You are on page 1of 22

JOURNAL READING

NEUROPATHIC PAIN IN LEPROSY: SYMPTOM PROFILE


CHARACTERIZATION AND COMPARISON WITH NEUROPATHIC PAIN
OF OTHER ETIOLOGIES

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Pasar Minggu

Pembimbing:
dr. Reni Fajarwati, Sp.KK

Disusun Oleh:
Vivi Anisa Putri 1710221021

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT KELAMIN RSUD PASAR MINGGU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA
TAHUN 2019
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING
NEUROPATHIC PAIN IN LEPROSY: SYMPTOM PROFILE
CHARACTERIZATION AND COMPARISON WITH NEUROPATHIC PAIN
OF OTHER ETIOLOGIES

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik Ilmu Kulit dan
Kelamin RSUD Pasar Minggu

Oleh :
Vivi Anisa Putri 1710221021

Jakarta, Juni 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh

Pembimbing

dr. Reni Fajarwati, SpKK


NYERI NEUROPATIK PADA KUSTA: KARAKTERISASI PROFIL GEJALA
DAN PERBANDINGAN DENGAN NYERI NEUROPATIK PADA PENYEBAB
LAIN.
Irina Raicher, Patrick Raymond Nicholas Andre Ghislain Stump, Simone Bega
Harnik, Rodrigo Alves de Oliveira, Rosemari Baccarelli, Lucia H.S.C. Marciano,
Somei Ura, Marcos C.L. Virmond, Manoel Jacobsen Teixeira, Daniel Ciampi de
Andrade.
Abstrak
Latar Belakang: Pada penelitian sebelumnya dilaporkan tingginya prevalensi nyeri
neuropatik pada kusta, terutama pada pasien yang "secara farmakologis sembuh".
Nyeri neuropatik pada kusta menimbulkan beban tambahan pada kualitas hidup,
aktivitas harian, dan suasana hati.
Objektif: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai apakah nyeri neuropatik pada
kusta memiliki gejala yang sama dengan nyeri neuropatik dari penyebab yang lain serta
menilai secara retrospektif kemanjuran obat nyeri neuropatik yang diresepkan untuk
kusta secara teratur.
Metode: Pasien kusta dan non kusta memiliki karakter nyeri neuropatik yang dinilai
menggunakan Neuropathic Pain Symptom Inventory (NPSI) dari 0 hingga 100, dengan
100 merupakan intensitas nyeri neuropatik maksimal dalam kunjungan pertama. Pada
kunjungan kedua, penderita kusta yang mengalami nyeri signifikan dan telah
mendapatkan perawatan farmakologis dalam evaluasi pertama dinilai kembali
menggunakan NPSI dan menunjukkan profil nyeri serta respon pengobatan yang lebih
terperinci, termasuk informasi tentang obat yang diresepkan untuk nyeri neuropatik.
Hasil: Karakteristik nyeri berdasarkan NPSI tidak berbeda secara signifikan antara
pasien nyeri neuropati kusta dengan non kusta di kunjungan 1 setelah koreksi untuk
beberapa analisis, dan analisis klaster menyebutkan temuan ini (yaitu, tidak ada
diskriminasi antara kusta dan kelompok non kusta. Pearson chi square = 0,072, dengan
p value = 0,788). Penilaian mengenai pereda nyeri dan obat-obatan yang diambil oleh
setiap pasien menggunakan analisis regresi linier menunjukkan bahwa amitriptiline
memiliki persentase analgesik tertinggi pada masa efektifnya.
Kesimpulan: Nyeri neuropatik pada kusta sama beragamnya dengan nyeri neuropatik
karena penyebab lainnya sehingga mendukung konsep lebih lanjut bahwa nyeri
neuropatik merupakan suatu entitas transetiologis. Nyeri neuropatik pada kusta dapat
merespons obat-obatan yang biasa digunakan untuk mengontrol nyeri pada profil
neuropatik secara umum dan amitriptiline dapat menjadi kandidat obat potensial untuk
uji klinis formal di masa yang akan datang yang bertujuan untuk mengendalikan nyeri
neuropatik pada kusta.
Kata kunci: Nyeri neuropatik, Kusta, Obat Kandidat, Profil gejala, Neuropati, Gejala.

1. Latar Belakang
Kusta disebabkan oleh infeksi oleh Mycobacterium leprae, yang saat ini
mempengaruhi 250.000 pasien baru setiap tahun, terutama negara-negara yang secara
ekonomi memiliki pendapatan yang berada terdistribusi secara tidak merata. Karena
sampai 5% dari populasi umum rentan terhadap infeksi oleh Mycobacterium, kasus
kusta dapat terjadi pada daerah nonendemik terutama di lokasi geografis dengan
populasi tinggi. Kusta dikaitkan sebagai suatu komplikasi, dengan neuropati perifer
salah satunya. Nyeri neuropatik terjadi pada hingga 22% pasien dan mungkin
berkembang selama atau setelah penyembuhan bakteriologis. Bahkan, lebih dari 85%
pasien dengan nyeri neuropatik terkait kusta berkembang setelah akhir periode
pengobatan antimikroba yang merupakan cacat jangka panjang berat dari penyakit dan
sering mempengaruhi pasien yang dianggap sembuh dan sudah sembuh keluar dari
perawatan kesehatan. Meskipun beberapa kelompok telah memvalidasi alat skrining
yang dapat digunakan untuk mendeteksi nyeri neuropatik pada pasien kusta, profil
gejalanya tidak terlalu dibandingkan dengan nyeri neuropatik dari penyebab lainnya.
Selain itu, sejauh ini belum ada pengobatan berbasis bukti untuk nyeri neuropatik pada
kusta sehingga menimbulkan suatu lingkaran setan bahwa pasien kusta memiliki
kecenderungan rendah untuk didiagnosis dengan nyeri neuropatik, dan ketika pasien
telah menerima diagnosis, kesalahan informasi tentang cara melakukan perawatan dan
pengadaan kekurangan obat adalah hal yang pasti terjadi akibat kurangnya data yang
dipublikasikan tentang masalah ini
Bentuk kusta yang beragam, fase klinis yang berbeda, dan status pengobatan
dapat dikaitkan dengan terjadinya fase kronis dan pasien kusta dengan nyeri kronis
memiliki proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Nyeri
neuropatik juga umum pada penderita kusta dan terjadi pada 11,2% hingga 78,9%
pasien yang bervariasi sesuai dengan kondisi seperti sebelum, selama, atau setelah
selesainya perawatan antimikroba dan presentasi klinis penyakit seperti pauci dengan
multibacillar). Mirip dengan neuropati perifer lainnya, timbulnya nyeri neuropatik pada
kusta menimbulkan beban tambahan dalam kualitas hidup pasien, aktivitas harian, dan
suasana hati. Nyeri neuropati pada kusta juga dianggap sebagai sekuel jangka panjang
suatu penyakit karena sering terjadi setelah eliminasi antimikroba dari Bacillus dan
mempengaruhi pasien yang telah dinyatakan sembuh dan keluar dari perawatan. Dalam
10 tahun terakhir, telah terbukti bahwa alat skrining berbeda yang digunakan dalam
nyeri neuropatik karena penyebab lain juga bisa digunakan untuk mendeteksi nyeri
karakteristik neuropatik pada pasien-pasien ini. Namun, masih sedikit informasi
tentang fenotipe klinis nyeri neuropatik yang membedakan dengan nyeri neuropatik
penyebab lainnya. Selain itu, saat ini belum ada bukti berbasis pengobatan untuk nyeri
neuropatik terkait kusta sehingga menghambat kebijakan kesehatan masyarakat yang
ditujukan untuk mengendalikan rasa sakit di daerah endemik.
Terdapat 2 tujuan dari penelitian ini. Pertama, untuk menilai apakah nyeri
neuropatik pada kusta memiliki profil gejala yang serupa dengan nyeri neuropatik
karena penyebab lainnya. Sudah berulang kali didapatkan bahwa nyeri neuropatik
adalah entitas transekologis oleh karena itu, seseorang akan mengharapkan pasien
kusta dengan neuropatik nyeri untuk menyajikan profil gejala yang mirip dibandingkan
dengan nyeri neuropatik penyebab lain. Namun, asumsi ini belum pernah dinilai atau
didemonstrasikan secara formal, dan tetap harus dikonfirmasi secara terkendali. Tujuan
kedua adalah untuk menilai efektivitas obat nyeri neuropatik yang secara teratur
diresepkan untuk pasien kusta dalam suatu pengaturan rawat jalan dan untuk
mengevaluasi agen farmakologis mana yang akan berpotensi memberikan bantuan
analgesik yang lebih kuat dan merupakan obat kandidat yang baik untuk uji klinis acak
double-blinded.
Dengan demikian, penilitian ini bertujuan untuk membuat karakteristik profil
gejala nyeri neuropatik pada kusta dan membandingkanya dengan neuropatik karena
penyebab lainnya pada usia dan jenis kelamin individu dari populasi yang sama serta
untuk menganalisis pola penggunaan analgetik dan kemanjurannya dalam sampel
pasien ini untuk mendeteksi “kandidat” pengobatan untuk percobaan klinis yang akan
datang.

2. Metode
2.1 Pasien
Komite etika kelembagaan dari Instituto Lauro de Souza Lima dan Hospital das
Cl´ınicas menyetujui penelitian ini dan pememberitahuan persetujuan diperoleh dari
semua peserta. Pasien secara prospektif disaring untuk partisipasi di Pusat Nyeri
Instituto Lauro De Souza Lima (pusat kusta di Bauru, Sa˜o Paulo, Brasil), yang
merupakan fasilitas referensi regional untuk suatu populasi dari 356.680 penduduk.
Secara teratur pasien rawat jalan dilihat dan disaring untuk berpartisipasi selama
komsultasi medis rutin yang telah dijadwalkan. Kusta didiagnosis ketika seorang
pasien memiliki salah satu dari temuan berikut: lesi kulit yang khas untuk kusta; dan /
atau penebalan saraf perifer; dan/atau apusan kulit basil tahan asam. Berdasarkan
klasifikasi WHO 1998, kusta diklasifikasikan menjadi pausibasilar apabila memiliki
sampai dengan 5 lesi kulit dan menjadi multibasilar apabila memiliki 5 atau lebih lesi
kulit sesuai dengan rekomendasi WHO. Pasien dewasa dengan nyeri neuropatik yang
disaring untuk publikasi dinilai berdasarkan pemeriksaan fisik spesialis dan penilaian
berdasarkan kriteria. Nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang timbul akibat
konsekuensi langsung dari lesi atau penyakit yang mempengaruhi sistem
somatosensori. Pasien didiagnosis nyeri neuropatik apabila distribusi nyeri secara
neuroanatomis dan pada pemeriksaan klinis muncul tanda-tanda sensori negatif atau
positif (misal hipo/anestesi, hipo/analgesia, hiperalgesia, atau alodinia) yang terbatas
pada wilayah persarafan dari struktur saraf yang terkena, karakteristik nyeri neuropatik
(kuisioner Douleur Neuropathique 4 positif), memiliki kusta (penyakit yang
menyebabkan neuropati) dan defisit sensorik berdasarkan pemeriksaan fisik di tempat
tidur, yang termasuk pemeriksaan visual atrofi dan pengecilan otot, dan dingin (metal
tuning fork) deteksi mekanik (Von Frey monofilaments; SORRI, Bauru, Brasil) dan
deteksi cocokan peniti (pin). Area tubuh kontrol adalah area kulit yang lebih hangat di
mana neuropati muncul atau terasa, seperti di paha bagian dalam, aksila, dan daerah
interdigital. Hanya pasien yang telah menyelesaikan setidaknya 6 bulan pengobatatan
multidrug yang dimasukkan sebagai sampel. Ini merupakan sampel yang mudah untuk
pasien kusta dan kami berniat memasukkan jumlah pasien terbesar selama masa studi
(Mei – Juli 2015). Pasien dengan kondisi sistemik seperti diabetes, mengkonsumsi
alkohol berlebih, imunodefisiensi, atau gangguan mental mayor (DSM-IV)
dieksklusikan. Seratus empat penderita kusta disaring untuk berpartisipasi (Gambar 1.
STROBE). Penderita kusta yang berada dalam efek samping atau sedang mengonsumsi
obat yang digunakan untuk mengobati efek samping kusta (thalidomide dan
prednisone) tidak termasuk. Reaksi tipe 1 atau reaksi pembalikan didiagnosis ketika
pasien mengalami eritema dan edema lesi kulit atau neuritis. Reaksi tipe 2 atau eritema
nodosum didiagnosis ketika seorang pasien memiliki lesi kulit subkutan yang lembut,
disertai atau tidak dengan neuritis, iritis, arthritis, orkitis, daktilitis, limfadenopati,
edema, atau demam.
Sembilan puluh tujuh usia, jenis kelamin, dan intensitas nyeri yang cocok pada
pasien dengan nyeri neuropatik karena penyebab perifer selain kusta disaring untuk
partisipasi dan dimasukkan (n = 75) dalam blok 10, dan dinilai di Rumah Sakit das
Clinicas, Universidade de Sa˜ o Paulo, Sa˜ o Paulo, Brazil.

2.2 Penilaian Klinis


Pasien nyeri neuropati kusta dan non kusta dievaluasi pada kunjungan awal
(kunjungan 1) untuk mengetahui adanya nyeri neuropatik berdasarkan penilaian klinis.
Pasien kusta diundang untuk kembali pada kunjungan kedua 3 hingga 5 bulan setelah
kunjungan pertama jika mereka punya nyeri neuropatik sedang / berat (NPSI > 30).
2.2.1 Desain Studi
2.2.1.1. Kunjungan 1
Seorang spesialis kusta melakukan diagnosis klinis kusta dan mengklasifikasikan
peserta berdasarkan sistem Ridley – Jopling. Semua pasien dengan diagnosis klinis
nyeri neuropatik diminta untuk mengisi kuesioner NPSI dibantu oleh dokter kulit.
Pasien kusta dengan nyeri neuropatik sedang hingga berat (NPSI > 30) diberikan terapi
analgesik. Pilihan terapi pengobatan, dosis, dan metode titrasi masing-masing
berdasarkan kebijaksanaan dokter, yang tidak berpengaruh dalam penelitian ini.
Peserta dengan intensitas nyeri yang rendah diberikan terapi tetap seperti sebelumnya,
atau mendapatkan sedikit penyesuaian atau tidak lagi dinilai dalam penelitian ini.
Pasien nyeri neuropatik non kusta dievaluasi oleh spesialis nyeri dan juga mengisi
NPSI.
2.2.1.2 Kunjungan 2
Penderita kusta yang mengalami nyeri yang signifikan pada kunjungan 1 dan
pernah mendapatkan pelaksanaan atau perubahan terapi analgesik akan dinilai kembali
dan mengisi NPSI dan Brief Pain Inentory (BPI). Pertanyaan BPI diantaranya
pertanyaan tentang intensitas rasa nyeri yang dirasakan saat ini, rasa nyeri paling buruk
di minggu lalu, paling sedikit, dan rata-rata menggunakan skala peringkat numerik (0-
10). Juga, gangguan rasa sakit dalam aktivitas pada umumnya, berjalan, mood, tidur,
bekerja, hubungan dengan orang lain, dan kenikmatan hidup dinilai menggunakan
skala Likert 11 poin yang sama.

2.3. Evaluasi profil gejala nyeri neuropatik antara kelompok pada kunjungan 1
2.3.1. Analisis NPSI perbandingan gejala nyeri neuropatik pasien kusta dan non
kusta
Setiap item dari kuesioner NPSI dibandingkan antara penderita kusta dan non
kusta. Alpha Cronbach dari jawaban kuisioner NPSI digunakan untuk menilai
konsistensi internal dan reliabilitas. Kemudian, klaster dari kuesioner gejala NPSI pada
pasien kusta dengan nyeri neuropatik dibandingkan dengan klaster dari gejala NPSI
dari pasien dengan nyeri neuropati karena penyebab lain.
2.3.2. Beban nyeri neuropatik
Pasien kusta yang memiliki rasa sakit yang signifikan dan secara klinis tidak
mengalami reaksi kusta diundang untuk kunjungan kedua dan skor NPSI mereka dinilai
untuk menilai korelasi dampak negatif yang terkait dengan nyeri dalam kegiatan sehari-
hari yang diukur dengan skor ketergangguan dari BPI.

2.4. Evaluasi respon pengobatan


2.4.1. Efek pengobatan farmakologis nyeri neuropatik pada kusta
Pasien dengan kusta dan nyeri diberikan pengobatan farmakologis atas
kebijaksanaan dokter yang merawat mereka. Nama obat-obatan, dosis, dan total jumlah
obat dicatat pada BPI. Efek pengobatan dalam nyeri neuropatik diukur menggunakan
persentase peningkatan nyeri yang diperoleh dari pengobatan farmakologi dan diukur
dengan BPI (peningkatan 0% -100%, butir 8) selama kunjungan 2.
2.4.2. Efek analgesik dari pengobatan farmakologi nyeri neuropatik pada pasien
kusta
Pada kunjungan 2, persentase peningkatan nyeri dari BPI (pertanyaan 8)
digunakan untuk membangun skor (persentase peningkatan) dari BPI diberikan oleh
pasien. Skor ini dicatat sebagai keberhasilan terapi untuk pengobatan nyeri neuropatik
dari seluruh kombinasi obat yang memungkinkan. Kombinasi obat itu dinilai
berdasarkan frekuensinya; kombinasi yang digunakan paling sedikit 4 pasien
dimasukkan dalam analisis (Materi suplementer 1, tersedia pada:
http://links.lww.com/PR9/A14). Koefisien yang diperoleh menggunakan regresi linier
dengan sedikitnya metode penyusutan absolut dan operator seleksi (LASSO) untuk
memilih variabel yang dapat menjelaskan. Metode ini memungkinkan untuk memilih
(lalu menganalisis) variabel secara bersamaan, dan bukannya secara terpisah seperti
pada model regresi tradisional. Jadi, ini berfungsi sebagai metode pemilihan model
yang mengevaluasi semua kovariat secara bersama, yang lebih kuat daripada memilih
variabel penjelas satu per satu (karena itu mungkin bahwa satu atau lebih variabel
hanya signifikan karena keberadaan variabel lainnya). Metode ini juga mudah
diaplikasikan ketika jumlah kovariatnya sama atau lebih besar dari jumlah obeservasi,
yang mana juga tidak memungkinkan dengan model regresi linier klasik. Hasilnya
dipresentasikan pada keluaran deskriptif dari obat yang diamati dengan potensi
tertinggi untuk diuji pada uji klinis yang akan datang (efek analgesic dengan potensi
tertinggi).

2.5. Analisis statistik


Data ditampilkan dalam rata-rata ± SD untuk variabel kuantitatif berkelanjutan
dan sebagai persentase untuk variabel kategorik. Normalitas dinilai menggunakan tes
Kolmogorov-Smirnov (P < 0.05). Data nonparametrik dibandingkan dengan
menggunakan uji Mann-Whitney U untuk data berpasangan dan uji Kruskall-Wallis
untuk perbandingan kelompok (nyeri neuropatik yang berhubungan dengan kusta vs
non kusta). Analisis dilakukan menggunakan SPSS 20. Analisis klaster dilakukan
untuk konfirmasi yang akan datang temuan dari perbandingan kelompok
nonparametrik (material suplementer-1, tersedia pada: http://links.lww.com/PR9/A14)
dengan tujuan untuk menetapkan pengamatan dari sampel atau populasi ke kelompok
yang sedemikian rupa sehingga pengamatan dalam setiap kelompok (atau sebuah
klaster) lebih mirip atau homogen satu sama lain terhadap orang-orang di kelompok
lain (klaster-klaster) tentang variabel yang diukur. Analisis hirarkis klaster dilakukan
untuk mengidentifikasi kesamaan respon individu terhadap NPSI pada profil gejala.
Algoritme yang dihasilkan preklaster yang merupakan klaster dari kasus asli,
menggantikan mereka dengan tujuan mengurangi jumlah kasus pada langkah
selanjutnya dan mengurangi susunan yang berisi jarak antara semua kasus yang
mungkin cocok. Strategi ini mewakili suatu pendekatan untuk pengelompokan
berurutan. Algoritma memindai catatan satu per satu dan memutuskan apakah suatu
catatan tertentu harus bergabung dengan kelompok yang terbentuk sebelumnya atau
menimbulkan klaster yang baru berdasarkan kriteria jarak. Setelah preklaster selesai,
semua kasus dalam preklaster yang sama diperlakukan sebagai entitas tunggal dengan
teknik berdasarkan karakteristik mereka sendiri dan kemudian digunakan sebagai kasus
baru. Ukuran dari matriks jarak tidak bergantung pada jumlah kasus, tetapi jumlah
preklaster. Metode 2 langkah menghasilkan kualitas pengelompokan dengan nilai
antara 0 dan 1 yang merupakan nilai tanpa dimensi. Semakin mendekati ke 1, semakin
lebih baik pengelompokannya, dengan lebih sedikit kasus yang ditinggalkan dari
klaster yang telah diidentifikasi.

3. Hasil
3.1. Karakteristik dasar
Kami mengevaluasi 94 pasien dengan kusta dan nyeri neuropatik (52.8 ± 11.3
tahun; 39 perempuan) dan 75 pasien non kusta dengan nyeri neuropatik (54.5 ± 15.2
tahun; 37 perempuan). Skor nyeri pada awalnya sejumlah 4.9 ± 3.1/10 pada pasien
kusta dan 6.7 ± 2.2/10 pada pasien non kusta (P< 0.004). Dari 94 pasien kusta dengan
nyeri neuropatik yang masuk ke dalam penelitian ini, 84% telah menyelesaikan
pengobatan multidrug lebih dari dua belas bulan sebelumnya. Menurut sistem Ridley
dan Jopling, jumlah pasien yang terbesar memiliki bentuk borderline dari penyakit
[borderliune-lepromatosa (12.4%), boderline-borderline (29.2%), dan borderline-
tuberkuloid (13.5%)], diikuti oleh lepromatosa (38.2%) dan bentuk tuberkuloid-
tuberkuloid (6.7%). Pasien telah menyelesaikan regimen antibiotik pada rata-rata 95
bulan sebelum evaluasi. Kelompok dari nyeri neuropatik penyebab perifer “non kusta”
diantaranya neuralgia postherpetik (41.3%), cedera pleksus brakialis traumatik
(25.3%), neuropati perifer traumatik lainnya (15.9%), radikulopati lumbal (11.1%), dan
neuropati perifer diabetes (6.4%).
3.2. Perbandingan profil gejala pada kunjungan 1
Setiap deskriptor NPSI membandingkan secara terpisah antara kelompok nyeri
neuropatik kusta dan non kusta. Kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan
secara statistik antar kelompok, kecuali untuk nyeri yang dipicu oleh penggosokan (2.6
± 3.8 vs 4.1 ± 3.8, P = 0.009), oleh tekanan (5.9 ± 4.0 vs 4.2 ± 4.1, P = 0.006), dan
dengan dingin (1.5 ± 3.1 vs 2.7 ± 3.9, P = 0.022). Perbedaan ini tetap tidak signifikan
setelah koreksi untuk analisis multiple (Tabel 1 dan Gambar. 2).
3.3. Analisis Klaster
Alpha Cronbach sebanyak 0.716, menunjukkan reliabilitas yang baik oleh
responden. Analisis cluster hirarkis dari skor NPSI sudah dilakukan (Material
suplementer-1, tersedia pada: http://links.lww.com/PR9/A14).
3.4. Kunjungan 2: efek dari terapi penghilang rasa pada pada pasien kusta
Pada kunjungan 1, 52 pasien kusta mengalami nyeri sedang sampai berat, dan di
antara mereka, 35 tidak mengalami reaksi kusta yang secara klinis terdeteksi, dan
kemudian diundang untuk menghadiri kunjungan 2, ketika profil penggunaan obat
kemudian dinilai dengan BPI, begitu juga dengan persentase perbaikan nyeri yang
diakibatkan oleh terapi regimen. Frekuensi penggunaan masing-masing obat dan terapi
asosiasi dijelaskan pada Tabel 2.
Regresi linear dengan analisis LASSO menunjukkan 3 koefisien dengan
hubungan positif terhadap persentase perbaikan rasa nyeri dari BPI: obat pertama pada
Tabel 3 adalah yang paling relevan. Koefisien yang lebih tinggi dikaitkan dengan
kepentingan masing-masing kombinasi obat untuk menjelaskan persentase perbaikan
rasa nyeri.
Mempertimbangkan 3 obat ini (amitriptilin, gabapentin, dan
klorpromazin/haloperidol), amitriptilin dan amitriptilin digabungkan dengan
klorpromazin/haloperidol adalah obat-obatan dengan persentase pereda nyeri yang
lebih tinggi (66.7%). Kombinasi dari amitriptilin dan gabapentin tampaknya
menawarkan efek analgesik yang lebih rendah pada pasien, dengan proporsi pasien
tanpa perbaikan yang lebih besar (70.0% untuk amitriptilin + gabapentin), seperti yang
tersaji dalam Tabel 4.
Analisis regresi linier menunjukkan bahwa penggunaan amitriptilin, memiliki
persentase tertinggi untuk efek analgesik ketika efektif.
4. Pembahasan
Nyeri neuropatik bersifat prevalen, mempengaruhi hingga 7% dari populasi
umum. Diketahui juga, bahwa pasien dengan nyeri kronis dengan komponen
neuropatik memiliki dampak negatif yang lebih tinggi dalam kualitas hidup bila
dibandingkan mereka dengan kondisi intensitas nyeri kronis yang serupa tetapi tidak
memiliki komponen neuropatik. Meskipun kusta jarang terjadi di negara maju, namun
merupakan penyebab tersering dari cacat dan nyeri kronis di negara berkembang
seperti Brazil dan India. Kusta juga dikaitkan dengan nyeri neuropatik dengan jumlah
proporsi kasus yang signifikan, yang mana sering terjadi setelah akhir dari pengobatan
mikrobiologis penyakit. Sesungguhnya, hal itu sudah dilaporkan bahwa sekitar
sepertiga dari pasien yang dirawat untuk kusta lebih dari 10 tahun sebelumnya
memiliki rasa nyeri dengan karakteristik neuropatik yang intensitasnya berat pada 40%
kasus. Oleh karena alasan ini, nyeri neuropatik pada kusta juga dianggap sebagai sekuel
jangka panjang penyakit ini, dan telah diusulkan untuk dimasukkan dalam perawatan
setelah program penyembuhan. Dalam beberapa tahun terakhir, pada beberapa
penelitian telah dilakukan validasi dan penilaian sensitivitas dan spesifisitas alat
skrining yang biasa digunakan untuk mendeteksi nyeri neuropatik karena penyebab
lain pada pasien kusta. Alat-alat ini telah terbukti bermanfaat ketika digunakan saat ini
dan saat ini digunakan oleh beberapa kelompok untuk menyaring nyeri neuropatik pada
pasien kusta. Namun, langkah selanjutnya dalam rangkaian perawatan pada
manajemen pasien tersebut kurang. Nyeri neuropatik diketahui responsif terhadap
antidepresan dan antikonvulsan dengan sifat antihiperalgesik dan antiallodinik. Obat-
obatan ini memiliki efikasi yang bervariasi, biaya, profil efek samping, dan mekanisme
aksi. Saat ini, tidak ada obat yang secara efektif diketahui untuk nyeri neuropatik yang
secara umum telah diuji secara formal untuk nyeri neuropatik terkait kusta. Padahal,
karakteristik nyeri neuropatik pada kusta jarang digambarkan dan tidak pernah
dibandingkan dengan nyeri neuropatik penyebab lainnya. Ini adalah langkah pertama
jika seseorang ingin mengeksplorasi obat yang saat ini digunakan untuk mengobati
nyeri neuropatik pasien kusta pada umumnya. Dalam studi ini, kami menunjukkan
bahwa profil sensorik dari nyeri neuropatik yang berhubungan dengan kusta tidak
memiliki perbedaan besar bila dibandingkan dengan nyeri neuropatik yang ditimbulkan
oleh penyebab lainnya. Meskipun intensitas nyeri dasar lebih tinggi di kelompok kusta,
skor lebih tinggi ditemukan untuk nyeri yang dipicu pada kelompok kusta tidak
bertahan setelah koreksi terhadap perbandingan multipel. Hal ini menunjukkan bahwa
kusta dapat menyebabkan nyeri neuropatik dengan presentasi klinis yang berbeda,
namun mirip dengan yang telah diyakini terjadi pada nyeri penyebab lain yang sering
dan lebih prevalen seperti neuralgia postherpetik dan diabetes mellitus, dan terapinya
semestinya tidak berbeda dari nyeri neuropatik yang disebabkan oleh penyebab
lainnya.
Langkah kedua dalam garis penalaran ini adalah menilai obat potensial untuk
dimasukkan dalam uji coba obat. Obat pilihan terbaik untuk dimasukkan dalam
percobaan semacam itu bukanlah suatu permasalahan sepele. Seseorang dapat
melakukan studi untuk mencoba menyaring potensi obat kandidat, seseorang dapat
mengajukan obat berdasarkan mekanisme aksi dugaan yang berasal dari karya
eksperimental, atau seseorang dapat mengamati apa yang saat ini ditawarkan kepada
pasien-pasien dalam praktek klinis dan mengeksplorasi obat potensial dari sini
“skenario kehidupan nyata”. Kami telah mengikuti pilihan terakhir ini. Dalam studi ini,
kami telah menilai efek dari berbagai obat yang diresepkan kepada pasien kusta dengan
cara yang tidak terkendali, cara yang jelas dan setelah penilaian klaster dari pereda
nyeri yang disediakan oleh regimen obat yang berbeda, kami telah menemukan bahwa
amitriptiline akan menjadi kandidat yang potensial.
Studi kami memiliki keterbatasan yang jelas karena ukuran sampelnya adalah
sampel mudah, dan ketersediaan obat, dosis, dan metode titrasi tidak dikontrol. Juga,
itu didasarkan mengingat efikasi sekelompok obat dengan potensi bias yang tidak dapat
terpisahkan. Di sisi lain, antidepresan trisiklik telah terbukti memiliki profil efikasi
tertinggi dengan metanalisis terakhir yang juga dapat diakses secara luas di seluruh
dunia. Kami juga menilai profil terapi nyeri dan kemanjurannya pada kunjungan 2.
Kami tidak memiliki informasi tentang terapi farmakologis pasien yang sudah ada
selama kunjungan 1. Begitu juga, meskipun eksklusi reaksi kusta terdeteksi secara
klinis pada kunjungan 2 (yang dapat terjadi bersamaan dengan nyeri neuropatik dan
mengacaukan penilaian nyeri), kami hanya menilai pasien dengan nyeri sedang sampai
berat pada kunjungan 2, yang mungkin telah mengeksklusikan pasien dengan gejala
nyeri neuropatik yang lebih ringan dan tidak begitu berat, yang mungkin telah
merespon agen farmakologis atau kombinasi lain yang tidak dinilai di sini. Masalah
lain yang patut dibahas adalah definisi nyeri neuropatik di daerah-daerah yang terbatas
secara ekonomi. Hal ini adalah tantangan tanpa batas pada kusta, dan membuka diskusi
penting ketika mencoba menyesuaikan penilaian diagnostik sistem nyeri neuropatik
saat ini di daerah yang ditujukan tes konfirmasi dari lesi atau gangguan somatosensori
sulit atau tidak memungkinkan untuk dilakukan. Pengumpulan data saat ini telah
dijalankan sebelum sistem diagnostik grading terbaru direkomendasikan. Namun,
meski hanya satu kriteria yang ditetapkan untuk sampel pasien kami, kami hanya akan
mampu menganggap mereka memiliki nyeri neuropatik yang pasti. Sistem grading
membutuhkan tes konfirmasi untuk memberikan diagnosis nyeri neuropatik yang pasti,
namun ketika menyebutkan efek lesi bedah langsung terhadap saraf yang diketahui
bahwa: “(...) anatomis langsung atau bukti bedah (misal, dari penyakit atau lesi sistem
somatosensori) akan dihitung sebagai tes konfirmasi.” Karena pasien kami mengalami
perubahan atrofi ekstremitas mayor akibat lesi saraf pada area nyeri neuropatik,
seseorang dapat menggunakannya sebagai pengganti penanda tes konfirmasi yang
abnormal.
Terlepas dari keterbatasan ini, kami percaya bahwa perbandingan terkontrol
nyeri neuropati pada kusta dan non kusta memungkinkan kita untuk menyimpulkan
bahwa kusta dapat menyebabkan nyeri neuropatik dengan presentasi klinis yang
berbeda, sama seperti penyebab nyeri neuropatik yang lain. Dan juga, hal itu dapat
merespons obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengontrol nyeri dari profil
neuropatik dan amitriptilin dapat menjadi obat kandidat untuk uji klinis di masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alter A, Grant A, Abel L, Alca¨ıs A, Schurr E. Leprosy as a genetic disease. Mamm


Genome 2011;22:19–31.
2. Attal N, Bouhassira D. Pharmacotherapy of neuropathic pain: which drugs, which
treatment algorithms? PAIN 2015;156 (suppl 1): S104–14.
3. Attal N, Lanteri-Minet M, Laurent B, Fermanian J, Bouhassira D. The specific
disease burden of neuropathic pain: results of a French nationwide survey. PAIN
2011;152:2836–43.
4. Avaliac¸ a˜ o sensitiva na neuropatia hansenica. In: Duerksen F, Virmond M,
editors. Cirurgia Reparadora e Reabilitac¸ a˜ o em Hansen´ıase. 1st ed. Rio de
Janeiro: ALM International, 1997. p. 75–83.
5. Beal BR, Wallace MS. An overview of pharmacologic management of chronic pain.
Med Clin North Am 2016;100:65–79.
6. Bouhassira D, Attal N, Fermanian J, Alchaar H, Gautron M, Masquelier E, Rostaing
S, Lanteri-Minet M, Collin E, Grisart J, Boureau F. Development and validation of
the neuropathic pain symptom inventory. PAIN 2004; 108:248–57.
7. Chen S, Qu J, Chu T. Prevalence and characteristics of neuropathic pain in the
people affected by leprosy in China. Lepr Rev 2012;83:195–201.
8. Collins SL, Moore RA, McQuay HJ. The visual analogue pain intensity scale: what
is moderate pain in millimeters? PAIN 1997;72:95–7.
9. de Andrade DC, Ferreira KA, Nishimura CM, Yeng LT, Batista AF, de Sa´ K,
Araujo J, Stump PR, Kaziyama HH, Galhardoni R, Fonoff ET, Ballester G, Zakka
T, Bouhassira D, Teixeira MJ. Psychometric validation of the Portuguese version of
the neuropathic pain symptoms inventory. Health Qual Life Outcomes 2011;9:107.
10.de Andrade DC, Jean S, Clavelou P, Dallel R, Bouhassira D. Chronic pain
associated with the chikungunya fever: long lasting burden of an acute illness. BMC
Infect Dis 2010;10:31.
11.Devor M. Strategies for finding new pharmacological targets for neuropathic pain.
Curr Pain Headache Rep 2004;8:187–91.
12.Ferreira KA, Teixeira MJ, Mendonza TR, Cleeland CS. Validation of brief pain
inventory to Brazilian patients with pain. Support Care Cancer 2011; 19:505–11.
13. Finnerup NB, Attal N, Haroutounian S, McNicol E, Baron R, Dworkin RH,
Gilron I, Haanpa¨ a¨ M, Hansson P, Jensen TS, Kamerman PR, Lund K, Moore A,
Raja SN, Rice AS, RowbothamM, Sena E, Siddall P, Smith BH, Wallace M.
Pharmacotherapy for neuropathic pain in adults: a systematic review and meta-
analysis. Lancet Neurol 2015;14:162–73.
14. Finnerup NB, Haroutounian S, Kamerman P, Baron R, Bennett DL, Bouhassira D,
Cruccu G, Freeman R, Hansson P, Nurmikko T, Raja SN, Rice AS, Serra J, Smith
BH, Treede RD, Jensen TS. Neuropathic pain: an updated grading system for
research and clinical practice. PAIN 2016; 157:1599–606.
15.Freeman R, Baron R, Bouhassira D, Cabrera J, Emir B. Sensory profiles of patients
with neuropathic pain based on the neuropathic pain symptoms and signs. PAIN
2014;155:367–76.
16.Global leprosy situation, 2012. Wkly Epidemiol Rec 2012;87:317–28.
17.Hair JF Jr, Anderson RE, Tatham RL, Black WC. Ana´ lise multivariada de dados.
Traduc¸ a˜ o Adonai Schlup Sant’Anna e Anselmo Chaves Neto. 5th ed. Porto
Alegre: Bookman, 2005.
18.Haroun OM, Hietaharju A, Bizuneh E, Tesfaye F, Brandsma JW, Haanpa¨ a¨ M,
Rice AS, Lockwood DN. Investigation of neuropathic pain in treated leprosy
patients in Ethiopia: a cross-sectional study. PAIN 2012;153: 1620–4.
19.Hietaharju A, Croft R, Alam R, Birch P, Mong A, Haanpa¨ a¨ M. Chronic
neuropathic pain in treated leprosy. Lancet 2000;356:1080–1.
20.IBM Corp. IBM SPSS Statistics for Windows, Version 20.0. Armonk: IBM Corp,
2011.
21.Kamerman PR, Wadley AL, Davis KD, Hietaharju A, Jain P, Kopf A, Meyer AC,
Raja SN, Rice AS, Smith BH, Treede RD, Wiffen PJ. World Health Organization
essential medicines lists: where are the drugs to treat neuropathic pain? PAIN
2015;156:793–7.
22.Karlsson EK, Kwiatkowski DP, Sabeti PC. Natural selection and infectious disease
in human populations. Nat Rev Genet 2014;15:379–93.
23.Lasry-Levy E, Hietaharju A, Pai V, Ganapati R, Rice AS, Haanpa¨ a¨ M, Lockwood
DN. Neuropathic pain and psychological morbidity in patients with treated leprosy:
a cross-sectional prevalence study in Mumbai. PLoS Negl Trop Dis 2011;5:e98.
24.La´ zaro FP, Werneck RI, Mackert CC, Cobat A, Prevedello FC, Pimentel
RP,Macedo GM, Eleute´ rioMA, Vilar G, Abel L, XavierMB, Alca¨ıs A,Mira MT.
A major gene controls leprosy susceptibility in a hyperendemic isolated population
from north of Brazil. J Infect Dis 2010;201: 1598–605.
25.Lockwood DN, Nicholls P, Smith WC, Das L, Barkataki P, van Brakel W, Suneetha
S. Comparing the clinical and histological diagnosis of leprosy and leprosy reactions
in the INFIR cohort of Indian patients with multibacillary leprosy. PLoS Negl Trop
Dis 2012;6:e1702.
26.Lockwood DN, Saunderson PR. Nerve damage in leprosy: a continuing challenge
to scientists, clinicians and service providers. Int Health 2012;4: 77–85.
27.Maia RD. Recent trends in neuropathic pain patents. Expert Opin Ther Pat
2017;27:539–46.
28.Mira MT, Alca¨ıs A, Nguyen VT, Moraes MO, Di Flumeri C, Vu HT, Mai CP,
Nguyen TH, Nguyen NB, Pham XK, Sarno EN, Alter A, Montpetit A, Moraes ME,
Moraes JR, Dore´ C, Gallant CJ, Lepage P, Verner A, Van De Vosse E, Hudson TJ,
Abel L, Schurr E. Susceptibility to leprosy is associated with PARK2 and PACRG.
Nature 2004;427: 636–40.
29.Passo IP, Palmeira CCA, Vieira E´ BM. Epidemiology of neuropathic pain. Rev
Dor 2016;17(suppl 1):S11–4.
30.Raicher I, Stump PR, Baccarelli R, Marciano LH, Ura S, Virmond MC, Teixeira
MJ, Ciampi de Andrade D. Neuropathic pain in leprosy. Clin Dermatol 2016;34:59–
65.
31.Ridley DS, Jopling WH. A classification of leprosy for research purposes. Lepr Rev
1962;33:119–28.
32.Saunderson P, Bizuneh E, Leekassa R. Neuropathic pain in people treated for
multibacillary leprosymore than ten years previously. Lepr Rev 2008;79:270–6.
33.Sidhu HS, Sadhotra A. Current status of the new antiepileptic drugs in chronic pain.
Front Pharmacol 2016;7:276.
34.Stump PRNAG, Baccarelli R, Marciano LHSC, Lauris JR, Teixeira MJ, Ura S,
Virmond MC. Neuropathic pain in leprosy patients. Int J Lepr 2004;72: 134–8.
35.Tibshirani R. Regression shrinkage and selection via the lasso. J R Stat Soc Ser B
(Methodological) 1996;58:267–88.
36.Treede RD, Jensen TS, Campbell JN, Cruccu G, Dostrovsky JO, Griffin JW,
Hansson P, Hughes R, Nurmikko T, Serra J. Neuropathic pain: redefinition and a
grading system for clinical and research purposes. Neurology 2008;70:1630–5.
37.WHO Expert Committee on leprosy. World Health Organ Tech Rep Ser
1998;874:1–43.
38.Woldeamanuel YW, Kamerman PR, Veliotes DG, Phillips TJ, Asboe D, Boffito M,
Rice AS. Development, validation, and field-testing of an instrument for clinical
assessment of HIV-associated neuropathy and neuropathic pain in resource-
restricted and large population study settings. PLoS One 2016;11:e0164994.
39.World Health Organization Expert Committee on Leprosy. Seventh report.
Technical report series, Geneva, Switzerland, 1998. p. 874.

You might also like