You are on page 1of 51

PERCOBAAN II

PENGOLAHAN DIGITAL SINYAL WAKTU KONTINYU

2.1 Tujuan
1. Mempelajari hubungan dalam domain waktu antara sinyal waktu kontinyu
xa(t) dan sinyal waktu diskrit x[1] yang dibangkitkan oleh sampling periodik
xa(t).
2. Menginvestigasi hubungan antara frekuensi sinyal sinusoidal xa(t) dengan
perioda sampling.
3. Menginvestigasi hubungan antara Continuous Time Fourier Transform
(CTFT) pada sinyal waktu kontinyu band terbatas (limited) dan Discrete Time
Fourier Transform (DTFT) dari sinyal diskrit.
4. Mendesain Filter Low-pass Analog.

2.2 Peralatan
1. Program MATLAB 2012 ke atas
2. PC atau Laptop

2.3 Dasar Teori


2.3.1 Sinyal Waktu Kontinyu
Suatu sinyal x(t) dikatakan sebagai sinyal waktu kontinyu atau sinyal analog
ketika memiliki nilai riil pada keseluruhan rentang waktu t yang
ditempatinya. Berikut ini ditunjukkan dua contoh sederhana pada sinyal kontinyu
yang memiliki fungsi step dan fungsi ramp. Sebuah fungsi step dapat diwakili dengan
suatu bentuk persamaan matematis yaitu:

{ ……………………………………(2.1)

Di sini fungsi step memiliki arti bahwa amplitudo pada u(t) bernilai nol pada t
< 0 dan bernilai satu untuk semua t ≥ 0
Gambar 2.1 (a) Fungsi Step, (b) Fungsi Ramp

Untuk suatu sinyal waktu kontinyu x(t), hasil kali x(t)*u(t) sebanding
dengan x(t) untuk t>0 dan sebanding dengan nol untuk t<0. Perkalian pada
sinyal x(t) dengan sinyal u(t) mengeliminasi suatu nilai non-zero (bukan nol)
pada x(t) untuk nilai t<0. Fungsi ramp r(t) didefinisikan secara matematis sebagai:

{ ...............................................(2.2)

Untuk t> 0, slope (kemiringan) pada r(t) adalah senilai 1. Sehingga pada kasus
ini r(t) merupakan unit slope, yang mana merupakan alasan bagi r(t) untuk dapat
disebut sebagai unit ramp function. Jika ada variabel K sedemikian hingga
membentuk Kr(t), maka slope yang dimilikinya adalah K untuk t > 0.

2.3.2 Transformasi Sinyal


Asumsikan ga(t) adalah sinyal waktu kontinyu yang disampel secara kontinyu
pada t=nT menghasilkan sekuen g[n], yaitu:
[ ] (2.3)
Dengan T adalah perioda sampling. Kebalikannya dari T disebut dengan
frekuensi sampling (FT), yaitu 1/T. Representasi domain frekuensi dari ga(t)
diperoleh dari transformasi Fourier waktu kontinyu Ga(jΩ), yaitu:
∫ …………………(2.4)
Dimana representasi domain frekuensi dari g[n] diperoleh dengan
transformasi Fourier Diskrit ,
∑ ……….………(2.5)
Relasi antara Ga(jΩ) dengan , diberikan oleh :
∑ (2.6)
∑ ( ) ∑ ( ) (2.6)

Atau dapat dinyatakan sebagai:


∑ (2.8)

Transformasi Fourier adalah suatu model transformasi yang memindahkan


sinyal domain spasial atau sinyal domain waktu menjadi sinyal domain frekuensi. Di
dalam pengolahan suara, transformasi Fourier banyak digunakan untuk mengubah
domain spasial pada suara menjadi domain frekuensi. Analisa-analisa dalam domain
frekuensi banyak digunakan seperti filtering. Adapun tujuan dari transformasi
Fourier adalah :
a. Sebagian besar siynal dapat direpresentasikan sebagai deret eksponensial
kompleks
b. Response sistem LTI terkompleks dengan magnitude yang terskala.
c. Cara mudah untuk mengaproksimasi terhadap eksponensial complex adalah
juga eksponensial berbagai sinyal.

2.3.3 Teorema Sampling


Sampling adalah proses pencuplikan atau pengambilan sampel atau contoh
besaran sinyal analog pada titik tertentu secara berurutan dan teratur. Proses ini
bertujuan untuk mengubah representasi sinyal yang tadinya berupa sinyal kontinyu
menjadi sinyal diskrit.

(a) (b)
Gambar 2.2 Proses Sampling, (a) sinyal analog, (b) sampel sesaat versi analog
Kecepatan pengambilan sampel (frekuensi sampling) dari sinyal analog yang
akan dikonversi haruslah memenuhi kriteria Nyquist dimana teorema Nyquist
menyatakan frekuensi sampling ( ) minimum adalah 2 kali frekuensi sinyal analog
yang akan dikonversi (finmax).
Misalnya bila sinyal analog yang akan dikonversi mempunyai frekuensi
sebesar 100 Hz maka frekuensi sampling minimum dari Analog Digital Converter
adalah 200 Hz. Atau bila dibalik, bila frekuensi sampling Analog Digital Converter
sebesar 200 Hz maka sinyal analog yang akan dikonversi harus mempunyai frekuensi
maksimum 100 Hz. Apabila kriteria Nyquist tidak dipenuhi maka akan timbul suatu
efek yang disebut dengan aliasing.
Asumsikan ga(t) adalah sinyal band-limited dengan Ga(jΩ) = 0 untuk |Ω| >Ωm.
Kemudian ga(t) dihitung dengan men-sample-nya pada ga(nt), n = 0,1,2,3,4,5, ......
jika,
…………………….(2.9)

Dengan mengetahui {g[n]} = {ga(nT)}, kita dapat memulihkan ga(t) dengan


membangkitkan deret impulse gp(t), yaitu:
∑ …….(2.10)

dan melewatkan gp(t) ke Filter low-pass ideal Hr(jΩ) dengan gain T dan frekuensi
cutoff Ωc> Ωm danΩc< ΩT- Ωm, sehingga:
Ωm<Ωc < (ΩT - Ωm)…………………………………….(2.11)

Frekuensi tertinggi Ωm yang terkandung dalam ga(t) disebut dengan


Frekuensi Nyquist, yang dinyatakan sebagai:
ΩT > 2 Ωm…………………………………………………..(2.12)

dan 2 Ωm disebut dengan Nyquist rate. Jika rate sampling lebih besar dari rate
Nyquist maka disebut dengan Oversampling, dan sebaliknya disebut dengan
Undersampling. Jika rate sampling sama dengan rate Nyquist maka disebut dengan
Critical sampling.
2.3.4 Aliasing
Aliasing adalah fenomena bergesernya frekuensi tinggi gelombang seismik
menjadi lebih rendah yang disebabkan karena pemilihan interval sampling yang
terlalu besar.

Gambar 2.3 Proses aliasing

Apabila ga(t) diasumsikan sebagai sinyal band-limited dengan Ga(jΩ) = 0


untuk |Ω| >Ωm. Kemudian ga(t) dihitung dengan mensampelnya pada ga(nt), n =
0,1,2,3,4,5, ...... jika,
………………….(2.13)

Dengan mengetahui {g[n]} = {ga(nT)}, kita dapat memulihkan ga(t) dengan


membangkitkan deret impulse gp(t), yaitu:
∑ ……..(2.14)
dan melewatkan gp(t) ke filter low-pass ideal Hr(jΩ) dengan gain T dan frekuensi cut
off Ωc> Ωm dan Ωc< ΩT- Ωm, sehingga:
Ωm<Ωc < (ΩT - Ωm)…………………………….(2.15)
Frekuensi tertinggi Ωm yang terkandung dalam ga(t) disebut dengan frekuensi
Nyquist, yang dinyatakan sebagai:
ΩT > 2 Ωm…………………………….(2.16)
dimana 2 Ωm disebut dengan Nyquist rate. Jika rate sampling lebih besar dari rate
Nyquist maka disebut dengan Oversampling, dan sebaliknya disebut dengan
Undersampling. Jika rate sampling sama dengan rate Nyquist maka disebut dengan
Critical sampling.
2.3.5 Filterisasi
Secara umum tujuan dari penggunaan filter adalah untuk meningkatkan
kualitas dari sebuah sinyal misalnya menghilangkan dan mengurangi noise. Filter
juga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi yang dibawa oleh sinyal. Selain
itu juga, filter digunakan untuk memisahkan dua atau lebih sinyal yang sebelumnya
dikombinasikan, di mana sinyal tersebut dikombinasikan dengan tujuan
mengefisienkan pemakaian saluran komunikasi yang ada. Filter juga dapat digunakan
untuk mengeliminasi rentang frekuensi dari sinyal aslinya.
Macam-macam filter diantaranya low pass filter, high pass filter, band pass
filter, dan band stop filter. low pass filter adalah jenis filter yang melewatkan
frekuensi rendah serta meredam atau menahan frekuensi tinggi. High Pass Filter
(HPF) adalah jenis filter yang melewatkan frekuensi tinggi serta meredam atau
menahan frekuensi rendah. Response impulse Hr(t) dari Filter low-pass ideal secara
sederhana diperoleh dengan inverse transformasi Fourier dari response frekuensinya
Hr(jΩ), yaitu:

{ ………………………(2.17)

Maka,

∫ ……………..(2.18)

∫ …..(2.19)

Dan deretan impulse diperoleh dengan:


∑ [ ] …………...(2.20)
Selanjutnya, output filter low-pass ideal ̂ diketahui dengan
mengkonvolusi gp(t) dengan response impulse hr(t).
̂ ∑ [ ] ……….….(2.21)
Substitusi persamaan 2.12 ke dalam persamaan 2.15 dan asumsikan Ωc =
ΩT/2 = π/T, maka akan diperoleh:
[ ]
̂ ∑ [ ] ………………(2.22)
2.3.6 Spesifikasi Filter
Filter adalah suatu sistem yang dapat memisahkan sinyal berdasarkan
frekuensinya dimana terdapat frekuensi yang diterima ataupun frekuensi yang
ditolak. Hubungan keluaran masukan suatu filter dinyatakan dengan fungsi alih
(transfer function). Spesifikasi filter dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Filter Aktif
Filter Aktif yaitu filter yang menggunakan komponen aktif, biasanya
transistor atau penguat operasi (op-amp). Kelebihan filter ini antara lain:
a. Untuk frekuensi kurang dari 100 kHz, penggunaan induktor (L) dapat
dihindari
b. Relatif lebih murah untuk kualitas yang cukup baik, karena komponen
pasif yang presisi harganya cukup mahal.

2. Filter Pasif
Filter pasif banyak digunakan untuk memberikan sirkuit seperti amplifier,
osilator dan sirkuit power supply berdasarkan karakteristik frekuensi yang
diperlukan.
Spesifikasi filter biasanya dinyatakan dalam bentuk respon magnitude.
Magnitude (nilai besar) dari fungsi alih dinyatakan dengan |T|, dengan satuan dalam
desibel (dB). Filter dapat diklasifikasikan menurut fungsi yang ditampilkan dalam
jangkauan frekuensi, yaitu passband dan stopband. Dalam passband ideal,
magnitude-nya adalah 1 (= 0dB), sementara pada stopband, magnitude-nya adalah
nol.
Sebagai contoh, magnitude |Ha(jΩ)| dari Filter Low-pass Analog ditunjukan
pada Gambar 2.2. Dalam passband, dinyatakan dengan 0<Ω<Ωp, magnitude-nya
adalah:
untuk ……(2.23)
atau dengan kata lain, magnitude mendekati 1 dengan error ±. Dalam stopband
dinyatakan dengan Ωs ≤ |Ω| ≤ ∞, magnitude-nya:
………………..….(2.24)
Frekuensi Ωp dan Ωs masing-masing disebut dengan passband edge frequency
dan stopband edge frequency. Batas toleransi maksimum dalam pass-band dan stop-
band disebut dengan ripples.

Gambar 2.4 Spesifikasi Respon Magnitude Filter Lowpass Analog

Berdasarkan magnitude-nya, jenis filter dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu


sebagai berikut :
a. Filter lolos bawah (low pass filter), pass band berawal dari w = 2pf = 0
radian/detik sampai dengan w = w0 radian/detik, dimana w0 adalah frekuensi
cut-off.
b. Filter lolos atas (high pass filter), berkebalikan dengan filter lolos bawah, stop
band berawal dari w = 0 radian/detik sampai dengan w = w0 radian/detik,
dimana w0 adalah frekuensi cut-off.
c. Filter lolos pita (band pass filter), frekuensi dari w1 radian/detik sampai w2
radian/detik adalah dilewatkan, sementara frekuensi lain ditolak.
d. Filter stop band, berkebalikan dengan filter lolos pita, frekuensi dari w1
radian/detik sampai w2 radian/detik adalah ditolak, sementara frekuensi lain
diteruskan.

2.3.7 Desain Filter Lowpass Analog


Filter adalah rangkaian pemilih frekuensi agar dapat melewatkan frekuensi
yang diinginkan dan menahan (couple) atau membuang (by pass) frekuensi lainnya.
Low-Pass Filter (LPF) adalah sebuah rangkaian yang tegangan keluarannya tetap dari
DC naik sampai ke suatu frekuensi cut-off fc. Bersama naiknya frekuensi di atas fc,
tegangan keluarannya diperlemah (turun). Low-Pass Filter adalah jenis filter yang
melewatkan frekuensi rendah serta meredam atau menahan frekuensi tinggi. Adapun
bentuk respon filter lowpass tanpa menggunakan ripple adalah sebagai berikut :

Gambar 2.5 Respon Lowpass Filter Tanpa Ripple

Berdasarkan gambar 2.5 dapat dilihat bahwa frekeuensi passband memiliki


nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi cut-off dan frekuensi stopband
dimana frekuensi stopband memiliki nilai yang paling besar sedangkan nilai
frekuensi cut-off terletak diantara nilai frekuensi passband dan stopband. Filter ini
memiliki ordo N, dimana N adalah integer dan jika N semakin besar maka respon
filter mendekati respon filter ideal. Ordo filter ini ditentukan oleh jumlah komponen
penyimpan energi. Dari hasil di atas hanya terdapat N=18 karena hanya terdapat 1
hasil percobaan yang sudah mendekati hasil respon filter ideal. Perhitungannya
adalah :

Dimana :
ω : Frekuensi redaman yang diinginkan
ωc : Frekuensi cut off 10 dB
| HN(Jω)|2= 1N = -10N log(10) dB = -10 dB/dec

Jadi setelah frekuensi cut off-nya, Filter Butterworth ini memiliki respon
meredam mendekati 10N dB/ dekade.
2.4 Langkah Percobaan
2.4.1 Sampling Sinyal Sinusoidal
Percobaan ini akan menginvestigasi sampling sinyal sinusoidal waktu diskrit
xa(t) di beberapa rate sampling.
1. Buatlah script Matlab berikut dan simpan hasilnya dengan nama “P2_1”.
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 13;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.1;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])

Kode Program 2.1 Script Matlab untuk Sampling Sinyal Sinusoidal

2. Jalankan program P2_1 untuk menghasilkan sinyal waktu kontinyu dan sinyal
versi tersampel.
3. Dari script diatas, berapakah frekuensi (Hz) sinyal sinusoidal dan berapakah
periode sampling (detik).
4. Jalan program P2_1 untuk 4 (empat) nilai periode sampling baru, masing-
masing 2 (dua) lebih rendah dan 2 (dua) lainnya lebih tinggi dari periode
sampling di script. Amati hasilnya dan jelaskan.
5. Ulangi program P2_1 dengan merubah frekuensi sinyal menjadi 3Hz dan 7Hz.
Amati dan jelaskan hasil yang diperoleh.
2.4.2 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu
Pada percobaan ini, kita akan membangkitkan sinyal kontinyu equivalen ya(t)
dari sinyal diskrit yang dihasilkan oleh program P2_1 untuk menginvestigasi
hubungan antara frekuensi sinyal sinusoidal xa(t) dengan periode sampling. Untuk
menghasilkan sinyal rekonstruksi ya(t), sinyal x[n] dilewatkan melalui filter low-pass
menggunakan persamaan :

hr(t) = ∫ = ∫ = , - ≤t≤ ….(2.21)

1. Buat script Matlab dan simpan dengan nama “P2_2”.


% Program P2_2
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain
clf;
T = 0.1;f = 13;
n = (0:T:1)';
xs = cos(2*pi*f*n);
t = linspace(-0.5,1.5,500)';
ya = sinc((1/T)*t(:,ones(size(n))) -
(1/T)*n(:,ones(size(t)))')*xs;
plot(n,xs,'o',t,ya);grid;
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Reconstructed continuous-time signal
y_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2]);

Kode Program 2.2 Script Matlab untuk Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu

2. Jalankan program P2_2 untuk membangkitkan sinyal waktu diskrit x[n] dan
sinyal kontinyu equivalennya ya(t), dan menampilkannya bersama-sama.
3. Berapa range t dan nilai peningkatan waktu dalam script P2_2?. Berapa range
t pada gambar / grafik yang dikeluarkan oleh simulasi? Selanjutnya ubahlah
range t, dan jalankan kembali program P2_2. Jelaskan hasil rekonstruksi
sinyal yang dihasilkan.
4. Kembalikan range sinyal t ke kondisi semula. Selanjutnya, ubahlah frekuensi
sinyal sinusoidal menjadi 3Hz dan 7Hz. Apakah terdapat perbedaan antara
sinyal diskrit equivalen dengan yang dihasilkan pada langkah 1. Jika tidak,
jelaskan.
2.4.3 Effect of Sampling in the Frequency Domain
Percobaan ini akan meneliti hubungan antara Continuous Time Fourier
Transform (CTFT) pada sinyal waktu kontinyu band terbatas (limited) dan Discrete
Time Fourier Transform (DTFT) dari sinyal diskrit. Dalam hal untuk mengkonversi
sinyal waktu kontinyu xa(t) menjadi sinyal waktu diskrit equivalen x[n], diperlukan
xa(t) harus band limited dalam domain frekuensi. Untuk mengilustrasikan efek
sampling dalam domain frekuensi, percobaan ini menggunakan sinyal waktu
kontinyu eksponensial dengan CTFT yang band limited.
1. Buat script Matlab dan simpan dengan nama “P2_3”.
% Program P2_3
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain frekuensi
clf;
t = 0:0.005:10;
xa = 2*t.*exp(-t);
subplot(2,2,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
subplot(2,2,2)
wa = 0:10/511:10;
ha = freqs(2,[1 2 1],wa);
plot(wa/(2*pi),abs(ha));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X_{a}(j\Omega)|');
axis([0 5/pi 0 2]);
subplot(2,2,3)
T=1;
n = 0:T:10;
xs = 2*n.*exp(-n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs);grid;
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
subplot(2,2,4)
wd = 0:pi/255:pi;
hd = freqz(xs,1,wd);
plot(wd/(T*pi), T*abs(hd));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X(e^{j\omega})|');
axis([0 1/T 0 2])

Kode Program 2.3 Script Matlab untuk Effect of Sampling in the Frequency Domain
2. Jalankan program P2_3 untuk membangkitkan dan menampilkan sinyal waktu
diskrit dan sinyal kontinyu ekivalennya, dan kaitan dengan transformasi
Fourier. Apakah tampak ada efek aliasing ?
3. Ulangi jalankan program P2_3 dengan meningkatkan periode sampling
menjadi 1.5. Apakah terjadi efek aliasing?
4. Modifikasi program P2_3 untuk kasus xa(t) = dan ulangi pertanyaan 2
dan

2.4.3 Desain Filter Lowpass Analog


Tahap pertama dalam mendesain filter adalah menentukan orde filter (N) dan
frekuensi cut-off (Ωc). Parameter ini dihitung menggunakan fungsi Matlab “buttord”
untuk filter Butterworth, “cheb1ord” untuk filter Chebyshev Type 1, “cheb2ord”
untuk tipe 2, dan “ellipord” untuk filter elliptic. Ωc adalah frekuensi cut-off 3 dB
untuk filter Butterworth, pass-band edge untuk filter Chebyshev Type 1, stop-band
edge untuk filter Chebyshev Type 2, dan pass-band edge untuk filter elliptic.
1. Buat script Matlab dan simpan dengan nama “P2_4”.
% Program P2_4
% Disain filter lowpass analog
clf;
Fp = 3500;Fs = 4500;
Wp = 2*pi*Fp; Ws = 2*pi*Fs;
[N, Wn] = buttord(Wp, Ws, 0.5, 30,'s');
[b,a] = butter(N, Wn, 's');
wa = 0:(3*Ws)/511:3*Ws;
h = freqs(b,a,wa);
plot(wa/(2*pi), 20*log10(abs(h)));grid
xlabel('Frequency, Hz');ylabel('Gain, dB');
title('Gain response');
axis([0 3*Fs -60 5]);

Kode Program 2.4 Script Matlab untuk Desain Filter Lowpass Analog

2. Perhatikan script diatas, berapakah pass-band ripple (Rp) dalam dB dan


minimum stop-band attenuation (Rs) dalam dB. Berapakah frekuensi
passband dan stopband edge (Hz) ?
3. Jalankan program P2_4 dan perhatikan display grafik yang dihasilkan.
Apakah filter yang dirancang sudah memenuhi spesifikasi ? Berapakah orde
filter (N) dan frekuensi cut-off (Hz) dari filter yang telah dirancang?
2.5 Data Hasil Percobaan
2.5.1 Sampling Sinyal Sinusoidal ‘P2_1’
A. Data Hasil Sampling T = 0.1 s F = 13 Hz

Gambar 2.6 Sampling Sinyal Sinusoidal T =0.1 s F = 13 Hz

B. Data Hasil Sampling T = 0.005 s F = 13 Hz

Gambar 2.7 Sampling Sinyal Sinusoidal T = 0.005 s F = 13 Hz


C. Data Hasil Sampling T = 0.01 s F = 13 Hz

Gambar 2.8 Sampling Sinyal Sinusoidal T = 0.01 s F = 13 Hz


D. Data Hasil Sampling T = 0.2 s F = 13 Hz

Gambar 2.9 Sampling Sinyal Sinusoidal T = 0.2 s F = 13 Hz

E. Data Hasil Sampling T = 0.4 s F = 13 Hz

Gambar 2.10 Sampling Sinyal Sinusoidal T = 0.4 s F = 13 Hz


F. Data Hasil Sampling T = 0.1 s F = 3 Hz

Gambar 2.11 Sampling Sinyal Sinusoidal T = 0.1 s F = 3 Hz


G. Data Hasil Sampling T = 0.1 s F = 7 Hz

Gambar 2.12 Sampling Sinyal Sinusoidal T = 0.1 s F = 7 Hz


2.5.2 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu
A. Data Hasil Range T = 0.1 s dan F = 13 Hz

Gambar 2.13 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu T = 0.1 s dan F = 13 Hz

B. Data Hasil Range T = 0.2 s dan F = 13 Hz

Gambar 2.14 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu T = 0.2 s dan F = 13 Hz

C. Data Hasil Range T = 0.5 s dan F = 13 Hz

Gambar 2.15 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu T = 0.5 s dan F = 13 Hz


D. Data Hasil Range T = 0.1 s dan F = 3 Hz

Gambar 2.16 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu T = 0.1 s dan F = 3 Hz

E. Data Hasil Range T = 0.1 s dan F = 7 Hz

Gambar 2.17 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu T = 0.1 s dan F = 7 Hz


2.5.3 Effect of Sampling in the Frequency Domain ‘P2_3’
A. Data Hasil Sampling T = 1.0 s

Gambar 2.18 Effect of Sampling in the Frequency Domain T = 1.0 s

B. Data Hasil Sampling T = 1.5 s

Gambar 2.19 Effect of Sampling in the Frequency Domain T = 1.5 s


C. Data Hasil Sampling xa(t) = dengan T = 1.0 s

Gambar 2.20 Effect of Sampling in the Frequency Domain xa(t) = T = 1.0 s

D. Data Hasil Sampling xa(t) = dengan T = 1.5 s

Gambar 2.21 Effect of Sampling in the Frequency Domain xa(t) = T = 1.5 s


2.5.4 Desain Filter Lowpass Analog P2_4

Gambar 2.22 Desain Filter Low-pass Analog


2.6 Analisa Data
2.6.1 Sampling Sinyal Sinusoidal ‘P2_1’
Proses sampling dilakukan dengan men-sampling sinyal analog dalam perioda
waktu tertentu disebut dengan perioda pencacahan (Ts). Kebalikan dari perioda
pencacahan adalah frekuensi sampling ( ) yaitu . Semakin tinggi frekuensi

sampling, atau semakin kecil perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan
semakin menyerupai bentuk sinyal analog asli. Sinyal hasil sampling sering kali
disebut juga istilah Pulse Amplitude Modulation (PAM). Pulse Amplitude Modulation
(PAM) adalah sebuah teknik untuk menggambarkan sebuah perubahan dari sinyal
analog ke sinyal tipe pulsa dimana dalam pulsa amplitudonya menunjukkan informasi
analog.
Semakin besar frekuensi sampling, maka sinyal akan semakin terhindar dari
efek aliasing. Namun, frekuensi sampling yang semakin tinggi akan menyebabkan
harga keseluruhan pada proses pencacahan semakin tinggi begitu pula sebaliknya,
menggunakan frekuensi sampling rendah akan menurunkan harga proses pencacahan
tetapi mengandung konsekuensi pada representasi sinyal PAM yang kurang dapat
mewakili sinyal analog asli. Karena itu untuk menghasilkan pengkodean digital yang
dapat dikendalikan ke bentuk dari sinyal analog, digunakanlah teorema Nyquist,
dimana teorema Nyquist menyatakan bahwa frekuensi sampling harus minimal 2 kali
frekuensi tertinggi (bukan bandwidth) yang dikandung oleh sinyal asli.

A. Sampling T = 0.1 s F = 13 Hz

Gambar 2.23 Sampling Sinyal Sinusoidal T= 0.1 s F = 13 Hz

Berdasarkan gambar 2.23 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 13 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 13 Hz = 26 Hz.
Pada hasil percobaan gambar 2.20 dengan perioda T = 0,1 s, dapat dilakukan
perhitungan matematis untuk memperoleh frekuensi sampling sebagai berikut :

Sesuai dengan teori, semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data diatas menunjukan Frekuensi sampling ( ) sebesar 10 Hz sedangkan besar
frekuensi sampling yang seharusnya adalah 26 Hz. Hasil itu masih kurang dari
frekuensi sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling dari sinyal tersebut
belum dapat menyerupai sinyal analognya.

B. Sampling T = 0.005 s F = 13 Hz

Gambar 2.24 Sampling Sinyal Sinusiodal T = 0,005 s F = 13 Hz

Berdasarkan gambar 2.24 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 13 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 13 Hz = 26 Hz.
Pada hasil percobaan gambar 2.24 dengan perioda T = 0,005 s dapat
dilakukan perhitungan matematis untuk memperoleh frekuensi sampling sebagai
berikut :
Sesuai dengan teori semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data diatas menunjukan frekuensi sampling ( ) sebesar 200 Hz, sedangkan
besar frekuensi sampling yang seharusnya adalah 26 Hz. Hasil tersebut telah
melebihi nilai frekuensi sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling dari
sinyal tersebut sudah menyerupai sinyal analognya.

C. Sampling T = 0.01 s F = 13 Hz

Gambar 2.25 Sampling Sinyal Sinusiodal T = 0,01 F = 13 Hz

Berdasarkan gambar 2.25 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 13 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 13 Hz = 26 Hz.
Pada hasil percobaan gambar 2.25 dengan perioda T = 0,01 s dapat dilakukan
perhitungan matematis untuk memperoleh frekuensi sampling sebagai berikut :

Sesuai dengan teori semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data diatas menunjukan frekuensi sampling ( ) sebesar 100 Hz, sedangkan
besar frekuensi sampling yang seharusnya adalah 26 Hz. Hasil tersebut telah
melebihi nilai frekuensi sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling dari
sinyal tersebut sudah menyerupai sinyal analognya.
D. Sampling T= 0.2 s F = 13 Hz

Gambar 2.26 Sampling Sinyal Sinusiodal T = 0.2 s F = 13 Hz

Berdasarkan gambar 2.26 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 13 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 13 Hz = 26 Hz.
Pada hasil percobaan gambar 2.26 dengan perioda T = 0,2 s dapat dilakukan
perhitungan matematis untuk memperoleh frekuensi sampling sebagai berikut :

Sesuai dengan teori semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data di atas menunjukan Frekuensi sampling ( ) sebesar 5 Hz, sedangkan besar
frekuensi sampling yang seharusnya adalah 26 Hz. Hasil tersebut masih kurang
dari nilai frekuensi sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling dari sinyal
tersebut belum dapat menyerupai sinyal analognya.

E. Sampling T = 0.4 s F = 13 Hz

Gambar 2.27 Sampling Sinyal Sinusiodal T = 0.4 s F = 13 Hz


Berdasarkan gambar 2.27 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 13 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 13 Hz = 26 Hz.
Pada hasil percobaan gambar 2.27 dengan perioda T= 0,4 s dapat dilakukan
perhitungan matematis untuk memperoleh frekuensi sampling sebagai berikut :

Sesuai dengan teori semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
periodasampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data diatas menunjukan Frekuensi sampling ( ) sebesar 2,5 Hz, sedangkan
besar frekuensi sampling yang seharusnya adalah 26 Hz. Hasil tersebut masih
sangat kurang dari nilai frekuensi sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling
dari sinyal tersebut belum dapat menyerupai sinyal analognya.

F. Sampling F = 3 Hz T = 0.1 s

Gambar 2.28 Sampling Sinyal Sinusiodal T = 0.1 s F = 3 Hz

Berdasarkan gambar 2.28 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 3 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 3 Hz = 6 Hz.
Besar periode sampling yang seharusnya adalah :
Pada hasil percobaan gambar 2.28 dengan frekuensi F = 3 Hz dapat dilakukan
perhitungan matematis untuk memperoleh hasil periode sampling sebagai berikut:

Sesuai dengan teori semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data diatas menunjukan Perioda sampling ( ) sebesar 0,33 s. Sedangkan besar
periode sampling yang seharusnya adalah 0.17 s. Hasil tersebut telah melebihi
nilai periode sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling dari sinyal tersebut
belum dapat menyerupai sinyal analognya.

G. Sampling F = 7 Hz T = 0,1 s

Gambar 2.29 Sampling Sinyal Sinusiodal T = 0,1 s F = 7 Hz

Berdasarkan gambar 2.29 diketahui bahwa besar frekuensi sinyal analog asli
adalah 7 Hz, sehingga besar frekensi sampling yang seharusnya adalah :
= 2 x 7 Hz = 14 Hz.
Besar periode sampling yang seharusnya adalah :

Pada hasil percobaan gambar 2.29 dengan frekuensi F = 7 Hz dapat dilakukan


perhitungan matematis untuk memperoleh hasil periode sampling sebagai berikut:
Sesuai dengan teori semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil
perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli. Data diatas menunjukan Perioda sampling ( ) sebesar 0,14 sedangkan besar
periode sampling yang seharusnya adalah 0.07 s. Hasil tersebut telah melebihi
nilai periode sampling yang seharusnya, sehingga hasil sampling dari sinyal tersebut
belum dapat menyerupai sinyal analognya.

2.6.2 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Waktu ‘P2_2’


Aliasing adalah fenomena bergesernya frekuensi tinggi gelombang seismik
menjadi lebih rendah yang diakibatkan pemilihan interval sampling yang terlalu besar
(kasar). Aliasing dapat menghasilkan efek dipping yang semu. Secara spasial aliasing
dapat menyisakan artifact (noise) setelah proses migrasi atau dikenal migration
artifact. Efek aliasing terjadi karena frekuensi sinyal maksimum Fmax lebih besar dari
½ frekuensi sampel ( ). Untuk menghindari efek aliasing maka proses sampling
harus memenuhi syarat nyquist dimana frekuensi sample harus dua kali lebih besar
daripada frekuensi sinyal maksimum Fmax. Apabila aliasing terjadi maka tidak dapat
mengetahui frekuensi sinyal yang sebenarnya. (Frekuensi aliasing = frekuensi
pencuplikan – frekuensi sinyal ).
A. Range T = 0,1 s dan F = 13 Hz

Gambar 2.30 Pengaruh Aliasing dalam Domain Range T = 0,1 s dan F = 13 Hz


Dalam keadaan diatas diketahui T = 0,1 s dan F = 13 Hz sehingga akan
terjadi perubahan atau pergeseran amplitudo saat perubahan waktu sebesar 0,1 s.
Misalnya 0,1 detik pertama akan membuat amplitudo bergeser dari 1 V menjadi -0,3
V. Perubahan tersebut juga terjadi lagi saat waktu berjalan menjadi 0,2 s dan
membuat amplitudo sebesar -0,8 V begitu seterusnya sesuai perubahan waktu dan
pola akan tetap sama.

B. Range T = 0,2 s dan F = 13 Hz

Gambar 2.31 Pengaruh Aliasing Dalam Domain Range T = 0,2 s dan F = 13

Dalam keadaan diatas diketahui T = 0,2 s dan F = 13 Hz, sehingga akan


terjadi perubahan atau pergeseran amplitudo saat perubahan waktu sebesar 0,2 s.
Misalnya 0,2 detik pertama akan membuat amplitudo bergeser dari 1V menjadi
-0,8V. Perubahan tersebut juga terjadi lagi saat waktu berjalan menjadi 0,2 s dan
membuat amplitudo sebesar 0,4V begitu seterusnya sesuai perubahan waktu dan pola
akan tetap sama.

C. Range T = 0,5 s dan F = 13 Hz

Gambar 2.32 Pengaruh Aliasing dalam Domain Range T = 0,5 s dan F = 13


Dalam keadaan diatas diketahui T = 0,5 s dan F = 13Hz, sehingga akan terjadi
perubahan atau pergeseran amplitudo saat perubahan waktu sebesar 0,5 s. Misalnya
0,5 detik pertama akan membuat amplitudo bergeser dari 1V menjadi -1 V.
Perubahan tersebut juga terjadi lagi saat waktu berjalan menjadi 0,5s dan membuat
amplitudo sebesar 1V begitu seterusnya sesuai perubahan waktu dan pola akan tetap
sama.

D. Perbandingan antara perioda yang sama dengan frekuensi yang berbeda.

(a) (b) (c)


Gambar 2.33 (a) Range T = 0,1s dan F =13Hz
(b) Range T = 0,1s dan F = 3 Hz
(c) Range T = 0,1s dan F = 7Hz

Berdasarkan data di atas dengan range perioda yang sama sebesar 0,1 dan
frekuensi yang berbeda – beda diperoleh hasil penggambaran sinyal yang sangat
indentik atau sama. Sehingga didapatkan frekuensi aliasing masing-masing frekuensi
adalah :
Pada frekuensi 13 Hz :
Frekuensi Aliasing = |Frekuensi Sampling – Frekuensi Sinyal|
= |10 – 13| = 3 Hz
Pada frekuensi 7 Hz :
Frekuensi Aliasing = |Frekuensi Sampling – Frekuensi Sinyal|
= |10 – 7| = 3 Hz
Pada frekuensi 3 Hz :
Frekuensi Aliasing = |Frekuensi Sampling – Frekuensi Sinyal|
= |10 – 3| = 7 Hz
Sedangkan didapatkan gambaran yang sama pada setiap frekuensi tersebut.

2.6.3 Effect of Sampling in the Frequency Domain ‘P2_3’


Proses sampling berfungsi untuk mengubah representasi sinyal yang tadinya
berupa sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit. Dapat juga diibaratkan sebagai sebuah
saklar on/off yang membuka dan menutup setiap perioda tertentu. Proses sampling
dilakukan dengan men-sampling sinyal analog dalam perioda waktu tertentu disebut
dengan perioda pencacahan ( ). Kebalikan dari perioda pencacahan adalah frekuensi

sampling . Semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil

perioda sampling maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog
asli.
Namun, semakin tinggi frekuensi sampling membawa konsekuensi pada harga
keseluruhan pada proses pencacahan semakin tinggi sebaliknya, menggunakan
frekuensi sampling rendah akan menurunkan harga proses pencacahan tetapi
mengandung konsekuensi pada representasi sinyal PAM yang kurang dapat mewakili
sinyal analog asli. Karena itu secara natural akan muncul pertanyaan, berapa
frekuensi terendah yang dapat digunakan agar hasil pengkodean digital nantinya
dapat dikendalikan ke bentuk dari sinyal analog. Hal tersebut sesuai dengan Teorema
Nyquist yang berbunyi sebagai berikut “Frekuensi sampling harus minimal 2 kali
frekuensi tertinggi (bukan bandwidth) yang dikandung oleh sinyal asli”.

A. Sampling T = 1,0 s

Gambar 2.34 Effect of Sampling in the Frequency Domain T = 1,0 s


Pada hasil percobaan di atas dengan perioda T = 1,0 s dapat dilakukan
perhitungan matematis untuk memperoleh hasil frekuensi sampling sebagai berikut :

(a) (b)
Gambar 2.35 (a) Sinyal Asli, (b) Sinyal Hasil Sampling

Data diatas menunjukan sampling antara sinyal asli menjadi sinyal sampling
dengan T= 1,0 s

(c) (d)
Gambar 2.36 (c) Perubahan dari Sinyal Waktu Kontinyu menjadi Sinyal Waktu Diskrit,
(d) Perubahan dari Sinyal Waktu Diskrit menjadi Sinyal Waktu Kontinyu

Dari data di atas diperoleh hasil yaitu proses perubahan sinyal akibat adanya
variabel frekuensi. Di mana = 1 Hz sesuai dengan proses perhitungan di atas.
B. Sampling T = 1,5 s.

Gambar 2.37 Effect of Sampling in the Frequency Domain T = 1,5 s

Pada hasil percobaan di atas dengan perioda T = 1,5 s dapat dilakukan


perhitungan matematis untuk memperoleh hasil frekuensi sampling sebagai berikut :

(a) (b)
Gambar 2.38 (a) Sinyal Asli, (b) Sinyal Hasil Sampling

Data diatas menunjukan sampling antara sinyal asli menjadi sinyal sampling
dengan T= 1,5 s
(c) (d)
Gambar 2.39 (c) Perubahan dari Sinyal Waktu Kontinyu menjadi Sinyal Waktu Diskrit,
(d) Perubahan dari Sinyal Waktu Diskrit menjadi Sinyal Waktu Kontinyu

Dari data di atas diperoleh hasil yaitu proses perubahan sinyal akibat adanya
variable frekuensi. Di mana = 0,67 Hz sesuai dengan proses perhitungan di atas.

C. Sampling xa(t) = dengan T=1.0

Gambar 2.40 Effect of Sampling in the Frequency Domain xa(t) = Dengan T=1.0

Pada hasil percobaan di atas dengan perioda T = 1,0 dan x a(t) =


Sehingga apabila dilakukan perhitungan matematis akan diperoleh hasil
sebagai berikut :
Dalam hal ini akan dibandingkan antara Effect of Sampling in the Frequency
T=1.0 dan Effect of Sampling in the FrequencyDomain xa(t) = dengan T=1.0
sebagai berikut :

Gambar 2.41 Perbandingan Effect of Sampling in the Frequency T=1.0 dan Effect
of Sampling in the Frequency Domain xa(t) = dengan T=1.0.

Dari data pada gambar 2.41 hanya diperoleh perubahan yang terjadi pada
hasil sinyal asli yang disebabkan karena adanya nilai xa(t) = Sedangkan, untuk
data hasil sampling dan data perubahan dari Sinyal Waktu Kontinyu menjadi Sinyal
Waktu Diskrit atau sebaliknya diperoleh hasil yang sama karena nilai T yang tetap.

D. Sampling xa(t) = dengan T=1.5 s

Gambar 2.42 Effect of Sampling in the Frequency Domain xa(t) T = 1.5


Pada hasil percobaan di atas dengan perioda T = 1,5 dan xa(t) =
Sehingga apabila dilakukan perhitungan matematis akan diperoleh hasil sebagai
berikut :

Dalam hal ini akan dibandingkan antara Effect of Sampling in the Frequency
T=1.5s dan Effect of Sampling in the Frequency Domain xa(t) = dengan T=1.5s
sebagai berikut :

Gambar 2.43 Perbandingan Effect of Sampling in the Frequency T=1.5 dan Effect of
Sampling in the Frequency Domain xa(t) = dengan T = 1.5

2.6.4 Desain Filter Lowpass Analog ‘P2_4’


Berdasarkan percobaan diperoleh bentuk desain filter analog sebagai berikut :

Gambar 2.44 Desain Low-pass Filter Analog


Adapun nilai dari N, ωp, ωs, ωn yang diperoleh pada percobaan adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1 Mencari Nilai N, ωp, ωs, ωn
Nama Nilai
Orde Filter (N) 18
Frekuensi Passband (ωp) 2.1991e+04 Hz
Frekuensi Stopband (ωs) 2.8274e+04 Hz
Frekuensi Cut-off (ωn) 2.3338e +04 Hz

Berdasarkan tabel diperoleh nilai N adalah 18. Nilai ini sudah cukup besar
sehingga respon filter yang dihasilkan sudah mendekati respon filter ideal.
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa frekuensi passband memiliki nilai terkecil
yaitu sebesar 2.1991e+04 Hz sedangkan frekuensi stopband memiliki nilai terbesar
yaitu sebesar 2.827e+04. Hal ini menunjukkan bahwa hasil percobaan sudah sesuai
dengan teori yang ada dimana teori menyatakan bahwa pada respon lowpass filter,
frekuensi passband memiliki nilai yang paling kecil dibandingkan dengan nilai
frekuensi cut-off dan stopband.
2.7 Simpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Semakin tinggi frekuensi sampling, atau semakin kecil periode sampling
maka sinyal hasil sampling akan semakin menyerupai sinyal analog asli.
2. Dengan range periode yang sama besar dan frekuensi yang berbeda – beda
akan mempunyai hasil penggambaran sinyal yang sangat indentik atau sama
tanpa adanya perbedaaan.
3. Aliasing akan menyebabkan bergesernya frekuensi tinggi gelombang seismik
menjadi lebih rendah yang diakibatkan pemilihan interval sampling yang
terlalu besar (kasar).
4. Effect of Sampling in the Frequency Domain mengakibatkan perubahan yang
terjadi pada hasil sinyal asli disebabkan karena adanya nilai xa(t) = .
Sedangkan, untuk data hasil sampling dan data perubahan dari sinyal waktu
kontinyu menjadi sinyal waktu diskrit atau sebaliknya, diperoleh hasil yang
sama karena nilai T yang tetap.
5. Filter Low-pass Analog ini memiliki orde N, (N Integer) dan jika N semakin
besar maka respon filter mendekati respon filter ideal. Pada respon lowpass
filter, frekeuensi passband memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan
dengan frekuensi cut-off dan frekuensi stopband dimana frekuensi stopband
memiliki nilai yang paling besar sedangkan nilai frekuensi cut-off terletak
diantara nilai frekuensi passband dan stopband.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Ananda, Muhammad. 2011. Konfigurasi Filter Low Pass .


https://duniatelekomunikasi.com/2011/11/17/konfigurasiFilterLowPass/.
Diakses pada tanggal 04 Mei 2019. Pukul 23.00

Dony, Reka. 2014. Pengertian Sinyal, Teknik Sampling yang Benar.


https:/telekomunikasihandal.com /2014/12/10/Pengertian-Sinyal-Teknik-Sampling -
yang- Benar.
Diakses pada tanggal 04 Mei 2019. Pukul 09.00
Sintaks MATLAB Percobaan 2

1. ‘P2_1’
a. f = 13 Hz ; T = 0.1 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 13;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.1;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])

b. f = 13 Hz ; T = 0.005 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 13;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.05;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])
c. f = 13 Hz ; T = 0.01 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 13;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.01;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])

d. f = 13 Hz ; T = 0.2 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 13;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.2;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])
e. f = 13 Hz ; T = 0.4 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 13;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.4;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])

f. f = 3 Hz ; T = 0.1 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 3;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.1;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])
g. f = 7 Hz ; T = 0.1 s
% Program P2_1
% Ilustrasi dalam proses sampling domain waktu
clf;
t = 0:0.0005:1;
f = 7;
xa = cos(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2])
subplot(2,1,2);
T = 0.1;
n = 0:T:1;
xs = cos(2*pi*f*n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs); grid
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
axis([0 (length(n)-1) -1.2 1.2])
2. ‘P2_2’
a. f = 13 Hz ; T = 0.1 s
% Program P2_2
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain
clf;
T = 0.1;f = 13;
n = (0:T:1)';
xs = cos(2*pi*f*n);
t = linspace(-0.5,1.5,500)';
ya = sinc((1/T)*t(:,ones(size(n))) -
(1/T)*n(:,ones(size(t)))')*xs;
plot(n,xs,'o',t,ya);grid;
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Reconstructed continuous-time signal y{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2]);

b. f = 13 Hz ; T = 0.2 s
% Program P2_2
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain
clf;
T = 0.2;f = 13;
n = (0:T:1)';
xs = cos(2*pi*f*n);
t = linspace(-0.5,1.5,500)';
ya = sinc((1/T)*t(:,ones(size(n))) -
(1/T)*n(:,ones(size(t)))')*xs;
plot(n,xs,'o',t,ya);grid;
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Reconstructed continuous-time signal y{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2]);

c. f = 13 Hz ; T = 0.5 s
% Program P2_2
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain
clf;
T = 0.5;f = 13;
n = (0:T:1)';
xs = cos(2*pi*f*n);
t = linspace(-0.5,1.5,500)';
ya = sinc((1/T)*t(:,ones(size(n))) -
(1/T)*n(:,ones(size(t)))')*xs;
plot(n,xs,'o',t,ya);grid;
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Reconstructed continuous-time signal y{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2]);
d. f = 3 Hz ; T = 0.1 s
% Program P2_2
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain
clf;
T = 0.1;f = 3;
n = (0:T:1)';
xs = cos(2*pi*f*n);
t = linspace(-0.5,1.5,500)';
ya = sinc((1/T)*t(:,ones(size(n))) -
(1/T)*n(:,ones(size(t)))')*xs;
plot(n,xs,'o',t,ya);grid;
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Reconstructed continuous-time signal y{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2]);

e. f = 7 Hz ; T = 0.1 s
% Program P2_2
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain
clf;
T = 0.1;f = 7;
n = (0:T:1)';
xs = cos(2*pi*f*n);
t = linspace(-0.5,1.5,500)';
ya = sinc((1/T)*t(:,ones(size(n))) -
(1/T)*n(:,ones(size(t)))')*xs;
plot(n,xs,'o',t,ya);grid;
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Reconstructed continuous-time signal y{a}(t)');
axis([0 1 -1.2 1.2]);
3. ‘P2_3’
a. T = 1.0 s
% Program P2_3
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain frekuensi
clf;
t = 0:0.005:10;
xa = 2*t.*exp(-t);
subplot(2,2,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
subplot(2,2,2)
wa = 0:10/511:10;
ha = freqs(2,[1 2 1],wa);
plot(wa/(2*pi),abs(ha));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X_{a}(j\Omega)|');
axis([0 5/pi 0 2]);
subplot(2,2,3)
T = 1.0;
n = 0:T:10;
xs = 2*n.*exp(-n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs);grid;
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
subplot(2,2,4)
wd = 0:pi/255:pi;
hd = freqz(xs,1,wd);
plot(wd/(T*pi), T*abs(hd));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X(e^{j\omega})|');
axis([0 1/T 0 2])
b. T = 1.5 s
% Program P2_3
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain frekuensi
clf;
t = 0:0.005:10;
xa = 2*t.*exp(-t);
subplot(2,2,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
subplot(2,2,2)
wa = 0:10/511:10;
ha = freqs(2,[1 2 1],wa);
plot(wa/(2*pi),abs(ha));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X_{a}(j\Omega)|');
axis([0 5/pi 0 2]);
subplot(2,2,3)
T = 1.5;
n = 0:T:10;
xs = 2*n.*exp(-n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs);grid;
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
subplot(2,2,4)
wd = 0:pi/255:pi;
hd = freqz(xs,1,wd);
plot(wd/(T*pi), T*abs(hd));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X(e^{j\omega})|');
axis([0 1/T 0 2])
c. xa(t) = ; T = 1.0 s
% Program P2_3
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain frekuensi
clf;
t = 0:0.005:10;
xa = exp((-pi)*t*t)
subplot(2,2,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
subplot(2,2,2)
wa = 0:10/511:10;
ha = freqs(2,[1 2 1],wa);
plot(wa/(2*pi),abs(ha));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X_{a}(j\Omega)|');
axis([0 5/pi 0 2]);
subplot(2,2,3)
T = 1.0;
n = 0:T:10;
xs = 2*n.*exp(-n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs);grid;
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
subplot(2,2,4)
wd = 0:pi/255:pi;
hd = freqz(xs,1,wd);
plot(wd/(T*pi), T*abs(hd));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X(e^{j\omega})|');
axis([0 1/T 0 2])
d. xa(t) = ; T = 1.5 s
% Program P2_3
% Ilustrasi efek aliasing dalam domain frekuensi
clf;
t = 0:0.005:10;
xa = exp((-pi)*t*t)
subplot(2,2,1)
plot(t,xa);grid
xlabel('Time, msec');ylabel('Amplitude');
title('Continuous-time signal x_{a}(t)');
subplot(2,2,2)
wa = 0:10/511:10;
ha = freqs(2,[1 2 1],wa);
plot(wa/(2*pi),abs(ha));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X_{a}(j\Omega)|');
axis([0 5/pi 0 2]);
subplot(2,2,3)
T = 1.5;
n = 0:T:10;
xs = 2*n.*exp(-n);
k = 0:length(n)-1;
stem(k,xs);grid;
xlabel('Time index n');ylabel('Amplitude');
title('Discrete-time signal x[n]');
subplot(2,2,4)
wd = 0:pi/255:pi;
hd = freqz(xs,1,wd);
plot(wd/(T*pi), T*abs(hd));grid;
xlabel('Frequency, kHz');ylabel('Amplitude');
title('|X(e^{j\omega})|');
axis([0 1/T 0 2])

4. ‘P2_4’
% Program P2_4
% Disain filter lowpass analog
clf;
Fp = 3500;Fs = 4500;
Wp = 2*pi*Fp; Ws = 2*pi*Fs;
[N, Wn] = buttord(Wp, Ws, 0.5, 30,'s');
[b,a] = butter(N, Wn, 's');
wa = 0:(3*Ws)/511:3*Ws;
h = freqs(b,a,wa);
plot(wa/(2*pi), 20*log10(abs(h)));grid
xlabel('Frequency, Hz');ylabel('Gain, dB');
title('Gain response');
axis([0 3*Fs -60 5]);

You might also like