You are on page 1of 23

Makalah

MENOPAUSE

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :
dr.
Peserta PPDS Obgin

dr. , Sp.OG (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019

1
DAFTAR ISI

BAB I . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………...i

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Menopause………………………………………………………………3

2.2 Etiologi & Patofisiologi …………………………………………………………..3

2.3 Jenis Jenis Menopause dan Tahapan terjadinya


menopausse……………………..5.

2.4 Tanda dan Gejala Menopause…………………………………………………….6

2.5 Perubahan yang terjadi pada wanita saat menopause ……………………………7

2.6 Diagnosis Menopause ………………………………………………………….15

2.7 Terapi & tatalaksana lain mengatasi keluhan menopause………………………15

BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………...18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..20

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menopause merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat. Menopause yang dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid
seringkali dianggap sebagai momok dalam kehidupan perempuan. Masa ini
mengingatkan dirinya yang akan menjadi tua karena organ reproduksinya sudah tidak
berfungsi lagi. Pangkal kekhawatiran atau keresahan yang sering muncul mungkin
karena perempuan tidak haid lagi yang berarti tidak mempunyai anak lagi, namun
lebih pada kekhawatiran terhadap hal-hal lain yang mungkin timbul menyertai
berakhirnya masa reproduksi.

Menopause merupakan keadaan yang pasti dihadapi dalam kehidupan seorang


perempuan dan suatu proses alamiah sejalan dengan bertambahnya usia. Menopause
bukanlah suatu penyakit ataupun kelainan dan terjadi pada akhir siklus menstruasi
yang terakhir tetapi kepastiannya baru diperoleh jika seorang wanita sudah tidak
mengalami siklus haidnya selama minimal 12 bulan. Hal ini disebabkan karena
pembentukan hormon estrogen dan progesteron dari ovarium wanita berkurang,
ovarium berhenti “melepaskan” sel telur sehingga aktivitas menstruasi berkurang dan
akhirnya berhenti sama sekali. Pada masa ini terjadi penurunan jumlah hormon
estrogen yang sangat penting untuk mempertahankan faal tubuh (Proverawati dan
Sulistyawati cit. Sepduwiana, 2016).

Meskipun menopause merupakan salah satu fase normal, namun kondisi


menopause pada seseorang dapat menimbulkan perubahan psikologi sebagai gejala
jangka panjang berupa depresi, post power syndrome, emptiness syndrome, dan
loneliness (Glasier cit. Koeryaman dan Ermiati, 2018). Selain menimbulkan gejala
psikologis juga menimbulkan perubahan fisik seperti osteoporosis, penyakit jantung
koroner, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan darah tinggi, peningkatan

1
kadar kolesterol dalam darah tinggi, perkapuran dinding pembuluh darah
(aterosklerosis), sistitis dan uretritis atrofik, kanker, serta mengalami dementia tipe
alzheimer (Kasdu cit. Koeryaman dan Ermiati, 2018). Berdasarkan beberapa hasi
survey dan penelitian di Indonesia, 70% para wanita yang berusia 45 sampai dengan
54 tahun cenderung mengalami berbagai gejala seperti hot flushes, jantung berdebar
debar, gangguan tidur, depresi, mudah tersinggung, merasa takut, gelisah dan lekas
marah, sakit kepala, cepat lelah, sulit berkonsentrasi, mudah lupa, kurang tenaga,
berkunang kunang, kesemutan, gangguan libido, obstipasi, berat badan bertambah,
dan nyeri tulang dan otot (Koeryaman dan Ermiati, 2018).

Fase klimakterium menurut Varney dalam buku saku kebidanan


mendefinisikan sebagai proses penuaan wanita dari tahap reproduktif ke
nonreproduktif, melalui tahapan fase awal pramenopause, menopause dan post
menopause (Koeryaman dan Ermiati, 2018). Berdasarkan data dari World Health
Organization (WHO) menunjukan pertambahan jumlah wanita yang memasuki fase
klimakterium yang diperkirakan meningkat hingga lebih satu miliar di tahun 2030.
Proporsi di Asia diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 107 juta menjadi 373
juta di tahun 2025. Sedangkan menurut Badan Sensus Penduduk, di Indonesia jumlah
setiap tahunnya mencapai 5,3 juta orang dari jumlah total penduduk perempuan
Indonesia yang berjumlah 118.010.413 juta jiwa (Pusat data dan Informasi Kesehatan
RI cit. Koeryaman dan Ermiati, 2018).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Menopause adalah haid terakhir yang dialami perempuan yang dipengaruhi


oleh hormone reproduksi yang menimbulkan berbagai perubahan baik fisik maupun
psikologis dan merupakan bagian dalam fase klimakterium. Menopause adalah
berhentinya siklus haid yang disebabkan sistem neurohormonal tidak mampu
mempertahankan stimulasi periodiknya pada sistem endokrin (Potter cit. Alazizah,
2017).

2.2 Etiologi & Patofisiologi Menopause

Etiologi

Menopause sebagai bagian dari proses alamiah kehidupan seorang perempuan selain
gangguan siklus haid memang menimbulkan gejala-gejala dan keluhan disertai
perubahan secara fisik dan psikis. Semuanya ini timbul dari tiga komponen utamaa

yaitu:

 Menurunnya kegiatan ovarium yang diikuti dengan defisiensi hormonal


terutama estrogen yang memunculkan berbagai gejala dan tanda menjelang,
selama serta postmenopause
 Faktor-faktor sosial-budaya yang ditentukan oleh lingkungan perempuan
 Faktor-faktor psikologik yang tergantung dari struktur karakter perempuan (
Ghani Lannywati , 2009).

Patofisiologi

3
Perempuan lahir dengan sekitar 1,5 juta ovum dan mencapai menarkenya
dengan sekitar 400.000. Sebagian besar perempuan mengalami haid sekitar 400 kali
di antara menarke dan menopause. Menopause terjadi ketika jumlah folikel menurun
di bawah suatu ambang rangsang yang kritis, kirakira jumlahnya hanya 1,000 folikel
dan tidak bergantung pada usia.

Ketika jumlah folikel menurun, estrogen dan progesteron yang diproduksi


ovarium menurun sebagai respons terhadap follicle stimulating hormon yang
dikeluarkan hipofisis dan terjadi lonjakan luteinizing hormon. Penelitian yang lebih
baru menyatakan bahwa perempuan bila menjalani transisi menopause menunjukkan
kadar estrogen tidak mulai mengalami penurunan yang besar sampai kira-kira satu
tahun sebelum menopause. Hormon tersebut terus berfluktuasi selama berbulan-bulan
hingga bertahuntahun. Setelah kurang lebih 400 kali ovulasi, kapasitas reproduksi
menjadi kurang berfungsi dan terjadilah menopause. (Diniyati, Heriyani neni, 2016)

Apabila estrogen berkurang, aliran darah ke saluran reproduksi dan saluran


kemih ikut menurun. Gejala menopause dialami sekitar 75%, di Eropa 70−80%, di
Amerika 60%, di Malaysia 57%, di Cina 18%, sedangkan di Jepang dan di Indonesia
10%. Dari beberapa data salah satu faktor dari perbedaan jumlah tersebut yaitu
karena pola makannya. (Diniyati, Heriyani neni, 2016)

Penelitian tentang ovarium manusia, percepatan kehilangan mulai terjadi


ketika jumlah folikel mencapai kira-kira 25.000, suatu jumlah yang dicapai pada
perempuan normal usia 37−38 tahun. Kehilangan ini berkaitan dengan peningkatan
FSH yang tidak terlihat tetapi nyata dan penurunan inhibin. Percepatan kehilangan
disebabkan oleh pengaruh sekunder terhadap rangsangan peningkatan FSH,
merefleksikan penurunan kualitas dan kapabilitas folikel-folikel yang menua, dan
penurunan sekresi inhibin yaitu produk sel granulosa yang menghasilkan pengaruh
umpan balik negatif pada sekresi FSH oleh kelenjar hipofise. Kemungkinan bahwa
kedua inhibin-A dan inhibin B berperan, karena kadar inhibin-A dan inhibin-B pada
fase luteal menurun dengan usia semakin tua dan mendahului peningkatan FSH.

4
Peningkatan FSH berkaitan hanya dengan penurunan inhibin-B, dalam
respons, konsentrasi estradiol meningkat sedikit. Penurunan produksi inhibin dapat
merefleksikan dengan baik suatu pengurangan jumlah folikel atau suatu penurunan
fungsi kapasitas dari folikel yang lebih tua atau keduanya. Penurunan sekresi inhibin
oleh folikel ovarium terjadi mulai sekitar usia 35 tahun, tetapi menjadi cepat sesudah
usia 40 tahun. (Diniyati, Heriyani neni, 2016).

2.3 Jenis menopause


A. Menopause terinduksi adalah suatu keadaan terhentinya haid yang
disebabkan oleh pengangkatan kedua ovarium atau kemoterapl/radioterapi.

B. Perimenopause adalah masa perubahan antara premenopause (mulai 40


tahun) & menopause, ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur &
disertai pula dengan perubahan-perubahan fisiologik, termasuk juga masa 12
bulan setelah menopause. Definisi WHO: 2-8 tahun sebelum menopause & 1
tahun setelah berakhirnya haid. (Konsesnsus Menopause , 2010)

Menopause:

1. Menopause alami:
a. Tidak haid selama 12 bulan berturut-turut pada usia 40-56 tahun
dan atau
b. Kadar FSH:t 40 mlU/ml dan E2<20 pg/ml(2x pemeriksaan).

2. Menopause prematur:

a. Tidak haid selama 12 bulan berturut-turut pada usia <40 tahun.


b. Kadar hormon sesuai dengan keadaan menopause. (Konsesnsus
Menopause , 2010)

2.4 Tanda & Gejala Menopause

5
Keluhan-keluhan menopause terbagi atas tiga bagian, yaitu:
i. Somatik: nyeri sendi atau badan; rambut rontok; lesu/lemah; vagina
kering;
ii. dispareunia;
kulit keriput; berdebar-debar; vagina gatal; bloating /sebah.
il. Vasomotor: keringat malam; hot flushes.
iii. Psikis: pelupa; libido menurun; insomnia; sulit berkonsentrasi;
mood swing. (Konsensus menopause, 2010)

Memiliki 4 gejala inti yaitu : Vasomotor, vaginal, Insomnia dan Mood. Studi
epidemiologis berbasis populasi pada wanita menopause baru-baru ini telah
dilakukan dan menghasilkan informasi yang dapat diandalkan dan konsisten tentang
kejadian, prevalensi, dan keparahan beberapa gejala menopause. Pada tahun 2005,
konferensi tingkat tinggi tentang gejala menopause diadakan, dengan panel evaluator
ahli di seluruh dunia yang ditugaskan untuk menentukan di antara serangkaian besar
gejala paruh baya yang paling mungkin disebabkan oleh menopause. Gejala
dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan menopause, terlepas dari proses
penuaan, dan kemungkinan bahwa estrogen efektif dalam meredakan gejala. .
Berdasarkan ulasan bukti ini, gejala muncul tersebut memiliki bukti yang baik untuk
hubungan dengan menopause: gejala vasomotor, kekeringan pada vagina /
dispareunia, dan sulit tidur / susah tidur. Setelah konferensi ini dan berdasarkan studi
, mood / depresi yang merugikan ditambahkan ke daftar. Studi longitudinal yang
memadai pada fungsi kognitif selama haid belum tersedia tetapi juga telah dilaporkan
secara luas. (Nanette Santoro MD et all, 2015)

Banyak gejala lain yang dilaporkan oleh wanita menopause. Ini termasuk
nyeri sendi dan otot, perubahan kontur tubuh, dan peningkatan kerutan kulit.
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara gejala-gejala ini dan menopause.
Mengingat metode bersifat subyektif kemungkinan ada bias (di mana studi positif
menunjukkan hubungan dengan menopause lebih memungkinkan), dan variasi

6
mereka dari waktu ke waktu, sulit untuk menentukan hubungan yang benar antara
gejala-gejala ini dan menopause. Gejala lain, seperti inkontinensia urin (UI) dan
fungsi seksual, memiliki data beragam untuk keefektifan pengobatan dan keterkaitan
dengan menopause, terlepas dari proses penuaan. (Nanette Santoro MD et all, 2015)

PERUBAHAN YANG TERJADI PADA WANITA SAAT MENOPAUSE

OSTEOPOROSIS
Gejala muskuloskeletal yang ditandai oleh sakit punggung, patah tulang karena
trauma minimal, penurunan ketinggian, dan mobilitas sering terjadi akibat
osteoporosis. Penting untuk meninjau faktor risiko wanita untuk osteoporosis ketika
membuat keputusan pengobatan dan mempertimbangkan skrining kepadatan mineral
tulang untuk wanita berisiko tinggi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
termasuk usia, ras Asia atau Kaukasia, riwayat keluarga, kerangka tubuh kecil,
riwayat patah tulang sebelumnya, menopause dini, dan ooforektomi sebelumnya.
Faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi termasuk penurunan asupan kalsium dan
Vitamin D, merokok, dan gaya hidup yang menetap. Kondisi medis yang terkait
dengan peningkatan risiko osteoporosis termasuk anovulasi selama tahun-tahun
reproduksi (mis., Sekunder akibat olahraga berlebihan atau gangguan makan),
hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, penyakit ginjal kronis, dan penyakit yang
membutuhkan penggunaan kortikosteroid sistemik. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal,
2015)

Konseling wanita untuk mengubah faktor risiko yang dapat dimodifikasi penting
untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis. Banyak wanita memiliki kekurangan
kalsium dan vitamin D dan akan mendapat manfaat dari perubahan dan suplementasi
makanan. Wanita harus menerima 1.000-1500 mg kalsium dan 400-800 IU Vitamin
D setiap hari. Ini dapat dicapai melalui suplemen diet atau vitamin dan mineral.
Pengurangan risiko osteoporosis adalah salah satu dari banyak manfaat kesehatan dari
berhenti merokok dan olahraga teratur. Pengobatan diindikasikan untuk semua wanita

7
dengan osteoporosis serta untuk mereka yang menderita osteopenia dan faktor risiko
tambahan. Terapi obat untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis pada dasarnya
adalah obat anti-resorptif yang mengurangi kehilangan tulang dan agen anabolik yang
merangsang pembentukan tulang baru. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Terapi hormon (HT) efektif dalam mencegah dan mengobati osteoporosis. Dalam
studi observasional, terapi estrogen telah terbukti mengurangi fraktur terkait
osteoporosis sekitar 50% ketika dimulai segera setelah menopause dan berlanjut
dalam jangka panjang. Ini juga secara signifikan mengurangi tingkat patah pada
wanita dengan penyakit yang sudah mapan. Inisiatif terkontrol secara acak Women's
Health Initiative (WHI) mengkonfirmasi penurunan signifikan (34%) pada patah
tulang pinggul pada wanita sehat yang menerima HT (estrogen terkonjugasi 0,625 mg
dengan MPA 5 mg) setelah tindak lanjut rata-rata 5 tahun. Studi terbaru
menunjukkan bahwa bahkan terapi estrogen dosis sangat rendah (estradiol 0,25 mg /
hari; estrogen kuda terkonjugasi 0,3 mg / hari dengan MPA 1,5 mg / hari; estradiol
transdermal 0,025 mg / hari), dikombinasikan dengan kalsium dan Vitamin D,
menghasilkan signifikan peningkatan kepadatan mineral tulang dibandingkan dengan
plasebo. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Bifosfonat, termasuk alendronat (35-70 mg per minggu), risedronat (35 mg per


minggu), dan ibandronat (150 mg per bulan) secara spesifik menghambat resorpsi
tulang dan sangat efektif untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis.

Modulator reseptor estrogen selektif (SERM) adalah senyawa yang bertindak sebagai
agonis dan antagonis estrogen, tergantung pada jaringan. Raloxifene (60 mg) adalah
SERM yang telah disetujui untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis.
Semprotan kalsitonin hidung (200 IU) adalah pengobatan lain yang disetujui untuk
osteoporosis. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

8
DEPRESI
Meskipun sebagian besar wanita beralih ke menopause tanpa mengalami masalah
kejiwaan, diperkirakan 20% mengalami depresi pada beberapa titik selama
menopause. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Studi mood selama menopause umumnya mengungkapkan peningkatan risiko depresi


selama perimenopause dengan penurunan risiko selama tahun-tahun
pascamenopause. Penn Ovarian Aging Study, sebuah studi kohort, menunjukkan
gejala depresi meningkat selama transisi menopause, dan menurun setelah
menopause. Prediktor terkuat dari suasana hati yang tertekan adalah riwayat depresi
sebelumnya, bersama dengan fluktuasi tingkat hormon reproduksi yang terkait
dengan suasana hati yang tertekan.

Dalam survei populasi cross-sectional dari Belanda, 2103 wanita diminta untuk
menilai gejala depresi mereka sebelum menopause dan 3,5 tahun kemudian, selama
transisi menopause. Para wanita mengalami sebagian besar gejala depresi selama
transisi menopause. Di Amerika Serikat, sebuah penelitian terhadap sampel
komunitas wanita yang mengalami menopause alami juga menunjukkan peningkatan
gejala depresi selama perimenopause.

Para peneliti dari Harvard Moods and Cycles Study merekrut wanita premenopause
berusia 36-44 tahun tanpa riwayat depresi berat dan menindaklanjuti wanita ini
selama 9 tahun untuk mendeteksi serangan baru depresi berat. Wanita yang
memasuki masa menopause dua kali lebih mungkin dibandingkan wanita yang belum
melakukan transisi menopause untuk memiliki gejala depresi klinis yang signifikan.

9
Patofisiologi
Depresi selama perimenopause kemungkinan disebabkan oleh fluktuasi dan
penurunan kadar estrogen. Hormon steroid, seperti estrogen, bekerja di sistem saraf
pusat (SSP) melalui berbagai mekanisme. Misalnya, mereka merangsang sintesis
neurotransmiter, ekspresi reseptor, dan mempengaruhi permeabilitas membran.
(Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Estrogen meningkatkan efek serotonin dan norepinefrin, yang dianggap sebagai


neurotransmiter yang paling terkait dengan penyebab fisiologis depresi. Di antara
mekanisme lain, estrogen menurunkan aktivitas monoamine oksidase (MAO) di SSP,
menghambat pemecahan serotonin dan norepinefrin. Selain itu, estrogen
meningkatkan sintesis serotonin, meningkatkan regulasi 5-hydroxytryptamine (5-
HT1), dan menurunkan regulasi 5-HT2. Estrogen juga meningkatkan aktivitas
norepinefrin di otak, mungkin dengan mengurangi reuptake dan degradasi karena
penghambatan enzim MAO dan catechol-O-methyltransferase.

Meskipun mekanisme pastinya belum diketahui, regulasi serotonin dan norepinefrin


dapat berubah karena kadar estrogen berfluktuasi dan dengan demikian berkontribusi
terhadap depresi. Karena estrogen memfasilitasi aksi serotonin dan norepinefrin,
penurunan konsentrasi estrogen dapat, pada gilirannya, menurunkan kadar hormon-
hormon ini. Perubahan kadar estrogen, mungkin karena mekanisme yang melibatkan
neurotransmiter ini, mungkin terkait dengan gejala depresi dalam transisi menopause
beberapa wanita(Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

PERUBAHAN HORMONAL
Depresi tampaknya secara signifikan terkait dengan waktu perubahan hormonal pada
wanita. Beberapa pengamatan dan data penelitian mendukung teori ini. Misalnya,
perbedaan antara tingkat depresi pada wanita dan pria dimulai saat pubertas. Selain
itu, perubahan hormon dianggap sebagai kontributor utama gangguan disforis
pramenstruasi, serta perubahan suasana hati yang dialami pada periode postpartum

10
dan pada masa transisi menopause. paling terkait langsung dengan depresi. (Pronob K.
Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Dari catatan, kadar absolut hormon gonad tidak berkorelasi dengan depresi. Kadar
estrogen dan progesteron tidak membedakan seorang wanita dengan depresi dari
seorang wanita tanpa depresi. Ketika konsentrasi hormon diukur pada wanita peri-
menopause atau pascamenopause dengan depresi, tidak ada tingkat abnormal yang
ditemukan. Sebaliknya, sebagian wanita tampaknya cenderung memiliki gangguan
mood yang dipicu oleh fluktuasi hormon. Subset ini termasuk wanita dengan riwayat
gangguan mood atau gejala yang berhubungan dengan mood pramenstruasi dan
postpartum. Risiko depresi tampaknya lebih tinggi selama perimenopause, ketika
kadar hormon berubah, daripada selama pascamenopause, ketika kadar estrogen dan
progesteron rendah tetapi stabil. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

FUNGSI KOGNITIF
Masalah ingatan adalah keluhan umum pada wanita perimenopause dan
pascamenopause baru-baru ini. Meningkatnya frekuensi keluhan kognitif pada wanita
menopause menunjukkan bahwa masalah memori pada populasi ini lebih terkait
dengan transisi menopause daripada proses penuaan. Uji klinis yang menggambarkan
peningkatan kognisi dengan HRT mendukung peran etiologis estrogen dalam
kesulitan kognitif yang diekspresikan oleh perimenopause dan wanita
pascamenopause baru-baru ini. Domain kognitif spesifik (misalnya, perhatian,
memori verbal, dan kapasitas belajar) yang mungkin dipengaruhi oleh transisi
menopause belum ditandai dengan baik. Hubungan nyata antara transisi menopause
dan kesulitan kognitif pada beberapa wanita menunjukkan bahwa gangguan kognitif
seperti itu mungkin terkait dengan perubahan hormonal menopause. Kesulitan
kognitif mungkin merupakan konsekuensi dari gangguan tidur sekunder untuk hot
flush malam hari atau akibat efek dari perubahan hormon lingkungan di daerah otak
yang mempengaruhi kognisi. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

11
Wanita berisiko lebih besar terkena penyakit Alzheimer daripada pria. Beberapa
percobaan kecil dan penelitian observasional menunjukkan bahwa penggunaan HT
dapat menurunkan risiko penyakit Alzheimer. Namun, sebuah studi terkontrol acak
pada wanita dengan penyakit Alzheimer ringan hingga sedang, menunjukkan bahwa
terapi estrogen selama 1 tahun tidak memperlambat progres penyakit atau
meningkatkan kognisi. Efek HT pada fungsi kognitif pada wanita tanpa demensia
dipelajari dalam WHI Memory Study (WHIMS), sebuah uji coba acak, tersamar
ganda, terkontrol plasebo pada wanita berusia 65 tahun atau lebih yang terdaftar
dalam uji coba WHI. Berbeda dengan temuan penelitian observasional, wanita yang
diacak ke HT di WHIMS mengalami dua kali lipat peningkatan risiko demensia,
paling umum penyakit Alzheimer. Selain itu, penggunaan HT dikaitkan dengan efek
buruk pada kognisi. Dibandingkan dengan wanita yang diobati dengan plasebo,
wanita dalam kelompok HT memiliki skor yang jauh lebih rendah pada Pemeriksaan
Keadaan Mental Mini yang Dimodifikasi. Mengingat peningkatan kejadian stroke
yang diidentifikasi pada pengguna HT dalam uji coba WHI, ada kemungkinan bahwa
kejadian serebrovaskular yang kecil dan tidak terdeteksi lebih mungkin terjadi pada
kelompok HT, meningkatkan risiko demensia. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal,
2015)

DISFUNGSI SEKSUAL
Banyak wanita mengalami disfungsi seksual selama menopause, meskipun kejadian
dan etiologinya tidak diketahui. Disfungsi seksual dapat melibatkan penurunan minat
atau keinginan untuk memulai aktivitas, serta penurunan gairah atau kemampuan
untuk mencapai orgasme selama hubungan seksual. Etiologi disfungsi seksual sering
bersifat multifaktorial, termasuk masalah psikologis seperti depresi atau gangguan
kecemasan, konflik dalam hubungan, masalah yang berkaitan dengan pelecehan fisik
atau seksual sebelumnya, penggunaan obat, atau masalah fisik yang membuat
aktivitas seksual tidak nyaman, seperti endometriosis atau atrofi. vaginitis. (Pronob K.
Dalal and Manu Agarwal, 2015)

12
Disfungsi seksual wanita setelah menopause merupakan masalah kompleks dengan
banyak etiologi. Evaluasi yang cermat terhadap variabel fisiologis, psikologis, gaya
hidup, dan hubungan diperlukan untuk mengoptimalkan terapi. Pengobatan
kecemasan dan depresi, penyesuaian obat antidepresan, dan konseling hubungan
dapat meningkatkan fungsi seksual. Latihan dan aktivitas khusus, sering dilakukan di
bawah bimbingan terapis seks, membantu banyak wanita dan pasangan dengan
disfungsi seksual. Pengobatan spesifik atrofi genitourinari dengan terapi estrogen
estrogen sistemik atau lokal atau pelumas vagina secara efektif mengurangi
dispareunia dan dapat meningkatkan gairah dan respons seksual. Sildenafil sitrat
tidak efektif dalam penelitian acak, tersamar ganda, dan terkontrol plasebo terhadap
wanita dengan disfungsi seksual. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Terapi androgen mungkin memiliki peran dalam pengobatan disfungsi seksual pada
wanita menopause yang memiliki kadar androgen rendah dan tidak ada penyebab lain
yang dapat diidentifikasi untuk masalah seksual mereka.

Dalam sebuah studi double-blind, crossover pada wanita menopause melalui


pembedahan, pemberian dosis suprafisiologis testosteron intramuskuler menghasilkan
skor hasrat seksual, fantasi, dan gairah yang secara signifikan lebih tinggi daripada
melakukan pengobatan dengan estradiol sendiri atau plasebo. Dalam studi double-
blind, secara acak tentang efek pada libido oral methyltestosterone oral (1,25 mg /
hari) dikombinasikan dengan estrogen teresterifikasi (0,625 mg / hari), wanita secara
acak untuk pengobatan dengan kombinasi estrogen-androgen melaporkan
peningkatan minat dan keinginan seksual yang signifikan dibandingkan dengan
wanita yang diobati dengan estrogen saja. Dalam studi acak, double-blind, terkontrol
plasebo dari wanita yang diobati dengan estrogen tanpa ovarium yang memiliki
disfungsi seksual, terapi testosteron fisiologis yang dikelola oleh transdermal patch
menghasilkan peningkatan signifikan dalam aktivitas dan kesenangan seksual.

13
Risiko potensial dari terapi androgen termasuk hirsutisme, jerawat, pendalaman suara
yang ireversibel, dan perubahan yang merugikan pada fungsi hati dan kadar lipid.
Karena sebagian besar androgen aromatized untuk estrogen, terapi androgen dapat
menimbulkan risiko yang sama dengan terapi estrogen. (Pronob K. Dalal and Manu
Agarwal, 2015)

MASALAH PADA TIDUR


Insomnia terjadi pada 40-50% wanita selama masa transisi menopause, dan masalah
dengan tidur mungkin berhubungan dengan gangguan mood. Wanita dengan
insomnia lebih mungkin melaporkan masalah seperti kecemasan, stres, ketegangan,
dan gejala depresi. (Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015)

Gangguan tidur selama menopause telah dikaitkan dengan defisiensi estrogen, karena
estrogen eksogen telah terbukti meningkatkan tidur subyektif dan obyektif, dikaitkan
dengan penurunan hot flushes. Sebuah studi baru-baru ini mengusulkan peningkatan
kadar LH selama menopause terlambat menghasilkan kualitas tidur yang buruk
melalui mekanisme termoregulasi, yang menghasilkan suhu inti tubuh yang tinggi.
Apakah masalah tidur dikaitkan dengan perubahan terkait usia dalam arsitektur tidur,
status hormonal, atau gejala menopause lainnya (mis., Gejala vasomotor) tidak jelas.

Tingkat apnea tidur meningkat dengan bertambahnya usia, meningkat dari 6,5% pada
wanita berusia 30-39 tahun menjadi 16% pada wanita berusia 50-60 tahun.
Patofisiologi tidak diketahui, tetapi teori-teori mencakup hubungan dengan
penambahan berat badan pascamenopause atau dengan penurunan kadar progesteron
karena progesteron merangsang pernapasan. Selain mengalami perubahan kadar
estrogen dan progesteron, wanita pascamenopause mengalami penurunan melatonin
dan pertumbuhan kadar hormon, keduanya memiliki efek pada tidur. (Pronob K.
Dalal and Manu Agarwal, 2015)

14
Estrogen mungkin membantu meredakan gejala vasomotor yang mengganggu tidur,
atau yang mungkin memiliki efek langsung pada tidur itu sendiri. Dalam sebuah studi
pada wanita pascamenopause dengan hot flushes, berkeringat di malam hari,
insomnia, kegelisahan, dan / atau perubahan suasana hati, estrogen dosis rendah dan
progesteron dosis rendah mikron meningkatkan tidur hingga tingkat yang lebih besar
daripada yang bisa dijelaskan dengan pengurangan gejala vasomotor

2.6 Diagnosis Menopause


Pada wanita sehat dengan gejala menopause berusia di atas 45 tahun, tidak
perlu melakukan investigasi khusus. Untuk wanita yang tidak menggunakan
kontrasepsi hormonal, perimenopause dapat didiagnosis berdasarkan adanya gejala
vasomotor dan oligomenore dan menopause dapat didiagnosis jika mereka belum
memiliki periode menstruasi selama setidaknya 12 bulan. Pada histerektomi, wanita
menopause dapat didiagnosis berdasarkan gejala saja. (Hilard T, 2016).
 Sulit untuk mendiagnosis menstruasi pada wanita yang menggunakan
pengobatan hormonal, misalnya [untuk kontrasepsi] atau pengobatan
menstruasi yang berat'.
 Laboratorium dan tes pencitraan berikut tidak boleh secara rutin digunakan
untuk mendiagnosis perimenopause atau menopause pada wanita berusia di
atas 45 tahun: hormon anti-Mullerian (AMH), inhibin A atau inhibin B,
estradiol, jumlah folikel antral, atau volume ovarium.
 Hormone Hormon perangsang folikel serum (FSH) serum tidak boleh
digunakan untuk mendiagnosis menopause pada wanita yang menggunakan
kombinasi estrogen dan progestogen atau progestogen dosis tinggi'.
 FSH seharusnya hanya digunakan untuk mendiagnosis menopause pada:
(a) ‘wanita berusia 40 hingga 45 tahun dengan gejala menopause, termasuk
perubahan dalam
siklus menstruasi mereka. atau
(b) ‘wanita berusia di bawah 40 tahun yang diduga mengalami menopause.
(Hilard T, 2016).

15
2.7 Terapi dan tatalaksana lain pada gejala menopause Tatalaksana Menopause

A. . Pasien dianjurkan untuk menjaga kesehatan dengan melakukan gaya hidup


sehat, seperti tidak merokok dan berolahraga minimal30 menit sebanyak
3x/minggu. Diet yang sehat untuk wanita menopause terdiri dari:· Kaya serat,
buah-buahan, sayuran, dan protein (ikan 2x/minggu) .• Diet < 1 sendok teh
garam/harl. •Kolesterol < 300 mg/harl. •Kalsrum 19/hari. •Vitamin 0 800
IU/hari. (Konsensus menopause, 2010).

B Bila ditemukan adanya keluhan, maka perlu ditanyakan apakah pasien


berkeinginan untuk menggunakan terapi hormon atau tidak. Apabila pasien tidak
mau menggunakan terapi hormon, maka pasien disarankan untuk menjaga
kesehatan seperti tercantum pada poin D. Apabila pasien mau menggunakan
terapi hormon, harus dievaluasi apakah terdapat kontraindikasi absolut.
Kontraindikasi absolut untuk pemberian terapi hermon, adalah:
kankerendometrium; kanker payudara; gangguan fungsi hati berat; perdarahan
pervaginam yang tidakjelas sebabnya; tromboemboli; porfiria kutanea tarda;
penyakit jantung koroner; angina; infark miokard; meningioma. (Konsensus
menopause, 2010).

C. Apablla pada pasien ditemukan adanya kontraindikasi absolut, maka dapat


ditawarkan alternatifterapi, berupa: antidepresan (SSR&I non SSRI) f,itoestrogen,
klonidin, gabapentin, vitamin &mineral. (Konsensus menopause, 2010).

16
D. Apabila tidak ditemukan adanya kontraindikasi absolut, maka diberikan
penyuluhan dan pemeriksaan dasar. Penyuluhan mengenai terapi hormon serta
pemeriksaan dasar memegang peranan penting untuk memulai terapi hormon.
Pemeriksaan dasar meUputi: Anamnesis: keluhan; riwayat penyakit; riwayat
penyaklt keluarga; riwayat kegiatan seksual; faktor rislkoterkait menopause
(mlsalnya riwayatoperasi pengangkatan ovarium, riwayat pemberian
kemoterapi/radiasi). Pemerlksaan flslk: . Status generalis meliputi tinggi badan,
berat badan/indeks Massa tubuh dan tekanan darah .• Pemeriksaan

payudara dan panggul. Pemerlksaan penunJang: mammografi & USGpayudara;


Pap's

Smear; gula darah puasa: profillipid; EKG.Pemerlksaan lain: fungsi hatl, fungsi
tiroid, BMD, disesualkan dengan kebutuhan.

E. Apabila ditemukan adanya kontraindikasi relatif, seperti migrain, epilepsi,


riwayat kanker payudara dalam keluarga, hiperplasia duktus atlpikal pada
payudara, mastoplasia, batu empedu, mioma uteri, endometriosis, dapat
diberikan pengobatan selama 1-3 bulan atau lebih, namun harus dalam
pengawasan ketat.

F. Apabila pasien telah dilakukan histerektomi, maka dapat diberikan terapi

estrogen saja, tanpa progestogen.

G. Apabila uterus intak:

•Bila pasien maslh hald, dapat diberikan terapi hormon sekuensial.

•Bila pasien sudah tidak hard, dapat diberikan terapi hormon kontinyu.

H. Pemberlan terapi hormon pada awalnya dilakukan dalam kurun waktu 1-3

bulan. L. Setelah menggunakan terapi hormon dalam jangka waktu 1-3

bulan, maka pasien

17
dianjurkan untuk melakukan evaluasi terkaitdengan kemungkinan toleransi
serta

adanya efek sam ping yang timbul saat penggunaan terapi hormon.

I. Apabila keluhan ditemukan tidak berkurang, lakukan evaluasi

dosis.

J. Apabila keluhan berkurang, perlu dlperiksa ada-tidaknya efek samping. Jika efek
samping dapat ditoleransi oleh pasien, terapi dilanjutkan; jika tidak dapat
ditoleransi, terapi dihentikan.

Catatan penting:

•Terapi hormon bersifat individual. •Terapi hormon dimulai dengan dosls yang
diperkirakan dapat mengurangi keluhan, kemudlan dlturunkan sampai dengan
dosis minimal yang dapat mempertahankan efek terapi. • Preparat
progestogen dipilih yang bersifat antiandrogenik dan antimlneralokortikold
untuk memberikan proteksi terhadap kardlovaskular dengan menghindari
terjadinya peningkatan tekanan darah .• Dalam melakukan konseling
sebelum memulai terapl hormon, selalu menggunakan penilaian "RISKAND
BENEFITS" • Algorltme terapi hormon dapat digunakan ada tingkat pelayanan
primer, sekunder, dan tersier (Konsensus menopause, 2010).

18
BAB III

KESIMPULAN

1. Menopause didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana berhentinya


menstruasi (amenorhea) pada wanita yang terjadi secara permanen. Dikatakan
menopause, jika periode amenorhea terjadi selama 1 tahun atau lebih.Dari
berbagai penelitian memperlihatkan bahwa saat terjadinya menopause
umumnya pada usia sekitar 45 sampai 55 tahun pada 60–70% wanita. Usia
rata-rata pada populasi barat adalah sekitar umur 50 tahun dan terjadi lebih
awal pada wanita di negara-negara berkembang dibandingkan dengan
populasi barat (Graham cit. Sawitri dkk., 2009).
2. Menopause memiliki 4 gejala utama yaitu : Vasomotor, vaginal, Insomnia dan
Mood. Studi Epidemiologis berbasis populasi pada wanita menopause baru-
baru ini telah dilakukan dan menghasilkan informasi yang dapat diandalkan
dan konsisten tentang kejadian, prevalensi, dan keparahan beberapa gejala
menopause. (Nanette Santoro MD et all, 2015)

19
3. Diagnosis Menopause Pada wanita sehat dengan gejala menopause berusia di
atas 45 tahun, tidak perlu melakukan investigasi khusus. Untuk wanita yang
tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, perimenopause dapat didiagnosis
berdasarkan adanya gejala vasomotor dan oligomenore dan menopause dapat
didiagnosis jika mereka belum memiliki periode menstruasi selama
setidaknya 12 bulan. Pada histerektomi, wanita menopause dapat didiagnosis
berdasarkan gejala saja. (Hilard T, 2016)
4. Terapi hormon bersifat individual. •Terapi hormon dimulai dengan dosls
yang diperkirakan dapat mengurangi keluhan, kemudlan dlturunkan
sampai dengan dosis minimal yang dapat mempertahankan efek terapi.
• Preparat progestogen dipilih yang bersifat antiandrogenik dan
antimlneralokortikold untuk memberikan proteksi terhadap
kardlovaskular dengan menghindari terjadinya peningkatan tekanan
darah .• Dalam melakukan konseling sebelum memulai terapl hormon,
selalu menggunakan penilaian "RISKAND BENEFITS" • Algorltme terapi
hormon dapat digunakan ada tingkat pelayanan primer, sekunder, dan tersier
(Konsensus menopause, 2010).

20
Daftar Pustaka
Alazizah, S. Z. M., 2017, Hubungan Perubahan Fungsi Seksual terhadap Frekuensi
Hubungan Seksual pada Wanita Menopause,
http://eprints.undip.ac.id/56122/1/PROPOSAL_SILVIA_ZAKIYA_MUNA_AL
AZIZAH_22020113130078.pdf ,diunduh tanggal 24/5/2019 pukul 15:00.
Diniyati, Heriyani Neny,2016, Faktor -Faktor yang mempengauhi usia menopause,
jurnal ilmiah univ batang hari, Jambi, vol 16 no.2 ,2016.
Gany Lannywati, 2009, media peneliti dan pengembang kesehatan, Vol. XIX, 2009.
Hillard, T. (2016). (P. R. HEALTH, Ed.) Diagnosis of perimnopause and menopause,
56-58.
Koeryaman, M. T., Ermiati, 2018, Adaptasi Gejala Perimenopause dan Pemenuhan
Kebutuhan Seksual Wanita Usia 50-60 Tahun, MEDISAINS: Jurnal Ilmiah
Ilmu-ilmu Kesehatan Vol 16 No 1 April 2018, hal: 21-30,
http://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/medisains/article/download/2411/1
956, diunduh tanggal 24/5/2019 pukul 15:02
Konsensus penatalaksanaan Menopause, Hiferi, 2010.

Nanette Santoro, M., Epperson, MD, C. N., & Mathews, S. B. (2015). Menopausan
symptomps and signal and management, 497-515.

Pronob K. Dalal and Manu Agarwal, 2015, Postmenopausal syndrome, Indian J


Psychiatry. 2015 Jul; 57(Suppl 2): S222–S232.

Sepduwiana, H., 2016, Usia Menopaouse pada Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas
Rambah Kabupaten Rokan Hulu, Jurnal Maternity and Neonatal Volume 2 No 2, hal:
145-153.

21

You might also like