You are on page 1of 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung

Jantung terdiri dari 4 ruangan. Atrium kiri dan kanan dibagian atas.

Ventrikel kiri dan kanan terletak dibagian bawah. Ventrikel kiri merupakan ruang

yang terbesar. Katup jantung dapat membuka dan menutup sedemikian rupa

sehingga darah hanya dapat mengalir dalam satu arah yaitu: Katup tricuspid,

katup pulmonal, katup mitral dan katup aorta (Suardi, 2012).

Darah dari tubuh masuk ke atrium kanan. Darah dalam tubuh mengandung

kadar oksigen rendah dan harus menambah oksigen sebelum kembali ke dalam

tubuh. Darah dari atrium kanan masuk ke ventrikel kanan melalui katup tricuspid.

Darah kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke paru melewati katup pulmonal

kemudian diteruskan oleh arteri pulmonal ke paru untuk mengambil oksigen.

Darah yang sudah bersih yang kaya oksigen mengalir ke atrium kiri melalui vena

pulmonalis. Dari atrium kiri darah mengalir ke ventrikel kiri melewati katup

mitral. Ventrikel kiri kemudian memompa darah keseluruh tubuh melalui katup

aorta dan diteruskan oleh pembuluh aorta keseluruh tubuh.bersih Dari tubuh

kemudian darah yang dari tubuh dengan kadar oksigen yang rendah karena telah

diambil oleh sel-sel tubuh kembali ke atrium kanan dan begitu seterusnya (Suardi,

2012).

3
4

Gambar 2.1 Anatomi Jantung

2.2 Fisiologi Jantung Neonatus

Peredaran darah didalam fetus (the fetal circulation) adalah berbeda

dengan yang sesudah lahir. Sirkulasi fetus mendapatkan oksigen dan nutrisi dari

ibu melalui plasenta. Sirkulasi fetus juga mempunyai komunikasi yang penting

(shunt) antara kedua ruangan atas jantung dan pembuluh darah besar dekat

jantung. Konsekuensinya adalah kebanyakan tipe dari PJB dapat ditoleransi

dengan baik selama kehidupan fetus. Bahkan suatu bentuk PJB yang parah seperti

hypoplasia jantung kiri (yang mana seluruh jantung kiri tidak berkembang) dapat

dikompensasikan oleh sirkulasi fetus .

a. Sirkulasi Fetus

Tiga fitur utama dari sirkulasi fetus adalah :

1. Sirkulasi maternal (ibu) melalui placenta membawa oksigen dan nutrisi ke

fetus dan mengeluarkan karbon dioksida dari sirkulasi fetus.


5

2. Foramen ovale adalah sebuh lubang yang terletak di septum (dinding) antara

kedua ruangan atas jantung (atrium dextra dan sinistra). Foramen sebagai

sirkulasi darah dari atrium dextra ke atrium sinistra.

3. Jalur samping yang lain, ductus arteriosus, aliran darah dari arteri pulmonary

kedalam aorta dan melalui itu ke tubuh.

b. Sirkulasi sesudah kelahiran

Plasenta sudah dikeluarkan dan paru harus mengambil alih fungsi

oksigenisasi darah. Perubahan-perubahan utama sirkulasi terjadi setelah kelahiran.

Perubahan-perubahan ini termasuk :

 Sirkulasi maternal tidak dapat lagi membawa oksigen dan mengeluarkan

karbon dioksida dari sirkulasi bayi.

 Foramen ovale menutup dan tidak bertindak lagi sebagai jalur samping

antara kedua atria jantung.

 Ductus arteriosus menutup dan tidak lagi menyediakan komunikasi antara

arteri pulmonary dan aorta.

Tangisan pertama merupakan proses masuknya oksigen yang pertama kali

ke dalam paru. Peristiwa ini membuka alveoli, pengembangan paru serta

penurunan tahanan ekstravaskular paru dan peningkatan tekanan oksigen sehingga

terjadi vasodilatasi disertai penurunan tahanan dan penipisan dinding arteri

pulmonalis (Rahmawan, 2011).

Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel kanan serta

peningkatan saturasi oksigen sistemik. Perubahan selanjutnya terjadi peningkatan

aliran darah ke paru secara progresif, sehingga mengakibatkan peningkatan


6

tekanan di atrium kiri sampai melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini

mengakibatkan penutupan foramen ovale juga peningkatan tekanan ventrikel kiri

disertai peningkatan tekanan serta penebalan sistem arteri sistemik. Peningkatan

tekanan oksigen sistemik dan perubahan sintesis serta metabolisme bahan

vasoaktif prostaglandin mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional

dari duktus arteriosus yang mengakibatkan berlanjutnya penurunan tahanan arteri

pulmonalis (Rahmawan, 2011).

Pada neonatus aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus terjadi

pada 10-15 jam pertama kehidupan, lalu terjadi penutupan duktus arteriosus

secara fungsional setelah 72 jam postnatal. Kemudian disusul proses trombosis,

proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang akhirnya terjadi

penutupan secara anatomis. Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan

duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan

(Rahmawan, 2011).

Pemotongan tali pusat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler

sistemik, terhentinya aliran darah dan penurunan tekanan darah di vena cava

inferior serta penutupan duktus venosus, sehingga tekanan di atrium kanan juga

menurun sampai dibawah tekanan atrium kiri. Hal ini mengakibatkan penutupan

foramen ovale, dengan demikian ventrikel kanan hanya mengalirkan darahnya ke

arteri pulmonalis (Rahmawan, 2011).

Peristiwa ini disusul penebalan dinding ventrikel kiri oleh karena

menerima beban tekanan lebih besar untuk menghadapi tekanan arteri sistemik.

Sebaliknya ventrikel kanan mengalami penipisan akibat penurunan beban tekanan


7

untuk menghadapi tekanan arteri pulmonalis yang mengalami penurunan ke angka

normal.Penutupan duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale diawali

penutupan secara fungsional kemudian disusul adanya proses proliferasi endotel

dan jaringan fibrous yang mengakibatkan penutupan secara anatomis (permanen)

(Rahmawan, 2011).

Tetap terbukanya duktus venosus pada waktu lahir mengakibatkan

masking effect terhadap total anomalous pulmonary venous connection dibawah

difragma. Tetap terbukanya foramen ovale pada waktu lahir mengakibatkan

masking effect terhadap kelainan obstruksi jantung kanan. Tetap terbukanya

duktus arteriosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap semua

PJB dengan ductus dependent sistemic dan ductus dependent pulmonary

circulation (Rahmawan, 2011).

2.3 Definisi

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa

sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada

akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan

pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. Penyebab PJB seringkali tidak

bisa diterangkan, meskipun beberapa faktor dianggap berpotensi sebagai

penyebab. Faktor-faktor ini adalah: infeksi virus pada ibu hamil (misalnya campak

Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, alkohol (Rahayoe, 2013).

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) asianotik adalah kelainan struktur dan

fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya
8

lubang di sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah

satu katup jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah

besar tanpa adanya lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum

presentasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung pada jenis

dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru (Roebiono, 2015)

Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab

meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya sindroma Down

(Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan, dimana

PJB merupakan salah satunya. Merokok berbahaya bagi kehamilan, karena

berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi dalam kandungan sehingga berakibat

bayi lahir prematur atau meninggal dalam kandungan (Rahayoe, 2013).

2.4 Etiologi

Penyakit jantung kongenital dapat mempunyai beragam penyebab.

Penyebab-penyebabnya termasuk faktor lingkungan (seperti bahan-bahan kimia,

obat-obatan dan infeksi-infeksi, abnormalitas chromosome, penyakit-penyakit

keturunan (genetik) dan faktor-faktor yang tidak diketahui (Idiopathic) (Hinton,

2013).

Faktor-faktor lingkungan seperti ibu yang terserang German measles

(rubella) selama kehamilan, maka infeksinya dapat mempengaruhi perkembangan

jantung dari bayi kandungannya (dan juga organ-organ lainnya). Jika ibunya

mengkonsumsi alkohol selama kehamilan, maka fetusnya dapat menderita fetal

alcohol syndrome (FAS) termasuk PJB (Hinton, 2013).


9

Exposure terhadap obat-obatan tertentu selama kehamilan dapat juga

menyebabkan PJB. Satu contoh adalah retinoic acid (nama merek Accutane) yang

digunakan untuk jerawat (acne). Contoh-contoh lain adalah obat-obat

anticonvulsant, terutama hydantoins (seperti Dilantin) dan valproate (Hinton,

2013).

Penyakit-penyakit tertentu pada ibu dapat meningkatkan risiko

mengembangkan PJB pada fetus. Bayi-bayi dari wanita dengan diabetes mellitus,

terutama pada wanita-wanita yang gula darahnya kurang optimal terkontrol

selama kehamilan, berisiko tinggi mendapat PJB. Wanita yang mempunyai

penyakit keturunan phenylketonuria (PKU) dan tidak berada pada special dietnya

selama kehamilan, bertendensi juga mempunyai bayi dengan PJB (Hinton, 2013).

Kelainan chromosome dapat menyebabkan penyakit jantung congenital

(chromosome mengandung materi genetic, DNA). Pada kira-kira 3% dari seluruh

anak-anak dengan PJB dapat ditemukan kelainan chromosome (Hinton, 2013).

2.5 Manifestasi Klinis

Pada neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri pulmonalis

yang tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis

sampai menuju nilai normal. Pada neonatus dengan PJB asianotik, selama tahanan

arteri pulmonalis masih tinggi, defek jantung yang ada belum menimbulkan

perubahan aliran darah dari sistemik ke paru. Setelah 4-12 minggu postnatal, pada

saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju nilai normal,

defek jantung yang dan akan menimbulkan perubahan aliran darah yaitu yang
10

seharusnya ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru terjadi pirau

kiri ke kanan disertai gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising sampai gagal

jantung dengan gejala utama takipnea (Keane, 2012).

Harus dibedakan takipnea akibat PJB dan akibat kelainan parenkhim paru,

Takipnea akibat PJB asianosis pada neonatus baru timbul bila peningkatan aliran

darah ke paru sampai lebih dari 2,5 kali aliran normal. Takipnea akibat penyakit

paru pada neonatus sudah timbul walaupun peningkatan aliran darah ke paru

masih ringan-ringan saja. Adanya penyakit pada paru akan memperjelas gejala

takipnea pada PJB usia neonatus (Keane, 2012).

Peningkatan aliran darah ke paru mengakibatkan peningkatan tekanan

prekapiler di paru dan aliran limfatik sehingga terjadi peningkatan cairan

intersisial di parenkhim paru dan terutama di peribronkhial. Hal ini

mengakibatkan penurunan fungsi bronkhioli dan terjadi penurunan aliran udara

serta peningkatan tekanan udara, kondisi ini meningkatkan work of breathing dan

terdengarnya wheezing expiratoir (Keane, 2012).

2.6 Klasifikasi

Penyakit jantung bawaan asianotik merupakan bagian terbesar dari seluruh

penyakit jantung bawaan. Pada pasien penyakit jantung asianotik tidak ditemukan

tanda atau gejala sianosis (Sayastid, 2013).

Berdasarkan pada ada tidaknya pirau, kelompok ini dapat dibagi menjadi

(Sayastid, 2013):
11

1. Penyakit jantung bawaan asianosis dengan pirau kiri ke kanan, yaitu defek

septum ventrikel, defek septum atrium, defek septum atrioventrikuler,

persisten duktus arteriosus

2. Penyakit jantung bawaan asianosis tanpa pirau, yakni stenosis pulmonal,

stenosis aorta, koartasio aorta

2.6.1 Ventricular Septal Defect (VSD)

Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan PJB berupa defek yang

berada pada setiap bagian septum ventrikel. Septum ventrikel terdiri atas bagian

membranous yang hanya merupakan bagian kecil saja, dan bagian muskular yang

luas dan terbagi atas inlet, trabecular dan outlet (infundibular) (Vick, 2011).

a. Prevalensi

Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan PJB paling sering, berkisar

15-20% dari seluruh PJB, angka ini berkurang pada usia dewasa dimana terjadi

penutupan spontan. Frekuensi wanita 56%, laki-laki 44%. Sering dijumpai pada

sindrom Down. Insiden tertinggi pada prematur dengan kejadian 2-3 kali lebih

sering dibanding bayi aterm (Moons et al., 2010).

b. Klasifikasi

Secara anatomis :

1. Defek pada regio septum pars membranosa disebut juga defek

paramembranosa atau perimembran, yang dibagi menjadi :

- Defek perimembran inlet

- Defek perimembran outlet

- Defek trabekuler
12

- Defek perimembran konfluen

2. Defek muskular, dibagi menjadi defek

- Defek muskular inlet

- Defek muskular trabekuler

- Defek muskular outlet

3. Defek septum subarterial (dobly commited subarterial defect)

Menurut ukurannya, dibagi menjadi :

- VSD kecil ( diameter defek 0-3 mm saat lahir atau defek <1/3

diameter aorta)

- VSD sedang (diameter defek 3-5mm saat lahir atau defek antara

1/3-2/3 diameter aorta)

- VSD besar ( diameter defek >5mm saat lahir atau defek mendekati

ukuran aorta) (Vick, 2011).

c. Embriologi

Defek sekat ventrikel terjadi karena terlambatnya penutupan sekat

interventrikuler pada 7 minggu pertama kehidupan intrauterin yaitu saat terjadi

interaksi antara bagian muskular inerventrikuler, bagian dari endikardium

(bantalan endokardium) dan bagian dari bulbus kordis. Pada saat itu terjadi

kegagalan fusi bagian-bagian septum interventrikuler, membran, jalan masuk,

jalan keluar atau kombinasinya yang bisa bersifat tunggal atau multipel.

Teori anomali embrional yang timbul yaitu:

1. Kurangnya jaringan pembentuk septum interventrikuler. Biasanya kelainan

ini adalah tipe yang berdiri sendiri terutama defek pada pars membranosa
13

2. Adanya defek tipe malalignment yang biasanya disertai defek intrakardial

yang lain (Richards, 2010).

d. Patofisiologi

Arah pirau VSD dari kiri ke kanan. Beratnya VSD ditentukan oleh ukuran

defek dan resistensi pulmonar-vaskular. Makin berat pirau makin kecil resistensi

pulmonal-vaskular, hal ini disebut dependent shunt. Onset gagal jantung kongestif

biasanya tertunda sampai umur 6-8 minggu (Park, 2008).

Pada VSD yang bekerja berlebihan adalah ventrikel kiri karena

peningkatan volume, hal ini mengakibatkan terjadinya dilatasi ventrikel kiri.

Karena saat terjadinya pirau adalah pada fase sistolik saat ventrikel kanan juga

berkontraksi maka darah dari ventrikel kiri melalui defek tanpa berhenti di

ventrikel kanan langsung menuju ke arteri pulmonal, sehingga tidak terjadi

dilatasi ventrikel kanan (Park, 2008).

VSD berbeda dengan ASD pada dilatasi atrium kiri. Sedangkan dengan

PDA, VSD sama pada adanya dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri. Pada defek

yang kecil, gambaran x foto thorax dan EKG masih dalam batas normal. Bising

terdengar karena adanya regurgitasi pada defek pada fase sistolik, sedangkan

intensitas P2 normal karena tekanan arteri pulmonal masih dalam batas normal

(Park, 2008).

Pada defek sedang, tedapat gambaran kardiomegali karena pembesaran

atrium kiri dan ventrikel kiri, sedangkan EKG menunjukkan gambaran hipertrofi

ventrikel kiri tipe volume overload. Bising yang terjadi adalah bising sistolik

karena adanya regurgitasi dan bising diastolik di apex karena adanya stenosis
14

relatif pada katup mitral. Peningkatan tekanan arteri pulmonal mengakibatkan

intensitas P2 meningkat (Park, 2008).

Pada defek besar, ukuran jantung lebih besar dibanding pada defek sedang

karena pirau yang lebih besar. Karena tekanan dan pirau yang besar dari ventrikel

kiri langsung ke ventrikel kanan, maka terjadi hipertrofi dan dilatasi ventrikel

kanan. X foto thorak nampak pembesaran biventrikuler, pembesaran atrium kiri,

vaskularitas pulmonal yang sangat meningkat. EKG menunjukkan adanya

kombinasi hipertrofi ventrikel, dan kadang-kadang hipertrofi atrium kanan. Dapat

terjadi gagal jantung kongestif (Park, 2008).

Bila defek yang besar pada VSD tidak diterapi, terjadi perubahan yang

ireversibel pada arteriol paru. Yaitu terjadinya pulmonary vascular obstruktive

disease (PVOD atau Eisenmenger’s sindrome). Perubahan nampak pada ukuran

jantung, EKG, dan penemuan klinis. Karena resistensi pulmonar-vaskular yang

sangat besar, mencapai level sistemik, beratnya pirau akan menurun, sehingga

ukuran jantung akan mengecil, gambaran hipertrofi ventrikel kiri pada EKG akan

menghilang tetapi gambaran hipertrofi ventrikel kanan tetap nampak karena

persistensi dari hipertensi pulmonal. Dengan kata lain, PVOD akan menyebabkan

ukuran jantung mengecil kecuali arteri pulmonal, dan pada EKG hanya dijumpai

hipertrofi ventrikel kanan. Pirau dua arah akan mengakibatkan sianosis. Bising

akan melemah bahkan hilang karena pirau yang mengecil. S2 akan mengeras dan

terdengar tunggal karena adanya hipertensi pulmonal (Park, 2008).


15

e. Manifestasi Klinis (ontoseno, 2014)

- Pada VSD kecil, anak asimtomatik dengan pertumbuhan dan

perkembangan yang normal.

- Pada defek sedang sampai besar terjadi hambatan pertumbuhan dan

perkembangan, penurunan toleransi latihan, infeksi paru yang berulang,

dan gagal jantung kongestif.

- Pada hipertensi pulmonal yang lama dapat terjadi sianosis dan penurunan

level aktivitas.

Pemeriksaan klinis:

- Anak dengan defek kecil akan tumbuh normal dan asianosis.

- Sebelum usia 2-3 bulan bayi dengan VSD besar dapat mengalami

penambahan berat badan yang buruk dan dapat terjadi gagal jantung

kongestif.

- Sianosis dan clubbing dapat muncul pada pasien dengan PVOD.

 Inspeksi jantung :

- Tampak sistolik thrill pada LPSS bawah

- Tampak pembonjolan prekordial dan hiperaktivitas

 Auskultasi jantung :

o Pada pirau kecil P2 normal, dan meningkat pada pirau besar.

o S2 yang keras dan tunggal pada PVOD

o Bising sistolik regurgitasi grade 2-5 / 6 terdengar pada LPS bawah.

Bising dapat holosistolik atau sistolik awal.

o Bising diastolik di apeks pada pirau sedang-besar


16

o Pada VSD infundibuler, terdengar bising diastolik dini dekresendo grade

1-3 /6 di atrium kanan. Bising ini terdengar karena adanya herniasi katup

aorta.

 EKG :

o VSD kecil, EKG normal

o VSD sedang, LVH dan kadang-kadang LAH

o VSD besar, kombinasi hipertrofi ventrikel, dengan atau tanpa LAH

o PVOD, hannya gambaran RVH

 X foto thorak :

- Kardiomegali (dilatasi atrium dan ventrikel sinistra, kadang ventrikel

dextra)

- segmen pulmonal menonjol disertai plethora.

- prunning.

 Echocardiografi : dapat mengidentifikasi jumlah, ukuran dan lokasi pasti

defek, memperkirakan tekanan arteri pulmonal, mengidentifikasi defek lain,

dan memperkirakan berat pirau.

f. Perjalanan Alamiah

 Penutupan spontan terjadi pada 30-40% pada 6 bulan pertama kehidupan.

 Defek inlet dan infundibular tidak dapat mengecil atau menutup spontan.

 Gagal jantung kongestif muncul pada bayi dengan VSD besar setelah usia 6-8

minggu.

 PVOD dapat mulai terjadi pada usia 6-12 bulan pada pasien dengan VSD

besar, tetapi pirau dari kanan ke kiri baru timbul pada usia remaja.
17

 Stenosis infundibular dapat muncul pada bayi dengan VSD besar dan

mengakibatkan penurunan pirau dari kiri ke kanan dan kadang-kadang dapat

terjadi pirau dari kanan ke kiri.

 Endokarditis infektif jarang muncul.

g. Tatalaksana (Ontoseno,2014.

- Tidak perlu aktifitas fisiknya dibatasi, kecuali bila terjadi hipertensi pulmoner;

- Jaga higiene mulut dan berikan pencegahan endokarditis infektif pada setiap

tindakan yang mengakibatkan perlukaan mukosa mulut;

- Pada bayi dengan gagal jantung kongestif perlu diberikan obat-obat anti-

kongestif (digoxin, vasodilator, diuretik) untuk mengurangi gejala bahkan

kemungkinan menutup spontan. Bila dalam tempo 2-4 bulan gangguan

pertumbuhan tidak teratasi, maka perlu intervensi bedah.

- Anemia bila ada harus dikoreksi dengan preparat besi per oral.

Pembedahan

Indikasi dan waktu

 Pada bayi-bayi dengan gagal jantung kongestif dan gagal tumbuh yang tidak

berespon dengan obat. Operasi dalam usia 6 bulan pertama kehidupan.

 Pirau kiri ke kanan dengan Qp/Qs setidaknya 2:1. Dikoreksi pada usia 1

tahun.

 Bayi-bayi dengan hipertensi pulmonal tetapi tidak disertai gagal jantung dan

gagal tumbuh harus segera dilakukan kateterisasi jantung pada usia 6-12

bulan, dan sesudahnya harus segera dilakukan operasi.


18

 Bayi yang lebih tua dengan VSD yang besar dan peningkatan resistensi

pulmonal harus secepatnya dilakukan operasi.

 Bayi dengan VSD kecil tanpa gagal jantung kongestif dan hipertensi

pulmonal, biasanya tidak perlu operasi.

 VSD kecil dengan Qp/Qs < 1,5:1 bukan indikasi operasi

Kontra indikasi

 PVR/SVR  0,5

 PVOD dengan pirau dari kanan ke kiri yang menonjol

h. Prognosis (Ontoseno,2014)

Penderita VSD kecil biasanya tanpa gejala. Diduga 70% kelainan ini akan

menutup spontan. Pada defek yang besardilakukan penanganan medik untuk

menghindari timbulnya hipertensi pulmonal, dan beberapa kemungkinan

komplikasi yang mengganggu tumbuh kembang anak. Faktor – faktor yang

dipikirkan dalam pengambilan keputusan menunggu ada tidaknya penutupan VSD

secara spontan :

1. Umur penderita

2. Lokasi defek

3. Mortalitas dan pembedahan

4. Defel multipel

5. Penyebab-penyebab diluar jantung


19

Gambar 2.2 Ventricular Septal Defect

2.6.2 Atrial Septal Defect (ASD)

Defek septum atrium (DSA) merupakan setiap lubang pada sekat atrium

yang menyebabkan hubungan antara atrium kanan dan kiri. Lebih kurang 10%

dari seluruh penyakit jantung bawaan. DSA sekundum berkisar 80 % dari seluruh

defek septum atrium. Angka kejadian lebih banyak pada wanita dari pada pria

(rasio pria : wanita = 1 : 2). Sekitar 30 – 50 % anak dengan defek jantung bawaan

mengalami defek septum atrium sebagai bagian dari defek jantung (Ontoseno,

2014).

a. Embriologi

Tumbuhnya sekat yang akan memisahkan atrium terjadi mulai minggu

kelima kehamialan. Sekat berasal dan tumbuh dari 2 tempat yaitu (Richards,

2010):

1. Septum primum
20

Septum ini tumbuh terlebih dahulu pada minggu kelima. Septum berasal

dari atap atrium komunis ke arah kaudal menuju endocardium cushion (

bantalan endokardium) dan sekat ventrikel yang sedang tumbuh juga.

2. Septum sekundum

Septum tumbuh setelah pertumbuhan septum primum, pada minggu

keenam, dari sebelah kanan septum primum, dari kaudal dan anterior

Bila septum sekundum tidak tumbuh dengan baik, terjadilah defek sekat

atrium tipe sekundum (tipe II) dengan tetap terbukanya ostium sekundum dari

septum primum. Bila septum primum tidak menutup sempurna dan tidak berfusi

dengan bantalan endokardium, terjadilah defek sekat atrium tipe primum (tipe I)

dengan ostium primum yang terbuka. Defek sekat atrium tipe I kadangkala

disertai dengan kelainan pada katup mitral atau trikuspidal.

b. Klasifikasi (Vick, 2011)

Berdasarkan kelainan anatomi, dibagi menjadi :

1. Defek sekat atrium tipe primum (tipe I)

Beberapa variasi anatomis defek tipe ini :

 Atrium tunggal (atrium komunis) yang sangat jarang terjadi,

dengan sekat atrium benar-benar tidak ada karena kegagalan total

pertumbuhan septum primum

 Adanya defek septum primum sekat atrium yang disertai dengan

defek pada daun katup mitral anterior dan trikuspidal (defek kanal

atrioventrikuler inkomplet)
21

 Adanya defek septum primum sekat atrium, defek katup mitral dan

trikuspidal dan ditambah dengan defek pada sekat ventrikel bagian

atas (defek kanal atrioventrikuler komplet)

2. Defek sekat atrium tipe sekundum (tipe II)

Tipe ini paling banyak sekitar 70%. Berdasarkan lokasi terbagi menjadi :

 Defek pada fosa ovalis.

Defek ini paling sering terjadi. Dapat tunggal maupun multipel

3. Defek tipe sinus venosus, terbagi menjadi :

 Defek tipe sinus venosus vena cava superior.

Defek teerjadi di superior sampai fosa ovalis. Insersi vena cava

superior terletak pada septum atrium sehingga terbentuk hubungan

interatria dalam mulut vena tersebut.

 Defek tipe sinus venosus vena cava inferior.

Defek terjadi di posterior dan inferior sampai fosa ovalis. Jenis ini

sangat jarang dengan lubang yang terletak di bagian bawah

orifisium vena kava inferior.

c. Patofisiologi

Beratnya pirau dari kiri ke kanan ditentukan oleh ukuran defek dan daya tampung

relatif ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Karena daya tampung ventrikel kanan

lebih besar daripada ventrikel kiri, terjadi pirau kiri ke kanan. Pada DSA terjadi

dilatasi atrium kanan, ventrikel kanan, dan arteri pulmonalis akibat penambahan

volume darah yang masuk ke dalam atrium kanan karena adanya defek pada

septum atrium. Hal ini tampak pada x foto thorax sebagai pembesaran ventrikel
22

kanan, atrium kanan, arteri pulmonalis, dan adanya corakan pulmoner-vaskular

yang meningkat. Atrium kiri tidak mengalami dilatasi karena penambahan volume

dari vena pulmonalis (akibat penambahan volume di arteri pulmonalis) tidak

berhenti di atrium kiri tetapi langsung masuk ke atrium kanan. Hal ini dapat

membedakan defek septum atrium dengan defek septum ventrikel (Park, 2008).

Dilatasi ventrikel kanan yang mengalami dilatasi memperpanjang waktu yang

diperlukan untuk depolarisasi ventrikel kanan karena jalurnya menjadi lebih

panjang menimbulkan pola RBBB (right bundle branch block) (dengan rsR’

dalam V1) pada EKG. Pola RBBB pada anak dengan DSA bukanlah akibat dari

blok yang aktual di berkas kanan. Jika durasi kompleks QRS tidak memanjang

secara abnormal, EKG mungkin terbaca sebagai hipertropi ventrikel kanan ringan.

Oleh karena itu RBBB atau hipertrofi ventrikel kanan ringan nampak pada

gambaran EKG anak dengan DSA (Park, 2008)

Bising jantung DSA tidak disebabkan karena pirau pada tingkat atrium. Karena

gradien tekanan antara atrium begitu kecil dan pirau terjadi di seluruh siklus

jantung baik dalam sistol maupun diastol, maka pirau kiri ke kanan adalah tanpa

gejala. Bising jantung pada DSA berasal dari klep pulmonalis karena

meningkatnya aliran darah (dua panah) melalui klep yang berukuran normal (yang

menimbulkan stenosis paru relatif), oleh karena itu saat bising adalah sistolik.

Peningkatan aliran darah melalui klep Trikuspid (dua panah) mengakibatkan

stenosis relatif pada klep ini dan diastolic rumble di daerah klep trikuspid (LLSB).

S2 yang terbelah lebar dan menetap, yang tipikal pada DSA, secara parsial adalah

akibat RBBB (penundaan listrik pada depolarisasi ventrikel kanan). Di samping


23

itu pirau atrium besar cenderung meniadakan fluktuasi yang berkaitan dengan

respirasi dalam venous return besar ke atrium kanan di seluruh siklus respirasi,

dan karenanya S2 menetap (Park, 2008)

d. Manifestasi Klinis (Ontoseno, 2014)

1. Bayi dan anak dengan DSA sering asimtomatik

2. Pemeriksaan klinis

 Tipe bentuk badan relatif kurus / kerempeng (berat badan kurang dari

persentil 10)

 Pada auskultasi jantung :

o Bunyi jantung II fixed dan terpisah lebar

o Bising ejeksi sistolik gr 2-3/6

o Bising mid diastolik di linea parasternal kiri akibat

Stenosis Tricuspidal relatif (pada pirau kiri ke kanan yang besar)

 Auskultasi pada bayi dengan DSA biasanya normal bahkan pada bayi-bayi

dengan defek yang besar.

3. Elektrocardiografi :

o RAD +90 s/d +180

o mid-RVH

o RBBB dengan pola rsR’ di V1

4. X foto thorak:

o Kardiomegali

o Arteri pulmonal yang menonjol dan corakan paru yang meningkat


24

e. Perjalanan Alamiah

 Laporan awal mengatakan bahwa penutupan spontan dari ostium

sekundum terjadi pada 40 % pasien pada 4 tahun pertama kehidupan. Pada

beberapa pasien defek mungkin akan mengecil.

 Laporan terbaru menyatakan bahwa angka keseluruhan dari penutupan

spontan defek adalah 87%

 Pada pasien yang didiagnosis sebelum usia 3 bulan

o defek <3 mm 100% akan menutup pada usia 1,5 tahun

o defek 3-8mm 80%akan menutup sebelum usia 1,5 tahun

o defek >8 mm jarang yang dapat menutup spontan

 Jika tidak diterapi pada usia 20-30an pasien akan menderita gagal jantung

kongestif dan hipertensi pulmonal

 Dengan atau tanpa operasi akan muncul aritmia atrial pada usia dewasa

 Endokarditis infektif tidak muncul pada pasien dengan DSA kelainan

tunggal

 Cerebrovascular accident karena embolisasi paradoxal merupakan

komplikasi yang jarang


25

Gambar 2.3 Atrial Septal Defect

2.6.3 Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah terbukanya duktus arteriosus

setelah bayi lahir. Penutupan fungsional duktus normalnya terjadi segera setelah

lahir. Pada bayi prematur biasanya mempunyai susunan anatomi yang normal dan

terbukanya duktus ini merupakan akibat dari hipoksia dan imaturitas. Duktus yang

tetap terbuka setelah bayi cukup bulan berusia beberapa minggu jarang menutup

secara spontan. Prevalensi sekitar 5-10% dari seluruh PJB, berhubungan dengan

prematuritas, wanita > laki-laki (3:1) (Vick, 2011).

Gambar 2.4 Patent Ductus Arteriosus


26

a. Embriologi

Sistem kardiovaskuler janin berasal dari lapisan mesoderm dan mulai

berkembang pada minggu ketiga kehidupan. Pada saat ini telah terbentuk kedua

ventrikel. Pada minggu keempat kehidupan sistem sirkulasi janin mulai berfungsi.

Arkus aorta terbentuk pada minggu keempat dan selanjutnya salah satu cabangnya

berkembang menjadi duktus arteriosus. Dalam beberapa saat setelah lahir, fungsi

plasenta digantikan oleh paru. Segera setelah mulai pernafasan spontan, tali pusat

dipotong, maka proses ini akan meningkatkan tahanan sistemik dan pada saat

yang sama paru mengembang dan oksigen masuk ke alveoli. Hal ini menyebabkan

turunnnya tahanan vaskuler paru (Richards, 2010).

Ketahanan vaskuler sistemik yang mendadak disertai turunnya tahanan

vaskuler paru menyebabkan aliran darah berbalik dari aorta ke arteri pulmonalis

melalui duktus arteriousus. Normalnya penutupan duktus 10-15 jam setelah

kelahiran. Mekanisme penutupan ini disebabkan karena kadar oksigen arterial,

kadar prostaglandin, genetik. Faktor tersebut menyebabkan nekrosis seluler pada

dinding duktus yang diikuti dengan konstriksi otot dinding duktus (Richards,

2010).

b. Patofisiologi

Hemodinamika PAD adalah serupa dengan VSD. Besarnya pirau kiri ke

kanan ditentukan oleh tahanan yang diberikan oleh duktus (yaitu diameter,

panjang, dan banyaknya lekukan) apabila duktus kecil. Jika duktus besar (pirau

dependen di tentukan oleh tingkat tahanan vaskuler paru. Oleh karena itu awitan

gagal jantung kongestif pada PDA adalah sama dengan awitan gagal jantung
27

kongestif pada PDA sama dengan awitan gagal jantung kongestif pada VSD Park,

2008).

Ventrikel dan pembuluh yang membesar sama seperti pada VSD, kecuali

untuk pembesaran aorta sampai ketinggian PDA (yaitu aorta asendens yang

membesar). Oleh karena itu, pada PDA, foto sinar-X memperlihatkan pembesaran

atrium kiri dan ventrikel kiri, aorta asendens besar dan MPA, dan peningkatan

PVM . Walaupun aorta membesar, tetapi ini biasanya tidak menimbulkan

bayangan jantung abnormal, karena aorta tidak membentuk bayangan jantung

Park, 2008).

Konsekuensi hemodinamik PDA sama dengan VSD. Pada PDA yang

mempunyai pirau kecil pembesaran ventrikel kiri minimal; oleh karena hasil EKG

dan foto thoraks mendekati normal. Karena terDapat gradien tekanan yang

signifikan antara aorta dan arteri paru dalam sistole maupun diastole, maka pirau

kiri ke kanan terjadi di seluruh siklus jantung yang karenanya menimbulkan

bising kontinyu pada kondisi ini. Pada pirau kecil, intensitas P2 adalah normal

karena tekanan arteri paru normal Park, 2008).

Konsekuensi hemodinamik PDA sama dengan VSD. Pada PDA yang

mempunyai pirau kecil pembesaran ventrikel kiri minimal; oleh karena hasil EKG

dan foto thoraks mendekati normal. Karena terDapat gradien tekanan yang

signifikan antara aorta dan arteri paru dalam sistole maupun diastole, maka pirau

kiri ke kanan terjadi di seluruh siklus jantung yang karenanya menimbulkan

bising kontinyu pada kondisi ini. Pada pirau kecil, intensitas P2 adalah normal

karena tekanan arteri paru normal Park, 2008).


28

Pada PDA ukuran sedang, ukuran jantung membesar secara sedang

disertai meningkatnya aliran darah paru. Serambi yang membesar adalah atrium

kiri, ventrikel kiri, dan segmen MMPA. EKG memperlihatkan hipertrofi ventrikel

kiri seperti pada VSD sedang. Di samping bising kontinyu karakteristik, mungkin

terdapat bunyi aliran diastolik apeks sebagai akibat stenosis mitral relatif Park,

2008).

Pada PDA besar, ditemukan kardiomegali yang mencolok dan

meningkatnya PVM. Overload volume pada ventrikel kiri dan atrium kiri dan

kadang ditemukan hipertrofi atrium kiri pada EKG. Transmisi bebas tekanan aorta

ke arteri paru menimbulkan hipertensi paru dan hipertensi ventrikel kanan dengan

mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan pada EKG. Oleh karena itu EKG

memperlihatkan hipertrofi ventrikel gabungan dan hipertrofi atrium kiri,

sebagaimana pada VSD besar. Bising kontinyu terjadi bersama suara diastolik

apeks keras disebabkan adanya stenosis mitral relatif. P2 meningkat intensitasnya

karena hipertensi paru Park, 2008).

PDA besar yang tidak dirawat juga Dapat menimbulkan PVOD, dengan

mengakibatkan pirau dua arah (yaitu kanan ke kiri dan kiri ke kanan) pada tingkat

duktus. Pirau dua arah tersebut Dapat menimbulkan sianosis hanya pada sseparuh

bagian bawah tubuh (yaitu sianosis diferensial). Seperti halnya VSD pada sindrom

Eisenmenger, ukuran jantung kembali normal karena berkurangnya ukuran pirau.

Vaskularisasi paru tepi berkurang, tetapi pembuluh hilus di tengah dan segmen

MPA mengalami dilatasi mencolok diebabkan hipertensi paru berat. EKG

memperlihatkan hipertrofi ventrikel kanan murni karena ventrikel kiri tidak lagi
29

mengalami overload volume. Auskultasi tidak lagi memperlihatkan bising

kontinyu atau bunyi apeks karena berkurangnyapirau. S2 adalah tunggal dan keras

disebabkan oleh hipertensi paru Park, 2008).

c. Manifestasi Klinis (Ontoseno, 2014)

 Asimtomatis bila duktus kecil

 Pada shunt yang besar sering terjadi ISPA bawah, atelektasis, dan gagal

jantung kongestif (disertai takipneu dan gagal tumbuh)

d. Klasifikasi

Tingkat Hipertrofi Tekanan Saturasi Perbandingan


ventrikel dan arteri oksigen sirkulasi
atrium kiri pulmonal pulmonal-
sistemik
I Tidak ada Normal Normal <1,5
II Minimal 30-60 mmHg Normal 1,5-2,5
III Signifikan + >60 mmHg Kadang >2,5
hipertrofi tapi masih sianosis
ventrikel dibawah
kanan yang tahan sistemik
minimal
IV Hipertrofi Lebih tinggi sianosis <1,5
biventrikel + dari tahanan
atrium kiri sistemik

Pemeriksaan fisik

 Takikardi dan dispneu saat beraktivitas pada anak PDA dengan pirau besar.

Bila terjadi PVOD Dapat terjadi pirau dari kanan ke kiri  sianosis terjadi

pada tubuh bagian bawah.

 Inspeksi

o Prekordium hiperaktivitas

o Sistolik thrill di linea parasternal kiri bagian atas


30

o Pulsus celer (peningkatan tekanan sistolik dan penurunan tekana

diastolik)

 Auskultasi

o P2 normal atau meningkat intensitasnya

o Bising kontinyu gr 4/6-6/6 di linea parasternal kiri daerah subclavicula

kiri

o Dapat terdengar bising di apeks bila pirau besar

EKG

- Mirip dengan VSD

- Terdapat gambaran LVH atau EKG dalam batas normal (pada PDA

kecil-sedang)

- Kombinasi ventrikel hipertrofi pada PDA yang besar

- Bila terjadi PVOD terdapat gambaran RVH

X foto thoraks :

- Mirip dengan VSD

- PDA yang kecil foto dapat nampak normal

- Tampak gambaran kardiomegali dengan corakan paru yang

meningkat

- Bila terjadi PVOD ukuran jantung menjadi normal dengan

penonjolan arteri pulmonal dan pembuluh darah hilus.

Echokardiografi

Dapat menentukan ukuran duktus

e. Penatalaksanaan (Ontoseno, 2014


31

 Indomethasin kurang efektif

 Tidak perlu pembatasan aktivitas bila tidak terjadi hipertensi pulmonal

 Diperlukan pemberian antibiotika profilaksis

a. Pembedahan

Indikasi

Kelainan anatomis pada PDA dan tidak ada penurunan ukuran

Kontra indikasi

PVOD

Waktu operasi

Antara usia 6 -12 bulan atau pada saat PDA ditemukan pada anak besar

Prosedur

Ligasi atau pemisahan

Mortalitas : < 1%

Komplikasi

 Jarang terjadi. Meliputi cidera nervus recurent laringeus (hoarseness), cidera

nervus prenikus kiri (paralisis hemidiafragma kiri), cidera duktus thoracikus.

 Rekanalisasi

f. Prognosis (Prognosis, 2014)

Pada penderita yang tidak bergejala, prognosisnya baik tapi masih mungkin terjadi

endokarditis infektif. Dapat terjadi gagal jantung, yang mungkin terjadi diatas 20

tahun. Angka harapan hidup menurun pada duktus dengan ukuran besar.
32

2.6.4 Stenosis Pulmonal

Stenosis pulmonal menunjukkan adanya obstruksi pada jalan keluar

ventrikel kanan atau arteri Pulmonalis atau cabangnya yang disebut stenosis

pulmonal perifer. Stenosis pulmonal ini dapat merupakan kelainan tersendiri

(stenosis pulmonal murni) atau bagian dari kelainan lain seperti tetralogy of

Fallot, tranposisi arteri besar, ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda (Vick,

2011).

Gambar 2.5 Stenosis Pulmonal

a. Jenis stenosis Pulmonal

Berdasarkan letaknya stenosis pulmonal Dapat dibagi menjadi :

1. Dibawah katup yaitu di infundibulum (stenosis subvalvular atau

infundibular)

2. Pada katup (valvular)

3. Diatas katup (supravalvular)

b. Prevalensi
33

Stenosis pulmonal murni sebagian besar berupa stenosis valvular dan merupakan

10% dari seluruh penyakit jantung bawaan. Lebih banyak terjadi pada perempuan

(Moons et al., 2010).

c. Manifestasi Klinis

 Pada stenosis pulmonal murni sering tidak memperlihatkan gejala

meskipun stenosis berat.

 Biasanya seperti anak sehat, tumbuh kembang normal, tampak bergizi baik

dengan wajah moon face

 Toleransi latihan normal

 Tidak terDapat infeksi saluran nafasyang berulang

Pemeriksaan Fisik

 Palpasi : pada stenosis sedang atau berat teraba getaran bising di sela iga

ke 2 tepi kiri sternum

 Bunyi jantung I normal diikuti klik ejeksi, yang menandakan daun katup

masih cukup leluasa bergerak.

 Klik terdengar di sela iga II parasternal kiri dan terdengar lebih keras saat

ekspirasi. Bila klik tidak terdengar lagi menunjukkan katup pulmonal

displastik atau tidak leluasa bergerak

 Bunyi jantung II terdengar split yang makinm melebar dengan bertambah

beratnya stenosis

 Komponen pulmonal bunyi jantung II (P2) terdengar lemah. Bila obstruksi

sangat berat maka bunyi jantung II terdengar tunggal


34

 Bising sistolik kasar derajat 3/6, punctum maksimum di sela iga II

parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang garis sternum kiri dan apeks.

Pada stenosis pulmonal murni makin berat stenosis makin keras derajat

bisingnya.

Radiologi

 Dilatasi pasca stenosis pada arteri pulmonalis pada tipe valvular

 Pada stenosis pulmonal murni vaskularisasi paru normal

 Pada ToF, vaskularisasi paru menurun

EKG

 Deviasi sumbu QRS ke kanan dengan hipertrofi ventrikel kanan

 Gelombang R tinggi dan gelimbang S dalam di V5 dan V6

 Dilatasi atrium kanan ( P pulmonal)

Ekokardiografi

 Pelebaran ventrikel kanan dengan atau tanpa pelebaran atrium kanan

 Dooming katup pulmonal ( berbentuk seperti kubah)

 Displasia katup pulmonal serta dilatasi pasca stenosis

 Pada steonis infundibular tampak infundibulum yang sempit

Kateterisasi jantung

 Perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan srteri pulmonalis antara 20-

100 mmHg bahkan Dapat mencapai 200 mmHg pada stenosis berat

 Perbedaan tekanan 20-40 mmHg : stenosis ringan

 Perbedaan tekanan 40-60 mmHg ; stenosis sedang

 Perbedaan tekanan lebih 60 mmHg : stenosis berat


35

d. Penatalaksanaan

 Pada stenosis pulmonal ringan : tidak perlu tindakan apapun, pemamtauan

secara berkala meliputi pemeriksaan fisik, EKG, ekokardiografi

 Pada stenosis pulmonal sedang sampai berat dilakukan baloon pulminary

vavulotomy

 Pencegahan terhadap endokarditis infektif

e. Prognosis

 Stenosis valvular dapat menjadi berat karena bertambahnya umur

2.6.5 Stenosis Aorta

Penyempitan pada jalur keluar pada ventrikel kiri pada katup aorta ataupun

pada area diatas maupun dibawah katup aorta yang mengakibatkan perbedaan

tekanan antara ventrikel kiri dan aorta (Vick, 2011).

Gambar 2.6 Stenosis Aorta


a. Prevalensi

Terjadi pada 3-8% pada penyakit jantung bawaan. Peningkatan insiden

setara dengan usia (Moons et al., 2010).

b. Tipe Stenosis Aorta Kongenital

Berdasarkan letaknya dibagi atas :


36

 Stenosis valvular

 Stenosia subvalvular

 Stenosis supravalvular

Berdasarkan berat ringannya stenosis , dibagi menjadi ;

 Stenosis aorta ringan dengan gradien katup < 25 mmHg

 Stenosis aorta sedang dengan gradien katup antara 25-60 mmHg

 Stenosis aorta berat dengan gradien katup > 65 mmHg

 Stenosis aorta kritis dengan gradien katup > 100 mmHg

c. Patofisiologi (Park, 2008)

Katup aorta normal mempunyai tiga daun katup. Pada Stenosis bentuk

daun katup kadang tidak beraturan, terjadi penyatuan sebagian, kalsifikasi dan

kaku. Hal ini mengakibatkan keterbatasan gerakan pembukaan katup, sehingga

menyebabkan kesukaran alira darah dari ventrikel kiri ke aorta. Katup aorta yang

tidak membuka sempurna menyebabkan aliran turbulensi, hal ini yang

menyebabkan bising. Tekana ventrikel kiri akan meningkat bila belanjut

menyebabkan penebalan dinding ventrikel. Pada hipetrofi yang berat dan

obstruksi katup Dapat menyebabkan terbatasnya curah jantung, berkurangnya

perfusikoroner, dan peningkatan pemakaina oksigen miokardium.

Peningkatan tekanan akhir distolik ventrikel menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan kapiler arteri pulmonalis, penurunan fraksi pancaran serta

curah jantung dan Dapat terjadi gagal jantung kongestif. Penurunan curah jantung

Dapat mengakibatkan terjadi sinkop atau kematian mendadak.

d. Manifestasi klinis
37

 Stenosis aorta valvular : gagal jantung konegtif pad minggu pertama pada

neonatus, pada anak yang lebih besar : tiba –tiba berhenti dari aktivitas

sambil memegangi dada karena nyeri dada, intoleransi aktivitas

 Stenosis aorta supravalvular dengan sindrom Williams: wajah khas (Elfin),

masalah pada gigi, retardasi mental, pertumbuhan terlambat, intoleransi

aktivitas, angina dan sinkop (Park, 2008)

e. Pemeriksaan fisik

 Stenosis aorta valvular : gizi baik, nadi perifer kecil dan tekanan nadi lebih

rendah dari normal, thrill sistolik pada fosa suprasternal, klik sistolik

mendahului bising sistolik kresendi dekresendo. Bisisng terdengar di sela

II iga kanan. Klik ejeksi disepanjang aksis aorta dan sering terdenngar di

apeks. Suara jantung IV menunjukkan adanya hipertrofi ventrikel kiri.

Pada neonatus didapatkan tanda syok berupa kulit warna abu-abu, nadi

keciil tidak teraba, dengan perfusi jelek. Takikardi, nafas cepat.

 Stenosis aorta supravalvular, selain sinrom Williams, terDapat bisisng

sistolik pada basis jantung yang menjalar sampai leher. S2 terdengar lebih

keras

f. Pemeriksaan penunjang

X foto thorax

 Stenosis valvular : dilatasi aorta ascenden pasca stenosis, pembesaran

jantung kiri

 Stenosis subaorta : yidak diDapatkan dilatasi aorta ascenden maupun

pembesaran jantung
38

 Stenosis supravalvular : kardiomegali

EKG

 Pada stenosis ringan : EKG normal, pada stenosis berat : segmen ST dan

gelombang T pada prekordial kiri, menunjukkan adanya hipertrofi

ventrikelkiri

Ekokardiografi

 Dengan ekokardigrafi Dapat menilai jumlah katup, ukuran aorta ascenden,

perbedaan tekanan maksimal di seberang katup, evaluasi fungsi ventrikel

dan fungsi katup

Kateterisasi

 Untuk menentukan tingkat keparahan stenosis dan untuk melebarkan

obstruksi katup

 Indikasi : kejadian pingsan, nyeri dada, perubahan segmen ST dan

gelombang T, perbedaan tekanan ekokardiografi > 60 mmHg

g. Penatalaksanaan

 Medikamentosa : untuk gagal jantung kongestif : diuretika dan

digoksin

 Operatif : ballon valvulotomy, operasi penggantian katup

h. Prognosis

 Resiko endokarditis meningkat

 Obstruksi terus berlanjut


39

2.6.6 Koartasio Aorta

Koartasio aorta adalah obstruksi pada aorta akibat penyempitan aorta yang

sebagian terletak di distal percabangan a. subcavia sinistra. Lokasi koartasio

hampir selalu ditempat masuknya duktus arteriosus (Vick, 2011).

Gambar 2.7 Koartasio Aorta

a. Epidemiologi

Di Amerika Serikat 6-8% dari penyakit jantung bawaan. Perbandingan

laki-laki :perempuan = 2:1.sekitar 90% tidak terkoreksi menimbulkan kematian

pada umur rata-rata 35 tahun (Moons, 2010),.

Menurut letaknya bisa terdapat pada :

 Muara duktus arteriosus

 Ligamentum arteriosum

 Menghubungkan arkus aorta dengan a.pulmonalis

 Proksimal koartasio

 Distal koartasio

Tipe koartasio aorta :

 Tipe preduktal ( penyempitan difus ismus aorta)


40

 Tipe pascaduktal (diskret)

b. Patofisiologi (Park, 2008)

Tipe penyempitan difusi ismus aorta merupakan akibat hipolpasia arkus

aorta Iv ventrikel kiri. Hipoplasia ini dapat disertai kelainan – kelainan

intrakardial lainnya seperti septum defek ventrikel , stenosis katup aorta, defek

sekat ventrikel. Tipe deskret penyempitanya banyak terjadi pada sambungan

antara duktus arteriosus dengan aorta. Tipe ini jarang ditemukan beserta dengan

kelainan intrakardial lainnnya.

Pada kehidupan intrauterin, aliran darah janin yang melalui aorta descenden

sebagian besar dipasok oleh darah dari ventrikel kanan melalui duktus arteriosus.

Sementara itu, aliran darah dari ventrikel kiri menyuplai ke aorta ascenden dan

cabang-cabangnya. Bila terdapat koartasio aorta yang cukup berat masih bisa

terkompensasi oleh ventrikel kanan melalui duktus arteriosus. Setelah bayi lahir

akan terjadi penutupan duktus, sehingga menyebabkan ventrikel kiri tidak dapat

mengkompensasi. Kegagalan ventrikel kiri akan menyebabkan hipertensi atrium

kiri yang diikuti hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal akan menyebabkan

beban kerja ventrikel kanan bertambah berat sehingga menyebabkan gagal jantung

kongestif.

Pada koartasio aorta yang ringan, beban ventrikel kiri akan meningkat

secara bertahap sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Kejadian ini akan

dikompensasi dengan pembentukan pembuluh darah kolateral untuk menyuplai

darah ke bagian tubuh bagian bawah. Anak tampak asimtomatik sampai terjadi

hipertensi atau komplikasi lainnya.


41

Bila terjadi gagal jantung kongestif, sistem saraf simpatis akan terpacu

shingga terjadi peningkatan denyut nadi dan tekanan darah.

c. Manifestasi klinis

Pada tipe penyempitan ismus aorta pada minggu-minggu pertama tampak

bayi anak malas minum, takipneu, letargi, berkembang progresif ke arah gagal

jantung kongestif. Pada tipe diskret biasanya tanpa gejala karena pembentukan

pembuluh darah koleteral. Dengan bertampahnya, koartasio menjadi relatif lebih

sempit sehingga anak mengeluh lemah, nyeri dada, sakit kepala, dan claudicatio

intermiten.

d. Diagnosis

Pemeriksaan fisik

 Pada tipe penyempitan ismus aorta :

 Bayi takikardia dan takipneu

 Perbedaan tekanan darah antara ekstremitas atas dan bawah

(ekstremitas atas lebih tinggi dari bawah) serta penurunan atau

tidak terabanya denyut nadi pada ekstremitas bawah.

 Bising ejeksi sistolik pada infraklavikula dan dibawah skapula kiri

 Pada tipe diskret

 Hipertensi pada ekstremitas atas, pengukuran tensi sebaiknya pada

keempat ekstremitas. Bila koartasio aorta terdapat pada atau

proksimal percabangan a. subklavia, tekanan darah pada lengan

kiri akan lebih rendah daripada lengan kanan.

 Bising pada daerah infraklavikula dan skkapula kiri


42

EKG

 Pada bayi dan neonatus : hipertrofi ventrikel kanan : rR’ dan R tinggi pada

V1-V2 serta S yang dalam di V5-V6

 Pada anak 1 tahun Dapat normal atau hipertrofi ventrikel kiri :

meningginya R pada V5-V6, depresi ST pada V5-V6 serta S yang dalam

di V1-V2

X foto Thorax

 Dua penanda koartasio aorta adalah lesi pada tepi bawah kosta ( rib

notching) dan gambaran angka 3 ( figure 3 sign) pada bagian proksimal

aorta descenden. Rib notching terjadi karena kompresi tulang iga akibat

arteri kolateral posterior yang berdilatasi, berlekuk-lekuk dan berdenyut.

Gambaran angka 3 menunjukkan koartasio.

Ekokardiografi

 Pandangan suprasternal melihat arkus aorta untuk evaluasi arkus aorta

transversa, ismus dan menilai keparahan koartasio. Doppler berguna untuk

menggambarkan lebar aliran pancar.

 Pada ekokardiografi 2 dimensi tampak adanya penyempitan lumen aorta di

diistal percabangan a. subklavia sinistra.

e. Tata laksana

 Terapi dini : atasi gagal jantung dengan diuretik, digoksin, prostaglandin

E1. Bila penderita stabil disarankan terapi bedah

 Terapi mulai lambat : atasi hipertensi


43

 Terapi pembedahan : dilakukan jika keluhan berat, tekanan darah lengan

lebih tinggi 30 mmHg dari normal, hipertrofi ventrikel kiri, kardiomegali,

notching rib. Macam teknik pembedahan : end to end anastomosis, patch

aortoplasty, left subclevian flap aortoplasty

f. Komplikasi

Koartasio rekuren, aneurisma aorta, aneurisma serebri, paralisis,

kardiomiopati

g. Prognosis

Pada asimptomatis memiliki prognosis lebih baik. Pada anak yang tidak

terkoreksi angka harapan hidup sekitar sekitar 35 tahun.

You might also like