You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi paru,
atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan.1,2 Menurut
World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan
hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru. Tidak
termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung
kongenital (bawaan).3
Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya diganti menjadi perubahan struktur dan fungsi
ventrikel kanan, dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan
dengan bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi secara
selektif jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor pulmonal adalah
peningkatan dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi arteri
pulmonal.4
Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonal akut
tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik sering disebabkan oleh
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan sedangkan pada kor pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.1
Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali terjadi tanpa dapat
dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh
penyakit jantung.4 Di Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya kor
pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami
hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.5
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggu aliran darah paru.6
Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal berturut-
turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit interstisial
paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90% pasien kor
pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan berkembang menjadi kor
pulmonal.5
Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan berlebihan pada
ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja ventrikel kanan yang
menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung.3
BAB II
KOR PULMONAL

2.1. Definisi
Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan sebagai dilatasi
dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim paru atau pembuluh darah paru.1,2
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya hipertrofi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak termasuk
kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital
(bawaan).3
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau dilatasi
ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain penyakit
parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan thoraks, tidak
termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri, penyakit jantung
bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard akut.7

2.2. Etiologi dan Epidemiologi


Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada pembuluh darah paru
dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.8 Prevalensi pasti
kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama, tidak semua kasus penyakit paru kronis
menjadi kor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan
kor pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium tidaklah sensitif. Namun, kemajuan
terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan untuk mendeteksi dan mendiagnosis
suatu kor pulmonal.2 Diperkirakan prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh
penyakit jantung berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding
ventrikel post mortem.6

Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 4 kelompok:
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau
fibrosis.
3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.1

2.3. Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit
yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif.6
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan resistensi
vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya meningkatkan beban
kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik
kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru
pada arteri dan arteriola kecil.6
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru adalah:
(1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2) obstruksi dan/atau
obliterasi jaringan vaskular paru-paru.5
Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang kuat untuk menimbulkan
vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan
terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat
terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam
menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan
peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut
meningkatkan tekanan arteri paru.6
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru
adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar
dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya
pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada
penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume
paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler
diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonal. Kira-kira
dua pertiga sampai tiga perempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik
terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi
alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi
pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor
pulmonal.4,6,9
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan tidak bisa
dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru, maupun
sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
pulmonal.9 Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang
ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan
meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan terjadinya gagal ventrikel
kanan dan kematian.

Hipertensipulmonal dibagi menjadi primer dan sekunder. Hipertensi pulmonal primer


adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan oleh adanya penyakit jantung,parenkim paru,
maupun penyakit sistemik yang melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria
tersebut disebut hipertensi pulmonal sekunder.10

Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder) didefinisikan sebagai


peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni >20 mmHg. Pada hipertensi
pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada pasien muda (<50 tahun) TAP
normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan bertambahnya usia TAP akan meningkat
kurang lebih 1 mmHg setiap 10 tahun. Selain dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh
aktivitas. Semakin berat aktivitas maka TAP akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP
dapat meningkat >30 mmHg. Melihat hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat
pasien dalam keadaan istirahat dan rileks.2

Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi pulmonal
yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah mekanisme
vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in situ. Ketiga
mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat vasoaktif seperti,
nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis dari mediator
vasokonstriktor seperti, endothelin-1. Dengan diketahuinya mekanisme tersebut maka pengobatan
terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni dengan pemberian preparat nitric oxide,
derivat prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan inhibitor phosphodiesterase-5.4,10

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat


mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini diperberat
dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan,hipervolemia akibat adanya retensi air dan
natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan
adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan
adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan maupun
gagal jantung kanan pada masing-masing orang berbeda-beda.4,6
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase (tabel 1).11
Tabel 1.
Fase perjalanan penyakit kor pulmonal

Fase Deskripsi
Pada fase ini belum nampak gejala klinis yang
jelas, selain ditemukannya gejala awal
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
Fase 1 bronkitis kronis, tuberkulosis paru,
bronkiektasis dan sejenisnya. Anamnesa pada
pasien 50 tahun biasanya didapatkan kebiasaan
banyak merokok.
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda
berkurangnya ventilasi paru. Gejalanya antara
lain, batuk lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi, sesak
napas ketika berjalan menanjak atau setelah
banyak bicara. Sedangkan sianosis masih
belum nampak. Pemeriksaan fisik ditemukan
Fase 2
kelainan berupa hipersonor, suara napas
berkurang, ekspirasi memanjang, ronki basah
dan kering, mengi. Letak diafragma rendah
dan denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan
radiologi menunjukkan berkurangnya corakan
bronkovaskular, letak diafragma rendah dan
mendatar, posisi jantung vertikal.
Pada fase ini nampak gejala hipoksemia yang
lebih jelas. Didapatkan pula berkurangnya
nafsu makan, berat badan berkurang, cepat
Fase 3
lelah. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
disertai sesak dan tanda-tanda emfisema yang
lebih nyata.
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah
tersinggung kadang somnolen Pada keadaan
Fase 4
yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan
kesadaran.
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan
tekanan arteri pulmonal meningkat. Tanda-
tanda peningkatan kerja ventrikel, namun
fungsi ventrikel kanan masih dapat
Fase 5 kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung
kanan. Pemeriksaan fisik nampak sianotik,
bendungan vena jugularis, hepatomegali,
edema tungkai dan kadang asites

Untuk mempermudah pemahaman mengenai patogenesis kor pulmonal, disediakan


ringkasan pada gambar 1.
Penyakit Paru Kronis

Kerusakan paru & Asidosis & Hipoksia Polisitemia &


semakin terdesaknya Hiperkapnia Alveolar hiperviskositas
pembuluh darah oleh darah
paru yang
mengembang

Vasokonstriksi
Berkurangnya
vascular bed paru

Hipertensi Pulmonal

Kronis

Hipertensi & Dilatasi


Ventrikel Kanan

Kor Pulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal


BAB III
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN KOR PULMONAL

Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal
akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis kor pulmonal
secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional. Adanya
hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya pemeriksaan fisik dan
anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.
3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis
kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas yang
berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan
keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel
kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas.
Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta
bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan. Dispnea
merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya peningkatan kerja
pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis penyakit paru) atau
adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi
disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis,
karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat
hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat
menurunnya curah jantung dan hipoksemia.12

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara P2 yang
mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada daerah
pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila
sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat
ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis, hepatomegali,
splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya overload pada ventrikel
kanan.2
3.2. Pemeriksaan Penunjang
3.2.1. Radiologi

Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan menyebabkan
berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat menunjukkan penyakit primernya.
Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-
cabangnya, meruncing ke perifer, dan lapang paru perifer tampak relatif oligemia. Pada hipertensi
pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm
pada 93% penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada rontgen thoraks PA sebagai
pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung kiri dan pembesaran
bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto dada lateral.3

Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

3.2.2. Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran gelombang
Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium
terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,
takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat
dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,
gangguan keseimbangan asam-basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan
bronkodilator berlebihan).13

3.2.3. Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan diagnosis kor
pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat ditemukan dimensi ruang
ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran
ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a” hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal.
Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena
“accoustic window” sempit akibat penyakit paru.14

Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

3.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi
pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan kelangsungan hidup, dan mengobati
penyakit dasar dan komplikasinya.1
3.3.1. Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang nantinya
akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi tetapi tidak secara
berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi usaha untuk menurunkan
hiperkapnia.12
3.3.2. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup belum
diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi vasokontriksi dan
menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel
kanan,(2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen
ke jantung, otak, dan organ vital lainnya. Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam
(National Institute of Health, USA); 15 jam ( British Medical Research Counsil), dan 24 jam (NIH)
meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kandengan pasien tanpa terapi oksigen. Indikasi
terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55-59 mmHg, dan disertai salah
satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan
eritrositosis hematokrit > 56%.1
3.3.3. Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun harus
dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa
memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan
cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dancurah jantung menurun.1, 3, 8
3.3.4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik,
ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. Vasodilator dapat
menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik, meskipun efisiensinya lebih baik pada
hipertensi pulmonal yang primer.1
3.3.5. Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri.
Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor pulmonal dengan
fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang
menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu
diwaspadai resiko aritmia.1, 3
3.3.6. Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat disfungsi dan
pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.1

3.4. Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary disease", dan
kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat hidup
antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan mendapat
pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14 tahun. Sadouls di
Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3
BAB IV
KESIMPULAN
Kor pulmonal adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan atau dilatasi) yang terjadi
akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada control pernapasan, tidak termasuk
di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung
bawaan. Penyebab yang paling sering adalah PPOK, dimana terjadi perubahan struktur jalan napas
dan hipersekresi yang mengganggu ventilasi alveolar. Penyebab lainnya adalah kondisi yang
membatasi atau menganggu ventilasi yang mengarah pada hipoksia atau asidosis (deformitas
sangkar iga dan obesitas massif) atau kondisi yang mengurangi jaring-jaring vaskular paru
(hipertensi arteri pulmonal idiopatik primer dan embolus paru). Kelainan tertentu dalam sistem
persarafan, otot pernafasan, dinding dada, dan percabangan arteri pulmonal juga dapat
menyebabkan terjadinya kor pulmonal.Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan
hipertensi pulmonal yang terjadi akibat mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh
darahpulmonal, dan trombosis in situ. Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti
terdapat adanya hipertensi pulmonal akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukungdiagnosis kor pulmonal
diantaranya adalah pemeriksaan laboratoris, pemeriksaan foto toraks, ekokardiografi, CT scan,
serta pemeriksaan EKG. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengobati kor pulmonal, seperti
pemberian oksigen, tirah baring dan pembatasan garam, diuretik, dan digitalis. Tetapi dari
beberapa cara yang dilakukan tersebut dapat ditemukan adanya efek samping yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun S, Ika PW. Kor Pulmonal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed 4.
Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006; 1680-812.
2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale. Dalam Harrison’s Principles
of Internal Medicine 17 th ed. United States of America. The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2008; 217-2443.
3. Weitzenblum E. Chronic Cor Pulmonale. Dalam: Education in Heart
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1767533/.2003; 89:225-304.
4. Dines DE, Parkin TW. Some Observation on the Value of the Electrocardiogramin Patient
with Chronic Cor Pulmonale. Mayo Clinic-Proc 2005; 40: 745-7505.
5. Aderaye G. Causes and Clinical Characteristics of Chronic Cor-Pulmonale in Ethiopia.
East African Medical Journal. 2006; 81 (4): 202-205.6.
6. Price SA, LM Wilson. Gangguan Sistem Pernapasan. Dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.2006; 736-8667.
7. Nidal A Yunis, MD, Cardiovascular Medicine Fellow, St Elizabeth's Medical Center of
Boston; Department of Medicine, Brown University, 20048.
8. Kumar, Clark. Cardiovascular Disease. Dalam Clinical Medicine 6 th ed. Philadelphia.
Elsevier Saunders. 2005; 725-8729.
9. Silbernag S, Lang F. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Alih bahasa oleh: Setiawan I,
et al. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006; 214-15.10.
10. Palevsky H, Fishman. A.P. The Management of Primary Pulmonary Hypertension. JAMA.
2006; 265:1014-20.11.
11. Allegra et al. Possible Role of Erythropoietin in the Pathogenesis of Chronic Cor
Pulmonale. Nephrol Dial Transplant. 2005. 20: 28672012.
12. Rich S et al. Pulmonary Hypertension. Dalam Braunwald E, Heart Disease: A Text Book
of Cardiovascular Medicine 7 th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders.2005; 1807-4213.
13. Six Abnormal ECGs-Not All Are Cases of the Heart: Slideshow Available from:
http://reference.medscape.com/features/slideshow/abnormal-ecg. Diakses tanggal 20
Oktober 2011.14.
14. Cor Pulmonale: Evaluation of the Patient with Chronic Cor Pulmonale. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/458659_6. Diakses tanggal 20 Oktober 2011

You might also like