You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sistem


muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau
saraf pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada
bagian yang terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai
kondisi berat, kronis dan lemah.
Gangguan muskuloskeletal merupakan salah satu masalah utama kesehatan
diseluruh dunia dengan prevalensi 35 – 50% (Lindgren dkk, 2010). Pada Nord –
Trøndelag County di Norwegia terdapat 45% dari populasi orang dewasa melaporkan
nyeri musculoskeletal kronis selama setahun terakhir (Hoff dkk, 2008). Gangguan
muskuluskeletal diantaranya fraktur, dislokasi, sprain, strain dan sindrom compartemen.
Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing
manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari
fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi
manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat
untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah
manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur
atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di
karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008).
Sprain atau keseleo merupakan cedera umum yang dapat menyerang siapa saja,
tetapi lebih mungkin terjadi pada individu yang terlibat dengan olahraga, aktivitas
berulang, dan kegiatan dengan resiko tinggi untuk kecelakaan. Sprain biasanya terjadi
pada jari-jari, pergelangan kaki, dan lutut. Bila kekurangan ligamen mayor, sendi
menjadi tidak stabil dan mungkin diperlukan perbaikan bedah.
Strain atau regangan adalah berlebihan peregangan otot, lapisan fasia nya, atau
tendon. Kebanyakan strain terjadi pada kelompok otot besar termasuk punggung bawah,
betis dan paha belakang. Strain juga dapat diklasifikasikan sebagai tingkat pertama (otot

1
ringan atau sedikit menarik), tingkat kedua (sedang atau otot robek pada tingkat
menengah) dan tingkat ketiga (robek parah atau pecah).

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan data-data di atas bagaimana konsep kegawatdaruratan pada truma
thorak ?
1. Bagaimana mekanisme trauma muskuloskeletal ?
2. Apa saja jenis-jenis trauma muskuloskeletal ?
3. Bagaimana penilaian awal trauma musculoskeletal?
4. Bagaimana trauma musculoskeletal yang mengancam jiwa?
5. Apa saja trauma yang mengancam musculoskeletal?
6. Bagaimana penatalaksanaan trauma musculoskeletal?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada trauma muskuloskeletal

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui mekanisme trauma muskuloskeletal
2. Untuk mengetahui jenis-jenis trauma muskuloskeletal
3. Untuk mengetahui penilaian awal trauma musculoskeletal
4. Untuk mengetahui trauma musculoskeletal yang mengancam jiwa
5. Untuk mengetahui apa saja trauma yang mengancam musculoskeletal
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma musculoskeletal
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada trauma muskuloskeletal

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme Trauma

2
Menentukan mekanisme terjadinya trauma merupakan hal yang penting karena
dapat membantu kita dalam menduga kemungkinan trauma yang mungkin saja tidak
segera timbul setelah kejadian. Trauma musculoskeletal bisa saja dikarenakan oleh
berbagai mekanisme.
Ada beberapa macam mekanisme trauma diantaranya:
a. Direct injury
Dimana terjadi fraktur pada saat tulang berbenturan langsung dengan benda
keras seperti dashboard atau bumper mobil.
b. Indirect injury
Terjadi fraktur atau dislokasi karena tulang mengalami benturan yang tidak
langsung seperti frkatur pelpis yang disebabkan oleh lutut membentur
dashboard mobil pada saat terjadi tabrakan.
c. Twisting injury
Menyebabkan fraktur, sprain, dan dislokasi, biasa terjadi pada pemain sepak
bola dan pemain sky, yaitu bagian distal kaki tertinggal ketika seseorang
menahan kaki ke tanah sementara kekuatan bagian proksimal kaki
meningkat sehingga kekuatan yang dihasilkan menyebabkan fraktur.
d. Powerfull muscle contraction
Seperti terjadinya kejang pada tetanus yang mungkin bisa merobek otot dari
tulang atau bisa juga membuat fraktur.
e. Fatique fracture
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya terjadi
pada telapak kaki setelah berjalan terlalu lama atau berjalan dengan jarak
yang sangat jauh.
f. Pathologic fracture

Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang seperti
kanker yang sudah metastase.

2.1 Jenis-jenis trauma muskuloskeletal


a. Fraktur
 Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua


bagian atau lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal disertai
krepitasi dan nyeri. Apabila terjadi fraktur maka tulang harus diimobilisasi

3
untuk mengurangi terjadinya cedera berkelanjutan dan untuk mengurangi rasa
sakit pasien.

Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih sering
mengalami fraktur daripada lakilaki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada monopouse
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

Fraktur merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas


seseorang akan mengalami gangguan fisiologis maupun psikologis yang dapat
menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif
dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan secara verbal maupun
non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat
kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan
pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat,
konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan (Engram, 1999)

 Etiologi
a. Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar daripada
daya tulang akibar trauma
b. Fraktur karena penyakit tulang seperti Tumor Osteoporosis yang disebut
Fraktur Patologis.

c. Fraktur Stress/ Fatique (akibat dari penggunaan tulang yang berulang-ulang).

 Tanda dan Gejala Fraktur

Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang terlokalisir
pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada yang menggigitnya atau

4
merasakan ada tulang yang patah. Apa yang dikatakan pasien merupakan
sumber informasi yang akurat.

Pada pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling
nyata dan dramatis juga hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan
primary survey dan lakukan tindakan penanganan trauma dan lakukan
stabilisasi jika memungkinkan.

a. Swelling
Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari pembuluh
darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang.
b. Deformitas
Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal.
c. Tenderness
Sampai palpitasi biasanya terlokalisir diatasbare trauma skeletal yang
dapat dirasakan dengan penekanan secara halus di sepanjang tulang.
d. Krepitasi
Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang yang
lainnya. Hal ini dapat dikaji selama pemasangan splin. Jangan berusaha
untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri trauma lebih lanjut.
e. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien dengan
fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap pada posisi yang
nyaman dan akan menolak menggerakannya. Bahkan pada pasien dengan
dislokasi akan menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang mengalami
dislokasi.
f. Exposed bone ends
Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur. Periksa pulsasi,
gerakan dan sensori di bagian distal pada setiap pasien dengan trauma
musculoskeletal.

 Jenis Fraktur
a. Fraktur Tertutup (Simple Fracture)
Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai hilangnya
integritas kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi salah satu pencetus
terjadinya perdarahan internal kekompartemen jaringan dan dapat
menyebabkan kehilangan darah sekitar 500 cc tiap fraktur. Setiap sisi

5
patahan memiliki potensi untuk menyebabkan kehilangan darah dalam
jumlah besar akibat laserasi pembuluh darah di dekat sisi patahan.
Fraktur tertutup biasanya disertai dengan pembengkakan dan hematom.
Strain dan sprain mungkin akan memberikan gejala seperti fraktur tertutup.
Dan karena diagnosis pasti terjadinya fraktur hanya dapat dilakukan
dengan pemeriksaan radiologi, maka berilah penanganan strain dan sprain
seperti penanganan tehadap fraktur tertutup.
b. Fraktur Terbuka (Compound Fracture)
Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang disertai gangguan
integritas kulit. Hal ini biasanya disebabkan oleh ujung tulang yang
menembus kulit atau akibat laserasi kulit yang terkena benda-benda dari
luar pada saat cedera. Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur terbuka
adalah perdarahan eksternal, kerusakan lebih lanjut pada otot-otot dan
saraf serta terjadinya kontaminasi. Sangat penting untuk mengenal adanya
luka didekat fraktur karena bisa menjadi pintu masuk dari kontaminasi
kuman. Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada penderita
trauma. Adanya luka terbuka didekat daerah yang diduga terjadi fraktur,
harus dipertimbangkan sebagai fraktur terbuka dan harus diberikan
penanganan seperti fraktur terbuka. Denyut nadi, pergerakan, sensasi dan
warna kulit harus segera dinilai dan terus dilakukan penilaian ulang secara
berkala.

 Tipe Fraktur
a. Fraktur Trasversal

6
Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai menembus
bagian tengah secara tegak lurus dari tulang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan langsung.
b. Fraktur Greenstick
Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan seperti dahan
yang masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada bagian luar
dari tulang perpendicular sampai batas tengah tulang.
c. Fraktur Spiral
Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan garis
frakturnya tidak rata
d. Fraktur Oblique
Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik.
e. Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.

 Prinsip Penatalaksanaan Fraktur

7
Kejadian fraktur jarang yang mengancam nyawa, meskipun demikian
penanganan pada kejadian yang mengancam nyawa telah dilaksanakan sampai
kondisi pasien stabil. Pertahankan jalan napas, control perdarahan, tutup luka
terbuka pada dada dan lakukan resusitasi cairan. Jika telah selesai barulah
identifikasi dan imobilisasi semua fraktur dan siapkan untuk transportasi
a. Penatalaksanaan Fraktur
 Stabilkan jalan napas.
 Kontrol perdarahan.
 Tutup sucking chest wound (luka terbuka pada dada).
 Resusitasi cairan.
 Jika ada fraktur terbuka, balut luka sebelum melakukan pembidaian
dan jangan mendorong kembali tulang yang terlihat.
 Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur termasuk sendi-
sendi, meskipun ada beberapa tulang pada fraktur yang dapat
diluruskan.
 Tourniket tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali pada trauma
amputasi atau anggota gerak yang sudah tidak dapat diselamatkan
lagi.
 Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien dan imobilisasi
sendi bagian atas dan bawah dari tulang yang fraktur.
b. Tujuan Imobilisasi
 Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi fraktur terbuka.
Hal ini mungkin terjadi jika ujung tulang yang fraktur masih dapat
bergerak bebas ketika pasien dipindahkan.
 Untuk mencegah kerusakan sekitar nervus, pembuluh darah dan
jaringan yang lain dari ujung tulang yang fraktur.
 Untuk meminimalkan perdarahan dan bengkak.
 Untuk mengurangi nyeri.

b. Dislokasi
 Definisi
Dislokasi adalah keluarnya pangkal tulang dari permukaan articular, kadang-
kadang disertai dengan robeknya ligament yang seharusnya menahan pangkal
tulang agar tetap berada pada tempatnya. Persendian yang biasanya terkenal
adalah bahu, siku, panggul dan pergelangan.
 Etiologi

8
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi,
diantaranya :
 Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
 Trauma akibat kecelakaan
 Trauma akibat pembedahan ortopedi
 Terjadi infeksi di sekitar sendi
 Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital: terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik: akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh
kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic: kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf
rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat
oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat
sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan
mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system
vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe
kliniknya dibagi menjadi :
 Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut
dan pembengkakan di sekitar sendi.
 Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi
yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi
berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral
joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur
yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh
karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.

 Tanda dan gejala


a. Nyeri
b. Deformitas
c. Paralisis
d. Hilangnya pulsasi (jika tekan nervus dan pembuluh darah).
Pada kebanyakan kasus pada pasien dengan fraktur atau dislokasi selalu
cek nadi, kekuatan otot dan sensasi (pulsasi, motorik dan sensorik) pada bagian
distal daerah yang terluka. Hilangnya pulsasi berarti ekstremitas dalam keadaan

9
yang membahayakan dan transportasi ke rumah sakit seharusnya tidak ditunda.
Informasikan terlebih dahulu ke rumah sakit yang akan dituju agar petugas dan
dokter bedah tulang telah siap ketika pasien tiba.

 Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong
kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-
kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium
dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan
tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan
bawah karakoid).

 Komplikasi
a. Komplikasi Dini
 Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang
mati rasa pada otot tesebut.
 Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.\
 Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut.
 Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan
kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40
tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis
membatasi abduksi.
 Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau
 Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
 Kelemahan otot

 Penatalaksanaan Dislokasi
Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi adalah imobilisasi pasien pada
posisinya saat pertama kali ditemukan. Jangan coba meluruskan atau
mengurangi dislokasi kecuali jika ada seorang ahli. Lakukan imobilisasi pada

10
bagian atas dan bawah sendi yang dislokasi untuk menjaga kestabilan waktu
transport.
Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada ektremitas
bawah adalah dislokasi pada lutut, sedangkan dislokasi pada pergelangan, siku,
bahu, panggul an pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3 jam tanpa
adanya bahaya kerusakan permanen.

Bagaimanapun juga ketika menolong pasien dengan dislokasi lutut dan


tidak ada pulsasi pada bagian distal. Maka harus dikoreksi dalam waktu 1
atau 2 jam setelah terjadi trauma. Dan seharusnya waktu sejak terjadinya
kecelakaan hingga sampai ke rumah sakit tidak lebih dari 1 jam.

c. Sprain
 Definisi
Sprain adalah injuri dimana sebagian ligament robek, biasanya disebabkan
memutar secara mendadak dimana sendi bergerak melebihi batas normal.
Organ yang sering terkena biasanya lutut, dan pergelangan kaki, cirri utamanya
adalah nyeri, bengkak dan kebiruan pada daerah injuri.

11
Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya tidak disertai
deformitas. Bagaimanapun juga lebih bail lakukan penanganan sprain seperti
penanganan fraktur lalu imobilisasi. Biarkan sendi yang mengalami sprain pada
posisi elevasi dan berikan kompres dingin jika mungkin.

 Etiologi
a. Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang
normal, seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.
b. Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi
normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.
 Manifestasi klinis
a. Nyeri
b. Inflamasi/peradangan
c. Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.
 Tanda Dan Gejala
a. Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
b. Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
c. Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
d. Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan
 Patofisiologi
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang
disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong /
mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo
terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada
trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut.
Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan

12
yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner & Suddart,2001:
2357)
 Pemeriksaan Diagnostik
a. Riwayat:
 Tekanan
 Tarikan tanpa peredaan
 Daya yang tidak semestinya
b. Pemeriksaan Fisik :
 Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal.
 Penatalaksanaan
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
b. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan
nyeri dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg
peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
c. Elektromekanis.
 Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C
 Pembalutan / wrapping eksternal. Dengan pembalutan, cast atau
pengendongan (sung)
 Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
 Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat
dan perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari
tergantung jaringan yang sakit.
 Penyangga beban. Menghentikan penyangga beban dengan
penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang
sakit.

d. Strain
 Definisi
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlabihan, peregangan
berlebihan, atay stres yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak
komplet dengan perdarahan kedalam jaringan (Brunner & Suddart, 2001: 2355).
Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot di sekitar sendi
dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada deformitas atau bengkak.
Strain lebih baik ditangani dengan menghilangkan beban pada daerah yang
mengalami injuri.

13
Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas dan evaluasi
dilanjutkan di ruang gawat darurat.

 Etiologi
a. Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak, seperti
pada pelari atau pelompat.
b. Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak.
c. Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang
berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan
pada tendon).

 Manifestasi Klinis
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
a. Nyeri
b. Spasme otot
c. Kehilangan kekuatan
d. Keterbatasan lingkup gerak sendi.
e. Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena
penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan :
f. Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain tennis bisa
mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus-
menerus dari servis yang berulang-ulang.

 Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah
yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot
belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring
(otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa
menghindarkan daerah sekitar cedera kontusio dan membengkak (Chairudin
Rasjad,1998).

14
 Klasifikasi Strain
 Derajat I/Mild Strain (Ringan)
Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad,1998).
a. Gejala yang timbul :
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot
b. Tanda-tandanya :
 Adanya spasme otot ringan
 Bengkak
 Gangguan kekuatan otot
 Fungsi yang sangat ringan
c. Komplikasi
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
d. Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun
tanda perdarahan yang besar.
e. Terapi
Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat,kompresi
dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan
otot.
 Derajat II/Medorate Strain (Ringan)
Derajat ii/medorate strain (ringan) yaitu adanya cidera pada unit
muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan.
a. Gejala yang timbul
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot
 Spasme otot sedang
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b. Komplikasi sama seperti pada derajat I :
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
c. Terapi :
 Immobilisasi pada daerah cidera
 Istirahat
 Kompresi
 Elevasi
e. Perubahan patologi :

15
Adanya robekan serabut otot
 Derajat III/Strain Severe (Berat)
Derajat III/Strain Severe (Berat) yaitu adanya tekanan/penguluran
mendadakyang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament
yang menghasilkan ketidakstabilan sendi.
a. Gejala :
 Nyeri yang berat
 Adanya stabilitas
 Spasme
 Kuat
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan fungsi otot
b. Komplikasi :
Distabilitas yang sama
c. Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
d. Terapi:
Imobilisasi dengan kemungkinan pembedahan untuk mengembalikan
fungsinya.
 Manifestasi Klinis
a. Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi otot
b. Nyeri mendadak
c. Edema
d. Spasme otot
e. Haematoma
 Komplikasi
a. Strain yang berulang
b. Tendonitis
 Penatalaksanaan
a. Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat
penyembuhan
b. Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol
pembengkakan.
c. Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering
diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi
perdarahan edema dan ketidaknyamanan.
d. Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam sedangkan mati rasa
biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung
selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin
untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan

16
memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan
perawatan konservatif.

e. Kontusio
 Definisi
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis : pukulan,
tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan pada
kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil
pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya
(Morgan, 1993: 63)
 Etiologi
 Benturan benda keras.
 Pukulan.
 Tendangan/jatuh

 Manifestasi Klinis
a. Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) karena rupture pembuluh
darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur.
b. Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
c. Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan
kehilangan darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).
 Gejala
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Perubahan warna
d. Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning, sekitar satu
minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan
terbatas.

17
e. Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau ungunya
beberapa hari setelah terjadinya cedera.
f. Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit. \
g. Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang
terbatas disebut hematoma.
h. Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan
yang menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191)

 Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada
kerusakan kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih
rentan rusak dibanding orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah
akan keluar dari pembuluhnya ke jaringan, kemudian menggumpal, menjadi
Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat terjadi jika sedang stres, atau
terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah menggumpal.
Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun (Hartono Satmoko, 1993:
192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalami fagositosis dan
didaur ulang oleh makrofag. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio
merupakan hasil reaksi konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih
lanjut bilirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin yang berwarna
kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap
mengalir dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi
pembuluh darah, jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme
pembekuan darah yang harus baik. Pada purpura simplex, penggumpalan darah
atau pendarahan akan terjadi bila fungsi salah satu atau lebih dari ketiga hal
tersebut terganggu (Hartono Satmoko, 1993: 192).
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis :
pukulan, tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan pada
kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil
pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya
(Morgan, 1993: 63)

 Etiologi
a. Benturan benda keras.

18
b. Pukulan.
c. Tendangan/jatuh

 Manifestasi Klinis
a. Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) karena rupture pembuluh
darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur.
b. Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
c. Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan
kehilangan darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).

 Gejala
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Perubahan warna
d. Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning, sekitar
satu minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan
terbatas.
e. Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau
ungunya beberapa hari setelah terjadinya cedera.
f. Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada
kulit. \
g. Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang
terbatas disebut hematoma.
h. Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan
yang menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191)

 Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada
kerusakan kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih
rentan rusak dibanding orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah
akan keluar dari pembuluhnya ke jaringan, kemudian menggumpal, menjadi

19
Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat terjadi jika sedang stres, atau
terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah menggumpal.
Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun (Hartono Satmoko, 1993:
192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalami fagositosis dan
didaur ulang oleh makrofag. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio
merupakan hasil reaksi konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih
lanjut bilirubin akan dikonversi menjadi hemosiderin yang berwarna
kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap
mengalir dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi
pembuluh darah, jumlah dan kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme
pembekuan darah yang harus baik. Pada purpura simplex, penggumpalan darah
atau pendarahan akan terjadi bila fungsi salah satu atau lebih dari ketiga hal
tersebut terganggu (Hartono Satmoko, 1993: 192).

 Penatalaksanaan
a. Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman.
b. Tinggikan daerah injury.
c. Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap
pemberian) untuk vasokonstriksi, menurunkan edema, dan menurunkan
rasa tidak nyaman.
d. Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam prtama (20-
30 menit) 4 kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi.
e. Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak.
f. Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada
indikasi (Brunner & Suddart,2001: 2355).
g. Menurut Agung Nugroho (1995: 53) penatalaksanaan pada cedera kontusio
adalah sebagai berikut:
h. Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan
kapiler.
i. Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan
jaringan-jaringan lunak yang rusak.
j. Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan
berikutnya.

2.3 Penilaian awal trauma musculoskeletal

20
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat
dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh
karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan
Initial assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Secondary survey

Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek


sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.

1. Persiapan
a. Fase Pra-Rumah Sakit
1) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian.
3) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti
waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
b. Fase Rumah Sakit
1) Perencanaan sebelum penderita tiba
2) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat
yang mudah dijangkau
3) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada
tempat yang mudah dijangkau
4) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan.
5) Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triage
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah
sakit. Penderita dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.
Penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu,

21
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.
3. Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat
yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan
diatas klavikula.
5) Evaluasi

b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi


1) Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan
terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak,
pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal

22
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel
darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita
usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah
(BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-
pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-
tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.
4. Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan
20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat (lihat tabel 2)
c. Evaluasi resusitasi cairan
1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal ( lihat gambar 3,
tabel 3 dan tabel 4 )
2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta
awasi tanda-tanda syok
3) Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan
awal.
4) Respon cepat
a) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance

23
b) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian
darah
c) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
d) Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan
5) Respon Sementara
a) Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
b) Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
c) Konsultasikan pada ahli bedah ( lihat tabel 5 ).
6) Tanpa respon
a) Konsultasikan pada ahli bedah
b) Perlu tindakan operatif sangat segera
c) Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung
atau kontusio miokard
d) Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya ( lihat tabel 6 )

2.4 Trauma musculoskeletal yang mengancam jiwa


1. Kerusakan pelvis berat dengan perdarahan
a. Trauma
Fraktur pelvis yang disertai perdarahan seringkali disebabkan fraktur
sakroiliaka, dislokasi, atau fraktur sacrum. Arah gaya yang membuka pelvic
ring akan merobek pleksus vena di pelvis dan kadang-kadang merobek
system, arteri iliakainterna (trauma komprresi anterior-posterior). Pada
tabrakan kendaraan, mekanisme fraktur pelvis yang tersering adalah tekanan
yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung menyebabkan hemipelvis
rotasi ke dalam, mengecilkan rongga pelvis dan mengurangi regangan
system vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan menyebabkan pubis
mendesak ke arah sistem urogenital bawah,sehingga menyebabkan trauma
uretra atau buli-buli.
b. Pemeriksaan
Diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan resusitasi.
Tanda klinis yang paing penting adalah adanya pembengkakan atau
hematom yang progresif pada daerah panggul, skrotum dan perianal. Tanda-
tanda trauma pelvicring yang tidak stabil adalah adanya patah tulang terbuka
daerah pelvix (terutama daerah perineum, rectum atau bokong), high riding
prostate (prostate letak tinggi), perdarahan di meatus uretra, dan
didapatkannya instabilitas mekanik. Instabilitas mekanik dari pelvic ring
diperiksa dengan manipulasi manuual dari pelvis. Petunjuk awalnya adalah

24
dengan ditemukannya perbedaan panjang tungkai atau rotasi tungkai
( biasanya rotasi eksternal ) tanpa adanya fraktur pada ekstremitas tersebut.
Bila penderita sudah stabil, maka foto rontgen AP pelvis akan menunjang
pemeriksaan klinis.
c. Pengelolaan
Pengelolaan awal disrupsi pelvis berat disertai perdarahan memerlukan
penghentian perdarahan dan resusitasi cairan dengan cepat. Penghentian
perdarahan dilakukan dengan stabilisasi mekanik dari pelvic ring dan
eksternal counter pressure. Teknik sederhana dapat dilakukan untuk
stabilisasi pelvissebelum penderita dirujuk. Traksi kulit longitudinal atau
traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama. Prosedur ini dapat
ditambah denganmemasang kain pembungkus melilit pelvis yang berfungsi
sebagai siling atau vacuum type long spine splinting device atau PASG.
Cara-cara sementara inidapat membantu stabilisasi awal. Fraktur pelvis
terbuka dengan perdarahan yang jelas, memerlukan balut tekan dengan
tampon untuk menghentikan perdarahan.

2. Perdarahan Besar Arterial


a. Trauma
Luka tusuk di ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri. Trauma tumpul
yangmenyebabkan fraktur atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek
arteri. Cedera ini dapat menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka
atau perdarahan di dalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal, hilangnya
pulsasinadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas nadi, dan
perubahan pada pemeriksaan Doppler dan ankle/brachial index. Ekstremitas
yang dingin, pucat, dan menghilangnya pulsasi menunjukkan gangguan
aliran darah arteri. Hematoma yangmembesar dengan cepat, menunjukkan
adanya trauma vaskuler.
c. Pengelolaan
Pengelolaan perdarahan besar arteri berupa tekanan langsung dan resusitasi
cairan yang agresif. Penggunaan torniket pneumatic secara bijaksana
mungkin akan menolong menyelamatkan nyawa. Penggunaan klem vaskular
ditempat perdarahan pada ruang gawat darurat tidak dianjurkan, kecuali
pembuluh darahnya terletak disuperfisial dan tampak dengan jelas. Jika

25
fraktur disertai luka terbuka yang berdarah aktif, harus segera diluruskan
dan dipasang bidai serta balut tekan diatasluka. Pemeriksaan arteriografi dan
penunjang yang lain baru dikerjakan jika penderita telah teresusitasi dan
hemodinamik normal.

3. Crush Syndrome ( Rabdomiolisis Traumatik )


a. Trauma
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebabkan kerusakan otot,
yang jika tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal. Kondisi ini
terjadi akibat crush injury pada massa sejumlah otot, yang tersering paha
dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perfusi otot, iskemia dan
pelepasan mioglobin.
b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap yang akan positif bila
diperiksa untuk adanya hemoglobin. Rabdomiolisis dapat menyebabkan
hipovodemi, asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia dan DIC
(Disseminated intravascular coagulation).
c. Pengelolaan
Pemberian cairan IV selama ekstrikasi sangat penting untuk melindungi
ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh mioglobin dapat
dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis osmotic untuk meningkatkan
isis tubulus dan aliranurine. Dianjurkan untuk mempertahankan output urine
100ml/jam sampai bebasdari mioglobin uria.

2.5 Trauma yang mengancam musculoskeletal


1. Patah Tulang Terbuka dan Trauma Sendi
a. Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan dunia
luar.Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri menyebabkan patah tulang
terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan
fungsi.
b. Pemeriksaan
Diagnosa didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik ekstermitas
yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa
kerusakaan luas otot serta kontaminasi.Jika terdapat luka terbuka didekat
sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan atau masuk kedalam
sendi, dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat

26
warna atau cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan
luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan luka terbuka padasendi adalah
dengan eksplorasi bedah dan pembersihan luka.
c. Pengelolaan
Setelah deskripsi atau trauma jaringan lunak, serta menentukan ada atau
tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma saraf maka segera dilakukan
imobilisasi. Penderita segera diresusitasi secara adekuat dan hemodinamik
sedapat mungkinstabil. Profilaksis tetanus segera diberikan.

2. Trauma Vaskuler, termasuk amputasi traumatic


a. Riwayat dan pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisensi vaskuler yang
menyertai trauma tumpul, remuk (crushing), puntiran, atau trauma tembus
ekstremitas.Trauma vaskuler parsial menyebabkan ekstremitas bagian distal
dingin, pengisian kapiler lambat, pilsasi melemah dan ankle/brachial index
abnormal. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat dan
nadi tidak teraba.

b. Pengelolaan
Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan nekrosis
akan segera terjadi. Saraf juga akan sangat sensitif terhadap keadaan tanpa
oksigen.Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan
aliran darah padaekstermitas distal yang terganggu. Jika gangguan
vaskularisasi disertai fraktur harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan
memasang bidai. Iskemia menimbulkan nyeri hebat dan konsisten.Amputasi
traumatik merupakan bentuk terberat dari fraktur terbuka yang
menimbulkan kehilangan ekstermitas dan memerlukan konsultasi dan
intervensi bedah. Patah tulang terbuka dengan iskemia berkepanjangan,
trauma saraf dankerusakan otot mungkin memerlukan amputasi.Penderita
dengan trauma multipel yang memerlukan resusitasi intensif dan operasi
gawatdarurat bukan kandidat untuk reimplantasi.Anggota yang teramputasi
dicuci dengan larutan isotonic dan dibungkus kasasteril dan dibasahi lautan
penisilin (100.000 unit dalam 50 ml RL ) dan dibungkus kantong plastik.
Kantong plastik ini dimasukkan dalam termos berisi pecahan es, lalu
dikirimkan bersama penderita.

27
3. Cedera Syaraf akibat Fraktur – Dislokasi
a. Trauma
Fraktur atau dan dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang
disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisi saraf dengan persendian.
Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan
ditangani secara cepat.
b. Pemeriksaan
Pemeriksaan neurologis yang teliti selalu dilakukan pada penderita dengan
trauma musculoskeletal. Kelainan neurologis atau perubahan neurologis
yang progresif harus dicatat. Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan
deformitas dari musculoskeletal. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan
kerja sama penderita. Setiap saraf perifer yang besar diperiksa fungssi
motorik dan sensorik perlu diperiksa secara sistematik.

Tabel 2
Pemeriksaan Saraf Perifer Ekstremitas Superior

SARAF MOTORIK SENSORIK TRAUMA


Ulnaris Abduksi telunjuk Kelingking Trauma siku
Medianus, distal Oposisi tenar Telunjuk Dislokasi
pergelangan tangan
Medianus, Fleksi ujung Fraktur
interosea anterior telunjuk suprakondiler (anak)
Muskulokutaneus Fleksi siku Lengan bawah Dislokasi sendi bahu
bagian lateral anterior
Radialis Ekstensi ibu jari, Web space ke-1 Humerus distal,
jari dan sendi bagian dorsal dislokasi bahu
MCP anterior
Aksilaris Delltoid Bahu lateral Dislokasi bahu
anterior, fraktur
humerus proksimal

Tabel 3
Pemeriksaan Saraf Perifer Pada Ekstremitas Inferior

SARAF MOTORIK SENSORIK TRAUMA


Femoralis Ekstensi lutut Lutut anterior Fraktur ramus
pubis
Obturatorius Adduksi sendi Medial paha Fraktur cincin
panggul obturator
Tibialis posterior Fleksi jari kaki Telapak kaki Dislokasi lutut
Peroneus Eversi ankle Dorsum pedis Dislokasi lutut,
superficial bagian lateral fraktur kolum
fibula

28
Peroneus Dorsofleksi ankle Web space ke-1 Fraktur leher fibula
fropundus atau jari dan 2 bagian kaki
Ischiadicus Dorsofleksi kaki Kompartemen
plantar dislokasi sendi
Glutealis Abduksi sendi Panggul posterior
superior panggul fraktur asetabulum
Glutealis inferior Ekstensi lutut, Fraktur asetabulum
sendi panggul,
gluteus
maksimum

c. Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera diimobilisasi dalam posisi dislokasi
dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Setelah reposisi, fungsi saraf di
reavaluasi dan ekstremitas dipasang bidai.

4. Trauma Ekstremitas Yang Lain


a. Kontusio dan Laserasi
Secara umum laserasi memerlukan debridemen dan penutupan luka. Jika
laserasi meluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk
membersihkan luka danmemeriksa struktur-struktur di bawahnya yang
rusak. Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi.
Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan.
Kontusio diobati dengan kistirahat dan pemakaian kompresdingin pada fase
awal. Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis :
pukulan, tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan
pada kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah
kecil pecah, sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan
sekitarnya (Morgan, 1993: 63)
b. Trauma Sendi
Trauma sendi bukan dislokasi (sendi masih dalam konfigurasi anatomi
normal tetapi terdapat trauma ligamen) biasanya tidak mengancam
muskuloskeletal, walaupun dapat menurunkan fungsi musculoskeletal.
Biasanya ditemukan adanya gaya abnormal terhadap sebagian contoh
tekanan terhadap bagian anterior yang mendorong kebelakang,tekanan
terhadap bagian lateral tungkai yang menimbulkan regangan valgus pada

29
lutut atau dengan lengan ekstensi sehingga menimbulkan trauma hiperfleksi
siku.
c. Fraktur
Definisi fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang menimbulkan
gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Krepitasi dan gerakan
abnormal ditempat fraktur kadang-kadang dilakukan untuk memastikn
diagnosis, tetapi hal ini dapat menambah sangat nyeri kerusakan jaringan
lunak. Pembengkakan,nyeri tekan dan deformitas biasanya cukup untuk
membuat diagnosis fraktur. Mempertimbangkan status hemodinamik pasien,
foto rontgen harus mencakup sendiatas dan bawah tulang yang fraktur,untuk
menyingkirkan dislokasi dan trauma lain.

2.6 Penatalaksanaan trauma musculoskeletal


1. Penilaian Cedera :
a. Penilaian awal – ABC
b. Sejarah :
c. Keluhan utama
d. Mekanisme cedera
e. Tanda dan gejala
f. Fokus penilaian fisik
1) Pengamatan/observasi
2) Inspeksi
3) Palpasi
4) 5 P : Pain, Pallor, Pulselesness, Parestesia, Paralysis
2. Intervensi :
a. R = Istirahat / mengimobilisasikan
b. I = Es
c. C = Kompresi
d. E = Elevation
e. S = Dukungan
3. Indikasi Splinting :
a. Pencegahan cedera lebih lanjut
b. Mengurangi Nyeri
c. Mengurangi pembengkakan
d. Menstabilkan fraktur atau dislokasi
e. Meringankan gangguan fungsi neurologis atau kejang otot
f. Mengurangi darah dan kehilangan cairan ke jaringan
4. Poin Kunci Imobilisasi / Splinting :
a. Imobilisasi dilakukan di sendi bagian atas dan di bagian bawah dari
cedera
b. Menilai Status neurovaskular cedera di daerah distal sebelum aplikasi
belat dan setelah aplikasi belat

30
c. Jika angulation di situs fraktur tanpa kompromi neurovaskular,
imobilisasi dikerjakan
d. Minimalkan gerakan ekstremitas selama belat
e. Pembelatan yang aman untuk memberikan dukungan dan kompresi
f. Menilai kembali / memonitor status neurovaskular setiap 5-10 menit

31
2.7 Pathway

2.8 Asuhan keperawatan kegawatdaruratan trauma muskuloskeletal


1. Pengkajian

32
a. Identitas pasien.
b. Keluhan Utama.
Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan mobilitas /
ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat penyakit sekarang
 Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau
setelah berolah raga.
 Daerah mana yang mengalami trauma.
 Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
e. Riwayat Penyakit Dahulu.
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau
mengalami trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya
f. Riwayat Penyakit Keluarga.
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
g. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi : Kelemahan, Edema, Perdarahan perubahan warna kulit,
Ketidakmampuan menggunakan sendi.
 Palpasi : Mati rasa
 Auskultasi
 Perkusi
h. Pemeriksaan Penunjang
Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk membedakan
dengan patah tulang.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai darah ke jaringan
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, pemasangan
traksi
e. Resiko syok berhubungan dengan kehilangan volume darah

3. Intervensi keperawatan
Diagnosa keperawatan NOC NIC

Nyeri akut berhubungan Pain level Pain management


 Lakukan pengkajian nyeri,
dengan agen cedera Comfort level
catat lokasi dan
Kriteria hasil :
intensitas( skala 0-10).
 Mampu mengontrol
Catat factor-faktor yang

33
nyeri (tahu penyebab, mempercepat dan tanda-
mampu tanda rasa sakit non verbal.
 Pertahankan immobilisasi
menggunakan teknik
bagian yang sakit dengan
nonfarmakologi,
tirah baring, gips,
untuk mengurangi
pembebat.
nyeri dan mencari
 Tinggikan bagian ekstremitas
bantuan)
yang sakit.
 Mampu mengenali  Dorong pasien untuk
nyeri mendiskusikan masalah
(skala,intensitas, sehubungan dengan cedera.
frekuensi dan tanda  Ajarkan teknik non

nyeri) farmakologi (teknik

 Menyatakan rasa relaksasi nafas dalam)

nyaman setelah nyeri


6. Kolaborasi :
berkurang)
 Lakukan kompres dingin/es
24-48 jam pertama dan
sesuai keperluan.
 Kolaborasi pemberian
analgetik untuk
mengurangi nyeri
Gangguan mobilitas Joint movement :active Exercise therapy :ambulation
 Kaji kemampuan pasien
fisik berhubungan Self care :ADLs
dalam mobilisasi
dengan gangguan Kriteria hasil :
 Instruksikan klien / bantu
muskuloskeletal  Klien meningkat dalam
dalam rentang gerak klien/
aktivitas fisik aktif pada ekstremitas yang
 Bantu untuk mobilisasi sakit dan yang tidak sakit.
(walker)  Dampingi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
 Ajarkan pasien dan
keluarga tentang teknik
ambulasi.
 Kolaborasi dengan terapi
fisik tentang rencana

34
ambulasi sesuai kebutuhan
Ketidakefektifan perfusi Circulation status Peripheral sensation
jaringan perifer Kriteria hasil : management
berhubungan dengan  Tekanan sistole dan
 Observasi warna kulit atau
penurunan suplai darah siastole dalam rentang
membran mukosa.
ke jaringan normal
 Tingkat kesadaran  Observasi perubahan status
membaik mental.

 Awasi tanda-tanda vital.

 Tinggikan kepala/ tempat


tidur sesuai dengan
kebutuhan atau toleransi
klien.

Kerusakan integritas Tissue integrity : skin Pressure management


kulit berhubungan and mucous membranes
Insision site care
dengan fraktur terbuka, Kriteria hasil :
pemasangan traksi Integritas kulit yang baik  Monitor tanda dan gejala
bisa diperhatikan (sensasi, infeksi pada area insisi
elastisitas,
 Mobilisasi pasien setiap 2
pigmentasi,hidrasi,
jam sekali
temperatur)
Perfusi jaringan baik  Membersihkan.memantau,
dan meningkatkan proses
penyembuhan pada luka

 Ganti balutan pada luka


sesuai indikasi

Resiko syok Syok prevention Syok prevention


berhubungan dengan Kriteria hasil :
 Monitor status sirkulasi BP,
kehilangan volume  Nadi dalam batas yang
diharapkan warna kulit, suhu kulit,
darah
 Frekuensi nafas dalam denyut jantung, HR, dan

35
batas yang diharapkan ritme, nadi perifer, dan
kapiler refill.

 Monitor suhu dan


pernafasan

Defisit perawatan diri Activity tolerance  Tentukan kemampuan saat


berhubungn dengan Self care status ini dan hambatan untu
gangguan Kriteria hasil : partisipasi dalam
muskuloskeletal  Menyatakan perawatan diri.
kenyamanan terhadap
kemampuan untuk  Ikut sertakan klien dalam
melakukan ADLs
rencana perawatan pada
 Dapat melakukan
ADLS dengan tingkat kemampuan.
bantuan
 Dorong untuk perawatan
diri.

 Bantu dalam melakukan


pemenuhan kebutuhan
sehari-hari.

 Konsultasi dengan ahli


fisioterapi atau okupasi.

36
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Trauma muskuloskletal biasanya menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya
dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling
sering terjadi akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan
dislokasi.
Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan
lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung mengenai
jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh. Sprain adalah bentuk cidera berupa
penguluran atau kerobekan pada ligament (jaringan yang menghubungkan tulang
dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan stabilitas sendi. Strain adalah
bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur muskulo-tendinous (otot
dan tendon) sedangkan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi.

3.2. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan kita tentang konsep trauma musculoskeletal. Kami selaku penulis sadar
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar makalah
selanjutnya dapat lebih baik lagi. Terima Kasih.

37
DAFTAR PUSTAKA

Andri Andreas.Dr. 2012. Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD Dinkes
Provinsi DKI Jakarta.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC
Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan(Edisi 3)
Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Junaidi, Iskandar. 2011. Pedoman Pertolongan Pertama Yang Harus Dilakukan Saat
Gawat Dan Darurat Medis. Yogyakarta: Andi Yogyakarta

38

You might also like