You are on page 1of 21

i

BAGIAN ANESTESI

RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

REFLEKSI KASUS
“General Anestesi Pediatrik Pada Kasus Palatoschizis”

DISUSUN OLEH :
HERDYANSYAH USMAN
N 111 18 016

PEMBIMBING :
dr. Imtihana Amri, Sp.An., M.Kes.

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan..................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Definisi dan Batasan........................................................................ 2
2.2 Perubahan pada Pasien Pediatrik..................................................... 2
2.2.1 Sistem Respirasi ..................................................................... 2
2.2.2 Sistem Sirkulasi ...................................................................... 4
2.2.3 Sistem Ekskresi dan Elektrolit................................................ 6
2.2.4 Sistem Saraf............................................................................ 6
2.2.5 Fungsi Hati ............................................................................. 7
2.2.6 Regulasi Suhu......................................................................... 7
2.2.7 Respon Psikologis................................................................... 8
2.2.8 Respon Farmakologi............................................................... 9
2.3 Tatalaksana Anestesi pada Pasien Pediatrik.................................... 9
2.3.1 Evaluasi dan Persiapan pra Anestesi ...................................... 9
2.3.2 Induksi Pada Pasien Pediatrik................................................. 12
2.3.3 Intubasi pada Pasien Pediatrik................................................ 13
2.3.4 Pemeliharaan Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................ 14
2.3.5 Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik .......................... 15
2.3.6 Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik ........................... 16
2.3.7 Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik..................................... 16
BAB III Laporan Kasus ..................................................................................... 21
BAB IV Pembahasan …..................................................................................... 25
BAB V Penutup ……..…................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan


aestheos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. 1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri
yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada
sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.2
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen,
yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan
dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dansecara
intravena.3Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien
tidak sadar selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat
apa pun yang terjadi.2
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi
adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran
pernapasanbagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah
terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk
ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke
trakea,membersihkan saluran trakeobronkial.4
Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linier atau terjadinya diskontinuitas
tulang yang disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur dapat terjadi akibat trauma atau
karena proses patologis. Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang
mandibula.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Mandibula


Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Mandibula
merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian
yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang padat
dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah dan
pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan subkondilus
sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah dari mandibula.
Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale, angulus mandibula
tempat gigi molar III terutama erupsinya sedikit, kolum kondilus mandibula terutama
bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya akan diteruskan kearah
belakang. Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada area lemah dari mandibula
tergantung mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur subkondilar umumnya
dibawah leher prosesus kondiloideus akibat perkelahian dan berbentuk hampir
vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas garis fraktur terjadi dekat dengan kaput
kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk oblik.
Pada regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio molar
III kearah angulus mandibula. Pada fraktur korpus mandibula garis fraktur tidak selalu
paralel dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblik. Garis fraktur
dimulai pada regio alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblik kearah midline. Pada
fraktur mandibula, fragmen yang fraktur mengalami displaced akibat tarikan otot-otot
mastikasi, oleh karena itu reduksi dan fiksasi pada fraktur mandibula harus
menggunakan splinting untuk melawan tarikan dari otot-otot mastikasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur mandibula antara
lain: arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur, ada atau tidaknya gigi
pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Pada daerah
ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini terfiksasi oleh muskulus
maseter pada bagian lateral dan medial oleh muskulus pterigoideus medialis. Demikian
juga pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh muskulus maseter.
3

2.2 Penatalaksanaan fraktur mandibula


Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat kedaruratan
seperti jalan nafas atau airway, pernafasan atau breathing, sirkulasi darah termasuk
penanganan syok atau circulation, penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi
sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah
penanganan fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum
dibagi menjadi dua metoda yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Pada reposisi tertutup
atau konservatif , reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan
menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang
fraktur dibuka dengan pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung
dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut wire atau plate osteosynthesis.
Teknik terbuka dan tertutup tidak selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadangkadang
dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari teknik terbuka
yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada penatalaksanaan fraktur mandibula selalu
diperhatikan prinsip-prinsip dental dan ortopedik sehingga daerah yang mengalami
fraktur akan kembali atau mendekati posisi anatomis sebenarnya dan fungsi mastikasi
yang baik.
Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu,
penanganan konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada garis
fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin
fixation. Sedangkan, reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk
melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang bawah
dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wire
osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis) .

2.3 Anatomi dan Fisiologi Respirasi

Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari metabolisme
tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem respirasi terdiri dari:
1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring
dan dilembabkan
4

2. Saluran nafas bagian bawah


Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian atas
ke alveoli
3. Paru, terdiri dari :
 Alveoli, terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2
 Sirkulasi paru. Pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan
pembuluh darah vena meninggalkan paru.
4. Rongga Pleura
Terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru
atau pleura viseralis
5. Rongga dan dinding dada
Merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas
dalam proses respirasi

Saluran Nafas Bagian Atas


1. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
 Dihangatkan
 Disaring
 Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri
dari : Psedostrafied ciliated columnar epitelium yang berfungsi
menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel goblet dan
kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk,
pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal
tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke
:
a. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)
b. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan
faring,terdapat pangkal lidah)
c. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan
aliran makanan)
5

Saluran Nafas Bagian Bawah


1. Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting
 Tulang rawan krikoid
 Selaput/pita suara
 Epilotis
 Glotis
2. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin
tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh
membran fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus.
3. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan
ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat
dengan trachea.
Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior.
Brochus kiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
4. Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.
Membran alveolar :
 Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah
rongga alveoli
 Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang
menghasilkan surfactant.
 Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri
yang saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel
endotel, aliran darah dalam rongga endotel
Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit
serum.

Surfactant
6

Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal


surfactant ini akan menurunkan tekanan permukaan pada waktu
ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat dihindari.
Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena – vena dari ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis dan mengalirkan darah yang bersifat arterial melaului
vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.

2.4 Anastesi Umum


Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan
operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi merupakan
peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan masih utuh sampai dengan
hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat pemberian
obat–obat anestesi. Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi
umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal.10
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan
dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk memudahkan pemberian
anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial. Mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi. 11

2.5 Jalur Pemberian Anestesi Umum


2.5.1 Premedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode sebelum
dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obat-obat yang biasanya
dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah untuk ansiolisis, amnesia,
antiemetik, antasida, antiautonomik, dan analgesia.3
Pasien yang akan di operasi biasanya diberikan premedikasi karena
7

a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas dan mempermudah konduksi


anestesi. Untuk anak pra sekolah dan usia sekolah yang tidak bisa tenang dan
cemas, pemberian penenang dapat dilakukan dengan pemberian midazolam.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas
dapat timbul 10 menit setelah pemberian.
b. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau dengan latar
belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
c. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine (dipakai
atropine (Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg),
yang dapat digunakan untuk mencegah bradikardia, khususnya pada anak-anak).
d. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan diragukan,
misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan antasida peroral).

2.5.2 Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan,
tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup
dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalam ananestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini
disebut maintenance atau pemeliharaan,setelah tindakan selesai pemberian obat
anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut
pemulihan/recovery.
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh
penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang
terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15
8

detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa


teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.

2.5.3 Maintenence
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakaiobat inhalasi atau
intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau continuous drip.
Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-
masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi
umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang
tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a. Gerakan lengan atau kaki
b. Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakaipipa
endotrakeal
c. Adanya lakrimasi
d. Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,broncospasme
e. Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambahcepat,
f. Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias anestesi pada
kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik,
analgesinya menggunakan analgetik kuat,relaksasinya menggunakan pelemas otot
(muscle relaxant) teknik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami
relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot
respirasi, jadi penderita tidak dapatbernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan
(dipompa), karenaitu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali
ataucontrol respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat
juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
9

otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara +
O2 atau N2O + O2.

2.5.4 Pemulihan anestesi


Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat
anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran
oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan
mengisi tempat yang seblumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan
parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,sehingga lebih rendah
dibandingkan dengan tekanan parsial obat anestesi inhalasi dalam darah, maka
terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin
tinggi perbedaantekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat.
Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadarobat
anestesi dalam darah.
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya berangsur
pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah
pemberiannya dihentikan.Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan
respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa dilakukan pada
waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita
sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena
dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada waktu penderita
masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun
waktu antara tidak sadar sampai sadar.

2.5.5 Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasiter utama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
10

Nilai
GERAKAN
Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 2
Menggerakkan 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
Bernafas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernafas berat atay dispneu 1
Apneu atau perlu dibantu 0
TEKANAN DARAH
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
WARNA KULIT
Merah 2
Pucat, Ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
KESADARAN
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0

Gambar 1. Skala Aldrete.7


11

BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. G.P.T
Umur : 4 tahun
Alamat : Olaya, Parimo
BB : 15 Kg
TB : 105 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan :-
Suku bangsa : Toraja
Ruangan : Ruang Aster
Tanggal masuk rumah sakit : 15 Mei 2019
Tanggal operasi : 16 Maret 2015

1.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu dan ayah pasien)
Keluhan utama:
Langit-langit tidak mulut menyatu

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Umum Daerah Anuntaloko Parigi dengan
diagnosis Palatoskisis. Pasien diantar oleh orangtuanya ke polik bedah mulut Rumah
Sakit Umum Daerah Undata dengan keluhan langit-langit mulut tidak menyatu. Hal
tersebut pada pasien sudah dialami dari lahir. Keluhan disertai tidak bisa berbicara
seperti anak diusianya. Pasien hanya mengucapkan “kaka” dan “baba”. Demam (-),
Flu (-), Batuk (-), Sesak Nafas (-). Pasien juga tidak mengalami kesulitan dalam makan
dan minum, mual (-), muntah (-). Untuk BAB pasien normal, dan BAK lancar
berwarna kuning jernih . Alasan orangtua pasien membawa pasien berobat agar langit-
langit pada mulut pasien bisa normal dan pasien bisa berbicara seperti anak pada
umumnya. Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Orangtua pasien
mengatakan selama hamil control teratur di Puskesmas dan selama kehamilan tidak
12

ada riwayat trauma maupun penyakit yang diderita. Orangtua pasien menyangkal
bahwa dalam keluarga tidak ada yang mengalami kelainan seperti pasien.

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit jantung (-), Riwayat operasi (-),Riwayat Alergi (-), Riwayat Asma (-).
1.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
 Nadi : 92 x/m
 Respirasi : 24 x/m
 Suhu badan : 36,6 0C
Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, Bibir sianosis -/-, palatoskisis
Gol. 1(+).
Leher : Pembesaran KGB -/- , massa abnormal -/-
Thoraks : Paru : Simetris, retktraksi (-), suara napas vesikuler, rhonki (-),
wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-)
Abdomen : datar, bisung usus (+), hepar dan lien tidak ada pembesaran.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Status Anestesi
PS ASA :2
Hari/Tanggal : Jumat, 15/05/2019
Ahli Anestesiologi : dr. IA, Sp. An, M.Kes.
Ahli Bedah Mulut : drg. M.G. Sp.BM
Diagnosa Pra Bedah : Palatoskisis
Diagnosa Pasca Bedah : Palatoplasti
TTV : N: 90 x/m; RR : 30 x/m
B1 : airway bebas, retraksi (-), gerak dada simetris, suara
nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 30
x/m
B2 : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time <
2 detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-, nadi :
90x/m
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks
cahaya +/+.
13

B4 : Terpasang pampers, urin 100cc, warna kuning jernih


B5 : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+), nyeri
tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-).
Medikasi pra bedah : 1. Midazolam 2 mg (IV)
2. Propofol 20 mg (IV)
3. Fentanyl 30 mcg (IV)
4. Atracurium Besilate 7 mg (IV)
5. Lidocain Compositum 40 mg (Infiltasi Palatum)
6. Asam Tranexamat 250 mg (IV)
Jenis Pembedahan : Palatoplasti
Lama Operasi : 09.00 – 10.15 WITA
Jenis Anestesi : Anestesi General
Anestesi dengan : Sevofluran + 02
Teknik Anestesi : Pre oksigenasi 5’, Induksi IV, Intubasi Endotrakeal
(ETT 3,5 mm).
Pernafasan : Spontan
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan kana, IV line abocath 22 G, cairan RL.
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : N:118x/m; RR : 33x/m
Pembedahan
Medikasi : Durante Operasi :
- Fentanyl 10 mcg
- Propofol 20 mg
- Ketorolac Trometamol 10 mg (Drips)
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 08 Mei 2019 Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,9 g/dl 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 11,490/mm3 3,800-10,600 /mm3
Trombosit 400.000/mm3 150.000-440.000 /mm3
BT 3,3’ 1-5 menit
CT 7’ 4-10 menit
SGOT 42,3 U/L 0 – 37,0 U/L
SGPT 18,4 U/L 0 – 41,0 U/L
14

HBsAg Non-Reactive -
HIV - -

1.5 Observasi Durante Operasi


Observasi Heart Rate
125
120
115
110
Heart Rate
105
100
95
9 9.15 9.3 9.45 10 10.15 10.3

Gambar. Diagram Observasi Heart Rate

Balance Cairan
Waktu Input Output
Urin : 100 cc
Pre operasi RL : 150 cc
Puasa : 400 cc/8 jam
Urin : 50 cc
Durante Perdarahan : 30 cc = 90 cc*
RL : 500cc
operasi Operatif : 2 x 15 = 30 cc/jam
Maintenance : 65 cc/jam
Total 650 cc 735 cc

Balance cairan: input – output = 650 – 735 cc = - 85 cc


15

`
1.6 Resume
Seorang anak laki-laki berumur 4 tahun datang diantar oleh orangtuanya
dengan rujukan dari RSUD Anuntaloko Parigi dengan diagnosis Palatoskisis. Pasien
datang dengan keluhan “Cleft Palatum” disertai dengan distartria. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukosit 11.490/mm3
Pasien akhirnya menjalani operasi palatoskisis pada tanggal 16 Mei 2019
dengan anestesi umum menggunakan obat premedikasi dan medikasi, dan menjalani
operasi selama 1 jam 15 menit

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pre Operatif


Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien laki-laki, 4 tahun,
merupakan pasien pediatri yang mengalami langit-langit mulut tidak menyatu dari
lahir. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, diketahui pasien menderita Palatoskisis Golongan 1, yakni hanya
terjadi pada pallatum mole pasien.
Pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA 2 disebabkan pasien dengan penyakit
sistemik ringan dimana selain adanya Palatoskisis didapatkan juga adanya leukositosis
(11.490/mm3).
Pada kasus ini (palatoplastii), dilakukan penilaian status dan evaluasi status
generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk
mengoreksi kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta
mempersiapkan darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan pada
pasien. Selain itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan operasi.
4.2 Durante Operasi
Anestesi umum dipilih menjadi pilihan anestesi berdasarkan atas indikasi
anestesi umum sendiri adalah untuk infant dan anak usia muda. Pada kasus ini,
penderita merupakan pasien anak-anak (pediatric) yang tidak kooperatif, memiliki
stress psikis, stress fisik, juga untuk menjamin kenyamanan selama operasi dan akan
dilakukan tindakan bedah pada daerah wajah (pro labioplasti) sehingga anestesi umum
merupakan pilihan yang tepat. Dimana pasien dibuat tidak sadar dengan anestesi
umum agar operator (ahli bedah) mudah melakukan tindakan.
Pada kasus ini dilakukan pemberian premedikasi kurang lebih 5 menit sebelum
dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
16

membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu Pada kasus ini merupakan
pasien pediatric dengan riwayat hiperaktif sehingga sebelum masuk ruangan operasi
diberi obat midazolam injeksi sebanyak 2 mg . Selanjutnya, setelah masuk ruangan
operasi pasien diberikan anestesi inhalasi sevoflurane + 02 selama 5 menit. Lalu,
pasien diberi obat induksi anestesi yakni propofol. Memaksimalkan proses induksi
anestesi pada pasien dengan diberikannya fentanyl . Merelaksasikan otot, untuk
mengurangi tegangan tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan
dengan diberikannya atracurium besilate. Selain itu, diberikan juga lidocain
compositum (+ epinephrine) serta asam tranexamat , dengan pemberiannya
premedikasi diatas, tim anestesi dengan mudah melakukan induksi anestesi dan tim
bedah mulut dapat terbantu pada saat melakukan tndakan operatif.
Pemilihan anestesi inhalasi (sevofluran + O2) pada kasus ini dikarenakan
penangkapan gas-gas anestesi pada anak-anak lebih cepat dibanding orang dewasa
karena proporsi jaringan pembuluh darahnya lebih banyak dan ekskresi induksi
inhalasi pada anak-anakpun lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Selain itu tim
anestesi dapat dengan mudah mengontrol respirasi induksi inhalasi pada monitor. Pada
pasien ini juga diberikan induksi inhalasi sevofluran karena memiliki efek terhadap
kardiovaskular cukup stabil. Dan setelah pemberian sevofluran dihentikan maka cepat
dikeluarkan oleh tubuh. Pada kasus ini juga diberikan medikasi propofol, dimana
pemberian propofol ini bertujuan pada tekhnik anestesi yang dilakukan yaitu teknik
anestesi spontan dengan pipa endotrakeal. Pemberian propofol pada teknik ini
diharapkan pasien tertidur dengan reflex bulu mata hilang hingga mempermudah
dikakukan intubasi.
Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu fentanyl dan ketorolac
secara intravena. Indikasi pemberian propofol adalah sebagai anesthesia rumatan
untuk menjaga kedalaman anestesi dengan cara mengatur kosentrasi didalam tubuh
pasien. Indikasi pemberian fentanyl durante operasi yang bekerja sebagai analgesik
bertujuan untuk meringankan rasa sakit. Lalu pada akhir operasi , diberikan ketorolac
secara intravena juga untuk memberi efek analgesic beberapa jam post operasi.
4.3 Terapi dan Resusitasi Cairan
Kebutuhan cairan untuk pasien ini dengan BB 15 kg, yang kemungkinan
mengalami defisit cairan akibat puasa ± 8 jam serta adanya perdarahan yang terjadi
selama pembedahan dapat dilakukan terapi cairan dengan perhitungan sebagai berikut
:
a. Praoperasi
17

Defisit cairan karena puasa 8 jam adalah 400cc. diadapat dari Rumus
Holliday dan Segar, yaitu:
10kg x 4cc= 40cc
5 kg x 2cc = 10 cc
= 50 cc/jam
= 50 cc/jam x 8 = 400cc/8 jam (namun tidak dihitung karena pasien tetap
memperoleh cairan melalui Infus RL)
Dan urin yang didapatkan praoperasi sebanyak 100 cc.

b. Durante Operasi
Pasien dilakukan operasi selama 1 jam 15 menit. Maka Maintenancenya
adalah 65 cc/1 jam 15 menit. Didapatkan dari :
10kg x 4cc= 40cc
5 kg x 2cc = 10 cc
= 50 cc/jam
= 50cc/jam = 65 cc/1 jam 15 menit
Untuk Replacement, yaitu cairan yang mengalami translokasi selama
pembedahan operasi bedah kecil (2cc), jadi:
2ccxBBx1,5jam
2ccx15x1 jam= 30 cc.
Dan EBV (Estimate Blood Volume) adalah 85 x BB  85 x 15 kg = 1275
cc. kemudian perdarahan pada pasien ini sebanyak 30 cc.
Jadi untuk mencari EBL ( Estimate Blood Lose) adalah perdarahan/ EBV
x 100%  30/1275 x 100% = 2,4%. Presentase EBL < 10% menggambarkan
bahwa pasien tidak pelu dilakukan transfuse darah.
Kebutuhan cairan karena perdarahan, dapat diganti dengan cairan
kristaloid 2-3 x EBL  2-3 x 30cc = 60-90 cc.

Pada kasus ini, pasien mengalami kehilangan cairan akibat puasa selama 8 jam
sebanyak 400 cc ditambah output (urin) sebanyak 100 cc. Total cairan yang harus
diganti selama pre op sebanyak 500 cc, sedangkan cairan yang didapatkan pasien
sebanyak 150 cc. Sehingga cairan yang masih perlu diganti yaitu sebanyak 350 cc.
Selama durante operasi, cairan maintenance untuk pasien ini yaitu sebanyak
65 cc. Sedangkan untuk cairan replacement (dengan operasi bedah kecil selama 1 jam
15 menit) dibutuhkan cairan sebanyak 30 cc. Adanya urin sebanyak 50 cc . Adanya
18

perdarahan yang terjadi yaitu sebanyak 30 cc. Maka total cairan yang harus
didapatkan pasien ini yaitu 500 cc + 65 cc + 50 cc + 30 cc + 90 cc = 735 cc. Sedangkan
cairan yang diperoleh sebanyak 650 cc. Sehingga kekurangan cairan durante operasi
yaitu 85 cc.
Total kekurangan cairan yang harus diganti selama pre op dan durante op yaitu
sebanyak 83 cc. Sehingga kekurangan cairan harus digantikan dengan pemberian
terapi cairan pada jam berikut post operasi.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
a. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 2 karena merupakan
pasien pediatrik berumur 2 tahun dengan gangguan sistemik ringan, dimana
adanya labiopalataskisis didapatkan juga adanya leukositosis (11.490/mm3)
b. Pada kasus ini dipilih anestesi umum berdasarkan atas indikasi anestesi umum
itu sendiri yaitu, pasien merupakan pasien pediatric.
c. Pada kasus ini dilakukan premedikasi, dimana premedikasi berguna untuk
meredakan hiperaktivitas, kecemasan dan ketakutan pada pasien itu sendiri serta
memperlancar induksi anestesi.
d. Pada realita kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi kurang yaitu –83
cc.

5.2 Saran

Pada kebutuhan cairan yang diberikan selama operasi agar lebih harus diperhatikan
saat melakukan observasi agar pasien tidak terjadi kekurangan cairan agar mencegah
terjadinya dehidrasi.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Gde Mangku, Tjokorda Gde Agung Senapthi. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.

Indeks; 2010. 6-7; 149-59

2. K Rupp, J Holzki, T Fischer, C Keller. Pediatric Anesthesia. Drager; 2015.

3. Smith dan Aitkenhead. Pediatric Anaesthesia dalam Textbook of Anaesthesia

Sixth Edition. Churchill Livingstone Elsevier; 2013. 731- 47.

4. John Butterworth, David Mackey, dan Wasnick. Pediatric Anesthesia dalam Morgan &

Mikhail’s Clinical Aneshesiology Fifth Edition. Mc Graw Hill; 2013. 877-97

5. Erin Gottlieb dan Andropoulos. Pediatrics dalam Miller’s Basic of Anesthesia

Sixth Edition. Elsevier; 2011. 546-57

6. Said A L, Suntoro A. Anestesi Pediatrik. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif FKUI.

7. Krane E. Orientation to Pediatric Anesthesia. tersedia di

http://anesthesia.stanford.edu/ kentgarman/ clinical/ped%20orient. Diakses pada

28 Juli 2016.

8. Abdelmalak B, Abel M, Ali HH, Aronson S, Avery G, et al. Anesthesiology . 2nd Edition.
McGrawHill 2012 : USA
9. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15
Vol. 2. Jakarta: EGC.

You might also like