You are on page 1of 12

c c

c 
c
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru
pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada pasien
tuberkuloasis paru. Abses paru lebih sering terjadi paeda laki-laki disbanding
perempuan dan umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkatan insidens
penyakit periodontal dan peningkatan prevelens iaspirasi. Kemajuan ilmu kedokteran
asaat ini menyebabkan kejadian abses paru menurun (jaran ditemukan) karena adanya
perbaikan risiko terjadinya abbess paru sepeti teknik operasi dan anastesi yang lebih
baik dan penggunaan antibiotic lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang
memudahkan untuk terjadinya aspirasi dan pada populasi dengan
immunocompromised. Karena angka harapan hidup yang lebih baik pada pasien IIIV
maka pada tahun-tahun belakangan ini abses paru tampak mengalami peningkatan
lagi.

c 

Bermacam-macam factor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti
daya tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme pathogen yang menjadi penyebab.
Terjadinya abses paru bias any melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang
paling sering diujumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat
aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkil. Keadaan ini
menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organism virulen yang akan
menyebakan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini
banyak terjadi pada pasien bronchitis kronik karena banyaknya mucus pada saluran
napas bawahnya yang merupakan kultr media yang sangat baik bagi organism yang
teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar
untuk terjadinya abses paru.
Secara hematogen, ang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septic emboli sekunder dari focus infeksi dari bagian lain tubunya
seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan
berbentuk abses multiple dan biasanya disebabkan oleh stfilokokkus. Penagnanan
abses multiple dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya
besar. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai dengan
5 cm atau lebih.
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
menyebabkan terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi
pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi,
bronkiektasis, dan gangguan imunitas.
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabakan terjadinya nekrosis dan pencariran pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organism penye babnya paling sering ialah Staphylococcus
aureus, Klebsiella pneumonia dan grup pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya
multiple dan berukuran kecil0kecil (<2cm).
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur untuk
tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh mikroorganisme
yang virulens maka akan terjadi abses paru.
Abses hepar bacterial atau amubik bisa mengalami rupture dan menemb us
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan
rongga pleura.
Abses paru biasanya unilateral pada satu paru, yang terjadi pada pasien dengan
keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami penyakit menahun seperti
malnutrisi, sirosis hati, ganggua immunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh
menurun, atau penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi laling sering terjadi pada
segmen posterior lobus atas dan segmen apical lobus bawah, dan sering terjadi pada
paru kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus disbanding kiri.
Abses mengalami rupture ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektroasikan
keluar dengan meninggalkan cavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses
rupture ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadinya
fistula bronkopleura.
Faktor Predisposisi terjadinya bases paru :
Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi :
- Gangguan kesadaran : alkoholisme, epilepsy/kejang sebab lain,
gangguan serebrovaskular, anestesi umum, penyalahgunaan obat intravena,
koma, trauma, sepsis
- Gangguan esophagus dan sealuran cerna lainnya : gangguan
motilitas
- Fistula trakeoesopageal
Sebab-sebab latrogenik
Penyakit-penyakit periodeontal
Kebersihan mulut yang buruk
Pencabutan gigi
Pneumonia kaut
Immunosupresi
Bronkiektasis
Kanker paru
Infeksi saluran napas atas atau bawah yang belum teratasi. Pasien HIV yang
terkena abses paru pada umumnya mempunyai status immunovompromised yang
sangat jelek (kadar CD4<50/mm3), dan kebanyakan didahului oleh infeksi terutama
infeksi paru.

 

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu :
Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilc streptococcus
Bakteri anaerobic meliputi 89 % penyebab abses paru dan 85%-100%
dari specimen yang didapat melalui aspirasi tracheal.
Kelompok bakteri aerob :
- Gram positif : sekunder oleh sebab selain aspirasi

Staphylococcus aureus

Streptococcus microaerophilic

Streptococcus pyogenes

Streptococcus pneumonia
- Gram negative : biasanya merupakan sebab nosokomial

Klebsiella pneumonia

Pseudomonas aeroginosa

Escherichia coli

Haemophilus influenza

Actinomyces Species

Nocardia Species

Gram negative bacilli
- Kelompok :

Jamur : mucoraceae, aspergilus species

Parasit, amuba

Mikobakterium
Studi yang dilakukan Bartlett et al. (1974) mendapatkan 46% abses paru
disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob
dan aerob.
Spektrum kuman patoen penyebab abses paru pada pasien
immunocompromised sedikit berbeda. Pada pasien AIDS kebanyakan kumannya
adalah bakteri aerob, P. carinii dan jamur termasuk Cryptococcus neoforman dan
mycobacterium tuberculosis.

c cc

hnset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak akut. Disebut abses akut
bila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjaanan
penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu
makan, penurunan berat badan, batuk kering keringat malam, demam intermitten bisa
disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,40C atau lebih. Tidak ada demam
tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi
purulen dan bisa mengandung darah.
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam
sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami
ganggren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan
penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan cirri di atas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk darah bisa
dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang massive.
Pada eberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan
sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apical lobus
atas. Seringkali ditemukan adanya factor predisposisi seperti disebutkan di ata.
Sedangkan abses paru sekunder seperti yang disebabkan oleh septic emboli paru
dengan infark, abses sudah bisa timbu hanya dalam waktu 2-3 hari.
Pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat sampai 400C,
pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan local, pada daerah terbatas perkusi
terdengar redup dengan suara napas bronchial. Bila abses luas dan letaknya dekat
dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik. Suara napas bronchial
atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap dalam
keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi sekitat abses dan drainase abses ang
baik. Biasanya juga akan terdengar suara ronkhi.
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema torakis) sehingga pada pemeriskaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vocal menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi
napas menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama
pendorongan jantung kea rah kontra lateral tempat lesi.
Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh ang proses terjadinya berlangsung
cepat.

c  


Hitung leukosit umumnya tinggi beriksar 10.000 ± 30.000/mm3 dengan hitung
jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama netropil yang
immature. Bila abses berlangsung lama sering ditemukanadanya anemia. Pemeriksaan
dahak dapat membantu dalam menemukan mikroorgaisme penyebab abses, mamun
dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakheal, transtorakal atau
bilasan/sikatan bronkus, karena dahak yang dibatukkan akan terkontaminasi dengan
organism anaerobic normal pada rongga mulut dan saluran napas atas. Prosedur
invasive ini tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons terhadap antibiotic tidak adekuat.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung dengan
teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nokardia, basic
mikobakterium tuberculosis dan mikobakterium lain. Dahak bisa mengandung
Spirochaeta, fusiform bacilli atau sejumlah besar bakteri baik yang pathogen maupun
flora manusisa seperti Streptococcus viridian. Klostridium dapat ditemukan dari aspirasi
transtrakeal. Kultur darah dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan
pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit.

   
Bronkoskopi dnegna biopsy sikatan yang terlindung dan bilasan bronkus
merupakan cara diagnostic yang paling baik dengan akurasi diagnostic bakteriologi
melebihi 80 %. Cara ini hendaknya dilakukan pada pasien AIDS sebelum dimulai
pengobatan karena banyaknya kuman yang terlibat dan sulit diprediksi secara klinis.
Selain itu 10%-25% dari penyebab abses paru pada orang dewasa adalah
karsinoma bronkogenik, dan 60% di antaranya dapat didiagnosa dengan memakai
bronkoskopi.

c
Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakterioogis, dengan
spesifisitas melebihi aspriasi transttrakeal.

 !"
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk
abse paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran
opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas
homogeny yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radioluse dalam
bayangan infiltrate yang padat. Selanutnya bila bses tersebut mengalami rupture
sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka baru
akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan permukaan udara (air fluid level)
di dalmanya. Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan foto
dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada abses paru anaerobic kavitasnya single
(soliter) yang biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangakn abses paru
sekunder (aerobic, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multiple. Sepertia kasus
abses paru bisa disertai dengan empiema. Empiema yang terlokalisir dan disertai
dengan fistula bronkopleura akan sulit dibedakan dengan gambaran abses tampak
seperti massa bulat dalam paru. Untuk suatu gambaran abses paru simple, noduler dan
disertai limfadenopati hilus maka harus dipikirkan sebabnya adalah suatu keganasan
paru.
CT scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi
endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan
kavitasi sentral. CT Scan juga bisa menunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim
paru yang membedakannya dari empiema.
Lesi-lesi yang bisa mengakibatkan terjadinya abses paru bakterila meliputi
karsinoma bronkogenik dengan kavitas, bronkiektasis, empiema sekunder dari fistula
bronkopleura, tuberkuloasis paru, cocciodomycosis dan infeksi jamur pada paru, bulla
atau kista udara yang mengalami infeksi, perlunakan/skuesterisasi paru, nodul silikat
dengan sianosis sentral, abses hepar atau subfrenik akibat amuba atau hidatid yang
menembus ke bronkus dan Wagener¶s granulomatosis. Pemeriksaan diagnosis secara
seksama seperti yang disebutkan di atas harus dilakukan untuk membedakannya dari
abses paru biasa (simple).
Klinisi harus tetap waspada bahwa kavitas paru yang ada bukan suatu abses
paru.
Diagnosa banding dari abses paru antara lain sebagai berikut :
- Penyebab infeksi : tuberculosis, bulla infeksi, emboli septic
- Penyebab bukan infeksi : kavitas oleh karena keganasan,
Wagener¶s granulomatosis, nodul rheumatoid, vaskulitis, sarkoidosis, infark paru,
congenital (bulla, kista, bleb)

ccc
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari
pathogen penyebab dnegan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari
empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto
dada menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknyapasien dirawat inap. Posisi
terbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada di atas
supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah yang terkena,
maka hendaknya bagian atas tubuh pasien/kepala berada di bagian terbwah (posisi
trendelenberg). Diet biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori tinggi protein. Bila abses
telah mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa.
Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotic yang
adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan darah diambil
untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru yang disebabkan
bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti, sehingga pengobatan
diberikan secara empiric. Kebanyakan pasien mengalami perbaikan hanya dengan
antibiotic dan postural drainage, sedangkan kira-kira 10% harus dilakukan tindakan
operatif.
Antibiotik yang paling baik adalah klindamisin oleh karena mempunyai spekrum
yang lebih baik pada bakteri anaerot. Klindamisin diberikan mula-mula dengan dosis
3x600 mg intravenous, kemudian 4 x 300 mg oral/hari. Regimen alternaif adalah
penisilin G 2-10 juta unit/hari. Antibiotic parenteral diganti ke oral bila pasien tidak
panas lagi dan merasa sudah baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan
metronidazol 2 gram/hari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri anaerob) yang
diberilkan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin, walaupun
begitu harus diingat bahwa beberapa bakteri anaerob seperti Prevotella, Bakteriodes
Spp. Dan Fusobacterium karena memproduksi beta-laktamase, resisten terhadap
penisilin. Kombinasi ȕ-laktam dan ȕ-laktamase inhibitor seperti tikarkilin
klavulanat,+amoksisilin, asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif
terhadap kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negative.
Kombinasi ini biasanya diguakan pada pasien dengan sakit yang serius dan pasien
abses paru nosokomial. Dosis pengobatan tunggal metronidazol (Flagyl) diberikan
dengan dosis 15 mg/kgBB intravenous dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6
jam kemudian dengan infuse 7,5 mg/kgBB 3-4/hari, tetapi pengobatan tunggal dengan
metronidazole ini tidak dianjurkan karena beberapa anaerobic coccid an ekbanyakan
microaerophilic streptocooci sudah resisten. Pengobatan terhadap penyebab pathogen
aerobic kebanyakan dipakai klindamisin + penisilin atau klindamisin +_ sefalosporin
Cefoksitin 3-4 x 2 gram/hari intravena yang merupakan generasi kedua sefalosporin
aktif terhadap bakteri gram positif, gram negative resisten penilinase dan bakteri
anaerob, diberikan bila abses paru tersebut diduga disebabkan oleh infeksi
polimikrobial.
Kemudian antibiotic diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses paru
ang disebabkan stafilokokkus harus diobati dengan penicillinase-resistant-penicilin atau
sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphulococus aureus yang methieillin
resistant seperti yang disebabkan oleh emboli paru septic nosokomial, pilihannya
adalah sulfonamide 3x1gram oral. Abses paru amubik diberikan meetronidazol 3x750
mg, sedangkan bila penyakitnya serius seperti terjadi rupture dari abses harus
ditambahkan emetin parenteral pada 5 hari pertama.
Antibiotic diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami reesolusi dan
kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu lebih dari
2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan 6-10
minggu dnegna pemberian antibiotic oral sebagai pasien rawat jalan. Pemberian
antibiotic yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan dengan
melibatkan organism yang resisten terhadap antibiotic yang diberikan sebelumnya.
Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam 3-4
sampai dengan 7-10 hari. Demam yang resisten menunjukkan kegagalan pengobatan.
Pada kasus begini bila diperiksa lebih lanjut akan ditemukan adanya obstruksi bronkus
oleh benda asing, neoplasma atu disebabkan infeksi bakteri yang resisten mikobakteria,
parasit atau jamur. Respons yang lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa
dijumpai pada beberapa keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih dari 6 cm), keadaan
umum pasien yang jelek, seleksi antimicrobial yang salah diagnose sala, ada empiema,
abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada organ yang jauh seperti abses otak
dan demam obat.
Bronskosopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses paru
seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi, pengeluaran
benda asing dan untuk melebarkan striktur. Di samping itu dengan bronkoskopi dapat
dilakukan aspirasi dfan pengosongan abses yang tidak mengalami drainase yang
adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotic melewati bronkus langsung ke
lokasi abses.
Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan karena lesi biasanya
respons dengan antibiotic. Bila tidak respons, apalagi bila kavitasnya besar maka harus
dilakukan drainase perkutan untuk mencegah kontaminasi pada rongga pleura.
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10 ± 20 % kasus. Indikasi operasi
adalah sebagai berikut :
- Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
- Komplikasi : empiema, hemoptisis masis, fistula bronkopleura
- Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi
primer/metastasis, pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas
gatroesopageal, malformasi atau kelainan congenital.
Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan reseksi paru
dengan segera disamping pemberian antibiotic. Reseksi paru juga diindikasikan pada
abses paru yang responnya minimal dengan antibiotic abses paru dengan ukuran yang
besar dan infark paru.
Lobektomi merupakan prosedur paling sering sedangkan reseksi segmental
biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses
multiple atau gangrene paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan.
Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5% - 10%.
Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan
drainage perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke
dalam rongga pleura.

 
c
Komplikasi local meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus atau
penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya kurang
baik, bisa mengalami rupture kesegmen lain dengan kecenderungan penyebaran
infeksi staphylococcus, sedang yang rupture ke rongga pleura menjadi piotoraks
(empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis massif, rupture
pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan
selama 6 minggu akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin
akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis. Abses paru kronik
bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kkesia, gangguan cairan dan elektrolit serta
gagal jantung terutama pada manula.

#c c
Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang
jelek dan penakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri pathogen
orofaring yang akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan abses paru.
Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama bila sebelumnya
diduga ada factor yang memudahkan terjadinya aspirasi seperti pasien manula yang
dirawat di rumah, batuk yang disertai muntah, adanya benda asing, kesadaran yang
menurun dan pasien yang memakai ventilasi mekanik. Menghindari pemakaian
anestesi umum mpada tonsilektomi, pencabutan abses gigi dan operasi sinus para
nasal akan menurunkan insiden abses paru.

  
Prognosis abses paru simple terutama tergantung dari keadaan umum pasien,
letak abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi, dan respons pengobatan yang
kita berikan.
Angkar mortalitas pasien abses paru wanaerob pada era antibiotic kurang dari
10%, dan kira-kira 10-15% memerlukan operasi. Di zaman era antibiotic sekarang
angka penyembuhan mencapai 90-95% (Bartley,1992). Bila pengobatan diberikan
dalam jangka waktu cukup lama angka kekambuhannya rendah.
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang besar
(lebih dari 6 cm), penyakit dasar yang berat, status immunocompromised, umur yang
sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif, abses yang
disebabkan bakteri aerobic (termasuk Staphylococcus aereus dan basil gram negative),
dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang lama.
Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa menapai 75% dan bila smbuh maka
angka kekambuhannya tinggi.

You might also like