina
 Terjadi  karena hormon  mengalami
peningkatan estrogen dan banyak
vaskularisasi progesteron perubahan
karena pengaruh terus meningkat yang
hormon dan terjadi merupakan
estrogen,peningkat hipervakularisa persiapan
an vaskularisasi si untuk
meningkatkan mengakibatkan mengalami
tanda chadwick pembuluh darah peregangan
(warna merah tua alat genetalia pada waktu
atau kebiruan) membesar. persalinan
pada vagina  Sekresi vagina dengan
sampai minggu ke meningkat meningkatnya
8 kehamilan. (keputihan dan ketebalan
 Selama masa hamil menebal), hal mukosa,
ph sekresi vagina ini normal jika mengendornya
menjadi lebih asam tidak disertai jaringan ikat,
(4-6.5) gatal, iritasi dan hipertrofi
atau berbau sel otot polos.
busuk.  dinding vagina
mengalami
peregangan
(bertambah
panjangnya
dinding
vagina)
 lapisan otot
membesar,
vagina lebih
elastis.
3. Ovarium 3. Ovarium 3. Ovarium
 pada awal  pada usia  placenta
kehamilan masih kehamilan 16 menggantikan
terdapat korpus minggu, korpus luteum
luteum placenta mulai untuk
gravidiatum terbentuk dan menghasilkan

5
(berfungsi maks menggantikan estrogen dan
selama 6-7 minggu fungsi korpus progesteron.
kehamilan) sebagai luteum
penghasil graviditatum.
progesteron dalam
jumlah yang relatif
minimal.
berdiameter kira
kira 3cm. Dan
akan mengecil
setelah placenta
terbentuk.

4. Serviks 4. Serviks 4. Serviks


 satu bulan setelah  Pada awal  Akibat
konsepsi serviks trimester ini aktivitas uterus
akan menjadi bekas kolagen selama
lunak dan kebiruan kurang kuat kehamilan
akibat penambahan terbungkus serviks
vaskularisasi dan akibat mengalami
edema bersamaan penurunan pematangan
dg hipertrofi dan konsentrasi secara bertahap
hiperplasia yang kolagen secara dan kanal
disebut dengan keseluruhan. mengalami
tanda Goodlell.  Konsistensi dilatasi.
 Selama kehamilan serviks menjadi
serviks tetap lunak dan
tertutup rapat. kelenjar di
serviks
berfungsi lebih
dan
mengekuarkan
sekresi
(keputihan)
lebih banyak.
PAYUDARA  Merasakan  Mammae  Mammae
mammae merasa semakin semakin
payudara menjadi membesar membesar dan
lebih lunak.  Kolostrum tegang sebagai
 Bulan kedua: dapat keluar persiapan
bertambah ukuran tapi asi tidak laktasi akibat
dan vena dibawah karena adanya pengaruh
kulit akan lebih prolactin somatotropin,
terlihat. inhibiting estrogen dan

6

Puting susu hormone. progesteron
membesar hitam  Areola  Peningkatan
dan tegak mammae prolaktin
 Munculnya semakin hitam merangsang
tuberkulur  Glandula sintesis laktose
montgomery montgomery dan akhirnya
 Perubahan makin meningkatkan
kronologi payudara menonjol produksi air
3-4minggu: sensasi dipermukaan susu .
gatal dan areola
kesemutan mammae.
6-8minggu:
peningkatan
ukuran, nyeri
ketegangan.
SISTEM  Selama kehamilan  Pada trimester  Setelah
KARDIOVASKU terjadi perubahan ini curah mencapai
LAR sistem ini jantung 30minggu
 Jumlah darah yang mencapai curah jantung
dipompa oleh puncaknya. agak menurun
jantung tiap  Oleh karena karena
menitnya (cardiac curah jantung pembesaran
output) meningkat yang rahim menekan
sampai 30-50%. memuncak (16- vena yang
Peningkatan 28minggu) membawa
tersebut dimulai maka denyut darah dari
pada usia 6minggu jantung juga tungkai ke
dan mencapai meningkat dari jantung. (Ari
puncak pada usia 70x/mnt Sulistyowati:
16-28minggu. (Ari menjadi 80- 2009)
Sulistiowati: 2009) 90x/mnt. (Ari
 Volume darah ibu Sulistyowati:
bertambah secara 2009)
fisiologis karena
adanya pencairan
darah yg disebut
hemodilusi.
Terjadinya
peningkatan curah
jantung yang
terjadi akibat
peningkatan
volume darah yg
disebabkan oleh

7
hemodilusi tsb.
Selama kehamilan
juga terjadi
peningkatan daya
koagubilitas
(pembekuan vena)
dan hal ini
menyebabkan
trombosis vena.
Jika koagubilitas
tidak berhasil
ditingkatkan, maka
pada saat
melahirkan bisa
terjadi perdarahan.
(Hellen, 2001)
SISTEM  Uterus yang  Frekuensi  Perubahan
RESPIRASI membesar akan pernafasan frekuensi
mendorong hanya pernafasan
diafragma keatas mengalami seperti volume
sehingga sedikit tidal, volume
mengubah bentuk perubahan ventilasi
toraks namun tidak selama permenit dan
mengurangi kehamilan, pengambilan
kapasitas paru. tetapi volume oksigen
Frekuensi respirasi tidal, volume permenit ini
meningkat untuk ventilasi akan mencapai
mendapat lebih permenit dan puncaknya
banyak oksigen pengambilan pada minggu
yang diperlukan. oksigen ke-37 dan akan
Keadaan ini dapat permenit akan kembali
menimbulkan bertambah hampir seperti
sedikit secara sedia kala
hiperventilisasi. signifikan pada dalam 24
 Kebutuhan oksigen kehamilan minggu setelah
meningkat konstan lanjut. persalinan.
selama kehamilan. (Sarwono, (Sarwono,
2009) 2009)
KULIT  Pada kulit dinding Perubahan pada Perubahan pada
perut akan terjadi trimester I bisa trimester I bisa
perubahan menjadi terjadi pada terjadi pada
kemerahan, kusam trimester II trimester III
dan kadang
mengenai daerah

8
payudara dan paha
perubahan ini
dikenal dengan
nama striae
gravidarum.
 Kulit digaris
pertengahan
perutnya akan
menjadi hitam
kecoklatan disebut
dengan linea nigra.
 Kadang akan
muncul dalam
ukuran yang
bervariasi pada
wajah dan leher
yang disebut
chloasma atau
melasma
gravidarum.

 Hal tersebut diatas


diperkirakan
karena adanya
peningkatan kadar
serum MSH.
(Sarwono, 2009)
SISTEM  Ligamen menjadi  Adanya sakit  Estrogen dan
MUSKULOSKE lunak sehingga punggung dan progesteron
LETAL mudah ligamen memberi efek
diregangkan dan disebabkan maksimal pada
beresiko terjadinya meningkatnya relaksasi otot
stretchmarc. pergerakan dan ligamen
pelvis akibat pelvis pada
pembesaran akhir
uterus. Bentuk kehamilan.
tubuh selalu  Relaksasi ini
berubah digunakan
menyesuaikan pelvis untuk
dengan meningkatkan
oembesaran kemampuanny
uterus kedepan a menguatkan
karena tidak posisi janin
adanya otot pada akhir

9
abdomen. kehamilan dan
 Bagi wanita pada saat
yang kurus kelahiran.
menyebabkan  Simfisis pubis
lordosis dan melebar
gaya beratnya sampai 4mm
berpusat pada pada usia
kaki bagian kehamilan
belakang. Hal 32minggu dan
ini sakrokoksigeus
menyebabkan tidak teraba,
sakit yang diikuti
berulang di terabanya
bagian koksigis
punggung. (Ari sebagai
Sulistyawati, pengganti
2009) bagian
belakang.
(Ari
Sulistyawati,
2009)
SISTEM  Pada bulan  Terjadi  Pada bulan-
PENCERNAAN pertama kehamilan konstipasi bulan
terdapat perasaan karena terakhir, nyeri
tidak enak [ nausae pengaruh ulu hati dan
], akibat kadar hormone regurgitas
hormon estrogen progesterone (pencernaan
yang meningkat. yang asam)
 Tonus otot-otot meningkat. merupakan
traktus digestivus  Selain itu perut ketidak
menurun, sehingga kembung juga nyamanan
morbilitas seluruh terjadi karena yang
taktus digestivusi adanya tekanan disebabkan
juga kurang. uterus yang tekanan
Makanan lebih membesar keatas dari
lama berada dalam rongga pembesaran
dilambung dan apa perut yang uterus.
yang telah mendesak Pelebaran
dicernakan lebih organ-organ pembuluh
lama berada dalam dalam perut darah rectum
usus-usus. khususnya (hemoroid)
 Gejalah muntah saluran dapat terjadi.
biasanya terjadi pencernaan, Pada
pada pagi hari yang usus persalinan,

10
biasa dikenal besar,kearah rectum dan
dengan morning atas dan lateral otot-otot yang
sickness, hal ini di dan penurunan memberikan
sebapkan karna asam lambung, sokongan
hormon Estrogen melambatkan sangat
dan HCG pengosongan tegang.
meningkat. lambung.
SISTEM  Bila satu organ  Pada minggu-  Pada akhir
PERKEMIHAN membesar, maka minggu kehamilan, bila
organ lain akan pertengahan kepala janin
mengalami kehamilan, mulai turun
tekanan, dan pada frekuensi kandung kemih
kehamilan tidak berkemih tertekan
jarang terjadi meningkat. Hal kembali
gangguan ini umumnya sehinggal
berkemih pada saat timbul antara timbul sering
kehamilan. Ibu minggu ke- 16 kencing.
akan merasa lebih sampai minggu
sering ingin buang ke- 24
air kecil. Pada kehamilan.
bulan pertama
kehamilan kandung
kemih tertekan
oleh uterus yang
mulai membesar.
 Perubahan struktur
ginjal merupakan
aktifitas hormonal
[ estrogen dan
progesteron ],
tekanan yang
timbul akibat
pembesaran uterus,
dan peningkatan
volume darah.
Sehingga minggu
ke-10 gestasi,
pelvis ginjal dan
uretra berdilatasi.
 Ginjal pada saat
kehamilan sedikit
bertambah besar,
panjangnya
bertambah 1-1,5

11
cm.
SISTEM  Kebutuhan zat besi  Kalsium.  Janin
METABOLISME wanita hamil Dibutuhkan membutuhka
kurang lebih rata rata n 30-40 gram
1000mg, 500mg 1,5gram kalsium
dibutuhkan untuk sehari. untuk
meningkatkan  Fosfor. Rata pembentukan
massa sel darah rata tulangnya dan
merah dan 300mg dibutuhkan ini terjadi
untuk transportasi 2gr/hari. ketika
ke fetus ketika  Air. Wanita trimester III.
kehamilan hamil Peningkatan
memasuki usia cenderung asupan
12minggu, 200 mg mengalami kalsium
sisanya untuk retensi air. mencapai
menggantikan 70%.
cairan yang keluar
dari tubuh.
 Wanita hamil
membutuhkan zat
besi rata rata
3,5mg/hari.

2.2 Anestesi Pada Obstetri


Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang
akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi
adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan
intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi
terletang (supine) dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval syndrome”)
sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.2,8
Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah bayi
lahir dilanjutkan dengan pemberian pentothal dan N2O/O2 namun analgesi sering
tidak memadai serta pengaruh toksik obat lebih besar. Anestesi regional (spinal
atau epidural) dengan teknik yang sederhana, cepat, ibu tetap sadar, bahaya
aspirasi minimal, namun sering menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan,
bahaya hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah. Anestesi
umum dengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serba terkendali dan

12
bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan kemungkinan
aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering mengalami kesulitan, serta
kemungkinan depresi pada janin lebih besar.2
Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin,
adalah penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang
menjadi ciri tiga trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya
bagi mereka berdua. Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
b. Mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian
oksigen
c. Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
d. Menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic).6

2.2.1 Perubahan Respon Anestesi


Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,
konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia;
kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%8.
Selain terjadi penurunan MAC agen-agen anestesi inhalasi, dosis thiopental
yang dibutuhkan juga berkurang sejak awal kehamilan.
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik
lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini
karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang
subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.2
Pada pasien hamil juga dapat terjadi blokade saraf yang lebih luas pada
anestesi spinal atau epidural. Selain itu kehamilan juga meningkatkan respon
terhadap blokade saraf perifer. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan
sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat
anestetik lokal pada lokasi membran reseptor (enhanced diffusion).
Konsentrasi cholinesterase plasma menurun sampai sebesar 25% sejak
awal kehamilan sampai tujuh hari post partum. Namun jarang terjadi blokade

13
neuromuskuler yang berkepanjangan karena volume plasma yang besar
mengakibatkan distribusi obat yang merata sehingga mengurangi efek dari
penurunan hidrolisis obat. Meskipun demikian dosis suksinilkolin sebaiknya
dikontrol dengan hati-hati pada pasien hamil dan ahli anestesi harus
memonitor blokade neuromuskuler dengan stimulator saraf untuk memastikan
reverse/pemulihan yang adekuat sebelum ekstubasi.
Pada kehamilan juga terjadi penurunan konsentrasi albumin sehingga
fraksi obat bebas dalam darah meningkat, akibatnya resiko toksisitas obat
selama kehamilan juga meningkat.2,7

2.2.2 Pertimbangan Pada Fetus


a. Risiko teratogenisitas
Agen-agen anestesi dapat menyebabkan perubahan besar pada ibu
hamil berupa hipoksia dan hipotensi berat sehingga dapat berbahaya bagi
fetus. Selain efek tersebut, saat ini perhatian juga ditujukan pada risiko
teratogen dari obat-obat anestesi.
Teratogenisitas mempunyai pengertian sebagai setiap perubahan
post natal yang signifikan baik dalam fungsi atau bentuk setelah terapi
yang diberikan selama periode prenatal. Perhatian akan adanya efek
merugikan agen-agen anestesi berawal dari efek obat tersebut yang telah
diketahui pada sel-sel mamalia. Efek merugikan tersebut terjadi dalam
rentang dosis terapi dan perubahan sel irreversibel yang terjadi dapat
berupa berkurangnya motilitas sel, pemanjangan waktu sintesis DNA, dan
inhibisi pembelahan sel.2,8

b. Prinsip-prinsip teratogenisitas
Terdapat sejumlah faktor penting yang mempengaruhi potensi
teratogenisitas suatu substansi antara lain adalah suseptibilitas spesies,
dosis obat, durasi dan waktu terpapar, dan predisposisi genetik.

14
Interaksi antara dosis obat dengan waktu pemberian juga sangat
penting. Teratogen dengan dosis kecil dapat menyebabkan malformasi
atau kematian pada embrio yang masih awal, sedangkan dosis yang lebih
besar mungkin kurang berbahaya pada fetus.
Manifestasi teratogenisitas antara lain adalah kematian, abnormalitas
struktur, hambatan pertumbuhan, dan defisiensi fungsional. Kematian
akan menyebabkan abortus, fetal death atau stillbirth pada manusia,
tergantung pada waktu terjadinya, sedangkan pada binatang akan
menyebabkan resorbsi fetus. Abnormalitas struktural dapat menyebabkan
kematian jika sangat berat, akan tetapi kematian juga dapat terjadi tanpa
disertai anomali kongenital. Hambatan pertumbuhan pada saat ini
dianggap sebagai salah satu manifestasi dari teratogenisitas, selain itu
kondisi ini juga berhubungan dengan banyak faktor lainnya seperti
insufisiensi plasenta, faktor genetik dan lingkungan. Usia kehamilan pada
saat terpapar sangat menentukan organ atau jaringan target, tipe defek, dan
berat-ringannya kerusakan. Sebagian besar abnormalitas struktural
disebabkan oleh paparan selama periode organogenesis, yaitu kira-kira
pada hari ke 31 sampai 71 setelah hari pertama haid terakhir.
Dalam menentukan kemungkinan teratogenistas agen anestesi perlu
dipertimbangkan dengan tingginya angka kejadian hasil kehamilan yang
buruk yang terjadi secara alami. Robert dan Lowe (1975) memperkirakan
bahwa sebanyak 80% hasil konsepsi manusia mengalami keguguran,
bahkan keguguran tersebut banyak yang terjadi sebelum diketahui ada
kehamilan. Diperkirakan separuh dari abortus dini ini disebabkan oleh
abnormalitas kromosom. Insiden anomali kongenital diantara manusia
adalah sebesar 3% dan sebagian besar tidak diketahui sebabnya. Dari
jumlah tersebut yang terpapar obat atau toksin sebelumnya hanya sebesar
2% sampai 3%.2,8

c. Teratogenisitas dalam periode perioperatif

15
Anestesia dan pembedahan dapat menyebabkan perubahan pada fisiologi
ibu sehingga mengakibatkan hipoksia, hiperkapnea, stress, abnormalitas
temperatur dan metabolisme karbohidrat. Kondisi-kondisi tersebut dapat
bersifat teratogen itu sendiri atau mereka dapat meningkatkan
teratogenisitas agen-agen lainnya. Hipoglikemia berat, hipoksia dan
hiperkarbia yang lama dapat menyebabkan anomali kongenital pada
binatang dalam percobaan laboratorium,tetapi bukti tersebut masih kurang
kuat untuk mendukung teratogenisitas pada manusia setelah mengalami
kondisi tersebut dalam waktu singkat.
Ibu hamil yang mengalami hipoksemia kronis dapat menyebabkan bayi
yang dilahirkan mempunyai berat lahir rendah tetapi tidak ditemukan
defek kongenital.
Radiasi pengion juga merupakan teratogen pada manusia, efek kelainan
yang muncul berhubungan erat dengan besar dosis yang diterima oleh ibu
hamil. Kelainan yang muncul mulai dari meningkatnya risiko kanker pada
anak sampai pada anomali kongenital atau kematian janin. Data pada
binatang dan manusia menunjukkan bahwa paparan radiasi sebesar 5
sampai 10 rad tidak akan meningkatkan insiden anomali major atau
restriksi pertumbuhan. Besar dosis radiasi yang diterima oleh fetus pada
foto polos thorak diperkirakan sebesar 8 milirad dan pada barium enema
sebesar 800 milirad.2,8

d. Teratogenisitas obat obat anestetik


Teratogenisitas tidak berkaitan dengan pemakaian obat-obat induksi
yang biasa digunakan, (seperti : barbiturat, ketamin, dan benzodiazepin)
bila obat tersebut diberikan dalam dosis klinis selama anestesia. Selain itu
tidak ditemukan bukti yang mendukung tentang teratogenisitas opioid
pada manusia, bukti yang ada menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan
insiden anomali kongenital diantara ibu hamil yang menggunakan morfin
atau methadon selama kehamilan.

16
Data penelitian pada manusia menunjukkan adanya peningkatan
teratogenisitas pada pemberian tranquilizer. Dalam sebuah review,
dilaporkan bahwa insiden anomali kongenital berat sebesar 11% sampai
12% bila ibu hamil mengkonsumsi meprobamat atau klordiazepoksid
selama kehamilan dibandingkan dengan insiden sebesar 4,6% bila ibu
mengkonsumsi ansiolitik lainnya dan 2,6% bila ibu tidak minum obat.
Tetapi peneliti lain tidak mendapatkan adanya efek merugikan
berdasarkan penelitiannya dengan meprobamat atau klordiazepoksid
intrauterin.
Terapi benzodiazepin menjadi kontroversial setelah beberapa
penelitian melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam oleh
ibu hamil selama trimester pertama kehamilan dengan bayi yang
menderita palatoschizis, dengan atau tanpa labioschizis. Safra dan Oakley
(1975) melakukan penelitian terhadap 278 ibu yang bayinya menderita
malformasi berat; mereka mencatat bahwa pada ibu yang mengkonsumsi
diazepam mempunyai risiko empat kali lebih besar bayinya menderita
cleft mulut dibandingkan kelainan lainnya. Kedua peneliti tersebut
berkesimpulan bahwa risiko terjadi labioschizis sebesar 0,4% sedangkan
risiko palatoschizis sebesar 0,2%.
Penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam
oleh ibu hamil dengan kelainan cleft mulut. Seperti penelitian retrospektif
pada 854 wanita yang mengkonsumsi diazepam pada trimester pertama
kehamilan, gagal menunjukkan adanya peningkatan risiko akibat terapi
dengan benzodiazepin.
Walaupun konsensus para ahli anestesi menyebutkan bahwa
diazepam tidak terbukti teratogen pada manusia, namun sebaiknya perlu
dipertimbangkan rasio untung ruginya sebelum memberikan obat ini untuk
terapi jangka lama selama trimester pertama kehamilan. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa pemberian benzodiazepin (seperti midazolam)
dosis tunggal selama tindakan anestesi akan membahayakan fetus.2,8

17
e. Teratogenisitas obat anestesi local
Prokain, lidokain dan bupivakain dapat menyebabkan efek sitotoksik
yang reversibel pada kultur fibroblast hamster.9 Akan tetapi, tidak ada
bukti yang mendukung adanya teratogenisitas morfologi atau behavioral
akibat pemberian lidokain pada tikus, dan juga tidak ada bukti yang
mendukung adanya teratogenisitas akibat penggunaan anestetik lokal pada
manusia.
Penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil dapat menyebabkan outcome
kehamilan yang buruk, yaitu berupa abnormalitas perilaku neonatus, dan
pada beberapa penelitian disebutkan adanya peningkatan insiden defek
kongenital pada saluran genitourinaria dan gastrointestinal. Risiko yang
paling besar pada fetus akibat penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil
adalah tingginya insiden solusio plasenta.2,8

f. Teratogenisitas obat pelumpuh otot


Penelitian tentang teratogenisitas obat-obat pelumpuh otot dengan
cara standar secara in vivo pada binatang mengalami kesulitan dengan
adanya depresi respirasi dan kebutuhan akan ventilasi mekanis.Fujinaga
dkk (1992) menggunakan sistem kultur embrio tikus untuk menyelidiki
toksisitas reproduktif d-tubocurarine, pancuronium, atrakurium dan
vecuronium dosis tinggi. Walaupun toksisitas tersebut muncul dengan
adanya penurunan panjang crown-rump (kepala-pantat), berkurangnya
jumlah pasangan somit, dan abnormalitas morfologi, efek tersebut hanya
terjadi pada konsentrasi plasma ibu sebesar 30 kali lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi yang ditemukan dalam praktek klinis. Obat-obat
ini mempunyai batas keamanan yang lebar jika diberikan pada ibu selama
fase organogenesis karena kadar obat dalam plasma fetus hanya sebesar
10% sampai 20% dari konsentrasi dalam plasma ibu.12 Apakah obat ini

18
bila diberikan pada kehamilan yang telah lanjut dapat menyebabkan
bahaya masih belum diketahui dengan pasti.
Terdapat banyak wanita yang mendapat obat pelumpuh otot selama
beberapa hari pada saat hamil tua namun tidak ditemukan adanya efek
merugikan pada bayinya.2,8

g. Teratogenisitas obat anestesi inhalasi


Penelitian epidemiologis yang dilakukan mulai tahun 1960 sampai
tahun 1970 menunjukkan adanya bahaya reproduktif (seperti aborsi
spontan, anomali kongenital) pada pekerja dalam kamar operasi atau
bedah mulut. Bahaya tersebut disebabkan karena paparan agen-agen
anestesi, terutama dengan gas nitro oksida.
Pada tahun 1980 an Cohen dkk melaporkan adanya peningkatan
kejadian abortus spontan sebesar dua kali lipat diantara perawat kamar
operasi dokter gigi yang terpapar. Insiden defek bayi yang dilahirkan oleh
perawat kamar operasi dokter gigi yang terpapar juga mengalami sedikit
peningkatan dibandingkan dengan perawat yang tidak terpapar. Akan
tetapi, validitas hasil penelitian ini masih diragukan; karena insiden
anomali diantara dokter gigi yang tidak terpapar sama dengan perawat
kamar operasi yang terpapar. Secara keseluruhan peningkatan risiko
anomali kongenital akibat paparan kronis dengan gas nitro oksida tidak
didukung oleh data epidemologis yang ada.
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya penurunan fertilitas diantara
perawat wanita yang bekerja dalam ruangan dokter gigi yang tercemar
oleh gas nitro oksida selama lebih dari 5 jam perminggu. Akan tetapi,
karena kelompok yang terkena efek hanya terdiri dari 19 orang maka sulit
untuk diambil kesimpulan berdasarkan data tersebut.
Penelitian terbaru tidak mampu membuktikan adanya hubungan
antara pekerjaan dalam kamar operasi dengan meningkatnya risiko

19
reproduktif. Outcome kehamilan baik pada perawat kamar operasi yang
terpapar dan tidak terpapar adalah sama.

2.3 Penatalaksanaan Anestesi Pada Obstetri


2.3.1 Anastesia Regional
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar.2
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional.
Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891.
Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi
bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna
spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada
ruang epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah
tindakan pada bedah obstetri dan ginekologi.2,4
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke
kranial) atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Teknik Anestesi yang direkomendasikan oleh American College of
Obstetricians and Gynocologist and American Society of Anestesiologist
(ASA) untuk section secarrea adalah Regional Anestesi (Spinal Anestesi)
karena lebih sedikit mendepresi janin sedangkan teknik general anestesi
baik secara inhalasi maupun intravena tetap dipersiapkan untuk bila
regional anestesi mengalami kesulitan ataupun kegagalan anestesi ataupun
operasi section secarea berlangsung lebih lama dari yang direncanakan
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki.

20
Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat
dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya
bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat
diperpanjang sampai 2-3 jam. Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia,
anemia berat, penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia,
tekanan intrakranial yang meninggi
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi,
seperti : penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau
biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih
mudah dan aman). Dinegara yang sudah maju, kebanyakan kasus
persalinannya memerlukan tindakan anastesia lumbal, sakral, atau kaudal.9
Anastesia lumbal : Sering digunakanpersalinan pervaginam.
Anastesia Spinal: Sering digunakan untuk persalinan per
abdominam/sectio cesarea.8

a. Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian
depresi janin dapat dicegah/dikurangi
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam
persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan
anestesi umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat
anestesia regional sudah siap.
b. Kerugian
 Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
 Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
 Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural
Punction Headache/ PDPH)

21
 Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat
menurun, sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih
lambat.
c. Kontraindikasi
 Pasien menolak
 Insufisiensi utero-plasenta
 Syok hipovolemik
 Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi

Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:


A. Persiapan Pra Anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi
dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik,
pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan
kunjungan pra anestesi adalah:
1. Informed consent kepada pasien dan keluarga terkait tindakan
anastesia yang akan dilakukan
2. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
3. Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang
sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

4. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American


Society of Anesthesiology).
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.

22
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian/ live style terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal:
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik
dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka mortalitas
98%.1
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E

Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang


meliputi:
Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi
penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis
(asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi,
dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan
obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan
obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik,
antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.

23
5. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif paska
bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan
anestesi seperti merokok, alkohol, obat penenang, narkotik, dan
muntah.
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum,
pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,
neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
9. Makanan yang terakhir dimakan

Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi
cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta
suhu tubuh.
3. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya
trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynx,
tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja

24
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
5. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
6. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau
tanda regurgitasi.
Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,
adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi
vena atau daerah blok saraf regional.1,4
B. Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.
Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
4. Memberikan analgesia, misal pethidin.
5. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin

Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis


pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:

25
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam
dan midazolam.
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil.
7. H2 reseptor antagonis, misal simetidine

C. Prosedur Anastesi Spinal


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi
lakukan observasi tanda vital.Setelah tindakan antisepsis kulit daerah
punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal
dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau
27) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum
lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai
akhirnya menembus duramater- subarachnoid. Setelah stilet dicabut,
cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid
tersebut.Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin prick test,
menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan
kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.4
Pembagian tingkat anestesi spinal:
1. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
2. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal
dan sakral.
3. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.

26
4. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
5. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang
lebih tinggi.

D. Obat Anastesi Spnial


1. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25%-0,5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. Derajat relaksasinya
terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya
sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi
pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan
utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-metabolit
lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama dengan
mepivakain dapat digunakan selama kehamilan dengan kadar 2,5-5
mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain adalah yang paling
sedikit melintasi plasenta.3
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah
1,003-1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS
disebut isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah
hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.

Tabel 1 Obat-obat anestesi dalam kehamilan adalah3

27
Obat Anestesi
AAP Kategori Risiko
Nama Obat approved* Kehamilan** Risiko Menyusui**
Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2
Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2
Mepivacaine
(Carbocaine, Polocaine) NR C L3
Procaine HCL
(Novocaine) NR C L3
Anestesi Umum
Halothane (Fluothane) Approved C L2
Isoflurane (Forane) NR - NR
Ketamine NR - NR
Methohexital (Brevital) Approved B L3
Nitrous oxide NR - L3
Sevoflurane (Ultane) NR B L3

Approved

Thiopental (Pentothal) C L3
Obat lain yang sering digunakan selama anestesi
Sedatives
Diazepam (Valium) Concern D L3; L4 for chronic use
Midazolam (Versed) Concern D L3
Propofol (Diprivan) NR B L2
Triazolam (Halcion) NR X L3
Narcotic Analgesics

28
Alfentanil (Alfenta) NR C L2
Fentanyl (Sublimaze) Approved B L2
Hydromorphone
(Dilaudid) NR C L3
Morphine Approved B L3
Reversal Medication
Flumazenil (Romazicon) NR C NR
Naloxone (Narcan) NR C NR
Steroids
Decadron
(Dexamethasone) NR C NR
Stimulants
Epinephrine (Adrenaline) NR C L1
Anti-nausea
Promethazine
(Phenergan) NR C L2
* Per the AAP (American Academic of Pediatric) Policy
Statement Transfer Obat dan Bahan KimiaLainnya Ke ASI, direvisi September 2001.
 Approved: Obat yang cocok untuk ibu menyusui
 Concern: Obat yang efeknya pada bayi yang menyusui tidak diketahui tetapi
harus diperhatikan
 Caution: Obat yang telah berhubungan dengan efek yang signifikan
pada beberapa bayi yang menyusui dan harus diberikan pada ibu menyusui dengan
perhatian
 NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh AAP.
** Per Medications’ and Mothers’ Milk by Thomas Hale, PhD (edisi 2004).

29
Kategori Resiko Laktasi Kategori Resiko Kehamilan
 L1 (sangat aman) A (studi kontrol menunjukkan tidak adanya resiko)
 L2 (aman) B (tidak ada bukti resiko pada manusia)
 L3 (sedang) C (resiko tidak bisa dicegah)
 L4 (kemungkinan berbahaya) D (positif adanya resiko)
 L5 (kontra indikasi) X (kontraindikasi dalam kehamilan)
NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh Hale. (Hale, 2004)

2. Lidokain
Lidokain (durasi pendek – intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 –
100 mg seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75
menit atau kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 %
dektrose meskipun 1,5 dan 2 % lidokain juga berguna. Penambahan epinephrine 0,2
mg memanjangkan anestesia 15 – 40 menit, tergantung dosis anestesi lokal yang
dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang memanjang secara signifikan
dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 – 25 ugr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi
substansial pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden
transient neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet
pada ekstremitas bawah.

3. Tetrakaine
Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 – 12 mg dipakai
untuk pembedahan dengan durasi 3 – 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu dari
agen spinal anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal
niphanoid (20mg) atau larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair
(daripada lidokain) dan menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena
sebagian obat didegradasi selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik diantara agen

30
spinal anestesi lainnya, karena keberhasilan untuk memblok sangat tergantung
dengan coadministration epinephrine.
Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine
adalah spinal anestetik agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen
bawah kira-kira 4 jam dan ekstremitas bawah 5 – 6 jam.
E. Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik, anestesi
umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat.
Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
 Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
 Naiknya konsumsi oksigen
 Airway closure
 Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
 Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
 Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
 Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan

2. Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi kebutuhan cairan,
elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Selain itu jugaa untuk
tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi dehidrasi ringan

31
2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1 0Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10 – 15 %.

b) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml / kgBB / jam
 Sedang = 6 ml / kgBB / jam
 Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10%
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume
darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid/ dekstran dengan dosis 1 – 2 kali
darah yang hilang.
c) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

F. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.1,4,6

32
G. Bromage Scoring System

Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan

2.3.2 Anastesia Umum


Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio
cesarea.
a. Indikasi
- Gawat janin
- Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
- Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah
b. Keuntungan
- Induksi cepat
- Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
- Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
c. Kerugian
- Risiko aspirasi pada ibu lebih besar
- Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat

33
- Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin.
- Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal.

d. Teknik
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan rapid-sequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB
atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat
tersebut dapat menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2
mg methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang
kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar

34
2.4 Anemia

Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr % pada


trimester I dan III atau kadar lebih kecil 10,5 gr % pada trimester II (Cunningham,,
2005). Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi, menurut
WHO kejadian anemia hamil berkisar antara 20 % sampai dengan 89 % dengan
menetapkan Hb 11 gr % sebagai dasarnya. Hb 9 – 10 gr % disebut anemia ringan. Hb
7 – 8 gr % disebut anemia sedang. Hb < 7 gr % disebut anemia berat (Manuaba,
2010).5

2.4.1 Anemia fisiologi dalam kehamilan


Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena ibu hamil mengalami hemodelusi
(pengenceran) dengan peningkatan volume 30 % sampai 40 % yang puncaknya
pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18 %
sampai 30 % dan hemoglobin sekitar 19 %.5
a. Klasifikasi anemia pada ibu hamil
Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO yang dikutip dalam buku
Handayani W, dan Haribowo A S, (2008) :
1. Ringan sekali Hb 10,00 gr% -13,00 gr%
2. Ringan Hb 8,00 gr% -9,90 gr%
3. Sedang Hb 6,00 gr% -7,90 gr%
4. Berat Hb < 6,00 gr%

Klasifikasi anemia menurut Setiawan Y (2006), anemia dalam kehamilan


dapat dibagi menjadi :
 Anemia Zat Besi (kejadian 62,30%)
Anemia dalam kehamilan yang paling sering ialah anemia akibat kekurangan
zat besi. Kekurangan ini disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi

35
dalam makanan, gangguan reabsorbsi, dan penggunaan terlalu banyaknya zat
besi.
 Anemia Megaloblastik (kejadian 29,00%)
Anemia megaloblastik dalam kehamilan disebabkan karena defisiensi asam
folat. Pencegahannya adalah apabila pemberian zat besi tidak berhasil maka
ditambah dengan asam folat, adapun terapinya adalah asam folat 15-30 mg /
hari, vitamin B12 1,25 mg / hari, sulfas ferrosus 500 mg / hari, pada kasus
berat dan pengobatan per oral lambat sehingga dapat diberikan transfusi
darah.

 Anemia Hipoplastik (kejadian 80,00%)


Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsum tulang kurang
mampu membuat sel-sel darah merah. Dimana etiologinya belum diketahui
dengan pasti kecuali sepsis, sinar rontgen, racun dan obat-obatan.
Anemia hipoplastik ini dianggap komplikasi kehamilan dimana pengobatan
adalah tranfusi darah.
 Anemia Hemolitik (kejadian 0,70%)
Anemia yang disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung
lebih cepat, yaitu penyakit malaria. Pengobatan adalah tranfusi darah.5

2.4.2 Bahaya anemia dalam kehamilan ( Manuaba, 2010)


Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal : berat badan
kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa
intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal,
shock, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi pada neonatus : premature, apgar scor rendah, gawat janin.
Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat menyebabkan
terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan pertumbuhan
janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis dan mudah

36
terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer A.
dkk., 2008).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan gangguan his
primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-
tindakan tinggi karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan perlu
tindakan operatif (Mansjoer A. dkk., 2008). Anemia kehamilan dapat
menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan mempengaruhi ibu saat
mengedan untuk melahirkan bayi (Smith et al., 2012). Bahaya anemia pada ibu
hamil saat persalinan : gangguan his- kekuatan mengejan, Kala I dapat
berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II berlangsung lama sehingga
dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, Kala III
dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan postpartum akibat atonia uteri.

2.4.3 Anestesi pada Keadaan Anemia


Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin
akan berkurang. Halini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan,
jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi,
murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia.Peran
anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah
berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk di antara pertukaran gas di
pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac output. Seluruhnya
bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas oksigen yang
adekuat.Apabila ada penurunan pada satu komponen diatas, maka
menyebabkan komponen lain terpengaruh.Dari semua komponen tersebut,
haemoglobin mempunyai kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi sehingga
dapat meningkatkan transport oksigen. Setelah mengalami proses ventilasi,
perfusi dan difusi, oksigen akan ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke

37
seluruh jaringan tubuh secara fisik terlarut dalam plasma dan secara kimia
terikat dengan haemoglobin:

1. Secara fisika
Pada suhu 37o 1 ml plasma mengandung 0,00003 ml oksigen tiap tekanan
parsial oksigen 1 torr (1 mmHg). Jadi jika tekanan parsial oksigen arteri
dianggap 100 mmHg maka oksigen yang terlarut dalam 1 ml plasma ialah
0,003 ml atau 0,3 ml tiap 100 ml plasma.

2. Secara Kimia
Satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen atau 8 atom
oksigen dan bentuk ikatan tersebut adalah reversibel dan berlangsung sangat
cepat sekitar 0,01 detik. Kebanyakan oksigen ditransportasi secara kimiawi.

Sel darah merah dengan haemoglobin di dalamnya berfungsi untuk

mempertahankan kapasitas pengangkutan oksigen dalam darah. Delivery


oksigen (DO2) ditentukan oleh hasil dari cardiac output dan kadar oksigen
arterial dimana: CaO2= 1,34 x Hb (gr/dl) x % saturasi O2 + (0,003 x PaO2)

Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar haemoglobin


normal. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan dengan cairan bebas
eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid, (Ringer laktat, dextran, gelatin).
Selama keadaan normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan penurunan
kadar oksigen arterial CaO2 akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko hipoksia
jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Reduksi progresi dari CaO2akan
menurunkan delivery oksigen pada jaringan (DO2).Pada keadaan hemodilusi
yang ekstrim (ketika sudah melewati DO2 crit), jumlah oksigen yang sudah
dihantarkan ke jaringan menjadi tidak sesuai dengan permintaan oksugendari
jaringan, sebagai konsekuensinya, VO2 mulai turun.Penurunan VO2 harus
diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia jaringan. Tanpa

38
penanganan keadaan DO2 crit akan menyebabkan kematian dalam waktu kurang
dari 3 jam.5

Faktor yang mempengaruhi delivery oksigen antara lain:


1. Volume Darah
Komponen utama untuk kompensasi efektif adalah normovolemia.
Selama hipovolemia permintaan oksigen seluruh tubuh meningkat karena
release katekolamin dan hormons stress lain dibandingakan dengan bila
normovolemia.
2. Kedalaman Anestesi
Pada dosis tinggi, kebanyakan anestesi menurunkan cardiac output
selama hemodilusi dan menurunkan toleransi anemia.

3. Pelemas Otot (muscle relaxant)


Otot rangka mempunyai masa tubuh ½ dari total, sehingga relaksasi
muscular dapat secara efektif menurunkan permintaan oksigen dan
meningkatkan toleransi anemia.
4. Temperatur Tubuh
Pada studi model didapatkan hipotermia meningkatkan toleransi
anemia karena penurunan permintaan oksigen tubuh.
5. Performa Miokard
Pasien dengan coronary artery disease, gagal jantung kongestif,
konsumsi obat-obatan cardiodepresan, akan menyebabkan penurunan toleransi
anemia.
Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi perioperatif.
Transfusi darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada pasien dengan Hb >10
g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien dengan Hb <6 g/dl. Pada pasien

39
dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb perioperatif harus dijaga antara 8- 10
g/dl.Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan:
1. Konsentrasi Hb aktual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar.
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik.
4. Dinamika perdarahan.
Komponen darah yang dipakai adalah Packed Packet Red Cell (PRC).dapat
meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada
perdarahan akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan waktu beberapa jam
untuk meningkatkan Hb. Pada situasi terkontrol (cairan hilang digantikan dengan
kristalloid / koloid sehingga dicapai keadaan normovolemia), satu unit PRC dapat
menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat kurang dari 15 menit.
2.5. Grande Multipara
2.5.1. Definisi Paritas
Menurut Dorlan, 2012 paritas adalah suatu keadaan perempuan yang
telah melahirkan anak yang viabel (hidup). Paritas mempengaruhi durasi
persalinan dan insiden komplikasi.Pada multipara dominasi fundus uteri
lebih besar dengan kontraksi uterus lebih besar dengan kontraksi lebih
kuat dan dasar panggul yang lebih rileks sehingga bayi lebih mudah
melalui jalan lahir dan mengurangi lama persalinan.Namun pada grande
multipara, semakin banyak jumlah janin, persalinan secara progresif lebih
lama.Hal ini diduga akibat keletihan pada otot-otot uterus.Semakin tinggi
paritas insiden plasenta previa, perdarahan, mortalitas ibu dan mortalitas
perinatal juga meningkat (Varney, 2008).
Menurut (Manuaba, 1998) istilah-istilah yang berkaitan dengan
kehamilan dan persalinan adalah :
a) Primipara
Adalah seorang wanita yang telah pernah melahirkan bayi aterm
sebanyak satu kali.
b) Multipara(pleuripara)

40
Adalah wanita yang telah melahirkan anak hidup beberapa kali,
dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali. Multipara
adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang viable
untuk beberapa kali.

c) Grandemultipara
Adalah wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari lima
kali.

d) Nulipara
Adalah seorang wanita yang belum pernah melahirkan bayi viable
Paritas merupakan frekuensi ibu pernah melahirkan anak, hidup atau
mati tetapi bukan aborsi, tingkat paritas dijelaskan sebagai berikut :
primigravida yaitu ibu yang pernah hamil satu kali, multigravida adalah
ibu yang pernah hamil 2-4 kali, dan grande multigravida adalah ibu yang
pernah hamil 5 kali atau lebih. Primipara adalah ibu yang pernah
melahirkan satu kali, sedangkan multipara adalah ibu yang pernah
melahirkan 2-4 kali.Tingkat paritas telah banyak menarik perhatian para
peneliti dalam hubungan kesehatan ibu dan anak.Dikatakan demikian
karena terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih
baik dari pada yang berparitas tinggi.
Grande multipara didefinisikan sebagai paritas atau riwayat
kehamilan dengan lima atau lebih kelahiran bayi sebelumnya pada usia
gestasi 20 minggu atau lebih dan disebut sebagai salah satu faktor resiko
yang secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya berbagai komplikasi
kehamilan dan persalinan.
2.5.2. Prinsip Dasar Grande multipara
Ada beberapa prinsip dasar dari grande multipara, yaitu :
a. Grande multipara termasuk dalam kehamilan dengan resiko tinggi

41
b. Ibu hamil dengan resiko tinggi memiliki bahaya yang lebih besar pada
waktu kehamilan maupun persalinan bila dibandingkan dengan ibu
hamil normal.

c. Kehamilan resiko tinggi dapat dicegah bila gejalanya ditemukan sedini


mungkin sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan

d. Grande multipara memiliki komplikasi dalam kehamilan dan


persalinan, yaitu : perdarahan antepartum, solusio plasenta, plasenta
previa, abortus, IUGR, retensio plasenta, atonia uteri, malpresentasi,
inversio uteri dan ruptur uteri.
2.5.3. Konsekuensi dari uterus pada wanita grandemultipara
Wanita yang telah melahirkan lebih dari 5 kali atau yang disebut
grande multipara berarti menggunakan uterusnya terus menerus sehingga
akan menyebabkan jaringan penyangga uterus longgar dan kontraksi
uteerus lemah. Dengan adanya kelemahan tersebut berpotensi terjadinya
perdarahan, syok perdarahan, anemia, prolaps uteri dan abortus.
a. Perdarahan
Kontraksi uterus yang lemah dan jaringan penyangga yang
longgar mengakibatkan perdarahan tidak berhenti.Fungsi kontraksi
adalah mengontrol perdarahan dengan menyempitkan pembuluh darah
atau vasokonstriksi. Perdarahan yang banyak akan mengakibatkan syok
perdarahan.
a) Perdarahan antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi
setelah kehamilan 28 minggu.Biasanya lebih banyak dan lebih
berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28
minggu.Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya
bersumber pada kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak
bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks
biasanya tidak seberapa bahaya.

42
b. Perdarahan postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan atau hilangnya
darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan
dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta.
Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah
perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian :
1. Perdarahan postpartum primer (early postpartum
hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir.
Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah
atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta dan lasrasi jalan
lahir.

2. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum


hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu
setelah anak lahir. Penyebab utama perdarahan postpartum
sekunder adalah sisa plasenta dan laserasi jalan lahir.
a) Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus
gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin
keluar dari rahim.Perdarahan postpartum secara
fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat
myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan
plasenta.Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak
dapat berkontraksi.Pada perdarahan karena atonia uteri,
uterus membesar dan lembek pada palpusi.Atonia uteri
juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya
kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang

43
sebenarnya bukan terlepas dari uterus.Atonia uteri
merupakan penyebab utama perdarahan
postpartum.Disamping menyebabkan kematian,
perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan
infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang.
Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma
Sheehan “ sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars
anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut
dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia,
turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia,
penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan
metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi laktasi.
Pada wanita grande multipara cenderung
mempunyai komplikasi pada kehamilan maupun
persalinan. Karena uterus yang terlalu sering meregang
dan terjadinya gangguan pada plasenta yang akan
mengakibatkan gangguan sirkulasi pada janin sehingga
pertumbuhan terhambat. Berdasarkan Manuaba, 2008
bahwa kejadian perdarahan postpartum sering terjadi
pada ibu dengan grande multipara.
Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian
perdarahan postpartum karena pada setiap kehamilan
dan persalinan terjadi perubahan serabut otot pada uterus
yang dapat menurunkan kemampuan uterus untuk
berkontraksi sehingga sulit untuk melakukan penekanan
pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah
lepasnya plasenta.resiko terjadinya akan meningkat
setelah persalinan ketiga atau lebih atau grande

44
multipara yang mengakibatkan terjadinya perdarahan
postpartum

b). Tissue
- Retensio plasenta

- Sisa plasenta

- Plasenta acreta dan variasinya.


Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan
plasenta ( plasenta adhesiva )
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh
sebab vilis komalis menembus desidva sampai
miometrium – sampai dibawah peritoneum (
plasenta akreta – perkreta

2.6 Seksio Sesarea

2.6.1 Definisi
Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan
buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan
dinding rahim dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas
500 gram. Sementara menurut (Bobak et al, 2004) Sectio Caesarea merupakan
kelahiran bayi melalui insisi trans abdominal. Menurut (Mochtar, 1998) Sectio
Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada
dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau Sectio
Caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Sectio
Caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus.8

45
2.6.2 Indikasi
Menurut Kasdu (2003) Indikasi pemberian tindakan Sectio Caesarea antara
lain:5
1. Faktor janin
a. Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan
bayi sulit keluar dari jalan lahir, umumnya pertumbuhan janin yang
berlebihan (macrosomia) karena ibu menderita kencing manis (diabetes
mellitus). Apabila dibiarkan terlalu lama di jalan lahir dapat membahayakan
keselamatan janinnya.5
b. Kelainan letak janin
Ada 2 kelainan letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang dan letak
lintang.Letak sungsang yaitu letak memanjang dengan kelainan dalam
polaritas.Panggul janin merupakan kutub bawah.Sedangkan letak lintang
terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak lurus dengan
sumbu memanjang janin.Oleh karena seringkali bahu terletak diatas PAP
(Pintu Atas Panggul), malposisi ini disebut juga prensentasi bahu.

c. Ancaman gawat janin (fetal disstres)


Keadaan janin yang gawat pada tahap persalinan, memungkinkan untuk
segera dilakukannya operasi.Apabila ditambah dengan kondisi ibu yang
kurang menguntungkan.Janin pada saat belum lahir mendapat oksigen (O2)
dari ibunya melalui ari-ari dan tali pusat. Apabila terjadi gangguan pada ari-
ari (akibat ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang rahim), serta pada
tali pusat (akibat tali pusat terjepit antara tubuh bayi), maka suplai oksigen
(O2) yang disalurkan ke bayi akan berkurang pula. Akibatnya janin akan
tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini dapat menyebabkan janin
mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim.

46
Apabila proses persalinan sulit dilakukan melalui vagina maka
bedah casarea merupakan jalan keluar satu-satunya.

d. Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, kerusakan genetik, dan hidrosepalus (kepala
besar karena otak berisi cairan), dapat menyababkan memutuskan dilakukan
tindakan operasi.

e. Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang dapat menyebabkan keadaan
gawat darurat pada ibu atau janin sehingga harus dilakukan persalinan
dengan operasi yaitu Plasenta previa(plasenta menutupi jalan lahir), Solutio
Plasenta (plasenta lepas), Plasenta accrete (plasenta menempel kuat pada
dinding uterus), Vasa previa (kelainan perkembangan plasenta).

f. Kelainan tali pusat


Berikut ini ada dua kelainan tali pusat yang biasa terjadi
yaitu prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung), dan terlilit tali
pusat. Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) adalah keadaan
penyembuhan sebagian atau seluruh tali pusat berada di depan atau di
samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir
sebelum bayi. Dalam hal ini, persalinan harus segera dilakukan sebelum
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada bayi, misalnya sesak nafas karena
kekurangan oksigen (O2).Terlilit tali pusat atau terpelintir menyebabkan
aliran oksigen dan nutrisi ke janin tidak lancar. Jadi, posisi janin tidak dapat
masuk ke jalan lahir, sehingga mengganggu persalinan maka kemungkinan
dokter akan mengambil keputusan untuk melahirkan bayi melalui
tindakan Sectio Caesaerea.

g. Bayi kembar (multiple pregnancy)

47
Tidak selamanya bayi kembar dilakukan secara Caesarea. Kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada
kelahiran satu bayi.Bayi kembar dapat mengalami sungsang atau salah letak
lintang sehingga sulit untuk dilahirkan melalui persalinan alami.Hal ini
diakibatkan, janin kembar dan cairan ketuban yang berlebihan membuat
janin mengalami kelainan letak.Oleh karena itu, pada kelahiran kembar
dianjurkan dilahirkan di rumah sakit karena kemungkinan sewaktu-waktu
dapat dilakukan tindakan operasi tanpadirencanakan.Meskipun dalam
keadaan tertentu, bisa saja bayi kembar lahir secara alami.Faktor ibu
menyebabkan ibu dilakukannya tindaka operasi, misalnya panggul sempit
atau abnormal, disfungsi kontraksi rahim, riwayat kematian pre-natal,
pernah mengalami trauma persalinan dan tindakan sterilisasi. Berikut ini,
faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilahirkan dengan operasi.5

2. Faktor Ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada usia sekitar 35 tahun
memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi perempuan dengan usia
40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang
beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis
(diabetes melitus) dan pre- eklamsia (kejang). Eklamsia (keracunan
kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga seringkali
menyebabkan dokter memutuskan persalinan dengan operasi caesarea.
b. Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin dan dapat menyebabkan
ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Kondisi tersebut membuat bayi
susah keluar melalui jalan lahir.

c. Persalinan sebelumnya Caesar

48
Persalinan melalui bedah Caesarea tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.

d. Faktor hambatan panggul


Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya adanya tumor dan
kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu
sulit.bemafas.Gangguan jalan lahir ini bisa terjadi karena adanya mioma
atau tumor.Keadan ini menyebabkan persalinan terhambat atau macet,
yang biasa disebut distosia.

e. Kelainan kontraksi Rahim


Jika kontraksi lahir lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine
action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar
pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong atau
tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar. Apabila keadaan tidak
memungkinkan, maka dokter biasanya akan melakukan operasi Caesarea.

f. Ketuban pecah dini


Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan
bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini akan membuat air ketuban
merembes keluar sehingga tinggal sedikit atau habis.

g. Rasa takut kehilangan


Pada umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di
pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat. Kondisi tersebut sering
menyebabkan seorang perempuan yang akan melahirkan merasa
ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Sehingga untuk

49
menghilangkan perasaan tersebut seorang perempuan akan berfikir
melahirkan melalui Caesarea

2.7Terapi Cairan
2.7.1. Asupan dan kehilangan cairan dan elektrolit pada keadaan normal
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat
berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau
pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus
gastrointestinal.Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-
rata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun
makanan padat dengan kehilangan cairan ratarata 250 ml dari feses, 800-
1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari
metabolisme oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar
250-300 ml per hari, cairan yang diminum setiap hari sekitar 1100-1400
ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari,
sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml
tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk
pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam pada
rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada
keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat
celcius pada suhu tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang
banyaknya tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan),
paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus
gastointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6 L
tiap hari jika terdapat penyakit di traktus gastrointestinal), third-space
loses.

50
2.7.2. Dasar-Dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi
pegangan pemberian cairan perioperatif, yaitu :
1. Kebutuhan Normal Cairan Dan Elektrolit Harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari
dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+=
1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan
yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal,
keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat
hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit Cairan Dan Elektrolit Pra Bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama
pada penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan
abnormal yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan,
muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita
dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss
akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya
kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum
dilakukan pembedahan.
3. Kehilangan Cairan Saat Pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
 Botol penampung darah yang disambung dengan pipa
penghisap darah (suction pump).
 Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan
setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm)
mengandung 10 ml darah, sedangkan tampon besar
(laparatomy pads) dapat menyerap darah 100 ml.

51
Dalam praktek jumlah perdarahan selama pembedahan hanya
bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman
banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang
dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
berulang- ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit
daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan
bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas
(irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup,
meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan Cairan Lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan
yang lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat
adanya evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan
cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada
pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama.
Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah
perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat
berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang
mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke
ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah
cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat.
Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara
membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan
dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan
fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
4. Gangguan Fungsi Ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:

52
 Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate)
menurun.
 Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kadar aldosteron.
 Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan
terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes
(collecting tubules) meningkat.
 Ginjal tidak mampu mengekskresikan ³free water´ atau untuk
menghasilkan urin Hipotonis
2.7.3. Penatalaksanaan Terapi
1. Cairan Pra Bedah
Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya
induksi anestesi untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler
dekompensasi akut. Penilaian status cairan ini didapat dari :
 Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus.
Kencing terakhir, jumlah dan warnya.
 Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda
obyektif dari status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan,
kulit, abdomen, mata dan mukosa.
 Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit,
hemoglobin dan protein.

Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang


terjadi.
 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi
biasanya meningkat sedikit, belum ada gangguan cairan dan
komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini terjadi jika
kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).
 Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi
cepat dan lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.

53
 Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock
cardiosirkulasi, terjadi pada kehilangan cairan 7-15 % BB.
Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya
menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan,
pada dewasa 2 ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk
berat badan lebih dari 20 kg. Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I,
ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan ditambah 1 ml/kg untuk berat
badan sisanya. Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan
kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi
urine 0,5-1 ml/kgBB.
2. Cairan Selama Pembedahan
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan
penggantian sisa defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang
selama operasi. Berdasarkan beratnya trauma pembedahan dikenal
pemberian cairan pada trauma ringan, sedang dan berat. Pada
pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam
untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti
akibat trauma pembedahan. Cairan pengganti akibat trauma
pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma pembedahan
berat 8 ml/kg BB/jam.
Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk
trauma pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam
dan berat 6 ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur
pembedahan dan perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah
perdarahan yang terjadi selama pembedahan sering mengalami
kesulitan., dikarenakan adanya perdarahan yang sulit
diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa,
kain operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan

54
untuk memperkirakan jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah
darah di dalam botol suction ditambah perkiraan jumlah darah di kain
kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 – 150
ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum
dan setelah dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml
darah. Perkiraan jumlah perdarahan dapat juga diukur dengan
pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara serial.
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat
diberikan kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena
anemia. Pada keadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan
transfusi sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi
hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl
atau Hct 21 – 30%. 20 – 25% pada individu sehat atau anemia kronis.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah
berdasarkan nilai hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur
95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa
laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.
Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai
penggantian cairan akibat perdarahan adalah sebagai berikut :
Berdasar berat-ringannya perdarahan :
 Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%,
cukup diganti dengan cairan elektrolit.
 Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%,
dapat diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
 Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus
diganti dengan transfusi darah.

55
Klasifikasi Shok Akibat Perdarahan :

3. Cairan Paska Bedah


Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
 Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
 Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan
lambung, febris).
 Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama
pembedahan.
 Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu
kalori, protein dan lemak termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit,

56
vitamin dan trace element. Pemberian kalori sampai 40 – 50 Kcal/kg
dengan protein 0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting, karena
pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali
akan kehilangan protein 75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia
menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka operasi,
terjadi penurunan enzym pencernaan yang menyulitkan proses
realimentasi.
2.7.4. Macam-macam Cairan yang Dapat Digunakan dalam Terapi Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES
= CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia
dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali
cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan
koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh
cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul
edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi
jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1
liter NaCl 0,9%. Penelitian lain menunjukkan pemberian sejumlah
cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat.
Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat

57
merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir
menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam

cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi


bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah
NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma substitute´ atau plasma expander´. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara
cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu

58
mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan
dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin
manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma
atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus
hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan
beta globulin.Prekallikrein activators (Hageman’s factor
fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma
dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi
dan kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid Sintesis yaitu:


 Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul
40.000 dan Dextran 70(Macrodex) dengan berat molekul
60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostocmesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran
40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah
lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat
mengurangiplatelet adhesiveness, menekan aktivitas
faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan
aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20

59
ml/kgBB/hari dapat mengganggucro match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang
dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1
(Promit) terlebih dahulu.
 Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul
10.000 ± 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310
mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian
500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan
46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan
kadar serum amilase ( walau jarang).Low molecullar
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta
starch, mampu mengembangkan volumeplasma hingga
1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama
12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan
tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.
 Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte
dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari
hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- Modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin ,merupakan plasma expanders dan
banyak digunakan pada penderita gawat. Walaupun

60
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang)
terutama dari golonganurea linked gelatin

2.7.5. Transfusi
Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume,
kecepatan, dan lama perdarahan. Keadaan pasien sebelum perdarahan
akan berpengaruh pada respon yang diberikan. Pada orang dewasa sehat,
perdarahan 10% jumlah volume darah tidak menyebabkan perubahan
tanda-tanda fisiknya. Frekuensi nadi, tekanan darah, sirkulasi perifer dan
tekanan vena sentral tidak berubah. Reseptor dalam jantung akan
mendeteksi penurunan volume ini dan menyebabkan pusat vasomotor
menstimulasi sistem saraf simpatik yang selanjutnya menyebabkan
vasokonstriksi.
Penurunan tekanan darah pada ujung arteri kapiler menyebabkan
perpindahan cairan ke dalam ruang interstitial berkurang. Penurunan
perfusi ginjal menyebabkan retensi air dan ion Na+. Hal ini menyebabkan
volume darah kembali normal dalam 12 jam. Kadar protein plasma cepat
menjadi normal dalam waktu 2 minggu, kemudan akan terjadi
hemopoesis ekstra yang menghasilkan eritrosit. Proses kompensasi ini
sangat efektif sampai perdarahan sebanyak 30%.
Pada perdarahan yang terjadi di bawah 50% atau hematokrit masih di
atas 20%, darah yang hilang masih dapat diganti dengan cairan koloid
atau kombinasi koloid dengan kristaloid yang komposisinya sama dengan
darah yaitu Ringer Laktat. Namun bila kehilangan darah > 50%, biasanya
diperlukan transfusi. Untuk mengganti darah yang hilang dapat
digunakan rumus dasar transfusi darah, yaitu:
V = (Hb target – Hb inisial) x 80% x BB
1. Transfusi sel darah merah
Indikasi transfusi sel darah merah
 Kehilangan darah yang akut

61
Jika darah hilang karena trauma atau pembedahan, maka baik
penggantian sel darah merah maupun volume darah dibutuhkan.
Jika lebih dari separuh volume darah hlang, maka darah lengkap
harus diberikan; jika kurang dari separuh, maka konsentrat sel
darah merah atau plasma expander yang diberikan.
 Transfusi darah prabedah
 Anemia defisiensi besi
Penderita defisiensi besi tidak dapat ditransfusikan, kecuali
memang dibutuhkan untuk pembedahan segera atau yang gagal
berespon terhadap pengobatan pada dosis terapeutik penuh besi
per oral.
 Anemia yang berkaitan dengan kelainan menahun
 Gagal ginjal
Anemia berat yang berkaitan dengan gagal ginjal seharusnya
diobati dengan transfusi sel darah merah maupun dengan
eritropoetin manusia rekombinan.
 Gagal sumsum tulang
Penderita gagal sumsum tulang karena leukimia, pengobatan
sitotoksik, atau infiltrasi keganasan akan membutuhkan bukan
saja sel darah merah, namun juga komponen darah yang lain.
 Penderita yang tergantung trasnfusi
Penderita sindrom talasemia berat, anemia aplastik, dan anemia
sideroblastik membutuhkan transfusi secara teratur setiap empat
sampai enam minggu, sehingga mereka mampu menjalani
kehidupan yang normal.
 Penderita sel bulan sabit
Beberapa penderita penyakit ini membutuhkan trasnfusi secara
teratur, terutama setelah stoke, karena “sindrom dada” berulang
yang mengancam jiwa, dan selama kehamilan.
 Penyakit hemolitik neonatus

62
Penyakit hemolitik neonatus juga dapat menjadi indikasi untuk
transfusi pengganti, jika neonatus mengalami hiperbilirubinemia
berat atau anemia.

Masalah yang berkaitan dengan transfusi sel darah merah::


a. Masalah Mendesak
 Beban sirkulasi teradi jika darah ditransfusikan terlalu cepat
sehingga redistribusi cairan pengganti cepat terjadi, atau jika
terjadi gangguan fungsi jantung. Tekanan vena sentral meningkat,
dan pada kasus berat terjadi gagal ventrikel kiri
 Kebocoran kalium ke luar sel darah merah selama penyimpanan.
Hiperkalemia ini dieksaserbasikan karena penyimpanan darah
terlalu lama pada suhu kamar
 Transfusi masif dapat menyebabkan hipotermia, toksisitas sitrat,
beban asam, dan penyusutan trombosit serta faktor koagulasi
 Reaksi hemolitik dapat menyebabkan demam, takikardi, kesulitan
tidur, nyeri selangkang, rigor, muntah, diare, nyeri kepala,
hipotensi, syok, dan akhirnya gagal ginjal akut serta perdarahan
akibat DIC
 Raksi non-hemolitik dapat menyebabkan urtikaria, demam dan
reaksi anafilaktik berat, walaupun jarang terjadi
b. Masalah Jangka Menengah
 Flebitis lokal dapat terjadi jika kanula plastik ditinggalkan pada
tempat yang sama terlalu lama. Kadang-kadang terjadi infeksi
oleh stafilokokus atau corinebacterium
 Hipertensi dan/atau sindrom kejang kadang-kadang ditemukan
pada thalasemia mayor yang menerima transfusipenderita sel
sabit dan teratur
 Infeksi dapat ditularkan melalui transfusi

63
c. Masalah jangka panjang
Beban besi. Setiap unit darah mengandung 250 mg besi yang
tak dapat diekskresikan tubuh. Transfusi teratur yang sering dapat
menyebabkan tertimbunnya besi dalam tubuh sehingga terjadi
pigmentasi, hambatan pertumbuhan pada orang muda, sirosis
hepatik, diabetes, hipoparatiroid, gagal jantung, aritmia, dan
akhirnya kematian. Pengobatan dengan khelasi besi harus
dipertimbangkan pada penderita ini sebelum terjadi kerusakan organ
yang serius.
2. Transfusi Trombosit dan Granulosit
Transfusi trombosit dan granulosit diperlukan bagi penderita
trombositopenia yang mengancam jiwa dan netropenia yang
disebabkan karena kegagalan sumsum tulang. Keadaan ini mungkin
akibat langsung dari penyakit penderita, misalnya leukimia akut,
anemia aplastika, atau transplantasi sumsum tulang.
Indikasi transfusi trombosit:
 Gagal sumsum tulang yangdisebabkan oleh penyakit atau
pengobatan mielotoksik
 Kelainan fungsi trombosit
 Trombositopenia akibat pengenceran
 Pintas kardiopulmoner
 Purpura trombositopenia autoimun

64
2.8.6. Sifat-Sifat Plasma Substitute yang Ideal
Perbandingan Plasma Substitusi:

Kriteria Whole blood Larutan Albumin Dekstran HES 6% Haemaccel


elektrolit 20% 40+10
pH 7,3 – 7,4 5,5 – 6,5 6,47 – 7,2 4,5 – 5,7 5,0 – 7,0 7,0 – 7,6
BM rata-rata - - 66.000 40.000 200.000/ 35.000
450.000
Tekanan Fisiologis Non- Iso- Hiper- Hiper- Iso-osmotik
osmotic osmotik osmotik osmotik osmotik
Keseimbangan Terpelihara Resiko Perbaikan Dehidrasi Dehidrasi Perbaikan
cairan edema
intravaskuler-
interstitial
Waktu paruh Beberapa hari- Beberapa Beberapa 6-8 jam 12 jam 4-6 jam
efektif minggu menit hari
Gangguan Biasanya tidak Tidak Tidak Pseudoaglu Tidak Tidak
pada blood tinasi
typing
Gangguan Ada Hanya Hanya Menurunkan Menurunkan Hanya
pada kemungkinan pengence- pengence- fungsi fungsi pengenceran
homeostasis (aktivasi faktor) ran ran trombosit trombosit
dan dan
koagulopati koagulopati
Fungsi ginjal ? Membaik Membaik Mungkin Tidak Membaik
terganggu ditemukan

65
data literatur
Overload Mungkin Tidak Tidak Mungkin Mungkin Tidak
cardiovaskuler mungkin mungkin
Efek samping Anafilaksis/ Edema Reaksi Anafilaksis Anafilaksis Reaksi kulit
yang mungkin inkompatibilitas pulmonal kutis, yang perlu atau reaksi lokal,
demam, premedikasi anafilaksis hipotensi
hipotensi sementara
sementara
Transmisi Resiko infeksi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
penyakit virus seperti
HIV, HBV,
HCV
Waktu 21 hari 3 tahun 3-5 tahun 5 tahun 3 tahun 5 tahun
penyimpanan
Suhu 4-60C Suhu 2-250C 0
C Suhu Suhu
penyimpanan ruangan ruangan ruangan
Akumulasi Tidak Tidak Tidak Beberapa Beberapa Tidak
pada RES minggu bulan

Sifat-sifat plasma substitute yang ideal adalah:


 pH, tekanan onkotik dan viskositas sebanding dengan plasma
darah
 Efek volume yang cukup untuk periode waktu tertentu tanpa resiko
overload pada sistem cardiovaskuler atau terjadinya edema
 Meningkatkan mikrosirkulasi dan memperbaiki diuresis
 Tidak mengganggu homeostasis
 Tidak mengganggu blood grouping dan cross matching
 Akumulasi minimal pada sistem retikuloendotelial
 Lama penyimpanan produk panjang

66
 Ekonomis

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R,B
Umur : 26 tahun
Tempat Tanggal Lahir : Jayapura, 22-05-1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jayapura
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status marital : Menikah
Tinggi Badan : 164 cm
Berat Badan : 103 kg
Tanggal MRS : 21 Desember 2018
Tanggal Operasi : 22 Desember 2018 (12.00)
Nomor Rekam Medik : 30 15 59

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


1) Keluhan Utama
Pasien datang rujukan dokter Sp.OG untuk SC atas indikasi SC ai. Placenta
Previa dan BSC 2x
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G3P2A0 hamil aterm datang ke IGD Bersalin RSUD Dok II Jayapura
pukul 21.10 WIT dengan rujukan dari dokter Sp.OG untuk dilakukan SC
atas indikasi placenta previa dan BSC 2x. Pasien mengaku merasakan
mules-mules pada perut, keluar air-air (+) dari jalan lahir, keluar lendir darah
dari jalan lahir (+). Keputihan selama kehamilan (-), banyak (-), bau (-).
HPHT: tidak tahu,.Gerak janin dirasakan aktif. ANC: 2x

67
3) Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
(Asma, TBC, URI)
- Riwayat operasi sebelumnya : BSC 2 kali
- Riwayat Anestesi : SAB 2 kali

4) Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi :disangkal

5) Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

6) Riwayat Kebiasaan
Merokok (-) alkohol (-)

7) Riwayat Obstetri
1. Riwayat Kehamilan G9P8A0
No. Jenis Persalinan Penolong BB Jenis Kelamin Usia Hidup/Mati
1. SC ai KPD Dokter 2700 Perempuan 9 tahun Hidup
2. SC ai BSC Dokter 3200 Perempuan 3 tahun Hidup
3 Hamil ini - - - - -

68
2. Riwayat Pernikahan
Usia Pernikahan: 3 tahun
Belum menikah sah

3. Riwayat Menstruasi
Menarche: lupa
Siklus Haid: teratur 28 hari
Gejala penyerta: Dismenore (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik


1) Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 164 cm
Berat Badan : 103 kg
IMT : 31.402 kg/m2
Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 87x/menit
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36,5oC

● Kepala
● Mata : Conjungtiva Anemis (+/+); Sklera Ikterik (-/-)
Sekret (-/-) Pupil isokor 3 mm dextra = sinistra
● Mulut : Oral Candidiasis (-) ;Faring tidak hiperemis;
Tonsil (T1 = T1) ; Gigi Geligi: Caries dentis (-)
● Leher : Pembesaran KGB (-/-)

69
● Toraks
● Paru
Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas,
Retraksi interkostalis (-)
Palpasi : Taktil fremitus (Dextra = Sinistra) ;Vocal
fremitus (Dextra = Sinistra)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Sn. Vesikuler (+/+)Rhonki (-/-) ; Wheezing (-/-
)Pleural friction rub (-/-)
● Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat; Thrill (-)
Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline
Clavicula sinistra
Perkusi : Pekak (Batas jantung dalam batas normal)
Auskultasi : BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)

d. Abdomen
Inspeksi : Cembung, Supel, Jejas (-), Skar (+)
Palpasi : : nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+) Normal

e. Ekstremitas : Akral hangat, kering, Pucat. capillary refill


time<3 detik
Edema : ekstremitas bawah (-/-). Fraktur (-)
2) Status Obstetri
TFU : 3o cm
LA : memanjang, kepala, kepala
DJJ : 155x/ menit
HIS :-

70
TBBJ : 2,635gr
VT :-
Pembukaan : -cm
Ketuban : (+)
Stasiun : tidak dapat dinilai

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Hasil Uji Hematologi Rutin (21 Desember 2018)
No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

1 Eritrosit 3.90 juta/ul 3,69 – 5,46 juta/ul


2 Leukosit 11.89 ribu/ul 3,37 – 8,38 ribu/ul
3 Hemoglobin 7.3 g/dl 11,0 – 14,7 g/dl
4 Hematokrit 25.1 % 35,2 – 46,7%
5 Trombosit 269 ribu/ul 172 – 378 ribu/ul

b. Hasil Pemeriksaan PT APTT (28 Juli 2018)


No Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
1 PT 9.9 10.2 – 12.1
2 APTT 33.1 24.8 – 34.4

3.5 Konsultasi Terkait


Konsultasi Bagian Anastesi, advice:
- Informed Consent dan SIO
- Puasa 8 jam pre operasi
- Pasang IVFD RL 20 tpm makro
- Siap WB 2 bag
3.6 Penentuan PS ASA
PS ASA : II

71
Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai sedang selain penyakit
yang akan dioperasi. Comorbid: Obstetri (placenta previa dan BSC 2x), anemia
3.7 Persiapan Anestesi
Hari/Tanggal Sabtu, 24 November 2018
Persiapan Informed Consent (+), SIO (+), Puasa (+)
Operasi
Makan/ Minum 17 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/TB 103kg/ 164 cm
TTV Ruang Tekanan Darah: 110/80; Nadi: 87x/menit regular, kuat angkat,
Operasi terisi penuh; respirasi: 22x/menit
SpO2 99 %
Diagnosa Pra G3P2A0 Hamil Aterm Janin Tunggal Presentasi Kepala + BSC
Bedah 2x + Placenta Previa + Anemia
B1 Airway: bebas, Malampati score II, gigi goyah (-)
Breathing : thoraks simetris, ikut gerak napas, RR: 24 x/m,
perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, merah, Capilary Refill Time< 3 detik
Cor: BJ I-II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
TD 110/70mmHg ; Nadi 88x/menit
B3 Kesadaran Compos Mentis, Riwayat kejang (-), riwayat pingsan
(-)
B4 Produksi urine dipantau melalui kateter , produksi (+), warna
kuning jernih
B5 Perut cembung sesuai usia kehamilan, peristaltik usus (+),
hepar/lien sukar dievaluasi , BAB (+), mual (-), muntah (-)
B6 Edema ekstremitas bawah (+/+)
fraktur (-)

3.8 Laporan Durante Operasi

72
Ahli Anestesiologi dr. Diah, Sp.An, KIC
Ahli Bedah dr. Suhartono, Sp.OG (K)
Jenis Pembedahan Sectio Caesarea
Lama operasi 12.20 - 12.45 WIT
Jenis Anastesi Anastesi Regional- Anastesi Blok
Subarachnoid
Anastesi dengan Bupivakain HCl 0,5% 10 mg
Teknik Anastesi Pasien duduk tegak di meja operasi dan
kepala menunduk, dilakukan disinfeksi di
daerah lumbal dengan betadine lalu alcohol,
identifikasi vertebra lumbal 3-4, kemudian
dilakukan blok subarachnoid (injeksi
bupivakain HCl 0,5% 10mg), kemudian
pasien dibaringkan.
Pernafasan Spontan respirasi dengan O2 nasal 2-3 liter
per menit
Posisi Supine
Infus Tangan kanan terpasang IV line abocath 18
G dengan cairan Ringer Lactat
Penyulit selama pembedahan (-)
Obat yang digunakan
Premedikasi (-)
Induksi dan Maintanance Bupivakain Hcl 0,5%
Medikasi Durante Operasi - Efedrin 10mg
- Oxytocin 10 IU
-Methergin 0.2
- Ranitidine 50 mg
- Ondancentron 4 mg
- Antrain 1gr

Keadaan akhir pembedahan TD 121/74; Nadi 74x/m; RR: 20x/menit;


SpO2: 100%

73
Diagram Observasi Vital Sign Ny. E.W. (28th)
160

140 137 137 138 135 136


130 132 136 134 136
120 123 120

100 101
90
80 80 79 80 79 83 81
79 80 82 79
76 75 78 78
71 68 70 71 68 72
67 64
60
51
40

20

Sistol Diastol Nadi


Waktu (Time)

3.9 Terapi Cairan


Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 Output : Urine : 200 cc
jam IWL : 15x bb cc
103 kg x40-50cc = 4120-5150 cc/24jam : 15 x 103 kg
Kebutuhan cairan/jam: 171-214 cc : 1545 cc

2. Replacement
Input : Nacl 500 cc
Puasa 8 jam
PRC 250 cc
8 jam x kebutuhan cairan/jam
RL 500 cc
8 x 171 -214cc/jam = 1368 cc – 1712 cc
Pengganti puasa 10 jam: 1368cc -1712cc

74
DURANTE OPERASI Aktual
Kebutuhan cairan selama operasi 30 menit
1. Replacement Total Input :1000 cc
RL 500 cc
EBV = 65 cc x BB = 65 x 103 kg = 6695cc Gelofusal 500 cc
EBL= 10% x 6695= 669.5cc
20% x 6695= 1339 cc Total Output : 100 cc
30% x 6695=2008.5 Urin: 100cc (terpasang DC)
Total perdarahan= 450 cc Total Perdarahan = 450 cc
Perdarahan <10% Kassa : 12 x 10cc = 120 cc
Suction : 300 cc
2. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah: Lokasi : 30 cc
BB x jenis operasi(sedang) =
6ccx 103kg= 618cc/ jam
Lama operasi: 25 menit
Kebutuhan cairan: 309cc

Perdarahan 450 cc digantikan oleh gelofusal


500cc
Kebutuhan cairan selama op 25’ sebanyak 309
cc dapat diberikan kristaloid (ringer laktat)

POST OPERASI
Kebutuhan Cairan Harian:
40-50cc/kgBB/24jam

40-50cc x 103kg= 4120-5150 cc/24jam

3.10 Instruksi Post Operatif


- IVFD RL 500cc + oxytocin 20 IU/12 jam
- PRC 250 cc
- Ranitidine 2 x 50 mg Inj
- Ondancentron 2 x 8 mg
- Anthrain 3 x 1 gr

75
3.11 Follow Up Post Operatif
Ha Tanggal Follow Up

22-12-18 S : Nyeri bekas operasi (+)


O: KU : Tampak sakit ringan . Kes : CM
TD : 110/70 mmHg N: 81x/m R: 20x/m , SB : 36ºC
A: P3A0 post SC a/i Plasenta Previa, BSC 2x, Anemia
P: -IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxone 2 gr / 24 jam (IV)
- Injeksi Metronidazole 500 mg / 8 jam (IV)
- Injeksi ranitidin 1 ampul / 8 jam (IV)
- Inj. Ketorolac/ 8 jam
- Vit C 1 x1 tab
- Duduk dan bila mobilisasi baik aff cateter
- Cek Hb post transfusi
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, pucat, anemis (+), CRT<2”, TD:110/70 mmHg,
Nadi 81x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya
(+/+)
B4 : BAK spontan
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak
Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-), Fundus uteri 2 jari di
bawah pusat
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)
23-12-2018 S : Nyeri bekas operasi (+)
O: KU : baik . Kes : CM
TD : 100/70 mmHg N: 80x/m R: 20x/m , SB : 37,0ºC
Hb post transfusi: 6.9gr/dl
A: P3A0 post SC a/i Placenta Previa, BSC 2x, Anemia
P: - obs TTV, tanda-tanda perdarahan
- Transfusi PRC 2 Kolf

76
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, pucat, anemis (+), CRT<2”, TD:100/70 mmHg,
Nadi 80x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya
(+/+)
B4 : BAK spontan
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak
Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-), Fundus uteri 2 jari di bawah
pusat
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)
24/12/2018 S : Nyeri bekas operasi (+)
O: KU : baik . Kes : CM
TD : 110/70 mmHg N: 83x/m R: 19x/m , SB : 36,8ºC
A: P3A0 post SC a/i Placenta Previa, BSC 2x, Anemia
P: - obs TTV, tanda-tanda perdarahan
- Cek DL
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, pucat, anemis (+), CRT<2”, TD:110/70 mmHg,
Nadi 83x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya
(+/+)
B4 : BAK spontan
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak
Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-), Fundus uteri 2 jari di bawah
pusat
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)
25-11-2018 S : Nyeri bekas operasi (+)
O: KU : baik . Kes : CM
TD : 110/70 mmHg N: 78x/m R: 20x/m , SB : 37,2ºC

77
Hb post transfusi: 9.6 gr/dl
A: P3A0 post SC a/i Placenta Previa, BSC 2x, Anemia
P: - obs TTV, tanda-tanda perdarahan
- BPL
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, pucat, anemis (+), CRT<2”, TD:110/70 mmHg,
Nadi 78x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya
(+/+)
B4 : BAK spontan
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak
Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-), Fundus uteri 2 jari di bawah
pusat
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)

BAB IV
PEMBAHASAN

1. Penentuan PS ASA

Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik yang


dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan

78
anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi pada pasien
tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut.
Teori Kasus
ASA I : pasien penyakit bedah tanpa PS ASA II
disertai penyakit sistemik Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA
ASA II : pasien penyakit bedah disertai II yaitu kehamilan dengan kelainan
dengan penyakit sistemik ringan sampai sistemik ringan. Kondisi kehamilan
sedang cenderung mengalami kelainan sistemik
ASA III : pasien penyakit bedah disertai berupa hipervolemia yang dapat
dengan penyakit sistemik berat yang menyebabkan anemia akibat hemodilusi
disebabkan karena berbagai penyebab dan peningkatan beban kerja jantung
tetapi tidak mengancam nyawa. untuk memenuhi kebutuhan O2 jaringan.
ASA IV : pasien penyakit bedah disertai Pasien pada kasus ini memiliki hasil
dengan penyakit sistemik berat yang laboratorium akhir Hb 9.6 gr% sehingga
secara langsung mengancam digolongkan anemia sedang.
kehidupannya
ASA V : pasien penyakit bedah yang
disertai dengan penyakit sistemik berat
yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam
pasien akan meninggal.

Hasil : Sudah tepat

2. Penentuan jenis anestesi yang dipilih (SAB), kenapa?


Teori Kasus

Pemilihan teknik anestesi pada Pada kasus ini teknik anestesi yang
obstetrik adalah dengan teknik dipakai adalah teknik anestesi regional
anestesi regional. Salah satunya yaitu berupa subarachnoid block (SAB).

79
SAB (subarachnoid block). Blok sub Pertimbangan memilih anestesi tersebut
araknoid yaitu dengan menyuntikan karena mengurangi resiko aspirasi pada
zat analgetika kedalam ruangan ibu, kontak obat anestesi terhadap janin
subaraknoid. Teknik ini, biasanya lebih rendah, resiko perdarahan yang
dipakai untuk bedah obstetric dan minimal akibat tindakan, masa pulih
ginekologi. Untuk mencapainya, sampai mobilisasi ibu lebih cepat. Selain
diberikan 1 – 1,5 ml lidokain 5 % itu general anestesi tidak dipakai pada
atau 2 – 3 ml bupivakain 0,5 % yang kasus ini atas pertimbangan :
hiperbarik. Anestesi spinal dihasilkan Pada ibu : resiko hipoksia, aspirasi lebih
bila kita menyuntikkan obat analgesic tinggi dan resiko trauma jalan nafas atas
lokal ke dalam ruang subarachnoid di akibat intubasi.
daerah antara vertebra L2-L3 atau Pada janin : resiko depresi nafas,
L3- L4 atau L4-L5. hipoksia, asidosis akibat obat anestesi.
Pada uterus : gangguan kontraksi uterus
(subinvolusi), resiko penurunan aliran
darah uteroplasental.

Hasil : Sudah tepat

3. Penentuan Obat Anestesi yang dipilih?


Pada kasus ini, obat anestesi yang dipakai adalah Bupivakain HCl 0,5 % isobarik 12,5
mg. Bupivakain adalah jenis anestesi lokal golongan amida (-NHCO-) yang bekerja
pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel), yang mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi
depolarisasi pada selaput saraf. Hal ini menyebabkan tidak terjadinya konduksi saraf.
Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan Lidokain atau
Mepivakain. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila
dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain
selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah.

80
Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai lama
kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih
besar untuk mengikat protein. Bupivakain memiliki onset yang lambat tidak seperti
Lidikain, namun durasinya panjang ± 8 jam sehingga dipilih sebagai agen induksi
pada kasus ini.

4. Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama
perioperatif

Problem
Actual Potensial Planning
List

B1 Airway: bebas, Pre-operatif


Malampati score II,
gigi goyah (-) 1. Hipoksia 1. pemberian O2 yang adekuat
2. monitor tanda-tanda vital
3. evaluasi tanda klinis depresi
nafas
Breathing : thoraks
simetris, ikut gerak 2. Udem laring 1. pemberian O2 yang adekuat
napas, RR: 21 x/m, 2. monitor tanda-tanda vital
perkusi: sonor, 3. evaluasi tanda klinis depresi
suara napas nafas
vesikuler+/+, Durante Operatif
ronkhi-/-, wheezing
-/- 1. Hipoksia 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
2. Hiperkarbia 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. Depresi nafas 1. Pemberian O2 adekuat dengan
mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
2. Monitoring tanda-tanda vital
3. evaluasi klinis tanda-tanda
depresi nafas
4. evaluasi ketinggian blok anestesi
4. Apneu Persiapan alat resusitasi dan obat-
obat resusitasi

81
5. Cardiac arrest Persiapan alat resusitasi dan obat-
obat resusitasi

Post Operatif
1. Hipoksia 1. Pemberian O2 yang adekuat
2. Monitoring tanda-tanda vital

Problem
Actual Potensial Planning
List

B2 Perfusi: hangat, Pre-operatif


kering, pucat,
Capilary Refill 1. Syok 1. Pemberian cairan pre operatif
Time< 3 detik hipovolemik adekuat
2. Loading cairan preoperasi 500-
Cor: BJ I-II murni, 1000cc
regular, murmur (-
), gallop (-) 2. Hipotensi 1. Posisikan ibu miring ke kiri
(aortocaval 2. Posisi head up
TD 110/70mmHg compression)

Nadi 80x/menit Durante Operatif


1. Hipotensi - Cari penyebab hipotensi
- monitoring tanda-tanda vital

- aortocaval compression:
1. Posisikan ibu miring ke kiri
2. Posisi head up
3. Monitoring tanda-tanda vital

- kurang cairan:
1. Rehidrasi cairan kristaloid

- akibat blok spinal:


1. Pemberian efedrin 5-10mg yang
sudah diencerkan

82
2.Perdarahan 1. Monitoring tanda-tanda vital
sampai syok 2. Menghitung EBV-EBL
hipovolemik 3. Observasi tanda-tanda syok dan
klasifikasi derajat syok
4. Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk
darah (1 x EBL)

Post Operatif
1.Perdarahan post 1. Observasi kontraksi uterus
partum 2. Observasi tanda-tanda
perdarahan pervaginam dan
hentikan perdarahan (hecting)
3. Pemberian Oxytocin setelah
operasi
4. Periksa Hb post operasi , jika Hb
rendah transfusi PRC

Problem
Actual Potensial Planning
List

B3 Kesadaran Compos Durante Operatif


Mentis, Riwayat
kejang (-), riwayat 1. Nyeri Kepala 1. Rehidrasi
pingsan (-) akibat hipotensi 2. pemberian O2 adekuat
3. Pemberian efedrin 5-10mg yang
sudah diencerkan
Post Operatif
1. Nyeri kepala 1. Head up 10-30o
2. O2 adekuat
3. Berikan anti nyeri

83
Problem
Actual Potensial Planning
List

B4 Produksi urine Oliguria - rehidrasi, observasi produksi urin


dipantau melalui - evaluasi tanda-tanda perdarahan
kateter , produksi
(+), warna kuning
pekat

Problem
Actual Potensial Planning
List

B5 Perut cembung Pre Operatif


sesuai usia
kehamilan, Mual, muntah - Pemberian Ranitidin dan
peristaltik usus (+), Ondansentron
hepar/lien sukar
dievaluasi
Durante operatif
BAB (+), mual (-),
muntah (-). Risiko refluks - Pemberian Ranitidin dan
gastroesofageal Ondansentron
saat operasi

84
Post operatif

Kembung Evaluasi:
1. Gastritis: beri obat penghambat
histamin H2 (ranitidine) atau Proton
Pump Inhibitor (omeprazole)
2. peristaltik usus
3. jika perlu pasang NGT dan foto
polos abdomen 3 posisi

Problem
Actual Potensial Planning
List

B6 Akral hangat (+), Posisikan pasien dengan tepat


Edema ekstremitas
bawah (+/+)
fraktur(-)

5. Terapi cairan Peri-operasi


Pasien perempuan usia 26 tahun dengan Berat Badan 103 kg.
Pre-operative

Cairan yang dibutuhkan Aktual

85
PRE OPERASI PRE OPERASI
3. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 Output : Urine : 200 cc
jam IWL : 15x bb cc
103kgx40-50cc = 4120-5150 cc/24jam : 1545 cc
Kebutuhan cairan/jam: 171-214 cc

4. Replacement Input : RL 500cc


Nacl 0.9% 500cc
Puasa 8 jam
PRC 250 cc
8 jam x kebutuhan cairan/jam
8 x 171- 214cc/jam = 1368 cc – 1712 cc
Pengganti puasa 8 jam: 1368cc -1712cc

DURANTE OPERASI Aktual


Kebutuhan cairan selama operasi 25 menit
1. Replacement Total Input :100 cc
RL 500 cc
EBV = 65 cc x BB = 65 x 103 kg = 6695cc Gelofusal 500 cc
EBL= 10% x 6695 = 669.5cc
20% x 6695 = 1339
30% x 6695 = 2008,5 Total Output : 100 cc
Total perdarahan= 450 cc Urin: 100cc (terpasang DC)
Perdarahan <10%
Replacement: Kristaloid (ringer laktat ) Total Perdarahan = 450 cc
= 2-4x EBL Kassa : 12 x 10cc = 120 cc
Suction : 300 cc
=2-4 x 450 Lokasi : 30 cc
= 900 – 1800 RL
Koloid : 2 x EBL = 2 x 450 cc = 900 cc Aktual cairan yang diberikan :

2. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah:Gelofusal 500 cc = 2 x EBL


BB x jenis operasi( sedang ) = EBL = gellafusal 500/2
6ccx 103kg= 618cc/jam EBL = 250 cc
Lama operasi: 25 menit Jadi hanya 250 cc saja yang
Kebutuhan cairan: 309cc tercover oleh gelofusal 500 cc.
dengan sisa perdarahan yang belum
terkover sebanyak 200 cc
Kebutuhan cairan selama op 25’ sebanyak 309 RL = 2-4 x 200 cc
cc dapat diberikan kristaloid (ringer laktat) RL = 400 – 800 cc
Actual :
RL = 500 cc

86
Jadi RL 500 cc dapat mengkover
kehilangan darah 200cc dengan sisa
100 cc RL yang telah menghilang
melalui urin. ( urine DO = 100 cc )

POST OPERASI
Kebutuhan Cairan Harian:
40-50cc/kgBB/24jam

- 40-50cc x 103kg= 4120-5150 cc/24jam


- Natrium: 2-4 mEq x 103 kg=206-412 mEq/hr
- Kalium: 1-3 mEq x 103 kg= 103-309 mEq/hr.
- Kalori: 25 mg/kgBB/hari = 25 x 103 kg = 2575

Setelah operasi, pasien di observasi di ruang pemulihan dan dipindahkan ke


ruang perawatan kebidahan. Aktualnya pasien sudah diperbolehkan makan sedikit-
sedikit 6 jam post operasi, sehingga kebutuhan cairan dan kalori dapat terpenuhi
bukan hanya dari cairan infuse tetapi juga melalui konsumsi per oral, sehingga selain

87
kalori, kebutuhan elektrolit juga dapat terpenuhi. Untuk Hb Post Op + Post transfusi 2
kolf yaitu 6.9 g/dL dan direncanakan kembali untuk transfusi PRC 2 kolf dan post
transfusi ke 2 Hb pasien naik menjaadi 9.6 g/dL.

BAB V

PENUTUP

88
5.1 Kesimpulan
1. Penentuan PS ASA pada kasus ini sudah tepat dengan mempertimbangkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan.
2. Penentuan jenis anestesi pada kasus ini sudah tepat karena
mempertimbangkan faktor resiko ibu dan keselamatan pada janin.
3. Penentuan obat anestesi pada kasus ini sudah tepat, karena
mempertimbangkan waktu penggunaannya yang panjang.
4. Critical Point pada kasus ini adalah hipoventilasi, hipotensi, anemia,
hipervolemia, perdarahan, peningkatan TIK, sakit kepala, retensi urin, nausea
dan muntah.
5. Terapi cairan perioperative, durante operative pada kasus ini belum tepat,
sehingga diperlukan pengaturan terapi cairan yang lebih baik lagi.

5.2 Saran
- Pada penggunaan teknik anestesi blok subaraknoid, seharusnya perlu
diperhatikan kebutuhan dan kecukupan hidrasi sebelum tindakan guna
mengurangi resiko hipotensi.
- Perhatikan tanda-tanda vital pasien ketika diberikan obat-obat anestesi,
sehingga apabila terjadi ketidakstabilan maka bisa cegera diperbaiki.

DAFTAR PUSTAKA

89
1. Basuki, Gunawarman. 2000. Anestesiologi. Anestesia Obstetri. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Latief, A. Said dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Longdong, Jeffry F. dkk. Perbandingan efektivitas anestesi spinal menggunakan
bupivakain isobarik dengan bupivakain hiperbarik pada pasien yang menjalani
operasi abdomen bagian bawah.Jurnal Anestesi Perioperatif 2013 : 70.
4. Soenarto, Ratna F. dan Susilo Chandra. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.
FKUI/RSCM : Jakarta.
5. Winkjosastro H. 1999. Ilmu kebidanan Edisi III. cetakan lima. Yayasan Bima
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Balai penerbit FK UI : Jakarta.
6. Wirjoatmodjo, karjadi. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar untuk
pendidikan S1 Kedokteran. Anestesi pada ibu hamil. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
7. Sulin, Djuasar.Perubahan Anatomi dan Fisiologi Pada Perempuan Hamil. Buku
Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisi IV. Jakarta : Bina Pustaka. 2010.
Hal 174-179.
8. Heazell A. and Clift J. 2008. Obstetrics For Anaesthetists. Cambridge University

Press. Cambridge


9. Cunningham, Gary F., et al, 2010, Williams Obstetrics 23rd edition. Mc Graw
Hill, EGC, Jakarta
10. Suta Darma, Agus I Made. 2017. Terapi Cairan. Bagian SMF Anestesi dan
Reanimasi FK UNUD RS Sanglah. Diakses
dari:https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4edffa59ee1f819fb8d
38d45bda90131.pdf . Pada 01/12/2018.

90
91

You might also like