You are on page 1of 12

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA TN. P DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RISIKO


KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN OTAK
DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
RSUP Dr. KARIADI SEMARANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Stase Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
Pembimbing Akademik : Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep., M.Sc
Pembimbing Klinik : Ns. Faisal Abdi S.Kep

Oleh :

Ririn Purwaningtyas 22020118220077

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XXXIII


DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Aliran darah ke otak ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti viskositas darah, dilatasi
pembuluh darah, dan tekanan aliran darah ke otak, yang dikenal sebagai tekanan perfusi
serebral, yang ditentukan oleh tekanan darah tubuh (Modul Neurovaskular PERDOSSI,
2009). Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah kondisi rentan mengalami
penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu kesehatan (Herdman,2018).
Aliran sirkulasi darah ke otak adalah faktor yang sangat penting untuk menjaga
kesehatan otak. Terganggunya sirkulasi otak mengakibatkan lebih sedikit oksigen dan
glukosa mencapai otak, sehingga menyebabkan kerusakan otak dan masalah neurologis.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan gangguan sirkulasi otak meliputi: Stroke
iskemik akibat gumpalan darah menghalangi aliran darah arteri kranialis (pembuluh darah
di otak) yang dapat menyebabkan kematian di jaringan otak. Pendarahan otak adalah
pendarahan internal di rongga tengkorak akibat dinding arteri melemah dan pecah,
sehingga memaksa darah masuk ke rongga tengkorak. Hipoksia serebral terjadi ketika
bagian otak tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup dalam aliran darah. Penyebab
hipoksia serebral meliputi: anemia, penyakit paru-paru, dan edema serebral. (Satyanegara,
2014)
Edema serebral adalah pembengkakan yang terjadi karena peningkatan cairan di
rongga tengkorak (Satyanegara, 2014). Pembengkakan otak atau edema serebri (cerebral
edema) dapat disebabkan karena adanya infeksi, seperti meningitis, ensefalitis atau
toksoplasmosis. Meningitis Tuberkulosa (TB) adalah infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis yang mengenai mening atau parenkim otak (Baron et al., 2007). Morbiditas
dan mortalitas yang ditimbulkan sangat besar, lebih besar daripada infeksi oleh bakteri
yang lain maupun virus (50% VS 10%). Penegakkan diagnosis yang cepat perlu dilakukan
untuk menekan morbiditas maupun mortalitas yang ditimbulkan (Trung et al., 2012).
Penelitian Masfiyah tahun 2013 yang berjudul Gambaran Definitif Meningitis
Tuberkulosa di RSUP dr. Kariadi Semarang , menunjukkan ata-rata pasien dengan
meningitis berada dalam usia produktif, 39,59 ± 15,7. Enam (35,3%) pasien merupakan
definitif meningitis TB yang ditegakkan menggunakan PCR dengan target amplifikasi pada
IS6110 Mycobacterium tuberculosis complex. Ditemukan 3 (17,64%) pasien positif
meningitis oleh NTM (Non Tuberculous Mycobacteria) dan ditemukan juga pada 1 (5,8%)
kasus dual infection (meningitis TB dan meningitis bakterialis) (Masfiyah,2013). Dengan
latar belakang yang sudah dipaparkan menjadi dasar pengambilan munculnya diagnose
core problem risiko ketidakefektifan jaringan otak .

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mendapatkan pengalaman secara nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan diagnosa keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak dengan diagnosa medis Tuberculous Meningitis (TBM)
2. Tujuan Khusus
a) Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan diagnosa keperawatan risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak dengan diagnosa medis Tuberculous
Meningitis (TBM) di Intensive Care Unit (ICU) RSUP dr. Kariadi, Semarang.
b) Mampu merencanakan intervensi keperawatan pada klien dengan diagnosa
keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dengan diagnosa medis
Tuberculous Meningitis (TBM) di Intensive Care Unit (ICU) RSUP dr. Kariadi,
Semarang.
c) Mampu melaksanakan intervensi keperawatan yang telah direncanakan pada klien
dengan diagnosa keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dengan
diagnosa medis Tuberculous Meningitis (TBM) di Intensive Care Unit (ICU) RSUP
dr. Kariadi, Semarang.
d) Mampu mengevaluasi atas intervensi keperawatan yang telah dilakukan pada klien
dengan diagnosa keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dengan
diagnosa medis Tuberculous Meningitis (TBM) di Intensive Care Unit (ICU) RSUP
dr. Kariadi, Semarang.

C. Manfaat
Hasil studi kasus ini dapat menjadi salah satu referensi bagi mahasiswa berikutnya
yang akan melakukan studi kasus pada asuhan keperawatan klien dengan diagnosa
keperawatan risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dengan diagnosa medis
Tuberculous Meningitis (TBM)
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah kondisi rentan mengalami
penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu kesehatan (Herdman,2018).
B. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
Menurut Herdman, TH & Kamitsuru, S (2018), faktor-faktor yang berhubungan dengan
risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak yaitu :
 Masa tromboplastin parsial (PTT)  Koagulopati
abnormal  Kardiomiopati dilatasi
 Masa protombin (PT) abnormal  Koagulasi intravaskulas diseminata
 Segmen dinding ventrikel kiri  Embolisme
akinetik  Hiperkolesterolemia
 Aterosklerosis aortic  Hipertensi
 Diseksi arteri  Endokarditis infektif
 Fibrilasi atrium  Katup prostetik mekanis
 Miksoma atrium  Stenosis mitral
 Cedera otak  Agens farmaseutika
 Neoplasma otak  Sindrom sick sinus
 Stenosis carotid  Program pengobatan
 Aneurisma serebral
C. KERANGKA BERPIKIR
D. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Primary Survey
a) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan
jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas
pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan
bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama
intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi
pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2010).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1) Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
2) Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
3) Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
4) Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5) Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6) Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
b) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2010).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
1) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur tulang iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan
pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
2) Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
3) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
4) Penilaian kembali status mental pasien.
5) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
6) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
7) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.

c) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis
shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin.
Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan
yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab
lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax,
cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2010).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain
:
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
5) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
6) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
d) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
e) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Brunner & Suddarth (2013), pemeriksaan penunjang meliputi :
1) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan
tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan
memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat
ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir,
CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku
emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2012). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat
mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan
tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh
darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah
dan ginjal (Ishak, 2012).
2) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli
paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur
pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang
memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien
yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2012)
3) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment,
sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic dan
metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu diagnosis
meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi adalah pemeriksaan
foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena
pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding
pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (NANDA 00201)
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (NANDA 00204)
3. Ketidakefektifan pola napas (NANDA 00032)
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (NANDA 00002)
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Menurut Bulechek, M.G dkk (2013) intervensi keperawatan yang bisa dilakukan meliputi:
1. Monitoring Tanda Tanda Vital
 PO2, PCO2, pH dan kadar bikarbonat
 PaCO2 dan SaO2 dan kadar Hb untuk mnentukan pengiriman oksigen kejaringan
 Periksa reflek pupil, kondisi mata
 Kaji tanda adanya sakit kepala
2. Monitoring Hemodinamik
 Tingkat kesadaran dan orientasi
 Memori, alam perasaan dan afek
 Curah jantung
 Reflek corneal, batuk dan muntah
 Tonus otot, pergerakan motorik, gaya berjalan dan kesesuaian
3. Pemantauan tekanan intracranial (NIC);
 Pantau TIK dan respon neurologis pasien terhadap aktivitas perawatan
 Pantau tekanan perfusi serebral
 Perhatikan perubahan pasien sebagai respon terhadap stimulus
4. Aktivitas kolaboratif
 Pertahankan parameter hemodinamika dalam rentang yang dianjurkan
 Berikan obat-obatan untuk meningkatkan volume intravaskuler sesuai program
 Induksi hipertensi untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, sesuai
program
 Berikan loop diuretic dan osmotic, sesuai prigram
 Tinggikan bagian kepala tempat tidur hingga 45drjt tergantung pada kondisi
pasien dan program dokter
Aktivitas lain
5. Pemantauan TIK (NIC):
 Lakukan modalitas terapi kompresi, jika perlu
 Meminimalkan stimulus lingkungan
 Beri interval setiap asuhan keperawatan untuk meminimakan peningkatan TIK
DAFTAR PUSTAKA
Kolegium Neurologi Indonesia. 2009. Buku Modul Induk Neurovaskular. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta: PERDOSSI.
Masfiyah1, Catur Bintoro, ARIS., HADI, Purnomo. (2013). Gambaran Definitif Meningitis
Tuberkulosa di RSUP dr. Kariadi Semarang Studi Deskriptif pada pasien dewasa
dengan menggunakan real time PCR dengan target amplifikasi pada IS6110
Mycobacterium tuberculosis complex. Semarang : Sains Medika.
Bulechek, G.(2013). Nursing Intervention Classification (NIC).6th Edition. Missouri:Elseiver
Mosby
Herdman, T.H. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Kozier, Erb, Berman, & Snyder. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses & Praktik. Edisi 7. Jakarta : EGC
Moorhead, S. (2013).Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of Health
Outcomes.5th Edition. Missouri: Elsevier Saunder
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Edisi 10. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Edisi 12. Jakarta:
Kedokteran EGC.
Satyanegara. (2014). Ilmu Bedah Saraf. V ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Baron, E. J., Peterson, L. R. & Finegold, S. M. (eds.) (2007). Diagnostic microbiology,
Missouri:Mosby.590-632
Trung, N. H. D., Phuong, T. L. T., Wolbers, M., Minh, H. N. V., Thanh, V. N. & VAN, M. P.
(2012). Aetiologies of Central Nervous System Infection in Viet Nam: A Prospective
Provincial Hospital-Based Descriptive Surveillance Study. PLoS ONE, 7, 1-15.
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2010). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.
Thygerson, Alton. (2011). First aid 8th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed. Rina
Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
Widjaya, Cristina. (2012). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada diagnosis
stroke iskemik. FK. Bandung : UNPAD.
Ishak, (2012). Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Jakarta : EGC

You might also like