You are on page 1of 35

LEGENDA DARI ACEH

MENTIKO BETUAH

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Raja yang kaya raya. Ia seorang Raja yang di senangi
oleh rakyatnya. Ia sangat bijaksana dan baik hati. Namun, kebahagiaannya terasa kurang
karena Raja dan Permaisurinya belum juga di karuniai seorang anak. Suatu hari, Raja di
beritahukan oleh salah satu penasehat Kerajaan untuk pergi ke Hulu Sungai, dan meminta
sebuah permohonan. Akhirnya, Raja mengajak Permaisuri untuk pergi ke Hulu Sungai untuk
membuat permohonan agar di karuniai seorang anak.

Tempat yang mereka tuju sangat jauh dari Kerajaan. Mereka harus menyebrangi sungai, naik
dan turun gunung dan melewati hutan belantara. Setibanya di tempat tujuan, mereka langsung
membuat permohonan agar segera di karuniai seorang anak. Setelah, membuat permohonan
mereka kembali ke Istana dan berharap permohonan tersebut segera terkabul.

Setelah menunggu cukup lama. Akhirnya, doa mereka terkabul. Permaisuri sudah
mengandung satu bulan. Mendengar kabar tersebut Raja dan Permaisuri sangat bahagia.
Delapan bulan kemudian, lahirlah seorang bayi Laki-laki yang diberi nama Rohib. Raja
sangat bahagia menyambut kelahiran Putra pertamanya yang selama ini ditunggu bertahun-
tahun kehadirannya.

Raja dan Permaisuri sangat memanjakan Rohib. Mereka membesarkan Rohib dengan penuh
kasih sayang. Waktu berjalan begitu cepat, Rohib pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari,
Raja mengirim anak kesayangannya itu untuk belajar keluar dari Istana. Sebelum, ia
berangkat untuk belajar. Raja pun berpesan.

‘’ Belajarlah dengan giat anakku, agar kelak kau dapat memimpin kerajaan ini dengan baik.’’
Pesan sang ayah kepada anaknya.

Bertahun-tahun Rohib belajar. Namun, ia tidak dapat menyelesaikan pelajarannya dengan


baik. Ia terbiasa di manja oleh kedua orang tua. Sang Ayah sangat marah mengetahui bahwa
anaknya Rohib tidak menyelesaikan belajarnya selama ini. Suatu hari, Rohib pulang sebelum
masa belajarnya habis
‘’ Hei, Anakku Rohib! Apa saja yang kau pelajari disana? Mana hasil belajarmu disana? Kau
benar-benar tidak tahu diri. Aku mengirimu untuk belajar.! Pengawal, gantung anak ini
sampai mati!’’ perintah sang Raja.

Karena sangat marah dan kecewa Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan
hukuman mati kepada anaknya sendiri. Namun, permaisuri memohon agar Putranya tidak di
hukum mati. Permaisuri pun mengusulkan saran agar Rohib di keluarkan dari Istana dan
memberikan uang untuk berdagang. Akhirnya, sang Raja pun menyetujui usulan istrinya
tersebut.

Tidak lama kemudian, Rohib pun berpamitan kepada kedua orang tuanya. Permaisuri tidak
henti-hentinya menangis melihat anaknya harus hidup seorang diri di luar sana. Ia pun pergi
dari satu kampung ke kampung yang lain.

Suatu hari, di tengah perjalanan Rohib melihat beberapa anak sedang menyiksa Binatang
seperti tikus, kucing, anjing dan menembak Burung dengan ketapel. Ia pun menghampiri
sekumpulan anak-anak tersebut. Rohib pun menasehati mereka. Namun, yang di nasehati
tidak mau mendengarkan mereka terus menyiksa Binatang tersebut. Rohib pun menawarkan
akan memberikan mereka uang. Dengan syarat mereka tidak boleh menyiksa Binatang.
Tawaran tersebut di terima dengan senang. Sekumpulan anak-anak tersebut meninggalkan
tempat tersebut.

Uang tersebut adalah yang diberikan orang tuanya sebagai modal untuk bedagang. Namun,
uang tersebut, lama kelamaan habis. Karena di berikan kepada orang-orang yang menyiksa
Binatang. Perjalanan tersebut sangat melelahkan. Rohib pun berhenti untuk istirahat di tengah
hutan dan tertidur di bawah pohon yang rindang.

Rohib pun terbangung dari tidurnya. Namun, ia sangat terkejut melihat seekor Ular raksasa
berada di hadapannya. Rohib pun bersiap untuk lari karena ketakutan. Tapi, Ular tersebut
menghampiri dengan ramah. Ular tersebutpun dapat berbicara seperti manusia.

‘’ Haii, Rohib, jangan takut. Aku tidak akan memakanmu! Aku adalah Raja Ular di hutan ini.
Mengapa kau ada disini dan bersedih?’’ Tanya Ular tersebut.

Mendengar perkataan sang Ular, Rohib pun akhirnya, menceritakan apa yang sudah terjadi.
Ia pun menceritakan bahwa uangnya habis karena di berikan kepada orang-orang yang sudah
menyiksa Binatang.

‘’ Kamu sungguh anak baik Rohib. Karena kebaikkan mu, aku akan memberikan benda ini!’’
sang Ular mengeluarkan sebuah benda yang berbentuk seperti permata.

‘’ Benda apa ini? Tanya Rohib bingung.

‘’ Ini adalah Mentiko Bertuah. Ini adalah sebuah benda yang dapat mengabulkan semua
permintaan yang kamu minta.’’ Jawab sang Ular.
‘’ Terima kasih tuan Ular.’’ Kata Rohib senang

Rohib pun langsung meminta kepada Mentiko Bertuah uang yang sangat banyak. Tidak
menunggu lama, Mentiko Bertuah mengabulkan permintaannya. Rohib pun kembali ke Istana
untuk menyerahkan uang tersebut kepada Ayahnya. Setibanya ia di Istana. Sang Raja sangat
senang melihat anaknya dapat bertanggung jawab dan menghilangkan sikap manjanya. Serta
membawa uang banyak hasil dari usahanya sendiri.

Setelah ia memberikan uang tersebut kepada Ayahya. Ia pun pergi membawa Mentiko
Betuah tersebut kepada Tukang Emas untuk dijadikan cincin. Karena ia takut Mentiko
Betuah tersebut hilang. Namun, Tukang Emas tersebut menipu Rohib dan membawa kabur
Mentiko Bertuah tersebut. Rohib pun sangat bingung bagaimana untuk mengejar Tukang
Emas tersebut. Akhirnya, ia meminta bantuan kepada para hewan sahabatnya yaitu seekor
Tikus, Kucing dan Anjing. Sang Anjing pun berhasil menemukan jejak Tukang Emas dengan
mudah. Mereka pun berhasil menemukan Tukang Emas yang sedang tertidur. Sedangkan
tikus,berusaha mencari Mentiko Bertuah,dan menemukannya dan mengambil cincin itu.

Sebelum dikembalikan kepada Rohib,tikus menipu anjing dan kucing dengan mengatakan
bahwa Mentiko Bertuah sudah terjatuh ke dalam sungai dan hilang.Karena itu,Anjing dan
Kucing panik dan mencari Mentiko Bertuah ke dasar sungai.

Sang Tikus pun menyerahkan cincin itu kepada Rohib. Rohib sangat senang dan berterima
kasih kepada Tikus dan mengira bahwa Tikuslah yang paling berjasa dalam mencari Mentiko
Bertuah.

”Terima kasih tikus,kamu memang yang paling berjasa mencarikan Mentiko Bertuah .Aku
ucapkan sekali lagi terimakasih kepadamu tikus”. Ujar Rohib.

Ketika Si Kucing dan Anjing menghadap Rohib, mereka terkejut karena benda itu sudah ada
pada Rohib. Rupanya perilaku licik si Tikus sudah tercium oleh mereka berdua. Mengetahui
hal itu,Kucing dan Anjing menjadi kesal. Mereka pun marah besar. Sejak itulah Anjing dan
Kucing memusuhi Tikus.

Pesan moral dari Kumpulan Cerita Rakyat Indonesia Dari Aceh adalah jangan putus asa
ketika cobaan datang. Selalu berusaha dan berbuat baik maka engkau akan dapat mengatasi
segala rintangan
LEGEND OF ACEH
MENTIKO BETUAH

In ancient times, there lived a King wealthy. He was a King who in enjoy by the people. He
was very thoughtful and kind. However, his happiness feels less of a king and his queen yet
also in karuniai a child. One day, King informed by one of the advisors kingdom to go to the
Upper River, and asked for an appeal. Finally, the King invited the Empress to go to the
Upper River to make a request that in karuniai a child.

The place they want to go very far from the kingdom. They have to cross the river, up and
down mountains and through the forest wilderness. On arrival at their destination, they
immediately made a request that immediately karuniai a child. After, make their request back
to the Palace and wished the request immediately granted.

After waiting long enough. Finally, their prayers were answered. Empress already contains
one month. Hearing the news of King and Empress are very happy. Eight months later, the
baby was born a man named Rohib. The king was very happy to welcome the birth of his first
son who had been awaited for years presence.

King and Empress indulgent Rohib. They raise Rohib lovingly. Time goes so fast, Rohib
grew into adolescence. One day, the king sent his beloved son to learn to get out of the
Palace. Before, he set out to learn. King also advised.

'' Learn diligently my son, so that later you can lead this kingdom well. '' Message father to
son.

Rohib years of study. However, he could not finish his lessons well. He was used in spoiled
by both parents. The father was very angry knowing that his son Rohib not completed during
this study. One day, Rohib home before learning period runs out
'' Hey, son Rohib! What have you learned there? Where the results of your study there? You
really do not know themselves. I'm sending you to learn.! Guards, child hanging until death! ''
Command of the King.

Because very angry and disappointed king ordered the guards to give to his own death
sentence. However, the Queen begged Her son did not put to death. Empress also propose
suggestions that Rohib issued from the palace and give the money to trade. Finally, the king
also approved the proposal that his wife.

Not long after, Rohib was saying goodbye to his parents. Permaisuri not cease to cry to see
her son should live alone out there. He went from one village to another.

One day, on the way Rohib saw several children being tortured animals such as rats, cats,
dogs and shoot birds with slingshots. He went up a bunch of children. Rohib also advised
them. However, that counsel would not listen they continued to torment the animals. Rohib
also offered to give them money. On the condition that they must not torture animals. The
offer was accepted with pleasure. A set of these children leave.

The money was given to his parents as capital bedagang. However, the money, over time runs
out. Because given to people who abuse animals. The journey was very tiring. Rohib stopped
for a break in the middle of the forest and fell asleep under a shady tree.

Rohib was terbangung from sleep. However, he was shocked to see a giant snake in front of
him. Rohib was preparing to flee in fear. But, it came with a friendly snake. Snake
tersebutpun can speak like humans.

'' Haii, Rohib, do not be afraid. I'm not going to eat you! I am the King Snakes in the woods.
Why are you here and be sad? '' Asked the snake.

Hearing the words of the Serpent, Rohib finally, told him what had happened. He was told
that the money runs out because given to people who have been tortured animals.

'' You're such a good boy Rohib. Because of your kindness, I will give this thing! '' The
Serpent issued an object shaped like a jewel.
'' What is it? Tanya Rohib confused.
'' This is Mentiko Sorcerer. It is an object that can grant all requests you are asking. '' Replied
the Serpent.
'' Thank you lord snake. '' The word Rohib happy

Rohib was immediately asked Mentiko Sorcerer lot of money. Not a long wait, Mentiko
Sorcerer granted his request. Rohib went back to the palace to hand over the money to the
father. On arrival he was at the Palace. The king was very happy to see her son may be
responsible and eliminate spoiled attitude. And bring a lot of money result of his own efforts.
After he gives money to Ayahya. He left carrying the Betuah Mentiko to Goldsmith to be a
ring. Because he was afraid Mentiko Betuah is lost. However, the deceptive Rohib Goldsmith
and carried off the Sorcerer Mentiko. Rohib was very confused as to how to pursue the
Goldsmith. Finally, he asked for help from the animal companions are a Rat, Cats and Dogs.
The dog had managed to find traces Goldsmith easily. They also managed to find Goldsmith
sleeping. Whereas mice, trying to find Mentiko Sorcerer, and found him and took the ring.
Before being returned to Rohib, mice deceiving dogs and cats by saying that Mentiko
Sorcerer already fallen into the water and it hilang.Karena, Dogs and Cats Mentiko Sorcerer
frantically looking into the riverbed.

The Rat was handed the ring to Rohib. Rohib very pleased and grateful to the Rat and thought
that Tikuslah most instrumental in seeking Mentiko Sorcerer.

"Thank you rat, you are indeed the most meritorious find Mentiko Sorcerer .I say once again
thank you rat". Rohib said.

When The Cat and Dog facing Rohib, they were surprised because it already exists on Rohib.
Apparently the cunning rat behavior has been wafted by both of them. Knowing this, Cats
and Dogs become irritated. They were furious. Since then Dogs and Cats hostile Rat.

The moral of the story is set Rakyat Indonesia from Aceh was not discouraged when trials
come. Always try and do good and you will be able to overcome all obstacles
LEGENDA DARI ACEH
BANTA BERENSYAH

Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Aceh, hiduplah seorang janda bersama seorang
anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin
dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang
beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan
turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak
huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk
makan sehari-hari pun mereka kesulitan.
Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi sekam di sebuah kincir padi milik
saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah saudagar kaya di dusun itu. Namun, ia
terkenal sangat kikir, loba, dan tamak. Segala perbuatannya selalu diperhitungkan untuk
mendapatkan keuntungan sendiri. Terkadang ia hanya mengupahi ibu Banta Berensyah
dengan segenggam atau dua genggam beras. Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh
janda itu bersama anaknya.
Pada suatu hari, janda itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa ditemani Banta
Berensyah, karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat itu. Tak seorang pun
yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi sekam dan memperoleh
upah beras. Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan paruh baya itu kembali ke
gubuknya. Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak semata wayangnya yang
sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan tubuhnya menggigil, karena sejak
pagi perutnya belum terisi sedikit pun makanan.
“Ibu...! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.
Janda itu hanya terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati kecilnya teriris-
iris mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada
sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang berada di samping
anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan mengulurkannya ke mulut Banta
Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah meminum air dari gelas itu sebagai
pengganti makanan untuk menghilangkan rasa laparnya. Setelah meminum air itu, Banta
merasa tubuhnya sedikit mendapat tambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia menatap
wajah ibunya. Lalu, perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya seraya mengusap air mata bening
yang keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan suara pelan.
Mulut perempuan paruh baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia
hanya menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata ibunya.
Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.
“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air mata. Ibu menangis karena sedih tidak
memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa makan.
Barangkali nasib baik belum berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar ucapan Banta Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah
mengira sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya masih kecil
itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia merangkul tubuh
putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu seolah-olah telah menghapus
segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama ini membebani hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang
kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta dengan perasaan haru.
Kasih sayang dan perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru kepada Banta
Berensyah. Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali bertenaga. Ia kemudian menatap wajah
ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti sedang lapar. Oleh karena itu,
ia meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah pamannya, Jakub, untuk meminta
beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami perangai saudaranya yang
kikir itu.
“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia
tentu tidak akan memberimu beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.
“Banta mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman akan
merasa iba melihat keadaan kita,” kata Banta Berensyah.
Berkali-kali ibunya mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi ke
rumah pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun memberi izin.
Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat ia masuk ke pekarangan
rumah, tiba-tiba terdengar suara keras membentaknya. Suara itu tak lain adalah suara
pamannya.
“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis di sini!” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami segenggam beras, kami lapar!” iba Banta
Berensyah.
“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian lapar atau mati sekalian pun, aku tidak perduli!”
saudagar itu kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.
Betapa kecewa dan sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh dari
pamannya, melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya dengan perasaan sedih
dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
Dalam perjalanan pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga bahwa raja
di sebuah negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan
sayembara. Raja negeri itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia
bagaikan bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat halus,
putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus pandang. Jika ia
menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat ditenggorokannya. Itulah sebabnya
ia diberi nama Putri Terus Mata. Setiap pemuda yang melihat kecantikannya pasti akan
tergelitik hasratnya untuk mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang datang
meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata akan
menerima lamaran bagi siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang terbuat dari
emas dan suasa.
Mendengar kabar itu, Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia
berharap dengan menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik. Siapa tahu ia
bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke gubuknya untuk menemui ibunya.
Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di dekat ibunya. Sambil mendekatkan wajahnya yang
sedikit pucat karena lapar, Banta Berensyah menyampaikan perihal hasratnya mengikuti
sayembara tersebut kepada ibunya. Ia berusaha membujuk ibunya agar keinginannya
dikabulkan.
“Bu! Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha
memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya Banta
harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui niat tulus ini,
izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!” pinta Banta Berensyah.
Perempuan paruh baya itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak
semata wayangnya itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Kamu adalah anak yang berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah menjadi
tekadmu, Ibu mengizinkanmu walaupun dengan berat hati harus berpisah denganmu,” kata
perempuan paruh baya itu.
“Tapi, bagaimana kamu bisa merantau ke negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan
nanti? Jangankan untuk ongkos kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun kita tidak
punya,” tambahnya.
“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu. Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,” kata
Banta Berensyah.
Setelah mendapat restu dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang sepi
untuk memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk berdoa
dengan penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar membawa sehelai daun talas
dan suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan untuk mengarungi laut
luas menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu akan ia gunakan untuk
menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain emas dan suasa yang dia perlukan.
Keesokan harinya, usai berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke rumah
pamannya, Jakub. Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang akan berlayar
ke negeri lain. Setibanya di sana, ia kembali dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak malas!” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir bahwa
kemanakannya itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang hati, ia pun
mengizinkannya. Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu telah mati, karena tidak akan
lagi datang meminta-minta kepadanya. Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar bersama
pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah samudra, Banta
meminta kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda
dari kapal ini!” pinta Banta Betensyah.
Saudagar kaya itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta ke laut.
Namun sebelum diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan di
balik pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di
atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.
“Ha... ha... ha...! Dasar anak bodoh!” hardik saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal! Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!”
serunya.
Namun, betapa terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan
Banta Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan tubuh Banta
Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas itu membawa Banta menuju ke arah
barat, sedangkan pamannya berlayar menuju ke arah utara.
Setelah berhari-hari terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra,
Banta Berensyah tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ia
terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona. Hampir di
setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai motif dan warna
sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah tukang tenun.
Banta pun mampir ke salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan suasa
yang sedang dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki jenis kain tersebut. Ia pun
pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik rumah itu juga tidak
memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki rumah penduduk satu
persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan. Tinggal satu rumah lagi yang
belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga tukang tenun.
“Tok... Tok... Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah
kepala kampung itu.
Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan
mempersilahkannya masuk ke dalam rumah.
“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya kampung itu bertanya.
Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan
maksud kedatangannya.
“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas dan
suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah melihat
penampilan Banta yang sangat sederhana itu.
“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar kain emas dan suasa itu? Apakah kamu
mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”
“Maaf, Tuan! Saya memang tidak mampu membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan
berkenan, bolehkah saya membayarnya dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya
mengeluarkan sulingnya.
Melihat keteguhan hati Banta Berensyah hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala
kampung itu kembali bertanya kepadanya.
“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu sangat menginginkan kain itu?”
Banta pun menceritakan alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain
tersebut. Karena iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi
permintaannya. Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya dengan lagu-lagu
yang merdu. Kepala kampung itu benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang
dibawakan Banta. Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa
miliknya kepada Banta.
“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta! Kamu pantas mendapatkan kain emas dan suasa
ini,” ujar kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangat berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu
mengingat semua kebaikan hati Tuan,” kata Banta.
Setelah mendapatkan kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau itu. Ia
berlayar mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan menggunakan daun
talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin menyampaikan
berita gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain emas dan suasa itu
kepada Putri Terus Mata.
Namun, nasib malang menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu dan ikut
dengan kapal Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas
kapal itu, kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas oleh Jakub.
Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan bangga, Jakub membawa
pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus Mata.
Sementara itu, Banta yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah pantai
dan ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari kerang. Sepasang suami-istri
itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa lama
tinggal bersama kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri untuk kembali
ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun talas saktinya. Setiba
di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan suka-cita. Kemudian, Banta pun
menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya.
“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah berhasil mendapatkan kain emas dan suasa itu,
tetapi Paman Jakub merampasnya,” Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting
putri raja,” ujar Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain itu
milik Banta,” kata Banta dengan tekad keras.
“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya Banta penasaran.
“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang sungguh beruntung. Saat ini, pesta perkawinannya
dengan putri raja sedang dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.
Tanpa berpikir panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas menuju ke
tempat pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan pesta yang berlangsung
meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti untuk menunjukkan
kepada raja dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang dipersembahkan Jakub itu adalah
miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua tangannya berdoa meminta pertolongan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seekor burung elang
terbang berputar-putar di atas keramaian pesta sambil berbunyi.
“Klik.. klik... klik... kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!! Klik... klik.. klik...
kain emas dan suasa itu milik Banta Berensyah...!!!” demikian bunyi elang itu berulang-
ulang.
Mendengar bunyi elang itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang meriah itu
seketika menjadi hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas terdengar. Akhirnya, Raja dan
Putri Terus Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang telah merampas milik
orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai gelisah dan wajahnya pucat.
Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut mendapat hukuman dari Raja, Jakub
melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan meloncat, kakinya tersandung di jendela
sehingga ia pun jatuh tersungkur ke tanah hingga tewas seketika.
Setelah peristiwa itu, Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Pesta
pernikahan mereka dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat meriah.
Tidak berapa lama setelah mereka menikah, Raja yang merasa dirinya sudah tua
menyerahkan jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak ibunya
untuk tinggal bersamanya di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia bersama seluruh
keluarga istana.
LEGEND OF ACEH
BANTA BERENSYAH

Once, in a remote village in Aceh, there lived a widow with a son named Banta Berensyah.
Banta Berensyah a child diligent and skillful in playing the flute. Both mother and son were
living in a bamboo hut thatched roofs and paved with dry leaves with nearly collapsed
condition. When it rains, the water freely enter into it. Building the hut really not livable
again. But what is about to be made, let alone the cost to repair the hut, to eat any of their
everyday difficulties.
To survive, the mother and child winnowing the chaff in a rice mill owned by a relative
named Jakub. Jakub is a wealthy merchant in the village. However, he is known to be very
miserly, greedy, and greedy. All his actions are always taken into account for their own
benefit. Sometimes he just hire Banta Berensyah mother with a handful or two handfuls of
rice. It is only enough rice is eaten daily by the widow with children.
One day, the widow had gone alone to the rice mills unaccompanied Berensyah Banta,
because he was sick. How disappointed she was when they arrive at the place. Nobody
pounding rice. By doing so, he would not be able to winnow rice husk and wages. Feeling
disappointed and sad, middle-aged woman was returned to his cabin. On arrival at the hut, he
went directly to her only child who was lying limp. The boy's face was pale and shivering,
because his stomach unfilled since morning whit food.
"Mother...! Banta hungry, "whined Banta Berensyah.
Widow was silent, staring at her gently. Actually, his heart cut-iris hear the whimpering of
her son. However, he could not do anything, because there is no food left at all. There are
only a glass of water which was beside his son. Slowly, she grabbed the glass and held it to
his mouth Banta Berensyah. Mouthful by mouthful Banta Berensyah drinking water from a
glass as a substitute food to eliminate hunger. After drinking the water, Banta felt himself
received little extra effort. Lovingly, she looked at her mother's face. Then, he slowly rose
from her as she wiped the tears clear that out of his mother's eyelids.
"Why do mothers cry?" Asked Banta quietly.
The middle-aged woman's mouth can not say anything. With tears in her eyes, she just
sighed. Banta also look more in the direction of his mother's eyes. Actually, he understood
the reasons why his mother was crying.
"Mom! Banta know why you moved to tears. I'm crying because sadly not earn wages today,
"said Banta.
"Come on, Mom! Banta know, Mom has been trying hard to make a living so we could eat.
Perhaps good fortune has not sided with us, "he encouraged.
Listening to Banta Berensyah, middle-aged woman gasped. He never thought before if her
only child, who had been considered a child, it turns his mind already quite mature. With
feelings of happiness, he embraced the body of her son in tears. The happy feeling as if he
had taken away all the pain and mental fatigue that had been weighing on his life.
"Banta, my son! Proud mother once had a son like you. My mother was very dear to you, my
son, "said Mrs. Banta with compassion.
His mother's love and attention it really gave new impetus to the Banta Berensyah. His body
is limp, suddenly re-powered. He then looked at his mother's face looked pale. He realized
that this time her mother must have been hungry. Therefore, he asked permission from his
mother was about to go to the house of his uncle, Jacob, to ask for rice. However, his mother
stop him, because he has understood his miserly temperament it.
"Do not, my son! Did not you know yourself that your uncle was very calculating. He was
certainly not going to give the rice before you work, "said Mrs. Banta.
"Banta understand, Mom! But, what's wrong if we try it first. Perhaps uncle would feel sorry
to see our situation, "said Banta Berensyah.
Many times the mother prevented, but Banta Berensyah still yearns to go to his uncle's house.
Finally, the woman who gave birth was also given permission. Banta Berensyah then went to
his uncle's house. When he entered the yard, suddenly heard a loud noise snapped. The sound
was none other than the voice of his uncle.
"O, children of the poor! Do not beg here! "Barked the rich merchant.
"Uncle, have mercy on us! Give us a handful of rice, we are hungry! "Banta Berensyah pity.
"Ah, to hell with you doing that. You hungry or die all else, I do not care! "The merchant
back at him with words more brutally.
How disappointed and heart pain Banta Berensyah. Instead of rice obtained from his uncle,
but insults and curses. He went home feeling sad and upset. Not felt, the tears trickling down
her cheeks.
On the way home, Banta Berensyah heard from a citizen that the king in a country that is
located not far from his village will hold a contest. The king of the country had a beautiful
daughter nan handsome. He was like an angel who collects all the charm and unseen. Her
skin is very smooth, white, and clean. So white, leather princess was as though invisibility. If
he swallows food, as if the food looked through ditenggorokannya. That is why he was given
the name Putri Keep Eye. Every youth who see her beauty will definitely intrigued her desire
to mempersuntingnya. There have been many princes who come ask for her hand, but not a
single one proposal received. Keep daughter's eyes will accept applications for anyone who
could find him clothing made of gold and suasa.
Hearing the news, Banta Berensyah arise mengandu desire to profit. He hopes to marry the
princess, her life would be better. Who knew he was lucky, he thought. He rushed home to
his cabin to meet his mother. On arrival at the hut, he sat near his mother. , Leaning slightly
pale with hunger, Banta Berensyah expressed regarding his desire to follow the contest to his
mother. He tried to persuade his mother to wish was granted.
"Mom! Banta very affectionate and wants to continue to live next to the mother. Mother has
tried to give the best to Banta. Banta is now nearly an adult. Banta's time to work hard to give
the best for the mother. If the mother's blessing sincere intention, let Banta wander to change
the fate of our lives! "Pleaded Banta Berensyah.
Middle-aged woman was no longer able to hide his admiration for her only child was. He
also embraced Banta lovingly.
"Banta, my son! You are filial to parents. If it has become your determination, Ms. allows
albeit reluctantly must part with you, "said the middle-aged woman.
"But, how can you go abroad to another country, my son? What bekalmu in your journey?
Let alone for the cost of the ship and lunch, to eat everyday even we do not have, "he added.
"You do not need to think about that. Enough prayer and blessing accompany Mrs. Banta,
"said Banta Berensyah.
After receiving the blessing of his mother, Banta Berensyah went to a quiet place to plead to
God Almighty instructions. After all-night full fervently prayed, he finally got the hint that he
bring taro leaf and his flute to overseas. Taro leaves that he will use to navigate the vast sea to
the place that will be his destination. While the flute he will use to entertain the weaver to pay
the cost of gold cloth and suasa he needed.
The next morning, after saying goodbye to his mother, Banta Berensyah went to the house of
his uncle, Jakub. He intends to ask for a ride on a ship that will sail her uncle to another
country. Once there, he again shouted at by his uncle.
'What is it you're here, you lazy boy! "Cried uncle.
"Uncle! Can Ananda go sailing to the sea? "Asked Banta Berensyah.
Jakub flinched at the odd request from Banta Berensyah. He thinks that the nephew was
going to commit suicide in the middle of the sea. Gladly, he let him. He felt that his life
would be safe if she was dead, because it will no longer come begging to him. Finally, Banta
Berensyah also go sailing with his uncle. Once the boat they were traveling came in the
middle of the ocean, Banta asked his uncle to be lowered from the ship.
"Uncle! Nanda trip with Uncle enough up here. Can you drop Nanda of this ship! "Pleaded
Banta Betensyah.
The rich merchant immediately ordered his men to bring down Banta into the sea. But before
being lowered, Banta issued diselempitkan taro leaf folds in his clothing. Then he unfolded
the taro leaves, sitting cross-legged on it. Seeing the behavior Banta, Jakub laughed at him.
"Ha ha ha...! Basic stupid kid! "Barked the rich merchant.
"Guards! Lose this child of the ship! Just let her die eaten by the big fish! "She exclaimed.
However, how shocked the wealthy merchant and his men after Banta Berensyah lowered
into the sea. Apparently, a taro leaves it able to withstand body Banta Berensyah on the
water. With the help of the wind, taro leaves that bring Banta heading west, while his uncle
sailed towards the north.
After days bobbing above the ocean waves slammed taro leaves, Banta Berensyah arrive on
an island. When you first set foot on the island, he was amazed to watch the scenery is very
beautiful and charming. Almost in every courtyard houses stretch woven fabric with various
motifs and colors are being dried. Apparently, almost the entire population of the island is a
weaver.
Banta was stopped by one of the houses to ask cloth of gold and suasa was looking for.
However, residents of the house that does not have these types of fabrics. He also moved into
the home of a weaver in the next, and it turns out the owner of the house did not have it. For
days she went around the village and into the houses one by one, but the fabric was looking
he also has not found. Staying one more house that he had not attended, namely home village
head was also a weaver.
"... Tok Tok Tok ... ..! Excuse me, sir! "Said Banta Berensyah after knocking on the door to
the head of the village.
Moments later, a middle-aged man opened the door and went into the house
mempersilahkannya.
"Can I help you, young man?" Asked the village asked.
After introducing himself and telling its origins, Banta was expressed purpose of his arrival.
"Sorry Mister! My arrival here want to find a woven fabric made of gold and suasa. If Mr
have it, can I afford it? "Asked Banta Berensyah.
The village headman was startled to hear a request Banta, especially after seeing the Banta
very simple.
"Hi, Banta! With what you can pay gold cloth and suasa it? Do you have enough money to
pay for it? "
"Sorry Mister! I was not able to pay for it with money. But, if the Lord willing, may I pay for
it with a song? "Asked Banta Berensyah while issuing flute.
Seeing the perseverance Banta Berensyah want to have the woven fabric, the village head
asked him back.
"Banta! If I may know, why do you really want that cloth? "
Banta was told the reason that he had to fight to get the cloth. Because iba heard stories
Banta, the village head finally meet his request. With his expertise, Banta also plays flute
with melodious songs. The village headman was totally swept enjoyed humming the songs
sung Banta. Once satisfied to enjoy it, he gives his gold cloth and suasa to Banta.
"You are very adept at playing the flute, Banta! You deserve a gold cloth and suasa this, "said
the village head.
"Thank you sir! Banta deeply indebted to Mr. Banta will always remember the kindness of
all, sir, "said Banta.
After getting the gold cloth and suasa, Banta left the island. He sailed wide ocean heading to
his hometown by using taro leaves saktinya. Hearts of young people were very excited. He
was anxious to convey the good news to his mother and immediately offered gold fabric and
suasa it to the Princess Keep Eye.
However, the unfortunate fate befall Banta. When he reached the middle of the sea, he met
and joined with Jakub ship sailing who had just returned from another country. When he was
on board, cloth of gold and suasa the hard-earned seized by Jakub. Once the fabric is stolen,
he dumped into the sea. With pride, Jakub bring home the fabric to marry the Princess Keep
Eye.
Meanwhile, Banta were washed away sea waves washed up on a beach and was found by a
couple who were looking for shells. A married couple that was to take him home and picked
it up as a child. After some time living with the adoptive parents, Banta also excused himself
to return to his hometown to see her mother using taro leaves saktinya. Arriving at his hut, he
was greeted by his mother with a feeling of joy. Then, Banta was told all the events that have
happened.
"Forgive Banta, Mom! Actually Banta has secured the gold cloth and suasa it, but Uncle
Jakub grab it, "Banta told her feeling disappointed.
"Come on, son! I understand how you feel. Perhaps not your fate to marry the king's
daughter, "said her mother.
"But, Mom! Banta had to get back cloth of gold and suasa it from Uncle. Banta Cain it
belongs, "said Banta with fierce determination.
"It's too late, my child!" Said her mother.
"Do you mean to say so?" Asked Banta curious.
"Know, my son! Your uncle was indeed fortunate. Today, the marriage feast with the king's
daughter is being held in the palace, "said his mother.
Without thinking, Banta said goodbye to his mother immediately and rushed to where the
party was held. However, upon arrival at the party crowd was festive, Banta can not do
anything. He did not have evidence to show to the king and the princess that the cloth of gold
and suasa dedicated Jakub was his. For a moment, he lifted his hands pray for help to God
Almighty. Once he finished praying, suddenly there came a hawk circling above the party
crowd as he reads.
"Click .. Click ... click ... cloth of gold and it belongs Banta suasa Berensyah ... !!! Click ...
click ... click .. cloth of gold and it belongs Banta suasa Berensyah ... !!! "reads the eagle was
repetitive.
At the sound of the eagle, the whole palace in an uproar. Festive party atmosphere that
instantly became silent. The sound of the eagle was more clearly audible. Finally, the King
and the Princess Keep Eyes realize that Jakub is a greedy person who has seized the property
of others. Meanwhile Jakub who was in the aisle began to get nervous and his face pale.
Unable to stand longer withstand the shame and fear persecution from the King, Jakub
escaped through a window. However, the time will jump, her feet stumbling in the window so
that he fell to the ground and killed instantly.
After the incident, Banta Berensyah was married to Princess Keep Eye. Their wedding was
held for seven days and seven nights with a very festive. Not long after they were married,
King felt he was old handed over his post to Banta Berensyah. Banta Berensyah also invited
her to stay with him at the palace. Finally, they lived happily together the entire royal family.
LEGENDA DARI ACEH
AMAT RHAH MANYANG

Tersebutlah sebuah desa yang berada di sekitar Krueng (Sungai) Peusangan, desa yang
menyimpan ribuan misteri dan cerita yang menjadi tauladan dalam hidup. Cerita yang akan
terus dikenang oleh masyarakat disana dan diceritakan kepada masyarakat lainnya juga. Desa
yang berjejer rumah – rumah gubuk di sepanjang jalan dalam desa ini terkenal dengan
seorang pemuda yang tampan, bijak, pandai, rajin dan berbakti kepada orang tua.

Amat (Ahmad) Rhang Manyang, itulah nama pemuda yang mulai menginjak usia remaja ini.
Remaja yang biasa disapa Amad ini menyibukkan diri dalam kesehariannya sebagai buruh
tani di desa. Hanya menamatkan pendidikan dasar di dayah desa seberang, dia menggali ilmu
– ilmu yang terpendam di lingkungannya, belajar pada alam dan bertanya pada Tuhan. Tak
ada keputusasaan dalam menjalani hidup meski terkadang harus makan nasi 2 kali sehari,
baginya itulah rezeki yang sudah ditentukan setelah berusaha dan berdoa.
Waktu yang terus berputar telah membawa Amat sebagai pemuda yang di sanjung di desa.
Pergaulan yang telah luas mengajari Amat untuk hidup lebih mandiri lagi. Apalagi sekarang
dia hanya tinggal di sebuah gubuk bambu dengan ibunya yang telah renta. Penghasilan dari
buruh tani mulai terasa kurang dan ini harus diatasi oleh Amat.
“Mak, bukan Amad tidak lagi bisa bersyukur atas rezeki yang telah diberikan Allah, tetapi
alangkah baiknya jika Amad mencari kerja ke luar desa”, Kata Amad pada suatu sore pada
Mamaknya sambil menikmati ubi rebus dengan duduk beralaskan tikar tua.
“Tapi kita masih bisa mencari rezeki disini Nyak”, Jawab Mamak
“Betul Mak, bukan pula aku bosan bekerja seperti ini di desa, tetapi bukankah berusaha itu
wajib? Bukankah bekerja itu juga ibadah? Jadi apa salahnya jika Amad pergi merantau?”,
Ahmad berbicara datar sambil menyandarkan kepalanya ke lutut Mamaknya yang melukiskan
dekatnya dua insan ini dalam kemanjaan Ibu dan Anak.
Sambil membelai lembut rambut ikal di kepala Amad dan memandang dalam – dalam ke
anaknya, Mak Minah berujar “Haruskah Ananda merantau meninggalkan Emakmu disini
sendiri, dalam kesepian dan dalam kepapaan?”.
Amad tersentak dengan kata – kata yang keluar dari bibir perempuan yang sedang mengusap
lengan legamnya itu.
“Mak, bukan begitu maksud Amad, anak mana yang tega meninggalkan ibunya jika
kepergiannya itu tidak mendesak dan untuk kepentingan Emaknya juga? Mak, Amad
merantau untuk membahagiakan Emak, untuk hidup seperti hidup orang lain. Bahagia dunia
akhirat”. seakan hendak bersimpuh dengan meneteskan airmata ketulusan Amad berujar
dengan terbata – bata takut hati Emaknya sedih.
Setelah mengobrol cukup lama, akhirnya Mak Minah tak bisa menahan lagi keinginannya
anak satu – satunya dan penyangga hidupnya selama ini. Tempat dia bercerita dan
menyunggingkan senyum.
Hari terus berlalu hingga tibalah saatnya Amad berangkat dengan perlengkapan seadanya.
Dia hendak merantau ke negeri seberang dan perjalanan akan dilalui dengan Kapal air dari
Krueng Peusangan.
“Nyak, rajinlah beribadah disana, rajinlah berdoa dan tegarlah dalam berusaha. Hidup di
negeri orang harus membawa bekal ilmu dan akhlak dari asalmu. Janganlah mereka
mengubahmu tapi tularkan kebaikan pada mereka”. ujar Mak Mina.
“Mak, akan Amad ingat pesan Mak sebagai pendamping dalam bekerja. Amad hanya akan
pergi beberapa tahun dan akan kembali untuk bersama Emak. Jaga diri Emak baik – baik”.
Mereka saling melemparkan kata-kata perpisahan hingga suarasirine kapal mulai terdengar.
Memegang tangan Mak Minah, memeluk dan mencium kening penuh rona tua dan akhirnya
berlutut mencium kaki Emaknya, Ahmad pamitan dan berangkat merantau. Mak Minah
masih berdiri di dermaga menatap hilangnya kapal yang ditelan berlikunya Krueng
Peusangan. Airmata bercucuran karena inilah pertama mereka berpisah setelah hidup belasan
tahun bersama-sama. Ketika hari beranjak senja, Mak Minah pun melangkahkan kaki-kaki
gontainya menuju gubuk tua.
Kapal terus berlayar menyusuri sungai yang jernih dengan lompatan ikan – ikan didalamnya.
Amad terpesona dengan keindahan panorama sungai dan hutan disekelilingnya yang rimbun,
hijau dan anggun. Kini kapal telah membelah laut menuju negeri seberang, negeri idaman
Amad, negeri yang akan mewujudkan cita-citanya.
Singkat cerita akhirnya Amaad tiba dinegeri seberang dan bekerja pada seorang saudagar
kaya. Dia diterima sebagai tukang pikul barang-barang di dermaga. Amad bekerja dengan
tekun, berdoa dengan ikhlas dan mendoakan kedua orang tuanya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tak terasa lebih sepuluh almanak Ahmad telah
hidup di rantau orang. Negeri yang kini telah ditaklukan dengan ilmu dan nasehat yang
pernah diajarkan Mak Minah. Ahmad telah menjadi orang terpandang di sana, dan kini juga
telah menjadi bangsawan setelah mempersunting anak saudagar tempatnya bekerja. Tuan
Amad kini harus mengurus usaha mertuanya dan itu sangat menyita waktu. Tak ada lagi
waktu beribadah dan tak dibutuhkan lagi berdoa. Semua terkikis tergores batu kemewahan
dan kenikmatan dunia.
“Kanda, Dinda rindu akan kampung halaman Kanda!” istri Amad berkata dengan kejujuran
ketika mereka berjalan di taman yang mewah.
“Tapi Kanda sibuk sayang, tak ada waktu untuk bisa meninggalkan ini semua” Amad
berekilah
“Bukankah Kanda pernah berjanji akan membawa Dinda berkunjung ke Negri Kanda dan
bertemu Ibunda disana? Bukankah janji harus ditepati?” Istri Amad mulai merayu dengan
kata – kata manis sehingga luluhlah hati Amad.
Dalam kesendirian Amad juga merindukan kampung halamannya, Krueng Peusangan,
Emaknya, dan sahabat-sahabatnya.
Setelah semua dipersiapkan, berangkatlah sebuah kapal mewah untuk mengarungi lautan
menuju ke Tanah Rencong, tanah kelahiran Tuanku Ahmad Rahmanyang. Perlengkapan yang
berkecukupan dan pengawal yang gagah berani turut menyertai pelayaran ini.
“Kanda, inikah tanah yang pernah Kanda ceritakan? Inikah hutan dan sungai yang indah
itu?” ujar Istri Amad dengan takjubnya.
“Iya Dinda. Dan sebentar lagi kita akan sampai di Istana Kakanda Ya..!”, Amad
menceritakn kisah bahwa dia adalah anak saudagar dari bandar Peusangan.
Setibanya di dermaga Krueng Peusangan semua kru dan pengawal turun dan melihat
keindahan alam Peusangan.
Mak Minah yang mendengar kepulangan Amad bergegas menuju dermaga, tak lupa juga dia
membungkuskan makanan kesukaaan anaknya. Hatinya berbunga – bunga dan rasa sakit
yang selama ini di deritanya seakan sembuh total.
“Alhamdulilah Ya Allah, Engkau telah kabulkan doa hamba ini…!”, bisik lirih hati Mak
Minah sambil melangkah lamban ke dermaga.
Amad sedang bercanda dengan sahabat – sahabat lamanya, dengan penduduk yang masih
mengenalnya dan suara wibawanya ketika Mak Minah juga tiba disana.
“Amad,, Amad,, Amad anakku!”, panggil Mak Minah sambil menyeruak dalam kerumanan
manusia yang sedang meneriman bingkisan dari Amad.
“Amad, lihatlah Emakmu ini Nyak. Amad…!!” Mak Minah terus berteriak tapi Amad seakan
tak mendengar sehingga istrinya berbisik.
“Kanda, ada ibu tua yang memanggil Kanda. Dia memanggil “anak” kepada Kanda,
siapakah dia?” Bisik Istrinya
“Kanda tak kenal Dinda, mungkin penduduk baru disini..!”, kata Amad dengan suara yang
terdengar oleh Emaknya.
“Amad, ini Emakmu Nyak!” kata Mak Minah lagi ketika mereka sudah berhadap hadapan.
“Emak, aku tak punya Emak seperti kamu, Orang tuaku adalah saudagar bukan fakir
sepertimu”, Amad berontak dalam dirinya dan demi menjaga wibawa dihadapan Istri dan
pengawalnya dia rela tak mengakui Emaknya.
“Amad, ini Emakmu, lupakah kamu kepada Emak?”, tanya Mak Minah sambil menangis.
“Aku tak lupa, tapi karena kau bukan Emakku maka aku tak kenal. Pengawal, tangkap
perempuan ini dan seret dia jauh dari hadapanku!”, perintah Amad kepada pengawal.
Lalu beberapa pengawal menyeret Mak Minah, dengan muka basah airmata Mak Minah
berdiri, melemparkan tongkat dan berujar
“Ya Allah, jika benar saudagar yang berdiri di depanku ini adlah Amad maka kutuklah dia
bersama pengawal dan harta bendanya menjadi bukit …!”, doa Mak Minah terhenti ketika
petir mulai menyambar. Ahmad tersentak tapi semua sudah terlambat, doa ibu renta begitu
cepat dikabulkan terhadap anaknya yang durhaka tak mengakui Emaknya. Dalam sekajap
Ahmad, Istrinya, Pengawalnya dan seluruh harta bendanya termasuk Kapalnya berubah dan
menyatu menjadi sebuah Bukit.
Sampai sekarang di desa tersebut masih terlihat sebuah Bukit berbentuk kapal yang dinamai
“Glee Kapai” (Bukit Kapal).
LEGEND OF ACEH
AMAT RHAH MANYANG

It was a village located around Krueng (River) Peusangan, village store thousands of mystery
and the story is a role model in life. The story will continue to be remembered by the people
there and told to other communities as well. Lined village house - huts along the road in the
village is famous with a handsome young man, wise, clever, diligent and devoted to parents.

Amat (Ahmad) Rhang Manyang, that's the name of the young man who started this teenager.
Teens are usually called Amad have busied themselves in their daily life as a laborer in the
village. Just completing primary school in the village dayah opposite, he dug science - the
science hidden in the environment, learn about nature and asked the Lord. There was no
despair in life though sometimes have to eat rice two times a day, for him that the provision
that has been determined after trying and praying.

The time continues to spin has brought Amat as a youth in the village flattered. The
association that has been widely taught Amat to live more independently again. Especially
now he just stayed in a bamboo hut with his mother who has been frail. Income of farm
laborers began to feel less and this must be addressed by Amat.

"Mak and not Amad no longer be grateful for the sustenance which God has given, but it
would be nice if Amad seek jobs outside the village", said Amad on the afternoon of mamak
while enjoying the sweet potato stew with sitting mats old.

"But we can still look for sustenance here Nyak", replied Mamak

"Right Mak, nor I'm tired of working like this in the village, but not tried it mandatory? Does
not work that also worship? So what's wrong if Amad away from home? ", Ahmad spoke
dryly as he rested his head on his knees nearby mamak illustrating these two people in a
comforting Mother and Child.

He gently stroked the curls on the head Amad and looked in - in to his son, Mak Minah said,
"Should Ananda Emakmu wander left here alone, in loneliness and in want?".

Amad snapped with words - words from the lips of the women who was trailing arm
legamnya it.

"Mak, not so intent Amad, which child would leave his mother if his departure was not
urgent, and for the sake of his mother as well? Mak, Amad wander to beatify Mother, to live
like other people's lives. Happily ever after". as if to his knees with tears dripping with
sincerity Amad said terbata - brick afraid his mother sad heart.

After chatting for a long time, finally could not resist Mak Minah longer desire the child - and
the only buffer one's life. Where he told me and smiled.

Day passed away until it was time Amad departed with makeshift equipment. He was about
to migrate to other lands and travel to be traversed by ship from Krueng Peusangan water.

"Nyak, rajinlah there to worship, pray and tegarlah diligent in trying. Living in another
country must bring food science and morals of your own country. Do not let them change you
but transmitted good in them ". Mak said Mina.

"Mak, will Amad remember the message Mak as assistant in work. Amad would only go a
few years and will return to be with Mother. Take care of yourself Emak - good ".

They throw each other parting words to suarasirine ship began. Mak Minah holding hands,
hugging and kissing his forehead full of old hue and finally kneel kiss the feet of his mother,
Ahmad goodbye and set off to wander. Mak Minah still standing on the dock staring at the
loss of the ship being swallowed berlikunya Krueng Peusangan. Tears streaming down
because it was the first they had parted after a dozen years of living together. As the day went
dusk, Mak Minah also stepped gontainya legs toward the old shack.

Ships continue to sail down the river is crystal clear with a jump of fish - a fish in it. Amad
fascinated by the beauty of the panorama of rivers and forests surrounding lush, green and
graceful. Now the ship had split the sea into the country side, Amad dream country, the
country will reach his goal.

Long story short Amaad finally arrived in the land side and work on a rich merchant. He was
accepted as bearers of goods at the dock. Amad work diligently, pray with sincerity and pray
for his parents.

Day by day, month turned into months and imperceptibly over ten almanac Ahmad has been
living overseas. The land that is now overrun with knowledge and advice was never taught
Mak Minah. Ahmad has been a prominent person in there, and now also has become the
nobility after the child acquire merchants where she worked. Mr. Amad now have to take
care of business in-law and it was very time-consuming. There is no more time to worship
and pray no longer needed. All of eroded rock scratched luxuries and pleasures of the world.

"Kanda, Dinda Kanda longing for my hometown!" Amad said his wife with honesty when
they walk in the park fancy.

"But Kanda busy unfortunately, there is no time to be able to leave it all" Amad berekilah

"Did Kanda had promised to bring a visit to Negri Dinda Kanda and mother met there? Is not
the promise to be fulfilled? "Wife Amad began to seduce with words - words so sweet hearts
luluhlah Amad.

In solitude Amad also misses his hometown, Krueng Peusangan, his mother, and his
companions.
After all prepared, leave a luxury ship to sail the seas heading into Aceh, the birthplace of
lord Ahmad Rahmanyang. Supplies sufficiency and guards who valiantly accompanied the
voyage.

"Kanda, Kanda is this land ever tell me? Is this the beautiful forests and rivers that? "Said
Amad wife with amazement.

"Yes Dinda. And soon we will arrive at the Palace Kakanda Yes ..! ", Amad menceritakn
story that he was the son of a merchant from the city Peusangan.

Upon arrival at the dock Krueng Peusangan all the crew and guards down and see the natural
beauty Peusangan.

Mak Minah who hear the return Amad rushed to the pier, do not forget also he wrapped his
kesukaaan food. His heart flowering - flowers and pain that had been in misery seemed fully
recovered.

"Thank God O God, you have grant this prayer servant ...!", Whispered softly liver Mak
Minah, stepping slowly into the dock.

Amad was joking with a friend - an old friend, with people still know him and the sound of
authority when Mak Minah also arrived there.

"Amad ,, ,, Amad Amad my son!", Calling Mak Minah as she burst into kerumanan human
being receives a parcel from Amad.

"Amad, look at this Emakmu Nyak. Amad ... !! "Mak Minah kept screaming but Amad
seemed not to hear that his wife whispered.

"Kanda, no old lady who called Kanda. He called "child" to Kanda, who is he? "Whispered
his wife

"Kanda Dinda do not know, maybe a new resident here ..!" Amad said, sounding by his
mother.

"Amad, this Emakmu Nyak!" Said Mak Minah again when they were face to face.

"Mother, I do not have a Mother like you, My parents are not indigent merchants like you",
Amad rebel in him and in order to safeguard the prestige wife and bodyguards before she
willingly did not recognize his mother.

"Amad, this Emakmu, you forgotten to Mother?" Asked Mak Minah crying.

"I had not forgotten, but because you are not Emakku then I do not know. Guards, seize this
woman and drag her away from me! ", Amad orders to guards.

Then several guards dragged Mak Minah, face wet with tears Mak Minah stands, throwing
sticks and said
"God, if true merchant standing in front of me is someone Amad then denounce him along
bodyguard and possessions into the hills ...!", Prayer Mak Minah stopped when lightning
began to strike. Ahmad snapped up but it was too late, frail mother's prayer so quickly
granted against the rebellious son did not recognize his mother. In sekajap Ahmad, his wife,
bodyguards and all his possessions, including The ship turned and coalesce into a hill.

Until now the village is still visible a boat-shaped hill called "Glee KaPai" (Ship Hill).
LEGENDA DARI ACEH
BATU BELAH

Setelah kita membahas beberapa cerita rakyat pada posting sebelumnya kali ini kita masih
akan melengkapi perbendaharaan budaya kita dengan Cerita Rakyat - Batu Belah yang masih
merupakan cerita rakyat Indonesia. Bagaimana kisah selengkapnya, silahkan lanjutkan
sampai diakhir artikel ini.

Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat
miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang
mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka
pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk
menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau
memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam
perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.

Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang
menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang
ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini
mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung,
sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu
mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini
bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak
pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk
bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris
tenggelam di sebuah sungai.

Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang
rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau
membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah
tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang
rumput yang jauh letaknya.
“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon
ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah
menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya
menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu
hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras
besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap.

Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan
terjerat dalam jebakannya.
“Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk
makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat
kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya
untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan
hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan.
Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka.
Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha
bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.

Namun, sungguh malang petani itu. Ketika ia mengayunkan parangnya ke tubuh babi hutan
itu, parangnya yang telah aus itu patah menjadi dua. Babi hutan yang terluka itu semakin
marah. Petani itu lari tunggang langgang dikejar babi hutan. Ketika ia meloncati sebuah
sungai kecil, ia terpeleset dan jatuh sehingga kepalanya terantuk batu. Tewaslah petani itu
tanpa diketahui anak istrinya. Sementara itu – di rumah isri petani itu sedang memarahi si
Sulung dengan hati yang sedih karena si Sulung telah membuang segenggam beras terakhir
yang mereka punyai ke dalam sumur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa anak yang telah
dikandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari dan dirawat dengan penuh cinta kasih itu,
kini menjadi anak yang nakal dan selalu membuat susah orang tua.

Karena segenggam beras yang mereka miliki telah dibuang si Sulung ke dalam sumur maka
istri petani itu berniat menjual periuk tanah liatnya ke pasar. “Sulung, pergilah ke belakang
dan ambillah periuk tanah liat yang sudah ibu keringkan itu. Ibu akan menjualnya ke pasar.
Jagalah adikmu karena ayahmu belum pulang,” ucapnya. Akan tetapi, bukan main nakalnya
si Sulung ini. Dia bukannya menuruti perintahnya ibunya malah ia menggerutu.
“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku harus menjaga si Bungsu dan aku
tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu,
dibantingnya kedua periuk tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli
beras. Kedua periuk itu pun hancur berantakan di tanah.

Bukan main terkejut dan kecewanya ibu si Sulung ketika mendengar suara periuk dibanting.
“Aduuuuuh…..Sulung! Tidak tahukah kamu bahwa kita semua butuh makan. Mengapa
periuk itu kamu pecahkan juga, padahal periuk itu adalah harta kita yang tersisa,” ujar ibu si
Sulung dengan mata penuh air mata. Namun si Sulung benar-benar tidak tahu diri, ia tidak
mau makan pisang. Ia ingin makan nasi dengan lauk gulai ikan. Sunguh sedih ibu si Sulung
mendengar permintaan anaknya itu.
“Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan bayi lagi, mengapa harus makan
pisang,” teriak si Sulung marah sambil membanting piringnya ke tanah.

Ketika si Sulung sedang marah, datang seorang tetangga mereka yang mengabarkan bahwa
mereka menemukan ayah si Sulung yang tewas di tepi sungai. Alangkah sedih dan
berdukanya ibu si Sulung mendengar kabar buruk itu. Dipeluknya si Sulung sambil
menangis, lalu berkata “Aduh, Sulung, ayahmu telah tewas. Entah bagaimana nasib kita
nanti,” ratap ibu si Sulung. Tetapi si Sulung tidak tampak sedih sedikit pun mendengar berita
itu. Bagi si Sulung, ia merasa tidak ada lagi yang memerintahkannya untuk melakukan hal-
hal yang tidak disenanginya.

“Sulung, ibu merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Hati ibu sedih sekali apabila
memikirkan kamu. Asuhlah adikmu dengan baik. Ibu akan menuju ke Batu Belah. Ibu akan
menyusul ayahmu,” ucap ibu si Sulung. Ibu si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang
menonjol, yang disebut orang Batu Belah. Sesampainya di sana, ibu si Sulung pun bernyanyi,

Batu belah batu bertangkup.


Hatiku alangkah merana.
Batu belah batu bertangkup.
Bawalah aku serta.

Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu pun terbelah. Setelah ibu si
Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat kembali. Melihat kejadian itu, timbul
penyesalan di hati si Sulung. Ia menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak
akan nakal lagi, namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang
ditelan Batu Belah.
LEGEND OF ACEH
STONE WHEREOF

After we discuss some folklore in previous posts this time we still will complement our
cultural treasury with Folklore - Batu Belah is still an Indonesian folklore. How the full story,
please continue till the end of this article.

In ancient times in the land of Gayo, Aceh - there lived a very poor peasant family. Fields
they have also only a small patch of their fields so that the results are not able to make a
living during the season, while the cattle they were only two goats were thin and sickly.
Therefore, to connect his family life, the farmer catch fish in the river Krueng Peusangan or
snare birds in the forest. If there is a successful bird caught in a trap, he will bring it up for
sale to the city.

Once, there was a dry season that is very powerful. The rivers many of which become dry
and barren deciduous plants. Similarly, the existing plants in the farmer's field. As a result,
the field will not give the slightest result. The farmer has two children. The eldest is eight
years old named Sis, while the youngest brother just a year old. Their mother sometimes help
make a living by making a pot of clay. As a child, the Eldest is not playing naughty. He was
always whining asking for money, even though he knew his parents never had much money.
When he was told to look after his sister, he will be busy playing their own no matter what is
done with her sister. As a result, his sister had nearly drowned in a river.

One day, the Eldest asked his father to go mengembalakan goats to pasture. So that the goat
was eating a lot and look fat so that people want to buy rather expensive. Tomorrow, he
would sell it to the market because they had no money. However, Eldest lazy herding his
goats to pastures far away.
"Why would I go away, it's better here just so I can sleep under the tree," says Sis. He then
slept under a tree. When Big Sis got up, it was already late in the afternoon. But the goat
digembalakannya is not there. When his father asked him the goat, he lied to his father. He
said that the goats were washed away in the river. The farmer was scolding the Eldest and
sad, how he bought rice tomorrow. Finally, the farmer decided to go into the woods to look
trap.

In the woods, not playing nice farmer's because the child saw a wild boar caught in the trap.
"Fortunately, there are children's boar. If I sell bias to buy rice and able to eat for a week,
"said the farmer was happily making yet release the child's foot snare that binds the boar. The
piglets were screaming, but the farmer was immediately held her to take home. Suddenly, in
the bush in front of the farmer was revealed. Two black shadow appeared stormed the farmer
with a heavy tread and snorting with rage. Have not had time to do something, the farmer had
been lying on the ground with a body covered in wounds. It turns out the two sows were very
angry because their children were arrested. The farmer tried to get up he pulled his machete.
He tried to fight sows were wrath.

However, it is unfortunate that the farmers. When he swung his machete into the body of the
boar, machete who has worn it snapped in two. The wounded boar angrier. The farmer chased
fled in wild boar. When he skipped a small river, he slipped and fell so that his head bumped
a rock. Tewaslah the farmer without his wife and children in mind. Meanwhile - at home isri
farmer was scolding the Eldest with a heavy heart because of the Eldest had thrown a handful
of rice last they have into the well. He never imagined that the unborn child has been for nine
months and ten days and treated with compassion and love it, now the child is naughty and
always makes it very difficult parents.

Because a handful of rice which they had been thrown into a well Sis then the farmer's wife
intends to sell the clay pot into the market. "Eldest, go back and take a clay pot is already
mother to dry it. Mother would sell it to the market. Take care of your sister because your
father was not home yet, "he said. However, not playing naughty this Sis. He was not obeyed
his mother instead he grumbled.
"Why would I take the pot. If she left, I had to keep the Youngest and I can not go play. I'd
better just break this pot, "said Sis. Then, the second slammed into a clay pot last hope her
mother to buy rice. The second pot was shattered on the ground.

Remarkably surprised and disappointed when the Eldest mother heard the sound of crockery
slam.
"Aduuuuuh ... ..Sulung! Know ye not that we all need to eat. Why did you break the pot as
well, when pot it is a treasure we left, "said the mother of the Eldest with eyes full of tears.
But the Eldest really does not know himself, he did not want to eat a banana. He wants to eat
rice with fish curry. Sunguh sad Sis mother heard her son's request.
"I'm not going to eat bananas! I'm not a baby anymore, why should eat bananas, "cried the
elder angrily slamming the plate to the ground.
When Big Sis are angry, come a neighbor who reported that they found the father of the
Eldest who died on the banks of the river. How sad and grieve the Eldest mother heard the
bad news. Big Sis tearfully hugged and said "Oh, Sis, your father has died. Somehow our fate
later, "wailed the mother of the Firstborn. But the Eldest did not seem the slightest sad to hear
the news. For the Eldest, he felt nothing else is ordered to do things that are not his favorite.

"Eldest, the mother was no longer able to live in this world. Hearts mother so sad when you
think about. Nurture your sister well. Mom will be heading to Batu Belah. Mother will follow
your father, "said the mother of the Firstborn. Sis mother then headed to a large rock
protruding, called the Batu Belah. Once there, the mother of the elder sings,

Bertangkup rock split stone.


My heart would be miserable.
Bertangkup rock split stone.
Take me as well.

A moment later, strong wind and huge rock that was split. After the mother Sis goes into it, a
large stone was docked back. Seeing the incident, raised remorse in the heart of the Firstborn.
She cried out and called his mother to promise not to be bad again, but regrets it comes too
late. Her mother has been disappearing into Batu Belah.
LEGENDA DARI ACEH
"PUTRI NIWER GADING"

Al kisah, dahulu di Negeri Alas termasuk wilayah Nangro Aceh Darussalam, ada seorang raja
yang bijaksana dan dicintai rakyatnya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana, sehari-hari
pikirannya dicurahkan untuk memajukan negeri dan kemakmuran rakyatnya.

Namun sayang sang raja tidak mempunyai putera. Mereka sedih, atas nasihat orang pintar
raja dan permaisuri kemudian tekun berdo’a sambil berpuasa. Beberapa bulan kemudian
permaisuri mengandung. Setelah sampai waktunya melahirkan anak laki-laki yang diberi
nama Amat Mude.

Belum genap setahun umur Amat Mude, ayahnya meninggal dunia.

Karena Amat Mude masih bayi maka adik sang raja atau paman (Pakcik) Amat Mude
diangkat menjadi raja sementara.

Pakcik itu bernama Raja Muda. Setelah diangkat menjadi raja ia malah bertindak kejam
kepada Amat Mude dan ibunya.

Mereka diasingkan ke sebuah hutan terpencil. Raja Muda ingin menguasai sepenuhnya
kerajaan yang sesungguhnya menjadi hak Amat Mude..

Walau dibuang jauh dari istana permaisuri tidak mengeluh, ia terima cobaan berat itu dengan
sabar dan tabah. Ia besarkan Amat Mude dengan penuh kasih sayang. Tahun demi tahun
berlalu, tak terasa Amat Mude tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan.

Amat Mude suka memancing ikan di sungai. Pada suatu hari, permaisuri dan Amat Mude
pergi ke sebuah desa di pinggir hutan untuk menjual ikan. Tanpa disangka, ia bertemu dengan
saudagar kaya. Ternyata ia bekas sahabat suaminya dulu.
“Mengapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu
keheranan.

Permaisuri menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya. Mendengar hal itu, sang
saudagar segera mengajak mereka kerumahnya dan membeli semua ikannya. Setiba di
rumah, saudagar itu menyuruh istrinya segera memasak ikan tersebut. Ketika sedang
memotong perut ikan, sang istri merasa heran karena dari perut ikan itu keluar telur ikan yang
berupa emas murni.

Kemudian, butiran emas tersebut dijual kepasar oleh istri saudagar. Uangnya ia gunakan
untuk membangun rumah permaisuri dan putranya. Sejak saat itu, permaisuri dan putranya
telah berubah menjadi orang kaya berkat telur-telur emas dari ikan. Cerita tentang kekayaan
permaisuri dan putranya sampai ketelinga Raja Muda.

Pada suatu hari, Raja Muda memanggil Amat Mude ke istana. Ia memerintah Amat Mude
memetik kelapa gading untuk mengobati penyakit istri Raja Muda, di sebuah pulau yang
terletak di tengah laut. Konon, lautan di sekitar pulau itu dihuni oleh binatang-binatang buas.
Siapapun yang melewati lautan itu pasti celaka.

Raja Muda mengancam Amat Mude jika tidak berhasil, ia akan dihukum mati. Tapi, Amat
Mude tak peduli dengan ancaman itu. Niatnya tulus hendak menolong istri Raja Muda. Ia pun
segera berangkat meninggalkan istana.

Setibanya di pantai, ia duduk termenung. Tiba-tiba, muncul di hadapannya seekor ikan besar
beranama Si Lenggang Raye, didampingi oleh Raja Buaya, dan seekor Naga Besar.

Singkat cerita, Amat Mude telah menemukan pohon kelapa gading dengan bantuan
Silenggang Raye, Raja Buaya, dan seekor naga. Selanjutnya, Amat Mude memanjat pohon.
Ketika sedang memetik buah kelapa gading, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan.

“Siapa pun yang berhasil memetik buah kelapa gading, dia akan menjadi suamiku.”
“Siapakah Engkau?” tanya Amat Mude.
“Aku Putri Niwer Gading,” jawabnya suara dari bawah pohon kelapa.

Amat Mude cepat-cepat memetik kelapa gading. Setelah turun dari atas pohon kelapa.
Alangkah takjubnya Amat Mude melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat
Mude pun mengajak sang putri pulang ke rumahnya untuk dipersunting. Setelah menikah,
Amat Mude beserta istri dan ibunya berangkat ke istana untuk menyerahkan kelapa gading.

Kedatangan Amat Mude membuat Raja Muda terheran-heran. Orang yang berhasil melewati
rintangan dipulau angker pastilah orang sakti. Ia tidak mau main-main lagi. Kini tidak alasan
untuk menghukum mati keponakannya itu.
Akhirnya Raja Muda sadar akan kesalahannya. Ia memohon maaf kepada permaisuri dan
Amt Mude. Beberapa hari kemudian Amat Mude dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.

Ketika musibah yang terjadi diperlukan kesabaran dan ketabahan. Dan dengan bekerja keras
kita akan sampai pada perbaikan nasib.
LEGEND OF ACEH
"PRINCESS NIWER IVORY"

Al story, first in the State Alas including Nangro region Aceh Darussalam, there was a wise
king and loved by his people. He ruled justly and wisely, everyday thoughts were devoted to
advancing the prosperity of the country and its people.
Unfortunately the king did not have a son. They were sad, on the advice of smart people king
and queen then diligently pray while fasting. A few months later empress contains. After
giving birth until the time a boy named Amat Mude.
Less than a year of age Amat Mude, his father died.
Amat Mude was an infant because the younger brother of the king or uncle (uncle) Amat
Mude was a king while.
An uncle's name was Raja Muda. After he was appointed king even cruel to Amat Mude and
his mother.
They were exiled to a remote forest. Raja Muda wanted full control of the kingdom, the
actual rights Mude Amat ..
Though far removed from the palace of the empress did not complain, he received his ordeal
with patience and fortitude. He exaggerated Amat Mude lovingly. As the years passed,
imperceptibly Amat Mude grow into a child smart and handsome.
Amat Mude like fishing in the river. One day, the empress and Amat Mude go to a village on
the edge of the forest to sell fish. Unexpectedly, he meets a rich merchant. Turns out he was a
former friend of her husband's first.

"Why Princess and Crown Prince was in this place?" Asked the astonished merchant.
Empress told all the events that had happened to him. Hearing this, the merchant immediately
invited them to his house and buy all the fish. Arriving home, the merchant immediately
ordered his wife to cook the fish. When it was cutting the fish belly, his wife was surprised
because of the belly of the fish out of fish eggs are of pure gold.

Later, the gold grains are sold to the market by the wife of a merchant. The money he used to
build houses empress and her son. Since then, the empress and her son has turned into a rich
man thanks to the golden eggs of fish. The story of the riches empress and her son until
ketelinga Raja Muda.
One day, the Viceroy Amat Mude summoned to the palace. He ruled Amat Mude picking
ivory palm to treat diseases of the viceroy's wife, on an island located in the middle of the
sea. That said, the sea around the island was inhabited by wild animals. Anyone who passes
the ocean was definitely hurt.
Raja Muda threatened Amat Mude if unsuccessful, he will be put to death. But, Amat Mude
indifferent to the threat. The intention sincerely want to help the wife of the Viceroy. He
immediately set out to leave the palace.

Upon arrival, he sat. Suddenly, appeared in front of a big fish beranama Si Lenggang Raye,
accompanied by Raja Buaya, and a Great Dragon.

Long story short, Amat Mude have found the ivory palm trees with the help Silenggang
Raye, Raja Buaya, and a dragon. Furthermore, Amat Mude climb trees. When picking
coconuts ivory, suddenly heard a woman's voice.

"Anyone who managed to pluck coconuts ivory, he would be my husband."


"Who are you?" Asked Amat Mude.
"I Niwer Ivory Princess," replied a voice from under a coconut tree.

Amat Mude quickly pluck coconuts ivory. After coming down from the top of a coconut tree.
How amazement Amat Mude Niwer see beauty Princess Ivory. Finally, Amat Mude also
invited the princess returned to her home to dipersunting. After marriage, Amat Mude and his
wife and his mother went to the palace to hand over ivory palm.

The arrival of the Viceroy Amat Mude make astonishment. People who successfully go
through trials haunted island must have been magic. He did not want to play games again.
Today no reason to punish his nephew's death.

Finally Raja Muda aware of the mistake. He apologized to the queen and Amt Mude. A few
days later Amat Mude was crowned the King of Alas.

When the disaster takes patience and fortitude. And by working hard we will come to repair
fate.

You might also like