Professional Documents
Culture Documents
BAGIAN ANESTESI
UNIVERSITAS TADULAKO
REFLEKSI KASUS
“General Anestesi Pediatrik Pada Kasus Palatoschizis”
DISUSUN OLEH :
HERDYANSYAH USMAN
N 111 18 016
PEMBIMBING :
dr. Imtihana Amri, Sp.An., M.Kes.
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan..................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Definisi dan Batasan........................................................................ 2
2.2 Perubahan pada Pasien Pediatrik..................................................... 2
2.2.1 Sistem Respirasi ..................................................................... 2
2.2.2 Sistem Sirkulasi ...................................................................... 4
2.2.3 Sistem Ekskresi dan Elektrolit................................................ 6
2.2.4 Sistem Saraf............................................................................ 6
2.2.5 Fungsi Hati ............................................................................. 7
2.2.6 Regulasi Suhu......................................................................... 7
2.2.7 Respon Psikologis................................................................... 8
2.2.8 Respon Farmakologi............................................................... 9
2.3 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Pediatrik.................................... 9
2.3.1 Evaluasi dan Persiapan pra Anestesi ...................................... 9
2.3.2 Induksi Pada Pasien Pediatrik................................................. 12
2.3.3 Intubasi pada Pasien Pediatrik................................................ 13
2.3.4 Pemeliharaan Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................ 14
2.3.5 Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik .......................... 15
2.3.6 Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................... 16
2.3.7 Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik..................................... 16
BAB III Laporan Kasus ..................................................................................... 21
BAB IV Pembahasan …..................................................................................... 25
BAB V Penutup ……..…................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari metabolisme
tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem respirasi terdiri dari:
1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring
dan dilembabkan
4
Surfactant
6
2.5.2 Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan,
tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup
dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalam ananestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini
disebut maintenance atau pemeliharaan,setelah tindakan selesai pemberian obat
anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut
pemulihan/recovery.
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh
penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang
terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15
8
2.5.3 Maintenence
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakaiobat inhalasi atau
intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau continuous drip.
Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-
masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi
umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang
tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a. Gerakan lengan atau kaki
b. Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakaipipa
endotrakeal
c. Adanya lakrimasi
d. Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,broncospasme
e. Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambahcepat,
f. Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias anestesi pada
kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik,
analgesinya menggunakan analgetik kuat,relaksasinya menggunakan pelemas otot
(muscle relaxant) teknik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami
relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot
respirasi, jadi penderita tidak dapatbernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan
(dipompa), karenaitu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali
ataucontrol respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat
juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
9
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara +
O2 atau N2O + O2.
Nilai
GERAKAN
Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 2
Menggerakkan 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
Bernafas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernafas berat atay dispneu 1
Apneu atau perlu dibantu 0
TEKANAN DARAH
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
WARNA KULIT
Merah 2
Pucat, Ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
KESADARAN
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu dan ayah pasien)
Keluhan utama:
Langit-langit tidak mulut menyatu
ada riwayat trauma maupun penyakit yang diderita. Orangtua pasien menyangkal
bahwa dalam keluarga tidak ada yang mengalami kelainan seperti pasien.
HBsAg Non-Reactive -
HIV - -
Balance Cairan
Waktu Input Output
Urin : 100 cc
Pre operasi RL : 150 cc
Puasa : 400 cc/8 jam
Urin : 50 cc
Durante Perdarahan : 30 cc = 90 cc*
RL : 500cc
operasi Operatif : 2 x 15 = 30 cc/jam
Maintenance : 65 cc/jam
Total 650 cc 735 cc
`
1.6 Resume
Seorang anak laki-laki berumur 4 tahun datang diantar oleh orangtuanya
dengan rujukan dari RSUD Anuntaloko Parigi dengan diagnosis Palatoskisis. Pasien
datang dengan keluhan “Cleft Palatum” disertai dengan distartria. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukosit 11.490/mm3
Pasien akhirnya menjalani operasi palatoskisis pada tanggal 16 Mei 2019
dengan anestesi umum menggunakan obat premedikasi dan medikasi, dan menjalani
operasi selama 1 jam 15 menit
BAB IV
PEMBAHASAN
membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu Pada kasus ini merupakan
pasien pediatric dengan riwayat hiperaktif sehingga sebelum masuk ruangan operasi
diberi obat midazolam injeksi sebanyak 2 mg . Selanjutnya, setelah masuk ruangan
operasi pasien diberikan anestesi inhalasi sevoflurane + 02 selama 5 menit. Lalu,
pasien diberi obat induksi anestesi yakni propofol. Memaksimalkan proses induksi
anestesi pada pasien dengan diberikannya fentanyl . Merelaksasikan otot, untuk
mengurangi tegangan tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan
dengan diberikannya atracurium besilate. Selain itu, diberikan juga lidocain
compositum (+ epinephrine) serta asam tranexamat , dengan pemberiannya
premedikasi diatas, tim anestesi dengan mudah melakukan induksi anestesi dan tim
bedah mulut dapat terbantu pada saat melakukan tndakan operatif.
Pemilihan anestesi inhalasi (sevofluran + O2) pada kasus ini dikarenakan
penangkapan gas-gas anestesi pada anak-anak lebih cepat dibanding orang dewasa
karena proporsi jaringan pembuluh darahnya lebih banyak dan ekskresi induksi
inhalasi pada anak-anakpun lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Selain itu tim
anestesi dapat dengan mudah mengontrol respirasi induksi inhalasi pada monitor. Pada
pasien ini juga diberikan induksi inhalasi sevofluran karena memiliki efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil. Dan setelah pemberian sevofluran dihentikan maka cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Pada kasus ini juga diberikan medikasi propofol, dimana
pemberian propofol ini bertujuan pada tekhnik anestesi yang dilakukan yaitu teknik
anestesi spontan dengan pipa endotrakeal. Pemberian propofol pada teknik ini
diharapkan pasien tertidur dengan reflex bulu mata hilang hingga mempermudah
dikakukan intubasi.
Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu fentanyl dan ketorolac
secara intravena. Indikasi pemberian propofol adalah sebagai anesthesia rumatan
untuk menjaga kedalaman anestesi dengan cara mengatur kosentrasi didalam tubuh
pasien. Indikasi pemberian fentanyl durante operasi yang bekerja sebagai analgesik
bertujuan untuk meringankan rasa sakit. Lalu pada akhir operasi , diberikan ketorolac
secara intravena juga untuk memberi efek analgesic beberapa jam post operasi.
4.3 Terapi dan Resusitasi Cairan
Kebutuhan cairan untuk pasien ini dengan BB 15 kg, yang kemungkinan
mengalami defisit cairan akibat puasa ± 8 jam serta adanya perdarahan yang terjadi
selama pembedahan dapat dilakukan terapi cairan dengan perhitungan sebagai berikut
:
a. Praoperasi
17
Defisit cairan karena puasa 8 jam adalah 400cc. diadapat dari Rumus
Holliday dan Segar, yaitu:
10kg x 4cc= 40cc
5 kg x 2cc = 10 cc
= 50 cc/jam
= 50 cc/jam x 8 = 400cc/8 jam (namun tidak dihitung karena pasien tetap
memperoleh cairan melalui Infus RL)
Dan urin yang didapatkan praoperasi sebanyak 100 cc.
b. Durante Operasi
Pasien dilakukan operasi selama 1 jam 15 menit. Maka Maintenancenya
adalah 65 cc/1 jam 15 menit. Didapatkan dari :
10kg x 4cc= 40cc
5 kg x 2cc = 10 cc
= 50 cc/jam
= 50cc/jam = 65 cc/1 jam 15 menit
Untuk Replacement, yaitu cairan yang mengalami translokasi selama
pembedahan operasi bedah kecil (2cc), jadi:
2ccxBBx1,5jam
2ccx15x1 jam= 30 cc.
Dan EBV (Estimate Blood Volume) adalah 85 x BB 85 x 15 kg = 1275
cc. kemudian perdarahan pada pasien ini sebanyak 30 cc.
Jadi untuk mencari EBL ( Estimate Blood Lose) adalah perdarahan/ EBV
x 100% 30/1275 x 100% = 2,4%. Presentase EBL < 10% menggambarkan
bahwa pasien tidak pelu dilakukan transfuse darah.
Kebutuhan cairan karena perdarahan, dapat diganti dengan cairan
kristaloid 2-3 x EBL 2-3 x 30cc = 60-90 cc.
Pada kasus ini, pasien mengalami kehilangan cairan akibat puasa selama 8 jam
sebanyak 400 cc ditambah output (urin) sebanyak 100 cc. Total cairan yang harus
diganti selama pre op sebanyak 500 cc, sedangkan cairan yang didapatkan pasien
sebanyak 150 cc. Sehingga cairan yang masih perlu diganti yaitu sebanyak 350 cc.
Selama durante operasi, cairan maintenance untuk pasien ini yaitu sebanyak
65 cc. Sedangkan untuk cairan replacement (dengan operasi bedah kecil selama 1 jam
15 menit) dibutuhkan cairan sebanyak 30 cc. Adanya urin sebanyak 50 cc . Adanya
18
perdarahan yang terjadi yaitu sebanyak 30 cc. Maka total cairan yang harus
didapatkan pasien ini yaitu 500 cc + 65 cc + 50 cc + 30 cc + 90 cc = 735 cc. Sedangkan
cairan yang diperoleh sebanyak 650 cc. Sehingga kekurangan cairan durante operasi
yaitu 85 cc.
Total kekurangan cairan yang harus diganti selama pre op dan durante op yaitu
sebanyak 83 cc. Sehingga kekurangan cairan harus digantikan dengan pemberian
terapi cairan pada jam berikut post operasi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
a. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2 karena merupakan
pasien pediatrik berumur 2 tahun dengan gangguan sistemik ringan, dimana
adanya labiopalataskisis didapatkan juga adanya leukositosis (11.490/mm3)
b. Pada kasus ini dipilih anestesi umum berdasarkan atas indikasi anestesi umum
itu sendiri yaitu, pasien merupakan pasien pediatric.
c. Pada kasus ini dilakukan premedikasi, dimana premedikasi berguna untuk
meredakan hiperaktivitas, kecemasan dan ketakutan pada pasien itu sendiri serta
memperlancar induksi anestesi.
d. Pada realita kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi kurang yaitu –83
cc.
5.2 Saran
Pada kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi agar lebih harus diperhatikan
saat melakukan observasi agar pasien tidak terjadi kekurangan cairan agar mencegah
terjadinya dehidrasi.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Gde Mangku, Tjokorda Gde Agung Senapthi. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
4. John Butterworth, David Mackey, dan Wasnick. Pediatric Anesthesia dalam Morgan &
28 Juli 2016.
8. Abdelmalak B, Abel M, Ali HH, Aronson S, Avery G, et al. Anesthesiology . 2nd Edition.
McGrawHill 2012 : USA
9. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15
Vol. 2. Jakarta: EGC.